1
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan portofolio yang berjudul
“PERANG SAUDARA KAMBOJA”
Portofolio ini dibuat dan diajukan untuk memenuhi syarat guna memperoleh
nilai akhir tahun di SMAN 4 DEPOK. Selain itu, tujuan dari penulisan skripsi ini
adalah untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai permasalahan
yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Penulis menyadari bahwa portofolio ini masih jauh dari sempurna karena
adanya keterbatasan ilmu dan pengalaman yang dimiliki. Oleh karena itu, semua kritik
dan saran yang bersifat membangun akan penulis terima dengan senang hati. Penulis
berharap, semoga portofolio ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukan.
Assyifa Sekar
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR………………………………………………….2
DAFTAR ISI…………………………………………………………...3
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : ISI
A. Analisis Kamboja……………………………………………………..23
BAB IV : PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………...27
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
3. Khmer Merah Semakin Kuat
Naiknya Letjen Lon Nol tidak membuat pasukan Khmer Merah menjadi takut, justru
mereka semakin gencar mengerahkan serangan untuk menggulingkan rezim Lon Nol yang
didukung Amerika Serikat. Khmer Merah pun semakin kuat dengan dukungan dari Vietnam,
RRC dan Rusia. Posisinya yang semakin strategis terus mendesak pemerintahan Lol Nol
yang kejam dan terlibat korupsi hingga pemerintah semakin terdesak dan akhirnya menyerah
kepada Khmer Merah. Pemerintahan pun jatuh ke tangan komunis selama beberapa waktu
dan saat itu diangkat Pol Pot sebagai perdana menteri Kamboja.
Sebelum Lon Nol digulingkan, ia sempat mengajak pimpinan Khmer Merah dan juga
Sihanouk untuk berunding demi mencapai perdamaian di Kamboja. Namun ajakannya yan
tanpa syarat itu diabaikan dan tidak digubris sama sekali oleh kedua belah pihak. Mereka
menganggap Kamboja tidak akan bisa berdamai selama masih ada campur tangan pihak asing
dalam penyelesaian konflik, sehingga Lon Nol yang dianggap kaki tangan imperialis akan
berbuat kecurangan jika mereka melakukan perundingan.
Adanya campur tangan pihak asing dalam konflik di Kamboja menunjukkan bahwa
negara lain sebenarnya ingin mendapatkan keuntungan tertentu dari Kamboja. Kenyataan ini
membuat para pemimpin di Kamboja sepakat untuk bekerja sama dalam menghalau pihak
asing keluar dari negara Kamboja terutama Vietnam yang menginvasi secara besar-besaran,
dan atas tindakan tersebut ASEAN pun turut membantu untuk menciptakan perdamaian di
Kamboja. Salah satu negara yang turut membantu proses perdamaian adalah Indonesia, yang
memiliki pasukan militer paling ditakuti di Asia Tenggara.
5
6. Konflik Perbatasan
Konflik yang terjadi di Kamboja belum berakhir saat Pergantian kekuasaan telah usai.
Perbatasan antara Vietnam dan Kamboja menjadi permasalahan baru kala itu, karena kedua
negara memang telah bermusuhan sejak lama. Invasi Vietnam tentu ada tujuannya, yaitu
ingin menguasai Kamboja. Namun saat keinginan mereka tidak dapat terwujud dan
pemerintah Kamboja sendiri menyadari maksud tersebut, maka Vietnam dipaksa untuk
keluar dari Vietnam. Kondisi ini juga melibatkan pertikaian hingga menjatuhkan banyak
korban.
Pengendalian konflik sosial memang cukup sulit dilakukan, meski telah melibatkan
berbagai negara untuk menciptakan perdamaian. Latar belakang konflik Kamboja ini dinilai
dapat menyebabkan permusuhan yang tiada akhir antara pemerintah maupun kelompok
pemberontak atau negara lainnya yang pernah terlibat dengan kepemerintahan Kamboja.
6
BAB II
ISI
A. Artikel Kamboja I
Tanggal 17 April 1975 menjadi hari yang bersejarah bagi masyarakat Kamboja. Mereka
merayakan lahirnya seorang pemimpin baru yang akan membawa perubahan besar bagi
Kamboja. Seorang pemimpin bernama Saloth Sar, atau yang lebih dikenal dengan nama Pol
Pot, memproklamasikan kepemimpinan baru menggantikan pemerintahan sebelumnya yang
dianggap sangat korup dan lemah dalam mengambil kebijakan.
Pemerintahan yang dipimpin oleh Lon Nol dianggap oleh Pol Pot tidak memiliki
kekuatan, dan ia ingin membuktikan cara terbaik yang harus diterapkan bagi rakyat Kamboja.
