Anda di halaman 1dari 10

Pelaksanaan Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Indonesia di Era Global

I Putu Agung Aditya Santana

21100119140095

Departemen Teknik Geologi

Fakultas Teknik

Universitas Diponegoro

2019/2020
Pendahuluan

Indonesia adalah negara yang mempunyai dasar ideologi negara yaitu


Pancasila. Pancasila lahir dari sebuah perjanjian luhur berdasarkan hasil musyawarah para
pendiri bangsa dan negara Indonesia dalam sidang BPUPKI yang dilaksanakan selama dua
kali masa persidangan, yaitu pada 29 Mei - 1 Juni 1945 dan 10-16 Juni 1945. Presiden
Soekarno saat berpidato dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, mengatakan mengenai
pentingnya bangsa Indonesia memiliki sebuah "philosofische gronslaag" atau filosofi dasar
yang memuat pandangan tentang dunia dan kehidupan.

Sejak pertama kali ditetapkan sebagai dasar negara oleh PPKI pada 18 Agustus
1945, tepat satu hari setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekannya, Pancasila
dianggap sebagai sublimasi dari pandangan hidup dan nilai-nilai budaya yang mampu
menyatukan bangsa Indonesia. Keberagaman suku, ras, bahasa, dan agama, keberadaannya
dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun sosio-kultural. Sosio-kultural
berarti mencerminankan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.

Oleh sebab itu, Pancasila kemudian menjadi norma dasar dalam penyelenggaraan
bernegara yang memiliki kedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum tertinggi,
menjadi pandangan hidup bagi bangsa Indonesia, dan jiwa yang mencerminkan kepribadian
bangsa Indonesia. Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi norma dasar dalam
penyelenggaraan bernegara, sekaligus menjadi sumber dari segala sumber hukum yang
menjadi cita-cita bersama bangsa Indonesia.

Globalisasi merupakan suatu proses yang mencakup keseluruhan dalam berbagai


bidang kehidupan sehingga tidak tampak lagi adanya batas-batas yang mengikat secara
nyata, sehingga sulit untuk disaring atau dikontrol. Globalisasi merupakan suatu gejala
wajar yang pasti akan dialami oleh setiap bangsa di dunia, baik pada masyarakat yang
maju, masyarakat berkembang, masyarakat transisi, maupun masyarakat yang masih rendah
taraf hidupnya.
Globalisasi telah menjadi sifat alami kedua bagi Indonesia selama berabad-abad.
Sejak abad ke-7, jalinan rute perdagangan nusantara telah memompa barang, sistem
kepercayaan, dan populasi yang beraneka ragam masuk dan keluar dari negara kepulauan
tersebut, dari Persia kuno, kekaisaran China, dan negeri-negeri jauh lainnya.

Globalisasi menjadi peluang bagi bangsa Indonesia untuk mampu menyerapnya,


terutama dalam hal yang tidak mengalami benturan dengan budaya local dan nasional,
maupun agama. Seperti budaya disiplin, kebersihan, tanggung jawab, kerja keras,
demokrasi, jujur, optimis, dan sebagainya.

Globalisasi dapat membawa dampak positif maupun dampak negative.


Masyarakat di Indonesia dalam era globalisasi ini tidak dapat menghindar dari arus
derasnya inovasi. Canggihnya teknologi informasi, telekomunikasi, serta tatanan ekonomi
dunia yang mengarah pada pasar bebas dapat mengakibatkan meningkatnya efisiensi dan
kompetitif yang tinggi di berbagai bidang kehidupan.

Pada era globalisasi seperti sekarang ini, setiap negara dituntut untuk selalu lebih
maju mengikuti setiap perkembangan demi perkembangan, yang terkadang jauh dari
sebuah keteraturan. Pihak yang diuntungkan dalam situasi tersebut, tentunya adalah negara-
negara maju yang memiliki tingkat kemapanan dan kemampuan yang jauh lebih tinggi jika
dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Suka atau tidak suka, mau ataupun tidak
mau, bangsa Indonesia harus mengikuti. Apabila Indonesia tidak mengikuti arus
globalisasi, bisa jadi Indonesia menjadi negara tertinggal dan mungkin disebut negara
"primitive".

