Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN TUTORIAL

SISTEM GASTROINTESTINAL, HEPATOBILIER, DAN PANKREAS

SKENARIO II

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1

Tutor :
Danny Irawan dr.,Sp.Pd

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2016
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan tutorial skenario 1 telah melalui konsultasi dan disetujui oleh Tutor
Pembimbing

Surabaya, 22September 2016


Pembimbing

Danny Irawan dr. , Sp.PD


KELOMPOK PENYUSUN

HIMAMI FIRDAUSYAH (6130014001)


ANDRIANI AGUSTIN (6130014002)
DINDA AYU PERMATASARI (6130014003)
M. RIZAL ZAKARIA ALWI (6130014004)
RIZKY PUTRI SABILLA Y. (6130014005)
IMAM FADLI (6130014006)
BAHTIAR NAWABIG H (6130014007)
SHINTA PARAMITHA PUTRI S. (6130014008)
MASTERIA CHOIRUNNISA (6130014009)
DEVI AFIANA PUTRI (6130014010)
Skenario II
Anda seorang petugas kesehatan yang sedang bertugas di IRD, memperoleh
seorang pasien, Tn.A, 56 tahun dengan keluhan badan kuning disertai warna BAK
yang kuning gelap seperti the sejak 4 hari yang lalu. Tidak didapatkan panas
badan pada pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien sering mengeluh badan terasa cepat lelah sejak 2 tahun yang lalu. Tidak
ada riwayat imunisasi sebelumnya. Pasien memiliki riwayat transfusi darah 5
tahun yang lalu. Tidak ada riwayat minum obat – obatan tertentu sebelumnya.
Riwayat narkoba –

Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum: sedang, GCS 456, T 120/80 mmHg, RR 88 kali permenit, RR 16
kali permenit, t 36,8 0C
Kepala / Leher : anemia ±, icterus +, cyanosis -, dyspnea –
Thoraks : spider navi +, pembesaran payudara +, lain – lain dbn
Abdomen : slight distended, shifting dullness +, H/L sulit dievaluasi, caput
medusa +, vena kolateral +
Ekstremitas : eritema palmaris +, akral hangat kering merah +, edema pitting +
pada kedua ekstremitas bawah

Pemeriksaan Laboratorium :
Hb 9,5 g% (N: 14 – 17,5 g/dL)
WBC 5.000/mm3 (N: 4.000-10.000/ mm3)
Trombo 100.000/mm3 (N: 150.000-300.000/ mm3)
Bilirubin Total 5,2 mg/ dl (N: 0,2-1,2 mg/dl)
Bilirubin Direct 4,6 mg/ dl (N: <0,3 mg/dl)
SGOT 340 IU/L (N:27-47 IU/L)
SGPT 200 IU/L (N:30-50 IU/L)
Alkaline Fosfatase 200 IU/L (N: 50-230 IU/L)
γ-GT 65 IU/L (<66 U/L)
HBsAg +
HBeAg +
UL : bilirubin +, Urobilin +

STEP 1
Identifikasi Kata Sulit :
1. Spider nevus/navi: lesi vascular non-neoplastikyang tersusun dari
arteri/arteriol melebar, radial sering berdenyut dan mengelilingi suatu central.
Dan sering terjadi pada pasien sirosis hepar.
2. Edema pitting: edema akan tetap cekung setelah adanya penekanan ringan
dengan ibu jari dn terlihat setelah terjadi retensi cairan ± 4,5 kg dari berat
badan normal.
3. γ-GT 65 IU/L (<66 U/L): satu enzim mikro somal yang bertambah banyak
pada pemakaian alcohol,

Kata Kunci :
 Usia 55 tahun  Caput medusa
 Badan kuning  Vena kolateral
 Warna BAK kuninggelap seperti  H/L sulit dievaluasi
teh sejak 4 hari  eritema palmaris + kronis
 Badan cepat lelah 2 th lalu  HBsAg +
 Riwayat transfusi darah 5 th lalu  HBeAg +
 Tidak minum obat tertentu  Bilirubin Total 5,2 mg/ dl
 Tidak imunisasi  Bilirubin Direct 4,6 mg/ dl
 Edema pitting  Hb 9,5 g%
 Spider navi  Trombo 100.000/mm3
 Gnyomastia  SGOT 340 IU/L
 Icterus + sklera  SGPT 200 IU/L
 Slight distended  UL : bilirubin +, Urobilin +
 Shifting dullnes
STEP 2
Identifikasi Masalah/Pertanyaan :
1. Bagaimana manifestasi klinis pada penyakit tersebut?
2. Bagaimana patofisiologi dari manifestasi klinis diatas?
3. Apa diagnosis dan different diagnosis dari scenario tersebut?
4. Bagaimana etiologi dan perjalanan klinis dari penyakit tersebut?
5. Bagaimana faktor resiko dari penyakit tersebut?
6. Bagaimana pemeriksaan yang dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis?
7. Bagaimana penatalaksanaan penyakit tersebut?
8. Bagaimana pandangan islam terhadap penyakit tersebut?

STEP 3
Jawaban Pertanyaan STEP 2 :
1. Bagaimana manifestasi klinis pada penyakit tersebut?
 Ikterus: badan kuning, BAK kuning gelap, sklera ikterik, bilirubin tinggi
& direct naik dan UL : bilirubin +, Urpbilin +
 Hepatitis B kronik: icterus, badan kuning, tidak imunisasi, badan cepat
lelah, dan riwayat transfusi darah. Eritema palmaris +, trombo
100.000/mm3, Gnyomastia, HBsAg, HBeAg, SGOT, SGPT, spider navi
dan slight distended.
 Asites: Slight distended, caput medusa, edema pitting, shifting dullnes,
vena kolateral dan H/L suli dievaluasi.
 Anemia: Hb 9,5 g% dan cepat lelah.
2. Bagaimana patofisiologi dari manifestasi klinis diatas?
 Icterus:
HB -Heme – Biliverdin
-Globin (protein)
Terjadi di RES (terbesar di lien)
Factor pre hepar: kelebihan pemecahan HB
Hepar
Post hepar: sumbatan di empedu
 Hepatitis B Kronis
Virus masuk – akut – dari akut ke kronis berapa %?
Vesikel: dari ibu ke janin
Horizontal : karena cairan tubuh
 Anemia
Perdarahn nodul, kurang bahan baku pembuat darah
 Asites
Fase prehepar, intra hepar, post hepar
3. Apa diagnosis dan different diagnosis dari scenario tersebut?
Diagnosis : Hepatitis B kronis dengan asites & anemia
Different diagnosis : Serosis, hepatitis B akut
4. Bagaimana etiologi dan perjalanan klinis dari penyakit tersebut?
Inveksi virus hepatitis B
5. Bagaimana faktor resiko dari penyakit tersebut?
Alkohol, transfuse, (-) imunisasi
6. Bagaimana pemeriksaan yang dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis?
USG, MRI
7. Bagaimana penatalaksanaan penyakit tersebut?
- Umum: Diet, pengobatan akupuntur
- Khusus: +medika mentosa: (-)Degenerative
(-)Kausativ
+operativ
- konsensus nasional hepatitis B
8. Bagaimana pandangan islam terhadap penyakit tersebut?
- Oleh karena masalah vaksinasi-imunisasi belum terjadi pada masa
Rasulullah, maka belum ada petunjuk sedikitpun tentan\g imunisasi.
Terhadap masalah yang bersifat kontemporer menjadi lapangan dan lahan
bagi para ulama untuk melakukan ijtihad menemukan solusi hukum
perkara tersebut haram atau halal, baik atau buruk, bermanfaat atau
berbahaya bagi kesehatan.
- Keharaman khamar ditegaskan dalam Al-Quran Surat Al-Maaidah ayat
90: ” Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya meminum khamar,
berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan anak
panah adalah perbuatan-perbuatan keji yang termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.

STEP 4
MIND MAPPING

Skenario

Riwayat Penyakit Sekarang Sekarang


Riwayat Penyakit dahulu Dahulu

Anemia
Manifestasi Klinis Ikterus
Hepatitis B
Asites

Diagnosis Banding

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis

Diagnosis Utama : Sirosis Hati


Diagnosis Tambahan : Asites, Hepatitis B kronis, Anemia

Etiologi Patofisiologi Komplikasi

Penatalaksanaan
Hipotesis akhir
Pasien menderita sirosis hati dengan komplikasi asites, hepatitis B kronik dan
anemia.

STEP 5
Learning Objective :
1. Mampu menjelaskan manifestasi klinis pada penyakit tersebut pada skenario.
2. Mampu menjelaskan patofisiologi dari manifestasi klinis diatas.
3. Mampu menjelaskan diagnosis dan different diagnosis dari scenario.
4. Mampu menjelaskan etiologi dan perjalanan klinis dari penyakit tersebut.
5. Mampu menjelaskanfaktor resiko dari penyakit tersebut.
6. Mampu menjelaskan pemeriksaan yang dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis.
7. Mampu menjelaskan penatalaksanaan penyakit tersebut.
8. Mampu menjelaskan pandangan islam terhadap penyakit tersebut.

STEP 6
Belajar Mandiri
1. Manifestasi klinis pada penyakit.
o Gejala
Gejala sirosis hati mirip dengan hepatitis, karena terjadi sama-sama di liver
yang mulai rusak fungsinya, yaitu: kelelahan, hilang nafsumakan, mual-mual,
badan lemah, kehilangan berat badan, nyeri lambung dan munculnya jaringan
darah mirip laba-laba di kulit (spider angiomas). Pada sirosis terjadi kerusakan
hati yang terus menerus dan ter jadi regenerasi noduler serta ploriferasi jaringan
ikat yang difus (Ganem,2004).
o Tanda Klinis
Tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu:
a. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita sirosis.

Timbulnya ikterus (penguningan) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia


sedang menderita penyakithati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika
liver sakit dan tidak bisa menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi penunjuk
beratnya kerusakan sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 % penderita selama
perjalanan penyakit.

b. Timbulnya asites dan edema pada penderita sirosis

Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air


menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen (ascites).Faktor utama asites adalah
peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus. Edema umumnya timbul
setelah timbulnya asites sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan resistensi garam
dan air.

c. Hati yang membesar

Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan kebawah. Hati


membesar sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek dan menimbulkan rasa nyeri
bila di tekan.

d. Hipertensi portal.

Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal yang


memetap di atas nilai normal. Penyebab hipertensi portal adalah peningkatan
resistensi terhadap aliran darah melalui hati (Arief,2012).

Hepatitis B kronik

Manifestasi klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut cenderung


ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa
adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya
menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat
(Juffrie et al, 2010).

Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu:

1. Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus.
Fase inkubasi Hepatitis B berkisarantara 15-180 hari dengan ratarata 60-90
hari.
2. Fase prodromal (praikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala
ikterus. Di tandai dengan malaise umum, mialgia, artalgia, mudah lelah
gejala saluran napas atas dan anoreksia. Diare atau konstipasi dapat terjadi.
Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap dikuadran kanan atas atau
epigastrum, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang
menimbulkan kolestitis.
3. Fase ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan
munculnya gejala.Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi. Setelah
timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan
terjadi perbaikan klinis yang nyata.
4. Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali
dan abnormalitas fungsi hati teta pada. Muncul perasaan sudah lebih sehat
dan kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan klinisnya
mungkin lebih sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi fulminan (Sudoyo
et al, 2009). Hepatitis B kronis di definisikan sebagai peradangan hati yang
berlanjut lebih dari enam bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit.

