Anda di halaman 1dari 6

Permasalahan Guru di Indonesia

Oleh Buya Jilan | 1 September 2018 | Artikel, Bahasa

Pendidikan sangat menentukan kemajuan dan mutu sebuah bangsa. Kualitas


pendidikan memengaruhi kualitas bangsa. Bangsa yang maju memiliki pendidikan yang baik.
Pendidikan yang baik diperoleh dari kualitas guru yang baik. Guru merupakan faktor kunci
mutu pendidikan dan kemajuan sebuah bangsa.
Bangsa yang abai terhadap guru akan sulit maju karena kualitas generasi penerus
ditentukan oleh guru—selain orangtua dan pemerintah. Hal ini sudah menjadi pengetahuan
umum tetapi sulit dalam praktik. Pemerintah setengah hati meningkatkan mutu pendidikan
melalui perbaikan guru dalam beragam aspeknya.
Tahun 2018, tepatnya April, DPD RI menginisiasi perubahan UU Guru dan Dosen
Nomor 14 Tahun 2005. Dibentuklah lima tim ahli, dua dari PGRI dan tiga dari ADI yang
bekerja selama enam bulan. Penulis mewakili PGRI bersama Prof Supardi. Dari proses kerja
tim ahli dan anggota DPD RI itu ditemukan masalah-masalah guru, di antaranya menyangkut:
pemerataan, kompetensi, pelindungan, dan kesejahteraan.
1. Pemerataan
Bukan hanya kekurangan guru PNS dan guru tetap atau kontrak, Indonesia
mengalami mismanajemen distribusi guru. Satu sekolah, satu kecamatan, atau satu
kabupaten/kota kelebihan guru, sementara yang lainnya kekurangan guru. Perekrutan,
penempatan, dan mutasi guru tidak profesional.
Kecuali itu, setiap tahun banyak guru pensiun tetapi sudah empat tahun ini tidak
ada perekrutan guru PNS atau guru kontrak atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian
Kerja (P3K). Di satu sekolah di banyak daerah, hanya terdapat satu atau dua guru yang
merangkap sebagai kepala sekolah, bendahara, sekaligus tenaga administrasi.
Guru bukan PNS di sekolah negeri 735,82 ribu orang dan guru bukan PNS di
sekolah swasta 798,2 ribu orang. Jumlah tenaga guru honorer K2 saat ini mencapai 1,53
juta orang, dari jumlah guru keseluruhan sebanyak 3,2 juta orang. Saat ini, Indonesia
kekurangan guru berstatus PNS sebanyak 988.133 orang (Safyra, 2018).
Tingginya jumlahnya guru honorer bukti sekolah kekurangan guru. Banyak guru
telah mengabdi belasan bahkan puluhan tahun tetapi statusnya masih honorer. Selain
menjadi PNS, guru-guru yang sudah mengabdi dan dianggap kompeten bisa diangkat
menjadi guru kontrak.
Sebelum guru-guru pensiun sudah disiapkan penggantinya minimal satu tahun
sebelumnya. Pemenuhan kecukupan guru tidak hanya menghitung sekolah-sekolah
negeri, tetapi juga sekolah swasta. Guru PNS atau kontrak diperbantukan di sekolah-
sekolah swasta, bahkan mungkin di pesantren sebagai guru mengaji kitab kuning,
menghafal Alquran, atau guru mengaji.
Skenario pemerataan guru bisa dilakukan dengan cara menawarkan kepindahan
kepada guru, atau bisa dalam konteks minimal tiga (3) atau lima (5) tahun ke depan.
Pertama, pengangkatan guru PNS atau guru kontrak berdasarkan domisili; kedua,
menyiapkan putra-putri daerah terbaik kuliah di fakultas keguruan untuk dijadikan guru
di daerahnya masing-masing.