Sayangnya bangsa Indonesia terlambat menyadari kalau globalisasi sebagaimana


yang dipromosikan oleh kaum neoliberal sekarang ini adalah bentuk baru kapitalisme. Atau
dapat juga dikatakan, kalau imperialisme merupakan tahap akhir dari perkembangan
kapitalisme, maka globalisasi adalah tahap akhir dari perkembangan imperialisme.
Permasalahan

Bagaimana menempatkan negara-bangsa dalam era globalisasi, dan bagaimana pula


relevansi Pancasila dalam zaman yang bergegas ini: apakah sudah diusangkan oleh zaman
atau justru kian relevan?

Kita tidak tahu persis bagaimana nasib keberlangsungan negara-bangsa di masa


yang akan datang. Globalisasi dan perkembangan teknologi (telematika) bisa saja
membawa disrupsi pada pola-pola pengorganisasian masyarakat manusia, yang membawa
perubahan signifikan terhadap eksistensi negara bangsa.
Pembahasan

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), merumuskan dan


menetapkan pancasila sebagai basis negara RI. Sejak saat itu, Pancasila dijadikan sebagai
sumber hukum, dasar negara, baik tertulis (UUD 1945) maupun yang tidak tertulis.
Sungguh sebuah momen historis yang amat menentukan ziarah bangsa hingga ini, hingga
hari-hari ini.

Dalam kaitannya dengan sistem hukum dan sistem norma hukum, Pancasila
diposisikan oleh para fundatores negara ini sebagai ideologi, cita-cita dasar, dan
mahasumber hukum (sumber dari segala sumber hukum) NKRI. Hal ini menutup berbagai
kemungkinan menyusupnya unsur-unsur atau pengaruh-pengaruh lain yang dapat
menggerus nilai-nilai Pancasila. Karena itu, pemerintah perlu menegaskan eksistensi
Pancasila itu sendiri. Usaha seperti ini sangat perlu dan penting mengingat potensi bahaya
yang muncul. Realitas plural dalam kehidupan bersama kita sebagai sebuah bangsa,
menuntut adanya suatu nilai tertinggi yang mampu mempersatukan dan mengikat. Melihat
realitas seperti ini, maka hemat saya, para fundatores negara tepat ketika menjadikan
Pancasila sebagai dasar negara.

Dalam lika-liku ziarah bersama waktu, usaha untuk merong-rong eksistensi


Pancasila selalu bermunculan, dalam rupa-rupa bentuk dan modus. Tantangan seperti ini
membuat Pancasila terus teruji. Semakin ditantang, Pancasila pun semakin kokoh dan kuat.
Pancasila hanya akan tetap mantap jika dan hanya jika setiap komponen bangsa terus
berusaha untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya Pancasila. Nilai-nilai dasar
Pancasila bersifat universal dan merangkum semua, karena itu mesti terus dipertahankan.

Sebagai dasar negara, Pancasila tidak bersifat statis. Ia selalu hidup dan dinamis.
Hal ini memungkinkan Pancasila dapat dengan baik mengikuti perubahan zaman
atau globalisasi. Namun di sini, globalisasi tidak mendikte Pancasila, tetapi bahwa
Pancasila menyediakan dasar bagi masyarakat atau negara untuk bisa mengikuti
perkembangan zaman dengan baik. Di sini juga Pancasila dapat menjadi semacam nilai-
nilai, darinya masyarakat bisa mendapat pedoman bagaimana caranya hidup bermasyarakat
dengan realitas plural di tengah globalisasi. Dengan ini, kita tidak akan merasa syok atau
tercerabut dari budaya atau nilai-nilai dasar kita, berhadapan dengan invasi budaya dari luar
oleh sebab pengaruh globalisasi. Dalam konteks ini, Pancasila tidak akan pernah bentrok
atau menolak globalisasi. Inilah sifat dinamis Pancasila. Karena itu, Pancasila disebut
sebagai ideologi yang terbuka.

Gagasan Pancasila sebagai ideologi terbuka itu sendiri berkembang sejak tahun
1985, tetapi semangatnya sudah berkobar sejak Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara.
Hal ini memungkinkan diterapkannya sistem demokrasi dalam pemerintahan. Maka dari
itu, sebagai ideologi terbuka, Pancasila adalah yang paling tepat diterapkan dalam praktik
hidup berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia ini.