Perjalanan hepatitis B kronik dibagi menjadi tiga fase penting yaitu:


1. Fase Imunotoleransi
Sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga konsentrasi virus
tinggi dalam darah, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Virus
Hepatitis B berada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat
tinggi.
2. FaseImunoaktif (Clearance)
Sekitar 30% individu persisten dengan VHB akibat terjadinya replikasi
virus yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari
kenaikan konsentrasi ALT. Fase clearance menandakan pasien sudah mulai
kehilangan toleransi imun terhadap VHB.
3. Fase Residual
Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-
sel hati yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya
dapat menghilangkan sebagian besar partikel virus tanpa ada kerusakan sel
hati yang berarti. Fase residual ditandai dengan titer HBsAg rendah, HBeAg
yang menjadi negative dan anti-HBe yang menjadipositif, serta konsentrasi
ALT normal (Sudoyo et al, 2009).
2. Patofisiologi dari manifestasi klinis
Patofisiologi Ikterus
Ikterus terjadi karena adanya hiperbilirubinemia, yaitu keadaan dimana
konsentrasi bilirubin dalam darah sangat tinggi yang dapat disebabkan
peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi atau peningkatan bilirubin
terkonjugasi ataupun keduannya. Hiperbilirubinemia dan ikterus dapat timbul
sebagai hasil dari produksi bilirubin yang meningkat, penurunan kecepatan
penyerapan bilirubin oleh sel hati, gangguan konjugasi bilirubin dan gangguan
ekskresi bilirubin terkonjugasi. (Mansjoer, A, dkk, 2001)
1. Over produksi. Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah
merah yang sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan
produksi bilirubin. Penghancuran eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia
paling sering akibat hemolisis intravaskular (kelainan autoimun, mikroangiopati
atau hemoglobinopati) atau akibat resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang
timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer bilirubin
berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui
kemampuan sel hati. Pada keadaan ini peningkatan terjadi pada bilirubin tidak
terkonjugasi dalam plasma. Sebagai usaha tubuh untuk mengurangi kadar
bilirubin tidak terkonjugasi ini, penyerapan ke dalam sel hati, begitu pula ekskresi
bilirubin oleh sel hati meningkat. Hal ini mengakibatkan pembentukkan
urobilinogen meningkat sehingga peningkatan ekskresi dalam urine feces (warna
gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik : Hemoglobin abnormal (cickle sel
anemia hemoglobin), Kelainan eritrosit (sferositosis heriditer), Antibodi serum
(Rh. Inkompatibilitas transfusi), Obat-obatan.(Sanityoso A, dkk. 2009)
2. Penurunan kecepatan penyerapan bilirubin oleh sel hati. Pengambilan bilirubin
tak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan berikatan
dengan protein penerima. Pada keadaan ini kadar bilirubin tidak terkonjugasi
dalam plasma meningkat tetapi tidak terjadi peningkatan kadar urobilinogen
dalam urin. Beberapa kelainan genetik seperti sindrom Gilbert dan berbagai jenis
obat-obatan seperti asam flavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini.
3. Gangguan konjugasi bilirubin. Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga
terjadi peningkatan bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi
enzim glukoronil transferase. Apabila enzim glukoronil transferase sama sekali
tidak terdapat, maka konsentrasi bilirubin tidak terkonjugasi dalam darah akan
sangat tinggi. Selanjutnya karena bilirubin terkonjugasi tidak terbentuk, maka
tidak terdapat bilirubin terkonjugasi dalam empedu. Empedu menjadi tidak
berwarna, tinja berwarna pucat, tidak terdapat urobilinogen dalam urin. Terjadi
pada: Sindroma Crigler Najjar I, Sindroma Crigler Najjar II.(Sanityoso A, dkk.
2009)

4. Gangguan eksresi bilirubin ke dalam empedu (akibat disfungsi intrahepatik


atau obstruksi mekanik ekstrahepatik). Gangguan ekskresi bilirubin dapat
disebabkan oleh kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi
bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali
bilirubin terkonjigasi ke dalam sirkulasi sistemik sehingga timbul
hiperbilirubinemia. Bilirubin terkonjugasi larut dalam air dan akan dikeluarkan ke
dalam urin sehingga urin akan berwarna gelap. Sebaliknya tinja berwarna pucat
dan kadar urobilinogen dalam urin menurun. Kelainan hepatoseluler dapat
berkaitan dengan: reaksi obat, hepatitis alkoholik serta perlemakan hati oleh
alkohol. Ikterus pada trimester terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma Dubin
Johnson dan Rotor, Ikterus pasca bedah. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik
akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria.
Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi total
dapat disertai tinja yang alkoholik. Penyebab tersering obstruksi bilier
ekstrahepatik adalah: sumbatan batu empedu pada ujung bawah ductus koledokus,
karsinoma kaput pancreas, karsinoma ampula vateri, striktura pasca peradangan
atau operasi.(Sanityoso A, dkk. 2009)

MEKANISME TERJADINYA IKTERUS


Pembagian mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung
dalam 3 fase, yaitu prehepatik, intrahepatik, pascahepatik, masih relevan.
Pentahapan yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan
metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor
plasma, liver uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier. Ikterus disebabkan oleh
gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.
(Sanityoso A, dkk. 2009)
 Fase Prahepatik
a. Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan oleh
hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah).
(Sanityoso A, dkk. 2009)
b. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar
4 mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari
pemecahan sel darah merah yang matang, sedangkan sisanya 20-30%
berasal dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam sumsum
tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan
penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.
c. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak
terkojugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan
tidak dapat melalui membran gromerolus, karenanya tidak muncul dalam
air seni.
 Fase Intrahepatik
a. Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada
hati yang mengganggu proses pembuangan bilirubin. (Sanityoso A, dkk.
2009)
b. Liver uptake. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan
berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.
c. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida /
bilirubin konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi
merupakan bilirubin yang tidak larut dalam air kecuali bila jenis bilirubin
terikat sebagai kompleks dengan molekul amfipatik seperti albumin.
Karena albumin tidak terdapat dalam empedu, bilirubin harus
dikonversikan menjadi derivat yang larut dalam air sebelum
diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh
konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga terbentuk bilirubin
glukuronid / bilirubin terkonjugasi / bilirubin direk.
 Fase Pascahepatik
a. Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati
oleh batu empedu atau tumor.
b. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus
bersama bahan lainnya. Di dalam usus, flora bakteri mereduksi bilirubin
menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam
tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan
kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai air seni
sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan bilirubin konjugasi
tetapi tidak bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni
yang gelap khas pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik.
Gangguan metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat salah satu dari
keempat mekanisme ini: over produksi, penurunan ambilan hepatik,
penurunan konjugasi hepatik, penurunan eksresi bilirubin ke dalam
empedu (akibat disfungsi intrahepatik atau obstruksi mekanik
ekstrahepatik). (Sanityoso A, dkk. 2009)

A. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek


1. Over Produksi
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang
sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi bilirubin.
Penghancuran eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling sering akibat
hemolisis intravaskular (kelainan autoimun, mikroangiopati atau
hemoglobinopati) atau akibat resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang timbul
sering disebut ikterus hemolitik.
Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin
tak terkonjugasi/indirek melampaui kemampuan sel hati. Akibatnya bilirubin
indirek meningkat dalam darah. Karena bilirubin indirek tidak larut dalam air
maka tidak dapat diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria.
Tetapi pembentukkan urobilinogen meningkat yang mengakibatkan peningkatan
ekskresi dalam urine feces (warna gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik :
hemoglobin abnormal (cickle sel anemia), kelainan eritrosit (sferositosis
heriditer), antibodi serum (Rh. Inkompatibilitas transfusi), dan malaria tropika
berat.(Sanityoso A, dkk. 2009)

2. Penurunan Ambilan Hepatik


Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya
dari albumin dan berikatan dengan protein penerima. Beberapa obat-obatan
seperti asam flavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini.

3. Penurunan Konjugasi Hepatik


Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan bilirubin
tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil
transferase. Terjadi pada : Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler Najjar I,
Sindroma Crigler Najjar II.

B. Hiperbilirubinemia konjugasi/direk
Hiper bilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan eksresi
bilirubin ke dalam empedu.Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh
kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi
oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi
sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat
berkaitan dengan : Hepatitis, sirosis hepatis, alkohol, leptospirosis, kolestatis obat
(CPZ), zat yg.meracuni hati fosfor, klroform, obat anestesi dan tumor hati
multipel. Ikterus pada trimester terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma
Dubin Johnson dan Rotor, ikterus pasca bedah. Obstruksi saluran bilier
ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai
bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial.
(Mansjoer, A, dkk, 2001)
Obstruksi total dapat disertai tinja yang akolik. Penyebab tersering
obstruksi bilier ekstrahepatik adalah :
-          Obstruksi sal.empedu didalam hepar
Sirosis hepatis, abses hati, hepatokolangitis, tumor maligna primer dan sekunder.
-          Obstruksi didalam lumen sal.empedu : batu empedu, askaris
-          Kelainan di dinding sal.empedu : atresia bawaan, striktur traumatik, tumor
saluran empedu.
-          Tekanan dari luar saluran empedu :
Tumor caput pancreas, tumor Ampula Vatery, pancreatitis, metastasis tumor di
lig.hepatoduodenale.

3. Patofisiologi Hepatitis B Kronik

Ada 3 fase penting dalam perjalanan penyakit Hepatitis B Kronik yaitu fase
imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase imune clearance, dan fase nonreplikatif
atau fase residual. (Sanityoso A, dkk. 2009)
Pada masa anak-anak atau pada masa dewasa muda, sistem imun tubuh toleran
terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian
tingginya, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan itu
VHB ada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg
positif, anti-Hbe negatif, titer DNA VHB tinggi dan konsentrasi ALT yang relatif
normal. Fase ini disebut fase imunotoleransi. (Sanityoso A, dkk. 2009)
Pada fase imunotoleransi sangat jarang terjadi serokonversi HbeAg secara
spontan, dan terapi untuk menginduksi serokonversi HbeAg tersebut biasanya
tidak efektif. Pada sekitar 30% individu dengan persistensi VHB akibat terjadinya
replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak
dari kenaikan konsentrasi ALT. Pada keadaan ini pasien mulai kehilangan
toleransi imun. Fase ini disebut fase imunoaktif atau immune clearance. Pada fase
ini tubuh berusaha menghancurkan yang menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang
terinfeksi.(Sanityoso A, dkk. 2009)
Pada fase imunoaktif serokonversi HbeAg baik secara spontan maupun
karena terapi lebih sering. Sisanya, sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya
dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB tanpa kerusakan sel hati yang
berarti. Pada keadaan ini HbsAg rendah dengan HbeAg yang menjadi negatif dan
anti-HBe yang menjadi positif secara spontan, konsentrasi ALT yang normal,
yang menandai terjadinya fase nonreplikatif atau fase residual. Sekitar 20-30%
pasien Hepatitis B Kronik dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan
menyebabkan kekambuhan. (Sanityoso A, dkk. 2009).