Selain pemerataan guru, pemerataan sapras juga menjadi kendala pendidikan
bangsa ini. Akses jalan dan transfortasi siswa menuju sekolah, kualitas ruang kelas, toilet,
perpustakaan, UKS, lapangan bermain, sangat jauh standarnya antar satu sekolah dengan
sekolah lainnya. Kualitas sapras sangat berpengaruh terhadap kinerja guru dan motivasi
belajar siswa.
Pemerintah dan Pemda harus berkomitmen menstandarkan sapras sekolah di
nusantara ini. Harus ada gerakan memotong gaji pejabat Negara, atau uang hasil korupsi
dari para koruptor untuk membangun sapras sekolah. Dibuat regulasi agar dunia usaha
dan dunia industri membantu pemenuhan sapras sekolah-sekolah di sekitarnya.
2. Kompetensi
Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) beberapa tahun terakhir menunjukkan
kompetensi guru Indonesia rendah. Peringkat rendah Indonesia dalam beberapa
pemeringkatan dunia tentang kemampuan siswa dalam bidang membaca, Matematika,
dan Sains juga secara tidak langsung menunjukkan kelemahan kompetensi guru. Rata-rata
nasional hasil UKG 2015 bidang pedagogik dan profesional adalah 53,02. Untuk
kompetensi bidang pedagogik saja, rata-rata nasionalnya hanya 48,94, yakni berada di
bawah standar kompetensi minimal (SKM), yaitu 55 (Maulipaksi, 2016).
Tanda lain guru tidak kompeten adalah tidak bisa menggunakan komputer,
metode mengajarnya ceramah, tidak bisa menerapkan metode mengajar yang aktif dan
menyenangkan, tidak bisa memanfaatkan dan mengolah informasi dari internet, tidak
kontekstual, dan seterusnya.
Ada memang guru yang sudah tidak memiliki motivasi belajar. Merasa benar
dengan apa yang dimiliki dan dilakukannya selama ini. Guru ini sebaiknya mutasi
menjadi tenaga kependidikan atau pensiun dini. Pemerintah segera memulai standarisasi
perekrutan guru, standarisasi fakultas keguruan, dan standarisasi PPG.
Menurut Mark Brundrett dan Peter Silcock (2002:101) dalam buku Achieving
Competence, Success and Excellence in Teaching, “Profesionalisme guru dipengaruhi
oleh regulasi, ruang kelas, komunitas sekolah, dan proses pembelajaran di fakultas
keguruan”.
Perlu badan khusus, organisasi profesi guru, atau fakultas keguruan—atau unsur
kedua terakhir bergabung, yang menyeleksi calon guru selain harus sudah memiliki
sertifikat pendidik. Peran psikolog dalam tim ini penting untuk mengetahui minat dan
bakat guru dalam diri seseorang.
Pembatasan fakultas keguruan. Saat ini jumlahnya terlalu banyak dan banyak
yang tidak bermutu. Fakultas keguruan harus memiliki wibawa di masyarakat. Ia harus
dijadikan fakultas elit dan idaman generasi muda. Fakultas keguruan hanya milik
pemerintah alias negeri. Input mahasiswa keguruan harus standar tinggi. Dibentuk badan
khusus pelaksana PPG atau Prodi PPG di fakultas keguruan.
Dengan demikian, akan dimiliki calon-calon guru yang berkualitas tinggi, yang
siap menggantikan generasi guru yang tidak kompeten. Sejak semula, guru disiapkan
dengan baik, mulai dari input, proses, hingga seleksinya. Guru menjadi profesi tertutup,
di mana selain alumni fakultas keguruan tidak bisa menjadi guru. Pilihan kedua, menjadi
profesi terbuka dengan syarat proses PPG bagi mereka dilaksanakan secara baik dan
penuh tanggung jawab.
