Anda di halaman 1dari 6

Petai Cina

(Leucaena leucocephala, Lmk. de wit)

Sinonim :
Leucaena glauca, Benth.

Familia :
Mimesaceae

Uraian :
Petai cina (Leucaena leucocephala) adalah tumbuhan yang memiliki batang pohon keras dan
berukuran tidak besar. Daunnya majemuk terurai dalam tangkai berbilah ganda. Bunganya yang
berjambul warna putih sering disebut cengkaruk. Buahnya mirip dengan buah petai (Parkia
speciosa) tetapi ukurannya jauh lebih kecil dan berpenampang lebih tipis. Buah petai cina
termasuk buah polong, berisi biji-bibji kecil yang jumlahnya cukup banyak. Petai cina oleh para
petani di pedesaan sering ditanam sebagai tanaman pagar, pupuk hijau dan segalanya. Petai cina
cocok hidup di dataran rendah sampai ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut. Petai cina
di Indonesia hampir musnah setelah terserang hama wereng. Pengembangbiakannya selain
dengan penyebaran biji yang sudah tua juga dapat dilakukan dengan cara stek batang.

Nama Lokal :
Petai cina (Indonesia), Kemlandingan, Lamtoro (Jawa); Palanding, Peuteuy selong (Sunda),
Kalandingan (Madura);

Komposisi :
KANDUNGAN KIMIA : Biji dari buah polong petai cina (Leucaena leucocephala) yang sudah
tua setiap 100 gram mempunyai nilai kandungan kimia berupa : - Kalori 148 kalori, -
Protein 10,6 gram, - Lemak 0,5 gram, - Hidrat arang 26,2 gram, - Kalsium 155 miligram, -
fosfor 59 gram, - Zat besi 2,2 gram, - Vitamin A 416 SI, - Vitamin B1 0,23 miligram -
Vitamin C 20 miligram.

Lamtoro

Lamtoro, petai cina, atau petai selong adalah sejenis perdu dari suku Fabaceae (=Leguminosae,
polong-polongan), yang kerap digunakan dalam penghijauan lahan atau pencegahan erosi.
Berasal dari Amerika tropis, tumbuhan ini sudah ratusan tahun dimasukkan ke Jawa untuk
kepentingan pertanian dan kehutanan[1], dan kemudian menyebar pula ke pulau-pulau yang lain
di Indonesia. Oleh sebab itu agaknya, maka tanaman ini di Malaysia dinamai petai jawa.

Tumbuhan ini dikenal pula dengan aneka sebutan yang lain seperti pĕlĕnding, peuteuy sélong
(Sd.); kemlandingan, mètir, lamtoro dan lamtoro gung (=lamtoro besar; untuk varietas yang
bertubuh lebih besar) (Jw.); serta kalandhingan (Md.).[1] Nama-namanya dalam pelbagai bahasa
asing, di antaranya: petai belalang, petai jawa (Mly.); lamandro (PNG); ipil-ipil, elena, kariskis
(Fil.); krathin (Thai); leucaena, white leadtree (Ingg.); dan leucaene, faux mimosa (Prc.).[2] Nama
spesiesnya, leucocephala' (='berkepala putih') mengacu kepada bongkol-bongkol bunganya yang
berwarna keputihan.[3]

Pengenalan

Bunga, polong dan daun-daun lamtoro. India.

Polong yang mengering.

Pohon atau perdu, tinggi hingga 20m; meski kebanyakan hanya sekitar 10m. Percabangan
rendah, banyak, dengan pepagan kecoklatan atau keabu-abuan, berbintil-bintil dan berlentisel.
Ranting-ranting bulat torak, dengan ujung yang berambut rapat.[2]

Daun majemuk menyirip rangkap, sirip 3—10 pasang, kebanyakan dengan kelenjar pada poros
daun tepat sebelum pangkal sirip terbawah; daun penumpu kecil, segitiga. Anak daun tiap sirip 5
—20 pasang, berhadapan, bentuk garis memanjang, 6—16(—21) mm × 1—2(—5) mm, dengan
ujung runcing dan pangkal miring (tidak sama), permukaannya berambut halus dan tepinya
berjumbai.[2][4]