Sebagai ideologi terbuka, Pancasila memungkinkan terakomodasinya nilai-nilai


yang terdapat dalam masyarakat seperti, Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan,
dan Keadilan. Pada dasarnya, nilai-nilai tersebut adalah sesuatu yang in se dalam
masyarakat Indonesia. Dengan dijadikannya Pancasila sebagai ideologi terbuka, nilai-nila
tersebut mendapat perhatian yang istimewa. Hemat saya, hal ini bukanlah suatu kebetulan,
melainkan bahwa Pancasila sebagai paham kebangsaan mesti memuat segala hal yang
menjadi kekhasan masyarakat. Artinya, Pancasila tidak mengimpor nilai-nilai dari luar
untuk ditanamkan dalam masyarakat Indonesia, tetapi ia mengangkat nilai-nilai yang sudah
ada di dalam masyarakat dan menjadikannya sebagai sesuatu yang khas Indonesia.
Keindonesiaan kita, karena itu, juga sangat kental karena nilai-nilai tersebut. Namun, nilai-
nilai tersebut akan tinggal tetap bila tidak dihidupi oleh warga negara. Nilai-nilai tersebut
hanya akan menjadi 'gudang nilai' jika tidak menjadi ciri khas setiap pribadi masyarakat
Indonesia.

Pancasila juga memiliki nilai praksis, karena begitulah ideal sebuah nilai. Artinya,
cara hidup dan pandangan hidup masyarakat dapat menunjukkan suatu penghayatan atas
nilai-nilai Pancasila. Nilai praksis akan nyata dalam realitas hidup sehari-hari. Suatu nilai
tanpa praksis adalah kosong, tanpa makna. Suatu nilai hanya akan terasa kalau kelihatan
buahnya. Buah yang baik karena itu berasal dari pohon yang baik. Karena itu, nilai-nilai
Pancasila hanya akan hidup kalau sudah menjelma dalam praktik hidup yang nyata.

Dalam konteks globalisasi dewasa ini, yang diwarnai oleh multikulturalitas,


keterbukaan ideologi Pancasila juga termasuk keterbukaan dalam menerima unsur-unsur
budaya asing, sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila (Kaelen, 2002).
Masuknya budaya dan nilai-nilai asing akan membuat Pancasila semakin teruji. Hal ini
sangat mungkin dengan melihat kenyataan bahwa suatu budaya atau nilai akan teruji
kevalidannya kalau tahan terhadap nilai-nilai yang lain. Nilai yang tahan uji niscaya akan
tetap hidup dan bertahan. Dalam konteks inilah, Pancasila akan menunjukkan jati dirinya.

Perjumpaan Pancasila dengan globalisasi akan menghasilkan masyarakat lokal yang


berpikir global dan bertindak lokal. Selain itu, perkawinan antara keduanya akan
mendamaikan globalitas dan lokalitas. Dalam konteks seperti ini, nilai-nilai Pancasila dapat
menjadi 'hidangan' yang siap disantap oleh warga negara lain. Maka, Pancasila pun tidak
sekadar menyediakan nilai bagi masyarakat Indonesia sendiri, tetapi juga bagi masyarakat
internasional. Ciri keindonesiaan kita pun (seperti masyarakat yang kental dengan semangat
ke-Tuhanan, pluralitas keagamaan, kemanusiaan atau sosialitas/persatuan yang tinggi,
praktik demokrasi) akan semakin kental. Kenyataan seperti ini tentu dapat mengharumkan
negara Indonesia di mata dunia.
Penutup

Yang bisa kita katakan saat ini ialah rasa syukur. Lebih dari 70 tahun Indonesia
merdeka, keberadaan superorganisme bernama 'bangsa Indonesia', dengan jejaring 'sarang
lebah' yang menyatukan segala keragaman dan keluasaan Tanah Air ini, telah menjalankan
fungsi emansipatorisnya secara mengagumkan. Ini mungkin terdengar ganjil
bagi mindset kebanyakan kita yang telanjur rutin dibanjiri kabar buruk. Lebih dari itu,
sejarah evolusi manusia dalam ratusan tahun lamanya membentuk otak manusia memiliki
kesadaran yang sangat akut terhadap potensi bahaya. Kombinasi kedua hal ini merintangi
kemampuan kita untuk bisa melihat kabar baik (Diamandis & Kotler, 2012).
Nyatanya, sejarah perjalanan 'negara-bangsa' Indonesia mengukir banyak kabar baik,
selama mengarungi segala tantangan dan cobaan. Secara eksternal, solidaritas kebangsaan
ini berhasil membebaskan aneka kelompok etno-religius dari belenggu penjajahan dari luar.
Secara internal, solidaritas kebangsaan telah menjadikan Indonesia rumah yang relatif
damai bagi segala kemajemukan yang ada.

