Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani
2.1.1 Arecaceae (Palem-Paleman)
Palem merupakan salah satu kelompok tumbuhan yang telah lama di kenal
dalam kehidupan manusia sebagai tumbuhan serba guna. Tumbuhan ini memiliki
sifat khas dan unik serta keragaman yang cukup tinggi, baik dari corak maupun
bentuk (Heatubun, 1999 dalam Gusbager et al., 2003). Indonesia memiliki lebih
kurang 400 jenis palem (Purwanto, 1999 dalam Gusbager et al., 2003).
Penampakan yang cantik, indah, gagah dan anggun menyebabkan palem sebagai
tanaman favorit penghias ruangan lebih dari 100 tahun lalu (Erna, 1994 dalam
Gusbager et al., 2003). Palem tidak hanya digunakan sebagai penghias ruangan
tetapi juga disekitar halaman, baik halaman rumah atau perkantoran. Manfaat
palem, selain tanaman hias juga sebagai sumber makanan, bahan bangunan, bahan
kerajinan atau anyaman, dan beragam kebutuhan lain (Essig, 1977 dalam
Gusbager et al., 2003)
Palem adalah pohon atau tanaman memanjat, dengan batang yang kerap
kali tidak bercabang dan mempunyai bekas daun yang membentuk cincin, kadang
kadang dari batang yang terletak di atas tanah atau akar rimpang dapat keluar
beberapa batang (membentuk rumpun). Daun menyirip atau membentuk kipas
seperti pada palem kipas (Wisam, 2007).
Palem merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang banyak di jumpai
pada daerah sub tropik hingga daerah tropik. Umumnya palem tumbuh dan
menyebar pada hutan daratan rendah dan merupakan salah satu komponen penting
dalam menyusun vegetasi hutan. Nega et al.,(2003) Menyatakan secara umum
suku Arecaceae mempunyai ciri-ciri:
 Batangnya tumbuh tegak ke atas dan jarang bercabang
 Batangnya beruas-ruas dan tidak memiliki kambium sejati
 Akarnya tumbuh dari pangkal batang dan berbentuk akar serabut
 Berdaun majemuk

4
Universitas Sumatera Utara
 Tangkai daun memiliki pelepah daun yang membungkus batang.
 Bunga tersusun dalam karangan bunga (mayang)
 Buahnya ditutupi lapisan luar yang relatif tebal (biasa disebut sabut)
 Biji buah relatif cair pada saat masih muda dan semakin mengeras ketika
tua.
Banyak anggota famili ini yang dibudidayakan orang sebagai bahan
makanan, minyak, serat, perabotan, bangunan, tanaman hias dan lain-lain. Jenis
tumbuhan yang popular dari famili ini yaitu : korma (Phoenix dactylifera), kelapa
(Cocos nucifera) dan kelapa sawit (Elaeis guinensis).
Sub Famili Palem
Beberapa sub-famili Palem yang terdapat di Indonesia adalah :
A. Phoenicoideae
a) Arenga piñnata (Aren).
Palem ini berukuran sedang hingga besar, tumbuh tunggal dan tegak, dengan
tinggi pohon dapat mencapai 4-7 m pada saat dewasa, batang bentuk
bulat/silindris, memiliki diameter berkisar antara 30-35 cm dengan bentuk ruas
nyata serta panjang ruas 20-25 cm, warna batang muda hijau, tua coklat, daun
berwarna hijau, keadaan permukaan halus, Palem ini tumbuh pada kondisi tanah
yang kering dan sedikit berbatu, selain itu berdasarkan kesenangan terhadap
cehaya jenis ini suka pada tempat kurang naungan, karena jenis ini merupakan
salah satu jenis yang toleran terhadap cahaya. pemanfaatan jenis palem ini biasa di
ambil niranya oleh masyarakat, sedangkan tulang daunnya dijadikan sapu (Nega
et al.,2003).
Aren merupakan genus famili palem, iklim dan curah hujan yang
dibutuhkan aren bertempat tumbuh di pegunungan tepi, aren membutuhkan suhu
yang tinggi, paling sedikit suhu udara 250C, pada waktu malam kemampuan
hidup aren berubah manjadi lamban. Faktor lingkungan yang lebih menentukan
ialah curah hujan, aren lebih senang ditanam di daerah yang curah hujannya
merata sepanjang tahun, atau yang hujannya jatuh selama 7-10 bulan dalam
setahun (Wisam, 2007)

Universitas Sumatera Utara


2. Coryphoideae
a. Corypha elata Roxb (Gebang).
Bagi penduduk di pesisir Indonesia, gebang cukup berperan dalam
kehidupan sehari hari. Daunnya besar, bundar dan kaku sehingga sering di
gunakan untuk atap dan kerajinan tangan seperti tikar, keranjang dan kipas. Nira
yang disedap dari pembungaannya dapat dibuat gula atau alkohol. Umbut
batangnya dapat dimakan. Batangnya dapat menghasilkan sagu kira kira 90 kg
setiap pohon, dan sagu gebang berkhasiat sebagai obat untuk penyakit usus.
Daging buah yang muda dipakai untuk campuran dalam minuman. Bila buah
menua, dagingnya beracun. Menurut laporan yang lain ramuan akar gebang dapat
digunakan untuk obat sakit murus-murus, disamping itu, palem ini mempunyai
nilai sebagai tanaman hias kerena bentuk tajuknya yang bagus (LIPI, 1978).

b. Johannesteijmannia altifrons (Daun payung).


