Anda di halaman 1dari 22

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

A.1 ASAL USUL SONOKELING (Dalbergia latifolia)

Di dunia ini terdapat banyak sekali jenis – jenis pohon ada pohon sengon,
pohon jati, pohon trembesi, pohon akasia, dan masih banyak pohon yang lainnya.
Pohon mempunyai banyak manfaat bagi manusia seperti tempat berteduh,
mencegah abrasi, sebagai paru – paru dunia, dan masih banyak lagi manfaat
pohon bangi manusia. Tetapi dari sekian banyak pohon yang kita kenal hanya ada
beberapa pohon yang dianggap istimewa, entah dari bentuknya, manfaatnya,
cara hidupnya, atau cerita mistis yang berkembang tentang pohon tersebut.
Pohon sonokeling disebut juga Indian wood, karena habitat asli sonokeling dari
India. Pohon sonokeling adalah salah satu jenis pohon yang dianggap istimewa.
Pohon sonokeling dianggap istimewa karena pohon sonokeling menghasilkan kayu
yang bertekstur lembut, dan mempunyai nilai dekoratif yang cukup baik. Selain itu
kayu yang dihasilkan oleh pohon sonokeling terkenal awet, karena kayu pohon
sonokeling mampu melawan serangan hewan rayap ataupun serangan jamur.
Ditambah lagi dengan pori – pori kayu pohon sonokeling yang rapat dan keras
membuat kayu yang dihasilkan pohon sonokeling menjadi tambah awet dan tidak
mudah lapuk maupun hancur.

Kayu yang dihasilkan oleh pohon sonokeling telah menjadi primadona di


pasar kayu karena banyak perushaan pembuat venir yang tergolong mewah
menggunakan kayu yang dihasilkan oleh pohon sonokeling untuk melapisi
permukaan kayu – kayu mahal. Pohon sonokeling memerlukan waktu yang cukup
lama untuk menghasilkan kayu siap pakai, padahal permintaan kayu yang
dihasilkan pohon sonokeling terus meningkat seiring dengan meningkatnya
permintaan barang – barang yang berbahan dasar kayu berkualitas. Pohon
sonokeling yang semakin tua akan semakin mahal harganya, begitu pula dengan
ukuran diameter batang pohon sonokeling semakin besar ukuran diameter pohon
sonokeling ssemakin mahal pula harga kayunya.

Pohon sonokeling hidup di daerah yang beriklim tropis dengan curah hujan


antara 750 sampai 5000 mm pertahunnya. Di Indonesia kita bisa menjumpai
banyak pohon sonokeling yang tumbuh liar di kawasan hutan jawa tengah dan
jawa timur.

1
Sonokeling atau sanakeling adalah nama sejenis pohon penghasil kayu keras dan
indah, anggota dari suku Fabaceae. Kayunya yang berbobot sedang dan berkualitas
tinggi itu dalam perdagangan dikenal sebagai Indian rosewood, Bombay
blackwood atau Java palisander (Ingg.), palisandre de l’Inde (Prc.); dalam
klasifikasi Indonesia digolongkan sebagai kayu sonokeling. Di Jawa, dikenal varian
yang dinamai sonobrit dan sonosungu. Pohon berukuran sedang hingga besar,
tingginya 20-40 m dengan gemang mencapai 1,5–2 m. Tajuk lebat berbentuk
kubah, menggugurkan daun. Pepagan berwarna abu-abu kecoklatan, sedikit
pecah-pecah membujur halus. Daun majemuk menyirip gasal, dengan 5-7 anak
daun yang tak sama ukurannya, berseling pada porosnya. Anak daun berbentuk
menumpul (obtusus) lebar, hijau di atas dan keabu-abuan di sisi bawahnya.
Bunga-bunga kecil, 0,5-1 cm panjangnya, terkumpul dalam malai di
ketiak. Buah polong berwarna coklat, lanset memanjang, meruncing di pangkal
dan ujungnya. Berisi 1-4 butir biji yang lunak kecoklatan, polong tidak memecah
ketika masak.

Di Indonesia, sonokeling hanya didapati tumbuh liar di hutan-hutan Jawa


Tengah dan Jawa Timurpada ketinggian di bawah 600m dpl., terutama di tanah-
tanah yang berbatu, tidak subur, dan kering secara berkala. Tumbuh
berkelompok, namun tidak terlalu banyak, di hutan-hutan musim yang
menggugurkan daun-daunnya di waktu kemarau. Sebaran alami sonokeling
lainnya adalah anak-benua India, mulai dari kaki Pegunungan Himalayahingga
ujung selatan semenanjung, terutama di hutan-hutan monsun yang kering di
wilayah-wilayah Karnataka, Kerala, dan Tamil Nadu, di Ghats Barat. Meskipun
demikian, tumbuhan ini hidup baik di daerah dengan curah hujan antara 750 –
5.000 mm pertahun; di atas aneka jenis tanah, walau lebih menyukai tanah-tanah
yang dalam dan lembap, yang memiliki drainase baik.

Sonokeling tergolong ke dalam kayu keras dengan bobot sedang hingga


berat. Berat jenisnya antara 0,77-0,86 pada kadar air sekitar 15%. Teksturnya
cukup halus, dengan arah serat lurus dan kadang kala berombak. Kayu ini juga
awet; tahan terhadap serangan rayap kayu kering dan sangat tahan
terhadap jamur pembusuk kayu. Kayu terasnya berwarna coklat agak lembayung
gelap, dengan coreng-coreng coklat sangat gelap hingga hitam. Kayu gubal
berwarna keputih-putihan hingga kekuningan, 3–5 cm tebalnya, terbedakan

2
dengan jelas dari kayu teras. Kayu sonokeling agak sukar dikerjakan dengan
tangan, namun sangat mudah dengan mesin. Kayu ini dapat diserut sehingga
permukaannya licin; dan dapat pula dikupas dan diiris untuk membuat venir
dekoratif. Kayu ini juga dapat dibubut, disekerup dan dipelitur dengan hasil yang
baik. Namun, kayu ini sukar diberi bahan pengawet.