4. Patofisiologi Asites
Asites adalah penimbunan cairan yang abnormal di rongga peritoneum.
Asites dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, namun yang terutama adalah
sirosis hati dan hipertensi porta.Patofisiologi asites belum sepenuhnya dipahami
dan diduga melibatkan beberapa mekanismesekaligus. Mekanisme-mekanisme itu
menganut beberapa teori. Teori itu misalnya underfilling, overfilling, dan
periferal vasodilatation. Menurut teori underfilling asites dimulai dari valome
cairan plasma yang menurun akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Teori
overfilling mengatakan bahwa asites dimulai dari ekspansi cairan plasma akibat
reabsorpsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi akibat peningkatan aktifitas
hormon-anti diuretik (ADH) dan penurunan hormon natriuretik karena penurunan
fungsi hati. Teori yang diterima saat ini ialah teori vasodilatasi perifer.Sirosis
(pembentukan jaringan parut) di hati akan menyebabkan vasokonstriksi dan
fibrotisasi sinusoid. Akibatnya terjadi peningkatan resistensi sistem porta yang
berujung kepada hipertensi porta. Hipertensi porta ini dibarengi dengan
vasodilatasi splanchnic bed (pembuluh darahsplanknik) akibat adanya vasodilator
endogen (seperti NO, calcitone gene related peptide,endotelin dll). (Sanityoso A,
dkk. 2009)
Dengan adanya vasodilatasi splanchnic bed tersebut, maka akan
menyebabkan peningkatan aliran darah yang justru akan membuat hipertensi porta
menjadi semakin menetap.(Sanityoso A, dkk. 2009)
Hipertensi porta tersebut akan meningkatkan tekanan transudasi terutama di
daerah sinusoid dankapiler usus. Transudat akan terkumpul di rongga peritoneum
dan selanjutnya menyebabkanasites.Selain menyebabkan vasodilatasi splanchnic
bed , vasodilator endogen juga akan mempengaruhisirkulasi arterial sistemik
sehingga terjadi vasodilatasi perifer dan penurunan volume efektif darah
(underfilling relatif) arteri. Sebagai respons terhadap perubahan ini, tubuh
akanmeningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik dan sumbu sistem renin-
angiotensin-aldosteronserta arginin vasopressin. Semuanya itu akan meningkatkan
reabsorbsi/penarikan garam (Na)dari ginjal dan diikuti dengan reabsorpsi air
(H20) sehingga menyebabkan semakin banyak cairan yang terkumpul di rongga
tubuh.(Sanityoso A, dkk. 2009)

5. Patofisiologi Anemia
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum atau kehilangan
sel darah merah secara berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum dapat
terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor atau kebanyakan
akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui
perdarahan atau hemplisis (destruksi), hal ini dapat akibat defek sel darah merah
yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah yang menyebabkan destruksi
sel darah merah.(Sanityoso A, dkk. 2009)
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau dalam
sistem retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa. Hasil samping proses
ini adalah bilirubin yang akan memasuki aliran darah. Setiap kenaikan destruksi
sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan peningkatan bilirubin
plasma (konsentrasi normal ≤ 1 mg/dl, kadar diatas 1,5 mg/dl mengakibatkan
ikterik pada sclera).
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, (pada
kelainan hemplitik) maka hemoglobin akan muncul dalam plasma
(hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas
haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk mengikat
semuanya, hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal dan kedalam urin
(hemoglobinuria).
Kesimpulan mengenai apakah suatu anemia pada pasien disebabkan oleh
penghancuran sel darah merah atau produksi sel darah merah yang tidak
mencukupi biasanya dapat diperleh dengan dasar:
1. Hitung retikulosit dalam sirkulasi darah;
2. Derajat proliferasi sel darah merah muda dalam sumsum tulang dan cara
pematangannya, seperti yang terlihat dalam biopsi; dan ada tidaknya
hiperbilirubinemia dan hemoglobinemia.

6. Patofisiologi Sirosis Hepatis

Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cidera kroniki-reversibel pada parenkim


hati disertai timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cidera fibrosis),
pembentukan nodul degeneratif ukuran mikronodul sampai makronodul. Hal ini
sebagai akibat adanya nekrosis hepatosit, kolapsnya jaringan penunjang retikulin,
disertai dengan deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular berakibat
pembentukan vaskular intrahepatik antara pembuluh darah hati aferen (vena porta
dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika), dan regenerasi nodular parenkim
hati sisanya.
Terjadinya fibrosis hati disebabkan adanya aktivitas dari sel stellate hati.
Aktivasi ini dipicu oleh faktor pelepasan yang dihasilkan hepatosit dan sel
Kupffer. Sel stellatemerupakan sel penghasil utama matrix ekstraseluler (ECM)
setelah terjadi cedera pada hepar. Pembentukan ECM disebabkan adanya
pembentuk jaringan mirip fibroblast yang dihasilkan sel stellate dan dipengaruhi
oleh beberapa sitokin seperti transforming growth factor beta (TGF-beta) dan
tumor necrosis factors (TNF alfa) (Lindseth, Glenda N. 2009).
Deposit ECM di space of Disse akan menyebabkan perubahan bentuk dan
memacu kapilarisasi pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid kemudian mengubah
pertukaran normal aliran vena porta dengan hepatosit, sehingga material yang
seharusnya dimetabolisasi oleh hepatosit akan langsung masuk ke aliran darah
sistemik dan menghambat material yang diproduksi hati masuk ke darah. Proses
in akan menimbulkan hipertensi portal dan penurunan fungsi hepatoselular
(Lindseth, Glenda N. 2009).
Mekanisme terjadinya proses yang berlangsung terus mulai dari hepatitis virus
menjadi Sirosis Hepatis belum jelas. (Lindseth, Glenda N. 2009)

Patogenesis yang mungkin terjadi yaitu :


a)      Mekanis
Pada daerah hati yang mengalami nekrosis konfluen, kerangka retikulum
lobul yang mengalami kolaps akan berlaku sebagai kerangka untuk terjadinya
daerah parut yang luas. Dalam kerangka jaringan ikat ini, bagian parenkim hati
yang bertahan hidup berkembang menjadi nodul regenerasi.
b)      Immunologis
Sirosis Hepatis dikatakan dapat berkembang dari hepatitis akut jika
melalui proses hepatitis kronik aktif terlebih dahulu. Mekanisme imunologis
mempunyai peranan penting dalam hepatitis kronis. Ada 2 bentuk hepatitis kronis:
1. Hepatitis kronik tipe B
2. Hepatitis kronik autoimun atau tipe NANB
Proses respon imunologis pada sejumlah kasus tidak cukup untuk
menyingkirkan virus atau hepatosit yang terinfeksi, dan sel yang mengandung
virus ini merupakan rangsangan untuk terjadinya proses imunologis yang
berlangsung terus sampai terjadi kerusakan sel hati.
Dari kasus-kasus yang dapat dilakukan biopsy hati berulang pada
penderita hepatitis kronik aktif ternyata bahwa proses perjalanan hepatitis kronis
bisa berlangsung sangat lama. Bisa lebih dari 10 tahun.
c)      Kombinasi keduanya
Selain itu, Ada 2 faktor yang mempengaruhi terbentuknya asites pada
penderita Sirosis Hepatis, yaitu :
1. Tekanan koloid plasma yang biasa bergantung pada albumin di dalam
serum. Pada keadaan normal albumin dibentuk oleh hati. Bilamana hati
terganggu fungsinya, maka pembentukan albumin juga terganggu, dan
kadarnya menurun, sehingga tekanan koloid osmotic juga berkurang.
Terdapatnya kadar albumin kurang dari 3 gr % sudah dapat merupakan
tanda kritis untuk timbulnya asites.
2. Tekanan vena porta. Bila terjadi perdarahan akibat pecahnya varises
esophagus, maka kadar plasma protein dapat menurun, sehingga tekanan
koloid osmotic menurun pula, kemudian terjadilah asites. Sebaliknya bila
kadar plasma protein kembali normal, maka asitesnya akan menghilang
walaupun hipertensi portal tetap ada (Sujono Hadi). Hipertensi portal
mengakibatkan penurunan volume intravaskuler sehingga perfusi ginjal pun
menurun. Hal ini meningkatkan aktifitas plasma rennin sehingga aldosteron
juga meningkat. Aldosteron berperan dalam mengatur keseimbangan
elektrolit terutama natrium .dengan peningkatan aldosteron maka terjadi
terjadi retensi natrium yang pada akhirnya menyebabkan retensi cairan.
(Lindseth, Glenda N. 2009)

3. Diagnosis banding dan Diagnosis

Diagnosis Banding ( Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam


Indonesia,2014) :

Hepatitis B Hepatitis B Sirosis


Skenario Kolesistitis
Akut Kronis Hati
Tidak imunisasi - √ √ √
Riwayat transfusi darah - √ √ √
Spider Nevi - √ √ √
Eritema palmaris - √ √ √
Trombosit 100.000/mm3
- - - √
(turun)
Vena kolateral - - - √
Genycomastia - - - √
Ikterus
Badan kuning √ √ √ √
BAK kuning gelap √ √ √ √
Sklera ikterus √ √ √ √
Bilirubin total 5,3 mg/dl
√ √ √/- √
(naik)
Bilirubin direk 4,6
√ √ √/- √
mg/dl (naik)
Urine lengkap terdapat
√ √ √ √
bilirubin dan urobilin
Asites
Slight distended - - - √
Edema pitting - - - √
Shifting dullnes - - - √
Caput medusa - - - √
Hepar / lien sulit elevasi - √ √ √
Anemia
Badan cepat lelah √ √ √ √
Hb 9,5 g% (anemis) - √ √ √
Laboratorium
Hbs Ag + - - √ √
Hbe Ag + - - √/- √
SGOT 340 IU/l (9 kali
- - √ √
N)
SGPT 200 IU /l (5 kali
√ - √ √
N)
γ-GT 65 IU /l (naik) - - √ √
Fosfatase alkali 200 IU/l
√ √ √ √
(naik)

Diagnosis

Diagnosis utama dari skenario adalah sirosis hati dengan komplikasi asites dan
diagnosis tambahannya adalah hepatitis B kronik.
Hepatitis kronik terdiri atas: 1). Hepatitis kronik persisten, 2). Hepatitis kronik
aktif, 3). Sirosis hati.1 Pada skenario pasien yang mulanya terkena hepatitis B
kronik, saat mejalani pemeriksaan telah mengalami sirosis hati. Pada sirosis hati
akan ditemukan peningggian SGOT dan SGPT yang sangat bervariasi. Umumnya
akan didapatkan gamma GT lebih tinggi dari SGOT, namun tidak selalu demikian
seperti pada kasus. Perbandingan antara SGOT dan SGPT arau rasio de Ritis
biasanya diatas 1, dan teori ini sesuai dengan rasio de Ritis pada skenario yang
mencapai 1,7. Pada sirosis hati enzim kolinesterase akan menurun apabila
kerusakan hati makin berat. Enzim untuk pembekuan darah juga akan menurun
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2014)

Pengujian laboratorium yang digunakan dalam skenario adalah tes fungsi


biokimia pada hati. Tes fungsi biokimia hati yang digunakandibagi dalam
beberapa bagian: 1). Enzim yang berhubungan dengan kerusakan sel seperti uji
serum enzim SGOT dan SGPT, 2). Enzim yang berhubungan dengan penanda
kolestasis seperti Fosfatase alkali dan Gamma GT. Pemeriksaan laboratorium
untuk mendukung diagnosis adalah Uji Eksresi empedu pada bilirubin (yaitu tes
bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin urin), Uji Hbs Ag dan Hbe Ag, serta
pemeriksaan darah (yaitu Hb, leukosit, trombosit) (Price,2005).

Uji serum enzim serum glutamic oxsaloasetic transaminase (SGOT) dan


serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT) merupakan enzim intrasel yang
terutama berada di jantung, hati, dan jaringan skelet. Nilai normal dari SGOT
adalah 5-40 IU/ l, sedangkan SGPT adalah 5-35 UI /l. Enzim ini meningkat sesuai
inflamasi atau nekrosis (jaringan rusak atau terjadi perubahan permeabilitas sel)
dan meningkat pada kerusakan sel hati atau keadaan lain, seperti infark
miokardium. Biasanya rasio keduanya digunakan untuk mengukur kecenderungan
suatu penyakit seperti hepatitis alkoholik. Dalam menilai kelainan enzim kita
harus berhati-hati oleh karena seringkali tidak terdapat hubungan atara tingginya
kadar enzim dengan derajat kerusaan yang terjadi. Pada hepatitis akut, meskipun
kerusakan hati yang terjadi sedikit, peninggian enzimnya bisa sangat hebat. Pada
keadaan infeksi akut tersebut terlihat mencolok penginggian SGOT. Apabila
terjadi kerusakan mitokondria atau parenkim sel maka yang terlihat meninggi
adalah SGOT dibandingkan SGPT. Berbeda dengan keadaan pada hepatitis kronis
yang telah dijelaskan sebelumnya. Fosfatase alkali dan gamma GT biasanya
meningkat bersamaan pada kolestasis, obstruksi bilier atau infiltrasi hepatik.
Fosfatase alkali juga diproduksi oleh tulang, hati, ginjal, usus halus, dan di
ekskresikan ke dalam empedu, selain itu kadarnya juga meningkat pada penyakit
tulang dan metastis hati (Price,2005).