Pol Pot menyebut kepemimpinannya sebagai Hari Pembebasan yang akan membuat
Kamboja lebih berkembang, maju, dan bebas.
Namun rakyat Kamboja salah mengira “Hari Pembebasan” yang ingin diterapkan oleh
Pol Pot tidak seindah yang mereka bayangkan. Sejak jatuhnya rezim pemerintahan Lon Nol,
kegelapan mulai bergerak menerkam negeri itu. Pol Pot ternyata lebih buruk, dan lebih kejam
dibandingkan pemimpin sebelumnya. Terlambat bagi rakyat Kamboja untuk menyesali
keputusan mereka menjadikan Pol Pot sebagai pemimpin mereka.
7
Sejak awal pemerintahannya, Pol Pot telah menunjukkan keperkasaannya dengan
melakukan berbagai praktik kekejaman. Segala keputusannya telah jauh dari nilai-nilai
kemanusiaan. Kebijakan pemerintahan Pol Pot yang paling utama adalah membuat Kamboja
baru. Sehingga ia melakukan serangkaian pembantaian, yang telah menghilangkan nyawa
jutaan rakyat di seluruh wilayah Kamboja, demi rakyat baru yang lebih berkualitas.
Pemerintahan Pol Pot yang terkenal dengan nama rezim Khmer Merah telah membuat
Kamboja berlumuran darah. Perang sipil terjadi sejak Pol Pot berkuasa dari tahun 1975
sampai 1979. Pemimpin komunis itu melakukan pembantaian terhadap orang-orang yang
dianggap pro terhadap pemerintahan Lon Nol.
Kurang lebih ada sekitar 343 kamp penyiksaan di seluruh wilayah Kamboja yang dipilih
untuk tempat melakukan pembantaian. Salah satunya yang paling terkenal adalah Kamp
Choeung Ek. Lokasi itu dijadikan tempat penyiksaan untuk orang-orang yang memiliki
pengetahuan yang luas, kemampuan komunikasi yang hebat, dan berpendidikan tinggi.
Mereka dianggap sebagai orang yang akan menghambat pemerintahan Khmer Merah.
Pol Pot menuduh para intelektual itu sebagai bagian dari pemerintahan Lon Nol yang
masih berkeliaran dan akan sangat mengganggu. Kekejaman Pol Pot terhadap para kaum
terpelajar itu terlihat dari cara ia membunuh mereka. Di lokasi pembantaian konon dipasang
sebuah pengeras suara yang akan dihidupkan ketika mulai melakukan penyiksaan agar suara
rintihan para korban tidak terdengar.
Pemerintahan Pol Pot berhasil diakhiri pada 7 Januari 1979 setelah serangkaian
pemberontakan tidak lagi dapat dibendung oleh pasukan Khmer Merah. Rakyat Kamboja
bersatu menentang kekejaman yang telah dilakukan Khmer Merah selama bertahun-tahun.
Rakyat Kamboja di seluruh penjuru negeri merayakan kebebasannya dengan suka cita.
8
B. Artikel Kamboja II
Pada tahun 1975 hingga 1979 merupakan masa-masa kelam bagi rakyat Kamboja ketika
pemerintahan dikuasai Pol Pot dibawah rezim Khmer Merah. Khmer Merah menduduki
tampuk kekuasaan setelah berhasil menggulingkan Republik Khmer Lon Nolpada 17 April
1975. Jatuhnya rezim Lon Nol memberikan secercah harapan baru bagi penduduk Kamboja
untuk mencapai kedamaian setelah terjebak dalam perang saudara sejak 1967. Namun
kenyataannya, rezim Pol Pot dengan kebijakannya justru menambah panjang penderitaan
rakyat. Bagaimana konflik kamboja era rezim Pol Pot terkait kebijakan yang mengakibatkan
tewasnya sekitar 2 juta penduduk Kamboja pada tahun 1975-1979? Dalam hal ini, akan
dibahas mengenai konflik Kamboja sejak berdirinya rezim Pol Pot tahun 1975 hingga
jatuhnya pada tahun 1979.