Berikut Klasifikasi Ilmiah Sonokeling (Dalbergia latifolia) :

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Fabales

Familia : Fabaceae

Genus : Dalbergia

Spesies : Dalbergia latifolia

A.2 JENIS-JENIS SONOKELING

Sonosiso (Dalbergia sissoo Roxb. Ex Benth.) adalah kerabat dekat sonokeling,


yang menghasilkan kayu yang hampir serupa kualitasnya; dalam perdagangan
dikenal sebagai kayu sonosissoo atau secara umum dimasukkan ke dalam
kelompok rosewood.

Marga Dalbergia sendiri meliputi lebih kurang 100 jenis, yang menyebar di


kawasan tropika dan ugahari di semua benua. Sebagian besar jenis (70 spesies)
didapati di Asia, dengan pusat keanekaragaman di sekitar Himalaya. Kebanyakan
berupa perdu atau liana berkayu, sebanyak 18 jenisnya berupa pohon yang
menghasilkan kayu yang berharga

A.3 POTENSI SONOKELING (Dalbergia latifolia)

Sonokeling terutama dimanfaatkan kayunya, yang memiliki pola-pola yang


indah, ungu bercoret-coret hitam, atau hitam keunguan berbelang dengan coklat
kemerahan. Keawetannya setara dengan kayu jati. Warnanya gelap dengan
tekstur serat yang unik. Inilah yang menjadi daya tarik si kayu
sonokeling. Indonesia dengan kawasan hutan tropisnya yang cukup luas
merupakan salah satu negara penghasil kayu keras berkualitas tinggi terbesar di

3
dunia. Selain jati yang namanya sudah tersohor di mancanegara, terdapat pula
beberapa jenis kayu lain yang tidak kalah bagus. Salah satunya adalah
sonokeling. Dalam sistem kekerabatan tanaman, sonokeling termasuk anggota
dari keluarga Fabacceae. Adapun dalam perdagangan internasional, kayu ini
memiliki nama lain seperti Indian rosewood, Bombay blackwood, dan Java
palisander. Di Jawa, kayu ini dikenal sebagai sonobrit dan sonosungu atau kayu
hitam. Kayu ini biasa digunakan untuk membuat mebel, almari, serta aneka
perabotan rumah berkelas tinggi. Venirnya yang bernilai dekoratif digunakan
untuk melapisi permukaan kayu lapis mahal. Karena sifatnya yang baik, kayu
sonokeling juga sering digunakan untuk membuat barang ukiran dan pahatan,
barang bubutan, alat-alat musik dan olahraga, serta perabot kayu bengkok seperti
gagang payung, tongkat jalan dan lain-lain.

Kayu ini juga kuat dan awet, sehingga tidak jarang digunakan dalam
konstruksi seperti untuk kusen, pintu dan jendela, serta untuk membuat
gerbong kereta api. Atau untuk peralatan seperti gagang kapak, palu, bajak dan
garu, serta untuk mesin-mesin giling-gilas. Selain itu, sonokeling dipakai pula
dalam pembuatan lantai parket. Sonokeling merupakan salah satu
tanaman agroforestri yang populer di Indonesia. Pohon ini ditanam dalam
sistem tumpangsari, diselingi dengan aneka tanaman pangan
seperti padi ladang, jagung, ubi kayu, atau kacang-kacangan. Daun-daun
sonokeling dimanfaatkan untuk pakan ternak dan pupuk hijau. Perakaran
sonokeling bersifat mengikat nitrogen, dan dengan demikian dapat memperbaiki
kesuburan tanah. Nilainya yang tinggi telah mendorong pemanenan yang
berlebihan, sehingga populasi alami pohon ini menghadapi kepunahan.
Keberadaan kayu sonokeling memang tidak sepopuler jati. Namun, bukan berarti
kualitasnya kalah dengan jati. Kayu ini memiliki banyak keunggulan yang tidak
dipunyai kayu lain. Keunggulan utamanya terletak pada serat dan tekstur
kayunya. Serat dan tekstur kayu sonokeling tergolong indah dan bernilai
dekoratif. Tekstur kayunya cukup halus dengan arah serat lurus dan kadang kala
berombak. Menurut Yohanes Natupali dari Magenta Supplies, produsen furnitur
berbahan kayu sonokeling, kayu sonokeling berada di kelompok kayu indah kelas
satu, hampir sama dengan kayu jati. Artinya, kedua kayu tersebut memiliki
keindahan yang setara. Keindahan kayu sonokeling didukung warnanya yang
unik. 
Bagian tengah kayu ini berwarna cokelat ungu tua dengan garis-garis berwarna

4
lebih tua sampai hitam. Corak yang unik inilah yang menjadikan kayu sonokeling
amat digemari pembuat furnitur maupun handicraft berkelas tinggi. Furnitur yang
dibuat menggunakan kayu ini akan terlihat mewah dan menarik. Meski tergolong
kayu keras, kayu sonokeling cukup mudah diproses seperti dipotong, digergaji,
diukir, dan diampelas. Karakter ini pula yang menjadikan kayu sonokeling cocok
dan banyak digunakan sebagai bahan baku berbagai produk olahan kayu dengan
kualitas bagus. Tidak hanya itu, sonokeling juga termasuk kayu yang sangat awet.
Berdasarkan klasifikasi keawetannya, kayu ini berada dalam satu kelas dengan
kayu jati, yaitu kelas awet satu atau sangat awet. Ini menunjukkan kalau kayu
sonokeling memiliki ketahanan yang cukup tinggi terhadap serangan jamur,
rayap, bubuk, atau serangga perusak kayu lain meskipun tanpa diberi bahan
pengawet kayu terlebih dahulu. Keawetan kayu tersebut disebabkan adanya zat
ekstraktif yang berbentuk seperti getah yang dihasilkan oleh kayu itu sendiri. Zat
ini merupakan unsur racun bagi perusak kayu seperti rayap. 

