Anda di halaman 1dari 5

Nama : Delvis Patrik

NPM : 110110170286
Dosen Pembimbing : Dr. Dandrivanto Budhijanto, S.H., LL.M in
IT Law, FCBArb.
Dr. Not. Ranti Fauza Mayana Tanwir, S.H.
Prita Amalia, S.H., M.H.
Mata Kuliah : Hukum Tekhnologi, Informasi dan
Komunikasi (Cyber Law)

Urgensi Cyberlaw dalam Industri 4.0

Istilah Industri 4.0 lahir dari ide revolusi industri ke empat. Istilah Industri 4.0 sendiri secara
resmi lahir di Jerman tepatnya saat diadakan Hannover Fair pada tahun 2011. Negara Jerman
memiliki kepentingan yang besar terkait hal ini karena Industri 4.0 menjadi bagian dari
kebijakan rencana pembangunannya yang disebut High-Tech Strategy 2020. Kebijakan
tersebut bertujuan untuk mempertahankan Jerman agar selalu menjadi yang terdepan dalam
dunia manufaktur1. Beberapa negara lain juga turut serta dalam mewujudkan konsep Industri
4.0 namun menggunakan istilah yang berbeda seperti Smart Factories, Industrial Internet of
Things, Smart Industry, atau Advanced Manufacturing. Meski memiliki penyebutan istilah
yang berbeda, semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan daya saing
industri tiap negara dalam menghadapi pasar global yang sangat dinamis.2
Industri 4.0 identik dengan industri konsumsi massal (mass consumption), menggunakan
kolaborasi media robotik dengan kecerdasan buatan dan internet of things (IoT), bertujuan
untuk menekan biaya produksi secara total karena barang yang diproduksi dalam jumlah
massal juga habis terkonsumsi karena tepat dengan keinginan pelanggan. 3 Industri 4.0
berkembang berlandaskan pada perkembangan industri sebelumnya, yakni industri 3.0 yang
berfokus pada penggunaan media robotik pada aspek produksi dengan tujuan produksi massal
(mass production) saja. Perbedaan paling nyata yang dapat kita lihat dari Industri 3.0 dengan

1 S. Heng, “Industry 4.0: Upgrading of Germany's Industrial Capabilities on the Horizon”, 2013,
<https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2656608>, [diakses pada 21/02/2020].
2 Hoedi Prasetyo dan Wahyudi Sutopo, “Industri 4.0: Telaah Klasifikasi Aspek dan Arah Perkembangan Riset”, J@ti Undip: Jurnal Teknik

Industri, Vol. 13, No. 1, Januari 2018, hlm. 17.


3 Puput Swastika, “Bersiap Menuju Era Industri 5.0”, 2019, <https://ppm-manajemen.ac.id/id_ID/blog/artikel-manajemen-18/post/bersiap-

menuju-era-industri-5-0-1664>, [diakses pada 21/02/2020]


Industri 4.0 adalah dalam Industri 3.0 dipandang sebagai proses pemampatan ruang dan waktu.
Ruang dan waktu semakin terkompresi, sehingga Industri 3.0 mengusung sisi kekinian (real
time), tidak hanya itu, dalam Industri 3.0 tekhnologi semakin berkembang sehingga
memunculkan mesin-mesin yang memiliki kemampuan produksi lebih cepat daripada manusia.
Di lain sisi, dalam Indsutri 4.0, manusia menemukan pola baru ketika distruptif teknologi hadir
begitu cepat dan mengancam keberadaan perusahaan-perusahaan imcumbent, yang
menyebabkan matinya perusahaan-perusahaan raksasa. Lebih dari itu, pada era industri
generasi 4.0 ini, ukuran besar perusahaan tidak menjadi jaminan, namun kelincahan perusahaan
menjadi kunci keberhasilan meraih prestasi dengan cepat. Hal ini ditunjukkan oleh Uber yang
mengancam pemain-pemain besar pada industri transportasi di seluruh dunia atau Airbnb yang
mengancam pemain-pemain utama di industri jasa pariwisata. Ini membuktikan bahwa yang
cepat dapat memangsa yang lambat dan bukan yang besar memangsa yang kecil.4
Namun kecepatan pertukaran informasi melalui tekhnologi internet/ elektronik tidak hanya
memberikan kemudahan dalam mendapatkan keuntungan tapi juga menyebabkan banyak
muncul modus-modus kejahatan baru dengan tekhnologi yang semakin mukhtahir,
Kriminalitas di internet atau cybercrime pada dasarnya adalah suatu tindak pidana yang
berkaitan dengan cyberspace, baik yang menyerang fasilitas umum di dalam cyberspace
ataupun kepemilikan pribadi, oleh karena itu dibutuhkan instrumen hukum baru dalam
menanggulangi modus-modus tersebut. Cyberlaw adalah aspek hukum yang istilahnya berasal
dari Cyberspace Law, yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan
orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi
internet/elektronik yang dimulai pada saat mulai "online" dan memasuki dunia cyber atau
maya.5
Pemikiran bahwa diperlukannya pengaturan di Indonesia atas kegiatan-kegiatan di cyber space,
dilandasi oleh 3 (tiga) pemikiran utama, yaitu perlunya kepastian hukum bagi para pelaku
kegiatan-kegiatan di cyber space dikarenakan belum diakomodasikan secara memadai dalam
regulasi yang telah ada; upayauntuk mengantisipasi implikasi-implikasi yang ditimbulkan
akibat pemanfaatan teknologi informasi; dan adanya variabel global yaitu perdagangan bebas
dan pasar terbuka (WTO/GATT).6

