Laporan Sementara MT - Kelompok 2 PDF
Laporan Sementara MT - Kelompok 2 PDF
PER METODE
KULIAH LAPANGAN GEOTERPADU 2019
METODE
MAGNETOTELURIK
KELOMPOK 2:
Rizki Putri Amaliastuti (03411640000008)
Ramaditio Bagus Pradana (03411640000031)
Adjeng Yalastri Atha Nafilah (03411640000038)
Bagoes Idcha Mawardi (03411640000046)
Diki Setiwan (03411640000048)
M. Lutfilah K. (03411640000054)
Abiyyu Tsany (03411640000063)
Gunung Pandan terletak di Kabupaten Bojonegoro diduga memiliki sumber panas dalam
sistem panas bumi yang berkaitan dengan tubuh batuan plutonik. Hal ini dikarenakan batuan
tersebut berasosiasi dengan kegiatan magmatisme sehingga menghasilkan batuan vulkanik
termuda. Daerah ini ditemukan manifestasi berupa mata air hangat di sekitar daerah Selo
Gajah. Maka, untuk mengetahui struktur bawah permukaan dan litologi yang menyusun daerah
ini dilakukan pengukuran metode geofisika yaitu metode Magnetotelurik. Metode MT dapat
mengetahui sebaran batuan dan lapisan di bawah permukaan dengan melihat nilai
resistivitasnya atau tahanan jenisnya . Selain itu model konseptual, luas dan batas reservoir
panas bumi dapat diketahui. Metode ini memanfaatkan sumber elektromagnetik natural
(biasanya pada range frekuensi 0,001 Hz – 10 KHz). Pengukuran dilakukan dengan 7 titik
daerah pengukuran dan 1 lintasan di setiap titiknya. Pengukuran menggunakan alat Zonge.
Hasil pengukuran berupa kurva impedansi TE dan TM yang kemudian akan diedit dan
dilakukan smoothing menggunakan smoothing D+ dan diedit menggunakan MTFT2.
Kemudian hasil smoothing diexport dalam format edi untuk mendapatkan penampang
persebaran resistivitas dengan pemodelan 1D dan 2D menggunakan WinGLink. Hasil
interpretasi dari penampang 2D diduga pada kedalaman 0 – 8250 dengan nilai resistivitas <
100 Ωm merupakan batuan breksi yang mengandung air. Sedangkan untuk nilai resistivitas >
100 Ωm merupakan pasir tuffan. Pada kedalaman 2000 – 6000 m dengan nilai resistivitas 10 –
85 Ωm diduga sebagai lapisan reservoir. Sedangkan pada ketinggian 200 hingga kedalaman
2000 m diduga sebagai manifestasi berupa mata air hangat yang ditemukan di daerah Selo
Gajah.
Kata Kunci : Inversi, Magnetotelurik, Panas Bumi, Resistivitas
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu lempeng Indo-Australia di
bagian selatan, lempeng Eurasia di bagian utara dan lempeng Pasifik di bagian timur.
Pergerakan realtif ketiga lempeng ini menyebabkan terjadinya tumbukan antar lempeng dan
berakibat pada terbentuknya zona subduksi sehingga terbentuk jalur magmatik, palung laut,
jalur busur luar kepulauan, sesar aktif dan gempabumi (Daryono, 2010). Proses peleburan
magma dalam bentuk partial melting pada batuan mantel dan diferensiasi magma saat
perjalanannya menuju permukaan yang menghasilkan kantong magma akan menghasilkan
jalur magmatik (Ring of Fire). Munculnya rentetan gunung api Pasifik di sebagian wilayah
Indonesia beserta aktivitas tektoniknya dijadikan sebagai model konseptual pembentukan
sistem panas bumi Indonesia.
Pulau Jawa termasuk dalam zona subduksi yang terletak di Selatan Pulau Jawa. Zona
subduksi ini merupakan tumbukan antara kerak samudra (Indo-Australia) dan kerak benua
(Eurasia). Tumbukan antar 2 lempeng ini menghasilkan magma yang naik ke permukaan dan
membentuk pegunungan di sepanjang pulau Jawa. Gunungapi di pulau Jawa didominasi oleh
tipe stratovolcano andesitic yang berelasi dengan sistem geotermal. Gunungapi Pandan
merupakan salah satu gunung api yang pernah aktif yang letaknya berada di Pulau Jawa,
tepatnya berada pada perbatasan antara 3 kota di Jawa Timur yaitu Nganjuk, Madiun dan
Bojonegoro. Secara fisiografis, Gunungapi Pandan termasuk dalam antiklinorium Kendeng
atau Zona Kendeng. Kehadiran manifestasi panas bumi berupa mataair dan kolam lumpur
mengindikasikan bahwa Gunungapi Pandan memiliki prospek energi panas bumi.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, terdapat mataair panas yang tersingkap di
permukaan dan terletak di kaki Gunungapi Pandan, tepatnya di Desa Jari, Kecamatan Gondang,
Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Selain itu, ditemukan pula kolam lumpur yang muncul
pada tahun 2016 silam, ketika terjadi swarm earthquake di Kabupaten Bojonegoro (Nugraha
A. D., dkk, 2016). Kemunculan dua manifestasi besar ini dapat digunakan sebagai data untuk
melihat potensi dari energi panas bumi di sekitar Gunungapi Pandan.