9
Pada tanggal 17 April 1975, penduduk Kamboja dengan suka cita merayakan
kemenangannya ketika Rezim Lon Nol resmi terlengserkan yang menandai berakhirnya
perang sipil sejak 1965. Akan tetapi, Khmer Merah justru memerintahkan seluruh penduduk
lebih dari dua juta penduduk meninggalkan kota menuju pedesaan dalam rangka Revolusi
Agraria untuk tinggal dan bekerja di pedesaan sebagai petani. Hal ini dikarenakan kota-kota
besar di anggap sebagai basis dari kaum aristokrat dan penghambat revolusi. Dalam relokasi
paksa ini, anggota keluarga harus dipisahkan dari satu sama lain antara orang tua dan anaknya
untuk dikirim secara terpisah ke berbagai pedesaan untuk diperas tenaganya sampai
meninggal dunia karena kelelahan atau sakit. Pemerintahan Pol Pot yang mengusung konsep
Marxisme-Leninisme melakukan percobaan radikal untuk menciptakan utopia agrarian
dengan menyatakan konsep “Year Zero”. Pol Pot dan Khmer Merah mengklaim bahwa
Kamboja mampu menciptakan tatanan sosialis murni yang berdiri sendiri melalui
produktivitas petani dengan mengatakan "Kami membuat sebuah revolusi yang unik,"
kata."Apakah ada negara yang berani menghapuskan uang dan pasar seperti cara yang kami
miliki?. Kami adalah model yang baik bagi seluruh dunia."Konsep “Year Zero” merupakan
kebijakan di jalankan oleh negara komunis Kamboja untuk melakukan revolusi destruktif
yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan secara massal dalam suatu periode.
Pada bulan Agustus 1976, Pol Pot menjalankan Rencana Empat Tahun untuk
meningkatkan produksi pertanian sebagai produk ekspor melalui industrialisasi pertanian dan
pengembangan industri ringan beragam. Khmer Merah menjadikan seluruh penduduk
sebagai buruh budak paksa pada proyek pertanian besar-besaran yang diperlakukan dengan
sangat tidak manusiawi. Pada masa pemerintahan Pol Pot, sekitar 20% rakyat Kamboja tewas
akibat kebijakan utopis Pol Pot. Disamping itu, kebijakan tersebut menyebabkan rakyat
Kamboja telah kehilangan rasa moralitasnya hingga mengubah karakter budaya Kamboja
secara signifikan karena meraka hanya diwajibkan patuh terhadap pemerintah.
Kebijakan Pol Pot mendorong invasi Vietnam pada tahun 1978 yang dilatarbelakangi
pembantaian terhadap puluhan ribu warga keturunan Vietnam di Kamboja serta perlakuan
tidak manusiawi terhadap para anggota partai komunis pro Vietnam yang membantu
menumbangkan rezim Lon Nol kala itu. Disamping itu, sebagai serangan balasan atas
10
tindakan Pol Pot yang menyerang wilayah Vietnam. Kebijakan Pol Pot tersebut dianggap
melewati batas toleransi sehingga memaksa Vietnam menyerang pemerintahan Pol Pot guna
menyelamatkan rakyatnya. Pada bulan 25 Desember 1978, Vietnam menyerang wilayah
Kamboja dengan bala kekuatan sekitar 200.000 pasukan. Klimaksnya pada tanggal 10
Januari 1979, intervensi Vietnam secara resmi mengambil alih tampuk pemerintahan di
Kamboja dan mendirikan People’s Republic of Kampuchea (PRK) yang dipimpin Heng
Samrin.
Tindakan keji Khmer Merah terhadap Rakyat Kamboja mendapat kecaman keras dari
masyarakat internasional yang menganggap bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah
bentuk pelanggaran HAM. Namun demikian, kegemilangan People’s Republic of
Kampuchea (PRK) melengserkan Khmer Merah dan tampil sebagai pemimpin baru Kamboja
justru mendapat kecaman dari dunia internasional. Menanggapi reaksi keras masyarakat
internasional, Vietnam mendeklarasikan pembelaan bahwa tindakan okupasi yang
dilakukannya semata-mata dilakukan demi pembebasan rakyat Kamboja dari rezim Pol Pot
yang keji. Mayoritas masyarakat internasional menolak mengakui rezim Heng Samrin
sebagai pemerintahan yang sah di Kamboja dan masih tetap mengakui rezim Khmer Merah
sebagai pemerintahan yang sah mewakili Kamboja di forum internasional. Invasi Vietnam
dianggap sebagai tindakan ilegal dan melanggar norma-norma internasional seperti azas
untuk menentukan hak sendiri serta kebebasan dari campur tangan pihak asing. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa secara bulat komunitas dunia menghendaki agar pasukan
atau kekuatan asing dapat segera keluar dari Kamboja. Di bawah tekanan internasional,
Vietnam akhirnya menarik tentara pendudukan dari Kamboja. Keputusan dilakukan secara
terpaksa karena adanya sanksi ekonomi terhadap Kamboja dan pemberhentian dukungan
terhadap Vietnam oleh Uni Soviet. Dalam invasi Vietnam, pada tahun 1978 hingga 1989
mengakibatkan 65.000 tewas terbunuh, 14.000 di antaranya adalah warga sipil.
11
C. Artikel Kamboja III
Konflik Kamboja
Pada 17 April 1975, tepat hari ini 44 tahun lalu, pasukan Khmer Merah sukses merebut
ibu kota Phnom Penh. Time mencatatnya sebagai capaian yang tidak terlalu mengejutkan.
