Anda di halaman 1dari 5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Angsana (Pterocarpus indicus)

Status konservasi : Rentan (IUCN 2.3)

Klasifikasi ilmiah

Kingdom: Plantae

Divisi: Magnoliophyta

Kelas: Magnoliopsida

Ordo: Fabales

Famili: Papilionaceae

Subfamili: Papidideae

Bangsa: Papilinidae

Genus: Pterocarpus

Spesies: P. indicus

Nama binomial

Pterocarpus indicus Willd.(1802)

Angsana atau sonokembang (Pterocarpus indicus) adalah sejenis pohon penghasil


kayu berkualitas tinggi dari suku Papilionaceae keras, kemerah-merahan, dan cukup
berat, yang dalam perdagangan dikelompokkan sebagai narra atau rosewood. Di
berbagai daerah, angsana dikenal dengan nama-nama yang mirip: asan (Aceh); sena,
sona, hasona (Batak); asana, sana, langsano, lansano (Min.); angsana, babaksana
(Btw.); sana kembang (Jw., Md.). Namun juga, nara (Bima, Seram), nar, na, ai na
(Tim.), nala (Seram, Haruku), lana (Buru), lala, lalan (Amb.), ligua (Ternate, Tidore,
Halm.), linggua (Maluku) dan lain-lain. Sebutan di negara-negara yang lain, di
antaranya: apalit (Filipina), pradu (Thailand), chan dêng (Laos), padauk, sena,
ansanah (Burma), Malay padauk, red sandalwood, amboyna (bahasa Inggris), serta
santal rouge, amboine (bahasa Perancis). Pohon, yang kadang-kadang menjadi
raksasa rimba, tinggi hingga 40m dan gemang mencapai 350cm. Batang sering
beralur atau berbonggol; biasanya dengan akar papan (banir). Tajuk lebat serupa
kubah, dengan cabang-cabang yang merunduk hingga dekat tanah. Pepagan (kulit
kayu) abu-abu kecoklatan, memecah atau serupa sisik halus, mengeluarkan getah
bening kemerahan apabila dilukai. Daun majemuk menyirip gasal, panjang 12–30 cm.
Anak daun 5-13, berseling pada poros daun, bundar telur hingga agak jorong, 6-10 ×
4–5 cm, dengan pangkal bundar dan ujung meruncing, hijau terang, gundul, dan tipis.

Bunga-bunga berkumpul dalam malai di ketiak, 9–15 cm panjangnya. Bunga


berkelamin ganda, berwarna kuning dan berbau harum semerbak, berbilangan-5.
Kelopak serupa lonceng, berdiameter 6mm, dua taju teratas lebih besar dan kadang-
kadang menyatu. Mahkota lepas-lepas, berkuku, bendera bundar telur terbalik atau
seperti sudip. Benang sari 10 helai, yang teratas lepas atau bersatu. Buah polong
bundar pipih, dikelilingi sayap tipis seperti kertas, lk. 6 cm diameternya, tidak
memecah ketika masak. Biji 1-4 butir. Polong akan masak dalam waktu 4-6 bulan,
berwarna kecoklatan ketika mengering. Bagian tengah polong gundul pada forma
indicus dan berbulu sikat pada forma echinatus (Pers.) Rojo. Ada pula bentuk-bentuk
antaranya.

Tak seperti anggota marga Pterocarpus yang lain, yang menyukai wilayah
ugahari, angsana menyukai lingkungan hutan hujan tropika. Secara alami, pohon ini
ditemukan mulai dari Burma bagian selatan, melewati Asia Tenggara dan Kepulauan
Nusantara hingga ke Pasifik barat, termasuk di Cina selatan, Kep. Ryukyu, dan Kep.
Solomon. Di Jawa, pada masa lalu banyak ditemukan tumbuh tersebar di hutan-hutan
hingga ketinggian 500m dpl., terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di
Kalimantan didapati tumbuh liar di rawa-rawa pantai, di sepanjang aliran sungai
pasang surut. Buahnya yang tua dan mengering, disebarkan oleh angin, aliran air dan
arus laut.