PGRI telah melakukan pelatihan-pelatihan menulis artikel dan buku bagi guru-
guru Indonesia, yang bermitra dengan Kemendikbud, Jawa Pos, Kompas, Puskurbuk, dan
sebagainya. Pada 2018 ini, PGRI meluncurkan PGRI Smart Learning and Character
Center (PSLCC), sebagai tempat belajar siswa dan guru dengan media yang interaktif dan
menyenangkan. April 2018 PGRI mengukuhkan Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis
(APKS) di antaranya adalah Asosiasi Guru Kelas, Asosiasi Guru TIK (Teknologi,
Informasi, dan Komputer), Asosiasi Guru Penulis, Asosiasi Guru Olahraga, dan Asosiasi
Guru Bahasa Asing.
Maret 2018, PGRI bekerjasama dengan Education International dan mitra
konsorsium dari Australia, Norway, Swedia, dan Jepang menyelenggarakan pelatihan SIK
(sistem informasi keanggotaan) upgraded yang dihadiri oleh admin/pengurus SIK dari 34
Propinsi. Pelatihan ini untuk memperkenalkan penggunaan offline sistem di SIK, dimana
sistem ini akan sangat berguna di daerah-daerah yang sulit akses internet, sehingga admin
tetap bisa melakukan input data di SIK tanpa akses internet.
3. Pelindungan
Banyak guru masuk bui atau terluka karena “tindakan mendidik” kepada siswa.
Orangtuanya marah. Tidak terima anaknya ditegur, dipukul, dijewer, atau diingatkan
guru. Dia membalas lebih keras kepada guru. Datang ke sekolah dengan kepala tegak dan
ringan tangan. Kata-katanya menyakitkan. Lupa ia bahwa gurulah yang selama ini
menjaga, mengajar, dan mendidik anaknya—ketika ia sibuk mencari uang dan mungkin
bersenang-senang.
Amy Steketee, Baker, dan Daniel LLP, menulis dalam artikel yang berjudul Are
State and Federal Teacher Protection Acts Needed To Protect Teachers from Litigation
Concerning Student Discipline?” (2012: 180), “Di beberapa tempat, bahkan yang sudah
memiliki regulasi perlindungan guru, guru yang tidak bersalah harus membayar mahal
dan mengalami stres untuk membela diri di pengadilan”.
Guru juga manusia biasa yang bisa salah, karena itu ia bisa dihukum sesuai kode
etik guru; sesuai hukum profesi guru. Orangtua tidak bisa main hakim sendiri karena
pandangan merendahkan guru dan tidak berarti baginya. Banyaknya guru menjadi korban
kekerasan orangtua bahkan dipenjara menunjukkan pemerintah perlu melindungi profesi
guru. Pada 2017, PGRI dan Polri telah melakukan MoU dan memiliki pedoman
kerjasama tentang Perlindungan Hukum Profesi Guru.
Lainnya, guru sering menjadi korban kesewenangan kepala daerah, yaitu mutasi
ke sekolah lain tanpa alasan jelas, atau pemberhentian sebagai kepala sekolah karena
digantikan oleh guru pilihannya. Hal ini terjadi karena sebagian guru menjadi tim sukses
pasangan tertentu dalam Pilkada. Guru memanfaatkan atau dimanfaatkan calon kepala
daerah.
Ke depan, kesalahan guru dalam menjalankan profesi disidangkan di Dewan
Kehormatan Guru, seperti halnya dokter, polisi, dan tentara. Guru tidak mudah dibawa ke
polisi atau pengadilan. Ide guru dijadikan PNS atau guru tetap pusat dianggap solusi agar
mereka tidak dipermainkan kepala daerah.
4. Kesejahteraan
Ketidakadilan dirasakan guru honorer dan guru swasta yang mendapatkan gaji
tidak layak. Di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Gaji guru Indonesia sangat
beragam tergantung status dan kualitas sekolahnya. Guru PNS dan guru di sekolah kelas
menengah cukup sejahtera, sedangkan guru honorer dan yang belum sertifikasi sangat
tidak sejahtera.