Selama perang berlangsung, tentara komunis-maois itu terus-menerus meningkatkan
kekuatannya. Di sisi lain AS telah mundur dari ibu kota, sehingga kejatuhannya tinggal
menunggu waktu.
Pol Pot, Nuon Chea, Ieng Sary, Son Sen, dan Khieu Samphan memimpin rezim baru. Pol
Pot menjadi yang paling berkuasa sebab memegang jabatan sebagai Perdana Menteri
sekaligus Ketua Politbiro dan Komite Sentral CPK. Mereka mengubah nama negara menjadi
Kampuchea (per 1976 menjadi Democratic Kampuchea), nama yang lebih disukai golongan
komunis ketimbang “Cambodia" (Kamboja).
Selanjutnya adalah apa yang para sejarawan sebut sebagai “rekayasa sosial" yang radikal.
Masyarakat Kampuchea diisolasi dari semua pengaruh asing. Rakyat kota diungsikan semua
12
ke area pedesaan. Bank diberhentikan operasionalnya. Sekolah, rumah sakit, dan sejumlah
pabrik juga ditutup. Sebagaimana rezim menyatakan negara akan memulai “Tahun Nol",
Pol Pot ingin masyarakat Kampuchea “terlahir kembali" melalui kolektivisme dan
swasembada absolut. Ia percaya kebijakan itu akan turut merangsang daya produksi kerajinan
dan kemampuan industri negara di masa depan.
13
D. Artikel Kamboja IV
Perang Saudara Kamboja adalah konflik yang terjadi antara tentara Partai Komunis
Kampuchea dan sekutu mereka Republik Demokratik Vietnam (Vietnam Utara) dan Front
Nasional Pembebasan Vietnam Selatan melawan pemerintah Kamboja yang didukung ole
Amerika Serikat dan Republik Vietnam (Vietnam Selatan).
Rencana pemerintah tak mendapat dukungan dari rakyat karena banyaknya korupsi dan
kehidupan glamornya di Phnom Penh. Pada 1967 perubahan dalam kebijakan beras
pemerintah menyulut terjadinya sejumlah kerusuhan besar di Samlaut yang terletak di barat
laut. Kerusuhan ini mengarah pada represif pemberontakan brutal. Sementara itu golongan
kiri terkemuka secara bertahap meninggalkan Ibukota menuju pedesaan guna melancarkan
14
pemberontakan melawan Sihanouk yang menyebut mereka sebagai Khmer Krahom atau
Khmer merah.
Pada tahun 1966, Sihanouk membuat keputusan yang justru merugikan dirinya.
Kesepakatanya dengan Republik Demokratik Vietnam memang membantunya untuk
menekan pergerakaan Khmer Merah akan tetapi hal tersebut justru membuat Khmer Merah
yang berhaluan komunis tidak mempercayai lagi rekan-rekanya di Vietnam yang dianggap
justru mementingkan dirinya sendiri. Tahun 1970, Khmer merah berhasil menguasai daerah
yang luas di pedesaan.
Di tahun ini pula terjadi peristiwa penting dan dianggap sebagai permulaan perang
saudara di Kamboja. Lon Nol, yang tidak lain adalah seorang perdana menteri melakukan
kudeta terhadap kekuasaan Sihanouk yang kala itu sedang berobat berada di luar negeri.
Perdana Menteri Letnan Jenderal Lon Nol dan Pangeran Sisowath Sirik Matak yang pro-
Amerika Serikat memimpin pemberontakan pada tanggal 18 Maret 1970
Pada tahun 1970, Lon Nol, menteri pertahanan melakukan kudeta terhadap Sihanouk
karena Sihanouk mengizinkan pasukan sementara Vietnam selatan menduduki wilayah
Kamboja dan hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Kamboja.
Pangeran Sihanouk dianggap otoriter karena bertindak tanpa memperhatikan undang-undang
dan konstitusi Sihanouk bersifat pilih kasih terhadap keluarga dalam memilih orang-orang
yang akan duduk dalam kursi pemerintahan Sihanouk dituduh membiarkan terjadinya
korupsi diantara keluarga-keluarga kerajaan. Kudeta terhadap sihanouk oleh Lon Nol
tersebut benar-benar membuat suhu politik Kamboja memanas. Lon Nol mendapat
dukunggan Amerika bertekad untuk lebih tegas terhadap komunis Kamboja dan Vietnam.
Amerika kemudian melakukan pengeboman di pedesaan-pedesaan yang diyakini tempat
komunis. Pengeboman ini tentu saja menimbulkan banyak korban jiwa dan juga
menimbulkan kemarahann besar terhadap Pemerintah Kamboja.