Angsana biasa ditanam orang untuk berbagai keperluan. Pohon ini mudah
diperbanyak dengan biji maupun dengan stek cabang dan rantingnya. Diperbanyak
melalui stek karena cepat tumbuhnya. Karena sifat ini, maka angsana banyak
ditanam. Kini angsana juga telah menyebar luas hingga ke Afrika, India, Srilanka,
Taiwan, Okinawa, Hawaii dan Amerika Tengah. Kuat dan awet, serta tahan cuaca,
kayu sonokembang (narra) dapat digunakan dalam konstruksi ringan maupun berat.
Dalam bentuk balok, kasau, papan dan panil kayu yang lain untuk rangka bangunan,
penutup dinding, tiang, pilar, jembatan, bantalan rel kereta api, kayu-kayu penyangga,
untuk konstruksi perairan bahari dan lain-lain.
Warna dan motif serat kayunya yang indah kemerah-merahan, menjadikan
kayu sonokembang sebagai kayu pilihan untuk pembuatan mebel, kabinet berkelas
tinggi, alat-alat musik, lantai parket, panil kayu dekoratif, gagang peralatan, serta
untuk dikupas sebagai venir dekoratif untuk melapisi kayu lapis dan meja berharga
mahal. Sifat kembang susutnya yang rendah setelah kering, menjadikan kayu ini
cocok untuk pembuatan alat-alat yang membutuhkan ketelitian. Batang yang
terserang penyakit sehingga berkenjal (monggol) menghasilkan kayu yang kuat dan
bermotif bagus, yang terkenal sebagai “amboyna”. Istilah ini berasal dari nama
tempat Ambon, yang pada masa silam banyak mengeluarkan kayu termaksud yang
diperdagangkan sebagai linggua, kayu buku atau kayu akar (Bld.: wortelhout).
Namun sebenarnya kayu berpenyakit ini, yang serupa dengan kayu gembol pada
pohon jati, terutama dihasilkan oleh wilayah timur Pulau Seram.

Getah yang keluar dari pepagan akan mengental dan berwarna merah
gelap/merah darah, yang disebut kino atau sangre de drago (darah naga), dan
memiliki daya obat (astringensia). Kino terdiri atas asam kinotanat dan zat warna
merah. Simplisia yang digunakan untuk obat seperti kayu, resin merah (kino), dan
daun muda. Angsana bersifat diuretik. Menurut penelitian pada tahun 90-an -dari
USU yang dikuti IPTEKnet- bahwasanya pengaruh infus daun angsana terhadap
penurunan kadar gula darah kelinci dibandingkan dengan tolbutamid. Dari hasil
penelitian tersebut, ternyata infus daun Angsana 5 ml, 10% dan 20°Io secara oral
menurunkan kadar gula darah kelinci. Pengaruh infus 10% tidak ada beda dengan 50
mg/kg bb tolbutamid, sedangkan penurunan oleh infus 20% lebih besar daripada
pengaruh oleh tolbutalmid.

Secara tradisional, pepagan pohon ini biasa direbus dan airnya digunakan
untuk menghentikan murus (diare) atau sebagai obat kumur untuk menyembuhkan
sariawan, dan juga untuk mengobati migren. Air rendaman daun-daunnya digunakan
untuk keramas agar rambut tumbuh lebih baik; sementara daun mudanya yang
dilayukan digunakan untuk mempercepat masaknya bisul. Kino dan ekstrak daun
angsana juga dilaporkan memiliki khasiat untuk mengendalikan tumor dan kanker.
Ekstrak getah batang angsana dapat pula dijadikan penyembuhan untuk keracunan.
Efek tumbuhan ini mirip dengan tumbuhan gambir, tapi jarang diketahuiOleh Etnis
Gayo, air remasan daun angsana yang dicampur dengan gula aren dapat
menyembuhkan demam (diminum 2-3 kali sehari).