Uji ekskresi empedu digunakan untuk menguur kemampuan hati untuk


mengonjugasi dan mengekskresi pigmen empedu. Uji bilirubin serum direk
meningkat bila terjadi gangguan ekskresi bilirubin terkonjugasi, dengan nilai
normal 0,1-0,3 mg/dl. Uji serum indirek meningkatkan pada keadaan hemolitik
dan sindrom Gilbert, dengan nilai normal 0,2-0,7 mg/dl. Sedangkan uji serum
total memiliki nilai normal 0,3-1,0 mg/dl, dimana uji bilirubin serum direk dan
total meningkat pada penyakit hepatoseluler.2 Pada uji bilirubin urine normalnya
tidak ditemukan, namun pada skenario terdapat bilirubin. Bilirubin terkonjugasi
dieskresi dalam urinebila kadarnya meningkat dalam serum, mengesankan adanya
obstruksi sel hati atau empedu, atau peradangan. Dan penampilan klinisnya
berupa urine yang berwarna kecoklatan. Pada uji urobilinogen urine juga
didapatkan hasil positif dimana normalnya sekitar 1,0-3,5 mg/24 jam. Hasil
berkurang pada gangguan ekskresi empedu, juga gangguan hati, obstruksi
empedu, atau peradangan. Dan meningkat bila jumlah yang dihasilkan melampaui
kemampuan hati untuk mengekskresikan kembali (Price,2005)

Pada kompenen virus hepatitis B memiliki cincin DNA sirkular yang tidak
lengkap dalam partikel inti (HbcAg) yang dikelilingi oleh suatu lapisan protein
permukaan (HbsAg), serta mengandung antigen “e” (HbeAg). Sehingga
interpretasi dari uji HbsAg yang positif adalah terdapat hepatits B akut atau
hepatitis B kronik yang mengalami serbasi akut, namun jika hasil IgM anti-HBc
negatif maka interpretasinya hepatitis B kronik. Sedagkan HbeAg memiliki
interpretasi daya infeksi yang tinggi (Price,2005).

4. Etiologi dan perjalanan klinis


Etiologi:
a. Sirosis hati
Penyebab utama sirosis
1. Hepatitis C Kronis (26%)
2. Penyakit Alkoholik hati (21%)
3. Penyebab kriptogenik (18%)*
4. Hepatitis B ± Hepatitis D (15%)
5. Penyebab lain : Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkohol, Hemokromatosis,
Penyakit Wilson, Defisiensi α-1-antitripsin, Hepatitis autoimun, SH Bilier
Primer, SH Bilier Sekunder, Kolangitis Sklerosing Primer, Sindroma Budd-
Chiari (Buku ajar Ilmu penyakit Dalam fakultas kedokteran Unair, 2015).
b. Hepatitis B kronis
Hepatitis B kronis merupakan infeksi berkelanjutan dari virus hepatitis B
(VHB), sebuah virus DNA dari keluarga Hepadnaviridae dengan struktur virus
berbentuk sirkular dan terdiri dari 3200 pasang basa . VHB tidak bersifat sitopatik
(Buku ajar Ilmu penyakit Dalam fakultas kedokteran Unair, 2015).

Perjalanan klinis hepatitis B kronis.

Infeksi VHB akan menyebabkan hepatitis B akut yang kemudian sembuh


secara spontan dan membentuk kekebalan terhadap penyakit ini dan biasanya hal
ini akan dicapai maksimal dalam waktu 6 bulan atau berkembang menjadi kronis
dengan segala akibatnya (Buku ajar Ilmu penyakit Dalam fakultas kedokteran
Unair, 2015).
Pasien yang terinfeksi VHB secara kronis bisa mengalami 4 fase penyakit
yaitu fase immuno tolerant, fase immuno clearance, fase pengidap inaktif dan fase
reaktivasi. Pasien tidak harus secara berurutan mengalami fase penyakit ini (Buku
ajar Ilmu penyakit Dalam fakultas kedokteran Unair, 2015).
Fase immune tolerance ditandai dengan keberadaan HBeAg, kadar HBV
DNA yang tinggi, kadar ALT yang normal dan gambaran histologi hati yang
normal atau perubahan minimal. Pada fase ini, yang dapat berlangsung 1 sampai 4
dekade serokonversi spontan atau karena pengobatan sangat jarang terjadi (< 5% /
tahun ) (Konsensus PPHI , 2006).

Fase immune clearance ditandai dengan keberadaan HBeAg, kadar HBV


DNA yang tinggi atau berfluktuasi, kadar ALT yang meningkat dan gambaran
histologi jaringan hati menunjukkan keradangan yang aktif. Hal penting sebagai
outcome dari fase immune clearence adalah terjadinya serokonversi HBeAg
menjadi Anti HBeAg (Konsensus PPHI , 2006).

Fase inactive HBsAg carrier state ditandai dengan HBeAg yang negatif, Anti
HBe positif, kadar HBV DNA yang rendah atau tidak terdeteksi (< 100.000
lU/mL), gambaran histologi hati menunjukkan fibrosis hati yang minimal atau
hepatitis yang ringan. Lama fase ini tidak dapat dipastikan, dan menunjukkan
prognosis yang baik bila cepat dicapai oleh seseorang penderita. Beberapa
penderita pada fase ini masih dapat mengalami reaktivasi (Konsensus PPHI ,
2006).
Fase keempat yaitu reactivation of HBV DNA replication /HBeAg negative
chronic hepatitis B ditandai dengan HBeAg negatif, Anti HBe positif, kadar HBV
DNA yang positif atau dapat dideteksi, kadar ALT yang meningkat serta
gambaran histologi hati menunjukkan proses nekro inflamasi yang aktif.
Perjalanan penyakit hepatitis B kronik yang HBeAg negatif dengan HBV DNA
positif di wilayah Asia-Pasifik masih belum banyak diteliti, namun reaktivasi
hepatitis dan progresivitas penyakit memang terjadi. Derajat beratnya penyakit,
luas, lama dan frekuensi perubahan lobulus hati selama reaktivasi hepatitis
cenderung untuk menentukan hasil akhir penyakit dan pembersihan HBV
(Konsensus PPHI , 2006).

5. Faktor Resiko Penyebab Sirosis Hati dan Hepatitis B Kronik


A. Faktor resiko sirosis hati
Penyebab pasti dari sirosis hati sampai sekarang belum jelas, tetapi sering
disebutkan antara lain:
a. Faktor Kekurangan Nutrisi
Menurut Spellberg, Shiff (1998) bahwa di negara Asia faktor gangguan
nutrisi memegang penting untuk timbulnya sirosis hati. Dari hasil laporan Hadidi
dalam simposium Patogenesis sirosis hati di Yogyakarta tanggal 22 Nopember
1975, ternyata dari hasil penelitian makanan terdapat 81,4 % penderita
kekurangan protein hewani , dan ditemukan 85 % penderita sirosis hati yang
berpenghasilan rendah, yang digolongkan ini ialah : pegawai rendah, kuli-ku \li,
petani, buruh kasar, mereka yang tidak bekerja, pensiunan pegawai rendah
menengah.

b. Hepatitis Virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab
sirosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumbergpada
tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka diduga
mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa selhati sehingga terjadi
sirosis. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak
mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta
menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A
(Guntur,2007).
c. Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan berakibat
nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis
hati. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah alkohol.
d. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan , biasanya terdapat pada orang-
orang muda dengan ditandai sirosis hati, degenerasi basal ganglia dari otak, dan
terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut Kayser
Fleischer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan defesiensi bawaan dari
seruloplasmin. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, mungkin ada
hubungannya dengan penimbunan tembaga dalam jaringan hati.
e. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu:
1. Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
2. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai pada
penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe,
kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hati.
f. Sebab-Sebab Lain
1. Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis
kardiak.Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap reaksi dan
nekrosis sentrilobuler.
2. Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu
akan dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak
dijumpai pada kaum wanita.
3. Penyebab sirosis hati yang tidak diketahui dan digolongkan dalam sirosis
kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris.Dari data yang ada di
Indonesia Virus Hepatitis B menyebabkan sirosis 40-50% kasus, sedangkan
hepatitis C dalam 30-40 % . sejumlah 10-20% penyebabnya tidak diketahui
dan termasuk disini kelompok virus yang bukan B atau C.
7. Faktor penyebab sirosis hati menurut (Saputra.2014)
1. Akoholisme
2. Defisiensi α1 –anti tripsin
3. Obstruksi bilier
4. Sindroma Budd-Chiari
5. Hemokromatosis
6. Hepatitis
7. Penyakit Wilson

B. Faktor resiko hapatitis B kronik

Cara utama penularan VHB adalah melalui parenteral dan menembus


membranmukosa, terutama berhubungan seksual (Price & Wilson, 2012).
Penanda HBsAg telah diidentifikasi pada hampir setiap cairan tubuh dari orang
yangterinfeksi yaitu saliva, air mata,cairan seminal, cairan serebrospinal, asites,
danair susu ibu.Beberapa cairan tubuh ini (terutama semen dan saliva)
telahdiketahui infeksius (Thedja, 2012).
Jalur penularan infeksi VHBdi Indonesiayang terbanyak adalah secara
parenteral yaitu secara vertikal (transmisi) maternal-neonatal atau
horisontal(kontak antar individu yang sangat erat dan lama, seksual,
iatrogenik,penggunaan jarum suntik bersama). VirusHepatitis Bdapat dideteksi
padasemua sekret dan cairan tubuh manusia, dengan konsentrasitertinggi
padaserum (Juffrieet al, 2010).

Faktor resiko hepatitis kronik adalah :

1. Tranfusi darah
2. Transplantasi organ
3. Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif
4. Lingkungan penderita dengan HBsAg positif terutama anggota keluarga
yang
selalu berhubungan langsung
5. Hubungan seksual yang promiskus mempunyai resiko tinggi khususnya
pria homoseksual

6. Pemriksaan yang dilakukan

Diagnosis, pemeriksaan laboratorium, untuk menilai penyakit hati. Pemeriksaan


tersebut antara lain:
Pemeriksaan Fisik
a. Tampak lemah
b. Peningkatan suhu, peningkatan tekanan darah (bila ada kelebihan cairan)
c. Sclera ikterik, konjungtiva anemis
d. Distensi vena jugularis dileher
e. Dada :
1) Ginekomastia (pembesaran payudara pada laki-laki)
2) Penurunan ekspansi paru
3) Penggunaan otot-otot asesoris pernapasan
4) Disritmia, gallop
5) Suara abnormal paru (rales)
f. Abdomen :
1) Perut membuncit, peningkatan lingkar abdomen
2) Penurunan bunyi usus
3) Ascites/ tegang pada perut kanan atas, hati teraba keras
4) Nyeri tekan ulu hati
g. Urogenital :
1) Atropi testis
2) Hemoroid (pelebaran vena sekitar rektum)
h. Integumen :
Ikterus, palmar eritema, spider naevi, alopesia, ekimosis
i. Ekstremitas :
Edema, penurunan kekuatan otot
Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium
1) Darah lengkap
Hb/ Ht dan SDM mungkin menurun karena perdarahan. Kerusakan SDM dan
anemia terlihat dengan hipersplenisme dan defisiensi besi. Leukopenia mungkin
ada sebagai akibat hiperplenisme.
2) Kenaikan kadar SGOT, SGPT
3) Albumin serum menurun
4) Pemeriksaan kadar elektrolit : hipokalemia
5) Pemanjangan masa protombin
6) Glukosa serum : hipoglikemi
7) Fibrinogen menurun
8) BUN meningkat
b. Pemeriksaan diagnostik
1) Radiologi
Dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi hipertensi portal.
2) Esofagoskopi
Dapat menunjukkan adanya varises esofagus.
3) USG
4) Angiografi
Untuk mengukur tekanan vena porta.
5) Skan/ biopsi hati
Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati.
6) Partografi transhepatik perkutaneus
Memperlihatkan sirkulasi sistem vena portal.

7. Penatalaksanaan
 PREVENTIF
Upaya preventif merupakan hal terpenting karena merupakan upaya yang
paling cost-effective. Secara garis besar, upaya preventif dibagi dua yaitu upaya
yang bersifat umum dan upaya yang lebih spesifik (imunisasi HBV).
Kebijakan Preventif Umum
1. Uji tapis donor darah dengan uji diagnostik yang sensitif.
2. Sterilisasi instrumen secara adekuat-akurat. Alat dialisis digunakan secara
individual. Untuk pasien dengan HVB disediakan mesin tersendiri. Jarum
disposable dibuang ke tempat khusus yang tidak tembus jarum.
3. Tenaga medis senantiasa mempergunakan sarung tangan.
4. Perilaku seksual yang aman.
5. Penyuluhan agar para penyalah guna obat tidak memakai jarum secara
bergantian
6. Mencegah kontak mikrolesi, menghindar dari pemakaian alat yang dapat
menularkan HVB (sikat gigi, sisir), berhati-hati dalam menangani luka
terbuka.
7. Skrining ibu hamil pada awal dan pada trimester ke-3 kehamilan, terutama
ibu yang berisiko terinfeksi HVB. Ibu hamil dengan HVB (+) ditangani
terpadu. Segera setelah lahir bayi di-imunisasi aktif dan pasif terhadap
HVB.
8. Skrining populasi risiko tinggi tertular HVB (lahir di daerah hiperen-
demis, homoseksual, heteroseksual, pasangan seks berganti-ganti, tenaga
medis, pasien diálisis, keluarga dari penderita HVB kronis, kontak seksual
dengan penderita HVB).