Sihanouk yang ingin membalas dendam atas kudeta terhadap dirinya kemudian
bergabung bersama Khieu Samphan, Hou Yuon, dan Hu Nim (Tiga serangkai). Pada periode
1970-1975 merupakan masa yang getir bagi kamboja karena adanya perang saudara.
15
Sihanouk juga bergabung dengan Khmer Merah meskipun tidak diketahui secara pasti
dimana ia memainkan peranya.
Khmer merah di bawah pimpinan Pol Pot berhasil menggulingkan kekuasaan Lon Nol
pada 17 April 1975. Secercah harapan baru bagi Kamboja untuk mencapai kedamaian dann
mengakhiri perang saudara sangat nyata di rasakan oleh penduduk Kamboja. Akan tetapi
yang terjadi justru tidak demikian kebijakan rezim Pol Pot pun juga tidak serta merta seperti
ekspektasi penduduk Kamboja. Kebijakan yang diambil Pol Pot adalah melalui Revolusi
agraria, yaitu membangun kamboja dengan memanfaatkan pertanian.
Pada 13 Mei 1976 Pol Pot dilantik sebagai Perdana Menteri Kamboja dan mulai
menerapkan kebijakan mengarahkan negara ke arah sosialisme. Pengeboman yang pernah
dilakukan pihak AS telah mengakibatkan wilayah pedesaan ditinggalkan dan kota-kota sesak
disi rakyat (Populasi Phnom Penh bertambah sekitar 1 juta jiwa dibandingkan dengan
sebelum 1976).
Khmer merah kemudian memerintahkan seluruh penduduk lebih dari dua juta penduduk
meninggalkan kota menuju pedesaan dalam rangka "Revolusi Agraria" untuk tinggal dan
bekerja di pedesaan sebagai petani dikarenakan kota-kota besar dianggap sebagai basis dari
kaum aristokrat dan penghambat revolusi. Periode ini merupakan periode yang cukup tragis,
akibat kebijakan yang lebih menekankan pertanian dalam skala besar ini mengakibatkan
banyak penduduk Kamboja yang meninggal akibat kelaparan dan kekejaman rezim Pol Pot.
Rezim ini pada periode 1975-1978 ini juga dikenal dengan Rezim Demokratik
Kampuchea yang beranggapan bahwa Tuhan sudah mati dan partai akan memberikan
segalanya untuk penduduk. Penduduk hanya dikondisikan untuk memikirkan partai. Mereka
juga menberikan sugesti bahwa tidak ada yang terjadi di masa lalu dan mereka menyebut
rezimnya sebagai “Tahun Nol.”
Para penduduk didera rasa ketakutan karena mereka selalu merasa disekitarnya adalah
musuh yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawa mereka. Sejarah kelam kebrutalan rezim
komunis yang berkuasa pada 1975-1979 itu belum bisa sepenuhnya dihapus dari ingatan
rakyat Kamboja maupun dunia internasional.
16
Sampai sekarang masih terdapat bukti dari kebiadaban rezim Pol Pot seperti di Kamp
penyiksaan Tuol Sleng serta “ladang pembantaian” (killing field) Choeung Ek. Choeung Ek
adalah ‘ladang pembantaian’ yang digunakan rezim Khmer Merah selama empat tahun,
sebagai lokasi eksekusi orang-orang berpendidikan tinggi dari Phnom Penh. Ada sekitar
20.000 orang dieksekusi di situ.
Mereka yang dieksekusi umumnya pernah bekerja di bawah rezim Lon Nol, yakni
pemerintah dukungan AS, tetapi dikenal sangat buruk dan korup. Tanpa pandang bulu,
mereka yang diketahui punya ide dan pandangan politik berbeda dengan Pol Pot, ditangkap
dan dieksekusi. Penangkapan bahkan kerap terjadi pada orang yang hanya karena
berpenampilan intelektual, antara lain dapat berbahasa asing, punya telapak tangan halus,
berkaca mata, serta bermata pencarian bukan buruh, petani, atau pekerjaan-pekerjaan kasar
lain.
Konflik Vietnam-Kamboja
April 1977, Kampuchea melakukan serangan ke Provinsi An Giang dan Chau Doc di
Vietnam. Vietnam bereaksi dan mempertanyakan tindakan terhadap mereka dengan
mengirimkan pasukanya ke Kampuchea dan menawarkan solusi damai. Namun Kampuchea
menolak menghentikan serangan. Serangan baru akan dihentikan jika Vietnam mau
menyerahkan wilayah yang menjadi sengketa ke Kampuchea. Akan tetapi tawaran tersebut
di tolak oleh Vietnam.