Palem ini mempunyai daun yang besar, lebar dan relatif kuat. Di pedalaman
Semenanjung Malaya dan Sarawak orang sering mempergunakannya sebagai
atap, karena penggunaanya maka jenis ini disebut daun payung. Daunnya yang
berbentuk tajuk yang cukup indah. Di Indonesia penyebaran tanaman ini sangat
terbatas sekali. Antara tahun 1880-1940 tumbuhan ini dijumpai di daerah Aceh
dan pantai timur Sumatera. Di semenanjung Malaya dan Sarawak, Kalimantan
Utara tumbuhan ini paling sering dijumpai. Biasanya palem ini tumbuh di hutan-
hutan yang lebat dan merupakan tumbuhan pada skala hutan bagian bawah. Jarang
dijumpai di tempat yang terbuka. Menyukai daerah dengan ketinggian 25-1200 m
dpl ( LIPI, 1978).
Palem ini tumbuhnya tunggal. Tingginya mencapai 6 m. Daunnya lebar
berbentuk belah ketupat. Lebar daun tampak bervariasi menurut keadaan geografi
daerahnya. Perbungaannya berbentuk tandan yang bagian pangkalnya ditutupi
oleh beberapa seludang bunga. Bunganya berwarna putih. Buahnya berwarna
coklat yang permukaannya kasar, ditutupi oleh benjolan–benjolan kulit semacam
gabus yang berbentuk kerucut.

Universitas Sumatera Utara


c. Licuala grandis (Palas payung).
Tumbuhan yang berasal dari Papua Nugini ini daunnya bundar, berukuran
besar, dan tepinya bergelombang Di Indonesia sudah digunakan sebagai tanaman
hias. Disenangi karena bentuk daunnya dan tubuhnya yang langsing, secara alam
jenis ini menyukai daerah daratan rendah. Tumbuhan tidak berumpun. Batangnya
dapat mencapai tinggi 2 m. Seperti batang palem pada umumnya, palas berbatang
lurus dan keras. Bagian tepi daunnya bergelombang, bergerigi halus, dan tangkai
daunnya berduri. Pembungaan dan pembuahannya tumbuh di antara ketiak daun.
Buah yang masak berwarna merah. Buah buah tersebut mempunyai kulit yang
tipis dan berwarna merah. Perbanyakan terjadi melalui bijinya, karenanya
tumbuhnya tidak merumpun. Pertumbuhannya relatif lambat, oleh karena itu palas
payung ini baik sekali untuk tanaman hias.

3. Borassoideae
a. Borrassus flabellifer (Lontar,).
Palem ini merupakan pohon yang tumbuhnya tunggal dan berbatang lurus yang
dapat mencapai tinggi sampai 30 m. Batangnya seperti batang pohon kelapa atau
bahkan lebih besar lagi. Permukaan batangnya lebih halus dan berwarna agak
kehitam hitaman. Daunnya berbentuk seperti kipas yang bundar. Tepinya banyak
mempunyai lekukan yang lancip. Daun daun tuannya tidak segera luruh tetapi
tetap melekat di ujung batang, sehingga tajuk pohonnya menjadi bundar.
Perbungaannya berbentuk tandan. Perbungaan jantan dan betinanya masing
masing terletak pada pohon yang berlainan. Buahnya besar, bulat, di dalamnya
banyak bersabut, berair dan berbiji tiga.
Asal tumbuhan ini masih belum diketahui dengan pasti, mungkin
merupakan tumbuhan asli Indonesia. Diduga rontal yang ada di Afrika tropik,
India, Birma, Siam, Malaysia sampai ke Nusa Tenggara Timur masih merupakan
jenis yang sama. Tumbuhan ini menyukai tempat yang terbuka, kering dan
berudara pantai. Tumbuh baik pada ketinggian 0-500 m dpl.

Universitas Sumatera Utara


a. Borassodendron borneensis Dransfield (Bindang, Budang)
Tumbuhan ini dijumpai di kawasan Kutai dan Kalimantan Timur. Di
Sarawak, Malaysia umbut bindang diperjual balikan sebagai bahan sayur mayur,
permukaan umbutnya agak kasar, wangi, manis, dan enak rasanya. Bindang
dijumpai tumbuh secara alami di Kutei, dan Sarawak. Tumbuh di hutan-hutan
karangas dan daratan rendah diantara jenis-jenis lain yang merajai tepi hutan
tersebut. Tubuhnya berupa pohon yang tumbuh tunggal, berbatang lurus. Dapat
mencapai tinggi 20 m. Helaian daunnya bundar bercelah-celah dalam.
Pembungaan jantan dan betinanya masing-masing terletak pada pohon yang
berlainan, menggantung dan berupa tandan yang bercabang banyak. Buahnya
mirip buah lontar, bersabut, mempunyai tempurung dan daging buah.