Kebijakan Preventif Khusus


Pelaksanaan program imunisasi pada bayi di negara endemis tinggi
berhasil menurunkan prevalensi infeksi HBV dan KHS (karsinoma hepatoseluler)
seperti di Taiwan, Gambia, Alaska, dan Polynesia. Implementasi imunisasi bayi
secara rutin akan menyebabkan terbentuknya imunitas terhadap infeksi HBV di
populasi luas serta menurunkan risiko transmisi ke kelompok lainnya.
IMUNISASI PASIF
Hepatitis B immune globulin (HBIg) dibuat dari plasma yang mengandung
anti HBs titer tinggi (> 100000 lU/ml) sehingga dapat memberikan proteksi secara
cepat meskipun hanya untuk jangka waktu yang terbatas (3-6 bulan). Pada orang
dewasa, HBIg diberikan dalam waktu 48 jam pasca paparan HBV. Pada bayi dari
ibu pengidap HBV, HBIg diberikan seyogyanya bersamaan dengan vaksin HBV
di sisi tubuh berbeda dalam waktu 12 jam setelah lahir. Kebijakan ini terbukti
efektif (85-95%) dalam mencegah infeksi HBV dan mencegah kronisitas (19- 20)
sedangkan dengan vaksin HBV saja memiliki tingkat efektivitas 75%. Bila
HBsAg ibu baru diketahui beberapa hari kemudian, HBIg dapat diberikan bila
usia bayi ≤ 7 hari.

HBIg tidak dianjurkan untuk diberikan sebagai upaya pencegahan pra-


paparan. HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan (profilaksis pasca
paparan) pada mereka yang terpapar HBV melalui jarum/ penyuntikan, tertelan
atau terciprat darah ke mukosa atau ke mata, atau kontak seksual dengan penderita
HBV kronis. Namun demikian, efektivitasnya akan menurun bila diberikan 3 hari
setelah paparan. Umumnya, HBIg diberikan bersama vaksin HBV sehingga selain
memberikan proteksi secara cepat, kombinasi ini juga memberikan proteksi
jangka panjang. Berikut ini dikemukakan algoritma tatalaksana profilaksis pasca
paparan pada tenaga medis yang terpajan pada sumber yang diperkirakan
menderita infeksi HBV.

IMUNISASI AKTIF
Tujuannya adalah memotong jalur transmisi melalui program imunisasi bayi
baru lahir dan kelompok risiko tinggi tertular HBV. Tujuan akhirnya adalah (1)
menyelamatkan nyawa minimal 1 juta jiwa/tahun; (2) menurunkan risiko KHS
akibat HBV; dan (3) eradikasi virus
 PENGOBATAN
Tujuan utama dari pengobatan hepatitis B kronik adalah untuk mengeliminasi
atau menekan secara permanen HBV. Hal ini akan mengurangi patogenitas dan
infektivitas, dan akhirnya menghentikan atau mengurangi nekroinflamasi hati.
Dalam istilah klinis, tujuan jangka pendek adalah mengurangi inflamasi hati,
mencegah terjadinya dekompensasi hati, menghilangkan HBV-DNA (dengan
serokonvers HBeAg ke anti-HBe pada pasien HBeAg positif) dan normalisasi
ALT pada akhir atau 6-12 bulan setelah akhir pengobatan.
Tujuan jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis flare yang dapat
menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah sirosis dan/atau HCC,
dan pada akhirnya memperpanjang usia, Pengobatan yang tersedia saat ini Pada
saat konsesus ini dibuat, obat yang tersedia dan telah diterima diberbagai negara
adalah interferon α (IFN konvensional), pegylatec interferon α-2a, lamivudine,
adefovir dipivoxil dan entecavir. Thymosin α-1 juga telah diterima dibeberapa
negara khususnya di Asia.

Interferon a (IFN-a) konvensional


Pada pasien yang positif HBeAg dengan ALT yang lebih besar 3> dari
BANN, respons angka keberhasilan 6-12 bulan setelah akhir terapi interferon
adalah sekitar 30-40% dibandingkan 10-20% pada kontrol Pemberian interferon
4,5 mu atau 5 mu seminggu 3x selama 4-6 bulan dapat efektif pada orang Oriental
(Asia) tetapi angka keberhasilan sedikit lebih rendah dibanding orang Kaukasia
(Eropa). Terdapat bukti baru bahwa pengobatan selama 12 bulan dapat
memperbaiki angka serokonversi HBeAg (Konsensus PPHI, 2006).
Penderita hepatitis anak dengan ALT tinggi memberikan respons terhadap
IFN-a dengan angka keberhasilan yang sama dengan orang dewasa (34). Pada
pasien dengan kadar ALT pra-terapi yang lebih rendah (1,3- 3x BANN), angka
serokonversi HBeAg lebih rendah tetapi dapat diperbaiki dengan pemberian
kortikosteroid sebelum terapi interferon. Namur demikian efek samping yang
hebat pernah dilaporkan akibat penggunaan cara ini (Konsensus PPHI, 2006).

Bila serokonversi HBeAg ke anti-HBe tercapai, ini akan menetap pada


lebih dari 80% kasus (Konsensus PPHI, 2006). Hal ini dapat juga diikuti dengar
hilangnya HBsAg selama tindak lanjut jangka panjang, walaupun hal ini sangat
jarang terjadi pada pasien-pasien Oriental. Penderita hepatitis B kronik aktif
dengan HBeAg negatif, anti HBe positif, HBV-DNA positif juga memberikan
respons selama terapi interferon, tetapi biasanya terjadi relaps pada akhir terapi.
Pengobatan ulangan dengan IFN-( menunjukkan angka keberhasilan respons 20-
40% baik pada HBeAg positif maupun negatif. Pada penelitian jangka panjang
ditemukan bahwa serokonversi HBeAg, baik yang diinduksi oleh terapi interferon
atau secara spontan, bermanfaat untuk kelangsungan hidup, kejadian gagal hati
dan mencegah KHS. Pengobatan interferon biasanya berhubungan dengan efek
samping seperti flu-like symptoms, neutropenia, trombositopenia, yang biasanya
masih dapat ditoleransi, namun kadang-kadang perlu dilakukan modifikasi dosis.
Terapi interferon yang menginduksi hepatitis flare dapat menyebabkan
dekompensasi pada pasien dengan sirosis dan dapat berbahaya bagi pasien dengan
dekompensasi hati (Lin SM,1999). Lama terapi interferon 4-6 bulan.

Pegylated interferon α-2a


Pegylated interferon a adalah interferon α yang dipegilasi (Konsensus
PPHI, 2006). Sama seperti interferon α, pegylated interferon a memiliki
mekanisme kerja ganda yaitu sebagai imunomodulator dan anti-virus. Sebagai
imunomodulator, pegylated interferon α akan mengaktivasi makrofag, sel natural
killer (NK) dan limfosit T sitotoksik serta memodulasi pembentukan antibodi
yang akan meningkatkan respon imun host untuk melawan virus hepatitis B.
Sedangkan aktivitas anti-virus dilakukan dengan menghambat replikasi virus
hepatitis B secara langsung melalui aktivasi endo-ribonuclease, elevasi protein
kinase dan induksi 2’,5’- oligodenylate synthetase (Konsensus PPHI, 2006). Pada
saat ini yang telah diterima sebagai obat untuk hepatitis B Kronis adalah
pegylated interferon α-2a (40 KD). Pegylated interferon α-2 b (12 KD) belum
diteliti dengan baik untuk penderita hepatitis B kronik HBeAg negatif, dan belum
diterima sebagai obat standar untuk Hepatitis B kronis. Telah dilakukan uji klinis
fase II pada penderita hepatitis B kronis HBeAg (+) yang membandingkan efikasi
pegylated interferon α-2a dengan interferon konvensional. Hasilnya menunjukkan
bahwa respon kombinasi (hilangnya HBeAg, supresi HBV-DNA < 100.000
kopi/mL dan normalisasi SGPT) dari pegylated interferon α-2a lebih tinggi secara
bermakna dibandingkan Interferon konvensional( Leung N,2000). Uji klinis fase
III pada penderita HBeAg positif dengan mayoritas pasien dalam studi ini adalah
ras Asia (85-87%), pernah diterapi lamivudine (9-15%) serta interferon
konvensional (11-12%) yang pegylated interferon α-2a dengan lamivudine dan
kombinasi pegylated interferon α-2a dan lamivudine, hasilnya menunjukkan
bahwa efikasi monoterapi pegylated interferon α -2a lebih baik secara bermakna
dibandingkan monoterapi lamivudine, yaitu normalisasi ALT 41 % kasus, HBeAg
serokonversi 32 %, kadar HBV DNA < 100.000 kopi/mL 42%, kadar HBV DNA
< 400 kopi/mL 14 % dan HBsAg klirens 3 % . Penambahan lamivudine sebagai
kombinasi dengan pegylated interferon a-2a tidak meningkatkan respon 24
minggu pasca terapi dibandingkan pegylated interferon a-2a tunggal (Konsensus
PPHI, 2006). Uji klinis fase III pada 537 pasien hepatitis B kronik (mayoritas
pasien ras asia) yang membandingkan pegylated interferon α-2a dengan
lamivudine dan kombinasi pegylated interferon α-2a dan lamivudine lebih baik
secara bermakna dibandingkan monoterapi lamivudine (Konsensus PPHI, 2006).
Penambahan lamivudine sebagai kombinasi dengan pegylated interferon a-2a
tidak meningkatkan respon 24 minggu pasca terapi dibandingkan pegylated
interferon a-2a tunggal (Konsensus PPHI, 2006).
Sebuah studi follow-up yang dilakukan menunjukkan bahwa normalisas
ALT yang dicapai oleh terapi pegylated interferon a-2a tunggal 4i minggu terus
menetap hingga 1 tahun pasca terapi pada lebih dari 50°/ pasien (Konsensus
PPHI, 2006). Pegylated interferon a-2a juga memberikan kesempatan untuk
terjadinya serokonversi HBsAg yang menetap baik pada pasien hepatitis B kronik
dengan HBeAg-positif dan negatif, yang mana hal ini tidak ditemukan pada
penggunaan lamivudine dalam kedua studi fase III (Konsensus PPHI, 2006).
Dosis yang dianjurkan untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg-posit dan negatif
adalah 180 pg sekali seminggu selama 48 minggu, disuntikkan secara subkutan.