Meski memiliki banyak kelebihan, kayu sonokeling juga punya kekurangan.


Warnanya yang unik ternyata sekaligus menjadi kelemahan jenis kayu satu ini.
Untuk penyuka furnitur yang finishing-nya menggunakan warna terang atau
natural, seperti walnut brown dan cocoa brown, furnitur berbahan kayu
sonokeling kurang cocok digunakan lantaran warna alami kayunya saja sudah
gelap sehingga tidak bisa di-finishing dengan warna terang maupun warna
natural. Kekurangan lain terletak pada kadar airnya yang cukup tinggi sehingga
dapat menyebabkan bentuk furnitur berubah seperti melengkung jika dibuat
menggunakan kayu yang masih basah.

A.4 KRONOLOGIS SEJARAH SONOKELING ( Dalbergia latifolia) MASUK


KEDALAM APPENDIX CITES

Pada Tahun 1998 Badan Konservasi Dunia IUCN telah memasukkan Dalbergia
latifolia ke dalam kategori Rentan (VU, vulnerable). COP CITES ke 17 di
Johanessburg afrika selatan telah memasukkan jenis kayu Sonokeling ke dalam
list Cites Appendix II yang mulai berlaku 2 Januari 2017, konsekuensinya maka
untuk peredaran kayu sonokeling di dalam dan luar negeri mengikuti mekanisme
yang diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 447/Kpts-II/2003
tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan

5
dan Satwa Liar maka: Peredaran Kayu Sonokeling dalam negeri wajib
menggunakan dokumen SATS-DN. Dan untuk pengusaha yang melakukan eksport
wajib kayu sonokeling CITES Permit (SATS-LN). CITES (Convention on
International Trade in Endangered Spesies) atau Konvensi perdagangan
internasional untuk spesies-spesies tumbuhan dan satwa liar adalah merupakan
kesepakatan internasional antara pemerintah (negara) dengan tujuan untuk
memastikan bahwa perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar tidak
mengancam keberadaan hidup tumbuhan dan satwa liar.

Konvensi bertujuan melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap


perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar yang
mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam. Selain itu, CITES
menetapkan berbagai tingkatan proteksi untuk lebih dari 33.000 spesies
terancam. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan
Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978. Sekretariat cites berkantor di jenewa
swiss, Cites menetapkan Tumbuhan dan Satwa Liar berdasarkan 3 (tiga) kategori
perlakuan perlindungan dari eksploitasi perdagangan yaitu appendices I,
appendices II, dan appendices III:

1. Appendices I , memuat lampiran daftar dan melindungi seluruh spesies


tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan
internasional secara komersial,

2. Appendices II , memuat Lampiran daftar dari spesies yang tidak terancam


kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan terus
berlanjut tanpa adanya pengaturan,

3. Appendices III, memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang telah
dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan
memberikan pilihan (option) bagi negara-negara anggota CITES bila suatu saat
akan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke Appendix II, bahkan mungkin ke
Appendix I

Daftar Appendix I, Apendik II, Appendices III Cites terbaru berlaku mulai tanggal
2 Januari 2017.

6
B. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dari pembuatan makalah ini adalah memberikan informasi tentang
mekanisme perijinan dan tahapan kayu sonokeling di Balai KSDA Jateng pasca
masuk ke dalam Appendices II

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah mendeskripsikan dan menjelaskan


tentang prosedur dan petunjuk tahapan peredaran kayu sonokeling kepada
masyarakat terutama para pengusaha yang memproduksi dan mengedarkan
barang atau produk barang jadi yang terbuat dari kayu sonokeling di wilayah
Balai KSDA Jateng

C. RUANG LINGKUP

Agar tidak menyimpang dari tujuan pembuatan makalah maka penyusun


memberikan batasan- batasan sebagai ruang lingkup di batasi tentang
peredaran kayu sonokeling (Dalbergia latifolia) di Balai KSDA Jateng setelah
Sonokeling masuk dalam Appendix II

7
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SEJARAH KAYU SONOKELING MASUK APPENDIK II

Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati


dan Ekosistemnya, tumbuhan dan satwa liar dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
tumbuhan dan satwa liar dilindungi dan tidak dilindungi. Sedangkan menurut CITES,
penggolongannya dibagi berdasarkan appendix dan non appendix. Dalam hal ini, ada
jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di Indonesia namun tidak masuk
appendix CITES dan ada pula yang jenis tidak dilindungi namun masuk dalam
appendix CITES. Jenis TSL yang bisa diekspor (diperdagangkan) dari Indonesia
sesuai dengan peraturan perundangan adalah jenis yang tidak dilindungi dan bukan
Appendix I CITES, atau jenis dilindungi tetapi hasil penangkaran generasi kedua dan
seterusnya walaupun termasuk dalam Appendix I CITES.

