SKENARIO II
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
Tutor :
Danny Irawan dr.,Sp.Pd
Laporan tutorial skenario 1 telah melalui konsultasi dan disetujui oleh Tutor
Pembimbing
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum: sedang, GCS 456, T 120/80 mmHg, RR 88 kali permenit, RR 16
kali permenit, t 36,8 0C
Kepala / Leher : anemia ±, icterus +, cyanosis -, dyspnea –
Thoraks : spider navi +, pembesaran payudara +, lain – lain dbn
Abdomen : slight distended, shifting dullness +, H/L sulit dievaluasi, caput
medusa +, vena kolateral +
Ekstremitas : eritema palmaris +, akral hangat kering merah +, edema pitting +
pada kedua ekstremitas bawah
Pemeriksaan Laboratorium :
Hb 9,5 g% (N: 14 – 17,5 g/dL)
WBC 5.000/mm3 (N: 4.000-10.000/ mm3)
Trombo 100.000/mm3 (N: 150.000-300.000/ mm3)
Bilirubin Total 5,2 mg/ dl (N: 0,2-1,2 mg/dl)
Bilirubin Direct 4,6 mg/ dl (N: <0,3 mg/dl)
SGOT 340 IU/L (N:27-47 IU/L)
SGPT 200 IU/L (N:30-50 IU/L)
Alkaline Fosfatase 200 IU/L (N: 50-230 IU/L)
γ-GT 65 IU/L (<66 U/L)
HBsAg +
HBeAg +
UL : bilirubin +, Urobilin +
STEP 1
Identifikasi Kata Sulit :
1. Spider nevus/navi: lesi vascular non-neoplastikyang tersusun dari
arteri/arteriol melebar, radial sering berdenyut dan mengelilingi suatu central.
Dan sering terjadi pada pasien sirosis hepar.
2. Edema pitting: edema akan tetap cekung setelah adanya penekanan ringan
dengan ibu jari dn terlihat setelah terjadi retensi cairan ± 4,5 kg dari berat
badan normal.
3. γ-GT 65 IU/L (<66 U/L): satu enzim mikro somal yang bertambah banyak
pada pemakaian alcohol,
Kata Kunci :
Usia 55 tahun Caput medusa
Badan kuning Vena kolateral
Warna BAK kuninggelap seperti H/L sulit dievaluasi
teh sejak 4 hari eritema palmaris + kronis
Badan cepat lelah 2 th lalu HBsAg +
Riwayat transfusi darah 5 th lalu HBeAg +
Tidak minum obat tertentu Bilirubin Total 5,2 mg/ dl
Tidak imunisasi Bilirubin Direct 4,6 mg/ dl
Edema pitting Hb 9,5 g%
Spider navi Trombo 100.000/mm3
Gnyomastia SGOT 340 IU/L
Icterus + sklera SGPT 200 IU/L
Slight distended UL : bilirubin +, Urobilin +
Shifting dullnes
STEP 2
Identifikasi Masalah/Pertanyaan :
1. Bagaimana manifestasi klinis pada penyakit tersebut?
2. Bagaimana patofisiologi dari manifestasi klinis diatas?
3. Apa diagnosis dan different diagnosis dari scenario tersebut?
4. Bagaimana etiologi dan perjalanan klinis dari penyakit tersebut?
5. Bagaimana faktor resiko dari penyakit tersebut?
6. Bagaimana pemeriksaan yang dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis?
7. Bagaimana penatalaksanaan penyakit tersebut?
8. Bagaimana pandangan islam terhadap penyakit tersebut?
STEP 3
Jawaban Pertanyaan STEP 2 :
1. Bagaimana manifestasi klinis pada penyakit tersebut?
Ikterus: badan kuning, BAK kuning gelap, sklera ikterik, bilirubin tinggi
& direct naik dan UL : bilirubin +, Urpbilin +
Hepatitis B kronik: icterus, badan kuning, tidak imunisasi, badan cepat
lelah, dan riwayat transfusi darah. Eritema palmaris +, trombo
100.000/mm3, Gnyomastia, HBsAg, HBeAg, SGOT, SGPT, spider navi
dan slight distended.
Asites: Slight distended, caput medusa, edema pitting, shifting dullnes,
vena kolateral dan H/L suli dievaluasi.
Anemia: Hb 9,5 g% dan cepat lelah.
2. Bagaimana patofisiologi dari manifestasi klinis diatas?
Icterus:
HB -Heme – Biliverdin
-Globin (protein)
Terjadi di RES (terbesar di lien)
Factor pre hepar: kelebihan pemecahan HB
Hepar
Post hepar: sumbatan di empedu
Hepatitis B Kronis
Virus masuk – akut – dari akut ke kronis berapa %?
Vesikel: dari ibu ke janin
Horizontal : karena cairan tubuh
Anemia
Perdarahn nodul, kurang bahan baku pembuat darah
Asites
Fase prehepar, intra hepar, post hepar
3. Apa diagnosis dan different diagnosis dari scenario tersebut?
Diagnosis : Hepatitis B kronis dengan asites & anemia
Different diagnosis : Serosis, hepatitis B akut
4. Bagaimana etiologi dan perjalanan klinis dari penyakit tersebut?
Inveksi virus hepatitis B
5. Bagaimana faktor resiko dari penyakit tersebut?
Alkohol, transfuse, (-) imunisasi
6. Bagaimana pemeriksaan yang dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis?
USG, MRI
7. Bagaimana penatalaksanaan penyakit tersebut?
- Umum: Diet, pengobatan akupuntur
- Khusus: +medika mentosa: (-)Degenerative
(-)Kausativ
+operativ
- konsensus nasional hepatitis B
8. Bagaimana pandangan islam terhadap penyakit tersebut?
- Oleh karena masalah vaksinasi-imunisasi belum terjadi pada masa
Rasulullah, maka belum ada petunjuk sedikitpun tentan\g imunisasi.
Terhadap masalah yang bersifat kontemporer menjadi lapangan dan lahan
bagi para ulama untuk melakukan ijtihad menemukan solusi hukum
perkara tersebut haram atau halal, baik atau buruk, bermanfaat atau
berbahaya bagi kesehatan.
- Keharaman khamar ditegaskan dalam Al-Quran Surat Al-Maaidah ayat
90: ” Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya meminum khamar,
berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan anak
panah adalah perbuatan-perbuatan keji yang termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.