Dalam kegiatan eksplorasi panas bumi, survei geofisika diperlukan untuk mendapatkan
potensi dari titik-titik panas bumi (hotspots). Metode geofisika digunakan untuk mengetahui
sifat fisis batuan penyusun daerah tersebut, seperti densitas, konduktivitas, suseptibilitas dan
lain-lain. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah MT atau magnetotellurik yang
merupakan metode elektromagnetik pasif. Metode MT ini melibatkan pengukuran fluktuasi
medan listrik dan medan magnet alami pada permukaan bumi yang selanjutnya digunakan
untuk menentukan nilai konduktivitas batuan di bawah permukaan dari kedalaman dangkal
hingga puluhan kilometer. Medium konduktor bumi ini mempunyai nilai resistivitas yang
bervariasi dimana nilai resistivitas yang bervariasi itulah yang nantinya dapat digunakan untuk
menggambarkan bagaimana kondisi litologi di bawah permukaan daerah panasbumi.
(Wulandari, 2014).
Metode ini menggunakan frekuensi yang berkisar antara 0,001 Hz-10 KHz (Simpson, F.,
2005). Medan elektromagnetik primer menginduksi batuan menghasilkan medan magnet
sekunder. Variasi sementara medan magnetic ini kemudian direkam dan digunakan untuk
mengetahui properti elektrik dibawah permukaan bumi (konduktivitas atau resistivitas).
Rentang frekuensi ini dimanfaatkan untuk mengidentifikasi lapisan bawah permukaan pada
kedalaman puluhan hingga ribuan kilometer, dimana semakin rendah frekuensi maka semakin
dalam jangkauan penetrasi. Berdasarkan penjelasan di atas, metode magnetotelurik merupakan
metode yang efektif dan efisien dalam eksplorasi panas bumi (Leeuwen, W.A., 2016).
Menimbang bahwa energi panas bumi merupakan salah satu energi alternatif yang dapat
digunakan sebagai pengganti energi tak terbarukan (seperti; fossil), maka diperlukan sebuah
usaha untuk mengidentifikasikan potensi panas bumi di daerah Gunungapi Pandan. Penelitian
ini dilakukan untuk mengidentifikasi struktur bawah permukaan daerah sekitar Gunungapi
Pandan dan selanjutnya diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk eksplorasi ataupun
eksploitasi panas bumi lebih lanjut.
Batasan Masalah
Pada penelitian kali ini, terdapat beberapa batasan masalah yang digunakan, diantaranya
adalah :
1. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode AMT-MT yang dilakukan dengan
perekaman selama 3 jam untuk AMT, dan 12 jam untuk MT.
2. Pengolahan data dilakukan dengan software WinGLink.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang timbul dari latar belakang penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana model struktur bawah permukaan di daerah penelitian?
2. Bagaimana litologi penyusun daerah penelitian tersebut?
Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memodelkan struktur bawah permukaan di daerah penelitian
2. Mengidentifikasi litologi penyusun daerah penelitian tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2. 1 Zonasi Fisiografis Pulau Jawa (Pannekoek, 1949; van Bemmelen, 1949 dalam
Husein S., dkk., 2016)
Stratigrafi penyusun Zona Kendeng merupakan endapan laut dalam di bagian bawah,
kemudian semakin ke atas berubah menjadi endapan laut dangkal, dan akhirnya menjadi
endapan non-laut. Endapan di Zona Kendeng terdiri dari endapan turbidit klastik, karbonat dan
vulkaniklastik. Stratigrafi Zona Kendeng dari yang paling tua hingga ke muda antara lain;
1. Formasi Pelang
Formasi ini merupakan formasi tertua yang tersingkap di Mandala Kendeng. Singkapan
yang menandakan adanya formasi ini berada di Desa Pelang, Selatan Juwangi dan bagian
yang tersingkap memiliki ketebalan antara 85 meter hingga 125 meter. Litologi utama
penyusun formasi ini adalah napal, napal lempungan dengan lensa kalkarenit bioklastik
yang banyak mengandung fosil foraminifera besar.
2. Formasi Kerek
Formasi Kerek memiliki ciri khas dalam litologinya yakni berupa perulangan
perselingan antara batulempung, napal, batupasir tuf gampingan dan batupasir tufan.
Perulangan ini menunjukkan adanya struktur sedimen yang khas yakni graded bedding.
Singkapan formasi ini terlihat di Desa Kerek, di tepi sungai Bengawan Solo, berjarak
kurang lebih 8 km dari utara Ngawi. Di sekitar lokasi formasi ini terdapat tiga anggota
yakni;
a. Anggota Banyuurip
Anggota Banyuurip yang berusia Miosen tengah (N10-N15) tersusun atas
perselingan antara napal lempungan, lempung dengan batupasir tuf gampingan dan
batupasir tufaan dengan ketebalan sekitar 270 meter. Di bagian tengah ditemui sisipan
batupasir gampingan dan tufaan setebal 5 meter, sedangkan di bagian atas ditandai
dengan adanya perlapisan kalkarenit pasiran setebal 5 meter dengan sisipan tuf halus.
b. Anggota Sentul
Anggota Sentul terdiri atas perulangan yang hampir sama dengan anggota
Banyuurip, namun lapisan tuf ataupun lapisan yang bertuf menjadi lebih tebal.
Anggota Sentul berusia Miosen bawah (N16)
c. Anggota Batugamping Kerek
Anggota paling atas dari Formasi Kerek tersusun atas perselingan antara
batugamping tufaan dengan pelapisan lempung dan tuf. Anggota ini berusia Miosen
atas, N17.
3. Formasi Kalibeng
Formasi Kalibeng terdiri dari dua bagian yaitu bagian atas dan bagian bawah.
a. Formasi Kalibeng Bagian Bawah
Napal tak berlapis setebal 600 meter dengan warna putih kekuning-kuningan
hingga abu-abu kebiru-biruan merupakan penyusun formasi Kalibeng bagian bawah.