17
Langkah Vietnam ini sebenarnya untuk mengelabuhi Kamboja karena mereka akan
mengerahkan pasukan dalam jumlah lebih besar,yaitu invasi untuk menggulinggkan Pol Pot
dan rezim Khmer Merah dari tampuk kekuasaan di Kamboja. Menunggu waktu yang tepat
untuk menginvasi Kamboja, Vietnam membantu para penentang rezim Khmer Merah untuk
memberontak. Kampuchea bereaksi dengan membantai Etnis Vietnam dan orang-orang
Kampuchea yang dianggap bersimpati kepada Vietnam.
Bersama KNUFNS, Pemerintah Vietnam beralasan bahwa Kamboja harus di invasi untuk
membebaskan Kamboja dari kediktatoran Pol Pot dan Khmer merah. Pada tanggal 22
Desember 1978, Vietnam benar-benar menginvasi Kamboja dengan mengerahkan pasukan
lebih dari 120.000 tentara yang dilengkapi dengan meriam artileri dan kendaraan lapis baja.
Pasukan Kampuchea berusaha menghentikan pergerakan pasukan Vietnam namun yang
terjadi justru pasukan Kampuchea kehilangan separuh pasukanya hanya dalam waktu 2
minggu.
Rakyat Kampuchea yang mengetahui bahwa mereka sedang di invasi nyatanya justru
bersikap pasif dan tidak ikut melawan Vietnam karena mereka sudah terlanjur menderita
akibat Pemerintahan Khmer merah. Pada Januari 1979, Phnom Penh, Ibukota Kamboja
berhasil dikuasai oleh Vietnam sekaligus mengakhiri kekuasaan rezim Khmer merah. Sebuah
pemerintahan kemudian didirikan, yaitu Republik Rakyat Kamboja (RRK) yang
berhubungan erat dengan Vietnam sementara Pol Pot dan para pengikutnya berhasil
melarikan diri ke kawasan pelosok di Kampuchea.
18
E. Artikel Kamboja V
PERANG KAMBOJA
Tahun 1970 Sihanouk beralih ke pihak Pol Pot karena dijatuhkan Jendral Lon Nol yang
didukung Amerika Serikat. Ketika Lon Nol berkuasa 20 tahun silam, lewat penggulingan
Sihanouk, mereka dijanjikan akan bisa hidup lebih tenteram dan sejahtera. Dunia Barat,
terutama AS, juga lega karena Sihanouk dianggap condong ke Beijing dan Vietnam Utara.
Yang terjadi, Lon Nol ternyata memerintah dengan tangan besi.
Untuk menghadapi Viet Kong Di era 1970-an, Richard Nixon dan penasihat
pertahanannya Henry Kissinger memerintahkan bombardemen di wilayah Kamboja yang
menewaskan 750 ribu orang Kamboja yang diperkirakan sebagai pendukung Vietkong. Tidak
cukup dengan aksi karpet bom, Amerika juga menggunakan Pol Pot untuk menghadapi
gerilyawan Vietkong dan para pengikutnya yang menyusup ke wilayah Kamboja. Kemudian
tahun 1973 – Pihak Vietkong meninggalkan Kamboja.
Karena pemerintahan Lon Nol yang bertangan besi dianggap menyengsarakan rakyat,
Partai Komunis Kamboja mengambil alih kekuasaan. Lon Nol melarikan diri ke AS.Tahun
1975 – Sihanouk kembali berkuasa namun mulai ditinggalkan rekan-rekannya yang komunis,
yang tidak tertarik dengan pengembalian monarki.
19
saudara berkepanjangan. Pihak ketiga pun ikut beraksi. RRC muncul sebagai pendukung
Khmer Merah, AS di belakang para gerilyawan nonkomunis, Vietnam menyokong rezim
Phnom Penh, dan Muangthai memberi tempat bagi basis-basis militer para gerilyawan.
Pada awal 1976 pihak Khmer Merah menahan Sihanouk dalam tahanan rumah.
Pemerintah yang ada saat itu segera diganti dan Pangeran Sihanouk dilepas dari jabatannya
sebagai kepala negara. Kamboja menjadi sebuah republik komunis dengan nama “Kamboja
Demokratis” (Democratic Kampuchea) dan Khieu Samphan menjadi presiden pertama.
Pada 13 Mei 1976 Pol Pot dilantik sebagai Perdana Menteri Kamboja dan mulai
menerapkan perubahan sosialis terhadap negara tersebut. Pengeboman yang dilakukan pihak
AS telah mengakibatkan wilayah pedesaan ditinggalkan dan kota-kota sesak diisi rakyat
(Populasi Phnom Penh bertambah sekitar 1 juta jiwa dibandingkan dengan sebelum 1976).