4. Lepidocaryoideae
a. Calamus caesius (Rotan sega, Rotan sega putih).
Tumbuhan ini tergolong jenis rotan yang berkualitas baik, dan merupakan
tumbuhan asli kawasan Semenanjung Malaysia, Sumatera dan Kalimantan.
Umumnya tumbuh di hutan-hutan maranti di daratan rendah sampai pada
ketinggian 200 m dpl. Tumbuhnya berumpun dan memanjat yang dapat mencapai
tinggi sampai 30 meter. Daunnya berbentuk sirip. Anak anak daunnya berbentuk
lanset memanjang. Tangkai daunnya berduri. Duri-durinya tidak rapat.
Pembungaan berbentuk malai. Pembungaan dapat mencapai 3 meter. Buahnya
berbentuk lonjong, panjang 1,5 cm, bersisik. Batangnya dapat dipakai untuk bahan
pembuat meja, kursi, tongkat, alat peraga anyam anyaman dan lainnya. Untuk
keperluan tersebut dapat dipakai batang yang utuh ataupun belahan-belahan
batang yang telah diraut.

b. Daemonorops melanochaetes (Penjalin manis).


Seperti halnya rotan yang lain, rotan dari jenis ini baik juga untuk bahan
baku pembuatan meja, kursi dan kerajinan lainnya. Dapat tumbuh di daratan
rendah sampai daratan tinggi pada ketinggian 1500 m dpl. Tumbuhnya di hutan
hutan tropik yang lembab di Sumatera dan Jawa. Rotan ini dikenal ada 5 varietas

Universitas Sumatera Utara


yang bentuknya hampir sama. Tumbuhnya tunggal atau berumpun, tingginya
sampai 15 meter. Garis tengah batangnya sampai 2,5 cm. Daunnya berbentuk
sirip, panjangnya sampai 4 meter. Jumlah anak anak daunnya mencapai 40
pasang. Bagian ujung tulang daunnya memanjang sampai 2,5 cm. Daunnya
berbentuk sirip. Panjangnya sampai 4 meter. Kegunaan selain untuk bahan baku
kerajinan tangan, ternyata umbut rotan ini dimakan di Keratonan yokyakarta.
Daun-daun yang tua dapat digunakan untuk atap pada gubuk-gubuk di kebun.

c. Salacca edulis (Salak)


Tumbuhan ini banyak dibudidayakan di Indonesia. Jenis salak tumbuh baik
di daratan rendah sampai pada ketinggian 700 m dpl. Dengan udara yang agak
panas. Tingginya mencapai 4,5-7 m. Tumbuhnya berumpun. Batang umumnya
hampir tidak kelihatan karena pohon tertutup oleh daun yang tersusun rapat
menghalangi batang. Kadang kadang-batangnya melata dan dapat bertunas.
Pelepah dan tangkai daunnya berduri panjang. Perbungaan terdiri dari jantan dan
betina yang masing-masing terletak pada pohon yang berlainan. Buahnya tersusun
dalam tandan, terletak di antara pelepah daun. Buah bulat sampai seperti gasing.

5. Cocoideae
a. Cocos nucifera (Kelapa).
Pohonnya tegak, kadang kadang melengkung, berbatang bulat. Tinggi antara
5-30 meter. Daunnya bersirip genap. Bunganya berwarna kekuning-kuningan atau
kehijau-hijauan yang tersusun dalam bentuk malai. Berbunga terus-menerus
sepanjang tahun. Di dalam tandan, bunga yang betina terletak di pangkal
sedangkan yang jantannya di ujung tandan. Buahnya bulat, berserabut, berbatok
dan berdaging, buah berukuran besar. Kelapa banyak ditemukan tumbuh di daerah
pantai, pada tanah yang mengandung garam. Tumbuh baik di bawah ketinggian
300 m dpl dengan curah hujan rata rata antara 1270 -2550 mm / tahun.

Universitas Sumatera Utara


b. Elaeis guineensis (Kelapa sawit)
Tumbuhan ini berasal dari Afrika Tropika. Di Indonesia yang pertama kali
menanam adalah di Kebun Raya Bogor, kemudian bijinya disebarkan ke Sumatera
Timur hingga sekarang penyebarannya sudah sangat luas. Tanaman ini menyukai
iklim tropik dengan suhu 20–210 C dan tumbuh baik pada suhu 24-270 C dengan
kelembaban yang tinggi, yang bercurah hujan ± 200 cm. Tanah yang cocok
tumbuhnya ialah jenis tanah yang subur.
6. Arecoideae
a. Areca catechu (Pinang sirih)
Tumbuhan ini umum dijumpai di kawasan Asia Tenggara. Diduga berasal
dari filipina. Sekarang tumbuhan ini sudah tersebar luas dari pantai timur Afrika
tropik sampai ke pulauan Fiji. Jenis ini dapat tumbuh pada ketinggian 750 m dpl.
Pinang sirih berbatang lurus dan agak licin. Tinggi rata rata 10 meter. Berdaun
sirip agak melengkung. Pelepah daunnya berupa seludang. Anak anak daunnya
lebar. Bunga bunganya tersusun dalam suatu bulir. Bunga bunga betina terletak di
bagian pangkal, sedangkan jantannya di bagian ujung, Selain untuk menyirih
endosperma buah tanaman ini di pakai untuk bahan pernis. Umbut batangnya
dapat dipergunakan untuk campuran ramuan obat obatan.