Angsana juga sering ditanam sebagai pagar hidup dan pohon pelindung di
sepanjang tepi kebun wanatani. Perakarannya yang baik dan dapat mengikat nitrogen,
mampu membantu memperbaiki kesuburan tanah. Karena tajuknya yang rindang,
angsana kemudian juga populer sebagai tanaman peneduh dan penghias tepi jalan di
perkotaan, khususnya di Asia Tenggara.[2] Akan tetapi pohon-pohon angsana yang
ditanam di tepi jalan, kebanyakan berasal dari stek batang yang berakar dangkal,
sehingga mudah tumbang. Lagipula, pohon-pohon peneduh yang sering mengalami
pemangkasan akan menumbuhkan cabang-cabang baru (trubusan) yang rapuh dan
mudah patah; dengan demikian perlu berhati-hati bila menanamnya di daerah yang
banyak berangin.

Venir kayu sonokembang dengan pola khasnya

Kayu narra (Pterocarpus spp.) termasuk kayu keras hingga keras-sedang, berat-
sedang, liat dan lenting. Berat jenisnya sekitar 0.55-0.94 pada kadar air 15%. Kayu
terasnya tahan lama, termasuk dalam penggunaan yang berhubungan dengan tanah,
dan tahan terhadap serangan rayap; namun sukar dimasuki bahan pengawet.[2]

Kayu teras narra berwarna kekuning-kuningan coklat muda hingga kemerah-merahan


coklat, dengan coreng-coreng berwarna lebih gelap. Kayu gubal jelas terbedakan,
berwarna kuning jerami pucat hingga kelabu cerah. Tekstur kayu berkisar antara
halus-sedang hingga kasar-sedang, dengan urat kayu yang bertautan atau
bergelombang. Kayu ini berbau harum dan mengandung santalin, suatu komponen
kristalin merah yang menyusun bahan warna utama[2]

Pada umumnya kayu narra mudah dikerjakan dan tidak merusak gigi gergaji. Sifat
kayu ini sangat baik untuk dibubut dan dipahat; cukup baik untuk diampelas, dipelitur
dan direkat. Tergolong baik untuk dipaku dan disekrup, namun papan narra yang tipis
agak mudah pecah apabila dipaku.[2]

ada masa silam, kayu sonokembang merupakan salah satu kayu yang digemari
penduduk Indonesia, baik karena kualitas kayunya, keindahan motifnya, maupun
karena ukurannya yang besar.[3] Karena telah hampir punah di alam, kini Indonesia
praktis tidak lagi menghasilkan kayu ini dalam aras yang berarti secara ekonomi.
Nasib yang hampir serupa juga dialami oleh Filipina, Papua Nugini dan Thailand;
tiga negara produsen utama kayu sonokembang. Berjaya mengekspor kayu narra
hingga 3 juta kg pada tahun 1985, produksi kayu ini terus menurun di Filipina
sehingga pada dua tahun berikutnya tinggal 0,4 juta kg yang bisa diekspor. Di Papua
Nugini, karena mahal nilainya, ekspor kayu ini dilarang terkecuali setelah diolah.
Sementara Thailand pada tahun 1990 telah memerlukan tambahan pasokan kayu ini
dari Burma dan beberapa negara di Indocina, agar ekspor kayu narra gergajian yang
dilakukannya bisa tetap berlangsung. Eksploitasi yang tinggi, yang tidak diimbangi
oleh kemampuan regenerasi tegakan di alam, diduga menjadi salah satu penyebab
utama penyusutan populasi angsana di alam. Sebab yang lain ialah hilangnya habitat
alami angsana oleh karena perladangan. Bahkan pohon ini diduga telah habis di
habitat alaminya di Semenanjung Malaya.[2]

Mengingat tekanan yang tinggi atas populasinya di alam, sejak 1998 Badan
Konservasi Dunia IUCN telah memasukkan Pterocarpus indicus ke dalam kategori
Rentan (VU, vulnerable).[12]

Anda mungkin juga menyukai