STEP 4
MIND MAPPING
Skenario
Anemia
Manifestasi Klinis Ikterus
Hepatitis B
Asites
Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis
Penatalaksanaan
Hipotesis akhir
Pasien menderita sirosis hati dengan komplikasi asites, hepatitis B kronik dan
anemia.
STEP 5
Learning Objective :
1. Mampu menjelaskan manifestasi klinis pada penyakit tersebut pada skenario.
2. Mampu menjelaskan patofisiologi dari manifestasi klinis diatas.
3. Mampu menjelaskan diagnosis dan different diagnosis dari scenario.
4. Mampu menjelaskan etiologi dan perjalanan klinis dari penyakit tersebut.
5. Mampu menjelaskanfaktor resiko dari penyakit tersebut.
6. Mampu menjelaskan pemeriksaan yang dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis.
7. Mampu menjelaskan penatalaksanaan penyakit tersebut.
8. Mampu menjelaskan pandangan islam terhadap penyakit tersebut.
STEP 6
Belajar Mandiri
1. Manifestasi klinis pada penyakit.
o Gejala
Gejala sirosis hati mirip dengan hepatitis, karena terjadi sama-sama di liver
yang mulai rusak fungsinya, yaitu: kelelahan, hilang nafsumakan, mual-mual,
badan lemah, kehilangan berat badan, nyeri lambung dan munculnya jaringan
darah mirip laba-laba di kulit (spider angiomas). Pada sirosis terjadi kerusakan
hati yang terus menerus dan ter jadi regenerasi noduler serta ploriferasi jaringan
ikat yang difus (Ganem,2004).
o Tanda Klinis
Tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu:
a. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita sirosis.
d. Hipertensi portal.
Hepatitis B kronik
1. Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus.
Fase inkubasi Hepatitis B berkisarantara 15-180 hari dengan ratarata 60-90
hari.
2. Fase prodromal (praikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala
ikterus. Di tandai dengan malaise umum, mialgia, artalgia, mudah lelah
gejala saluran napas atas dan anoreksia. Diare atau konstipasi dapat terjadi.
Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap dikuadran kanan atas atau
epigastrum, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang
menimbulkan kolestitis.
3. Fase ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan
munculnya gejala.Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi. Setelah
timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan
terjadi perbaikan klinis yang nyata.
4. Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali
dan abnormalitas fungsi hati teta pada. Muncul perasaan sudah lebih sehat
dan kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan klinisnya
mungkin lebih sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi fulminan (Sudoyo
et al, 2009). Hepatitis B kronis di definisikan sebagai peradangan hati yang
berlanjut lebih dari enam bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit.
B. Hiperbilirubinemia konjugasi/direk
Hiper bilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan eksresi
bilirubin ke dalam empedu.Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh
kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi
oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi
sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat
berkaitan dengan : Hepatitis, sirosis hepatis, alkohol, leptospirosis, kolestatis obat
(CPZ), zat yg.meracuni hati fosfor, klroform, obat anestesi dan tumor hati
multipel. Ikterus pada trimester terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma
Dubin Johnson dan Rotor, ikterus pasca bedah. Obstruksi saluran bilier
ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai
bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial.
(Mansjoer, A, dkk, 2001)
Obstruksi total dapat disertai tinja yang akolik. Penyebab tersering
obstruksi bilier ekstrahepatik adalah :
- Obstruksi sal.empedu didalam hepar
Sirosis hepatis, abses hati, hepatokolangitis, tumor maligna primer dan sekunder.
- Obstruksi didalam lumen sal.empedu : batu empedu, askaris
- Kelainan di dinding sal.empedu : atresia bawaan, striktur traumatik, tumor
saluran empedu.
- Tekanan dari luar saluran empedu :
Tumor caput pancreas, tumor Ampula Vatery, pancreatitis, metastasis tumor di
lig.hepatoduodenale.
Ada 3 fase penting dalam perjalanan penyakit Hepatitis B Kronik yaitu fase
imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase imune clearance, dan fase nonreplikatif
atau fase residual. (Sanityoso A, dkk. 2009)
Pada masa anak-anak atau pada masa dewasa muda, sistem imun tubuh toleran
terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian
tingginya, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan itu
VHB ada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg
positif, anti-Hbe negatif, titer DNA VHB tinggi dan konsentrasi ALT yang relatif
normal. Fase ini disebut fase imunotoleransi. (Sanityoso A, dkk. 2009)
Pada fase imunotoleransi sangat jarang terjadi serokonversi HbeAg secara
spontan, dan terapi untuk menginduksi serokonversi HbeAg tersebut biasanya
tidak efektif. Pada sekitar 30% individu dengan persistensi VHB akibat terjadinya
replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak
dari kenaikan konsentrasi ALT. Pada keadaan ini pasien mulai kehilangan
toleransi imun. Fase ini disebut fase imunoaktif atau immune clearance. Pada fase
ini tubuh berusaha menghancurkan yang menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang
terinfeksi.(Sanityoso A, dkk. 2009)
Pada fase imunoaktif serokonversi HbeAg baik secara spontan maupun
karena terapi lebih sering. Sisanya, sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya
dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB tanpa kerusakan sel hati yang
berarti. Pada keadaan ini HbsAg rendah dengan HbeAg yang menjadi negatif dan
anti-HBe yang menjadi positif secara spontan, konsentrasi ALT yang normal,
yang menandai terjadinya fase nonreplikatif atau fase residual. Sekitar 20-30%
pasien Hepatitis B Kronik dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan
menyebabkan kekambuhan. (Sanityoso A, dkk. 2009).
4. Patofisiologi Asites
Asites adalah penimbunan cairan yang abnormal di rongga peritoneum.