b. Pinanga densiflora (Pinang Tutul)


Palem ini disebut pinang tutul karena anak-anak daunnya sering
mempunyai bercak-bercak hijau tua seperti tutul. Pinang tutul tumbuh secara
alami di Sumatera. Umum dijumpai di Aceh dan Bengkulu. Tumbuhan ini
menyukai tempat yang agak basah. Biasanya menyenangi daerah dekat aliran
sungai, pada ketinggian antara 300–800 m dpl. Tumbuhnya berumpun. Tingginya
sampai 4 m. Batangnya berukuran kecil, secara menyeluruh tidak jelas tampak.
Berdaun sirip yang pelepah daunnya berbentuk seludang. Tulang daun yang
mudanya berwarna merah. Besar anak-anak daunnya agak bervariasi. Pada anak
daun yang muda terdapat bercak-bercak hijau tua. Bercak-bercak tersebut
menghilang pada daun yang tua. Perbungaan berbentuk malai, menggantung.

Universitas Sumatera Utara


Tangkai tandannya berwarna kuning. Buahnya berwarna merah jambu. Pada umur
yang relatif muda, palem ini telah dapat menghasilkan buah.

7. Nypoideae
a. Nypa fruticans (Nipah).
Tumbuhan ini sudah tak asing lagi bagi penduduk pesisir. Daunnya umum
digunakan untuk atap, atau untuk alat kerajinan tangan seperti tikar, keranjang,
topi, payung dan lain-lain. Di samping buahnya dapat dimakan juga dapat
menghasilkan nira yang kadang-kadang diolah menjadi gula. Nipa tersebar di
sepanjang daerah tropik, mulai dari Sri Lanka sampai kepulauan Solomon dan
Australia (LIPI, 1978).
Tumbuhan ini tumbuh pada kondisi daerah berair, berdasarkan kesenangan
terhadap cahaya, jenis ini suka pada tempat yang terbuka atau bebas naungan.
Palem ini berperawakan sedang, plenantic, tinggi 5-6m, berumpun memiliki
batang semu, daun berwarna hijau, jumlah daun dalam mahkota 6-8, panjang daun
400 cm, lebar daun 150-200 cm, ujung daun bifit, bentuk daun pinate, panjang
anak daun 30-100 cm, lebar anak daun 3-8 cm,bentuk anak daun elongate, bentuk
ujung anak daun acuminate, jumlah anak daun 40 pasang, tata letak anak daun
berhadapan, panjang petiole 35-45 cm, pelepah berwarna coklat kehitaman,
panjang pembungaan 120-125 cm, jumlah percabangan bunga 4-5, tata letak
keluar bunga interfoliar, warna tangkai bunga coklat tua, ujung meruncing bentuk
seperti corong, warna coklat. Bunga berbulir, berumah satu, warna orange. Buah
bentuk lonjong, warna coklat, diameter 5-10 cm, panjang 10-15 cm, epicarp tebal
berserabut, endocarp tipis keras, endosperm homogenous, berembrio basal (Nega
et al., 2003).

2.1.2 Tempat Tumbuh Arecaceae (Palmae)


Menurut Witono et al.,(2000) palem dapat tumbuh dengan baik pada tipe
tanah yang berpasir, tanah gambut, tanah kapur dan tanah berbatu. Palem juga
dapat tumbuh pada berbagai kemiringan dari tanah datar, tanah berbukit dan tanah
berlereng terjal. Palem membutuhkan suhu rata-rata tahunan 170–250 C, curah

Universitas Sumatera Utara


hujan 2000 mm–2500 mm pertahun dengan rata-rata hujan turun 120- 140 hari
dalam setahun dan kelembapan relative 80%. Untuk pertumbuhan palem juga
memerlukan cahaya, dan cahaya yang sampai ke dasar hutan berbeda-beda
sehingga menjadi ciri tersendiri untuk menentukan pertumbuhan suatu spesies
palem. Palem bisa juga dilestarikan diluar kawasan hutan (ex situ) dengan cara
mempelajari aspek ekologisnya sehingga dapat dibudidayakan diluar habitat
(Desianto et al.,2002).