Menurut Marianne Perie, dkk. (1996: 203) dalam buku Education Indicators: An
International Perspective, “Gaji guru adalah standar hidup guru dan menunjukkan berapa
yang masyarakat bayar untuk bekerja dalam bidang pendidikan”.
Pemerintah harus segera menetapkan standar minimal gaji guru, baik di sekolah
negeri maupun sekolah swasta. Jangan ada larangan sekolah menarik iuran bulanan bagi
orangtua yang mampu. BOS tidak cukup untuk membayar layak guru-guru honorer.
Koperasi sekolah dikelola dengan baik agar keuntungannya untuk kesejahteraan guru dan
staf. Kepala sekolah membuat program yang menarik dunia usaha dan dunia industri
untuk peduli kesejahteraan guru.
Standarisasi gaji guru baik PNS maupun non-PNS akan merubah citra profesi
guru, menarik minat masyarakat untuk menjadi guru, dan mendorong persaingan ketat
generasi muda cerdas untuk masuk ke fakultas keguruan atau mengikuti Pendidikan
Profesi Guru (PPG). Sebaliknya, jurang dalam perbedaan gaji guru PNS dan non-PNS
membuat profesi guru tidak menarik bagi masyarakat menengah dan generasi muda
cerdas.
Dalam setiap kegiatan organisasi yang dihadiri oleh Dirjen GTK, Setjen
Kemendikbud, Mendikbud, Menkeu, Mendagri, Menpanrb, Wapres, atau Presiden, PGRI
tidak lelah menyampaikan masalah-masalah guru, termasuk kesejahteraan guru. Contoh,
mendesak pemerintah mengangkat guru honorer menjadi PNS; mendorong pembayaran
Tunjangan Profesi Guru (TPG) melekat ke gaji pokok; meminta pembayarannya tepat
waktu dan tepat jumlah.
Penutup
Guru adalah profesi yang akan membawa generasi muda Indonesia berdaya saing
tinggi di kancah lokal dan global. Jumlah dan mutu guru akan menentukan nasib bangsa
ini di masa depan. Karena itu, guru harus disiapkan sejak semula agar terpilih dan lahir
guru-guru yang kompeten dan punya integritas tinggi. Guru hebat melahirkan generasi
yang cerdas dan berkarakter. Pemerintah segera membenahi regulasi dan sistem terkait
guru, mulai dari penertiban fakultas keguruan, PPG, perekrutan guru, penempatan,
pelindungan, pelatihan kompetensi, dan tentu saja kesejahteraan. Pemerintah tidak bisa
sendiri, tetapi bekerjasama dengan masyarakat, dunia usaha, dan dunia industri.
Referensi
Brundrett, Mark dan Peter Silcock, Peter. Achieving Competence, Success and
Excellence in Teaching. New York: RoutledgeFalmer, 2002.
Desliana, Maulipaksi. 7 Provinsi Raih Nilai Terbaik Uji Kompetensi Guru 2015.
Kemdikbud, 04 Januari 2016.
Primadhyta, Safyra. Separuh Jumlah Guru Indonesia Masih Berstatus Honorer K2. CNN
Indonesia, 04 Juni 2018.
Steketee, Amy, Baker, and Daniel LLP, “Are state and federal teacher protection acts
needed to protect teachers from litigation concerning student discipline?”, dalam Suzanne
E. Eckes dan Charles J. Russo (ed.). School Discipline and Safety. California: SAGE
Publication Ltd., 2012.
U.S. Department of Education. National Center for Education Statistics. Education
Indicators; An Internastional Perspective, NCES 96-003, by Nancy Matheson, Laura
Hersh Salganik, Richard P. Phleps, Marianne Perie, Nabeel Alsalam, and Thomas M.
Smith. Washington, DC: 1996.
Dr Jejen Musfah MA, Ketua Prodi S2 MPI FITK UIN Jakarta, Pengurus Besar
PGRI, Seminar Nasional dalam Rangka Dies Natalis UNJ, Rabu, 12 September 2018.
(mf)

Anda mungkin juga menyukai