Asites dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, namun yang terutama adalah
sirosis hati dan hipertensi porta.Patofisiologi asites belum sepenuhnya dipahami
dan diduga melibatkan beberapa mekanismesekaligus. Mekanisme-mekanisme itu
menganut beberapa teori. Teori itu misalnya underfilling, overfilling, dan
periferal vasodilatation. Menurut teori underfilling asites dimulai dari valome
cairan plasma yang menurun akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Teori
overfilling mengatakan bahwa asites dimulai dari ekspansi cairan plasma akibat
reabsorpsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi akibat peningkatan aktifitas
hormon-anti diuretik (ADH) dan penurunan hormon natriuretik karena penurunan
fungsi hati. Teori yang diterima saat ini ialah teori vasodilatasi perifer.Sirosis
(pembentukan jaringan parut) di hati akan menyebabkan vasokonstriksi dan
fibrotisasi sinusoid. Akibatnya terjadi peningkatan resistensi sistem porta yang
berujung kepada hipertensi porta. Hipertensi porta ini dibarengi dengan
vasodilatasi splanchnic bed (pembuluh darahsplanknik) akibat adanya vasodilator
endogen (seperti NO, calcitone gene related peptide,endotelin dll). (Sanityoso A,
dkk. 2009)
Dengan adanya vasodilatasi splanchnic bed tersebut, maka akan
menyebabkan peningkatan aliran darah yang justru akan membuat hipertensi porta
menjadi semakin menetap.(Sanityoso A, dkk. 2009)
Hipertensi porta tersebut akan meningkatkan tekanan transudasi terutama di
daerah sinusoid dankapiler usus. Transudat akan terkumpul di rongga peritoneum
dan selanjutnya menyebabkanasites.Selain menyebabkan vasodilatasi splanchnic
bed , vasodilator endogen juga akan mempengaruhisirkulasi arterial sistemik
sehingga terjadi vasodilatasi perifer dan penurunan volume efektif darah
(underfilling relatif) arteri. Sebagai respons terhadap perubahan ini, tubuh
akanmeningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik dan sumbu sistem renin-
angiotensin-aldosteronserta arginin vasopressin. Semuanya itu akan meningkatkan
reabsorbsi/penarikan garam (Na)dari ginjal dan diikuti dengan reabsorpsi air
(H20) sehingga menyebabkan semakin banyak cairan yang terkumpul di rongga
tubuh.(Sanityoso A, dkk. 2009)
5. Patofisiologi Anemia
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum atau kehilangan
sel darah merah secara berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum dapat
terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor atau kebanyakan
akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui
perdarahan atau hemplisis (destruksi), hal ini dapat akibat defek sel darah merah
yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah yang menyebabkan destruksi
sel darah merah.(Sanityoso A, dkk. 2009)
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau dalam
sistem retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa. Hasil samping proses
ini adalah bilirubin yang akan memasuki aliran darah. Setiap kenaikan destruksi
sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan peningkatan bilirubin
plasma (konsentrasi normal ≤ 1 mg/dl, kadar diatas 1,5 mg/dl mengakibatkan
ikterik pada sclera).
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, (pada
kelainan hemplitik) maka hemoglobin akan muncul dalam plasma
(hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas
haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk mengikat
semuanya, hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal dan kedalam urin
(hemoglobinuria).
Kesimpulan mengenai apakah suatu anemia pada pasien disebabkan oleh
penghancuran sel darah merah atau produksi sel darah merah yang tidak
mencukupi biasanya dapat diperleh dengan dasar:
1. Hitung retikulosit dalam sirkulasi darah;
2. Derajat proliferasi sel darah merah muda dalam sumsum tulang dan cara
pematangannya, seperti yang terlihat dalam biopsi; dan ada tidaknya
hiperbilirubinemia dan hemoglobinemia.
Diagnosis
Diagnosis utama dari skenario adalah sirosis hati dengan komplikasi asites dan
diagnosis tambahannya adalah hepatitis B kronik.
Hepatitis kronik terdiri atas: 1). Hepatitis kronik persisten, 2). Hepatitis kronik
aktif, 3). Sirosis hati.1 Pada skenario pasien yang mulanya terkena hepatitis B
kronik, saat mejalani pemeriksaan telah mengalami sirosis hati. Pada sirosis hati
akan ditemukan peningggian SGOT dan SGPT yang sangat bervariasi. Umumnya
akan didapatkan gamma GT lebih tinggi dari SGOT, namun tidak selalu demikian
seperti pada kasus. Perbandingan antara SGOT dan SGPT arau rasio de Ritis
biasanya diatas 1, dan teori ini sesuai dengan rasio de Ritis pada skenario yang
mencapai 1,7. Pada sirosis hati enzim kolinesterase akan menurun apabila
kerusakan hati makin berat. Enzim untuk pembekuan darah juga akan menurun
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2014)
Pada kompenen virus hepatitis B memiliki cincin DNA sirkular yang tidak
lengkap dalam partikel inti (HbcAg) yang dikelilingi oleh suatu lapisan protein
permukaan (HbsAg), serta mengandung antigen “e” (HbeAg). Sehingga
interpretasi dari uji HbsAg yang positif adalah terdapat hepatits B akut atau
hepatitis B kronik yang mengalami serbasi akut, namun jika hasil IgM anti-HBc
negatif maka interpretasinya hepatitis B kronik. Sedagkan HbeAg memiliki
interpretasi daya infeksi yang tinggi (Price,2005).
Fase inactive HBsAg carrier state ditandai dengan HBeAg yang negatif, Anti
HBe positif, kadar HBV DNA yang rendah atau tidak terdeteksi (< 100.000
lU/mL), gambaran histologi hati menunjukkan fibrosis hati yang minimal atau
hepatitis yang ringan. Lama fase ini tidak dapat dipastikan, dan menunjukkan
prognosis yang baik bila cepat dicapai oleh seseorang penderita. Beberapa
penderita pada fase ini masih dapat mengalami reaktivasi (Konsensus PPHI ,
2006).
Fase keempat yaitu reactivation of HBV DNA replication /HBeAg negative
chronic hepatitis B ditandai dengan HBeAg negatif, Anti HBe positif, kadar HBV
DNA yang positif atau dapat dideteksi, kadar ALT yang meningkat serta
gambaran histologi hati menunjukkan proses nekro inflamasi yang aktif.
Perjalanan penyakit hepatitis B kronik yang HBeAg negatif dengan HBV DNA
positif di wilayah Asia-Pasifik masih belum banyak diteliti, namun reaktivasi
hepatitis dan progresivitas penyakit memang terjadi. Derajat beratnya penyakit,
luas, lama dan frekuensi perubahan lobulus hati selama reaktivasi hepatitis
cenderung untuk menentukan hasil akhir penyakit dan pembersihan HBV
(Konsensus PPHI , 2006).
b. Hepatitis Virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab
sirosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumbergpada
tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka diduga
mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa selhati sehingga terjadi
sirosis. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak
mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta
menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A
(Guntur,2007).
c. Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan berakibat
nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis
hati. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah alkohol.
d. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan , biasanya terdapat pada orang-
orang muda dengan ditandai sirosis hati, degenerasi basal ganglia dari otak, dan
terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut Kayser
Fleischer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan defesiensi bawaan dari
seruloplasmin. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, mungkin ada
hubungannya dengan penimbunan tembaga dalam jaringan hati.
e. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu:
1. Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
2. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai pada
penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe,
kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hati.
f. Sebab-Sebab Lain
1. Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis
kardiak.Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap reaksi dan
nekrosis sentrilobuler.
2. Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu
akan dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak
dijumpai pada kaum wanita.
3. Penyebab sirosis hati yang tidak diketahui dan digolongkan dalam sirosis
kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris.Dari data yang ada di
Indonesia Virus Hepatitis B menyebabkan sirosis 40-50% kasus, sedangkan
hepatitis C dalam 30-40 % . sejumlah 10-20% penyebabnya tidak diketahui
dan termasuk disini kelompok virus yang bukan B atau C.
7. Faktor penyebab sirosis hati menurut (Saputra.2014)
1. Akoholisme
2. Defisiensi α1 –anti tripsin
3. Obstruksi bilier
4. Sindroma Budd-Chiari
5. Hemokromatosis
6. Hepatitis
7. Penyakit Wilson
1. Tranfusi darah
2. Transplantasi organ
3. Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif
4. Lingkungan penderita dengan HBsAg positif terutama anggota keluarga
yang
selalu berhubungan langsung
5. Hubungan seksual yang promiskus mempunyai resiko tinggi khususnya
pria homoseksual
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Darah lengkap
Hb/ Ht dan SDM mungkin menurun karena perdarahan. Kerusakan SDM dan
anemia terlihat dengan hipersplenisme dan defisiensi besi. Leukopenia mungkin
ada sebagai akibat hiperplenisme.
2) Kenaikan kadar SGOT, SGPT
3) Albumin serum menurun
4) Pemeriksaan kadar elektrolit : hipokalemia
5) Pemanjangan masa protombin
6) Glukosa serum : hipoglikemi
7) Fibrinogen menurun
8) BUN meningkat
b. Pemeriksaan diagnostik
1) Radiologi
Dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi hipertensi portal.
2) Esofagoskopi
Dapat menunjukkan adanya varises esofagus.
3) USG
4) Angiografi
Untuk mengukur tekanan vena porta.
5) Skan/ biopsi hati
Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati.
6) Partografi transhepatik perkutaneus
Memperlihatkan sirkulasi sistem vena portal.
7. Penatalaksanaan
PREVENTIF
Upaya preventif merupakan hal terpenting karena merupakan upaya yang
paling cost-effective. Secara garis besar, upaya preventif dibagi dua yaitu upaya
yang bersifat umum dan upaya yang lebih spesifik (imunisasi HBV).
Kebijakan Preventif Umum
1. Uji tapis donor darah dengan uji diagnostik yang sensitif.
2. Sterilisasi instrumen secara adekuat-akurat. Alat dialisis digunakan secara
individual. Untuk pasien dengan HVB disediakan mesin tersendiri. Jarum
disposable dibuang ke tempat khusus yang tidak tembus jarum.
3. Tenaga medis senantiasa mempergunakan sarung tangan.
4. Perilaku seksual yang aman.
5. Penyuluhan agar para penyalah guna obat tidak memakai jarum secara
bergantian
6. Mencegah kontak mikrolesi, menghindar dari pemakaian alat yang dapat
menularkan HVB (sikat gigi, sisir), berhati-hati dalam menangani luka
terbuka.
7. Skrining ibu hamil pada awal dan pada trimester ke-3 kehamilan, terutama
ibu yang berisiko terinfeksi HVB. Ibu hamil dengan HVB (+) ditangani
terpadu. Segera setelah lahir bayi di-imunisasi aktif dan pasif terhadap
HVB.
8. Skrining populasi risiko tinggi tertular HVB (lahir di daerah hiperen-
demis, homoseksual, heteroseksual, pasangan seks berganti-ganti, tenaga
medis, pasien diálisis, keluarga dari penderita HVB kronis, kontak seksual
dengan penderita HVB).
IMUNISASI AKTIF
Tujuannya adalah memotong jalur transmisi melalui program imunisasi bayi
baru lahir dan kelompok risiko tinggi tertular HBV. Tujuan akhirnya adalah (1)
menyelamatkan nyawa minimal 1 juta jiwa/tahun; (2) menurunkan risiko KHS
akibat HBV; dan (3) eradikasi virus
PENGOBATAN
Tujuan utama dari pengobatan hepatitis B kronik adalah untuk mengeliminasi
atau menekan secara permanen HBV. Hal ini akan mengurangi patogenitas dan
infektivitas, dan akhirnya menghentikan atau mengurangi nekroinflamasi hati.
Dalam istilah klinis, tujuan jangka pendek adalah mengurangi inflamasi hati,
mencegah terjadinya dekompensasi hati, menghilangkan HBV-DNA (dengan
serokonvers HBeAg ke anti-HBe pada pasien HBeAg positif) dan normalisasi
ALT pada akhir atau 6-12 bulan setelah akhir pengobatan.
Tujuan jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis flare yang dapat
menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah sirosis dan/atau HCC,
dan pada akhirnya memperpanjang usia, Pengobatan yang tersedia saat ini Pada
saat konsesus ini dibuat, obat yang tersedia dan telah diterima diberbagai negara
adalah interferon α (IFN konvensional), pegylatec interferon α-2a, lamivudine,
adefovir dipivoxil dan entecavir. Thymosin α-1 juga telah diterima dibeberapa
negara khususnya di Asia.
Analog Nukleosida
Beberapa analog nukleosida (misalnya adenosine arabinoside, FIAU dan
lobucafir) ditemukan efektif namun memberikan efek toksisitas yang bermakna
sehingga evaluasi lebih lanjut tidak dilakukan. Famciclovir mampu menekan
replikasi HBV, namun pada uji fase ketiga ditemukan bahwa terdapat efikasi yang
terbatas. Lamivudine terbukti mempunyai efektifitas yang tinggi dalam
menginhibisi replikasi HBV. Telah terbukti pula bahwa adefovir dipivoxil dan
entecavir efektif dan aman. Emtricitabine, clevudine, Ldt yang masih dalam
berbagai tahap penelitian. (Konsensus PPHI, 2006).