Analog Nukleosida
Beberapa analog nukleosida (misalnya adenosine arabinoside, FIAU dan
lobucafir) ditemukan efektif namun memberikan efek toksisitas yang bermakna
sehingga evaluasi lebih lanjut tidak dilakukan. Famciclovir mampu menekan
replikasi HBV, namun pada uji fase ketiga ditemukan bahwa terdapat efikasi yang
terbatas. Lamivudine terbukti mempunyai efektifitas yang tinggi dalam
menginhibisi replikasi HBV. Telah terbukti pula bahwa adefovir dipivoxil dan
entecavir efektif dan aman. Emtricitabine, clevudine, Ldt yang masih dalam
berbagai tahap penelitian. (Konsensus PPHI, 2006).
Lamivudine
Lamivudine menunjukkan efektifitas supresi HBV DNA, normalisasi
ALT, dan perbaikan secara histologi baik pada HBeAg positif dan HBeAg negatif
/ HBV DNA positif. Pada penderita dengan HBeAg (+) yang diterapi selama satu
tahun dengan lamivudine (100 mg per hari) menghasilkan serokonversi HBeAg
dengan perbandingan kadar ALT sebelum terapi : 64% (vs. 14% sebelum terapi)
pada pasien dengan ALT dengan 5x BANN, 26% (vs. 5% sebelum terapi) pada
pasien dengan ALT 2-5x BANN, dan hanya 5% (vs. 2% sebelum terapi) pada
pasien dengan ALT <2x BANN (Leung N,2000)). Dengan kata lain, penderita
dengan respons imun terhadap HBV yang lebih kuat memberikan respons yang
lebih baik terhadap efek langsung anti virus pada terapi lamivudine. Pasien anak
juga memberikan respons yang sama (Chien,1999).
Hepatitis flare kadang dapat terjadi jika lamivudine dihentikan sebelum
serokonversi HBeAg (Chien,1999). Terapi anti virus jangka panjang
meningkatkan proporsi menghilangnya HBV DNA dan serokonversi HBeAg.
Pada pasien dengan ALT sebelum terapi > 2x BANN, angka keberhasilan
serokonversi HBeAg adalah 65% setelah 3 tahun, dan 77% setelah 5 tahun. Pada
saat serokonversi HBeAg ke anti-HBe tercapai, hal tersebut bertahan pada 30-
80% kasus (Konsensus PPHI, 2006)
Akan tetapi dapat lebih rendah jika pengobatan post-serokonversi
berlangsung kurang dari 4 bulan. Hepatitis flare dapat terjadi yang dalam hal ini
biasanya berhubungan dengan munculnya kembali HBeAg. Pada pasien hepatitis
B dengan HBeAg negatif / HBV-DNA positif kerja antivirus dan anti hepatitis
dari lamivudine tampaknya sama seperti pada pasien dengan hepatitis kronis
HBeAg positif. Namun demikian sangatlah sulit untuk menentukan batas akhir
pengobatan dan respons antivirus yang bertahan diperoleh hanya dalam 15-20%
kasus setelah satu tahun pengobatan. Penelitian dengan masa pengobatan yang
lebih lama sedang dilakukan untuk keadaan ini. Lamivudine ditoleransi dengan
baik disertai angka kejadian efek samping yang dapat diabaikan. Lamivudine
aman digunakan bahkan pada sirosis dekompensasi. Setelah 6-9 bulan terapi
lamivudine, mutar HBV yang resisten terhadap lamivudine mulai muncul. Spesies
HBV in telah melakukan mutasi pada gen polimerase, sehingga disebut mutas
YMDD. Insidensnya meningkat bersamaan dengan semakin lamanya terapi
(sekitar 70% dalam waktu 5 tahun) (Konsensus PPHI, 2006).
Munculnya mutasi YMDD berhubungan dengan timbulnya kembali HBV
DNA (harus dibedakan dari ketidakpatuhan memakai obat), dan seringkali dengan
peningkatan ALT, walaupun nilai ALT seringkali tidak mencapai kembali kadar
sebelum terapi, (Konsensus PPHI, 2006).
Terapi lamivudine jangka panjang sebaiknya disertai dengan perhatian
terhadap mutasi YMDI dan stabilitas respons terapi. Penelitian Asia jangka
panjang (Guan dkk), memperlihatkan serokonversi masih ada walaupun telah
terjadi mutan. Pemberian dapat dilakukan sampai 5 tahun. Kombinasi lamivudin
dan interferon tampaknya meningkatkan angka keberhasilan serokonversi HBeAg,
khususnya pada pasien dengan AL pra-terapi 2-5x BAN N (Schalm SW,2000)

Adefovir dipivoxil
Adefovir dipivoxil adalah nukleosida analog dari adenosine monofosfe
setelah menjadi bentuk aktifnya akan bekerja langsung menghamb DNA
polymerase dengan tempat ikatan yang berbeda dengan lamivudin. Adefovir
difosfat bekerja menghambat HBV polymerase deng« berkompetisi langsung
dengan substrat endogen deoksiadenosin trifosf dan setelah berintegrasi dengan
HBV-DNA sehingga pembentuk rantai DNA virus hepatitis B terhenti. Efektifitas
adefovir dipivoxil sudah diteliti pada pasien baru hepatitis dengan replikasi virus
yang aktif, pada pasien yang gagal dengi lamivudine, pasien pasca transplantasi
hati hingga pasien dengan dekompensasi hati maupun yang dengan koinfeksi
dengan HIV. Adefo difosfat bekerja menghambat HBV polymerase dengan
berkompet langsung dengan substrat endogen deoksiadenosin trifosfat dan setel;
berintegrasi dengan HBV-DNA sehingga pembentukan rantai DNA vir hepatitis B
terhenti. Penelitian 2 menunjukkan bahwa adefovir efektif dan aman, dan
ju<efektif dalam menekan HBV dengan mutasi YMDD (Heathcote EJ,1999).
Tidak adanya potensi adefovir untuk berkembang menjadi resisten disebabkan
karena eratnya hubungan struktural dengan substrat alami sehingga membatasi
potensi untuk menjadi steric hindrance yang merupakan mekanisme terjadinya
resistensi. Di samping itu adefovir merupakan rangkaian asiklik yang fleksibel
yang memudahkan adefovir untuk berinteraksi dengan HBV polymerase dengan
konformasi yang berbeda sehingga akhirnya menghambat terbentuknya steric
hindrance. Tidak adanya resistensi silang dengan lamivudine dengan adefovir
dikarenakan kelompok yang resisten terhadap lamivudine terjadi karena
pembentukan ‘steric hindrance’ berasal dari rantai gula L yang non alamiah
sedangkan adefovir berinteraksi dengan rantai gula D yang alami sehingga
menyebabkan adefovir masih dapat berinteraksi dengan HBV polymerase
(Heathcote EJ,1999). Terapi dengan adefovir dipivoxil terbukti memberikan
perbaikan histologis yang sangat bermakna (53-59 % vs 25 %) pada kelompok
penderita Hepatitis B naive dengan hasil serokonversi HBeAg, penurunan HBV-
DNA maupun normalisasi ALT yang jauh lebih tinggi dibandingkan plasebo.
Penggunaan adefovir dipivoxil dapat dipertimbangkan sebagai pilihan untuk
pengobatan hepatitis B baik yang baru maupun yang sudah resisten disamping
terbukti sebagai penyelamat dalam pengobatan dengan lamivudine (Heathcote
EJ,1999).
Dosis yang dianjurkan untuk penggunaan adefovir adalah 10 mg per hari.
Efek samping penggunaan adefovir jika digunakan dosis tinggi (30 mg/hari)
adalah gagal ginjal. Entecavir Entecavir adalah analog nukleosida guanosin yang
menghambat replikasi virus melalui tiga jalur yaitu : priming, negative strand
synthesis, dan positive strand synthesis, dengan demikian produksi double
stranded viral DNA akan sangat menurun. Penelitian klinis multinasional fase III,
samar-ganda, mengamati 715 penderita hepatitis B kronik nukelosida naif,
HBeAg positif, yang secara acak menerima entecavir 0.5 mg satu kali sehari
(n=357) atau lamivudine 100 mg satu kali sehari (n=358) setidaknya selama 52
minggu (61). Dilaporkan setelah 48 minggu pengobatan perbaikan histologi (skor
Knodell) pada 72% kelompok pasien yang entecavir. dibandingkan dengan 62%
dari kelompok pasien lamivudine (p=0,009), dan juga menghasilkan penurunan
pada fibrosis sebagaimana diukur dengan Skor Fibrosis Ishak (39% pada
kelompok entecavir dan 35% pada kelompok lamivudine, p=0,41). Normalisasi
kadar ALT juga diamati lebih banyak pada kelompok pasien yang menerima
entecavir (68%) dibandingkan dengan kelompok pasien lamivudine (60%)
(p=0,02). Dari penelitian ini, 67% dari kelompok pasien entecavir mengalami
penurunan muatan virus hingga mencapai kadar tidak terdeteksi (kurang dari 300
kopi/mL dengan metode PCR) dibandingkan 36% kelompok pasien lamivudine
(p<0,001) Selain itu, kelompok pasien enteca mengalami penurunan 6,9 Iog10
kopi/mL rata-rata penurunan HB DNA dari nilai dasar yang secara bermakna
lebih besar daripada kelompok pasien lamivudine yang mengalami penurunan 5,4
loc kopi/mL (p<0,001). Pada minggu ke 48 tidak terdapat bukti adanya mutasi
virus yar dapat mengarah kepada resistensi terhadap entecavir di antara 3.’ pasien
yangdiamati. Sebagai bagian dari penelitian klinis multinasional fase III, samar-
ganda, 648 pasien hepatitis B kronik HBeAg negatif secara acak mendapatkan
entecavir 0,5 mg satu kali sehari (n=351) atau lamivudine 100 mg satu kali sehari
(n-317) selama paling tidak 52 minggu. Setelah 48 minggu pengobatan, 70%
pasien entecavir menunjukkan perbaikan secara histologik (skor Knodell)
dibandingkan dengan 6 pasien lamivudine (p=0,01), dan juga menunjukkan
penurunan fibrosis (skor Ishak), masing-masing 36% pada kelompok entecavir
dan 3 pada kelompok lamivudine (p=0,65). Secara bermakna lebih ban; pasien
yang diobati dengan entecavir daripada lamivudine mencapai kadar ALT normal
pada minggu ke 48 (78% pada kelompok entecavir dibandingkan dengan 71%
pada kelompok lamivudine; p=0,04). Sembilan puluh persen(90%) pasien yang
mendapatkan entecavir mencapai penurunan kadar HBV-DNA hingga tingkat
tidak terdeteksi pada minggu ke-48 dibandingkan dengan 72 % pada kelompok
pas yang menggunakan lamivudine (p=0,001). Selain itu, pasien y menggunakan
entecavir mengalami penurunan kadar HBV-DNA y bermakna sebesar 5,0 log 10
kopi/mL rata-rata penurunan dibanding dengan 4,5 Iog10 kopi/mL pada kelompok
lamivudine (p<0,0l Tidak terdapat bukti adanya mutasi virus yang mengarah
kepada resistensi terhadap entecavir pada kelompok yang mengalami virolt
rebound atau pada 211 pasien yang diamati setelah 48 min pengobatan
(Sherman,2000). Pada penelitian fase III, samar ganda pada pasien dengan
HBeAg positif yang mengalami refrakter pada pengobatan dengan lamivudine
(adanya viremia yang persisten atau mutasi YMDD yang terdokumentasi ketika
menggunakan lamivudine) diacak untuk mendapat entecavir 1 mg (n=141) atau
terus menggunakan lamivudine 100 mg (n=145) masing-masing satu kali sehari
selama minimum 52 minggu. Perbaikan histologis terjadi pada 55% (68/124) pada
kelompok entecavir dibandingkan dengan 28% (32/116) pada kelompok
lamivudine (P < .0001). Lebih banyak pasien dengan entecavir yang mencapai
kadar HBV branched DNA <0.7 MEq/mL yaitu 55% (77/141) untuk kelompok
entecavir dan 4% (6/145) untuk kelompok lamivudine (P < 0001). Rata-rata
penurunan kadar HBV DNA dari baseline adalah -5.11 log10 kopi/mL untuk
kelompok yang diberikan entecavir dan -0.48 log 10 kopi/mL untuk kelompok
yang diberikan lamivudine (P < .0001). Ditemukan adanya virologic rebound pada
2 dari 141 pasien yang diberikan entecavir oleh karena substitusi resistensi dan
resistensi genotipik pada 10 pasien (62).

Thymosin α-1
Hanya sedikit penelitian yang telah menganalisis thymosin a1. Pada satu
penelitian diperlihatkan bahwa respons pemberian subkutan 1,6 mg 2 x/minggu
selama 6 bulan adalah 40 % dibandingkan 9 % pada kontrol. Masih diperlukan
penelitian yang lebih luas untuk membuat kesimpulan lebih pasti.