Pada akhir 1978, Vietnam menginvasi Kamboja. Pasukan Kamboja dikalahkan dengan
mudah, dan Pol Pot lari ke perbatasan Thailand. Pada Januari 1979, Vietnam membentuk
pemerintah boneka di bawah Heng Samrin, yang terdiri dari anggota Khmer Merah yang
sebelumnya melarikan diri ke Vietnam untuk menghindari penmbasmian yang terjadi
sebelumnya pada 1954. Banyak anggota Khmer Merah di Kamboja sebelah timur yang
pindah ke pihak Vietnam karena takut dituduh berkolaborasi. Pol Pot berhasil
mempertahankan jumlah pengikut yang cukup untuk tetap bertempur di wilayah-wilayah
yang kecil di sebelah barat Kamboja. Pada saat itu, Tiongkok, yang sebelumnya mendukung
Pol Pot, menyerang, dan menyebabkan Perang Tiongkok-Vietnam yang tidak berlangsung
20
lama. Pol Pot, musuh Uni Soviet, juga memperoleh dukungan dari Thailand dan AS. AS dan
Tiongkok memveto alokasi perwakilan Kamboja di Sidang Umum PBB yang berasal dari
pemerintahan Heng Samrin. AS secara langsung dan tidak langsung mendukung Pol Pot
dengan menyalurkan bantuan dana yang dikumpulkan untuk Khmer Merah.
Jumlah korban jiwa dari perang saudara, konsolidasi kekuasaan Pol Pot dan invasi
Vietnam masih dipertentangkan. Sumber-sumber yang dapat dipercaya dari pihak Barat
menyebut angka 1,6 juta jiwa, sedangkan sebuah sumber yang spesifik, seperti jumlah tiga
juta korban jiwa antara 1975 dan 1979, diberikan oleh rezim Phnom Penh yang didukung
Vietnam, PRK. Bapa Ponchaud memberikan perkiraan sebesar 2,3 juta—meski jumlah ini
termasuk ratusan ribu korban sebelum pengambil alihan yang dilakukan Partai Komunis.
Amnesty International menyebut 1,4 juta; sedngkan Departemen Negara AS, 1,2 juta. Khieu
Samphan dan Pol Pot sendiri, masing-masing menyebut 1 juta dan 800.000.
Setelah jatuhnya Khmer Merah pada 1979 akibat serangan Vietnam, di Kamboja
berkuasa Republik Rakyat Kamboja yang pro-Vietnam. Namun masih terjadi perang saudara
di Kamboja akibat konflik antara gerilya Khmer Merah (yang dibantu oleh China dan
bersekutu dengan mantan raja Norodom Sihanok dan kelompok anti komunis) melawan
Republik Rakyat Kamboja (yang dibantu oleh pemerintah komunis Vietnam).
Bulan Juli 1988, Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, Ali Alatas, mengadakan
pertemuan pertama di antara empat faksi-faksi Kamboja yang bertikai, yang terdiri dari
FUNCINPEC (kelompk Norodom Sihanok), Khmer Merah, KPNLF (kelompklok anti
komunis Son Sann), dan pemerintah Republik Rakyat Kamboja.Dua pertemuan lagi diadakan
21
pada bulan Februari dan Mei 1989 antara para pihak bertikai. Karena semua pertemuan ini
diadakan di Jakarta, pertemuan ini dikenal sebagai Jakarta Informal Meetings (JIM) atau
Pertemuan Informal Jakarta. Pertemuan di Jakarta ini menjadi awal perundingan untuk
mengakhiri konflik Kamboja.
Pada bulan Juli 1989, Ali Alatas bersama dengan Menteri Luar Negeri Prancis, Roland
Dumas dalam membuka Konferensi Perdamaian Paris, yang merupakan tindak lanjut
pertemuan Jakarta. Dalam pertemuan Paris dilakukan diskusi-diskusi terjadi mengenai
rencana penarikan mundur pasukan Vietnam dari Kamboja dan pembagian pembagian
kekuasaan dalam pemerintahan Kamboja yang akan datang.
22
BAB III
ANALISIS KAMBOJA
A. ANALISIS KAMBOJA
2) Kuil Hindu Kuno (Preah Vihear) yang diperebutkan sebenarnya sudah diakui sebagai
milik Kamboja oleh PBB. Ini terbukti dengan terdaftarnya kuil ini sebagai World Heritage
atas nama Kamboja beberapa tahun lalu. Bahkan, pada tahun 1962, International Court
Justice juga sudah mengakui bahwa kuil ini berada dalam wilayah Kamboja. Jadi, sebenarnya
masalah ini sudah selesai secara hukum internasional dan Kamboja tentunya tidak memiliki
kepentingan untuk memperebutkan kembali permasalahan kepemilikan kuil ini.