Lamivudine
Lamivudine menunjukkan efektifitas supresi HBV DNA, normalisasi
ALT, dan perbaikan secara histologi baik pada HBeAg positif dan HBeAg negatif
/ HBV DNA positif. Pada penderita dengan HBeAg (+) yang diterapi selama satu
tahun dengan lamivudine (100 mg per hari) menghasilkan serokonversi HBeAg
dengan perbandingan kadar ALT sebelum terapi : 64% (vs. 14% sebelum terapi)
pada pasien dengan ALT dengan 5x BANN, 26% (vs. 5% sebelum terapi) pada
pasien dengan ALT 2-5x BANN, dan hanya 5% (vs. 2% sebelum terapi) pada
pasien dengan ALT <2x BANN (Leung N,2000)). Dengan kata lain, penderita
dengan respons imun terhadap HBV yang lebih kuat memberikan respons yang
lebih baik terhadap efek langsung anti virus pada terapi lamivudine. Pasien anak
juga memberikan respons yang sama (Chien,1999).
Hepatitis flare kadang dapat terjadi jika lamivudine dihentikan sebelum
serokonversi HBeAg (Chien,1999). Terapi anti virus jangka panjang
meningkatkan proporsi menghilangnya HBV DNA dan serokonversi HBeAg.
Pada pasien dengan ALT sebelum terapi > 2x BANN, angka keberhasilan
serokonversi HBeAg adalah 65% setelah 3 tahun, dan 77% setelah 5 tahun. Pada
saat serokonversi HBeAg ke anti-HBe tercapai, hal tersebut bertahan pada 30-
80% kasus (Konsensus PPHI, 2006)
Akan tetapi dapat lebih rendah jika pengobatan post-serokonversi
berlangsung kurang dari 4 bulan. Hepatitis flare dapat terjadi yang dalam hal ini
biasanya berhubungan dengan munculnya kembali HBeAg. Pada pasien hepatitis
B dengan HBeAg negatif / HBV-DNA positif kerja antivirus dan anti hepatitis
dari lamivudine tampaknya sama seperti pada pasien dengan hepatitis kronis
HBeAg positif. Namun demikian sangatlah sulit untuk menentukan batas akhir
pengobatan dan respons antivirus yang bertahan diperoleh hanya dalam 15-20%
kasus setelah satu tahun pengobatan. Penelitian dengan masa pengobatan yang
lebih lama sedang dilakukan untuk keadaan ini. Lamivudine ditoleransi dengan
baik disertai angka kejadian efek samping yang dapat diabaikan. Lamivudine
aman digunakan bahkan pada sirosis dekompensasi. Setelah 6-9 bulan terapi
lamivudine, mutar HBV yang resisten terhadap lamivudine mulai muncul. Spesies
HBV in telah melakukan mutasi pada gen polimerase, sehingga disebut mutas
YMDD. Insidensnya meningkat bersamaan dengan semakin lamanya terapi
(sekitar 70% dalam waktu 5 tahun) (Konsensus PPHI, 2006).
Munculnya mutasi YMDD berhubungan dengan timbulnya kembali HBV
DNA (harus dibedakan dari ketidakpatuhan memakai obat), dan seringkali dengan
peningkatan ALT, walaupun nilai ALT seringkali tidak mencapai kembali kadar
sebelum terapi, (Konsensus PPHI, 2006).
Terapi lamivudine jangka panjang sebaiknya disertai dengan perhatian
terhadap mutasi YMDI dan stabilitas respons terapi. Penelitian Asia jangka
panjang (Guan dkk), memperlihatkan serokonversi masih ada walaupun telah
terjadi mutan. Pemberian dapat dilakukan sampai 5 tahun. Kombinasi lamivudin
dan interferon tampaknya meningkatkan angka keberhasilan serokonversi HBeAg,
khususnya pada pasien dengan AL pra-terapi 2-5x BAN N (Schalm SW,2000)
Adefovir dipivoxil
Adefovir dipivoxil adalah nukleosida analog dari adenosine monofosfe
setelah menjadi bentuk aktifnya akan bekerja langsung menghamb DNA
polymerase dengan tempat ikatan yang berbeda dengan lamivudin. Adefovir
difosfat bekerja menghambat HBV polymerase deng« berkompetisi langsung
dengan substrat endogen deoksiadenosin trifosf dan setelah berintegrasi dengan
HBV-DNA sehingga pembentuk rantai DNA virus hepatitis B terhenti. Efektifitas
adefovir dipivoxil sudah diteliti pada pasien baru hepatitis dengan replikasi virus
yang aktif, pada pasien yang gagal dengi lamivudine, pasien pasca transplantasi
hati hingga pasien dengan dekompensasi hati maupun yang dengan koinfeksi
dengan HIV. Adefo difosfat bekerja menghambat HBV polymerase dengan
berkompet langsung dengan substrat endogen deoksiadenosin trifosfat dan setel;
berintegrasi dengan HBV-DNA sehingga pembentukan rantai DNA vir hepatitis B
terhenti. Penelitian 2 menunjukkan bahwa adefovir efektif dan aman, dan
ju<efektif dalam menekan HBV dengan mutasi YMDD (Heathcote EJ,1999).
Tidak adanya potensi adefovir untuk berkembang menjadi resisten disebabkan
karena eratnya hubungan struktural dengan substrat alami sehingga membatasi
potensi untuk menjadi steric hindrance yang merupakan mekanisme terjadinya
resistensi. Di samping itu adefovir merupakan rangkaian asiklik yang fleksibel
yang memudahkan adefovir untuk berinteraksi dengan HBV polymerase dengan
konformasi yang berbeda sehingga akhirnya menghambat terbentuknya steric
hindrance. Tidak adanya resistensi silang dengan lamivudine dengan adefovir
dikarenakan kelompok yang resisten terhadap lamivudine terjadi karena
pembentukan ‘steric hindrance’ berasal dari rantai gula L yang non alamiah
sedangkan adefovir berinteraksi dengan rantai gula D yang alami sehingga
menyebabkan adefovir masih dapat berinteraksi dengan HBV polymerase
(Heathcote EJ,1999). Terapi dengan adefovir dipivoxil terbukti memberikan
perbaikan histologis yang sangat bermakna (53-59 % vs 25 %) pada kelompok
penderita Hepatitis B naive dengan hasil serokonversi HBeAg, penurunan HBV-
DNA maupun normalisasi ALT yang jauh lebih tinggi dibandingkan plasebo.