Dalam rangka melaksanakan kewajibannya, Indonesia telah menunjuk


Managemen Authority dan Scientific Authority. Sesuai dengan PP no.8 Tahun 1999,
Ps 66 : Departemen yang bertanggung jawab di bidang Kehutanan ditetapkan
sebagai otoritas Pengelola (Management Authority) dan LIPI ditetapkan sebagai
otoritas keilmuan (scientific authority). Selanjutnya dalam KepMenhut No.104/Kpts-
II/2003, Direktur Jenderal PHKA ditetapkan sebagai pelaksana otoritas pengelola
(Management Authority) CITES di Indonesia dan dalam Keputusan Ketua LIPI no.
1973 tahun 2002, Pusat Penelitian Biologi ditetapkan sebagai Pelaksana Harian
Otorita Keilmuan (Scientific Authority).

Kerjasama antar negara dalam melakukan pengawasan terhadap peredaran


tumbuhan dan satwa liar merupakan suatu keuntungan bagi negara dengan
sumberdaya alam hayati yang begitu besar seperti Indonesia. Manfaat yang dapat
diambil misalnya Manfaat dari nilai spesies yang dikonservasi, kesempatan untuk

8
melakukan intervensi dalam pengaturan peredaran TSL, meringankan biaya
penegakan hukum, nilai yang terkait dengan kerjasama internasional/bantuan teknis
dan finansial. Banyak usaha penyelundupan tumbuhan dan satwa lair dari Indonesia
yang bisa digagalkan di negara tujuan karena adanya kerjasama ini sehingga
kerugian Indonesia yang ditimbulkan karena perdagangan tumbuhan dan satwa liar
illegal dapat semakin ditekan.

CITES merupakan satu-satunya perjanjian global dengan fokus perlindungan


spesies tumbuhan dan satwa liar. Keikutsertaan bersifat sukarela, dan negara-negara
yang terikat dengan konvensi disebut para pihak (parties). Walaupun CITES
mengikat para pihak secara hukum, CITES bukan pengganti hukum di masing-
masing negara. CITES hanya merupakan rangka kerja yang harus dijunjung para
pihak yang membuat undang-undang untuk implementasi CITES di tingkat nasional.
Seringkali, undang-undang perlindungan tumbuhan dan satwa liar di tingkat nasional
masih belum ada (khususnya para pihak yang belum meratifikasi CITES), hukuman
yang tidak seimbang dengan tingkat kejahatan, dan kurangnya penegakan hukum
terhadap perdagangan satwa liar. Pada tahun 2002 hanya terdapat 50% para pihak
yang bisa memenuhi satu atau lebih persyaratan dari 4 persyaratan utama yang
harus dipenuhi: (1) keberadaan otoritas pengelola nasional dan otoritas keilmuan,
(2) hukum yang melarang perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi
CITES, (3) sanksi hukum bagi pelaku perdagangan, dan (4) hukum untuk penyitaan
barang bukti.

Naskah konvensi disepakati 3 Maret 1973 pada pertemuan para wakil 80 negara


di Washington, D.C.. Negara peserta diberi waktu hingga 31 Desember 1974 untuk
menandatangani kesepakatan, dan CITES mulai berlaku tanggal 1 Juli 1975. Setelah
melakukan ratifikasi, menerima, atau menyetujui konvensi, negara-negara yang
menandatangani konvensi disebut para pihak ( parties). Pada tahun 2003, semua
negara penanda tangan CITES telah menjadi para pihak. Negara yang belum
menandatangani dapat ikut serta menjadi para pihak dengan menyetujui CITES. Di
bulan Agustus 2006 tercatat sejumlah 169 negara telah menjadi para pihak dalam
CITES. CITES merupakan kerja sama antar negara anggota untuk menjamin
perdagangan tumbuhan dan satwa liar dilaksanakan sejalan dengan perjanjian
CITES. Ekspor, impor, reekspor, dan introduksi spesies yang terdaftar dalam

9
apendiks CITES harus mendapat izin otoritas pengelola dan rekomendasi otoritas
keilmuan CITES di negara tersebut.

Sekretariat CITES berkantor di Jenewa, Swiss dan menyediakan dokumen-


dokumen asli dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Spanyol. Pendanaan kegiatan
sekretariat dan Konferensi Para Pihak (COP) berasal dari dana perwalian yang
merupakan sumbangan para pihak. Dana perwalian tidak bisa digunakan para pihak
untuk meningkatkan taraf implementasi atau pelaksanaan CITES. Dana perwalian
hanya untuk kegiatan sekretariat, sedangkan para pihak dalam melaksanakan
kegiatan yang berkaitan dengan CITES harus mencari pendanaan eksternal
(dilakukan NGO dan dana bilateral).

Para pihak anggota konvensi harus menunjuk satu atau lebih otoritas pengelola
yang memberi perizinan, dan satu atau lebih otoritas ilmiah yang menilai dampak
perdagangan terhadap kelestarian spesies tersebut. Departemen
Kehutanan berdasarkan pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 ditunjuk
sebagai otoritas pengelola konservasi tumbuhan dan satwa liar di Indonesia.
Selanjutnya, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam ditunjuk
sebagai otoritas pengelola CITES di Indonesia melalui Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 104/Kpts-II/2003 (sebagai pengganti Keputusan Menteri Kehutanan
No.36/Kpts-II/1996).[6] Selain itu, Peraturan Pemerintah No. 7 dan 8 Tahun 1999
juga menunjuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai otoritas
keilmuan CITES.

