Anda di halaman 1dari 33

Jepang Bertekuk Lutut

Bom atom yang diledakkan di dua kota di Jepang yakni Hirosima dan Nagasaki menyebabkan
ratusan ribu penduduk Jepang meninggal dunia dan ratusan ribu lainnya mengalami
kecacatan. Kerugian material tidak terhitung jumlahnya.Bahkan sampai sekarang dampak
terjadinya bom atom masih dirasakan masyarakat Jepang. Kerusakan dan dampak korban yang
sangat mengerikan tersebut mendorong masyarakat dunia sepakat untuk tidak
menggunakan senjata tersebut dalam berbagai peperangan. Dua bom atom tersebut
telah meluluhlantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki.

Amerika Serikat yang menjatuhkan kedua bom atom pada dua kota di Jepang pada tanggal 6
dan 9 Agustus 1945. Mengapa Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Jepang? Perang
Dunia II yang berkecamuk sejak tahun 1939 telah menyebabkan kedua kelompok yakni Sekutu
dan negara-negara fasis saling menyerang dengan menggunakan senjata pemusnah dan
kerusakan massal. Korban dan kerugian kedua belah pihak tidak terhitung jumlahnya. Jutaan
manusia meninggal dunia akibat Perang Dunia II tersebut. Sebagian besar dari mereka adalah
masyarakat sipil yang bukan merupakan tentara perang.

Keinginan Amerika Serikat untuk segera menyelesaikan perang dilakukan dengan


mengirimkan pesawat pembawa bom atom ke Jepang. Pada tanggal 6 Agustus 1945, bom atom
pertama diledakkan di kota Hirosihma, sementara pada tanggal 9 Agustus 1945 bom atom
dijatuhkan di kota Nagasaki. Digambarkan oleh masyarakat yang selamat di kedua kota
tersebut, bahwa ledakan bom atom seperti gunung api yang jatuh ke bumi. Tiba-tiba langit
terang seperti ada kilat, disusul berbagai benda berhamburan terbang. Bersamaan itu
berbagai makhluk hidup meregang nyawa, kehilangan anggota badan, bahkan hancur
berkeping-keping. Dua kota Jepang luluh lantak.

Kehancuran Kota Hiroshima dan Nagasaki telah menjatuhkan semangat dan martabat bangsa
Jepang. Mereka tidak dapat menutup mata, bahwa Sekutu lebih unggul dalam persenjataan.
Apabila perang dilanjutkan, Jepang akan lebih hancur. Akhirnya, Kaisar Jepang memutuskan
untuk menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Penyerahan Jepang kepada Sekutu pada
tanggal 15 Agustus 1945 inilah yang menandai berakhirnya Perang Dunia (PD) II.
Sebenarnya tanda-tanda kekalahan Jepang dalam PD II sudah terlihat sejak tahun 1943
dengan berhasil direbutnya beberapa wilayah oleh Sekutu. Pengeboman Hiroshima dan
Nagasaki merupakan faktor pemicu Jepang harus menyerah.

Bagaimana kondisi bangsa Indonesia pada saat Jepang kalah dari Sekutu? Dalam posisi
semakin terjepit dalam perang melawan Sekutu, Jepang terpaksa memberi janji
kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Komando Tentara Jepang wilayah Selatan, pada bulan
Juli 1945 menyepakati dan akan memberikan kemerdekaan Indonesia tanggal 7
September 1945.

Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jenderal Terauchi menyetujui pembentukan Dokuritsu Junbi
Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang tugasnya melanjutkan
pekerjaan BPUPKI. Lembaga PPKI ini diketuai oleh Ir. Sukarno dengan wakil Drs. Moh.
Hatta.

Apa sebenarnya tugas dan pekerjaan BPUPKI yang diketuai oleh Ir. Sukarno dan Drs. Moh.
Hatta itu?

Panitia persiapan atau PPKI itu beranggotakan 21 orang dan semuanya orang Indonesia yang
berasal dari berbagai daerah.
Jawa 12 wakil
Wakil Sumatera 3 wakil
Sulawesi 2 wakil
Wakil Kalimantan 1 wakil
Wakil Sunda Kecil 1 wakil
Wakil Maluku 1 wakil
Wakil dan golongan penduduk Cina 1 wakil

Jenderal Terauchi pada tanggal 9 Agustus 1945 memanggil Sukarno, Moh. Hatta, dan
Rajiman Wedyodiningrat untuk pergi ke Dalat, Saigon. Saigon adalah salah satu pusat
tentara Jepang. Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jenderal Terauchi mengucapkan selamat
kepada Sukarno dan Moh.Hatta sebagai ketua dan wakil ketua PPKI. Kemudian Terauchi
menegaskan bahwa Jepang akan menyerahkan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.
Sukarno, Moh. Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat pulang kembali ke Jakarta pada tanggal
14 Agustus.

Pada masa-masa inilah terjadi peristiwa yang dramatis di wilayah Indonesia. Walaupun alat
komunikasi pada masa tersebut dikuasai Jepang, namun para tokoh perjuangan berhasil
mengakses berbagai informasi dunia dengan berbagai cara. Radio sebagai alat yang paling
berperan pada masa tersebut telah disegel oleh Jepang. Siaran radio sudah lama menjadi
kekuasaan Jepang, untuk menerima siaran radio luar negeri pun masyarakat Indonesia tidak
diizinkan. Hal ini disebabkan oleh ketakutan Jepang apabila bangsa Indonesia mengetahui
perkembangan perang yang menunjukkan Jepang semakin terjepit. Namun, para tokoh
pergerakan tidak kurang akal. Mereka berhasil menyembunyikan beberapa radio gelap
yang dapat digunakan untuk mendengarkan berbagai siaran radio luar negeri seperti BBC
London.

Kamu telah mengkaji bagaimana tindakan Jepang di saat akhir perlawanannya terhadap
Sekutu. Coba kamu buat peta perjalanan Sukarno, Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat
untuk memenuhi panggilan Jendral Terauchi ke Dalat, Saigon!
Bagaimana dampak bom atom bagi Jepang?
Coba lakukan analisis, apakah Amerika Serikat harus meledakkan Bom atom untuk
mengalahkan Jepang! Menurut pendapat kamu, siapa yang paling menderita akibat bom
atom di Jepang? Apakah masih ada senjata pemusnah massal selain bom atom? Setujukah
kamu, jika senjata tersebut digunakan untuk perang?

Menyerahnya Jepang pada bulan Agustus 1945 menandai akhir Perang Dunia II. Angkatan
Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah tidak ada sejak Agustus 1945, sementara invasi
Sekutu ke Jepang hanya tinggal waktu. Walaupun keinginan untuk melawan hingga titik
penghabisan dinyatakan secara terbuka, pemimpin Jepang dari Dewan Penasihat Militer
Jepang secara pribadi memohon Uni Soviet untuk berperan sebagai mediator dalam perjanjian
damai dengan syarat-syarat yang menguntungkan Jepang. Sementara itu, Uni Soviet juga
bersiap-siap untuk menyerang Jepang dalam usaha memenuhi janji kepada Amerika Serikat dan
Inggris di Konferensi Yalta.
Pada 6 Agustus dan 9 Agustus, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki. Pada 9 Agustus, Uni Soviet melancarkan penyerbuan mendadak ke koloni Jepang di
Manchuria (Manchukuo) yang melanggar Pakta Netralitas Soviet–Jepang.
Kaisar Hirohito campur tangan setelah terjadi dua peristiwa mengejutkan tersebut, dan
memerintahkan Dewan Penasihat Militer untuk menerima syarat-syarat yang
ditawarkan Sekutu dalam Deklarasi Potsdam. Setelah berlangsung perundingan di balik layar
selama beberapa hari, dan kudeta yang gagal, Kaisar Hirohito menyampaikan pidato radio di
hadapan rakyat pada 15 Agustus 1945. Dalam pidato radio yang disebut Gyokuon-hōsō (Siaran
Suara Kaisar), Hirohito membacakan Perintah Kekaisaran tentang kapitulasi, sekaligus
mengumumkan kepada rakyat bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.
Pendudukan Jepang oleh Komandan Tertinggi Sekutu dimulai pada 28 Agustus. Upacara
kapitulasi diadakan pada 2 September 1945 di atas kapal tempur Amerika
Serikat Missouri. Dokumen Kapitulasi Jepang yang ditandatangani hari itu oleh pejabat
pemerintah Jepang secara resmi mengakhiri Perang Dunia II. Penduduk sipil dan anggota militer
di negara-negara Sekutu merayakan Hari Kemenangan atas Jepang (V-J Day). Walaupun
demikian, sebagian pos komando terpencil dan personel militer dari kesatuan di pelosok-pelosok
Asia menolak untuk menyerah selama berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun setelah
Jepang menyerah. Sejak kapitulasi Jepang, sejarawan terus berdebat tentang etika penggunaan
bom atom. Perang antara Jepang dan Sekutu secara resmi berakhir ketika Perjanjian San
Francisco mulai berlaku pada tanggal 28 April 1952. Empat tahun kemudian Jepang dan Uni
Soviet menandatangani Deklarasi Bersama Soviet–Jepang 1956 yang secara resmi mengakhiri
perang antara kedua negara tersebut.

Daftar isi

 1Kekalahan Jepang
o 1.1Persiapan pertahanan
 2Dewan Penasihat Militer
 3Perbedaan pendapat di kalangan pemimpin Jepang
 4Usaha berurusan dengan Uni Soviet
o 4.1Maksud-maksud Soviet
 5Proyek Manhattan
 6Acara-acara di Potsdam
o 6.1Negosiasi
o 6.2Deklarasi Potsdam
o 6.3Reaksi Jepang
 7Hiroshima, Manchuria, dan Nagasaki
o 7.1Hiroshima: 6 Agustus
o 7.2Invasi Soviet dan Nagasaki: 8-9 Agustus
 8Campur tangan istana, reaksi Sekutu, dan jawaban Jepang
o 8.112 Agustus
o 8.213–14 Agustus
 9Percobaan kudeta militer (12 Agustus-15 Agustus)
 10Kapitulasi
o 10.1Siaran Perintah Kaisar tentang kapitulasi
o 10.2Awal pendudukan dan upacara kapitulasi
 11Kapitulasi selanjutnya dan perlawanan militer Jepang
 12Referensi
o 12.1Catatan kaki
o 12.2Buku teks
 13Pranala luar

Kekalahan Jepang[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Kampanye Jepang

Pendaratan Sekutu di Medan Perang Operasi Samudra Pasifik, Agustus 1942 hingga Agustus 1945.
Pada tahun 1945, Jepang telah hampir dua tahun berturut-turut mengalami kekalahan
berkepanjangan di Pasifik Barat Daya, kampanye militer Mariana, dan kampanye militer Filipina.
Pada Juli 1944 setelah Saipan jatuh, Jenderal Hideki Tōjō diangkat sebagai perdana
menteri oleh Jenderal Kuniaki Koiso yang menyatakan Filipina sebagai tempat pertempuran
berikutnya yang menentukan.[1] Setelah Filipina jatuh, giliran Koiso yang diganti oleh
Laksamana Kantarō Suzuki. Pada paruh pertama tahun 1945, Sekutu berhasil merebut Iwo
Jima dan Okinawa. Setelah diduduki Sekutu, Okinawa dijadikan daerah singgahan untuk
menyerbu ke pulau-pulau utama di Jepang.[2] Setelah kekalahan Jerman, Uni Soviet diam-diam
mulai mengerahkan kembali pasukan tempur Eropa-nya ke Timur Jauh, di samping sekitar
empat puluh divisi yang telah ditempatkan di sana sejak tahun 1941, sebagai penyeimbang
kekuataan jutaan Tentara Kwantung.[3]
Operasi kapal-kapal selam Sekutu dan penyebaran ranjau di lepas pantai Jepang telah
menghancurkan sebagian besar armada dagang Jepang. Sebagai negara dengan sedikit
sumber daya alam, Jepang bergantung kepada bahan mentah yang diimpor dari daratan Asia
dan dari wilayah pendudukan Jepang di Hindia Belanda, terutama minyak bumi.[4] Penghancuran
armada dagang Jepang, ditambah dengan pengeboman strategis kawasan industri di Jepang
telah meruntuhkan ekonomi perang Jepang. Produksi batu bara, besi, besi baja, karet, dan
pasokan bahan mentah lainnya hanya tersedia dalam jumlah kecil dibandingkan pasokan
sebelum perang.[5][6]

Kapal tempur Jepang Haruna karam di tempat bersandarnya di pangkalan angkatan laut Kure pada
peristiwa Pengeboman Kure 24 Juli 1945.
Sebagai akibat kerugian yang dialami, kekuatan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang secara
efektif sudah habis. Setelah serangkaian pengeboman Sekutu di galangan kapal Jepang di
Kure, Prefektur Hiroshima, kapal-kapal perang Jepang yang tersisa hanyalah enam kapal induk,
empat kapal penjelajah, dan satu kapal tempur. Namun, semua kapal tersebut tidak memiliki
bahan bakar yang cukup. Walaupun masih ada 19 kapal perusak dan 38 kapal selam yang
masih operasional, pengoperasian mereka menjadi terbatas akibat kekurangan bahan bakar.[7][8]

Persiapan pertahanan[sunting | sunting sumber]


Menghadapi kemungkinan penyerbuan Sekutu ke pulau-pulau utama Jepang, dimulai
dari Kyushu, Jurnal Perang Markas Besar Kekaisaran menyimpulkan,
Kami tidak dapat lagi memimpin perang dengan ada sedikit pun harapan untuk menang. Satu-
satunya jalan yang tersisa adalah mengorbankan nyawa seratus juta rakyat Jepang sebagai bom
hidup agar musuh kehilangan semangat bertempur.[9]
Sebagai usaha darurat yang terakhir untuk menghentikan gerak maju Sekutu, Komando
Tertinggi Kekaisaran Jepang merencanakan pertahanan Kyushu secara habis-habisan. Usaha
yang dinamakan dengan sandi Operasi Ketsu-Go [10] ini dimaksudkan sebagai perubahan strategi
yang radikal. Berbeda dari sistem pertahanan berlapis seperti yang dipakai sewaktu
menginvasi Peleliu, Iwo Jima, dan Okinawa, kali ini semuanya dipertaruhkan di pantai. Sebelum
pasukan dan perlengkapan didaratkan transpor amfibi di pantai, mereka akan diserang oleh
3.000 pesawat kamikaze.[8]
Bila strategi ini tidak mengusir Sekutu, Jepang akan mengerahkan 3.500 pesawat kamikaze
tambahan berikut 5.000 kapal bunuh diri Shin'yō disertai kapal-kapal perusak dan kapal-kapal
selam yang masih tersisa—hingga kapal terakhir yang operasional—untuk menghancurkan
Sekutu. Bila Sekutu menang dalam pertempuran di pantai dan berhasil mendarat di Kyushu,
hanya akan tersisa 3.000 pesawat untuk mempertahankan pulau-pulau Jepang yang lain.
Walaupun demikian, Kyushu akan dipertahankan "hingga titik darah penghabisan".[8] Strategi
membuat pertahanan terakhir di Kyushu didasarkan pada asumsi bahwa Uni Soviet akan tetap
mempertahankan netralitas.[11]
Serangkaian gua digali dekat Nagano di Honshu. Gua-gua yang disebut Markas Besar
Kekaisaran Bawah Tanah Matsushiro tersebut akan dijadikan Markas Angkatan Darat pada saat
terjadinya invasi Sekutu serta rumah perlindungan bagi Kaisar Jepang dan keluarganya.[12]