2.2. Pemanfaatan Arecaceae Secara Umum


Sebagian besar masyarakat di Indonesia mengenal manfaat Arecaceae.
Macam dan cara pemanfaatan famili ini sangat beragam tergantung dari kelompok
masyarakat atau etnik tertentu, dimana masing-masing kelompok masyarakat atau
etnik tersebut memiliki sistem pengelolaan dan pemanfaatan tanaman Arecaceae.
Secara umum tanaman yang termasuk dalam Arecaceae mempunyai kegunaan
sebagai berikut:

Manfaat tumbuhan Arecaceae (Palmae)


Beberapa jenis palem termasuk jenis yang serbaguna, dari segi kegunaan
jenis-jenis palem dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1) Sumber karbohidrat, baik dalam bentuk pati maupun gula.
2) Sumber minyak, sudah sejak lama masyarakat Indonesia memanfaatkan
kelapauntuk minyak goreng.
3) Sumber bahanan anyaman, rotan merupakan bahan anyaman berkualitas
tinggi, beberapa jenis palem juga menghasilkan daun yang dapat
dianyam.
4) Sumber bahan bangunan, ada jenis-jenis palem yang mempunyai batang
yang kuat untuk mengganti kayu di balik batang-batang kelapa
menjadi tiang-tiang atau bahan ukiran perkakas rumah tangga.
5) Sumber bahan penyegar, masih ada masyarakat di Indonesia yang masih
menginang (menyirih).

Universitas Sumatera Utara


6) Sumber tanaman hias, banyak jenis palem yang sudah dimanfaatkan untuk
tanaman hias di jalan maupun di pekarangan rumah.
7) Sebagai bahan campuran ramuan obat.
8) Sebagai bahan sesaji dalam upacara adat, baik upacara perkawinan maupun
upacara ritual (LIPI, 1978).

2.3 Sejarah Asal Usul Masyarakat Aceh


Aceh adalah propinsi yang terletak di bagian paling ujung Barat pulau Sumatera
dari wilayah Republik Indonesia. Propinsi yang dijuluki dengan berbagai sebutan
nama ini dalam perjalanan sejarahnya pernah mengalami puncak kemajuan
peradabannya terutama pada ahkhir abat ke 16 hingga awal abat ke 17 sebagai
kerajaan islam terbesar kelima di dunia, setelah kerajaan Islam Usmaniah di
Turki, kerajaan islam Maroko di Afrika Utara, kerajaan Agra di Anak Benua
India, dan kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara (Syarif et al., 2012).
Sebagai daerah yang pernah mengalami kejayaan peradabannya, tentu saja
Aceh tidak hanya pernah menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan pada
masa itu, melainkan Aceh juga memiliki aturan pemerintahan yang baik dengan
sistim nilai nilai adat masyarakat yang teratur. Akan tetapi, seiring perjalanan
jaman, perjalanan sejarah Aceh kemudian juga mengalami pasang surut akibat
berbagai perubahan yang tak dapat dihindari, dan akibat perubahan itu pula, Aceh
pun kemudian menyandang beberapa nama dalam penyesuaian diri dengan
perubahan sejarah itu.
Kalau di masa kesultanan, Aceh dikenal dengan nama kerajaan Aceh
Darussalam, setelah merdeka orang kadang-kadang menyebut nama Aceh dengan
daerah “Serambi Mekkah”, “Aceh Daerah Modal”, atau “Aceh Bumi Tanah
Rencong”, “Daerah Istimewa Aceh”, Nanggroe Aceh Darussalam”, dan Aceh
sebagai “ Daerah Otonomi Khusus”, hingga sebutan Propinsi Aceh sekarang ini.
Syarif.,et al(2012). Akan tetapi mulai abat ke-19 ada beberapa pengarang
diantaranya Snouck Hurgronje yang kembali pada tulisan yang lebih tepat ″Atjeh″
dalam penelitiannya diberinya judul De Atjebers, Cara menulis inilah yang
dipakai dalam teks teks resmi dan tulisan kontemporer Republik Indonesia dan

Universitas Sumatera Utara


juga oleh pengarang pengarang karya karya terbaru mengenai Aceh, Snouck
Hurgronjo juga pernah menjelaskan bahwa biarpun ada berbagai tefsiran yang
digemari orang tetapi tak satupun yang tepat , Oleh karena itu Asia Tenggara
banyak toponim mempunyai etimologi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, maka
tak bakal sia sialah kalau kita sependapat seperti Marsden bahwa nama tempat ini
pun berasal dari nama tumbuhan, kendati kepastian mengenai hal itupun tidak ada
(Lombard, 2008).
Propinsi Aceh sebagaimana teleh digambarkan di atas tidak hanya kaya
dengan nama besar julukannya, tetapi juga dikenal sebagai daerah yang Serat
dengan liku-liku sejarahnya yang panjang dalam berbagai warna dan bentuk
kesejarahan dari masa ke masa. Semua liku liku sejarah itu penuh dengan
berbagai peristiwa berdarah (peperangan), mulai dengan perang Aceh melawan
Belanda tahun 1873 sampai dengan mendaratnya Jepang tahun 1942.
Setelah kekerasan dan kekejaman jepang menjajah Aceh yang dimulai
pendaratannya Maret 1942, akhirnya jepang menyerah kalah kepada sekutu dan
akhirnya Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tahun 1945. Namun Aceh
setelah merdeka terus bergolak, peristiwa berdarah tak sunyi pula dengan
munculnya peristiwa perang cumbok, akibat perseturuan antara ulama dan kaum
Uleebalang di Aceh. Kemudian tahun 1953-1962 muncul pula peristiwa DI/TII
dibawah pimpinan Tgk. Muhammad Daud Beureueuh. Usai DI/TII meletus pula
peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965, yang juga tidak sedikit memakan korban jiwa
dan harta benda masyarakat Aceh, selang 10 tahun setelah peristiwa PKI muncul
lagi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dibawah pimpinan Tgk. Muhammad Hasan
Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 dan gejolak GAM berikutnya berkorban lagi
pada tahun 1989-2005.
Aceh rupanya tidak cukup dengan bala dan bencana krisis dentuman
senjata (perang) ALLAH SWT memberikan cobaan lagi dengan bencana yang
maha dahsyat, yaitu gempa bumi berkekuatan 8,7 Skala Richter, yang disusul
gelombang tsunami berkecepatan 600 km/jam, pada 26 Desember 2004. Pada
tahun 2005, setelah masa emergensi pascatsunami Aceh dibangun kembali
melalui program Rehabilitasi dan Rekontruksi dibawah koordinasi dan