Bunga majemuk berupa bongkol bertangkai panjang yang berkumpul dalam malai berisi 2-6
bongkol; tiap-tiap bongkol tersusun dari 100-180 kuntum bunga, membentuk bola berwarna
putih atau kekuningan berdiameter 12—21 mm, di atas tangkai sepanjang 2—5 cm.[3] Bunga
kecil-kecil, berbilangan—5; tabung kelopak bentuk lonceng bergigi pendek, lk 3 mm; mahkota
bentuk solet, lk. 5 mm, lepas-lepas. Benangsari 10 helai, lk 1 cm, lepas-lepas.[4]
Buah polong bentuk pita lurus, pipih dan tipis, 14—26 cm × 1.5—2 cm, dengan sekat-sekat di
antara biji, hijau dan akhirnya coklat kering jika masak, memecah sendiri sepanjang kampuhnya.
Berisi 15—30 biji yang terletak melintang dalam polongan, bundar telur terbalik, coklat tua
mengkilap, 6—10 mm × 3—4.5 mm.[2][4]

[sunting] Asal-usul, anak jenis dan persebaran


Tanah asli lamtoro adalah Meksiko dan Amerika Tengah, di mana tanaman ini tumbuh menyebar
luas. Penjajah Spanyol membawa biji-bijinya dari sana ke Filipina di akhir abad XVI. dan dari
tempat ini mulailah lamtoro menyebar luas ke pelbagai bagian dunia; ditanam sebagai peneduh
tanaman kopi, penghasil kayu bakar, serta sumber pakan ternak yang lekas tumbuh.[5]

Lamtoro mudah beradaptasi, dan segera saja tanaman ini menjadi liar di berbagai daerah tropis di
Asia dan Afrika; termasuk pula di Indonesia. Ada tiga anak jenis (subspesies)nya, yakni:[3]

• Leucaena leucocephala ssp. leucocephala; ialah anak jenis yang disebar


luaskan oleh bangsa Spanyol di atas. Di Jawa dikenal sebagai lamtoro atau
petai cina ‘lokal’, berbatang pendek sekitar 5 m tingginya dan pucuk
rantingnya berambut lebat.
• ssp. glabrata (Rose) S. Zárate. Dikenal sebagai lamtoro gung, tanaman ini
berukuran besar segala-galanya (pohon, daun, bunga, buah) dibandingkan
anak jenis yang pertama. Lamtoro gung baru menyebar luas di dunia dalam
beberapa dekade terakhir. Serta,
• ssp. ixtahuacana C. E. Hughes; yang menyebar terbatas di Meksiko dan
Guatemala.

[sunting] Pemanfaatan
Sejak lama lamtoro telah dimanfaatkan sebagai pohon peneduh, pencegah erosi, sumber kayu
bakar dan pakan ternak. Di tanah-tanah yang cukup subur, lamtoro tumbuh dengan cepat dan
dapat mencapai ukuran dewasanya (tinggi 13—18 m) dalam waktu 3 sampai 5 tahun. Tegakan
yang padat (lebih dari 5000 pohon/ha) mampu menghasilkan riap kayu sebesar 20 hingga 60 m³
perhektare pertahun. Pohon yang ditanam sendirian dapat tumbuh mencapai gemang 50 cm.[5]

Lamtoro adalah salah satu jenis polong-polongan serbaguna yang paling banyak ditanam dalam
pola pertanaman campuran (wanatani). Pohon ini sering ditanam dalam jalur-jalur berjarak 3—
10 m, di antara larikan-larikan tanaman pokok. Kegunaan lainnya adalah sebagai pagar hidup,
sekat api, penahan angin, jalur hijau, rambatan hidup bagi tanaman-tanaman yang melilit seperti
lada, panili, markisa dan gadung, serta pohon penaung di perkebunan kopi dan kakao.[2][6] Di
hutan-hutan tanaman jati yang dikelola Perhutani di Jawa, lamtoro kerap ditanam sebagai
tanaman sela untuk mengendalikan hanyutan tanah (erosi) dan meningkatkan kesuburan tanah.[7]
Perakaran lamtoro memiliki nodul-nodul akar tempat mengikat nitrogen.
[sunting] Kayu

Batang lamtoro. India.

Lamtoro terutama disukai sebagai penghasil kayu api. Kayu lamtoro memiliki nilai kalori
sebesar 19.250 kJ/kg, terbakar dengan lambat serta menghasilkan sedikit asap dan abu. Arang
kayu lamtoro berkualitas sangat baik, dengan nilai kalori 48.400 kJ/kg.[2][5]

Kayunya termasuk padat untuk ukuran pohon yang lekas tumbuh (kepadatan 500—600 kg/m³)
dan kadar air kayu basah antara 30—50%, bergantung pada umurnya. Lamtoro cukup mudah
dikeringkan dengan hasil yang baik, dan mudah dikerjakan. Sayangnya kayu ini jarang yang
memiliki ukuran besar; batang bebas cabang umumnya pendek dan banyak mata kayu, karena
pohon ini banyak bercabang-cabang. Kayu terasnya berwarna coklat kemerahan atau keemasan,
bertekstur sedang, cukup keras dan kuat sebagai kayu perkakas, mebel, tiang atau penutup lantai.
Kayu lamtoro tidak tahan serangan rayap dan agak lekas membusuk apabila digunakan di luar
ruangan, akan tetapi mudah menyerap bahan pengawet.[2][3][5]

Lamtoro juga merupakan penghasil pulp (bubur kayu) yang baik, yang cocok untuk produksi
kertas atau rayon.[3] Kayunya menghasilkan 50—52% pulp, dengan kadar lignin rendah dan serat
kayu sepanjang 1,1—1,3 mm. Kualitas kertas yang didapat termasuk baik.[2]
[sunting] Daun

Lukisan menurut Blanco

Daun-daun dan ranting muda lamtoro merupakan pakan ternak dan sumber protein yang baik,
khususnya bagi ruminansia. Daun-daun ini memiliki tingkat ketercernaan 60 hingga 70% pada
ruminansia, tertinggi di antara jenis-jenis polong-polongan dan hijauan pakan ternak tropis
lainnya. Lamtoro yang ditanam cukup rapat dan dikelola dengan baik dapat menghasilkan
hijauan dalam jumlah yang tinggi. Namun pertanaman campuran lamtoro (jarak tanam 5—8 m)
dengan rumput yang ditanam di antaranya, akan memberikan hasil paling ekonomis.[5]

Ternak sapi dan kambing menghasilkan pertambahan bobot yang baik dengan komposisi hijauan
pakan berupa campuran rumput dan 20—30% lamtoro.[5] Meskipun semua ternak menyukai
lamtoro, akan tetapi kandungan yang tinggi dari mimosin dapat menyebabkan kerontokan rambut
pada ternak non-ruminansia. Mimosin, sejenis asam amino, terkandung pada daun-daun dan biji
lamtoro hingga sebesar 4% berat kering.[8] Pada ruminansia, mimosin ini diuraikan di dalam
lambungnya oleh sejenis bakteria, Synergistes jonesii. Pemanasan dan pemberian garam besi-
belerang pun dapat mengurangi toksisitas mimosin.[5]

Di Jawa, pucuk dan polong yang muda biasa dilalap mentah. Biji-bijinya yang tua disangrai
sebagai pengganti kopi, dengan bau harum yang lebih keras dari kopi.[1] Biji-biji yang sudah
cukup tua, tetapi belum menghitam, biasa digunakan sebagai campuran pecal dan botok.

Daun-daunnya juga kerap digunakan sebagai mulsa dan pupuk hijau. Daun-daun lamtoro lekas
mengalami dekomposisi.

[sunting] Produk lain

Lamtoro diketahui menghasilkan zat penyamak dan zat pewarna merah, coklat dan hitam dari
pepagan (kulit batang), daun, dan polongnya. Sejenis resin atau gum juga dihasilkan dari batang
yang terluka atau yang kena penyakit, terutama dari persilangan L. leucocephala × L. esculenta.
Gum ini memiliki kualitas yang baik, serupa dengan gum arab.[2][3][6]

Berbunga sepanjang tahun, lamtoro menyediakan pakan yang baik bagi lebah madu, sehingga
cocok untuk mendukung apikultur.[3]

[sunting] Ekologi dan perbanyakan


Lamtoro menyukai iklim tropis yang hangat (suhu harian 25-30 °C); ketinggian di atas 1000 m
dpl. dapat menghambat pertumbuhannya. Tanaman ini cukup tahan kekeringan, tumbuh baik di
wilayah dengan kisaran curah hujan antara 650—3.000 mm (optimal 800—1.500 mm) pertahun;
akan tetapi termasuk tidak tahan penggenangan.[6]

Tanaman lamtoro mudah diperbanyak dengan biji dan dengan pemindahan anakan. Saking
mudahnya tumbuh, di banyak tempat lamtoro seringkali merajalela menjadi gulma. Tanaman ini
pun mudah trubus; setelah dipangkas, ditebang atau dibakar, tunas-tunasnya akan tumbuh
kembali dalam jumlah banyak.[3][9]

Tidak banyak hama yang menyerang tanaman ini, akan tetapi lamtoro teristimewa rentan
terhadap serangan hama kutu loncat (Heteropsylla cubana). Serangan hama ini di Indonesia di
akhir tahun 1980an, telah mengakibatkan habisnya jenis lamtoro ‘lokal’ di banyak tempat.[5]

Anda mungkin juga menyukai