Dewan Penasihat Militer[sunting | sunting sumber]


Pengambilan keputusan perang Jepang berpusat di Dewan Penasihat Militer yang
beranggotakan enam pejabat tinggi: perdana menteri, menteri luar negeri, menteri angkatan
darat, menteri angkatan laut, kepala staf umum angkatan darat, dan kepala staf umum angkatan
laut.[13] Saat kabinet pemerintah Suzuki terbentuk pada April 1945, keanggotaan dewan terdiri
dari:

Kabinet Suzuki, Juni 1945

 Perdana Menteri Laksamana Kantarō Suzuki


 Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō
 Menteri Angkatan Darat Jenderal Korechika Anami
 Menteri Angkatan Laut Laksamana Mitsumasa Yonai
 Kepala Staf Umum Angkatan Darat Jenderal Yoshijirō Umezu
 Kepala Staf Umum Angkatan Laut Laksamana Koshirō Oikawa (kemudian diganti oleh
Laksamana Soemu Toyoda)
Secara hukum, Angkatan Darat dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang memiliki hak untuk
mencalonkan (atau menolak pencalonan) masing-masing menteri. Sebagai hasilnya, Jepang
dapat menghindari pembentukan pemerintahan yang tidak diingini, atau terjadinya pengunduran
diri yang dapat menjatuhkan pemerintah yang sedang berjalan.[14][15]
Kaisar Hirohito dan Penjaga Cap Pribadi Kaisar Kōichi Kido juga hadir di beberapa pertemuan,
setelah diminta Kaisar.[16] Seperti yang dilaporkan Iris Chang, "Jepang sengaja menghancurkan,
menyembunyikan, atau memalsukan sebagian dari dokumen rahasia perang m terjadi karena
didirikannya gerakan Zionis yang bertujuan untuk mendirikan negaereka"[17][18]

Perbedaan pendapat di kalangan pemimpin


Jepang[sunting | sunting sumber]
Kabinet Suzuki, dalam berbagai segi, lebih memilih meneruskan perang. Bagi Jepang, kapitulasi
hampir tidak terpikirkan. Dalam 2000 tahun sejarahnya, Jepang tidak pernah diinvasi bangsa
asing atau kalah dalam perang.[19] Hanya Menteri Angkatan Laut Mitsumasa Yonai yang
diketahui memiliki keinginan untuk mengakhiri perang.[20] Menurut sejarawan Richard B. Frank:
Walaupun Suzuki pastinya melihat perdamaian sebagai tujuan jangka panjang, ia tidak
memiliki rencana untuk mewujudkannya dalam jangka waktu dekat atau dengan syarat-
syarat yang dapat diterima Sekutu. Komentarnya dalam konferensi negarawan senior
tidak memberikan tanda-tanda dirinya menginginkan berakhirnya perang lebih awal ... ;
Pilihan Suzuki untuk pos-pos kabinet yang paling penting, dengan pengecualian satu
orang, bukanlah juga tokoh pendukung perdamaian.[21]
Seusai perang, Perdana Menteri Suzuki dan pejabat lain dari pemerintahannya mengaku
mereka secara rahasia merundingkan perdamaian, tetapi secara terbuka tidak dapat
mengumumkannya. Mereka mengutip konsep Jepang tentang haragei (seni berkomunikasi
dengan sikap dan kekuatan kepribadian dan bukan melalui kata-kata) untuk membenarkan
ketidakselarasan antara tindakan di muka umum dan kegiatan di balik layar. Namun,
sebagian sejarawan menolak interpretasi ini. Robert J. C. Butow menulis:
Berdasarkan alasan yang sangat ambigu, pembelaan soal haragei menimbulkan
kecurigaan bahwa dalam masalah politik dan diplomasi, secara sadar menggantungkan
diri pada seni menggertak mungkin dapat dianggap sebagai pengelabuan disengaja
yang diperkirakan didasarkan keinginan mengadu domba untuk keuntungan sendiri.
Walaupun keputusan ini tidak sesuai dengan kepribadian Laksamana Suzuki yang
banyak dipuji, pada kenyataannya dari saat ia diangkat sebagai perdana menteri hingga
hari ia mengundurkan diri, tidak ada seorang pun yang dapat memastikan apa yang
berikutnya akan dikatakan atau dilakukan Suzuki.[22]
Pemimpin Jepang selalu menginginkan penyelesaian perang dengan negosiasi.
Perencanaan praperang mereka mengharapkan perluasan wilayah secara cepat,
konsolidasi, konflik yang tidak terhindarkan dengan Amerika Serikat, dan penyelesaian
perang yang memungkinkan Jepang mempertahankan paling tidak beberapa wilayah
baru yang telah mereka duduki.[23] Pada tahun 1945, pemimpin-pemimpin Jepang
sepakat bahwa perang tidak berjalan dengan lancar, tetapi mereka tidak sepakat
mengenai cara-cara terbaik dalam bernegosiasi untuk mengakhiri perang. Kalangan
pemimpin Jepang terbelah menjadi dua kubu. Faksi "damai" menginginkan inisiatif
diplomatik dengan membujuk pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin agar bertindak sebagai
mediator penyelesaian perang antara Jepang dan Amerika Serikat beserta sekutunya.
Sebaliknya, faksi garis keras lebih memilih bertempur dalam satu pertempuran terakhir
yang "menentukan" hingga jatuh korban begitu banyak di pihak Sekutu yang
mengakibatkan mereka mau menawarkan syarat-syarat yang lebih lunak.[24] Kedua kubu
terbentuk berdasarkan pengalaman Jepang dalam Perang Rusia-Jepang empat puluh
tahun sebelumnya. Dalam perang tersebut terjadi serangkaian pertempuran yang
memakan kerugian besar yang tidak menentukan pemenang, tetapi diakhiri
oleh Pertempuran Tsushima yang dimenangkan Jepang.[25]
Laksamana Kantarō Suzuki menjabat Perdana Menteri Jepang dalam bulan-bulan sebelum
perang berakhir.
Pada akhir Januari 1945, beberapa pejabat Jepang yang dekat dengan Kaisar
mempertimbangkan syarat-syarat kapitulasi yang akan melindungi kedudukan Kaisar
Jepang. Proposal-proposal yang dikirim melalui saluran Amerika Serikat dan Inggris
tersebut disusun oleh Jenderal Douglas MacArthur menjadi dokumen 40 halaman, dan
kemudian, pada 2 Februari, dua hari sebelum Konferensi Yalta, diberikan kepada
Presiden Franklin D. Roosevelt. Menurut laporan, dokumen tersebut ditolak oleh
Roosevelt tanpa pertimbangan apa pun. Semua proposal mencakup syarat bahwa
kedudukan kaisar tetap dipertahankan, walaupun mungkin sebagai penguasa boneka.
Namun pada saat itu, kebijakan Sekutu hanyalah menerima penyerahan tanpa
syarat.[26] Selain itu, proposal-proposal ini ditolak keras oleh pejabat pemerintahan
Jepang yang berpengaruh, dan oleh karena itu tidak dapat dikatakan mewakili keinginan
Jepang yang sebenarnya untuk menyerah pada waktu itu.[27]
Pada Februari 1945, Pangeran Fumimaro Konoe memberi Kaisar Hirohito sebuah
memorandum yang menganalisis situasi dan menyampaikan kepada Hirohito bahwa bila
perang diteruskan, kekaisaran akan menghadapi revolusi internal yang lebih berbahaya
daripada kalah dalam perang.[28] Menurut buku harian Pengurus Rumah Tangga
Kaisar Hisanori Fujita, Kaisar yang menunggu pertempuran menentukan (tennōzan)
menjawab bahwa masih terlalu dini menawarkan perdamaian, "Kecuali kita membuat
satu lagi kemenangan militer."[29] Masih pada bulan Februari tahun yang sama, divisi
perjanjian Jepang menulis tentang kebijakan Sekutu terhadap Jepang mengenai
"penyerahan tanpa syarat, pendudukan, perlucutan senjata, penghapuskan militerisme,
reformasi demokrasi, hukuman bagi penjahat perang, dan status kaisar."[30] Pelucutan
senjata oleh Sekutu, penjatuhan hukuman bagi penjahat perang Jepang, dan khususnya
pendudukan dan penghapusan jabatan kaisar tidak diterima oleh pimpinan Jepang.[31][32]
Pada 5 April, Uni Soviet mengumumkan tidak akan memperbarui Pakta Netralitas
Soviet-Jepang[33] yang ditandatangani tahun 1941 setelah terjadinya Peristiwa
Nomonhan.[34] Pada Konferensi Yalta Februari 1945, negara-negara Barat yang
tergabung dalam Sekutu telah menyepakati konsesi yang substansial dengan Soviet
untuk mengamankan janji dari Soviet untuk menyatakan perang terhadap Jepang tidak
lebih dari tiga bulan setelah Jerman menyerah. Walaupun secara hukum Pakta
Netralitas tetap berlaku hingga setahun setelah Uni Soviet membatalkannya (hingga 5
April 1946), pembatalan sepihak ini secara jelas tetapi terselubung menunjukkan niat
perang Uni Soviet.[35] Menteri Luar Negeri Rusia Vyacheslav Molotov, di Moskow,
dan Yakov Malik, duta besar Soviet di Tokyo, sungguh-sungguh mencoba meyakinkan
Jepang bahwa "masa berlaku Pakta tersebut belum berakhir".[36]
Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō
Pada serangkaian rapat tingkat tinggi pada bulan Mei 1965, keenam anggota Dewan
Penasihat Militer dengan serius membahas cara mengakhiri perang. Namun tidak
seorang pun dari mereka setuju dengan syarat-syarat yang diajukan Sekutu. Mengingat
siapa pun yang secara terbuka mendukung kapitulasi Jepang terancam bahaya
pembunuhan oleh perwira angkatan darat yang sangat setia, rapat-rapat tersebut
tertutup bagi siapa pun kecuali keenam anggota Dewan Penasihat Militer, Kaisar, dan
penjaga cap pribadi kaisar. Tidak ada perwira eselon dua atau eselon tiga yang diizinkan
hadir.[37] Pada rapat-rapat tersebut, hanya Menteri Luar Negeri Tōgō yang menyadari
kemungkinan sekutu negara-negara Barat sudah membuat konsesi dengan Soviet untuk
mengajak mereka berperang melawan Jepang.[38] Sebagai hasil rapat-rapat tersebut,
Tōgō diberi wewenang untuk mendekati Uni Soviet, meminta mereka untuk tetap
mempertahankan netralitas, atau lebih fantastis lagi, mau membentuk aliansi.[39]
Sejalan dengan tradisi pemerintahan baru mengumumkan tujuan-tujuan mereka, setelah
rapat bulan Mei selesai, staf Angkatan Darat mengeluarkan dokumen berjudul
"Kebijakan Fundamental untuk Diikuti Selanjutnya dalam Melaksanakan Perang" yang
menyatakan rakyat Jepang akan berjuang hingga punah daripada menyerah. Kebijakan
ini diadopsi oleh Dewan Penasihat Militer pada 6 Juni (Tōgō menentangnya, sementara
kelima anggota lain mendukung).[40] Dokumen-dokumen yang diajukan Suzuki pada
pertemuan yang sama menyarankan bahwa dalam usaha awal diplomatik dengan Uni
Soviet, Jepang mengambil pendekatan sebagai berikut:
Rusia harus diberi tahu dengan jelas bahwa kemenangannya atas Jerman
adalah berkat Jepang, karena kita tetap netral, dan Soviet akan diuntungkan bila
membantu Jepang mempertahankan posisinya di dunia internasional, karena
musuh mereka pada masa depan adalah Amerika Serikat.[41]
Pada 9 Juni, orang kepercayaan kaisar Kōichi Kido menulis "Rancangan Rencana
Pengendalian Situasi Krisis" yang memperingatkan bahwa pada akhir tahun
kemampuan Jepang untuk melakukan perang modern akan habis dan pemerintah akan
tidak mampu mengendalikan kerusuhan sipil. "... Kita tidak tahu pasti apakah kita akan
bernasib sama seperti Jerman dan terjatuh dalam keadaan yang sulit hingga kita tidak
dapat mencapai tujuan tertinggi menjaga Rumah Tangga Kekaisaran dan
mempertahankan tata negara nasional."[42] Kido mengusulkan Kaisar sendiri ikut ambil
bagian, dengan menawarkan untuk mengakhiri perang dengan "syarat-syarat yang
sangat murah hati". Kido mengusulkan Jepang melepaskan wilayah jajahan Eropa,
asalkan mereka diberi kemerdekaan, dan negara kita dilucuti, serta untuk sementara
harus "puas dengan pertahanan minimum". Berbekal penugasan Kaisar, Kido mendekati
beberapa anggota Dewan Penasihat Militer. Tōgō sangat mendukung. Suzuki dan
Menteri Angkatan Laut Laksamana Mitsumasa Yonai keduanya sangat berhati-hati
mendukung; masing-masing bertanya dalam hati, apa yang dipikirkan satu sama lain.
Menteri Angkatan Darat Jenderal Korechika Anami bersikap ambivalen, bersikeras
diplomasi harus menunggu "hingga Amerika Serikat menderita kerugian besar"
dalam Operasi Ketsu-Go.[43]
Pada bulan Juni 1845, Kaisar sudah kehilangan kepercayaan terhadap kesempatan
mencapai kemenangan militer. Jepang sudah kalah dalam Pertempuran Okinawa.
Kaisar juga sudah mendapat kabar tentang kelemahan angkatan darat di Cina, begitu
pula soal angkatan laut dan angkatan darat yang mempertahankan pulau-pulau utama
Jepang. Kaisar menerima laporan dari Pangeran Higashikuni; darinya Kaisar mengambil
kesimpulan bahwa "bukan saja pertahanan lepas pantai, divisi yang tersedia untuk
diterjunkan di pertempuran yang menentukan juga tidak memiliki jumlah senjata yang
memadai."[44] Menurut Kaisar:
Kita sudah diberi tahu besi asal bom yang dijatuhkan musuh sudah digunakan
untuk membuat sekop. Hal ini berarti kita tidak berada dalam posisi melanjutkan
perang.[44]
Pada 22 Juni, kaisar memanggil keenam anggota Dewan Penasihat Militer untuk rapat.
Tidak seperti biasanya, Kaisar membuka pembicaraan: "Kita menginginkan rencana
konkrit untuk mengakhiri perang, tanpa dirintangi kebijakan yang ada, akan dipelajari
dengan cepat dan usaha-usaha dilakukan untuk
mengimplementasikannya."[45] Pertemuan menyetujui untuk mengundang bantuan Soviet
dalam mengakhiri perang. Negara-negara netral lain seperti Swiss, Swedia,
dan Vatikan dikenal berniat memainkan peranan dalam menciptakan perdamaian, tetapi
mereka terlalu kecil hingga mereka tidak dapat melakukan lebih dari sekadar
menyampaikan syarat-syarat kapitulasi Sekutu serta penerimaan atau penolakan dari
Jepang. Uni Soviet diharapkan dapat dibujuk untuk bertindak sebagai agen Jepang
dalam bernegosiasi dengan Sekutu Barat.[46]