Obat Tradisional
Obat tradisional Cina dan obat tradisional lainnya (obat alternatif /
tambahan) dilaporkan mempunyai potensi terapeutik dalam mengobati infeksi
kronik HBV, namun harus dibuktikan dengan uji acak terkontrol dalam skala yang
lebih besar untuk memastikan efikasinya. Schisandrin C bermanfaat untuk
menurunkan ALT pada pasien dengan hepatitis kronik (Konsensus PPHI, 2006).
Imunomodulator non IFN dapat pula diberikan untuk pengobatan Hepatitis B
Indikasi pengobatan ( Lau GK,2000)
Data sampai saat ini menunjukkan bahwa pasien dengan ALT yang
persisten normal memberikan respon pengobatan yang tidak baik dengan semua
obat yang tersedia, dengan demikian pada penderita ini tidak perlu diberi terapi
antivirus namun harus dipantau kadar ALT setiap 3 - 6 bulan. Pasien HBeAg (+)
dengan kadar ALT ≥ 2 x BAN N (batas atas nilai normal) sedikitnya dalam masa
pengamatan 1 bulan dapat segera diberikan pengobatan antivirus.

Penderita hepatitis B kronik dengan HBeAg(-), anti HBe(+), kadar HBV


DNA > 100.000 kopi/ml dan kadar ALT >2 x BAN N diberi terapi anti virus.
Rekomendasi terapi: pemilihan obat

Pasien dapat diobati dengan interferon konvensional atau pegylated interferon


α-2a, lamivudine, adefovir dipifoxil dan entecavir. Lamivudine dianjurkan bila
terdapat tanda atau kemungkinan dekompensasi hati. Thymosin-α1 merupakan
obat pilihan berikutnya.

A. PENGOBATAN SIROSIS HATI


Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa ( Hakim Zain.L,2000) :
1. Simtomatis
2. Supportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang; misalnya : cukup
kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin
c. Pengobatan berdasarkan etiologi Misalnya pada sirosis hati akibat
infeksi virus C dapat dicoba dengan interferon. Sekarang telah
dikembangkan perubahan strategi terapi bagian pasien dengan hepatitis
C kronik yang belum pernah mendapatkan pengobatan IFN seperti a)
kombinasi IFN dengan ribavirin, b) terapi induksi IFN, c) terapi dosis
IFN tiap hari
 Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta unit 3 x
seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung berat badan
(1000mg untuk berat badan kurang dari 75kg) yang diberikan
untukjangka waktu 24-48 minggu.
 Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis
yang lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu yang
dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu selama 48 minggu
dengan atau tanpa kombinasi dengan RIB.
 Terapi dosis interferon setiap hari. Dasar pemberian IFN dengan
dosis 3 juta atau 5 juta unit tiap hari sampai HCV-RNA negatif di
serum dan jaringan hati.
3. Pengobatan yang spesifik dari sirosishati akan diberikan jika telah terjadi
komplikasi seperti : 1. Astises 2. Spontaneous bacterial peritonitis 3.
Hepatorenal syndrome 4. Ensefalophaty hepatic

 Asites
Dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas : -
istirahat - diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan
istirahat dan diet rendah garam dan penderita dapat berobat jalan dan
apabila gagal maka penderita harus dirawat. - Diuretik Pemberian diuretic
hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam dan
pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg
setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretic
adalah hipokalemia dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty hepatic,
maka pilihan utama diuretic adalah spironolacton, dan dimulai dengan
dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila
dengan dosis maksimal diuresinya belum tercapai maka dapat kita
kombinasikan dengan furosemid ( Hakim Zain.L,2000).
Terapi lain : Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan
pengobatan konservatif. Pada keadaan demikian pilihan kita adalah
parasintesis. Mengenai parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10
liter / hari, dengan catatan harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 – 8
gr/l cairan asites yang dikeluarkan. Ternyata parasintesa dapat
menurunkan masa opname pasien. Prosedur ini tidak dianjurkan pada
Child’s C, Protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit <
40.000/mm3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam. Ad.
Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP) Infeksi cairan dapat terjadi secara
spontan, atau setelah tindakan parasintese. Tipe yang spontan terjadi 80%
pada penderita sirosis hati dengan asites, sekitar 20% kasus. Keadaan ini
lebih sering terjadi pada sirosis hati stadium kompesata yang berat. Pada
kebanyakan kasus penyakit ini timbul selama masa rawatan. Infeksi
umumnya terjadi secara Blood Borne dan 90% Monomicroba. Pada sirosis
hati terjadi permiabilitas usus menurun dan mikroba ini beraasal dari usus
( Hakim Zain.L,2000).
Pada sirosis hati yang lanjut, terjadi retensi cairan akibat akumulasi
garam. Retensi cairan paling sering terjadi di kaki akibat proses gravitasi,
dan dalam rongga perut akibat hipertensi portal. Asitets dan edema juga
bisa disebabkan akibat hipoalbuminemia karena produksi albumin yang
terganggu dalam hati (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Unair, 2015)
Untuk mengurangi edema dan asites, pasien dianjurkan untuk
membatasi asupan garam dan air jumlah diit gram yang dianjurkan
biasanya sekitar 2 gram perhari, dan cairan sekitar 1 liter sehari.
Kombinasi diuretika spironolakton dan furosemide dapat menurunkan
dan menghilangkan edema dan asites pada sebagian besar pasien.
Spironolaktondapat diberikan dalam dosis 100-400 mg sehari. Bila perlu
dapat dikombinasikan dengan furosemide 40-160 mg sehari, dengan
pengawasan ketat terhadap tekanan darah, produksi urin, status mental
pasien, dan kadar elektrolit serum (terutama K). Bila pemakaian diuretika
tidak berhasil (pada asites yang refrakter), dapat dilakukan parasentesis
abdomen, untuk mengambil cairan asites secara langsung dari rongga
perut. Pemeberian albumin intravena sebanyak 6-8 gram/liter secara
bersama-sama dengan LVP, dapat bermanfaat untuk mempertahankan
volum intravskuler dan mencegah disfungsi sirkulasi pascaparasentesis.
Pengobatan lain untuk refrakter adalah TPS (transjugular intravenous
portosystemic shunting) atau transplantasi hati (Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam,2015)
 Spontaneous bacterial peritonitis
Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III
(Cefotaxime), secara parental selama lima hari, atau Qinolon secara oral.
Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk Profilaxis dapat diberikan
Norfloxacin (400mg/hari) selama 2-3 minggu ( Hakim Zain.L,2000).
 Hepatorenal Sindrome
Sindroma ini dicegah dengan menghindari pemberian Diuretik
yang berlebihan, pengenalan secara dini setiap penyakit seperti gangguan
elekterolit, perdarahan dan infeksi. Penanganan secara konservatif dapat
dilakukan berupa : Ritriksi cairan,garam, potassium dan protein. Serta
menghentikan obat-obatan yang Nefrotoxic. Manitol tidak bermanfaat
bahkan dapat menyebabkan Asifosis intra seluler. Diuretik dengan dosis
yang tinggi juga tidak bermanfaat, dapat mencetuskan perdarahan dan
shock. TIPS hasil jelek pada Child’s C, dan dapat dipertimbangkan pada
pasien yang akan dilakukan transplantasi. Pilihan terbaik adalah
transplantasi hati yang diikuti dengan perbaikan dan fungsi ginjal ( Hakim
Zain.L,2000).
 Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus
Kasus ini merupakan kasus emergensi sehingga penentuan etiologi
sering dinorduakan, namun yang paling penting adalah penanganannya
lebih dulu. Prrinsip penanganan yang utama adalah tindakan Resusitasi
sampai keadaan pasien stabil, dalam keadaan ini maka dilakukan : - Pasien
diistirahatkan daan dpuasakan - Pemasangan IVFD berupa garam
fisiologis dan kalau perlu transfusi - Pemasangan Naso Gastric Tube, hal
ini mempunyai banyak sekali kegunaannya yaitu : untuk mengetahui
perdarahan, cooling dengan es, pemberian obat-obatan, evaluasi darah
- Pemberian obat-obatan berupa antasida,ARH2,Antifibrinolitik,Vitamin
K, Vasopressin, Octriotide dan Somatostatin - Disamping itu diperlukan
tindakan-tindakan lain dalam rangka menghentikan perdarahan
misalnya Pemasangan Ballon Tamponade dan Tindakan Skleroterapi /
Ligasi aatau Oesophageal Transection ( Hakim Zain.L,2000).
 Ensefalopati Hepatik
Suatu syndrome Neuropsikiatri yang didapatkan pada penderita
penyakit hati menahun, mulai dari gangguan ritme tidur, perubahan
kepribadian, gelisah sampai ke pre koma dan koma. Pada umumnya
enselopati Hepatik pada sirosis hati disebabkan adanya factor pencetus,
antara lain : infeksi, perdarahan gastro intestinal, obat-obat yang
Hepatotoxic. Prinsip penggunaan ada 3 sasaran : 1. mengenali dan
mengobati factor pencetua 2. intervensi untuk menurunkan produksi dan
absorpsi amoniak serta toxin-toxin yang berasal dari usus dengan jalan : -
Dier rendah protein - Pemberian antibiotik (neomisin) - Pemberian
lactulose/ lactikol 3. Obat-obat yang memodifikasi Balance Neutronsmiter
- Secara langsung (Bromocriptin,Flumazemil) - Tak langsung (Pemberian
AARS) ( Hakim Zain.L, 2000).

8. Pandangan Islam
Baru-baru ini banyak pembicaraan dan pertanyaan tentang vaksinasi anak-
anak dalam pandangan Islam, yakni vaksinasi campak, polio, hepatitis, gondok,
TBC dan vaksinasi jenis lainnya. Terlihat ada orientasi besar menentang vaksinasi
dan imunisasi, dengan alasan adanya komplikasi yang terjadi akibat vaksinasi
yang makin meningkat kasusnya. Juga bahwa vaksinasi ini adalah dharar dan
tidak boleh dikenakan kepada anak-anak kita yang sehat. Lagi pula, berobat itu
bukan fardhu, maka tak diragukan lagi imunisasi lebih-lebih lagi tidak fardhu.
Mereka menyatakan bahwa vaksinasi berarti memindahkan mikroba ke tubuh
anak dan ini adalah haram. Bahkan kadang vaksinasi itu diambil dari hewan-
hewan seperti monyet, misalnya. Begitulah alasan mereka (Al-Asqalani, 2000)
Pertanyaannya: apa realitas vaksinasi dan apa hukum syara’ tentangnya?
Apakah dalam Daulah al-Khilafah akan ada vaksinasi dengan berbagai jenisnya?
Perlu diketahui bahwa separo masyarakat Muslim di kami tidak memvaksinasi
anak-anak mereka dan jumlah mereka terus meningkat. Akhirnya hukum syara’
yang jelas dan kuat sangat dinanti. Mohon ada penjelasan dan uraian tentang itu,
sesuai yang bisa Anda berikan. Semoga Allah memberikan balasan yang lebih
baik kepada Anda dan kaum Muslimin (Al-Asqalani, 2000)
Vaksinasi adalah pengobatan. Berobat adalah mandub, bukan wajib.
Dalilnya adalah sebagai berikut:

1. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari jalur Abu Hurairah, ia menuturkan:


Rasulullah saw bersabda:

ِ ُ‫« َما أَ ْنزَ َل هَّللا ُ دَا ًء إِاَّل أَ ْن َز َل لَه‬


»‫شفَا ًء‬

Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya

 
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dari Nabi saw, beliau
bersabda:

»‫يب َد َوا ُء الدَّا ِء بَ َرأَ ِبإ ِ ْذ ِن هللاِ َع َّز َو َج َّل‬


َ ‫ص‬ِ ُ‫ فَإ ِ َذا أ‬،‫«لِ ُك ِّل دَا ٍء د ََوا ٌء‬

Untuk setiap peyakit ada obatnya, dan jika obat itu mengenai penyakit, maka
sembuh dengan izin Allah azza wa jalla
Imam Ahmad telah meriwayatkan di dalam Musnadnya dari Abdullah bin
Mas’ud:

ِ ُ‫ إِاَّل قَ ْد أَ ْنزَ َل لَه‬،‫« َما أَ ْنزَ َل هَّللا ُ دَا ًء‬


»ُ‫ َو َج ِهلَهُ َمنْ َج ِهلَه‬،ُ‫ َعلِ َمهُ َمنْ َعلِ َمه‬،‫شفَا ًء‬

Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya, itu
diketahui oleh orang yang berilmu dan tidak diketahui oleh orang yang tidak
punya ilmunya