Spesies yang diusulkan masuk dalam apendiks CITES dibahas dalam Konferensi
Para Pihak (COP), yang konferensi berikutnya diadakan bulan Juni 2007. Para pihak
bisa mengusulkan suatu spesies walaupun habitat spesies tersebut tidak berada
dalam wilayah negara pengusul. Usulan bisa disetujui masuk dalam apendiks CITES
asalkan didukung suara mayoritas 2/3 dari para pihak, walaupun ada para pihak
yang berkeberatan.

Apendiks CITES berisi sekitar 5.000 spesies satwa dan 28.000 spesies tumbuhan
yang dilindungi dari eksploitasi berlebihan melalui perdagangan
internasional. Spesies terancam dikelompokkan ke dalam apendiks CITES
berdasarkan tingkat ancaman dari perdagangan internasional, dan tindakan yang
perlu diambil terhadap perdagangan tersebut. Dalam apendiks CITES, satu spesies
bisa saja terdaftar di lebih dari satu kategori. Semua populasi Gajah
Afrika (Loxodonta africana) misalnya, dimasukkan ke dalam Apendiks I, kecuali

10
populasi di Botswana, Namibia, Afrika Selatan, dan Zimbabwe yang terdaftar dalam
Apendiks II.

Dalam pelaksanaan konvensi CITES di Indonesia, ada beberapa kendala yang


masih sangat sering dihadapi, yaitu wilayah Indonesia relatif luas dengan
aksesibilitas yang rendah sehingga peredaran TSL lintas batas negara sulit dikontrol,
dukungan para pihak dalam pelaksanaan CITES belum optimal, data potensi TSL
sebagai basis NDF belum memadai, sehingga penetapan quota kurang efektif
danmasih banyaknya upaya penyelundupan TSL dengan berbagai modus operasi
yang terus berlangsung. Dalam pelaksaan ketentuan CITES, Otorita CITES
malakukan kerja sama dengan bea dan cukai, kepolisian, karantina, kejaksaan,
pengadilan dan LSM serta pihak-pihak lain yang terkait.

CITES memuat tiga lampiran (appendix) yang menggolongkan keadaan


tumbuhan dan satwa liar pada tingkatan yang terdiri dari :

1) Apendiks I CITES

Appendix I merupakan lampiran yang memuat daftar dan melindungi seluruh


spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan
internasional secara komersial. Perdagangan spesimen dari spesies yang termasuk
Appendix I yang ditangkap di alam bebas adalah ilegal dan hanya diizinkan hanya
dalam keadaan luar biasa, misalnya untuk penelitian, dan penangkaran. Satwa dan
tumbuhan yang termasuk dalam daftar Apendiks I, namun merupakan hasil
penangkaran dianggap sebagai spesimen dari Apendiks II dengan beberapa
persyaratan.

Satwa dan tumbuhan yang termasuk dalam daftar Apendiks I, namun


merupakan hasil penangkaran atau budidaya dianggap sebagai spesimen dari
Apendiks II dengan beberapa persyaratan. Otoritas pengelola dari negara
pengekspor harus melaporkan non-detriment finding berupa bukti bahwa ekspor
spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas. Setiap
perdagangan spesies dalam Apendiks I memerlukan izin ekspor impor. Otoritas
pengelola dari negara pengekspor diharuskan memeriksa izin impor yang dimiliki
pedagang, dan memastikan negara pengimpor dapat memelihara spesimen tersebut

11
dengan layak. Satwa yang dimasukkan ke dalam Apendiks I,
misalnya gorila, simpanse, harimau dan subspesiesnya, singa Asia, macan
tutul, jaguar cheetah, gajah Asia, beberapa populasi gajah Afrika, dan semua
spesies Badak (kecuali beberapa subspesies di Afrika Selatan)

Di Indonesia, tumbuhan dan satwa liar (TSL) yang masuk dalam Appendix I
CITES mamalia 37 jenis, Aves 15 jenis, Reptil 9 jenis, Pisces 2 jenis, total 63 jenis
satwa dan 23 jenis tumbuhan. Jenis itu misalnya semua jenis penyu (Chelonia
mydas/penyu hijau, Dermochelys coreacea/penyu belimbing, Lepidochelys
olivacea/penyu lekang, Eretmochelys imbricata/penyu sisik, Carreta carreta/penyu
tempayan, Natator depressa/penyu pipih), jalak bali (Leucopsar rothschildi), komodo
(Varanus komodoensis), orang utan (Pongo pygmaeus), babirusa (Babyrousa
babyrussa), harimau (Panthera tigris), beruang madu (Helarctos malayanus), badak
jawa (Rhinoceros sondaicus), tuntong (Batagur baska), arwana kalimantan
(Scleropages formosus) dan beberapa jenis yang lain.

2) Apendiks II CITES

Appendix II merupakan lampiran yang memuat daftar dari spesies yang tidak
terancam kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan
terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Selain itu, Apendiks II juga berisi spesies
yang terlihat mirip dan mudah keliru dengan spesies yang di daftar dalam Apendiks
I. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan bukti bahwa ekspor
spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas.

Di Indonesia, yang termasuk dalam Appendix II yaitu mamalia 96 jenis, Aves


239 jenis, Reptil 27 jenis, Insekta 26 jenis, Bivalvia 7 jenis, Anthozoa 152 jenis, total
546 jenis satwa dan 1002 jenis tumbuhan (dan beberapa jenis yang masuk dalam
CoP 13). Satwa yang masuk dalam Appendix II misalnya trenggiling (Manis
javanica), serigala (Cuon alpinus), merak hijau (Pavo muticus), gelatik (Padda
oryzifora), beo (Gracula religiosa), beberapa jenis kura-kura (Coura spp, Clemys
insclupta, Callagur borneoensis, Heosemys depressa, H. grandis, H. leytensis, H.
spinosa, Hieremys annandalii, Amyda cartileginea), ular pitas (Pytas mucosus),
beberapa ular kobra (Naja atra, N. Kaouthia, N. Naja, N. Sputatrix, Ophiophagus
hannah), ular sanca batik (Python reticulatus), kerang raksasa (Tridacnidae spp),

12
beberapa jenis koral, beberapa jenis anggrek (Orchidae), sonokeling dan banyak
lainnya.