Universitas Sumatera Utara


manajemen Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh dan Nias
Sumatera Utara.
Kondisi Aceh pascatsunami menghadapi fenomena baru, dimana
perkembangan kehidupan budaya dan adat istiadat masyarakatnya mulai terasa
pergeserannya akibat keterbukaan komunikasi multi media, ilmu pengetahuan dan
teknologi dan pergaulan antar bangsa dan etnis, sehingga identitas harkat dan
martabat ke- Aceh-annya mulai memudar, dan bahkan ada diantara nilai nilai
luhur dari tatanan kehidupan masyarakat Aceh kian terabaikan.Hal ini erat
kaitannya dengan kedatangan berbagai suku bangsa di dunia yang tinggal dan
bergaul dalam masyarakat Aceh, dengan program membantu Rehabilitasi dan
Rekontruksi Aceh (Syarif et al., 2012).

2. 4 Adat Budaya Masyarakat Aceh


Sejarah mencatat, bahwa masyarakat Aceh pernah berperan sebagai
bangsa di dunia, dibawah kepemimpinan sultan-sultan yang turun-temurun sejak
sultan Ali Mughayat Syah tahun (1514-1528) sampai berakhir dengan
tertangkapnya Sultan Muhammad Syah sebagai Sultan Aceh yang terakhir (1874-
1903). Di masa pemerintahan sultan–sultan itu, Aceh telah membangun diri
berasaskan pada suatu tatanan adat budaya (Adat ngon hukom agama lagei zat
ngon sifeut), sehingga dapat mengantarkan kebesarannya berperan di dunia
internasional. Kala itu Aceh juga menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai
negara-negara yang berpengaruh di dunia, seperti dengan Turki Usmaniyah,
Inggris, Perancis dan lain lain. Bahkan Aceh mampu membela dan membantu
kerajaan-kerajaan di Semenanjung Melayu dalam melawan dan mengusir pasukan
portugis yang hendak menjajah negerinya.
Lebih dahsyat lagi adalah kemampuan Aceh dalam melawan pasukan
Belanda yang hendak menjajah Aceh, sehingga terjadi peperangan panjang selama
puluhan tahun (1873-1904). Bahkan kejatuhan kesultanan, Aceh terus menerus
memberikan perlawanan dan tak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada
penjajah Belanda. Kekuatan dan semangat orang Aceh dalam membangun
persatuan dan kesatuan melawan penjajah adalah karena berkat daya tahan

Universitas Sumatera Utara


budayanya yang luar biasa, yaitu “Adat Aceh”Secara teori ; adat dapat dipahami
sebagai suatu realitas proses interaksi, antar individu dan kelompok manusia yang
melahirkan format-format nilai budaya berwujut norma, moral, hukum, seni dan
tatanan aturan–aturan yang satu dengan lainnya berkorelasi menjadi suatu sistem.
Sistem inilah yang mengikat masyarakat Aceh dalam kelompok budaya masing-
masing sesuai dengan kawasan lingkungannya.
Dari aspek antropologis, adat itu menjadi salah satu elemen perekat
kesatuan bangsa. Di Indonesia ada adat Aceh, Batak, Melayu, Minangkabau,
Jawa, Bali, Bugis, dan lain-lain. Dalam kontek Aceh juga ada adat dan budaya
etnis masing-masing. Yaitu Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh
Barat, Tamiang, Gayo, Alas, Kluet, Anek Jamee, Singkil, Simeulu dan lain-lain.
Pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, adat pada umumnya lahir dari
dukungan faktor faktor genealogis dan teritorial kawasan masing-masing. Dalam
praktek kehidupan sehari-hari, adat dipandang sebagai kebiasaan yang dilakukan
secara berulang-ulang dan berkelanjutan dalam kehidupan masyarakat. Demikian
juga fungsi adat Aceh yang pada dasarnya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
1. Adat sebagai adat istiadat adalah kebiasan-kebiasaan prilaku yang hidup dan
berkembang dalam membangun prilaku masyarakat yang tertip dan teratur,
hirarki, seremonial, ritual untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan
dalam masyarakat.
2. Adat sebagai norma adalah kaedah hukum, untuk memelihara dan membangun
keseimbangan (equilibrium) kehidupan masyarakat dengan ketentuan,
barangsiapa melanggarnya akan mendapatkan sanksi dari masyarakat.
Dalam upaya meningkatkan pembinaan dan pelestarian adat, pemerintah
propinsi Aceh telah membentuk lembaga khusus yang disebut dengan Lembaga
Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA). Pembentukan LAKA merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari proses sejarah sosial masyarakat Aceh itu
sendiri. Khususnya dalam kaitan dengan konflik politik yang terjadi di Aceh pasca
terbentuknya negara Indonesia pada tahun 1945, pada tanggal 9 Juli
1986.Kemudian, pada tahun 2003 nama LAKA mengalami perubahan menjadi
Majelis Adat Aceh (MAA). MAAini lahir berdasarkan keputusan Kongres Adat