Usaha berurusan dengan Uni Soviet[sunting | sunting


sumber]

Naotake Satō
Pada 30 Juni, Tōgō memerintahkan Duta Besar Jepang untuk Moskwa Naotake
Satō untuk berusaha menciptakan "hubungan persahabatan yang erat dan abadi." Satō
bermaksud membicarakan status Manchuria dan "masalah apa saja yang akan diangkat
Rusia."[47] Satō akhirnya bertemu dengan Menteri Luar Negeri Soviet Vyacheslav
Molotov pada 11 Juli, namun pertemuan tidak menghasilkan apa-apa. Pada 12 Juli,
Tōgō memerintahkan Satō untuk menyampaikan kepada Soviet bahwa,
Yang Mulia Kaisar mempertimbangkan fakta bahwa perang yang sekarang dari
hari ke hari membawa kemalangan dan pengorbanan bagi rakyat dari semua
pihak-pihak yang berperang, keinginan dari dalam hati agar dapat segera
dihentikan. Namun selama Inggris dan Amerika Serikat bersikeras soal
penyerahan tanpa syarat, Kekaisaran Jepang tidak punya pilihan lain kecuali
bertempur dengan segenap tenaga untuk kehormatan dan keberlangsungan
tanah air.[48]
Kaisar mengusulkan untuk mengirim Pangeran Konoe sebagai Utusan Luar Biasa,
walaupun ia tidak dapat tiba di Moskwa sebelum dimulainya Konferensi Potsdam.
Satō memberi tahu Tōgō bahwa dalam kenyataan, Jepang hanya dapat mengharapkan
"penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang hampir setara ke situ". Lebih jauh lagi
Satō mengatakan bahwa pesan-pesan Tōgō "tidak jelas soal pandangan pemerintah
dan militer dalam hal penghentian perang," serta mempertanyakan apakah inisiatif Tōgō
didukung oleh unsur-unsur kunci dalam struktur kekuasaan Jepang.[49]
Pada 17 Juli, Tōgō menjawab,
Walaupun para penguasa, dan juga pemerintah yakin bahwa kekuatan perang
kita masih dapat menimbulkan pukulan berarti terhadap musuh, kami tidak dapat
merasakan kedamaian hati yang betul-betul pasti. ... Namun, mohon betul-betul
diingat, bahwa kita tidak meminta mediasi Rusia untuk hal-hal seperti
penyerahan tanpa syarat.[50]
Dalam jawabannya, Satō memperjelas,
Sudah barang tentu dalam pesan saya sebelumnya menyebut penyerahan tanpa
syarat atau syarat-syarat yang hampir setara, saya membuat pengecualian soal
mempertahankan [Rumah Tangga Kekaisaran].[51]
Pada 21 Juli, berbicara atas nama kabinet, Tōgō mengulangi,
Mengenai soal penyerahan tanpa syarat kami tidak dapat menyetujuinya
berdasarkan keadaan bagaimanapun. ... Dalam usaha menghindari keadaan
seperti itu kita sedang mencari damai, ... melalui jasa baik Rusia. ... Ditinjau dari
sudut pandang dalam negeri dan luar negeri, membuat pernyataan segera
tentang syarat-syarat tertentu adalah merugikan dan tidak mungkin.[52]
Ahli kriptografi Amerika Serikat yang bergabung dalam Proyek Magic telah memecahkan
sebagian besar sandi Jepang, termasuk kode Purple yang dipakai oleh kantor-kantor
perwakilan Jepang untuk menyandikan koresponden diplomatik. Sebagai akibatnya,
pesan antara Tokyo dan kedutaan-kedutaan Jepang bocor ke pemimpin Sekutu hampir
sama cepatnya dengan penerima di alamat tujuan.[53]

Maksud-maksud Soviet[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Perang Soviet–Jepang (1945)
Urusan keamanan mendominasi keputusan Soviet soal Timur Jauh.[54] Di antara
keinginan yang paling utama adalah memperoleh akses tidak terbatas ke Samudra
Pasifik. Kawasan lepas pantai Soviet di Pasifik yang bebas es sepanjang tahun,
khususnya Vladivostok, dapat diblokade melalui udara dan laut
dari Sakhalin dan Kepulauan Kuril. Bila keduanya didapatkan berarti Rusia memperoleh
akses bebas ke Selat Soya yang memang menjadi sasaran utama.[55][56] Sasaran kedua
adalah perjanjian kontrak Jalur Kereta Api Timur Jauh Cina, Jalur Kereta Api Manchuria
Selatan, Dairen, dan Lushun.[57]
Untuk mencapai tujuannya, Stalin dan Molotov dengan semangat bernegosiasi dengan
Jepang, memberikan Jepang janji perdamaian dengan Uni Soviet sebagai
mediator.[58] Pada saat yang bersamaan, dalam transaksi Soviet dengan Amerika Serikat
dan Inggris, Soviet bersikeras untuk secara ketat menaati Deklarasi Kairo, ditegaskan
kembali di Konferensi Yalta bahwa Sekutu tidak akan menerima perdamaian bersyarat
atau perdamaian sendiri-sendiri dengan Jepang. Kepada semua negara-negara Sekutu,
Jepang harus menyerah tanpa syarat. Untuk memperpanjang perang, Uni Soviet
menentang semua upaya yang dilakukan untuk memperlunak syarat-syarat
kapitulasi.[58] Bila perang tidak segera selesai, Uni Soviet masih punya cukup waktu
untuk memindahkan pasukan-pasukan mereka ke medan perang Pasifik, untuk
selanjutnya merebut Sakhalin, Kepulauan Kuril, dan kemungkinan Hokkaido[59] (invasi
dimulai dengan pendaratan di Rumoi, Hokkaido).[60]

Proyek Manhattan[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Proyek Manhattan
Pada 1939, Albert Einstein dan Leó Szilárd menulis sepucuk surat kepada Presiden
Roosevelt yang mendesaknya untuk mendanai penelitian dan pengembangan bom
atom. Roosevelt setuju dan hasilnya adalah proyek riset sangat rahasia yang
disebut Proyek Manhattan. Proyek ini dipimpin Jenderal Leslie Groves dengan J. Robert
Oppenheimer sebagai direktur pengarah bidang ilmiah. Bom atom pertama dengan
sukses diledakkan dalam percobaan Trinity 16 Juli 1945.
Sementara proyek hampir berakhir, pemimpin perang Amerika mulai
mempertimbangkan untuk menggunakan bom atom terhadap Jepang. Groves
membentuk komite pencari sasaran yang bertemu pada bulan April dan Mei 1945.
Komite ini menyusun daftar sasaran bom atom. Mereka memilih 18 kota-kota di Jepang.
Masuk dalam daftar di urutan paling atas
adalah Kyoto, Hiroshima,[61] Yokohama, Kokura, dan Niigata.[62][63] Pada akhirnya Kyoto
dihapus dari daftar atas desakan Menteri Perang Henry L. Stimson yang pernah
mengunjungi Kyoto sewaktu bulan madu, dan mengetahui kota ini sangat penting dalam
segi budaya dan sejarah.[64]
Pada bulan Mei, Harry S. Truman diangkat sebagai Presiden Amerika Serikat yang baru
setelah Franklin Roosevelt wafat pada 16 April 1945. Truman menyetujui pembentukan
komite Interim, sebuah kelompok penasihat yang melapor mengenai bom
atom.[63] Komite Interim terdiri dari George L. Harrison, Vannevar Bush, James Bryant
Conant, Karl Taylor Compton, William L. Clayton, dan Ralph Austin Bard, serta dibantu
dewan penasihat yang terdiri dari ilmuwan Oppenheimer, Enrico Fermi, Ernest
Lawrence, dan Arthur Compton. Dalam laporan tanggal 1 Juni 1945, komite
berkesimpulan bom atom harus digunakan secepat mungkin terhadap instalasi-instalasi
perang berikut rumah-rumah pekerja di sekelilingnya, dan tidak perlu memberi
peringatan atau peragaan sebelumnya.[65]
Mandat yang diberikan kepada komite tidak termasuk penggunaan bom atom, walaupun
penggunaannya sudah diperkirakan bila sudah selesai.[66] Komite mengkaji kembali
penggunaan bom atom setelah ada protes dalam bentuk Laporan Franck dari ilmuwan
Proyek Manhattan. Pada rapat 21 Juni, komite menegaskan kembali bahwa tidak ada
alternatif lain selain menggunakan bom atom.[67]

Acara-acara di Potsdam[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Konferensi Potsdam
Pemimpin kekuatan utama Sekutu bertemu dalam Konferensi Potsdam 16 Juli-2
Agustus 1945. Uni Soviet, Britania Raya, dan Amerika Serikat, masing-masing diwakili
oleh Stalin, Winston Churchill (kemudian Clement Attlee), dan Truman.

Negosiasi[sunting | sunting sumber]


Perang melawan Jepang merupakan salah satu dari berbagai isu yang dibicarakan di
Potsdam. Truman mendapat berita tentang suksesnya percobaan Trinity pada awal
konferensi, dan menyampaikan informasi tersebut ke delegasi Inggris. Kesuksesan
percobaan bom atom menyebabkan delegasi Amerika Serikat mempertimbangkan
kembali mengenai perlunya partisipasi Soviet (seperti dijanjikan di Yalta).[68] Prioritas
teratas Sekutu adalah mempersingkat perang dan mengurangi korban di pihak Amerika
Serikat. Kedua hal tersebut mungkin dapat dibantu dengan adanya campur tangan Uni
Soviet, namun kemungkinan harus dibayar dengan membolehkan Soviet mencaplok
wilayah-wilayah di luar wilayah yang dijanjikan untuk mereka di Yalta, dan mungkin
Jepang akan terbagi dua seperti Jerman.[69]
Dalam kesepakatan dengan Stalin, Truman memutuskan untuk memberikan pemimpin
Soviet kabar tentang keberadaan senjata baru yang kuat tanpa memberitahukan
rinciannya. Namun, Sekutu lainnya tidak menyadari bahwa intelijen Soviet telah
menyusup dalam Proyek Manhattan pada tahap awal, sehingga ketika Stalin
mengetahui keberadaan bom atom, ia tidak terkesan dengan potensinya.[70]

Deklarasi Potsdam[sunting | sunting sumber]


Pemimpin negara-negara utama Sekutu memutuskan untuk mengeluarkan pernyataan
yang disebut Deklarasi Potsdam yang menetapkan "penyerahan tanpa syarat" dan
memperjelas arti kapitulasi Jepang bagi kedudukan kaisar dan bagi Hirohito secara
pribadi. Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris saling bertentangan mengenai butir
terakhir. Amerika Serikat ingin menghapus posisi kaisar dan kemungkinan mengadilinya
sebagai penjahat perang. Sebaliknya, Inggris ingin mempertahankan posisi kaisar,
mungkin dengan Hirohito yang tetap bertahta. Pernyataan-pernyataan dalam rancangan
Deklarasi Potsdam mengalami berbagai revisi sebelum versi yang diterima kedua belah
pihak selesai.[71]
Pada 26 Juli 1945, Amerika Serikat, Inggris, dan Cina merilis Deklarasi Potsdam yang
berisi syarat-syarat kapitulasi Jepang dengan peringatan, "Kami tidak akan menyimpang
dari ketentuan-ketentuan ini. Tidak ada alternatif. Kami tidak membolehkan adanya
penundaan." Bagi Jepang, deklarasi menetapkan syarat-syarat sebagai berikut:

 Penghapusan "selama-lamanya dari kekuasaan dan pengaruh tokoh-tokoh yang


telah menipu dan menyesatkan rakyat Jepang ke arah dimulainya penaklukan
dunia"
 Pendudukan "titik-titik dalam wilayah Jepang yang akan ditentukan oleh Sekutu"
 "Kedaulatan Jepang akan dibatasi pada pulau-pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu,
dan Shikoku, serta pulau-pulau kecil seperti yang kami tetapkan." Seperti telah
diumumkan dalam Deklarasi Kairo 1943, wilayah-wilayah Jepang akan disita hingga
wilayah sebelum perang, termasuk Korea dan Taiwan, begitu pula wilayah-wilayah
taklukannya baru-baru ini.
 "Kekuatan militer Jepang harus sepenuhnya dilucuti"
 "Keadilan yang keras harus dijatuhkan kepada semua penjahat perang, termasuk
semua yang telah melakukan kekejaman terhadap orang kita yang ditawan".