3) Apendiks III CITES

Appendix III merupakan lampiran yang memuat daftar spesies tumbuhan dan
satwa liar yang telah dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan
habitatnya, dan memberikan pilihan (option) bagi negara-negara anggota CITES bila
suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke Appendix II, bahkan mungkin
ke Appendix I. Jumlah yang masuk dalam Appendix II sekitar 300 spesies. Spesies
yang dimasukkan ke dalam Apendiks III adalah spesies yang dimasukkan ke dalam
daftar setelah salah satu negara anggota meminta bantuan para pihak CITES dalam
mengatur perdagangan suatu spesies. Di Indonesia saat ini tidak ada spesies yang
masuk dalam Appendix III. Spesies yang dimasukkan ke dalam Apendiks III adalah
spesies yang dimasukkan ke dalam daftar setelah salah satu negara anggota
meminta bantuan para pihak CITES dalam mengatur perdagangan suatu spesies.
Spesies tidak terancam punah dan semua negara anggota CITES hanya boleh
melakukan perdagangan dengan izin ekspor yang sesuai dan Surat Keterangan
Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO).

Amendemen harus didukung mayoritas dua pertiga para pihak dan bisa
dilakukan sewaktu sidang luar biasa Konferensi Para Pihak (COP), bila sepertiga dari
para pihak menyatakan sidang harus dilakukan. Amendemen Gaborone yang
disetujui di Gaborone, Botswana, 30 April 1983 memungkinkan forum kerja sama
ekonomi regional untuk berpartipasi dalam CITES. Pertimbangan keberatan (Pasal
XXIII Reservations menyangkut spesies tertentu dapat dinyatakan para pihak.

COP CITES ke 17 di Johanessburg afrika selatan telah memasukkan jenis kayu


Sonokeling ke dalam list Cites Appendix II yang mulai berlaku 2 Januari  2017.
Konsekwensinya maka untuk peredaran kayu sonokeling di dalam dan luar negeri
mengikuti mekanisme yang diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan
Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar maka: Peredaran Kayu Sonokeling dalam
negeri wajib menggunakan dokumen SATS-DN.

2.2 PEREDARAN SONOKELING

13
Sonokeling merupakan salah satu hasil hutan yang berupa kayu. Untuk itu
diperlukan penatausahaan hasil hutan. Penatausahaan hasil hutan kayu adalah
kegiatan pencatatan dan pelaporan perencanaan produksi, pemanenan atau
penebangan, pengukuran pengujian, penandaan, pengangkutan/peredaran, serta
pengolahan hasil hutan kayu.

Sesuai dengan Keputususan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003


tentang Tata Usaha Pengambilan dan Penangapan Peredaran Tumbuhan dan Satwa
Liar menjelaskan tentang pengertian peredaran yaitu spesimen tumbuhan dan satwa
liar berupa mengumpulkan, membawa, mengangkut atau memelihara spesimen yang
ditangkap atau diambil dari habitat alam atau yang berasal dari penangkaran
termasuk dari hasil pengembangan populasi berbasis alam untuk kepentingan
pemanfaatan.

Semenjak masuknya Sonokeling masuk dalam Appendik II, rekapitulasi progress


ijin edar luar negeri sampai pertengahan desember tahun 2017 melonjak cukup
signifikan, dibuktikan dengan jumlah permohonan ijin edar ke luar negeri yang
mencapai 29 ijin permohonan, dan hanya 27 Surat Keputusan yang sudah terbit dari
Dirjen KSDAE. Di Jawa Tengah permohonan ijin edar Luar Negeri menempati posisi
kedua tertinggi setelah Jawa Timur, di susul dengan tertinggi ketiga Jawa Barat. Dari
data tahun 2017 diperoleh informasi bahwa negara tujuan eksport sonokeling hampir
99,8 % ke negara China dengan volume peredaran kayu sonokeling sebesar 93.460
meter kubik. Informasi data yang diperoleh bahwa dokumen SATS-LN yang paling
banyak sampai pertengahan 2017 adalah sonokeling (7475), karang (6046) dan
reptil (3324).

14
III RUMUSAN DAN ANALISA MASALAH

3.1. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, dalam pembuatan makalah ini ada beberapa
rumusan masalah yaitu sebagai berikut:

Bagaimana mekanisme peredaran kayu Sonokeling (Dalbergia latifolia) di lingkup


Balai KSDA Jateng ?