Konflik-peperangan antarsuku dan antarkelompok agama menjadi lebih jarang


terjadi. Tingkat kematian di negeri ini terus menurun secara gradual dari 14,6 per 1.000
penduduk pada 1967 menjadi 7,1 per 1.000 penduduk pada 2016. Angka harapan hidup pun
terus meningkat dari 52,8 tahun pada 1967 menjadi 69,2 tahun pada 2016; tumbuh dalam
kisaran 0,55% per tahun (World Data Atlas, 2017). 'Penemuan' bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan telah menorehkan pencapaian yang fenomenal. Bermula dari rumpun
bahasa Melayu Riau, bahasa ini dengan cepat berkembang menjadi lingua franca di
seantero negeri, bahkan menjadi bahasa pertama bagi sebagian besar generasi baru, yang
menyediakan sarana komunikasi yang amat penting bagi pergaulan lintas-kultural bangsa
majemuk ini. Lebih dari itu, daya adapatif bahasa ini untuk mengikuti perkembangan
zaman membuat beberapa peneliti bahasa di Eropa menyebut bahasa Indonesia sebagai
contoh kasus tentang apa yang dinamakan modernisasi bahasa yang berhasil secara gilang-
gemilang.
Meski demikian, perkembangan negara-bangsa tidaklah bergerak di ruang vakum.
Sebagai bagian dari lingkungan pergaulan dunia, Indonesia tidak kedap dari pengaruh
dinamika perkembangan global. Dengan arus globalisasi yang makin luas cakupannya,
dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya, setiap negara bukan saja menghadapi potensi
ledakan pluralitas dari dalam, melainkan juga tekanan keragaman dari luar. Memasuki awal
milenium baru terjadi berbagai perubahan yang cepat, dinamis, dan mendasar dalam tata
pergaulan dan kehidupan antarbangsa dan masyarakat.

Globalisasi merestrukturisasi cara hidup umat manusia secara mendalam, nyaris pada setiap
aspek kehidupan. Pada ranah negara-bangsa, di satu sisi, globalisasi menarik (pull away)
sebagian dari kedaulatan negara-bangsa dan komunitas lokal, tunduk pada arus global
interdependence, yang membuat negara-bangsa dirasa terlalu kecil untuk bisa mengatasi
(secara sendirian) tantangan-tantangan global. Di sisi lain, globalisasi juga menekan (push
down) negara-bangsa, yang mendorong ledakan ke arah desentralisasi dan otonomisasi.
Negara-bangsa menjadi dirasa terlalu besar untuk menyelesaikan renik-renik masalah di
tingkal lokal, yang menyulut merebaknya etno-nasionalisme dan tuntutan otonomi lokal
beriringan dengan revivalisme identitas-indentitas kedaerahan.
Daftar Pustaka

Beritabojonegoro.com (2019, 30 Oktober). Peran Pancasila dalam Era Globalisasi. Diakses


pada 4 Desember 2019, dari https://beritabojonegoro.com/read/18562-peran-pancasila-
dalam-era-globalisasi.html .

Kompasiana.com (2019, 31 Januari). Ketika Pancasila Berjumpa Globalisasi. Diakses pada


4 Desember 2019, dari
https://www.kompasiana.com/erlmeo/5c52a629677ffb70f72a3318/ketika-pancasila-
berjumpa-globalisasi# .

Kompasiana.com (2019, 8 Juni). Peranan Pancasila dalam Era Globalisasi. Diakses pada 4
Desember 2019, dari
https://www.kompasiana.com/rafikurnia1301/5cfbc06a3ba7f77c1b765ef2/pancasila-dalam-
era-globalisasi?page=all .

Mediaindonesia.com (2019, 1 April). Pancasila di Era Globalisasi. Diakses pada 4


Desember 2019, dari https://mediaindonesia.com/read/detail/226692-pancasila-di-era-
globalisasi .

Anda mungkin juga menyukai