Salah satu sesi Konferensi Potsdam. Tokoh-tokoh dalam foto, Clement Attlee, Ernest
Bevin, Vyacheslav Molotov, Joseph Stalin, William D. Leahy, James F. Byrnes, dan Harry S.
Truman
Di lain pihak, deklarasi menegaskan bahwa:

 "Kami tidak bermaksud memperbudak Jepang sebagai suatu ras atau


menghancurkannya sebagai suatu bangsa, ... Pemerintah Jepang harus menghapus
semua penghalang bagi kebangkitan dan makin menguatnya kecenderungan
demokrasi di antara rakyat Jepang. Kebebasan berbicara, beragama, dan berpikir,
begitu pula peghormatan bagi hak asasi manusia yang fundamental harus
ditegakkan."
 "Jepang harus dibolehkan memiliki industri-industri yang akan menunjang ekonomi
dan memungkinkan untuk membayar tuntutan pampasan yang serupa dan adil, ...
Partisipasi Jepang dalam hubungan dagang internasional harus dibolehkan."
 "Kesatuan pendudukan Sekutu akan ditarik dari Jepang segera setelah tujuan-
tujuan tersebut dicapai dan telah berdirinya sebuah pemerintahan yang bertanggung
jawab dan bertujuan damai sesuai dengan keinginan rakyat Jepang yang
diungkapkan secara bebas."
Satu-satunya pasal yang menyebut tentang "penyerahan tanpa syarat" dicantumkan
pada akhir deklarasi:

 "Kami mengimbau pemerintah Jepang untuk menyatakan sekarang juga kapitulasi


tanpa syarat dari semua angkatan bersenjata Jepang, dan untuk memperlihatkan
jaminan yang cukup dan layak atas maksud baik mereka terhadap hal tersebut.
Pilihan lain bagi Jepang adalah "penghancuran sepenuhnya dan segera."
Tidak disebutkan tentang Kaisar Hirohito apakah termasuk ke dalam salah satu dari
tokoh yang "menyesatkan rakyat Jepang", atau juga seorang penjahat perang, bahkan
sebaliknya bagian dari "pemerintah yang bertanggung jawab dan berkeinginan damai".
Pasal "penghancuran sepenuhnya dan segera" kemungkinan adalah peringatan
terselubung soal kepemilikan bom atom oleh Amerika Serikat (yang telah dicobakan
dengan sukses pada hari pertama konferensi).[72]

Reaksi Jepang[sunting | sunting sumber]


Pada 27 Juli, pemerintah Jepang menimbang-nimbang cara menanggapi Deklarasi
Potsdam. Empat tokoh militer dari Dewan Penasihat Militer bermaksud menolaknya,
tetapi Tōgō membujuk kabinet untuk tidak melakukannya hingga ia mendapat reaksi dari
Uni Soviet. Dalam sebuah telegram, Duta Besar Jepang untuk Swiss Shunichi
Kase berpendapat bahwa penyerahan tanpa syarat hanya berlaku untuk militer dan
bukan untuk pemerintah atau rakyat, dan ia minta agar dimengerti bahwa pemilihan
bahasa yang hati-hati dalam Deklarasi Potsdam sepertinya "telah mengalami pemikiran
yang mendalam" dari pihak pemerintah-pemerintah yang menandatanganinya--"mereka
kelihatannya telah bersusah payah berusaha menyelamatkan muka kita pada berbagai
pasal-pasal."[73] Pada hari berikutnya, surat-surat kabar Jepang melaporkan bahwa
Jepang telah menolak isi Deklarasi Potsdam yang sebelumnya telah disiarkan dan
dijatuhkan sebagai selebaran udara di atas Jepang. Dalam usaha mengatasi persepsi
publik, Perdana Menteri Suzuki bertemu dengan pers, dan memberi pernyataan,
Saya menganggap Proklamasi Bersama sebagai pengulangan kembali
Deklarasi di Konferensi Kairo. Mengenai hal tersebut, Pemerintah tidak
menganggapnya memiliki nilai penting sama sekali. Salah satu hal yang dapat
dilakukan adalah mengabaikannya (mokusatsu). Kami tidak akan melakukan
apa-apa kecuali menanggungnya hingga akhir untuk mendatangkan akhir
perang yang sukses.[74]
Arti kata mokusatsu adalah mengabaikan atau tidak menanggapi.[74] Walaupun demikian,
pernyataan Suzuki, terutama kalimat terakhir hanya menyisakan sedikit ruang untuk
interpretasi yang salah. Pers Jepang dan pers luar negeri mengartikannya sebagai
penolakan, dan tidak ada pernyataan lebih lanjut yang disampaikan ke muka umum atau
saluran diplomatik untuk mengubah kesalahpahaman ini.
Pada 30 Juli, Duta Besar Satō menulis bahwa Stalin kemungkinan sedang berbicara
dengan Sekutu Barat mengenai transaksinya dengan Jepang. Menurut Satō, "Tidak ada
alternatif selain penyerahan tanpa syarat dengan segera bila kita ingin mencegah
partisipasi Rusia dalam perang."[75] Pada 2 Agustus, Tōgō menulis kepada Satō, "Sulit
bagi Anda untuk mewujudkan hal itu ... terbatas waktu kita untuk berlanjut ke persiapan
mengakhiri perang sebelum musuh mendarat di pulau-pulau utama Jepang, di lain pihak
sulit untuk memutuskan syarat-syarat damai yang nyata di tanah air secara sekaligus."[76]

Hiroshima, Manchuria, dan Nagasaki[sunting | sunting


sumber]
Hiroshima: 6 Agustus[sunting | sunting sumber]
Truman mengumumkan
pengeboman Hiroshima

MENU

0:00

Bermasalah memainkan berkas ini?


Lihat bantuan media.

Pagi 6 Agustus 1945, pesawat pengebom B-29 Enola Gay yang diterbangkan
Kolonel Paul Tibbets menjatuhkan sebuah bom atom di kota Hiroshima, sebelah barat
daya Pulau Honshu. Sepanjang hari itu berbagai laporan yang membingungkan sampai
di Tokyo bahwa Hiroshima telah menjadi korban serangan udara yang meratakan kota
dengan "ledakan dahsyat dan kilatan yang membutakan". Tidak lama kemudian Jepang
menerima siaran radio Presiden Truman yang mengumumkan penggunaan bom
atom yang pertama kali, dan berjanji,
Kita sekarang siap untuk memusnahkan dengan cepat dan secara tuntas setiap
usaha produktif yang dimiliki Jepang di atas permukaan tanah di setiap kota. Kita
akan menghancurkan dok-dok mereka, pabrik-pabrik mereka, dan komunikasi
mereka. Kita tegaskan sekali lagi; kita akan secara tuntas menghancurkan
kekuatan Jepang untuk berperang. Hal itu untuk menyelamatkan rakyat Jepang
dari kehancuran total sesuai ultimatum 26 Juli yang dikeluarkan di Potsdam.
Pemimpin-pemimpin mereka dengan segera menolak ultimatum. Bila mereka
sekarang tidak menerima syarat-syarat kita, mereka tinggal menunggu hujan
kehancuran dari udara, tidak seperti apa yang pernah mereka saksikan di atas
muka bumi ini...[77]
Pada awalnya, sebagian orang tidak percaya Amerika Serikat telah membuat bom atom.
Jepang tahu benar tentang betapa sulitnya membuat bom atom. Angkatan Laut dan
Angkatan Darat Kekaisaran Jepang masing-masing memiliki program bom atom secara
terpisah hingga makin mempersulit usaha mereka.[78] Kepala Staf Umum Angkatan Laut
Laksamana Soemu Toyoda mengatakan bila memang benar Amerika Serikat sudah
membuat sebuah satu bom, mereka sekarang sudah tidak punya lagi.[79] Pakar strategi
Amerika Serikat yang menanti reaksi seperti Toyoda, merencanakan untuk menjatuhkan
sebuah bom atom kedua tidak lama setelah bom atom pertama untuk meyakinkan
Jepang bahwa Amerika Serikat punya banyak persediaan.[63][80]

Invasi Soviet dan Nagasaki: 8-9 Agustus[sunting | sunting


sumber]
Tokyo menerima laporan terinci tentang skala kehancuran yang tidak diduga
sebelumnya di Hiroshima. Namun dua hari telah lewat sebelum pemerintah
mengadakan pertemuan untuk menimbang-nimbang situasi yang sudah berubah. Pukul
04.00 tanggal 9 Agustus 1945, Tokyo menerima berita bahwa Uni Soviet telah
melanggar Pakta Netralitas,[33] menyatakan perang terhadap Jepang,[81] dan melancarkan
invasi ke Manchuria.[82]
Nagasaki dibom atom.
Kejutan ganda berupa Hiroshima yang dijatuhi bom atom dan invasi Soviet langsung
mengubah sikap Perdana Menteri Suzuki dan Menteri Luar Negeri Tōgō Shigenori
secara drastis. Keduanya sepakat pemerintah harus segera mengakhiri
perang.[83] Namun, pemimpin senior Angkatan Darat Kekaisaran Jepang menanggapi
pengeboman Hiroshima dan invasi Soviet secara tenang, dan sangat meremehkan skala
serangan. Mereka memulai persiapan untuk memberlakukan darurat militer dengan
dukungan Menteri Perang Korechika Anami dengan maksud menghentikan siapa pun
yang mencoba berdamai.[84] Hirohito memerintahkan Kido untuk "mengendalikan situasi
dengan cepat" karena "Uni Soviet sudah menyatakan perang dan hari ini telah memulai
peperangan terhadap kami."[85]
Dewan Penasihat Militer bertemu pada pukul 10.30. Suzuki yang baru tiba dari
pertemuan dengan Kaisar berkata bahwa melanjutkan perang sudah tidak mungkin.
Tōgō Shigenori mengatakan bahwa mereka dapat menerima syarat-syarat Deklarasi
Postdam, tetapi mereka perlu jaminan mengenai posisi Kaisar. Menteri Angkatan Laut
Yonai berkata bahwa mereka harus membuat beberapa proposal diplomatik. Mereka
tidak dapat lagi menunggu kesempatan yang lebih baik.
Di tengah-tengah rapat, tidak lama setelah pukul 11.00 datang berita Nagasaki di pesisir
barat Kyushu telah dijatuhi bom atom kedua ("Fat Man") oleh Amerika Serikat. Hingga
rapat berakhir, pendapat enam anggota Dewan Penasihat Militer terbelah menjadi 3
lawan 3. Suzuki, Tōgō, dan Admiral Yonai memilih usulan Tōgō untuk menambah satu
syarat tambahan di Deklarasi Potsdam. Sebaliknya Jenderal Anami, Umezu, dan
Laksamana Toyoda bersikeras untuk menambah tiga syarat-syarat lebih lanjut yang
merevisi Potsdam: Jepang mengurusi pelucutan diri sendiri, Jepang mengurusi semua
penjahat perang Jepang, dan tidak boleh ada pendudukan atas Jepang.[86]
Setelah pengeboman atom Nagasaki, Truman memberikan pernyataan lain:
Pemerintahan Britania, China, dan Amerika Serikat telah memberikan cukup
peringatan kepada Jepang mengenai apa yang tersedia untuk mereka. Kita telah
memberikan syarat-syarat umum bagi mereka untuk menyerah. Peringatan
tersebut diabaikan; syarat-syarat kita pun ditolak. Sejak saat itu, Jepang telah
menyaksikan apa yang dapat dilakukan oleh bom atom kita. Mereka bisa
meramalkan apa yang akan dilakukan bom tersebut pada masa depan.
Dunia akan mencatat mencatat bahwa bom atom pertama dijatuhkan di
Hiroshima, sebuah pangkalan militer. Itu karena kita berharap bahwa serangan
pertama ini sebisa mungkin menghindari pembunuhan warga sipil . Tapi
serangan itu hanya peringatan mengenai apa yang akan datang. Jika Jepang
tidak menyerah, bom harus dijatuhkan di industri-industri perangnya, dan
sayangnya ribuan nyawa warga sipil akan melayang. Saya mendorong warga
sipil Jepang untuk segera meninggalkan kota-kota industri dan menyelamatkan
diri dari kehancuran.
Saya menyadari pentingnya bom atom yang tragis ini.
Produksi dan penggunaannya tidak dianggap enteng oleh Pemerintah ini. Tapi
kita tahu bahwa musuh-musuh kita mencarinya. Sekarang kita tahu mereka
nyaris mendapatkannya. Dan kita tahu bencana yang akan menimpa Bangsa ini,
dan semua bangsa yang cinta damai, semua peradaban, jika mereka telah
menemukannya terlebih dahulu.
Itulah sebabnya kita merasa terdorong untuk melakukan upaya penemuan dan
produksi yang panjang dan tidak pasti dan memakan biaya.
Kita memenangkan perlombaan penemuan melawan Jerman.
Setelah menemukan bom kita telah menggunakannya. Kita telah
menggunakannya terhadap mereka yang menyerang kita tanpa peringatan di
Pearl Harbor, terhadap mereka yang membuat kelaparan dan memukuli dan
menghukum mati tahanan perang Amerika, terhadap mereka yang tidak
mematuhi hukum peperangan internasional. Kita telah menggunakannya untuk
memperpendek penderitaan perang, untuk menyelamatkan ribuan nyawa
pemuda Amerika.
Kita akan terus menggunakannya sampai kita benar-benar menghancurkan
kemampuan Jepang dalam berperang. Hanya kapitulasi Jepang yang akan
menghentikannya.[87]

Campur tangan istana, reaksi Sekutu, dan jawaban


Jepang[sunting | sunting sumber]

Menteri Perang Korechika Anami


Rapat kabinet lengkap dilangsungkan mulai pukul 14.30 tanggal 9 Agustus 1945.
Sebagian besar waktu rapat dihabiskan untuk memperdebatkan soal kapitulasi. Seperti
halnya Dewan Penasihat Militer, pendapat kabinet terpecah dua. Sikap Tōgō atau pun
sikap Anami masing-masing tidak mendapat dukungan mayoritas.[88] Anami mengatakan
kepada menteri kabinet yang lain bahwa, sewaktu disiksa, seorang pilot B-29 Amerika
Serikat yang tertangkap mengatakan kepada para interogator bahwa Amerika Serikat
memiliki 100 bom atom dan Tokyo serta Kyoto akan dijatuhi bom "dalam beberapa hari
berikut". Pilot Marcus McDilda memang berbohong. Ia sama sekali tidak tahu
tentang Proyek Manhattan, dan hanya mengatakan hal tersebut kepada para interogator
karena itulah yang dia pikir mereka ingin dengar agar penyiksaan segera berakhir.
Kebohongan McDilda yang menyebabkan dirinya diklasifikasikan sebagai tawanan
perang prioritas tinggi, kemungkinan telah menyelamatkan dirinya dari hukuman
penggal.[89] Pada kenyataannya, bom atom ketiga Amerika Serikat akan siap untuk
dipakai sekitar 19 Agustus, dan bom atom keempat pada bulan September 1945.[90] Bom
atom ketiga kemungkinan akan dijatuhkan di Tokyo.[91]
Rapat kabinet ditunda pada pukul 17.30 tanpa ada konsensus. Rapat kedua
berlangsung dari pukul 18.00 hingga 22.00 juga berakhir tanpa konsensus. Setelah
rapat kedua selesai, Suzuki dan Tōgō bertemu Kaisar, dan Suzuki mengusulkan rapat
kekaisaran darurat yang dimulai sesaat sebelum tengah malam pada malam 9-10
Agustus.[92] Suzuki mengajukan proposal empat syarat Anami sebagai konsensus yang
diambil Dewan Penasihat Militer. Anggota dewan yang lainnya ikut bersuara, seperti
halnya Hiranuma Kiichirō, ketua Penasihat Kaisar yang menjelaskan ketidakmampuan
Jepang untuk mempertahankan diri sendiri dan juga menceritakan masalah dalam
negeri seperti kekurangan bahan makanan. Kabinet berdebat, namun tidak
menghasilkan konsensus. Pada akhirnya, sekitar pukul 02.00 (10 Agustus 1945), Suzuki
lalu bertanya kepada Kaisar Hirohito memintanya untuk memilih di antara dua sikap.
Walaupun pernyataan Kaisar tidak direkam, berdasarkan ingatan para peserta rapat,
berikut ini adalah pernyataan Kaisar Hirohito:
Saya telah berpikir serius tentang situasi sekarang di tanah air dan luar negeri,
serta telah berkesimpulan bahwa meneruskan perang hanya dapat berarti
penghancuran bangsa dan perpanjangan pertumpahan darah dan kekejaman di
dunia. Saya tidak tahan melihat rakyat tak berdosa menderita lebih lama lagi. ...

Saya sebelumnya diberi tahu oleh pihak-pihak yang mendukung perpanjangan


peperangan bahwa pada bulan Juni divisi baru akan ditempatkan di posisi-posisi
perbentengan [timur Tokyo] siap menanti penyerbu ketika mereka tiba. Sekarang
sudah bulan Agustus dan fortifikasi masih belum selesai. ...

Ada pihak yang mengatakan kunci keberlangsungan negara terletak pada


pertempuran menentukan di tanah air. Namun, pengalaman masa lalu
menunjukkan selalu ada ketidaksesuaian antara rencana dan hasilnya. Saya
tidak percaya bahwa ketidaksesuaian dalam kasus Kujukuri dapat dikoreksi.
Mengingat ini adalah kecenderungan yang akan terus terjadi, bagaimana kita
dapat mengusir para penyerbu?[Ia lalu mengatakan beberapa contoh spesifik
tentang meningkatnya kekuatan destruktif bom atom]

Sudah barang tentu tak tertahankan bagi saya untuk melihat dilucutinya prajurit
Jepang yang setia dan berani. Begitu pula sama tak tertahankannya
membiarkan prajurit yang telah mengabdi kepada saya dihukum sebagai
provokator perang. Meskipun begitu, waktunya telah tiba untuk menanggung
derita yang tak tertahankan. ...

Saya menelan air mata dan memberikan persetujuan untuk usulan tersebut dan
menerima proklamasi Sekutu berdasarkan garis besar yang dikemukakan
Menteri Luar Negeri.[93]
Menurut Jenderal Sumihisa Ikeda dan Laksamana Zenshirō Hoshina, Ketua Dewan
Penasihat Kaisar Hiranuma Kiichirō kemudian menghadap ke arah kaisar dan bertanya:
"Yang Mulia, Yang Mulia juga bertanggung jawab (sekinin) atas kekalahan ini.
Permintaan maaf seperti apa yang akan diajukan kepada pendiri kekaisaran dan para
leluhur kekaisaran lainnya?"[94]
Setelah Kaisar meninggalkan ruangan, Suzuki mendesak kabinet untuk menerima
keinginan Kaisar dan berhasil. Dini hari 10 Agustus 1945, Kementerian Luar Negeri
mengirimkan telegram ke Sekutu (melalui Departemen Politik Federal Swiss dan
khususnya Max Grässli) mengumumkan bahwa Jepang menerima Deklarasi Potsdam
tetapi tidak akan menerima syarat-syarat apa pun yang akan "merugikan hak prerogatif"
kaisar. Hal tersebut berarti tidak adanya perubahan dalam bentuk pemerintahan di
Jepang[95], bahwa Kaisar Jepang tetap dalam posisinya memegang kekuasaan
sebenarnya di dalam pemerintahan.[96]

12 Agustus[sunting | sunting sumber]


Jawaban Sekutu ditulis oleh James F. Byrnes dan disetujui oleh pemerintah Inggris,
Cina, dan Uni Soviet, walaupun Uni Soviet setuju dengan rasa enggan. Sekutu
mengirimkan balasan (lewat Departemen Urusan Politik Swiss) atas penerimaan Jepang
terhadap Deklarasi Potsdam pada 12 Agustus 1945. Mengenai status kaisar,
dicantumkan,
Mulai dari saat kapitulasi, kekuasaan kaisar dan Pemerintah Jepang untuk
mengatur negara akan tunduk kepada Komandan Tertinggi Sekutu yang akan
mengambil langkah-langkah yang menurutnya layak sesuai dengan syarat-
syarat kapitulasi yang berlaku. ... Bentuk akhir pemerintahan Jepang akan,
sesuai dengan Deklarasi Potsdam, akan didirikan oleh keinginan rakyat Jepang
yang diungkapkan secara bebas.[97]
Presiden Truman memerintahkan operasi-operasi militer (termasuk pengeboman B-29)
agar diteruskan hingga pernyataan resmi kapitulasi Jepang diterima. Namun, para
koresponden berita dengan salah menginterpretasikan komentar Carl Andrew
Spaatz tentang B-29 yang tidak lagi diterbangkan pada 11 Agustus (karena cuaca
buruk) sebagai pernyataaan bahwa gencatan senjata sudah berlaku. Dalam usaha
menghindari pihak Jepang mendapat kesan Sekutu telah mengabaikan usaha-usaha
perdamaian dan meneruskan pengeboman, Truman kemudian memerintahkan
penghentian pengeboman.[98][99]
Kabinet Jepang mempertimbangkan jawaban Sekutu, dan Suzuki berpendapat bahwa
mereka harus menolaknya dan bertahan pada jaminan eksplisit soal sistem kekaisaran.
Anami kembali ke sikap dirinya bahwa tidak akan ada pendudukan atas Jepang. Setelah
itu, Tōgō mengatakan kepada Suzuki bahwa harapan mendapatkan syarat-syarat yang
lebih baik sudah tidak ada, dan Kido menyampaikan keinginan Kaisar agar Jepang
menyerah. Dalam pertemuan dengan Kaisar, Yonai mengemukakan keprihatinannya
mengenai kerusuhan sipil yang makin bertambah,
Saya kira syaratnya tidak pantas, tetapi bom-bom atom dan masuknya Soviet ke
dalam perang, pada hakikatnya, adalah hadiah dari langit. Dengan demikian kita
tidak perlu mengatakan bahwa kita berhenti perang karena masalah dalam
negeri.[100]
Pada hari itu, Hirohito menyampaikan kepada keluarga kekaisaran tentang
keputusannya untuk menyerah. Salah seorang pamannya, Pangeran Asaka lalu
bertanya apakah perang akan terus berlanjut bila kokutai (struktur negara/pemerintahan
nasional) tidak dapat dipertahankan. Kaisar dengan singkat menjawab "tentu saja".[101][102]

13–14 Agustus[sunting | sunting sumber]


Dewan Penasihat Militer dan kabinet menghabiskan sepanjang hari 13 Agustus
berdebat mengenai jawaban mereka atas tanggapan Sekutu, namun hasilnya masih
buntu. Sementara itu, Sekutu makin bertambah ragu-ragu menunggu jawaban Jepang.
Pihak Jepang telah diinstruksikan untuk menjawab dalam teks polos, tetapi ternyata
menjawab dalam pesan tersandi.
Peningkatan lalu lintas komunikasi diplomatik dan militer juga dideteksi oleh Sekutu
yang mengartikannya sebagai bukti Jepang sedang menyiapkan sebuah
"serangan banzai habis-habisan". Presiden Truman memerintahkan dilanjutkannya
serangan udara terhadap Jepang dalam intensitas maksimum "sehingga bisa
meyakinkan pejabat-pejabat Jepang bahwa kita sungguh-sungguh dan serius dalam
membuat mereka menerima usulan damai kita tanpa ditunda."[103][104] Armada Ketiga
Amerika Serikat mulai menembakkan meriam-meriamnya ke pantai Jepang. Dalam
serangan udara terbesar sepanjang sejarah Perang Pasifik, Amerika Serikat
mengerahkan lebih dari 400 pengebom B-29 untuk menyerang Jepang sepanjang hari
14 Agustus 1945, dan menambahnya lagi dengan 300 pesawat pengebom pada malam
itu.[105] Total 1.014 pesawat dikerahkan dan semuanya kembali dengan
selamat.[106] Dalam misi pengeboman terpanjang dalam sejarah perang,[107] B-29 dari
Skuadrom Bombardemen 315 terbang 3.800 mil untuk menghancurkan pengilangan
Nippon Oil Company di Tsuchizaki yang berada di ujung utara Honshu. Pengilangan
minyak tersebut merupakan satu-satunya pengilangan minyak Jepang yang masih
beroperasi di Jepang dan menghasilkan 67% dari kebutuhan minyak Jepang.[108] Seusai
perang, serangan udara dapat dibenarkan asalkan mereka sudah berangkat ketika
pernyataan kapitulasi Jepang diterima, namun hal ini hanya sebagian yang benar.[109]

Selebaran yang dijatuhkan di Jepang setelah pengeboman atom Hiroshima. Dalam selebaran
ditulis, sebagian isi: Rakyat Jepang sedang menghadapi musim gugur yang sangat penting.
Tiga belas pasal mengenai penyerahan diberikan kepada pemimpin-pemimpin militer Anda
sekalian oleh kami, aliansi tiga negara untuk mengakhiri perang yang sia-sia ini. Usulan ini
diabaikan oleh pemimpin-pemimpin militer Anda sekalian... Amerika Serikat telah
mengembangkan bom atom, yang tidak pernah dicobakan terhadap negara mana pun
sebelumnya. Kami telah memutuskan untuk memakai bom yang mengerikan ini. Satu bom
atom memiliki kekuatan destruktif sama dengan 2000 pesawat B-29."
Atas saran pakar operasi psikologis Amerika Serikat, pesawat-pesawat B-29
diberangkatkan pada 13 Agustus untuk menjatuhkan selebaran-selebaran di atas
Jepang, menjelaskan ralyat Jepang tentang tawaran untuk menyerah dan sikap
Sekutu.[103] Selebaran-selebaran ini berdampak drastis terhadap proses pengambilan
keputusan Jepang. Pada dini hari 14 Agustus, Suzuki, Kido, dan Kaisar Hirohito
menyadari bahwa hari itu akan berakhir dengan diterimanya syarat-syarat Amerika
Serikat atau sebuah kudeta militer.[110] Kaisar bertemu dengan perwira angkatan darat
dan angkatan laut paling senior. Sementara beberapa di antaranya memilih untuk terus
berjuang, namun tidak demikian halnya dengan Marsekal Lapangan Shunroku Hata.
Sebagai komandan Angkatan Darat Umum Kedua yang bermarkas di Hiroshima, Hata
memerintahkan semua pasukannya mempertahankan bagian selatan Jepang. Mereka
dikerahkan untuk bertempur dalam "pertempuran menentukan". Hata mengatakan
dirinya tidak yakin dapat memukul kekuatan invasi dan tidak mempermasalahkan
keputusan Kaisar. Kemudian Kaisar meminta para pemimpin militer untuk bekerja sama
dengannya mengakhiri perang.[110]
Dalam konferensi dengan menteri kabinet dan penasihat lainnya, Anami, Toyoda, dan
Umezu sekali lagi mengemukakan keinginannya untuk meneruskan perang, tetapi
kemudian Kaisar berkata,
Saya telah mendengar baik-baik masing-masing argumen yang diajukan untuk
menolak sikap Jepang yang harus menerima jawaban Sekutu seperti apa
adanya dan tanpa klarifikasi lebih lanjut atau modifikasi, tetapi pemikiran-
pemikiran diri saya sendiri belum mengalami perubahan. ... Supaya keputusan
saya bisa diketahui rakyat, saya memerintahkan untuk segera menyiapkan
perintah kaisar sehingga saya dapat menyiarkannya ke seluruh negeri. Pada
akhirnya, saya mengimbau kepada Anda sekalian untuk berusaha segiat
mungkin sehingga kita dapat bertemu pada hari-hari penuh cobaan yang segera
tiba.[111]
Kabinet segera melakukan rapat dan dengan suara bulat meratifikasi keinginan Kaisar.
Mereka juga memutuskan untuk menghancurkan sebagian besar dokumen yang
berkaitan dengan kejahatan perang dan tanggung jawab perang dari para pemimpin-
pemimpin tertinggi Jepang.[112][113] Segera seusai konferensi, Kementerian Luar Negeri
mengirimkan perintah-perintah ke kedutaan di Swiss dan Swedia untuk menerima
syarat-syarat kapitulasi yang ditentukan Sekutu. Pesan-pesan ini ditangkap dan diterima
di Washington pada pukul 02.49 tanggal 14 Agustus 1945.[111]
Naskah Perintah Kekaisaran selesai pada pukul 19.00, ditulis oleh ahli kaligrafi resmi
istana, dan dibawa ke menteri kabinet untuk ditandatangani. Sekitar pukul 23.00, Kaisar
Hirohito dengan bantuan seorang awak rekaman NHK membuat sebuah rekaman
gramafon berisi pembacaan pidato naskah Perintah Kekaisaran tentang
kapitulasi.[114] Rekaman tersebut diberikan kepada pengurus rumah tangga
istana Yoshihiro Tokugawa yang menyembunyikannya dalam tempat penyimpanan di
kantor sekretaris Permaisuri Kōjun.[115]

Percobaan kudeta militer (12 Agustus-15


Agustus)[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Peristiwa Kyūjō

Kenji Hatanaka, pimpinan kudeta.