Universitas Sumatera Utara


Aceh yang diselenggarakan oleh LAKA pada tanggal 24-28 September 2002 di
Banda Aceh, dan ditetapkanlah Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, dimana salah satunya adalah Keistimewaan
bidang penyelenggaraan Adat dan Adat Istiadat masyarakat Aceh.
Bagi masyarakat Aceh, pembangunan budaya dan adat yang disertai
dengan syariat, dari sudut antropologis merupakan suatu kemestian, karena nilai-
nilai adat dan syariat menjadi perekat kekuatan kesatuan dan persatuan ke-Aceh-
an dalam membangun kesejahteraan hidupnya.‟Hukom (Agama) ngon adat lagei
zat ngon sifeut, hanjeut meu-reut-reut ki nyang hawa”.Maksudnya, hukum
dengan adat laksana zat dengan sifat, tidak boleh dicerai berai sesuka hatinya.
Lembaga lembaga adat itu antara lain berguna sebagai:
1. Institusi /organisasi masyarakat menjadi suatu sarana /potensi yang sangat
akurat untuk menggerakkan dalam pembangunan sebagai perekat
mewujutkan kesatuan /kerjasama, kedamaian, kerukunan, ketentraman, dan
kenyamanan bagi pencapaian kesejahtaraan hidup (dunia dan akhirat).
2. Wahana /lembaga yang dapat dimanfaatkan /kegunaan, paling tidak ada 6
dimensi, yaitu:
• Dimensi ritualitas/agamis
• Dimensi ekonomis/kebutuhan hidup
• Dimensi pelestarian lingkungan hidup
• Dimensi hukum, norma atau kaidah
• Demensi/ harkat/martabat,
• Dimensi kompetitif/keunggulan (Syarif et al., 2012).

2. 5 Struktur Kepemimpinan Masyarakat


Masyarakat di Propinsi Nanggro Aceh Darussalam terdiri dari delapan sub
etnis (suku bangsa). Kondisi sosial budaya masyarakat dapat dilihat dari sistem
kekerabatan kelompok keluarga masyarakat, dalam hal ini yang paling dominan
adalah masyarakat suku bangsa Aceh, Gayo, dan Aneuk Jamee. Masyarakat
umumnya menganut sistim keluarga batih. Rumah tangga terdiri atas keluarga
kecil yaitu ayah, ibu dan anak yang belum kawin. Ayah dan ibu dalam keluarga

Universitas Sumatera Utara


batih mempunyai peranan penting untuk mengasuh keluarga sampai dewasa.
Penanaman ini sudah menjadi tanggung jawab ayah dan ibu meliputi segala
kebutuhan keluarga akan sandang dan pangan, kesehatan dan pendidikan.
Masyarakat Aceh menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral
yang memperhitungkan hubungan kekerabatan, baik melalui garis ayah maupun
garis ibu. Kerabat-kerabat dari ayah disebut wali atau Biek. Apabila ayah
meninggal dunia yang bertanggung jawap atas anaknya adalah wali, dan garis
keturunan dari pihak ibu disebut sarong atau koy.
Dalam suatu masyarakat terdapar golongan paling atas yang disebut dengan
lapisan elit dan lapisan paling bawah disebut dengan lapisan biasa atau orang
kebanyakan. Masyarakat Aceh mengenal adanya lapisan sosial pada masa lalu.
Tradisi sistem kepemimpinan pada masa lalu terwujut dalam satu struktur mulai
dari gampong (desa), mukim (kumpulan desa desa), daerah Uleebalang (distrik),
daerah sagoe (kumpulan beberapa mukim), sampai kepada sultan. Dalam
kepemimpinan tingkat gampong dikenal tiga unsur utama yang menjalankan
pemerintahan, yakni :
» pertama keuchik yaitu kepala gampong . Jabatan ini bersifat turun temurun
dan diresmikan oleh uleebalang. Keuchik berkewajiban untuk menjaga
ketertiban, keamanan dan adat istiadat dalam desanya, berusaha untuk
memakmurkan kampong, memberi keadilan dalam perselisihan
perselisihan.
» Unsur kedua Teungku meunasah atau imum meunasah, merupakan
pimpinan dalam keagamaan, mulai dari mengajar mengaji Alquran kepada
anak-anak dan menanamkan dasar-dasar ketauhidan, memimpin berbagai
upacara keagamaan pada hari-hari besar Islam, hingga membacakan doa
dalam kenduri kenduri.
» Unsur ketiga adalah tuha peut yaitu dewan orang tua yang banyak
pengalaman dan paham tentang soal adat dan agama. Tuha peut atau
ureung Tuha berperan memberi nasehat kepada Keuchik dan Imeum
Meunasah.