Hadits-hadits ini di dalamnya ada petunjuk bahwa setiap penyakit ada obat
yang menyembuhkannya. Hal itu agar menjadi dorongan untuk berusaha berobat
yang mengantarkan kepada sembuhnya penyakit itu dengan izin Allah. Ini adalah
anjuran dan bukan wajib (Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, 2006)
2. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Anas, ia berkata: Rasulullah saw
bersabda:

»‫ فَتَدَا َو ْوا‬،‫ق ال َّد َوا َء‬


َ َ‫ َخل‬،‫ق الدَّا َء‬ ُ ‫«إِنَّ هَّللا َ َح ْي‬
َ َ‫ث َخل‬

Sesungguhnya Allah ketika menciptakan penyakit, Allah ciptakan obatnya, maka


berobatlah

Abu Dawud telah meriwayatkan dari Usamah bin Syarik, ia berkata, “Aku datang
kepada Rasulullah saw dan para sahabat beliau seolah-olah kepala mereka seperti
burung. Lalu aku ucapkan salam lalu aku duduk. Lalu seorang Arab Baduwi
datang dari sini dan situ. Mereka berkata, “Ya Rasulullah apakah kita berobat?””
Rasul bersabda:

ِ ‫ َغ ْي َر دَا ٍء َو‬،‫ض َع لَهُ َد َوا ًء‬


»‫اح ٍد ا ْل َه َر ُم‬ َ ‫َاو ْوا فَإِنَّ هَّللا َ َع َّز َو َج َّل لَ ْم َي‬
َ ‫ض ْع دَا ًء إِاَّل َو‬ َ ‫تَد‬
Berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah azza wa jalla tidak menempatkan
penyakit kecuali juga Allah tempatkan obat untuknya, kecuali satu penyakit al-
harmu yakni kematian.
Di dalam hadits pertama, Rasul memerintahkan berobat. Dan di dalam
hadits kedua, Beliau saw menjawab kepada seorang Arab Baduwi dengan jawaban
berobat. Dan seruan kepada para hamba agar berobat, karena Allah tidaklah
menempatkan penyakit kecuali Allah tempatkan obat untuknya. Seruan di dalam
kedua hadits itu disampaikan dalam redaksi perintah. Perintah memberi
pengertian tuntutan dan tidak memberi pengertian wajib kecuali jika perintah yang
tegas. Ketegasan itu memerlukan indikasi yang menunjukkannya, sementara tidak
ada indikasi itu di dalam kedua hadits tersebut yang menunjukkan wajib.
Ditambah bahwa dinyatakan hadits-hadits yang menyatakan bolehnya tidak
berobat, yang menafikan pengertian wajib dari kedua hadits tersebut. Imam
Muslim telah meriwayatkan dari Imran bin Hushain bahwa Nabi saw bersabda:

َ‫ « ُه ُم الَّ ِذينَ اَل يَ ْكتَ ُوون‬:‫سو َل هللاِ؟ قَا َل‬


ُ ‫ َو َمنْ ُه ْم يَا َر‬:‫ قَالُوا‬،»‫ب‬ َ ‫س ْبعُونَ أَ ْلفًا بِ َغ ْي ِر ِح‬
ٍ ‫سا‬ َ ‫«يَد ُْخ ُل ا ْل َجنَّةَ ِمنْ أُ َّمتِي‬
» َ‫ َو َعلَى َربِّ ِه ْم يَتَ َو َّكلُون‬، َ‫ست َْرقُون‬ ْ َ‫َواَل ي‬

“Ada 70 ribu orang dari umatkku masuk surga tanpa hisab.” Mereka (para
sahabat) bertanya, “Siapakah mereka Ya Rasulullah?” Rasul menjawab,
“Mereka adalah orang-orang yang tidak melakukan kay dan tidak meminta minta
diruqyah (dijampi-jampi).”

  Kay dan ruqyah termasuk pengobatan. Imam al-Bukhari juga


meriwayatkan dari Ibn Abbas: ia berkata …. (yaitu) perempuan hitam ini, ia
datang kepada Nabi saw lalu berkata:

ْ‫ت َدع َْوتُ هَّللا َ أَن‬ ِ ْ‫ َوإِن‬،ُ‫الجنَّة‬


ِ ‫ش ْئ‬ َ ‫ت َولَ ِك‬ِ ‫صبَ ْر‬َ ‫ت‬ِ ‫ش ْئ‬ِ ْ‫ «إِن‬:‫ قَا َل‬،‫ فَا ْد ُع هَّللا َ لِي‬، ُ‫ َوإِنِّي أَتَ َكشَّف‬،ُ‫ص َرع‬ ْ ُ‫إِنِّي أ‬
»…‫ «فَ َدعَا لَ َها‬، َ‫ فَا ْد ُع هَّللا َ لِي أَنْ الَ أَتَ َكشَّف‬، ُ‫ إِنِّي أَتَ َكشَّف‬: ْ‫ فَقَالَت‬،‫صبِ ُر‬
ْ َ‫ أ‬: ْ‫يُ َعافِيَ ِك» فَقَالَت‬

“Aku sakit ayan dan aku tersingkap (auratku jika kambuh) maka berdoalah
kepada Allah untukku.” Rasul bersabda: “jika engkau mau engaku bersabar dan
untukmu surga, dan jika engkau mau aku berdoa kepada Allah agar
menyembuhkanmu.” Maka perempuan itu menjawab: “saya bersabar saja”. Lalu
ia melanjutkan: “saya tersingkap (auratku ketika aku kambuh) maka berdoalah
kepada Allah untukku agar aku tidak tersingkap.” Maka Rasul berdoa untuknya.”

Kedua hadits ini menunjukkan bolehnya tidak berobat.


Semua itu menunjukkan bahwa perintah yang dinyatakan “fatadâwû”,
“tadâwû” bukan untuk wajib. Dengan begitu perintah di sini bisa mubah atau bisa
juga mandub, sementara kuatnya dorongan dari Rasul saw untuk berobat, maka
jadilah perintah berobat yang dinyatakan di dalam hadits-hadits itu adalah untuk
mandub (Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, 2006)

STEP 7
Kesimpulan Hasil Diskusi:
Hepatitis B (penyakit kuning) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
hepatitis B yang merusak hati. Penyakit ini bisa menjadi kronis dan menimbulkan
pengerasan hati (Cirrhosis Hepatis), kanker hati (Hepato Cellular Carsinoma) dan
menimbulkan kematian. Infeksi pada anak biasanya tidak menimbulkan gejala.
Sirosis Hepatis merupakan perubahan struktur sel hati (fibrosis). Pentingnya
identifikasi dini terhadap gejala yang timbul (pemeriksaan fisik dan penunjang).
Merupakan penatalaksanan preventif segera dan tepat akan menurunkan resiko
komplikasi dan progresifitas penyakit. Kemampuan perawat klinik yang memadai
dalam memahami kondisi sirosis hepatis.

Daftar Pustaka

Arief, Sjamsul. 2012. Hepatitis Virus. Dalam: Juffriee, Mohammad. Buku


Ajar Gastroenterologi-Hepatologi .Badan Penerbit IDAI, Jakarta: 296-7.

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2000. Bulu>gh al-Mara>m (terj.) Achmad Sunarto,


Jakarta: Pustaka Amani.

Barbaro G, et al. 2001. Long- term efficacy of interferon alpha-2b and


lamivudine in combination compared to lamivudine monotherapy in patients with
chronic hepatitis B. An Italian multicenter, randomized trial. J Hepatol.
Airlangga. 2015. Buku ajar Ilmu penyakit Dalam fakultas kedokteran
Universitas Airlangga rumah sakit pendidikan Dr. Soetomo Surabaya, edisi 2.
Airlangga University Press.

Chien, R. N., Liaw, F., Atkins, M. 1993. y alanine transaminase level as a


determiri for hepatitis B e antigen seroconversion during lamivudine therapy in
patients i chronic hepatitis B. Asian Hepatitis Lamivudine Trial Group. Hepatol
Ganem, Don., Prince, Alfred M. 2004. Mechanism Of Disease Hepatitis B
Virus Infection-Natural History and Clinical Consequences. The New England
Journal of Medcine 350; 11.

Guntur A H . 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. Pusat


Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

Harrison, Principle of Internal Medicine Edisi 9. 2009. Gangguan


Hepatobilier dan Pankreas. Penterjemah Adhi Dharma. Penerbit Buku
Kedokteran, Jakarta Utara.
Heathcote EJ, Jeffers L. Loss of serum HBV-DNA and HBeAg and
seroconversion following short term (12 weeks) adefovir dipivoxil therapy in
chronic hepatitis B: two placebo-controlled phase II studies. Hepatology
1998;28(17):A56.

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, 2006, Prophetic Medicine, (terj.) Ahmad


Asnawi. Jakarta: Diglosia Media.

Juffrie, M., et al, 2010. Buku Ajar Gastroenterologi – Hepatologi Jilid 1.


Jakarta: Balai Penerbit IDAI.

Konsensus PPHI. 2006. Panduan tata laksana infeksi hepatitis B kronis.


Jakarta
Kusumobroto O Hernomo. 2007. Sirosis Hati, dalam buku ajar Ilmu
Penyakit Hati, edisi I: Jakarta

Lau, G.K. 2000. Use of immunomodulatory therapy (other than interferon)


for the treatm of chronic hepatitis B virus infection. J Gastroenterol Hepatol
Suppl:E46-52.
Leung N. Nucleoside analogues in the treatment of chronic hepatitis B. J
Gastroenti Hepatol 2000; 15 Suppi. E53-60

Lin S. M, Sheen IS, Chien RN, Chu CM, Liaw YF. Long-term beneficial
effect i interferon therapy in patients with chronic hepatitis B virus infection.
Hepatoloc 1999;29(3):971-5

Lindseth, Glenda N. 2009. Gangguan Gangguan Hati, Empedu, Dan


Pankreas. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Vol.1.
Jakarta: EGC. h. 485-93
Mansjoer, A, dkk, 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 3. Jilid.1 . Jakarta:
Media Aesculapius FKUI. h. 513-7
Maria H, 1997, Hepatitis B Makin Meningkat, Majalah Kesehatan
Masyarakat Indonesia; tahun XXV, nomor 7
Marcellin P, Chang TT, Lim SG, Tong MJ, Sievert W, Shiftman M. GS-98-
437 A double blind, randomized, placebo-controlled study of adefovir dipivoxil
(ADV) for the treatment of patients with HBeAg+ chronic hepatitis B infection:
48 weeks results. Hepatology 2001;34:340A
Nurdjanah S. Sirosis Hati dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam , edisi IV
jilid II, Jakarta, Pusat penerbitan Departemen Ilmu penyakit dalam FK UI., 2006
hal 445-82.

Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi konsep klinis proses-proses


penyakit,edisi ke-6. Jakarta: EGC.hlm. 472-500.
Sanityoso A, dkk. 2009. Hepatitis Virus Akut, Hepatitis B Kronik. Ed. V.
Jilid.1. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. h. 427-
39
Saputra Lyndon dr. 2014. Atlas Saku Patofisiologi Klinik. Tangerang
SelatanKARISMA Publishing Group

Schalm SW, Heathcote J, Cianciara J, Farrell G, Sherman M, Willems B, et


al. Lamivudine and alpha interferon combination treatment of patients with
chronic hepatitis B infection: a randomised trial. Gut 2000; 46(4):562-8.
Sherman, Yurdaydin, Sollano, Silva, Liaw, Cianciara, et al. Entecavir for
Treatment of Lamivudine-Refractory, HBeAg-Positive Chronic Hepatitis B.
Gastroenterology 2006;130(7):2039-2049.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna, 2009: 1873-85.

Song BC, Suh DJ, Lee HC, Chung YH, Lee YS. Hepatitis B e antigen
seroconver, after lamivudine therapy is not durable in patients with chronic
hepatitis B in Ko Hepatology 2000;32 (4 Pt 1):803-6.

Thedja MD. 2012. Geneticdiversity of hepatitis B virus in Indonesia:


Epidemiological and clinical significance. Jakarta: DIC creative

Anda mungkin juga menyukai