3) Di sisi lain, Thailand secara politik mengalami instabilitas. PM Samak baru saja
diturunkan secara paksa oleh kekuatan rakyat (walaupun kemudian penurunan ini
dilegitimasi dengan tuduhan lain). PM Somchai yang baru naik pun sepertinya tidak akan
bertahan lama, karena masih kerabat mantan PM Thaksin. Padahal, jelas sekali bahwa massa
sebelumnya menuntut penurunan PM Samak karena menuduh Samak sebagai antek Thaksin,
apatah lagi bila yang menjadi PM adalah kerabat Thaksin sendiri. Jadi, masalahnya belum
selesai dan konflik dalam negeri ini diperkirakan akan terus berkepanjangan.
4) Untuk menghadapi instabilitas dan konflik horizontal dalam negeri ini, obat yang paling
ampuh adalah mengalihkan perhatian rakyat, antara lain dengan cara "memiliki musuh
23
bersama". Terkait ini, sangat mungkin Thailand lah yang mengharapkan adanya konflik ini,
karena jelas Kamboja tidak akan pernah bisa diuntungkan dengan adanya konflik ini. Secara
hukum internasional, posisi Kamboja atas kuil ini sudah jelas. Secara politik, Kamboja relatif
stabil. Secara ekonomi, mereka sedang giat-giatnya bangkit dari keterpurukan akibat perang
saudara berkepanjangan pada dekade-dekade yang telah lalu. Secara militer, di atas kertas
mereka jauh kalah dibanding Thailand sehingga tidak mungkin Kamboja sengaja menantang
Thailand untuk sebuah konflik terbuka.
5) Saya yakin, konflik ini akan berlanjut dalam bentuk provokasi-provokasi kecil secara
sporadis oleh militer Thailand, dan bila Kamboja terpancing dengan provokasi tsb, bukan
tidak mungkin konflik ini akan membesar.
6) Keberanian Thailand untuk menantang Kamboja ke dalam konflik terbuka itu sendiri
kemungkinan didorong oleh fakta perimbangan kekuatan, bahwa kekuatan militer Kamboja
sendiri secara alutsista kalah jauh dibanding Thailand. Kelemahan militer suatu negara selalu
bisa menjadi salah satu pendorong / motivasi bagi terjadinya agresi oleh negara lain ke negara
tersebut.
24
BAB IV
KESIMPULAN
25
untuk melakukan revolusi destruktif yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan secara
massal dalam suatu periode.
Pada bulan Agustus 1976, Pol Pot menjalankan Rencana Empat Tahun untuk
meningkatkan produksi pertanian sebagai produk ekspor melalui industrialisasi pertanian dan
pengembangan industri ringan beragam. Khmer Merah menjadikan seluruh penduduk
sebagai buruh budak paksa pada proyek pertanian besar-besaran yang diperlakukan dengan
sangat tidak manusiawi. Kebijakan tersebut menyebabkan rakyat Kamboja telah kehilangan
rasa moralitasnya hingga mengubah karakter budaya Kamboja secara signifikan karena
meraka hanya diwajibkan patuh terhadap pemerintah. Tindakan keji Khmer Merah terhadap
Rakyat Kamboja mendapat kecaman keras dari masyarakat internasional yang menganggap
bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah bentuk pelanggaran HAM.
Pada 17 Juni 1982 dibentuk CGDK (Coalition Goverment for Democratic Khmer)
yang diusulkan ASEAN. Pada 5 Desember 1987, pihak bertikai di Kamboa menandatangani
Perjanjian Damai di Paris, Prancis namun perjanjian tersebut tidak bertahan lama. Kemudian
di adakan JIM (Jakarta Informal Meeting) di Bogor Jawa Barat 25-18 Juli 1988. Pertemuan
kedua dilaksanakan bulan Februari 1989 di Jakarta. Pertemuan tersebut berhasil
mengendalikan dampak perang saudara di Kamboja. Pada 1994, PBB menyerukan diadakan
persidangan untuk meghukum para anggota Khmer Merah. Pada 1997, polpot ditangkap oleh
anggota Khmer Merah. Dan dinyatakan bersalah dalam sidang ‘akal-akalan’. PolPot
meninggal setahun kemudian karena gagal jantung. Persidangan PBB direalisasikan pada
November 2007 dan berlanjut hingga 2010.
26
DAFTAR PUSTAKA
Perang Kamboja I
https://tirto.id/rezim-khmer-merah-rekayasa-sosial-terbrutal-dalam-sejarah-kamboja-dmgy
Perang Kamboja II
http://www.donisetyawan.com/konflik-kamboja-2/
Perang Kamboja IV
http://penikmatpena.blogspot.com/2017/08/konflik-kamboja-a.html
27