Terdapat beberapa pelapisan tipis batupasir yang ke arah Kendeng bagian barat
berkembang menjadi suatu endapan aliran rombakan yang kemudian disebut Anggota
Banyak. Ke arah timur di sekitar Gunung Pandan, di bagian atas formasi ini
berkembang sebagai endapan vulkanik laut yang menunjukkan struktur turbidit, dan
ini dikenal sebagai Anggota Atasangin.
b. Formasi Kalibeng Bagian Atas
Bagian atas dari formasi ini sering disebut dengan Formasi Sonde yang berumur
Pliosen (N19-N21) yang tersusun oleh Anggota Klitik yang terdiri dari satuan litologi
kalkarenit putih kekuning-kuningan dengan struktur lunak dan mengandung
foraminifera plangtonik. Sifat dari kalkarenit ini adalah napalan atau pasiran berlapis.
Sedangkan bagian atas tersusun atas merupakan breksi dengan fragmen gamping
berukuran kerikil dan memiliki semen karbonat. Kemudian disusul dengan endapan
napal pasiran, semakin ke atas, napalnya bersifat lempungan. Dan bagian teratas
ditempati oleh lempung berwarna hijau kebiru-biruan.
4. Formasi Pucangan
Formasi Pucangan ini mempunyai penyebaran yang cukup luas. Di daerah
Sangiran, Formasi Pucangan berkembang sebagai fasies vulkanik dan fasies lempung
hitam. Fasies vulkaniknya berkembang sebagai endapan lahar yang menumpang
diatas Formasi Kalibeng. Fasies lempung hitamnya berkembang dari fasies laut, air
payau hingga air tawar. Di bagian bawah dari lempung hitam ini sering dijumpai
adanya fosil diatomae dengan sisipan lapisan tipis yang mengandung foraminifera
bentonik penciri laut dangkal. Semakin ke atas akan menunjukkan kondisi
pengendapan air tawar yang dicirikan dengan adanya fosil moluska penciri air tawar.
5. Formasi Kabuh
Formasi ini mempunyai lokasi tipe di Desa Kabuh, Kec. Kabuh, Jombang. Formasi
ini tersusun oleh batupasir dengan material non vulkanik antara lain kuarsa, berstruktur
silang siur dengan sisipan konglomerat, mengandung moluska air tawar dan fosil-fosil
vertebrata. Di daerah Kendeng barat formasi ini tersingkap di kubah Sangiran sebagai
batupasir silang siur dengan sisipan konglomerat dan tuf setebal 100 meter. Batuan ini
diendapkan fluvial dimana terdapat struktur silang siur, maupun merupakan endapan
danau karena terdapat moluska air tawar seperti yang dijumpai di Trinil.
6. Formasi Notopuro
Formasi ini mempunyai lokasi tipe di Desa Notopuro, timurlaut Saradan, Madiun
yang saat ini telah dijadikan waduk. Formasi ini terdiri atas batuan tuf berselingan
dengan batupasir tufaan, breksi lahar dan konglomerat vulkanik. Makin keatas sisipan
batupasir tufaan semakin banyak. Sisipan atau lensa-lensa breksi volkanik dengan
fragmen kerakal terdiri dari andesit dan batuapung juga ditemukan yang merupakan
cirri formasi Notopuro. Formasi ini terendapkan secara selaras diatas formasi Kabuh,
tersebar sepanjang Pegunungan Kendeng dengan ketebalan lebih dari 240 meter. Umur
dari formasi ini adalah Plistosen Akhir dan merupakan endapan lahar di daratan.
7. Endapan Undak Bengawan Solo
Endapan ini terdiri dari konglomerat polimik dengan fragmen napal dan andesit
disamping endapan batupasir yang mengandung fosil-fosil vertebrata. Di daerah
Brangkal dan Sangiran, endapan untuk tersingkap baik sebagai konglomerat dan
batupasir andesit yang terkonsolidasi dan menumpang di atas bidang erosi pada
Formasi Kabuh dan Notopuro.
Saat Oligosen Akhir, kolisi Benua Australia dan Sundaland dimulai (Gambar 2.5).
Akibatnya Sundaland mulai mengalami rotasi berlawanan arah jarum jam (anti-clockwise
rotation), yang dapat mengaktifkan patahan-patahan batuan alas (basement faults) yang
sebelumnya aktif sebagai sesar normal saat periode rifting di Eosen Tengah menjadi sesar
geser. Rotasi Oligo-Miosen ini terekam dengan baik di Zona Rembang, dimana sedimentasi
batugamping Prupuh di lingkungan terumbu menempati tinggian-tinggian batuan alas
(basement horst) yang terinversi naik akibat penyesaran geser mengiringi naiknya genang laut
saat itu. Di Pegunungan Selatan, rotasi Sundaland tersebut mempengaruhi karakter vulkanisme
yang terjadi, ditandai dengan munculnya Formasi Nglanggran yang bersifat lebih basaltik
dibandingkan Formasi Semilir yang juga diendapkan saat itu. Selain itu, rotasi ini diduga
menyebabkan kelanjutan penurunan tektonis Zona Kendeng, yang kemudian memicu
munculnya kompleks batuan alas (basement core complex) Bayat di tepian cekungan akibat
peluncuran gaya-berat (gravitational gliding) (Husein, 2013).