Penggunaan adefovir dipivoxil dapat dipertimbangkan sebagai pilihan untuk
pengobatan hepatitis B baik yang baru maupun yang sudah resisten disamping
terbukti sebagai penyelamat dalam pengobatan dengan lamivudine (Heathcote
EJ,1999).
Dosis yang dianjurkan untuk penggunaan adefovir adalah 10 mg per hari.
Efek samping penggunaan adefovir jika digunakan dosis tinggi (30 mg/hari)
adalah gagal ginjal. Entecavir Entecavir adalah analog nukleosida guanosin yang
menghambat replikasi virus melalui tiga jalur yaitu : priming, negative strand
synthesis, dan positive strand synthesis, dengan demikian produksi double
stranded viral DNA akan sangat menurun. Penelitian klinis multinasional fase III,
samar-ganda, mengamati 715 penderita hepatitis B kronik nukelosida naif,
HBeAg positif, yang secara acak menerima entecavir 0.5 mg satu kali sehari
(n=357) atau lamivudine 100 mg satu kali sehari (n=358) setidaknya selama 52
minggu (61). Dilaporkan setelah 48 minggu pengobatan perbaikan histologi (skor
Knodell) pada 72% kelompok pasien yang entecavir. dibandingkan dengan 62%
dari kelompok pasien lamivudine (p=0,009), dan juga menghasilkan penurunan
pada fibrosis sebagaimana diukur dengan Skor Fibrosis Ishak (39% pada
kelompok entecavir dan 35% pada kelompok lamivudine, p=0,41). Normalisasi
kadar ALT juga diamati lebih banyak pada kelompok pasien yang menerima
entecavir (68%) dibandingkan dengan kelompok pasien lamivudine (60%)
(p=0,02). Dari penelitian ini, 67% dari kelompok pasien entecavir mengalami
penurunan muatan virus hingga mencapai kadar tidak terdeteksi (kurang dari 300
kopi/mL dengan metode PCR) dibandingkan 36% kelompok pasien lamivudine
(p<0,001) Selain itu, kelompok pasien enteca mengalami penurunan 6,9 Iog10
kopi/mL rata-rata penurunan HB DNA dari nilai dasar yang secara bermakna
lebih besar daripada kelompok pasien lamivudine yang mengalami penurunan 5,4
loc kopi/mL (p<0,001). Pada minggu ke 48 tidak terdapat bukti adanya mutasi
virus yar dapat mengarah kepada resistensi terhadap entecavir di antara 3.’ pasien
yangdiamati. Sebagai bagian dari penelitian klinis multinasional fase III, samar-
ganda, 648 pasien hepatitis B kronik HBeAg negatif secara acak mendapatkan
entecavir 0,5 mg satu kali sehari (n=351) atau lamivudine 100 mg satu kali sehari
(n-317) selama paling tidak 52 minggu. Setelah 48 minggu pengobatan, 70%
pasien entecavir menunjukkan perbaikan secara histologik (skor Knodell)
dibandingkan dengan 6 pasien lamivudine (p=0,01), dan juga menunjukkan
penurunan fibrosis (skor Ishak), masing-masing 36% pada kelompok entecavir
dan 3 pada kelompok lamivudine (p=0,65). Secara bermakna lebih ban; pasien
yang diobati dengan entecavir daripada lamivudine mencapai kadar ALT normal
pada minggu ke 48 (78% pada kelompok entecavir dibandingkan dengan 71%
pada kelompok lamivudine; p=0,04). Sembilan puluh persen(90%) pasien yang
mendapatkan entecavir mencapai penurunan kadar HBV-DNA hingga tingkat
tidak terdeteksi pada minggu ke-48 dibandingkan dengan 72 % pada kelompok
pas yang menggunakan lamivudine (p=0,001). Selain itu, pasien y menggunakan
entecavir mengalami penurunan kadar HBV-DNA y bermakna sebesar 5,0 log 10
kopi/mL rata-rata penurunan dibanding dengan 4,5 Iog10 kopi/mL pada kelompok
lamivudine (p<0,0l Tidak terdapat bukti adanya mutasi virus yang mengarah
kepada resistensi terhadap entecavir pada kelompok yang mengalami virolt
rebound atau pada 211 pasien yang diamati setelah 48 min pengobatan
(Sherman,2000). Pada penelitian fase III, samar ganda pada pasien dengan
HBeAg positif yang mengalami refrakter pada pengobatan dengan lamivudine
(adanya viremia yang persisten atau mutasi YMDD yang terdokumentasi ketika
menggunakan lamivudine) diacak untuk mendapat entecavir 1 mg (n=141) atau
terus menggunakan lamivudine 100 mg (n=145) masing-masing satu kali sehari
selama minimum 52 minggu. Perbaikan histologis terjadi pada 55% (68/124) pada
kelompok entecavir dibandingkan dengan 28% (32/116) pada kelompok
lamivudine (P < .0001). Lebih banyak pasien dengan entecavir yang mencapai
kadar HBV branched DNA <0.7 MEq/mL yaitu 55% (77/141) untuk kelompok
entecavir dan 4% (6/145) untuk kelompok lamivudine (P < 0001). Rata-rata
penurunan kadar HBV DNA dari baseline adalah -5.11 log10 kopi/mL untuk
kelompok yang diberikan entecavir dan -0.48 log 10 kopi/mL untuk kelompok
yang diberikan lamivudine (P < .0001). Ditemukan adanya virologic rebound pada
2 dari 141 pasien yang diberikan entecavir oleh karena substitusi resistensi dan
resistensi genotipik pada 10 pasien (62).
Thymosin α-1
Hanya sedikit penelitian yang telah menganalisis thymosin a1. Pada satu
penelitian diperlihatkan bahwa respons pemberian subkutan 1,6 mg 2 x/minggu
selama 6 bulan adalah 40 % dibandingkan 9 % pada kontrol. Masih diperlukan
penelitian yang lebih luas untuk membuat kesimpulan lebih pasti.