3.2 ANALISIS MASALAH

Berikut Prosedur Pengajuan Ijin Pengedar Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam dan Luar
Negeri yang tertera pada peraturan menteri Kehutanan nomer 447/Kpts-II/2003

Dalam peredaran sonokeling di BKSDA Jateng terdapat Ijin Peredaran Tumbuhan


dan Satwa Liar yang terdiri dari :

1. Ijin Edar Dalam Negeri

Sesuai dengan Pasal 44 dibawah ini merupakan Tata cara dan Prosedur melakukan
ijin edar dalam negeri :

1. Pemohon melakukan Permohonan yang diajukan kepada Kepala Balai KSDA


Jateng dan di tembuskan kepada Kepala Seksi Wilayah

15
2. Pemohon melengkapi persyaratan dengan melampirkan : Proposal, Akte, SIUP,
SITU, Nama Jenis, Jumlah, Ukuran, Wilayah, BAP ( Berita Acara Pemeriksaan),
Rekomendasi Kepala Seksi

3. Tim Dari Balai mencoba menelaah, permohonan dari pemohon dapat disetujui
atau ditolak dalam waktu 14 hari

4. Ijin Edar Dalam Negeri diberikan selama 5 (lima) tahun

2. Ijin Edar Luar Negeri

Untuk pemberian ijin edar luar negeri sebagaimana sesuai dengan pasal 51, berikut
merupakan Tata Cara atau Prosedurnya :

1. Pemohon melakukan permohonan kepada Direktur Jenderal KSDAE dengan


tembusan Kepala KSDA

2. Pemohon wajib melampirkan Proposal, Akte, SIUP, SITU, Nama Jenis, Jumlah,
Ukuran, Wilayah, BAP dan Rekomendasi Kepala BKSDA

3. Direktur Jenderal KSDAE dapat menyetujui atau menolak dalam waktu 14 hari
setelah permohonan lengkap diterima

Dalam pemberian ijin edar baik dalam maupun luar negeri terdapat catatan
penting di pasal 53 dan pasal 54 menjelaskan bahwa Ijin edar tidak dapat diberikan
kepada Warga Negara Asing (WNA) atau penanam modal asing, kecuali tumbuhan
dan satwa hasil pengembangbiakan, perbanyakan atau spesies yang bukan asli
Indnesia. Berikut ini dokumen peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar terdapat Surat
Angkut Tumbuhan dan Satwa (SATS) baik dalam negeri maupun luar negeri. Untuk
SATS-LN (Luar Negeri) terdapat juga CITES atau NON CITES didalamnya.

Sesuai pasal 69 untuk Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar - Dalam Negeri
(SATS- DN) memuat :

1. Nama dan alamat pengirim, nama jenis, bentuk, jumlah, pelabuhan


pemberangkatan dan lain-lain

2. Pemegang ijin edar dalam negeri diberikan waktu maksimum untuk 2 (dua) bulan

3. Pemegang ijin edar dalam negeri harus mengikuti ketentuan pengangkutan yang
berlaku

16
4. Pemegang ijin edar dalam negeri harus juga dilengkapi dokumen sertifikat yang
lain.

5. SATS-DN diterbitkan oleh Kepala Balai KSDA atau Kepala Seksi Wilayah

6. Setelah adanya edar dalam negeri, ditambah ijin terkait dengan legalitas asal usul,
laporan mutasi stock

7. Adanya legalitas asal usul (izin ambil/tangkap)

8. Pemegang ijin edar dalam negeri memperoleh jumlah dan jenis sesuai kuota

9. SATS-DN hanya dapat dipakai 1 kali pengiriman.

Sesuai dengan Pasal 70 untuk meliput peredaran internasional jenis Tumbuhan


dan Satwa Liar yang termasuk maupun tidak termasuk Appendik CITES dapat
diterbitkan dapat diterbitkan setelah dapat dibuktikan adanya : Ijin Pengedar Luar
Negeri atau Ijin terkait dengan asal usul (Ijin ambil/ Ijin tangkap, SATS-DN). Bentuk
SATS-DN adalah SATS-LN Eksport, SATS-LN Impor, SATS-LN Re-eksport. Sesuai
pedoman di dalam resolusi CITES di dalam pembuatan menggunakan dua bahasa
dan diterbitkan oleh Direktur Jenderal KSDAE atau pejabat yang ditunjuk.

Berikut ini merupakan Tata Cara Memohon SATS-LN sebagaimana diatur pada
pasal 77 adalah sebagai berikut :

1. Pemohon mengajukan semua persyaratan kepada Direktur Jenderal KSDAE

2. Semua persyaratan dilengkapi rekomendasi Kepala BKSDA dan dilampiri BAP

3. Ijin Pengedar Luar Negeri terkait dengan asal-usul (ijin ambil/tangkap, SATS-
DN)

4. Jangka waktu maksimum 6 bulan, 1 bulan (import)

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/ Kpts-II/ tahun 2003 tentang
peredaran :Ijin Pengedar diberikan kepada Perusahaan Perorangan / Koperasi/
BUMD/ BUMS.

IJIN PENGEDAR DALAM NEGERI

Berikut kelengkapan untuk dapat ijin pengedar tumbuhan dan satwa liar Dalam
Negeri yaitu dengan cara membuat proposal, Akta Pendirian Perusahaan, SIUP
( Surat Ijin Usaha Perdagangan), SITU ( Surat Ijin Tempat Usaha). Calon Pengedar
mengajukan Permohonan Pemeriksaan Persiapan Teknis, Pengesahan Proposal dan
Rekomendasi Teknis sebagai pengedar ditujukan kepada Kepala BKSDA Jawa

17
Tengah. Untuk rekomendasi teknis dalam negeri dikeluarkan oleh Kepala BKSDA
Jawa Tengah dengan rekomendasi Kepala SKW ( Seksi Konservasi Wilayah). Balai
KSDA Jawa Tengah setelah pengkajian administrasi, hukum dan teknis apabila
memenuhi semua persyaratan maka Kepala Balai KSDA Jawa Tengah akan
mengeluarkan ijin pengedar dalam negeri. Begitu juga apabila calon pengedar tidak
memenuhi persyaratan yang berlaku maka Kepala BKSDA Jawa Tengah akan
membuat surat penolakan ke pemohon.