Larut malam 12 Agustus 1945, Mayor Kenji Hatanaka bersama Letnan
Kolonel Masataka Ida, Masahiko Takeshita (ipar Anami), dan Inaba Masao, serta Kepala
Bagian Urusan Militer Kolonel Okitsugu Arao berbicara kepada Menteri
Perang Korechika Anami[116] mengharapkan dukungan Anami, dan memohon kepadanya
untuk melakukan apa saja yang dapat ia lakukan untuk menghalangi diterimanya
Deklarasi Potsdam. Jenderal Anami menolak untuk mengatakan apakah dirinya
bersedia membantu perwira-perwira muda yang ingin memberontak.[117] Mereka sangat
membutuhkan dukungan Anami, oleh karena itu mereka tidak memiliki pilihan lain selain
meneruskan rencana dan berusaha melakukan kudeta dengan kekuatan sendiri.
Hatanaka menghabiskan sebagian besar 13 Agustus dan pagi 14 Agustus
mengumpulkan rekan-rekan yang bersimpati, mencari dukungan dari pejabat tinggi di
kementerian, dan menyempurnakan rencana kudetanya.[118]
Tidak lama setelah usainya konferensi pada malam 13-14 Agustus yang memutuskan
Jepang untuk menyerah, sekelompok perwira senior angkatan darat, termasuk Anami
berkumpul di ruangan yang berdekatan. Perwira yang hadir cemas mengenai
kemungkinan kudeta (karena kemungkinan sedang dipikirkan oleh beberapa perwira
yang hadir) untuk menghalangi penyerahan Jepang. Setelah terdiam, Jenderal Torashirō
Kawabe mengusulkan agar semua perwira senior yang hadir menandatangani
kesepakatan untuk melaksanakan kapitulasi seperti diperintahkan Kaisar, "Angkatan
darat akan bertindak sesuai dengan keputusan kekaisaran hingga titik penghabisan."
Surat kesepakatan tersebut ditandatangani oleh semua perwira berpangkat tinggi yang
hadir, termasuk Anami, Hajime Sugiyama, Yoshijirō Umezu, Kenji Doihara, Torashirō
Kawabe, Masakazu Kawabe, dan Tadaichi Wakamatsu. "Selain pengumuman Anami,
kesepakatan tertulis perwira-perwira angkatan darat paling senior berfungsi sebagai rem
melawan setiap setiap usaha melakukan kudeta di Tokyo."[119]

Kudeta gagal setelah Shizuichi Tanaka meyakinkan perwira pemberontak untuk pulang ke rumah.
Tanaka bunuh diri 9 hari kemudian.
Sekitar pukul 21.30 tanggal 14 Agustus 1945, kelompok pemberontak pimpinan
Hatanaka mulai bergerak. Resimen Kedua dari Penjaga Kekaisaran Pertama telah
memasuki kawasan istana sebagai tambahan bagi batalion sebelumnya. Kemungkinan
mereka dikerahkan sebagai perlindungan ekstra melawan pemberontakan Hatanaka.
Namun, Hatanaka bersama Letnan Kolonel Jirō Shiizaki meyakinkan komandan Penjaga
Kekaisaran Pertama, Letnan Kolonel Haga Toyojirō mengenai tujuan-tujuan mereka.
Letkol Haga diberi tahu (bukan keadaan sebenarnya) bahwa Anami, Umezu, dan para
komandan Angkatan Darat Distrik Timur, serta berbagai Divisi Penjaga Kekaisaran
mendukung rencana mereka. Hatanaka juga pergi menemui Shizuichi Tanaka,
komandan angkatan darat wilayah timur. Ia berusaha membujuk Tanaka agar mau
membantu kudeta, namun ditolak. Hatanaka diperintahkannya pulang ke rumah, namun
perintah ini diabaikannya.[115]
Pada awalnya, Hatanaka berharap hanya dengan menunjukkan pemberontakan sudah
dimulai dengan cara menduduki istana, para prajurit angkatan darat akan tergerak dan
bangkit melawan usaha penyerahan Jepang. Prinsip ini terus dipegangnya hingga hari-
hari terakhir dan jam-jam terakhir sebagai optimisme buta. Rencana terus dijalankannya
walaupun hanya sedikit didukung oleh atasan. Hatanaka dan rekan-rekan memutuskan
para penjaga akan mengambil alih istana pada pukul 02.00. Jam-jam pergantian
penjaga dihabiskan mereka mencoba untuk meyakinkan atasan di angkatan darat untuk
bergabung dengan kudeta. Hampir pada saat yang bersamaan, Jenderal Anami
melakukan seppuku dengan meninggalkan pesan "Aku dengan kematianku, dengan
rendah hati memohon ampun kepada Kaisar untuk kejahatan besar".[120] Hingga kini tidak
jelas apakah kejahatan yang dimaksud adalah kalah dalam perang atau melakukan
kudeta.[121]
Beberapa saat sebelum pukul 01.00, Hatanaka dan anak buahnya mengepung istana.
Hatanaka, Letnan Kolonel Shiizaki, dan Kapten Shigetarō Uehara (dari Akademi
Angkatan Udara) pergi ke kantor Letnan Jenderal Takeshi Mori untuk memintanya
mendukung kudeta. Mori sedang rapat dengan kakak ipar bernama Michinori Shiraishi.
Kerja sama Mori yang menjabat komandan Divisi Penjaga Kekaisaran Pertama sangat
penting bagi keberhasilan kudeta. Setelah ternyata menolak membantu kudeta, Mori
dibunuh oleh Hatanaka yang takut Mori memerintahkan korps Penjaga Kekaisaran untuk
menghentikan pemberontakan.[122] Uehara membunuh Shiraishi yang menjadi korban
tewas kedua dan terakhir pada malam itu. Hatanaka kemudian menggunakan stempel
resmi Jenderal Mori untuk menandatangani Perintah Strategis Divisi Penjaga
Kekaisaran No. 584. Perintah ini meningkatkan jumlah pasukan penjaga Istana
Kekaisaran dan Kementerian Rumah Tangga Kekaisaran, dan "melindungi" Kaisar.[123]
Polisi istana dilucuti dan semua gerbang masuk diblokir.[114] Sepanjang malam itu,
pasukan pemberontak pimpinan Hatanaka menangkap dan menahan delapan belas
orang, termasuk staf kementerian dan awak radio NHK yang dikirim untuk merekam
pidato penyerahan Jepang.[114]
Pemberontak di bawah pimpinan Hatanaka, menghabiskan beberapa jam berikutnya
dengan tanpa hasil mencari Menteri Rumah Tangga Kekaisaran Sotaro Ishiwatari,
Penjaga Cap Pribadi Kaisar Koichi Kido, dan rekaman pidato penyerahan Jepang.
Keduanya bersembunyi di bawah "ruang lemari besi", sebuah kamar besar di bawah
Istana Kaisar.[124][125] Usaha pencarian yang dilakukan Hatanaka makin sulit setelah terjadi
pemadaman lampu untuk menghindari serangan udara Sekutu, struktur organisasi yang
kuno, dan tata letak Kementerian Rumah Tangga Istana. Sebagian dari nama-nama
ruangan tidak dikenal oleh para pemberontak. Tokugawa yang menjabat pengurus
rumah tangga istana ditangkap oleh pemberontak. Walaupun Hatanaka mengancam
untuk merobek isi perutnya dengan katana, Tokugawa berbohong dan mengatakan
dirinya tidak tahu tempat rekaman tersebut dan tempat persembunyian orang yang
sedang dicari.[126][127] Sewaktu sedang mencari-cari, prajurit pemberontak memutuskan
hampir semua kabel telepon. Komunikasi terputus antara tawanan di istana dan dunia
luar.
Pada malam itu di Yokohama, kelompok lain yang bersimpati dengan Hatanaka di
bawah pimpinan Kapten Takeo Sasaki pergi ke kantor Perdana Menteri Suzuki dengan
maksud membunuhnya. Ketika menemui kantor sedang kosong, mereka menembakinya
dengan senapan mesin dan membakar gedung sebelum pulang ke rumah. Suzuki
mendapat peringatan dari Hisatsune Sakomizu dan melarikan diri beberapa menit
sebelum para pemberontak tiba. Setelah membakar rumah Suzuki, para pemberontak
pergi ke rumah Kiichirō Hiranuma untuk membunuhnya. Hiranuma kabur lewat pintu
samping, dan rumahnya dibakar para pemberontak. Sisa malam di bulan Agustus 1945
dihabiskan Suzuki di bawah perlindungan polisi, setiap malamnya tidur di tempat tidur
berbeda-beda.[126][128]
Sekitar pukul 03.00, Hatanaka mendapat informasi dari Letnan Kolonel Masataka
Ida bahwa Angkatan Darat Distrik Timur sedang menuju istana untuk menghentikan
kudeta, dan Hatanaka harus menyerah.[129][130] Pada akhirnya setelah melihat rencananya
berantakan, Hatanaka mencoba tawar menawar dengan Kepala Staf Angkatan Darat
Distrik Timur Tatsuhiko Takashima untuk paling tidak memberinya sepuluh menit
mengudara di radio NHK. Ia ingin menjelaskan kepada rakyat Jepang apa yang sedang
diusahakan berikut alasannya. Permintaan Hatanaka ditolak.[131] Komandan Resimen
Kedua Penjaga Kekaisaran Pertama mengetahui bahwa angkatan darat tidak berada di
belakang pemberontakan ini. Hatanaka diperintahkannya untuk meninggalkan kawasan
istana.
Beberapa saat sebelum pukul 05.00, sementara rekan-rekan pemberontak meneruskan
pencarian, Mayor Hatanaka pergi ke studio NHK. Dengan mangacungkan sepucuk
pistol, ia berusaha dengan sia-sia untuk mendapatkan sedikit waktu siaran untuk
menjelaskan tindakannya.[132] Satu jam beberapa menit kemudian, setelah menerima
telepon dari Angkatan Darat Distrik Timur, Hatanaka akhirnya menyerah. Ia bersama
para perwira meninggalkan studio NHK.[133]
Pada dini hari, Shizuichi Tanaka mengetahui istana sudah diduduki. Ia pergi ke istana
dan menghadapi para perwira pemberontak yang dicaci-makinya telah melakukan
tindakan yang berlawanan dengan semangat angkatan darat Jepang. Ia meyakinkan
mereka untuk kembali ke barak masing-masing.[126][134] Pada pukul 08.00 pemberontakan
sudah sepenuhnya dikuasai. Mereka hanya berhasil menduduki kawasan istana
sepanjang malam, namun akhirnya gagal menemukan rekaman yang dicari.[135]
Hatanaka mengendarai sepeda motor berkeliling di jalan-jalan ditemani Letnan Kolonel
Shiizaki yang menunggang kuda. Keduanya membagikan selebaran yang menjelaskan
motif dan tindakan mereka. Satu jam sebelum siaran radio kaisar dimulai, beberapa
menit sekitar pukul 11.00 tanggal 15 Agustus, Mayor Hatanaka menodongkan pistol ke
pelipisnya untuk bunuh diri. Shiizaki menusuk dirinya dengan sebuah pisau belati
sebelum menembak diri sendiri. Di dalam saku Hatanaka ditemukan sebuah puisi
kematian: "Aku tidak menyesal sekarang, awan gelap telah hilang dari kekuasaan
kaisar."[128]

Kapitulasi[sunting | sunting sumber]


Siaran Perintah Kaisar tentang kapitulasi[sunting | sunting
sumber]
Gyokuon-hōsō.
Hirohito dalam siaran
radio
mengenai penyerahan
Jepang,
15 Agustus 1945.

MENU

0:00

Truman mengumumkan
penyerahan Jepang
1 September 1945

MENU

0:00

Bermasalah memainkan berkas-


berkas ini? Lihat bantuan media.

Tepat pukul 12.00 tengah hari Waktu Standar Jepang tanggal 15 Agustus
diudarakan rekaman pidato Kaisar Jepang kepada rakyat yang berisi Perintah
Kekaisaran mengenai Penghentian Perang. Sebagian di antara isinya:
... Walaupun selama tahun empat tahun semua telah menunjukkan yang terbaik-
-kekuatan angkatan laut dan angkatan darat yang telah bertempur dengan
gagah berani, ketekunan dan kegigihan banyak pegawai negeri kami, dan
pengabdian setia seratus rakyat kami--situasi perang berkembang tidak selalu
ke arah keuntungan Jepang, sementara situasi umum dunia tidak
menguntungkan kepentingan kita.

Musuh kita telah mulai memakai sebuah bom baru yang kejam, membunuh dan
melukai banyak orang tidak berdosa, kekuatannya dalam menimbulkan
kerusakan, sungguh, tak terkira. Selain itu, bila kita terus berperang, tidak hanya
akan berakhir dengan kemusnahan bangsa Jepang namun juga akan membawa
kepunahan total peradaban manusia.
Bila memang sudah demikian, bagaimana kita akan menyelamatkan berpuluh-
puluh juta rakyat kami, atau menebusnya di depan arwah suci para leluhur
kaisar? Ini adalah alasan mengapa kami telah menerima syarat-syarat Deklarasi
Bersama.
...
Bila dipikirkan, selanjutnya penderitaan yang akan dialami kekaisaran, pastinya
akan sangat luar biasa. Kami mengetahui ketulusan hati Anda, rakyat sekalian.
Namun, ke mana pun tuntutan waktu dan nasib akan membawa kami, dengan
menahan apa yang tak tertahankan, dan menderita penderitaan yang tak
terperikan, kami menginginkan kedamaian abadi.
Kualitas rekaman yang rendah, ditambah dialek bahasa Jepang kuno yang dipakai
Kaisar dalam naskah, membuat rekaman ini sangat sulit dimengerti oleh sebagian besar
pendengar waktu itu.[136]
Pada tengah hari 15 Agustus, siaran radio Jepang yang mengumumkan penyerahan
Jepang juga diterima di Jakarta. Pidato radio tersebut sangat mengagetkan tidak saja
terhadap para pembesar pemerintah pendudukan Jepang, tetapi juga terhadap semua
tokoh Indonesia yang terkait dengan kemerdekaan yang akan datang. Tidak lama
setelah pidato radio itu, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Soebardjo mendapat
kepastian tentang berita penyerahan itu dari Laksamana Muda Maeda Tadashi.[137]
Pada 17 Agustus 1945, Perdana Menteri Suzuki digantikan oleh paman Kaisar yang
bernama Pangeran Higashikuni Naruhiko. Pergantian ini mungkin untuk mencegah
kudeta lebih lanjut atau usaha pembunuhan;[138] Mamoru Shigemitsu menggantikan Tōgō
sebagai menteri luar negeri.
Sementara itu, tentara Jepang masih bertempur melawan tentara Soviet dan juga
tentara Cina, dan sulit mengatur soal gencatan senjata dan penyerahan mereka.
Pertempuran udara terakhir oleh penyerang Jepang melawan pengebom pengintai
Amerika berlangsung pada tanggal 18 Agustus.[139] Uni Soviet terus menyerang hingga
awal September dan merebut Kepulauan Kuril.

Awal pendudukan dan upacara kapitulasi[sunting | sunting


sumber]

Personel Sekutu merayakan penyerahan Jepang di Paris.


Warga sipil Sekutu dan tentara bergembira mendengar berita berakhirnya perang. Alfred
Eisenstaedt memotret sebuah foto terkenal V–J day in Times Square, seorang pelaut
Amerika Serikat mencium seorang wanita di Times Square. Di Australia, seorang laki-
laki dipotret sedang menari dalam foto kegembiraan Dancing Man. Tanggal 14 Agustus
dan 15 Agustus dirayakan sebagai Hari Kemenangan atas Jepang di negara-negara
Sekutu.[140]
Uni Soviet memiliki rencana untuk menduduki Hokkaido.[141] Namun tidak
seperti pendudukan Soviet di Jerman Timur dan Korea Utara, rencana ini batal berkat
ditentang Presiden Harry S. Truman.[141]
Pejabat-pejabat Jepang berangkat menuju Manila pada 19 Agustus untuk
bertemu Komandan Tertinggi Sekutu Douglas MacArthur dan menerima pengarahan
singkat tentang rencana menduduki Jepang. Pada 28 Agustus, 150 personel militer
Amerika Serikat diterbangkan ke Atsugi, Prefektur Kanagawa, dan pendudukan Amerika
Serikat atas Jepang dimulai. Selanjutnya mereka diikuti oleh
kedatangan USS Missouri bersama kapal-kapal pengiring yang mendaratkan Marinir ke-
4 di pantai selatan Kanagawa disusul personel lainnya di kemudian hari.
MacArthur tiba di Tokyo pada 30 Agustus dan segera mengeluarkan beberapa undang-
undang: Personel Sekutu dilarang menyerang rakyat Jepang. Personel Sekutu dilarang
makan makanan orang Jepang yang cuma sedikit. Pengibaran bendera Hinomaru atau
"Matahari Terbit" sangat dibatasi.[142]

MacArthur pada upacara kapitulasi. Bendera yang pernah dikibarkan Perry dipasang di latar
belakang.
Upacara resmi kapitulasi berlangsung pada 2 September 1945 ketika wakil-wakil
dari Kekaisaran Jepang menandatangani Dokumen Kapitulasi Jepang di Teluk Tokyo di
atas USS Missouri. Shigemitsu membubuhkan tanda tangan sebagai wakil pemerintah
sipil, sementara Jenderal Umezu membubuhkan tanda tangan sebagai wakil militer.
Di atas kapal Missouri pada hari itu dipasang bendera Amerika Serikat yang pernah
dikibarkan di USS Powhatan oleh Komodor Matthew C. Perry pada tahun 1853 ketika
pertama kali tiba di Jepang dalam dalam dua kali ekspedisinya. Kedatangan Perry telah
menyebabkan ditandatanganinya Konvensi Kanagawa yang memaksa Jepang
membuka pelabuhan terhadap kapal-kapal asing.[143][144]
Setelah upacara resmi kapitulasi 2 September di atas kapal Missouri, penyelidikan-
penyelidikan mengenai kejahatan perang Jepang segera dimulai. Dalam sebuah
pertemuan dengan Jenderal MacArthur pada bulan September, Kaisar Hirohito
menawarkan diri untuk menanggung semua kejahatan perang, namun tawaran darinya
ditolak dan Hirohito tidak pernah dituntut.[145] Prosedur hukum untuk Pengadilan Militer
Internasional untuk Timur Jauh dikeluarkan pada 19 Januari 1946.[146]
Selain 14 Agustus dan 15 Agustus, tanggal 2 September 1945 juga dirayakan sebagai
Hari Kemenangan atas Jepang (V-J Day).[145] Di Jepang, tanggal 15 Agustus diperingati
sebagai Hari Peringatan Berakhirnya Perang (Shuusen-kinenbi) dengan nama resmi
"Hari Nasional Berkabung untuk Korban Tewas dalam Perang dan Berdoa untuk
Perdamaian".[147] Di Korea, 15 Agustus diperingati sebagai Gwangbokjeol,
dan Australia memperingati Hari Kemenangan di Pasifik (V-P Day). Presiden Truman
menyatakan 2 September sebagai V-J Day, tetapi memberi catatan "Bukanlah hari untuk
menyatakan proklamasi resmi berakhirnya perang atau penghentian permusuhan."[148]

Kapitulasi selanjutnya dan perlawanan militer


Jepang[sunting | sunting sumber]
Setelah Jepang menandatangani dokumen kapitulasi, berbagai upacara kapitulasi
lainnya berlangsung di berbagai wilayah taklukan Jepang di Pasifik. Tentara Jepang
di Asia Tenggara menyerah pada 12 September 1945 di Singapura. Hari Penyerahan
Kembali (25 Oktober), ditandai dengan pendudukan militer Taiwan.[149] Semua tentara
Jepang yang dijadikan tawanan perang Sekutu selesai direpatriasi pada tahun 1947.
Hingga akhir April 1949, Cina masih menahan lebih dari 60.000 tentara Jepang sebagai
tawanan perang.[150] Beberapa di antaranya seperti Shozo Tominaga tidak direpatriasi
hingga akhir 1950-an.[151]
Setelah Jepang menyerah, lebih dari 5.400.000 prajurit dan 1.800.000 pelaut Jepang
ditawan oleh Sekutu.[152][153] Kerusakan pada infrastruktur di Jepang, ditambah
peristiwa kelaparan serius pada 1946 makin menyulitkan usaha Sekutu memberi makan
tawanan perang dan warga sipil Jepang.[154][155]
Perang antara Amerika Serikat dan Jepang secara resmi berakhir ketika Perjanjian San
Francisco mulai berlaku pada tanggal 28 April 1952. Jepang dan Uni Soviet secara
resmi berdamai empat tahun kemudian, dimana mereka menandatangani Deklarasi
Bersama Soviet–Jepang 1956.[156]
Beberapa persembunyian terakhir tentara Jepang, terutama di pulau-pulau kecil di
Samudra Pasifik sama sekali menolak untuk menyerah (mereka percaya deklarasi
tersebut hanya propaganda atau menganggapnya terlalu bertentangan dengan kode
kehormatan mereka). Beberapa di antara prajurit Jepang yang bersembunyi tidak
pernah mendengar berita tentang Jepang menyerah. Teruo Nakamura adalah tentara
Jepang terakhir yang ditemukan dari persembunyiannya di Indonesia pada Desember
1974. Sementara itu, dua serdadu Jepang yang bergabung
dengan gerilya komunis ketika perang berakhir, masih berada
di Thailand hingga 1991.[157]
Upacara kapitulasi di seluruh medan perang Pasifik

Hatazō Adachi, komandan Angkatan Darat ke-18 Jepang di Papua Nugini, menyerahkan
senjatanya kepada komandan Divisi ke-6 Australia, Horace Robertson.
Kaida Tatsuichi, komandan Resimen Tank ke-4 Jepang, dan ketua staf-nya Shoji Minoru
menyimak pernyataan kapitulasi dari HMAS Moresby di Timor.

Jenderal Chen Yi dari China menerima kapitulasi Rikichi Andō, Gubernur-Jenderal


Taiwan Jepang.
Masatane Kanda menandatangani instrumen kapitulasi pasukan Jepang di Pulau
Bougainville, Papua Nugini.
Brigadir Doidge Taunton, komandan pasukan Britania di Kalimantan menerima senjata dari
komandan Jepang.

Seorang pimpinan Jepang menyerahkan senjatanya kepada Letnan Britania dalam sebuah
upacara di Saigon.

Referensi[sunting | sunting sumber]


Catatan kaki[sunting | sunting sumber]
1. ^ Frank, 90.
2. ^ Skates, 158, 195
3. ^ Bellamy, Chris (2007). Absolute War: Soviet Russia in the Second World War. Alfred A.
Knopf. hlm. 676. ISBN 978-0-375-41086-4.
4. ^ Frank, 87–88
5. ^ Frank, 81
6. ^ Robert A. Pape "Why Japan Surrendered," International Security, Vol. 18, No. 2
(Fall 1993), 154–201.
7. ^ Feifer, 418
8. ^ a b c Reynolds, 363
9. ^ Frank, 89, mengutip Daikichi Irokawa, The Age of Hirohito. Perlu dicatat, Jepang secara
konsisten menggelembungkan jumlah populasi menjadi 100 juta, padahal faktanya
dalam sensus 1944 hanya ada 72 juta orang.
10. ^ Skates, 100–115
11. ^ Hasegawa, 295–296
12. ^ McCormack, 253.
13. ^ Frank, 87.
14. ^ Frank, 86.
15. ^ Spector 33.
16. ^ Peran sebenarnya kaisar telah menjadi bahan perdebatan sejarah. Sebagian dari
bukti-bukti kunci dihancurkan pada hari-hari menjelang kapitulasi Jepang dan
berawalnya pendudukan Sekutu. Beberapa sejarawan berpendapat Kaisar Hirohito
hanyalah kepala negara tanpa kekuasaan, sementara sejarawan lain berpendapat kaisar
ikut berperan di belakang layar. "Tidak ada satu pun dari kedua pendapat yang saling
bertolak belakang tersebut benar" dan kebenaran kira-kira berada di antara keduanya.
— Frank, 87.
17. ^ Iris Chang (2012). The Rape of Nanking: The Forgotten Holocaust of World War II.
Basic Books. hlm. 177.
18. ^ For more details on what was destroyed see Page Wilson (2009). Aggression, Crime
and International Security: Moral, Political and Legal Dimensions of International
Relations. Taylor & Francis. hlm. 63.
19. ^ Alan Booth. Lost: Journeys Through a Vanishing Japan. Kodansha Globe, 1996, ISBN
1-56836-148-3. Page 67
20. ^ Frank, 92
21. ^ Frank, 91–92
22. ^ Butow, 70–71
23. ^ United States Strategic Bombing Survey, Summary report. United States Army Air
Force. 1 Juli 1946.
24. ^ Frank, 90
25. ^ Frank, 89
26. ^ Walter Trohan. "Bare Peace Bid U.S. Rebuffed 7 Months Ago". Chicago Daily Tribune,
19 Agustus 1945. Teks lengkap tersedia di sini.
27. ^ Pada pesan kepada semua diplomat Jepang tanggal 21 Mei, Menteri Luar Negeri
Tōgō membantah Jepang telah menawarkan usulan damai kepada Amerika Serikat dan
Inggris — Frank, 112.
28. ^ Bix, 488–489
29. ^ Hisanori Fujita, "Jijûchô no kaisô", Chûo Kôronsha, 1987, 66–67
30. ^ Hasegawa, 39
31. ^ Hasegawa, 39, 68
32. ^ Frank, 291
33. ^ a b Soviet-Japanese Neutrality Pact, 13 April 1941. (Proyek Avalon di Universitas Yale)
Declaration Regarding Mongolia, 13 April 1941. (Proyek Avalon di Universitas Yale)
34. ^ Soviet Denunciation of the Pact with Japan. Avalon Project, Yale Law School. Teks
dari United States Department of State Bulletin Vol. XII, No. 305, 29 April 1945. Diakses
22 Februari 2009
35. ^ "So Sorry, Mr. Sato". Time, 16 April 1945
36. ^ Slavinskiĭ (halaman 153-4), mengutip buku harian Molotov, menceritakan percakapan
antara Molotov dan Satō, duta besar Jepang untuk Moskow: Setelah Molotov membaca
pernyataan tersebut, Satō "mengizinkan dirinya untuk menanyai Molotov agar dapat
memperoleh beberapa klarifikasi", dan mengatakan ia merasa bahwa pemerintahannya
mengharapkan agar pada periode 25 April 1945 – 25 April 1946, pemerintahan Soviet
tetap mempertahankan hubungan dengan Jepang seperti sebelumnya, "mengingat
Pakta tersebut masih berlaku". Molotov mengatakan bahwa "secara faktual hubungan
Soviet-Jepang kembali ke situasi saat sebelum adanya Pakta tersebut". Satō melihat
bahwa pemerintahan Soviet dan Jepang menginterpretasikan pertanyaannya dengan
cara yang berbeda. Molotov menyatakan bahwa "terdapat kesalahpahaman" dan
menyatakan bahwa "setelah berakhirnya periode lima tahun tersebut ... hubungan
Soviet-Jepang akan kembali ke status quo ante ditetapkannya Pakta tersebut". Setelah
diskusi tambahan, Molotov menyatakan: "masa berlaku Pakta tersebut belum berakhir".
Boris Nikolaevich Slavinskiĭ, The Japanese-Soviet Neutrality Pact: A Diplomatic History
1941–1945, Diterjemahkan oleh Geoffrey Jukes, 2004, Routledge. (Extracts on-line).
Halaman 153-4.
Kemudian di buku-nya (halaman 184), Slavinskiĭ kemudian merangkum jalan ceritanya:
 "Bahkan setelah Jerman keluar dari perang, Moskow terus mengatakan bahwa
Pakta tersebut masih berlaku, dan bahwa Jepang tidak perlu mencemaskan masa
depan hubungan Soviet-Jepang."
 21 Mei 1945: Malik (duta besar Soviet untuk Tokyo) mengatakan kepada
Tanakamura bahwa perjanjian tersebut tetap berlaku.
 29 Mei 1945: Molotov mengatakan kepada Satō: "kami belum merobek pakta
tersebut".
 24 Juni 1945: Malik mengatakan kepada Kōki Hirota bahwa Pakta Netralitas ... akan
berlanjut ... sampai habis masa berlakunya.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa Malik tidak mengetahui (tidak mendapatkan
informasi) bahwa Soviet mempersiapkan sebuah penyerangan.
Slavinskiĭ, halaman 184.

37. ^ Frank, 93
38. ^ Frank, 95
39. ^ Frank, 93–94
40. ^ Frank, 96
41. ^ Toland, John. The Rising Sun. ISBN 0-8129-6858-1. Modern Library, 2003
42. ^ Frank, 97, quoting The Diary of Marquis Kido, 1933–45, 435–436.
43. ^ Frank, 97–99.
44. ^ a b Frank, 100, quoting the Emperor's Shōwa Tennō Dokuhakuroku, 136–37.
45. ^ Frank, 102.
46. ^ Frank, 94
47. ^ Frank, 221, citing Magic Diplomatic Summary No. 1201
48. ^ Frank, 222–3, citing Magic Diplomatic Summary No. 1205, 2 (PDF).
49. ^ Frank, 226, citing Magic Diplomatic Summary No. 1208, 10–12.
50. ^ Frank, 227, citing Magic Diplomatic Summary No. 1209.
51. ^ Frank, 229, citing Magic Diplomatic Summary No. 1212.
52. ^ Frank, 230, citing Magic Diplomatic Summary No. 1214, 2–3 (PDF).
53. ^ "Beberapa pesan dibongkar dan diterjemahkan pada hari yang sama dan sebagian
besar dalam seminggu; dalam beberapa kasus ketika kata sandi diganti perlu waktu
lebih lama" — The Oxford Guide to World War II. Lema untuk MAGIC. Disunting oleh
I.C.B. Dear. ISBN 978-0-19-534096-9
54. ^ Hasegawa, 60
55. ^ Hasegawa, 19
56. ^ Hasegawa, 25
57. ^ Hasegawa, 32
58. ^ a b Hasegawa, 86
59. ^ Hasegawa, 115-116
60. ^ Frank, 279
61. ^ Quiner, Tom. "What lesson can we learn from Japan?". Diakses tanggal 30
Desember2013.
62. ^ Frank, 254
63. ^ a b c Hasegawa, 67
64. ^ David F. Schmitz. Henry L. Stimson: The First Wise Man. Rowman & Littlefield,
2001, ISBN 0-8420-2632-0. p. 182
65. ^ Hasegawa, 90
66. ^ Frank, 256
67. ^ Frank, 260
68. ^ Hasegawa, 152–153
69. ^ "Pejabat-pejabat Amerika bertemu di Washington pada tanggal 10 Agustus 1945 ...
memutuskan bahwa garis pemisah antara zona pendudukan administratif AS dan Soviet
adalah paralel ke-3 bagian tengah semenanjung [Korea], sehingga kota utama Korea,
Seoul, berada di dalam zona AS. Pengaturan ini disarankan kepada Soviet tak lama
setelah Soviet memasuki Perang Pasifik dan semenanjung Korea. Soviet menyetujui
garis pemisah tersebut, meskipun usaha mereka untuk mendapatkan zona pendudukan
Jepang bagian utara di pulau Hokkaido ditolak oleh Washington." – Edward A.
Olsen. Korea, the Divided Nation. Greenwood Publishing Group, 2005. ISBN 978-0-275-
98307-9. Page 62.
70. ^ Rhodes, 690.
71. ^ Hasegawa, 145–148
72. ^ Hasegawa, 118–119
73. ^ Weintraub, 288
74. ^ a b Frank, 234
75. ^ Frank, 236, mengutip Magic Diplomatic Summary No. 1224.
76. ^ Frank, 236, citing Magic Diplomatic Summary No. 1225, 2 (PDF).
77. ^ White House Press Release Announcing the Bombing of Hiroshima, 6 Agustus 1945.
The American Experience: Truman. PBS.org. Sourced to The Harry S. Truman Library,
"Army press notes," box 4, Papers of Eben A. Ayers.
78. ^ "Sementara pejabat senior Jepang tidak meragukan kemungkinan teoretis untuk
membuat senjata seperti itu, mereka menolak untuk mengakui Amerika Serikat telah
melampaui rintangan yang luar biasa untuk bisa membuat sebuah bom atom." Pada 7
Agustus, staf kekaisaran mengeluarkan edaran yang isinya mengatakan Hiroshima telah
menjadi korban sebuah bom tipe baru. Sebuah tim yang dipimpin Letnan Jenderal Seizo
Arisue dikirim ke Hiroshima pada 8 Agustus untuk menyisihkan beberapa teori penyebab
ledakan, termasuk di antaranya Hiroshima dijatuhi bom oksigen cair atau bom
magnesium — Frank, 270–271
79. ^ Frank, 270–271
80. ^ Frank, 283—284
81. ^ Deklarasi Perang Soviet di Jepang, 8 Agustus 1945. (Proyek Avalon di Universitas
Yale)
82. ^ Uni Soviet menyampaikan deklarasi perang ke Duta Besar Jepang Satō di Moskwa,
dua jam sebelum invasi Manchuria dimulai. Namun kabel Satō yang menyampaikan
deklarasi perang Soviet tidak terkirim. Uni Soviet memutus sambungan telepon
kedutaan. Tindakan tersebut merupakan balas dendam Uni Sovoet atas Pertempuran
Lushun 40 tahun yang lampau. Pihak Jepang mengetahui tentang serbuan ke Manchuria
lewat radio yang disiarkan dari Moskwa. — Butow, 154–164; Hoyt, 401
83. ^ Sadao Asada. "The Shock of the Atomic Bomb and Japan's Decision to Surrender: A
Reconsideration". The Pacific Historical Review, Vol. 67, No. 4 (Nov., 1998), pp. 477–
512.
84. ^ Frank, 288–9.
85. ^ Diary of Kōichi Kido (Daigaiku Shuppankai), 1966, 1223.
86. ^ Frank, 290–91.
87. ^ Laporan Radio kepada Orang Amerika pada Konferensi Potsdam oleh Presiden Harry
S. Truman, Dikirim dari Gedung Putih pada jam 10 p.m, 9 Agustus 1945
88. ^ Hasagawa, 207–208
89. ^ Jerome T. Hagen. War in the Pacific: American at War, Volume I. Hawaii Pacific
University, ISBN 0-9762669-0-3. Chapter: The Lie of Marcus McDilda, 159–162
90. ^ Hasegawa 298.
91. ^ Beberapa jam sebelum kapitulasi Jepang diumumkan, Truman mengadakan diskusi
dengan Adipati Windsor Edward VIII dan Sir John Balfour. Menurut Balfour, Truman
"berkata dengan sedih bahwa ia sekarang tidak memiliki pilihan lain kecuali
memerintahkan dijatuhkannya bom atom di Tokyo". — Frank, 327, mengutip Bernstein,
Eclipsed by Hiroshima, 167
92. ^ Hasagawa, 209
93. ^ Frank, 295–296
94. ^ Bix, 517, citing Yoshida, Nihonjin no sensôkan, 42–43.
95. ^ Hoyt, 405
96. ^ Hoyt, 405.
97. ^ Frank, 302
98. ^ Frank, 303
99. ^ Sementara gencatan senjata berlangsung, Spaatz membuat sebuah keputusan
penting. Berdasarkan bukti-bukti dari Survei Pengeboman Strategis Eropa, ia
memerintahkan pengeboman strategis untuk difokuskan kembali. Bom-bom pembakar
tidak lagi dijatuhkan di kota-kota Jepang, melainkan berkonsentrasi dalam
menghancurkan infrastruktur transportasi dan minyak Jepang. Frank, 303-307
100. ^ Frank, 310
101. ^ Terasaki Hidenari, Shōwa tennō dokuhakuroku, 1991, 129
102. ^ Bix, 129
103. ^ a b Frank, 313
104. ^ Smith, 176
105. ^ Smith, 188
106. ^ Wesley F. Craven and James L. Cate, The Army Air Forces in World War II,
Vol. 5, pp. 732-33 [1]
107. ^ Smith, 183
108. ^ Smith, 187
109. ^ Smith 187–188 mencatat bahwa walaupun pengebom siang hari telah
berangkat menyerang Jepang, pengebom malam belum diberangkatkan ketika pesan
menyerahnya Jepang diterima lewat radio. Dalam buku yang sama ditulis bahwa,
walaupun Smith sudah berusaha mencari, ia tidak menemukan dokumen sejarah yang
berkaitan dengan perintah Carl Spaatz untuk terus melanjutkan serangan.
110. ^ a b Frank, 314
111. ^ a b Frank, 315
112. ^ Burning of Confidential Documents by Japanese Government, case no. 43,
serial 2, International Prosecution Section vol. 8
113. ^ Bix, 558
114. ^ a b c Hasegawa, 244
115. ^ a b Hoyt, 409
116. ^ Frank, 316
117. ^ Frank, 318
118. ^ Hoyt 407–408
119. ^ Frank, 317
120. ^ Frank, 319
121. ^ Butow, 220
122. ^ Hoyt, 409–410
123. ^ The Pacific War Research Society, 227
124. ^ The Pacific War Research Society, 309
125. ^ Butow, 216
126. ^ a b c Hoyt, 410
127. ^ The Pacific War Research Society, 279
128. ^ a b Wainstock, 115
129. ^ The Pacific War Research Society, 246
130. ^ Hasegawa, 247
131. ^ The Pacific War Research Society, 283
132. ^ Hoyt, 411
133. ^ The Pacific War Research Society, 303
134. ^ The Pacific War Research Society, 290
135. ^ The Pacific War Research Society, 311
136. ^ Dower, 34
137. ^ Poeze, Harry A. Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia: Jilid 1
Agustus 1945-Maret 1946. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 9-7946-1697-4.
138. ^ Spector, 558. (Spector salah dalam melakukan identifikasi, Higashikuni
dikiranya adik kaisar)
139. ^ The Last to Die | Military Aviation | Air & Space Magazine. Airspacemag.com.
Diakses pada 05-08-2010.
140. ^ Tanggal merayakan Hari Kemenangan atas Jepang bergantung pada waktu
setempat saat mereka menerima berita penyerahan Jepang. Negara-negara
Persemakmuran Inggris merayakan pada 15 Agustus sementara Amerika Serikat
merayakannya pada 14 Agustus.
141. ^ a b Hasegawa, 271ff
142. ^ Perorangan dan kantor-kantor prefektur dapat mengajukan permohonan izin
untuk mengibarkannya. Secara sebagian, pembatasan pengibaran bendera Jepang
dihapus pada tahun 1948. Pembatasan tersebut seluruhnya dihapus pada tahun
berikutnya.
143. ^ "Bendera dalam bingkai pada kanan bawah yang pernah dikibarkan Komodor
Matthew C. Perry pada 14 Juli 1853 di Teluk Yedo (Tokyo), pada ekspedisi pertama
untuk berunding megenai pembukaan isolasi Jepang." Formal Surrender of Japan, 2
September 1945 -- Surrender Ceremonies Begin. United States Naval Historical Center.
Diakses pada 25 Februari 2009
144. ^ Dower, 41
145. ^ a b “1945: Japan signs unconditional surrender” On This Day: September 2,
BBC.
146. ^ The Tokyo War Crimes Trials (1946–1948). The American Experience:
MacArthur. PBS. Diakses 25 Februari 2009
147. ^ "厚生労働省:全国戦没者追悼式について" (dalam bahasa
Japanese). Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan. 2007-08-08.
Diakses tanggal 2008-02-16.
148. ^ Radio Address to the American People After the Signing of the Terms of
Unconditional Surrender by Japan, Harry S. Truman Library and Museum (1945-09-01).
149. ^ Ng Yuzin Chiautong (1972). "Historical and Legal Aspects of the International
Status of Taiwan (Formosa)". World United Formosans for Independence (Tokyo).
Diakses tanggal 2010-02-25.
150. ^ Dower, 51
151. ^ Cook 40, 468
152. ^ Weinberg, 892
153. ^ Cook 403 mencantumkan total tentara Jepang sebagai 4.335.500 orang di
Jepang pada hari kapitulasi, dengan tambahan 3.527.000 orang di luar negeri.
154. ^ Frank, 350–352
155. ^ Cook berisi wawancara dengan Iitoyo Shogo mengenai pengalamannya
dijadikan tawanan perang oleh Inggris di Pulau Galang yang dikenal di kalangan
tawanan perang sebagai "Pulau Kelaparan"
156. ^ Japan Min. of Foreign Affairs Compendium of Documents
157. ^ World War II, Wilmott, Cross & Messenger, Dorling Kindersley, 2004.

Buku teks[sunting | sunting sumber]


 Bix, Herbert (2001). Hirohito and the Making of Modern Japan.
Perennial. ISBN 0060931302.
 Butow, Robert J. C. (1954). Japan's Decision to Surrender. Stanford University
Press. ISBN 978-0804704601.
 Cook, Haruko Taya (1992). Japan at War: An Oral History. New
Press. ISBN 1565840399.
 Dower, John (1999). Embracing Defeat: Japan in the Wake of World War II. W.W.
Norton & Company Inc. ISBN 0393046869.
 Feifer, George (2001). The Battle of Okinawa: The Blood and the Bomb. Guilford,
CT: The Lyons Press. ISBN 1585742155.
 Ford, Daniel, "The Last Raid". Air&Space Smithsonian, September 1995: 74-81
 Frank, Richard B. (1999). Downfall: the End of the Imperial Japanese Empire. New
York: Penguin. ISBN 0141001461.
 Hasegawa, Tsuyoshi (2005). Racing the Enemy: Stalin, Truman, and the Surrender
of Japan. Harvard University Press. ISBN 9780674016934.
 Hoyt, Edwin P. (1986). Japan's War: The Great Pacific Conflict. New York: Cooper
Square Press. ISBN 0815411189.
 The Pacific War Research Society (1965; English language: 1968). Japan's Longest
Day. Palo Alto, California: Kodansha International.
 Reynolds, Clark G. (1968). The Fast Carriers; The Forging of an Air Navy. New
York, Toronto, London, Sydney: McGraw-Hill Book Company.
 Skates, John Ray (1994). The Invasion of Japan: Alternative to the Bomb. Columbia,
SC: University of South Carolina Press. ISBN 0872499723.
 Smith, John B. (2002). The Last Mission: The Secret Story of World War II's Final
Battle. New York: Broadway Books. ISBN 0767907787.
 Spector, Ronald H. (1985). Eagle Against The Sun. Vintage. ISBN 978-0394741017.
 Wainstock, Dennis (1996). The Decision to Drop the Atomic Bomb. Greenwood
Publishing Group. ISBN 9780275954758.
 Weinberg, Gerhard L. (1999). A World at Arms: A Global History of World War
II. Cambridge University Press. ISBN 0521558794.
 Weintraub, Stanley (1995). The Last Great Victory: the End of World War II. Dutton
Adult. ISBN 0525936874.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]


Wikimedia Commons
memiliki media
mengenai Surrender of
Japan.

 Dokumen Menyerahnya Perang Dunia 2


 Dokumen asli: menyerahnya Jepang
 (Inggris) Dokumen asli: Instrument of Surrender
 (Inggris) Misi terakhir di atas Jepang
 (Jepang) Keputusan Kaisar Hirohito untuk menyerah
 (Inggris) Rekaman pembicaraan pribadi antara Perdana Menteri Inggris Winston
Churchill dan Stalin di Konferensi Potsdam 17 Juli 1945.

Anda mungkin juga menyukai