Obat Tradisional
Obat tradisional Cina dan obat tradisional lainnya (obat alternatif /
tambahan) dilaporkan mempunyai potensi terapeutik dalam mengobati infeksi
kronik HBV, namun harus dibuktikan dengan uji acak terkontrol dalam skala yang
lebih besar untuk memastikan efikasinya. Schisandrin C bermanfaat untuk
menurunkan ALT pada pasien dengan hepatitis kronik (Konsensus PPHI, 2006).
Imunomodulator non IFN dapat pula diberikan untuk pengobatan Hepatitis B
Indikasi pengobatan ( Lau GK,2000)
Data sampai saat ini menunjukkan bahwa pasien dengan ALT yang
persisten normal memberikan respon pengobatan yang tidak baik dengan semua
obat yang tersedia, dengan demikian pada penderita ini tidak perlu diberi terapi
antivirus namun harus dipantau kadar ALT setiap 3 - 6 bulan. Pasien HBeAg (+)
dengan kadar ALT ≥ 2 x BAN N (batas atas nilai normal) sedikitnya dalam masa
pengamatan 1 bulan dapat segera diberikan pengobatan antivirus.
Asites
Dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas : -
istirahat - diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan
istirahat dan diet rendah garam dan penderita dapat berobat jalan dan
apabila gagal maka penderita harus dirawat. - Diuretik Pemberian diuretic
hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam dan
pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg
setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretic
adalah hipokalemia dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty hepatic,
maka pilihan utama diuretic adalah spironolacton, dan dimulai dengan
dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila
dengan dosis maksimal diuresinya belum tercapai maka dapat kita
kombinasikan dengan furosemid ( Hakim Zain.L,2000).
Terapi lain : Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan
pengobatan konservatif. Pada keadaan demikian pilihan kita adalah
parasintesis. Mengenai parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10
liter / hari, dengan catatan harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 – 8
gr/l cairan asites yang dikeluarkan. Ternyata parasintesa dapat
menurunkan masa opname pasien. Prosedur ini tidak dianjurkan pada
Child’s C, Protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit <
40.000/mm3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam. Ad.
Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP) Infeksi cairan dapat terjadi secara
spontan, atau setelah tindakan parasintese. Tipe yang spontan terjadi 80%
pada penderita sirosis hati dengan asites, sekitar 20% kasus. Keadaan ini
lebih sering terjadi pada sirosis hati stadium kompesata yang berat. Pada
kebanyakan kasus penyakit ini timbul selama masa rawatan. Infeksi
umumnya terjadi secara Blood Borne dan 90% Monomicroba. Pada sirosis
hati terjadi permiabilitas usus menurun dan mikroba ini beraasal dari usus
( Hakim Zain.L,2000).
Pada sirosis hati yang lanjut, terjadi retensi cairan akibat akumulasi
garam. Retensi cairan paling sering terjadi di kaki akibat proses gravitasi,
dan dalam rongga perut akibat hipertensi portal. Asitets dan edema juga
bisa disebabkan akibat hipoalbuminemia karena produksi albumin yang
terganggu dalam hati (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Unair, 2015)
Untuk mengurangi edema dan asites, pasien dianjurkan untuk
membatasi asupan garam dan air jumlah diit gram yang dianjurkan
biasanya sekitar 2 gram perhari, dan cairan sekitar 1 liter sehari.
Kombinasi diuretika spironolakton dan furosemide dapat menurunkan
dan menghilangkan edema dan asites pada sebagian besar pasien.
Spironolaktondapat diberikan dalam dosis 100-400 mg sehari. Bila perlu
dapat dikombinasikan dengan furosemide 40-160 mg sehari, dengan
pengawasan ketat terhadap tekanan darah, produksi urin, status mental
pasien, dan kadar elektrolit serum (terutama K). Bila pemakaian diuretika
tidak berhasil (pada asites yang refrakter), dapat dilakukan parasentesis
abdomen, untuk mengambil cairan asites secara langsung dari rongga
perut. Pemeberian albumin intravena sebanyak 6-8 gram/liter secara
bersama-sama dengan LVP, dapat bermanfaat untuk mempertahankan
volum intravskuler dan mencegah disfungsi sirkulasi pascaparasentesis.
Pengobatan lain untuk refrakter adalah TPS (transjugular intravenous
portosystemic shunting) atau transplantasi hati (Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam,2015)
Spontaneous bacterial peritonitis
Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III
(Cefotaxime), secara parental selama lima hari, atau Qinolon secara oral.
Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk Profilaxis dapat diberikan
Norfloxacin (400mg/hari) selama 2-3 minggu ( Hakim Zain.L,2000).
Hepatorenal Sindrome
Sindroma ini dicegah dengan menghindari pemberian Diuretik
yang berlebihan, pengenalan secara dini setiap penyakit seperti gangguan
elekterolit, perdarahan dan infeksi. Penanganan secara konservatif dapat
dilakukan berupa : Ritriksi cairan,garam, potassium dan protein. Serta
menghentikan obat-obatan yang Nefrotoxic. Manitol tidak bermanfaat
bahkan dapat menyebabkan Asifosis intra seluler. Diuretik dengan dosis
yang tinggi juga tidak bermanfaat, dapat mencetuskan perdarahan dan
shock. TIPS hasil jelek pada Child’s C, dan dapat dipertimbangkan pada
pasien yang akan dilakukan transplantasi. Pilihan terbaik adalah
transplantasi hati yang diikuti dengan perbaikan dan fungsi ginjal ( Hakim
Zain.L,2000).
Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus
Kasus ini merupakan kasus emergensi sehingga penentuan etiologi
sering dinorduakan, namun yang paling penting adalah penanganannya
lebih dulu. Prrinsip penanganan yang utama adalah tindakan Resusitasi
sampai keadaan pasien stabil, dalam keadaan ini maka dilakukan : - Pasien
diistirahatkan daan dpuasakan - Pemasangan IVFD berupa garam
fisiologis dan kalau perlu transfusi - Pemasangan Naso Gastric Tube, hal
ini mempunyai banyak sekali kegunaannya yaitu : untuk mengetahui
perdarahan, cooling dengan es, pemberian obat-obatan, evaluasi darah
- Pemberian obat-obatan berupa antasida,ARH2,Antifibrinolitik,Vitamin
K, Vasopressin, Octriotide dan Somatostatin - Disamping itu diperlukan
tindakan-tindakan lain dalam rangka menghentikan perdarahan
misalnya Pemasangan Ballon Tamponade dan Tindakan Skleroterapi /
Ligasi aatau Oesophageal Transection ( Hakim Zain.L,2000).
Ensefalopati Hepatik
Suatu syndrome Neuropsikiatri yang didapatkan pada penderita
penyakit hati menahun, mulai dari gangguan ritme tidur, perubahan
kepribadian, gelisah sampai ke pre koma dan koma. Pada umumnya
enselopati Hepatik pada sirosis hati disebabkan adanya factor pencetus,
antara lain : infeksi, perdarahan gastro intestinal, obat-obat yang
Hepatotoxic. Prinsip penggunaan ada 3 sasaran : 1. mengenali dan
mengobati factor pencetua 2. intervensi untuk menurunkan produksi dan
absorpsi amoniak serta toxin-toxin yang berasal dari usus dengan jalan : -
Dier rendah protein - Pemberian antibiotik (neomisin) - Pemberian
lactulose/ lactikol 3. Obat-obat yang memodifikasi Balance Neutronsmiter
- Secara langsung (Bromocriptin,Flumazemil) - Tak langsung (Pemberian
AARS) ( Hakim Zain.L, 2000).
8. Pandangan Islam
Baru-baru ini banyak pembicaraan dan pertanyaan tentang vaksinasi anak-
anak dalam pandangan Islam, yakni vaksinasi campak, polio, hepatitis, gondok,
TBC dan vaksinasi jenis lainnya. Terlihat ada orientasi besar menentang vaksinasi
dan imunisasi, dengan alasan adanya komplikasi yang terjadi akibat vaksinasi
yang makin meningkat kasusnya. Juga bahwa vaksinasi ini adalah dharar dan
tidak boleh dikenakan kepada anak-anak kita yang sehat. Lagi pula, berobat itu
bukan fardhu, maka tak diragukan lagi imunisasi lebih-lebih lagi tidak fardhu.
Mereka menyatakan bahwa vaksinasi berarti memindahkan mikroba ke tubuh
anak dan ini adalah haram. Bahkan kadang vaksinasi itu diambil dari hewan-
hewan seperti monyet, misalnya. Begitulah alasan mereka (Al-Asqalani, 2000)
Pertanyaannya: apa realitas vaksinasi dan apa hukum syara’ tentangnya?
Apakah dalam Daulah al-Khilafah akan ada vaksinasi dengan berbagai jenisnya?
Perlu diketahui bahwa separo masyarakat Muslim di kami tidak memvaksinasi
anak-anak mereka dan jumlah mereka terus meningkat. Akhirnya hukum syara’
yang jelas dan kuat sangat dinanti. Mohon ada penjelasan dan uraian tentang itu,
sesuai yang bisa Anda berikan. Semoga Allah memberikan balasan yang lebih
baik kepada Anda dan kaum Muslimin (Al-Asqalani, 2000)
Vaksinasi adalah pengobatan. Berobat adalah mandub, bukan wajib.
Dalilnya adalah sebagai berikut:
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dari Nabi saw, beliau
bersabda:
Untuk setiap peyakit ada obatnya, dan jika obat itu mengenai penyakit, maka
sembuh dengan izin Allah azza wa jalla
Imam Ahmad telah meriwayatkan di dalam Musnadnya dari Abdullah bin
Mas’ud:
Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya, itu
diketahui oleh orang yang berilmu dan tidak diketahui oleh orang yang tidak
punya ilmunya
Hadits-hadits ini di dalamnya ada petunjuk bahwa setiap penyakit ada obat
yang menyembuhkannya. Hal itu agar menjadi dorongan untuk berusaha berobat
yang mengantarkan kepada sembuhnya penyakit itu dengan izin Allah. Ini adalah
anjuran dan bukan wajib (Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, 2006)
2. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Anas, ia berkata: Rasulullah saw
bersabda:
Abu Dawud telah meriwayatkan dari Usamah bin Syarik, ia berkata, “Aku datang
kepada Rasulullah saw dan para sahabat beliau seolah-olah kepala mereka seperti
burung. Lalu aku ucapkan salam lalu aku duduk. Lalu seorang Arab Baduwi
datang dari sini dan situ. Mereka berkata, “Ya Rasulullah apakah kita berobat?””
Rasul bersabda:
“Ada 70 ribu orang dari umatkku masuk surga tanpa hisab.” Mereka (para
sahabat) bertanya, “Siapakah mereka Ya Rasulullah?” Rasul menjawab,
“Mereka adalah orang-orang yang tidak melakukan kay dan tidak meminta minta
diruqyah (dijampi-jampi).”
“Aku sakit ayan dan aku tersingkap (auratku jika kambuh) maka berdoalah
kepada Allah untukku.” Rasul bersabda: “jika engkau mau engaku bersabar dan
untukmu surga, dan jika engkau mau aku berdoa kepada Allah agar
menyembuhkanmu.” Maka perempuan itu menjawab: “saya bersabar saja”. Lalu
ia melanjutkan: “saya tersingkap (auratku ketika aku kambuh) maka berdoalah
kepada Allah untukku agar aku tidak tersingkap.” Maka Rasul berdoa untuknya.”
STEP 7
Kesimpulan Hasil Diskusi:
Hepatitis B (penyakit kuning) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
hepatitis B yang merusak hati. Penyakit ini bisa menjadi kronis dan menimbulkan
pengerasan hati (Cirrhosis Hepatis), kanker hati (Hepato Cellular Carsinoma) dan
menimbulkan kematian. Infeksi pada anak biasanya tidak menimbulkan gejala.
Sirosis Hepatis merupakan perubahan struktur sel hati (fibrosis). Pentingnya
identifikasi dini terhadap gejala yang timbul (pemeriksaan fisik dan penunjang).
Merupakan penatalaksanan preventif segera dan tepat akan menurunkan resiko
komplikasi dan progresifitas penyakit. Kemampuan perawat klinik yang memadai
dalam memahami kondisi sirosis hepatis.
Daftar Pustaka
Lin S. M, Sheen IS, Chien RN, Chu CM, Liaw YF. Long-term beneficial
effect i interferon therapy in patients with chronic hepatitis B virus infection.
Hepatoloc 1999;29(3):971-5
Song BC, Suh DJ, Lee HC, Chung YH, Lee YS. Hepatitis B e antigen
seroconver, after lamivudine therapy is not durable in patients with chronic
hepatitis B in Ko Hepatology 2000;32 (4 Pt 1):803-6.