Tahapan Kegiatan Pengedaran :

1. Melakukan BAP Persiapan Teknis yang dilakukan oleh Petugas KSDA Jawa Tengah
yang di tunjuk

2. Melakukan Kegiatan Pemeriksaan Stok Opname

- Memiliki ijin pengedar yang diterbitkan oleh Kepala Balai KSDA Jawa Tengah

- Memiliki Dokumentasi legalitas asal usul kayu yang ditanda tangani ganis
perusahaan atau was ganis

- Mengajukan surat permohonan pemeriksaan stok opname atau pemeriksaan


penambahan stok

3. Melakukan Kegiatan Pemeriksaan Stok

- Memiliki ijin pengedar yang diterbitkan oleh KSDA Jawa Tengah

- Memiliki dokumen stok opname

- Memiliki dokumen peredaran lainnya seperti: SATS-DN, Nota Angkutan dll

4. Melakukan kegiatan Pemeriksaan Pemuatan Barang (Stuffing)

-Mengajukan Surat Permohonan Pemeriksaan Pemuatan Pengangkutan Barang

- Memiliki dokumen Berita Acara Pemeriksaan stok untuk penerbitan SATS-DN

- Memiliki Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri

- Invoice Packing List yang sdh diverifikasi sucofindo

IJIN PENGEDAR LUAR NEGERI

18
Sama halnya ijin pengedar dalam negeri persyaratannya sama dengan
persyaratan ijin edar luar negeri yaitu. dengan cara membuat proposal, Akta
Pendirian Perusahaan, SIUP ( Surat Ijin Usaha Perdagangan), SITU ( Surat Ijin
Tempat Usaha). Calon Pengedar mengajukan Permohonan Pemeriksaan Persiapan
Teknis, Pengesahan Proposal dan Rekomendasi Teknis. Tetapi ada perbedaan yang
ijin pengedar dalam negeri yang memberikan rekomendasi Kepala BKSDA Jawa
Tengah yang menerbitkan ijin Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan
Konservasi. Dirjen KSDA setelah pengkajian administrasi, hukum dan teknis apabila
memenuhi semua persyaratan maka Dirjen KSDAE akan mengeluarkan ijin pengedar
Luar Negeri. Begitu juga apabila calon pengedar tidak memenuhi persyaratan yang
berlaku maka Dirjen KSDAE akan membuat surat penolakan ke pemohon.

Tahapan Kegiatan Pengedar Luar Negeri :

1. Melakukan BAP Persiapan Teknis yang dilakukan oleh Petugas KSDA Jawa Tengah
yang di tunjuk

2. Melakukan Kegiatan Pemeriksaan Stok Opname

- Memiliki ijin pengedar yang diterbitkan oleh Dirjen KSDAE

- Memiliki Dokumentasi legalitas asal usul kayu yang ditanda tangani Tenaga Teknis
perusahaan/ ganis perusahaan atau petugas Pengawas Teknis/ Wasganis dari Dinas
Kehutanan setempat.

- Mengajukan surat permohonan pemeriksaan stok opname atau pemeriksaan


penambahan stok

5. Melakukan Kegiatan Pemeriksaan Stok Eksport

- Memiliki ijin pengedar Memiliki ijin pengedar yang diterbitkan Dirjen KSDAE

- Memiliki dokumen stok opname

- Memiliki dokumen peredaran lainnya SVLK, NIK, ETPIK

6. Melakukan kegiatan Pemeriksaan Pemuatan Barang (Stuffing)

- Mengajukan Surat Permohonan Pemeriksaan Pemuatan Pengangkutan Barang

- Berita Acara Pemeriksaan Sto Eksport atau Penambahan Stok

- Memiliki Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri (SATS-LN)

19
-Invoice Packing List yang sdh diverifikasi sucovindo

IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN

1. Kayu Sonokeling masuk dalam daftar appendix II, tetapi belum ada peraturan
baku untuk peredarannya.

2. Permintaan kayu sonokeling yang melonjok tajam sebagai salah satu kayu yang
digemari, terutama negara china.

4.2 SARAN

1. Perlu dibuatkan SOP terkait peredaraan kayu sonokeling di wilayah Jawa Tengah

2. Perlu diadakannya sosialisasi dan penyuluhan terkait syarat-syarat seorang


pengusaha dapat melakukan stok opname, stok eksport dan stuffing kayu sonokeling

20
V DAFTAR PUSTAKA

Hutton and Dickinson 2000 Endangered Species Threatened Convention: The Past,
Present and Future of CITES. Africa Resources Trust, London.

Stiles 2004 The Ivory Trade and Elephant Conservation Environmental Conservation
31 (4) 309-321.

"Apakah "CITES"?". Departemen Ke hutanan Republik Indonesia. Diakses tanggal 12


Februari.

Zimmerman 2003 The Black Market for Wildlife: Combating Transnational Organized
Crime in the Illegal Wildlife Trade Vanderbilt Journal of
Transnational Law 36 1657

Reeve 2000 Policing International Trade in Endangered Species: the CITES Treaty
and Compliance Earthscan: London

Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. "Pemanfaatan


Tumbuhan dan Satwa Liar". Departemen Kehutanan RI. Diakses
tanggal 12 Februari.

21
UU. No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDAH & E

UU. No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai


Kenaekaragaman Hayati

PP. No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar
KEPMENHUT No.104/Kpts-II/2003 tentang Penunjukkan Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam selaku Otoritas Pengelola
Management Authority CITES di Indonesia

KEPMENHUT No. 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau


Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar

22

Anda mungkin juga menyukai