4 Donny Budi P., “Sejarah Revolusi Industri 1.0 Hingga 4.0”, 2018, <http://otomasi.sv.ugm.ac.id/2018/10/09/sejarah-revolusi-industri-1-0-
hingga-4-0/>, [diakses pada 21/02/2020].
5 Ega Hegarini, Etika dan Profesionalisme Teknologi Sistem Informasi, Jakarta: Universitas Gunadarma, hlm. 58.
6
Ahmad M. Ramli, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2006, hlm. 1-3.
Pada sudut pandang secara praktis, dapat dipahami bahwa dalam kegiatan e-commerce
memerlukan “sense of urgency” untuk dicarikan jalan keluar atas akibat-akibat atau
permasalahan hukum yang muncul.7
Cyberlaw sebagai suatu rezim hukum yang baru akan lebih memudahkan untuk dipahami
dengan mengetahui ruang lingkup pengaturannya. Cyberlaw dengan bentuk pengaturan yang
bersifat khusus (sui generis) atas kegiatan-kegiatan di dalam cyber space, antara lain
mencakup:8
1. Hak Cipta (Copyright);
2. Merek (Trademark);
3. Fitnah atau pencemaran nama baik (Defamation);
4. Privacy;
5. Duty of Care;
6. Criminal Liability;
7. Procedural Issues;
8. Electronic Contracts & Digital Signature;
9. Electronic Commerce;
10. Electronic Government;
11. Pornografi;dan
12. Pencurian(theft).
Pada saat ini industri berkembang sangat pesat. Baru saja kita mulai beradaptasi dengan
industri 4.0 yang memanfaatkan Internet (IoT), data, dan artificial intelligence, serta
kecerdasan buatan. Konsep industri atau society 5.0 telah di siapkan oleh jepang.
Society 5.0 menawarkan masyarakat yang berpusat pada manusia yang membuat seimbang
antara kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial melalui sistem yang sangat
menghubungkan melalui dunia maya dan dunia nyata. Sebenarnya, konsep revolusi industri
4.0 dan society 5.0 tidak memiliki perbedaan yang jauh. Yaitu revolusi industri 4.0
menggunakan kecerdasan buatan (artificial intellegent) sedangkan society 5.0 memfokuskan
kepada komponen manusianya. Konsep society 5.0 ini, menjadi inovasi baru dari society 1.0
sampai society 4.0 dalam sejarah peradaban manusia. Jika society 4.0 memungkinkan kita
untuk mengakses juga membagikan informasi di internet. Society 5.0 adalah era di mana semua
teknologi adalah bagian dari manusia itu sendiri. Internet bukan hanya sebagai informasi

7 Dandrivanto Budhijanto, Cyber Law dan Revolusi Industri 4.0, Logoz Publishing, Bandung, hlm. 2
8
Jonathan Rosenoer, CyberLaw-The Law of the Internet, Springer-Verlag, New York, 1997.
melainkan untuk menjalani kehidupan. Sehingga perkembangan teknologi dapat
meminimalisir adanya kesenjangan pada manusia dan masalah ekonomi pada kemudian hari.
Memang society 5.0 terdengar sangat utopis, ditambahlagi mengingat Indonesia merupakan
negara berkembang yang bahkan hingga kini hanya sebagian kecil orang yang mengenal
Industri 4.0 ataupun society 5.0. Institusi pendidikan yang dikategorikan unggulan di Indonesia
pun belum menerapkan sistem industri 4.0 dan society 5.0 ini. Dari mulai sistem pendidikannya,
cara berinteraksi pendidik dan yang terdidik, serta pemupukan paradigma berpikir modernnya.
Sehingga, tampaknya Indonesia belum siap dan masih perlu waktu sebelum Indonesia
menjalankan society 5.0.
Daftar Pustaka

Buku

Ahmad M. Ramli, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, Bandung:
Refika Aditama, 2006.
Dandrivanto Budhijanto, Cyber Law dan Revolusi Industri 4.0, Logoz Publishing,
Bandung.
Ega Hegarini, Etika dan Profesionalisme Teknologi Sistem Informasi, Jakarta: Universitas
Gunadarma.

Jurnal

Hoedi Prasetyo dan Wahyudi Sutopo, “Industri 4.0: Telaah Klasifikasi Aspek dan Arah
Perkembangan Riset”, J@ti Undip: Jurnal Teknik Industri, Vol. 13, No. 1, Januari 2018.
Jonathan Rosenoer, CyberLaw-The Law of the Internet, Springer-Verlag, New York, 1997.

Referensi Elektronik

Donny Budi P., “Sejarah Revolusi Industri 1.0 Hingga 4.0”, 2018,
<http://otomasi.sv.ugm.ac.id/2018/10/09/sejarah-revolusi-industri-1-0-hingga-4-0/>, [diakses
pada 21/02/2020].
Puput Swastika, “Bersiap Menuju Era Industri 5.0”, 2019, <https://ppm-
manajemen.ac.id/id_ID/blog/artikel-manajemen-18/post/bersiap-menuju-era-industri-5-0-
1664>, [diakses pada 21/02/2020].
S. Heng, “Industry 4.0: Upgrading of Germany's Industrial Capabilities on the Horizon”,
2013, <https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2656608>, [diakses pada
21/02/2020].

Anda mungkin juga menyukai