Gambar 2. 5 Tatanan Lempeng Tektonik di Oligosen Akhir [kiri] dan akhir Miosen Bawah
[kanan] (Hall, 2012)
Memasuki akhir Miosen Awal, lempeng kerak samudera Albian-Turonian telah habis
dikonsumsi Palung Sunda (Gambar 2.5). Akibatnya lempeng tersebut terputus dan segmen
lempeng yang baru kemudian tertarik memasuki Palung Sunda dalam sudut penunjaman yang
lebih landai. Meskipun lempeng kerak samudera tersebut berumur Oxfordian-Albian, lebih tua
daripada lempeng sebelumnya, namun ujungnya lebih pendek hingga mampu mengungkit
segmen lempeng Sundaland diatasnya. Peristiwa ini menyebabkan berakhirnya periode puncak
volkanisme Pegunungan Selatan. Pengangkatan terjadi merata. Di Pegunungan Selatan
ditandai dengan sedimentasi batupasir kuarsa Formasi Jaten. Di Zona Rembang,
ketidakselarasan yang dihasilkan peristiwa tektonik ini dikenal dengan nama Tuban Event,
yang memicu sedimentasi batupasir kuarsa Formasi Ngrayong secara masif dan luas. Di Zona
Kendeng meski tidak sedramatik di Zona Rembang maupun Pegunungan Selatan, ditandai
dengan sedimentasi Formasi Kerek yang diendapkan pada lingkungan yang lebih dangkal
dibandingkan Formasi Pelang.
Pada pertengahan Miosen Akhir, lempeng Oxfordian-Albian telah masuk ke Palung Sunda
secara merata (Gambar 2.6). Karena lempeng tersebut lebih tua, sehingga lebih berat, maka
kemudian secara regional terjadi reaktivasi penurunan cekungan belakang busur (back-arc
basin subsidence) Zona Kendeng. Peristiwa ini secara stratigrafis ditandai dengan sedimentasi
Formasi Kalibeng yang diendapkan pada lingkungan lebih dalam dibandingkan Formasi Kerek
di bawahnya. Penurunan Zona Kendeng memicu kesetimbangan isostatis baru, dengan
reaktifasi patahan bongkah (block-faulting) di Pegunungan Selatan dan Zona Rembang. Di
Pegunungan Selatan, penyesaran bongkah yang memicu turunnya batuan alas (basement
grabens) mengontrol sedimentasi Formasi Kepek. Demikian juga di Zona Rembang, dimana
penurunan sebagian bongkah-bongkah batuan alas mengontrol pengendapan sikuen Ledok-
Mundu-Selorejo bersamaan dengan naiknya genang laut saat awal Pliosen. Peristiwa
penyesaran bongkah ini di Jawa Timur utara dikenal dengan nama Rembang Event.
Gambar 2. 6 Tatanan Lempeng Tektonik di Miosen Akhir [kiri], dan akhir Pleistosen [kanan]
(Hall, 2012)
Memasuki awal Pleistosen kolisi Timor dengan Busur Volkanik Sunda mulai terjadi
(Gambar 2.6). Hal ini memicu pengangkatan regional di Pulau Jawa. Pegunungan Selatan
mengalami pengangkatan paling intensif, yang ditunjang dengan tingginya tingkat
denudasional pada singkapan batuan gunungapi Oligo-Miosennya. Pengangkatan Pegunungan
Selatan ini kemudian diimbangi secara isostatis oleh pembentukan Zona Depresi Solo. Zona
Kendeng mengalami pengangkatan tidak merata, dimana bagian barat mengalami inversi
dengan kuat, sedangkan bagian timur justru tetap melanjutkan penurunannya. Hal ini dikontrol
oleh perbedaan sudut kemiringan subduksi lempeng Oxfordian-Albian, yang semakin curam
ke arah timur karena usia kerak yang semakin tua. Perbedaan sudut subduksi antara bagian
timur dan barat ini juga mengaktifkan tektonisme sesar geser (wrench tectonic) di Zona
Rembang, menghasilkan Antiklinorium Rembang yang terkontrol pola patahan batuan alas
(basement faults). Pengangkatan Zona Kendeng bagian barat dan Zona Rembang tersebut pun
diimbangi secara isostatis dengan pembentukan Zona Depresi Randublatung.
Periode vulkanisme baru Jawa Timur teridentifikasi hadir pada kala tersebut,
kemungkinan berasal dari lempeng Oxfordian-Albian yang telah memasuki zona pelelehan
sebagian (partial melting window). Busur gunungapi baru muncul di sebelah utara busur
gunungapi Oligo-Miosen (Pegunungan Selatan), yaitu menempati Zona Solo. Beban deretan
tubuh gunungapi Kuarter Awal tersebut memperkuat proses penurunan Depresi Solo. Sejumlah
kecil gunungapi Pleistosen Awal muncul di cekungan belakang busur (Zona Kendeng), yaitu
Gunungapi Ungaran dan Gunungapi Pandan, bersamaan dengan inversi Zona Kendeng.
Seluruh peristiwa tektonik tersebut di atas terekam dalam kompleksnya pola struktur yang
dijumpai di Jawa Timur, baik di permukaan maupun pada batuan dasarnya;
Gambar 2. 7 Pola Struktur Pulau Jawa selama Miosen Awal hingga Miosen Akhir
(Sribudiyani, et al., 2003)
3.Reservoir
Reservoir adalah lapisan yang tersusun dari batuan yang memiliki sifat
permeable dan porositas tinggi yang berperan untuk menyimpan fluida yaitu uap
dan air panas yang berasal dari hasil pemanasan (konvektif dan konduktif) dalam
suatu sistem hidrothermal. Lapisan ini bisa berasal dari batuan klastik atau batuan
vulkanik yang telah mengalami rekahan secara kuat. Reservoir panasbumi yang
produktif harus memiliki porositas dan permeabilitas yang tinggi, ukuran volume
cukup besar, suhu tinggi dan kandungan fluida yang cukup. Permeabilitas
dihasilkan oleh karakteristik stratigrafi (misal porositas intergranular pada lapili,
atau lapisan bongkah lava) dan unsur struktur (misalnya sesar, kekar dan rekahan).
Geometri reservoir hidrothermal di daerah vulkanik merupakan hasil interaksi yang
kompleks dari proses vulkano tektonik aktif antara lain stratigrafi yang lebih tua
dan struktur geologi.
̅=
konduktivitas (S/m), ε adalah konstanta dielektrik (F/m). karena .. = σ Ē dan 𝑩
𝝁𝑯̅ , persamaannya menjadi :
̅
̅ = 𝝁𝑱̅ + 𝝁𝜺 𝝏𝑬
𝛁×𝑩 (2.3a)
𝝏𝒕
𝑱̅ adalah rapat arus (A/m ), dan 𝝁 adalah permeabilitas magnetic (H/m). Nilai
2
untuk ruan hampa 𝝁𝟎 = 𝟒𝝅 × 𝟏𝟎−𝟕 H/m dan 𝜺𝟎 = 𝟒𝟖, 𝟖𝟓 × 𝟏𝟎−𝟏𝟏 H/m. dengan
menggunakan curl dari persamaan 2.4 disubsitusikan ke persamaan 2.3a,
persamaan diferensial orde kedua untuk Ē didapat :
̅
𝝏𝑬 𝝏𝟐 𝑬
̅
̅ = 𝝁𝝈 + 𝝁𝜺 𝟐
𝛁𝟐𝑬 (2.5)
𝝏𝒕 𝝏𝒕
Pada lingkunga yang konduktif, arus konduksi mendominasi dan efek dari
displacement current dapat diabaikan. Persamaan…. Dapat disederhanakan
menghasilkan persamaan difusi :
̅
𝝏𝑬
̅ − 𝝁𝝈 = 𝟎
𝛁𝟐𝑬 (2.6)
𝝏𝒕
Bumi dapat diinterpretasikan sebagai lingkungan konduktif, jadi persamaan
difusi dapat digunakan pada analisa MT. untuk sebuah gelombang Em dengan
sinusoidal yang bervariasi terhadap waktu, kuat medan listrik dapat dituliskan
̅=𝑬
sebagai 𝑬 ̅ 𝟎 𝒆−𝒊𝝎𝒕 disubstitusikan kedalam persamaan 2.6 menghasilkan :
𝛁𝟐𝑬 ̅ + 𝒊𝝎𝝁𝝈𝑬 ̅=𝟎 (2.7a)
Catatan bahwa, karena transformasi energi elektromagnetik menjadi panas,
kuat medan menurun secara eksponensial terhadap kedalaman, persamaan 2.7a
menjadi :
̅ 𝐤 𝟐 + 𝒊𝝎𝝁𝝈𝑬
𝑬 ̅=𝟎 (2.8)
Selanjutnya penyelesaian untuk k :
𝒊𝝎𝝁𝝈
𝒌 = ±(𝟏 − 𝒊)√ (2.9)
𝟐
k adalah bilangan kompleks dari medium. Jadi perambatan medan di dalam
bumi dapat ditulis :
𝝎𝝁𝝈 𝝎𝝁𝝈
̅ 𝟎 𝒆−𝒊𝝎𝒕 𝒆𝒊√ 𝒛 −√ 𝒛
̅=𝑬
𝑬 𝟐
𝒆 𝟐
(2.10)
𝝎𝝁𝝈
−√ 𝒛
Pada persamaan (2.10), 𝒆 𝟐 menggambarkan peluruhan dari amplitudo karena
merambatnya gelombang apda arah z.
Degan cara yang sama, dicari untuk medan magnet dari gelombang EM.
Komparasi antara medan listrik dan medan magnet dapat ditulis :
𝑬𝒙 = 𝑬𝟎 𝒆−𝒌𝒛 𝒆−𝒊𝝎𝒕 (2.13)
𝟏 −𝒌𝒛 −𝒊𝝎𝒕
𝑯𝒚 = 𝒊𝝎𝝁 𝑬𝟎 𝒆 𝒆 (2.14)
𝟎
Disini medan listrik tegak lurus terhadap medan magnet.
2.3.4 Impedansi
Data medan listrik dan medan magnet dalam metode Magnetotellurik tidak
digunakan secara terpisah keduanya digunakan untuk memperoleh besaran yang
disebut impedansi. E dan H adalah vektor (tensor rank 1), maka Z adalah tensor–
rank 2. Untuk metode MT, komponen medan listrik dan medan magnet yang
digunakan adalah komponen horizontal, sebab gelombang EM dianggap merambat
vertikal. Jika vektor mengarah vertikal, maka vektor E dan B akan berada pada
bidang horizontal tegak lurus vektor. Sehingga hubungan di atas dapat dinyatakan
dengan persamaan matriks :
𝑬′𝒙 𝒁𝒙𝒙 𝒁𝒙𝒚 𝑯𝒙
[ ]=[ ][ ]
𝑬′𝒚 𝒁𝒚𝒙 𝒁𝒚𝒚 𝑯𝒚
(2.15)
Secara umum untuk kasus dua dimensi, dari data sinyal medan listrik dan
medan magnet yang direkam, diperoleh matriks impedansi dengan tiga komponen
independen. Untuk menyederhanakan komputasi, sedapat mungkin pengukuran
dilakukan dengan memilih koordinat yang sejajar atau tegak lurus strike sehingga
hanya ada dua komponen impedansi yang independen. Kenyataannya, dalam
survey kita tidak mengetahui kemana arah strike yang sebenarnya. Jika kita percaya
bahwa medium bawah tanah hampir dapat dimodelkan dengan model 2 dimensi,
pengukuran dapat dilakukan dengan arah koordinat maupun yang dipilih. Baru
setelah data terkumpul dan nilai impedansi dihitung, matriks impedansi tersebut
dapat diputar atau dirotasikan secara numerik, sehingga seolah pengukuran
dilakukan dengan menggunakan koordinat yang sejajar atau tegak lurus arah strike.
Dari perbandingan antara komponen horizontal E dan H yang saling tegak
lurus akan diperoleh besaran yang disebut impedansi,
𝑬
𝒁𝒙𝒚 = 𝑯𝒙 = √𝒊𝝎𝝁𝟎 𝝆
𝒚
(2.16)
𝑬𝒚
𝒁𝒚𝒙 = 𝑯 = −√𝒊𝝎𝝁𝟎 𝝆
𝒙
(2.17)
Impedansi medium bumi homogen biasa disebut juga dengan impedansi intrinsik,
dimana nilainya sama (Z). Persamaan ini dapat diutliskan dalam bentuk nilai
apparent resistivity atau AppRho (resistivitas semu) dan fasa.
𝟏
𝝆𝒂𝒑𝒑 = 𝝎𝝁 |𝒁𝒊 |𝟐 (2.18)
𝟎
𝑰𝒎𝒁 𝑬
𝝋 = 𝒕𝒂𝒏−𝟏 [ 𝑹𝒆𝒁 𝒍] = 𝒕𝒂𝒏−𝟏 [𝑯𝒊 ] (2.19)
𝒍 𝒋
dengan 𝑖,𝑗 = 𝑥,𝑦. Untuk medium bumi homogen, beda fasa memiliki nilai konstan
45o (Unsworth, 2016). Berdasarkan nilai AppRho, kemudian dilakukan proses
inversi sehingga didapatkan nilai true resistivity serta ketebalan dan kedalaman tiap
lapisan. Nilai true resistivity kemudian dapat digunakan sebagai acuan untuk
pendugaan litologi dan struktur bawah permukaan. Referensi nilai resistivitas
ditunjukkan pada tabel 3.1.
2.4 Pemodelan 1D
Setelah proses editing data selesai, maka dapat dilakukan pemodelan 1D.
Pemodelan ini dapat dilakukan dengan menggunakan mode TE, TM ataupun invariant
(rata-rata TE dan TM). Berdasarkan tren data, kemudian dilakukan inversi sehingga
didapatkan nilai resistivitas serta kedalaman dan ketebalan tiap lapisan. Inversi 1D
dapat dilakukan dengan inversi Bostick dan Occam.
2.4.1 Inversi Bostick
Skema Inversi Bostick menghasilkan distribusi resistivitas terhadap
kedalaman yang kontinu atau mendekati kontinu (Bostick, 1977). Dalam studi ini,
peneliti memperkirakan resistivitas dengan menggunakan tahanan jenis semu dan
fase yang dirumuskan sebagai berikut:
𝝅
𝝆(𝒛) = 𝝆𝜶 (𝝎) (𝟐𝝓(𝛚) − 𝟏)
(2.26)
𝝆𝜶 (𝝎)
𝒛=( ) 𝟏/𝟐 (2.27)
𝝁𝝎
Dimana 𝑧 adalah nilai kedalaman sesuai dengan skin depth dari AppRho half space
𝜌𝑎 dan frekuensi ω.
2.4.2 Inversi Occam
Aplikasi algoritma Occam menghasilkan model sederhana yang
mengandung parameter dari semua kemungkinan model fitting. Ketika mencoba
untuk mendapatkan misfit yang lebih kecil antara nilai observasi dan kalkulasi dari
𝜌(𝜔) dan 𝜙(𝜔), kompleksitas dari model yang didapat pun meningkat dan hasilnya
seringkali menjadi unreliable. Model haruslah sekompleks medium, tapi tidak lebih
kompleks dari medium. Pada pemodelan Occam 1D dibutuhkan parameter model
sebagai model awal berupa nilai resistivitas, kedalaman, atau jumlah lapisan yang
kemudian dikalkulasi untuk mendapat misfit minimum. Strategi dari metode ini
adalah dengan meminimumkan kekasaran (roughness) model, sehingga dihasilkan
model yang lebih smooth. Roughness didefinisikan dalam bentuk turunan pertama
dan turunan kedua dari resistivitas terhadap kedalaman
𝒅𝒎 𝟐
𝑹𝟏 = ∫ ( 𝒅𝒛 ) 𝒅𝒛 (2.28)
𝟐
𝒅𝟐 𝒎
𝑹𝟏 = ∫ ( 𝒅𝒛𝟐 ) 𝒅𝒛 (2.29)
dimana 𝑚(𝑧) adalah resistivitas atau log resistivitas, 𝑧 adalah kedalaman, dan 𝑅1
dan 𝑅2 merupakan fungsi roughness (Delgado-Rodríguez, dkk., 2001).
Menggunakan orde yang lebih tinggi akan menghasilkan nilai misfit yang semakin
kecil.
Fungsi forward modelling digunakan untuk memprediksi model diskrit dengan
metode least square (Constable dan Parker, 1987)
(𝒅𝒋 −𝑭𝒋 [𝒎])𝟐
𝑿𝟐 = ∑𝑴
𝑱−𝟏 (2.30)
𝝈𝒋 𝟐
dimana 𝜎𝑗2 merupakan nilai ketidakpastian atau statistic error. Dengan
menggunakan suatu model 𝑚𝑗 yang sesuai dengan data lapangan, sehingga
dihasilkan 𝑅1 dan 𝑅2 dengan nilai 𝑋2 yang paling kecil, maka diperoleh model yang
paling sesuai.
Bentuk solusi umum dari forward modelling 𝐹𝑗[𝑚] (bentuk non-linear) untuk setiap
datum ke-𝑗 adalah
𝒅𝒋 = 𝑭𝒋 [𝒎], 𝒋 = 𝟏, 𝟐, . . . , 𝑴 (2.31)
Dalam bentuk notasi vektor dituliskan sebagaai
𝒅 = 𝑭[𝒎] (2.32)
sedangkan pada bentuk linear
𝒅=𝑮 ̃𝒎 (2.33)
dimana 𝐺 ̃ merupakan matriks 𝑀 × 𝑁 dengan elemen matriks yang dihitung melalui
teori forward modelling. Dalam kasus linear, persamaan misfit 𝑋2 dapat dituliskan
sebagai
𝟐
𝑿𝟐 = ‖𝑾̃𝒅 − 𝑾̃ ̃̃ 𝒎‖
𝑮 (2.34)
Persamaan fungsi roughness
𝑹𝟏 = ‖𝝏̃𝒎‖𝟐 (2.35)
𝟐
𝑹𝟐 = ‖𝝏 ̃𝟐 𝒎‖ (2.35)
dimana 𝜕 ̃ adalah matriks 𝑀 × 𝑁. Maka bentuk umum persamaan pemodelan dalam
kasus linear dituliskan sebagai
𝟐
𝑼 = ‖𝝏 ̃𝒎‖𝟐 + 𝝁−𝟏 {‖𝑾 ̃𝒅 − 𝑾
̃̃̃ 𝒎‖ − 𝑿𝟐 }
𝑮 (2.36)
Sedangkan dalam kasus non-linear dituliskan sebagai
̃𝒎‖𝟐 + 𝝁−𝟏 {‖𝑾
𝑼 = ‖𝝏 ̃(𝒅 − 𝑭[𝒎𝟏 ] + 𝑱̃𝟏 𝒎𝟏 − 𝑾 ̃𝑱̃𝟐 𝒎𝟐 ‖𝟐 − 𝑿𝟐 } (2.36)
dimana 𝑊 ̃=diagonal (1 𝜎1 ⁄ ,1 𝜎2 ⁄ ,…,1 𝜎𝑛 ⁄ ) matriks 𝑀 × 𝑁, 𝜇−1 merupakan faktor
pengali Lagrange, dan 𝑋∗2 adalah error. Solusi untuk model 1D algoritma inversi
Occam adalah
𝒎𝒏+𝟏 = [𝝁𝝏𝑻 𝝏 + (𝑾𝑱𝒏 )𝑻 𝑾𝑱𝒏 ]−𝟏 (𝑾𝑱𝒏 )𝑻 𝑾𝒅𝒏 (2.37)
𝑑 = 𝐹(𝑚) + 𝑒 (2.38)
dimana 𝒅 = [𝒅𝟏 , 𝒅𝟐 , … , 𝒅𝒏 ] adalah tiap vektor data dengan tiap 𝒅 yang
merupakan salah atu algoritma amplitudo atau fase dari resistivitas semu untuk
keterangan mode TE atau TM, 𝒎 = [𝒎𝟏 , 𝒎𝟐 , … , 𝒎𝒏 ] adalah vektor model dari
parameter yang didefinisika sebagai fungsi resistivitas (𝒎(𝒙) = 𝐥𝐨𝐠 𝝆(𝒙)), dan 𝒆
adalah faktor error.
Pemecahan permasalahan inversi dalam pengertian Tikhonov Regularization
untuk mencari model yang meminimumkan fungsi objektif didefinisikan sebagai
𝑇 (2.39)
𝜓(𝑚) = (𝑑 − 𝐹(𝑚)) 𝑉 −1 (𝑑 − 𝐹(𝑚)) + 𝜆‖𝐿(𝑚 − 𝑚0 )‖2
dimana 𝝀 merupakan parameter regulerisasi sebuah bilangan positif, 𝑽 adalah
matriks kovarian error, dan 𝑳 adalah operator linear (smoothness) atau operator
Laplacian 𝚫 yang dituliskan sebagai
2
‖𝐿(𝑚 − 𝑚0 )‖2 = ∫(𝛥(𝑚 − 𝑚0 )) 𝑑𝑥 (2.40)
𝛷 = 𝛷𝑑 + 𝜏. 𝛷𝑚 (2.41)
dimana 𝚽 adalah fungsi objektif yang digunakan, 𝚽𝒅 adalah fungsi objektif dari
data, dan 𝚽𝒎 adalah fungsi objektif dari model. Model NLCG memberikan
langsung pemecahan untuk meminimumkan fungsi objektif dengan model
sequence
3.5 Smoothing
Sebelum data menjadi file .edi maka dilakukanlah smoothing. Smooting ini dilakukan
untuk mengurangi noise di data sama minimalisir error. Pada langkah ini menggunakan
smoothing D+. Proses ini dilakukan menggunakan perangkat lunak MTFT2.
3.7 Inversi 2D
Inversi dilakukan untuk mendapatkan penampang bawah permukaan sebenarnya dari hasil
pengolahan data magnetotelurik 1D tiap titik pengukuran. Proses ini dilakukan menggunakan
perangkat lunak WinGlink
BAB IV
4.2 Hasli Pengolahan dan Pembahasan
4.2 Pembahasan
Peta Geologi (Gambar 3.1 dan Gambar blabla) menjadi data pendukung untuk
interpretasi data magnetotelurik. Gambar 4.5 merupakan interpreetasi dai model 1D dengan
metode Occam, namun hasil interpretasi kurang dipercaya dikarenakan kedalaman penetrasi
yang bervariasi. Selain itu model 1D juga sebagai interpretasi awal untuk mendukung
interpretasi pada model 2D. Gambar 4.5 pada titik MTBJNGR-6 menuju arah barat daya
mempunyai nilai resistivitas rendah yaitu 2 – 10 Ωm dengan kedalaman 200 – 400 m yang
diidentifikasikan sebagai batuan breksi yang mengandung air berdasarkan pada Tabel 2.1.
Namun, pada peta geologi daerah tersebut merupakan batuan beku. Sedangkan pada titik
MTBJNGR-6 hingga MTBJNGR-1 memiliki nilai resistivitas 10 – 100 Ωm dengan kedalaman
0 – 6000 m. Pada daerah ini diduga sebagai manifestasi dikarenakan muncul dipermukaan.
Pemodelan 2D yang dilakukan pada tahap ini menggunakan mode invarian dengan
iterasi sebanyak 50 kali. Hasil pemodelan 2D terdapat pada gambar 4.4. Lintasan pengukuran
mempunyai orientasi arah barat daya-timur laut sebanyak 7 titik pengukuran (MT-01, MT-02,
MT-03, MT-04, MT-05, MT-06, MT-07). Sebaran nilai resistivitas dibagi berdasarkan skala
nilai resistivitas dan kontras warna yang terlihat dari penampang. Berdasarkan peta geologi,
dapat diidentifikasi jenis batuan pengukuran MT ini berasal dari formasi breksi pandan. Namun
berdasarkan hasil pengukuran didapatkan penampang resisitivitas batuan seperti pada Gambar
4.4 yang berbeda dengan peta geologinya.
Hasil pemodelan 2D seperti pada Gambar 4.4, pada daerah yang mempunyai nilai
resistivitas < 100 Ωm diduga merupakan batuan breksi yang mengandun air, sedangkan pada
nilai resistivitas > 100 Ωm diduga berupa pasir tufaan. Sama seperti hasil interpretasi pada hasil
pemodelan 1D, dimana pada titik MTBJNGR-6 hingga MTBJNGR-2 mempunyai nilai
resistivitas rendah yaitu 2 – 10 Ωm yang diidentifikasikan sebagai breksi berisi air yang
ditandai dengan warna ungu - biru. Sedangkan pada lintasan sekitar 6000 – 9000 m dengan
kedalaman 2000 – 6000 m dengan nilai resistivitas 10 – 85 Ωm diduga sebagai zona reservoir.
Berdasarkan pada referensi Kementrian Energi Sumber Daya Mineral di Buku Panas Bumi
2017, pada gunung pandan memiliki lapisan reservoir pada nilai resistivitas 10 – 60 Ωm. Pada
titik MTBJNGR-1 hingga MTBJNGR-7 memiliki nilai resistivitas > 100 Ωm yang
diidentifikasikan sebagai acid water berdasarkan referensi nilai resistivitas pada Tabel 4.1. Hal
ini sesuai dengan kondisi lapangan dimana pada titik tersebut ditemukan air hangat. Jika
dikaitkan dengan sistem geothermal, daerah ini kemungkinan berupa manifestasi.
manifestasi
Pasir tuffan??
Reservoir??
5.1. Kesimpulan
• Pada hasil pengolahan yang dilakukan pada daerah sekitar Gunung Pandan, dapat
dilihat dari hasil penampang 2D bahwa pada kedalaman 0 – 8250 m dengan nilai
resistivitas < 100 Ωm merupakan batuan breksi yang mengandung air. Sedangkan
daerah yang memiliki nilai resistivitas > 100 Ωm pada kedalaman tersebut
merupakan pasir tuffan.
• Hasil penampang 2D pada lintasan 6000 – 9000 m dengan kedalaman 2000 – 6000
m yang memiliki nilai resistivitas 10 – 85 Ωm diduga sebagai zona reservoir.
Sedangkan pada titik MTBJNGR-1 hingga MTBJNGR-7 memiliki nilai resistivitas
> 100 Ωm yang diduga sebagai manifestasi dengan kandungan air acid water. Pada
daerah ini sesuai dengan kondisi lapangan dikarenakan ditemukan air hangat.
5.2.Saran
• Ketika melakukan proses masking pada WinGLink mempertimbangkan nilai
frekuensi yang digunakan pada kurva sesuai dengan tujuan penelitian
• Ketika melakukan inversi 2D, harus mempertimbangkan parameter inversi seperti
decade frekuensi yang digunakan, resistivitas identitas untuk menentukan mesh
grid, dll.
• Perlu metode geofisika lainnya untuk mendukung interpretasi
DAFTAR PUSTAKA
Griffiths,D.J. 1999. Introductopm an Electrodynamics 3rd. USA :Practice-Hall heat sources”
in: H. Sigurdsson (Ed.), Encyclopedia of Volcanoes, Academic Press.
Hochstein, M.P., Browne, P.R.L. (2000), “Surface manifestations of geothermal systems with
volcanic
Hochstein, M.P., Browne, P.R.L. (2000), “Surface manifestations of geothermal systems with
volcanic heat sources” in: H. Sigurdsson (Ed.), Encyclopedia of Volcanoes, Academic
Press.
Unsworth., 2006, Overview of Electromagnetic Exploration Methods. University of Alberta.
Ussher, G. 2000. Understanding the Resistivities Observed in Geothermal System. World
Geothermal Congress, (p.1915)
Vozoff, K. 1991. The Magnetotelluric Method. In M. N. Nabighian, Electromagnetic Methods
In Applied Geophysics-Applications Part A and Part B (pp. 641-711). Society of
Exploration Geophysicist.
Xiao, W. 2004. Magnetotelluric Exploration in the Rocky Mountain Foothills, Alberta.
University of Alberta.
Leeuwen, Marnette, dkk. 2015. A Geothermal Exploration MT Data Set and its 3-D Inversion
Using Two Different Codes: An Example from Western Turkey. (pp. 1 -9). Proceedings
World Geothermal Congress 2015.