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan pendekatan historis, lapisan masyarakat Aceh yang paling
menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan, yaitu golongan umara dan
golongan ulama. Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat
pelaksana pemerintah dalam satu unit wilayah kekuasaan. Contohnya seperti
jabatan :
1. Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit
pemerintahan kerajaan.
2. Panglima Sagoe (Panglima Sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi.
3. Uleebalang sebagai pimpinan unit pemerintah Nanggroe (negeri).
4. Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan Mukim.
5. Keuchiek atau Geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan
Gampong (kampung). Struktur kepemimpinan Masyarakat Aceh tersebut
dapat dilihat pada Gambar berikut ini:

SULTAN

Ulama Umara

Qadhi Uleebalang Habib Panglima Sagoe

Uleebalang
Imum Mukim Sayed Syarifah

Teungku-Teungku Mukim

Teungku Meunasah Geuchiek

Gambar 2.1 Struktur Kepemimpinan Masyarakat Aceh

Universitas Sumatera Utara


Keseluruhan pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada
masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian, atau
kelompok elite sekuler.Sementara golongan ulama yang menjadi pimpinan yang
mengurusi masalah-masalah keagamaan (hukom atau syariat Islam) dikenal
sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius, Oleh karena
para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka
haruslah seorang yang berilmu, yang dalam istilah Aceh disebutUreung Nyang
Malem,dengan demikian tentunya sesuai dengan predikat/sebutan ulama itu
sendiri yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan
atau kelompok Ulama ini dapat disebutkan, yaitu :
1. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang
dipandang mengerti mengenai hukum agama pada tingkat kerajaan dan juga
pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang.
2. Imum Mukim (Imam Mukim), yaitu yang mengurusi masalah keagamaan
pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam
sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim
yang bersangkutan.
3. Teungku-teungku, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan
seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi mereka yang
sudah cukup tinggi tingkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chiek.
4. Teungku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan
dengan keagamaan pada satu unit pemerintah Gampong (kampung).
Selain pembagian atas kedua kelompok tersebut, yang paling menonjol
dalam masyarakat Aceh tempo doeloe, terdapat lapisan-lapisan lain seperti
kelompok Sayed yang bergelar habib untuk laki-laki dan Syarifah untuk
perempuan. Kelompok ini dikatakan berasal dari keturunan suku Quresy.Jadi
kelompok Sayed ini juga merupakan lapisan tersendiri dalam masyarakat Aceh
Sudirman et al.,(2008).

Universitas Sumatera Utara


2.6 Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat Aceh di Kecamatan Gandapura pada
umumnya adalah petani dan hanya sebahagian kecil saja yang memiliki mata
pencaharian sebagai Buruh Swasta, PNS, Industri Rumah Tangga, dan Pedagang,
hal ini disebabkan karena kegiatan berladang dan mencari ikan merupakan
kegiatan utama untuk memenuhi kebutuhan mereka dan sudah menjadi budaya
yang sulit ditinggalkan. Sesuai dengan keadaan ekosistemnya maka di Kecamatan
Gandapura komoditas yang cocok adalah tumbuhan palem-paleman (Arecaceae)
dan ikan, karena berada didaerah pinggir pantai yang bernilai ekonomis tinggi dan
sebagai sumber pendapatan utama.

2.7 Pemanfaatan Tumbuhan dalam Masyarakat Aceh


Pemanfaatan tumbahan pada masyarakat Aceh sangatlah banyak seperti
diantaranya dalam setiap upacara adat, baik upacara perkawinan, dan sunatan
rasul dan lain-lain yang bersangkutan dalam urusan adat. Masyarakat Aceh
menggunakan jenis tumbuhan dari Arecaceae seperti daun kelapa muda
digunakan dalam pembuatan janur yang berfungsi untuk memberi tanda tempat
pesta yang diletakkan dipinggir jalan, kemudian digunakan untuk pembuatan
ketupat pada hari lebaran, juga kelapa yang sudah tumbuh sebagai bawaan
pengantin pria yang diserahkan untuk pengantin wanita, juga pada acara
empatpuluh empat hari bayi turun tanah buah kelapa dibelah diatas bayi dan
dimandikan dengan air kelapa. Seperti juga pinang sirih untuk menyirih, pada
mayarakat Aceh identik dengan tapak sirih atau cerana, pada jaman dahulu setiap
rumah orang Aceh pasti memiliki tapak sirih karena mengunyah daun sirih
menggunakan pinang suatu kebiasaan yang sudah mentradisi sejak dahulu, pinang
sirih juga digunakan dalam upacara adat dan untuk menyambut tamu.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai