Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MANUSIA DAN KEADILAN

DISUSUN OLEH :
REZA YUDHISTIRA
55417115

TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2018
1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang memberikan kenikmatan pada kita sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas mata Ilmu Budaya Dasar.
Makalah ini disusun guna melengkapi tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasar. Teriring ucapan
terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam proses penyelesaian makalah ini.
Selanjutnya, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan karena
kekurangan dan ketebatasan pengetahuan penulis. Untuk itu, saran dan masukan dari berbagai pihak
sangat bermanfaat bagi siapa saja yang berkenan membacanya.

2
DAFTAR PUSTAKA

Judul ....................................................................................................................................................
1
Kata Pengantar .................................................................................................................................. 2
Daftar Isi ............................................................................................................................................. 3
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................................. 3
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................................ 4
BAB 2 PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 5
2.1 Pengertian Keadilan ................................................................................................................... 5
2.2 Macam-Macam Keadilan ........................................................................................................... 9
2.3 Kejujuran .................................................................................................................................... 9
2.4 Kecurangan .............................................................................................................................. 11
2.5 Pemulihan Nama Baik.............................................................................................................. 12
2.6 Pembalasan ............................................................................................................................... 13
BAB 3 PENUTUP ............................................................................................................................ 15
3.1 Kesimpulan .............................................................................................................................. 15
3.2 Saran ......................................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................... 15

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam hidup dan kehidupan, setiap manusia dalam melakukan aktifitasnya pasti
pernah menemukan perlakuan yang tidak adil atau bahkan sebaliknya, melakukan hal yang
tidak adil. Dimana pada setiap diri manusia pasti terdapat dorongan atau keinginan untuk
berbuat kebaikan “jujur”. Tetapi terkadang untuk melakukan kejujuran sangatlah tidak mudah
dan selalu dibenturkan oleh permasalahan – permasalahan dan kendala yang dihadapinya yang
kesemuanya disebabkan oleh berbagai sebab, seperti keadaan atau situasi, permasalahan
teknis hingga bahkan sikap moral.
Dampak positif dari keadilan itu sendiri dapat membuahkan kreatifitas dan seni tingkat
tinggi. Karena ketika seseorang mendapat perlakuan yang tidak adil maka orang tersebut akan

3
mencoba untuk bertanya atau melakukan perlawanan “protes” dengan caranya sendiri. Nah…
cara itulah yang dapat menimbulkan kreatifitas dan seni tingkat tinggi seperti demonstrasi,
melukis, menulis dalam bentuk apabun hingga bahkan membalasnya dengan berdusta dan
melakukan kecurangan.
Keadilan adalah pengakuan atas perbuatan yang seimbang, pengakuan secara kata dan sikap
antara hak dan kewajiban. Setiap diri kita “manusia” memiliki itu “hak dan kewajiban”,
dimana hak yang dituntut haruslah seimbang dengan kewajiban yang telah dilakukan sehingga
terjalin harmonisasi dalam perwujudan keadilan itu sendiri.
Keadilan pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan mutlak bagi setiap manusia
dibumi ini dan tidak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan. Menurut Aristoteles,
keadilan akan dapat terwujud jika hal – hal yang sama diperlakukan secara sama dan
sebaliknya, hal – hal yang tidak semestinya diperlakukan tidak semestinya pula. Dimana
keadilan memiliki ciri antara lain ; tidak memihak, seimbang dan melihat segalanya sesuai
dengan proporsinya baik secara hak dan kewajiban dan sebanding dengan moralitas. Arti
moralitas disini adalah sama antara perbuatan yang dilakukan dan ganjaran yang diterimanya.
Dengan kata lain keadilan itu sendiri dapat bersifat hukum.
Keadilan itu sendiri memiliki sifat yang bersebrangan dengan dusta atau kecurangan.
Dimana kecurangan sangat identik dengan perbuatan yang tidak baik dan tidak jujur. Atau
dengan kata lain apa yang dikatakan tidak sama dengan apa yang dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah


• Apakah yang disebut dengan keadilan?
• Bagaimana Cara berbuat adil?
• Apa pembalasan bagi seseorang yang tidak adil?
• Siapakah yang harus berbuat adil?
• Di mana kita harus berbuat adil?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuannya dibuat makalah ini adalah sebagai berikut :

• Memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasar


• Mengetahui, memahami serta diaplikasikan makna keadilan dalam kehidupan kita.
• Sebagai sumber pengetahuan dan ilmu khususnya bagi penulis umunya bagi pembaca

4
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Keadilan
Sebelum dibuat oleh hukum manusia (hukum positif), yang berlaku adalah hukum
rimba (jungle law), yaitu hukum yang berlaku di kalangan binatang. Siapa yang kuat, dialah
yang menang, Hukum demikian beberapa waktu masih berlaku dalam mansyarakat manusia,
sehingga disebutkan sebagai aturan atau hukum manusia yang kuat (a rule by man). Manusia
yang kian hari kian manusiawi kemudian menciptakan hukum positif yang berguna dalam
kehidupannya, lahirlah hukum atau aturan yang berdasarkan a rule by law, setiap orang di
mata hukum sama dan tidak ada yang kebal hukum. Siapa yang bersalah wajib di hukum.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata adil berarti tidak berat sebelah atau tidak
memihak, atau tidak sewenang-wenang, sehingga keadilan mengandung pengertian sebagai
suatu hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak, atau tidak sewenang-wenang. Keadilan
pada umumnya sulit diperoleh. Sehingga kalau terpaksa harus dituntut. Dalam hal ini, untuk
memperoleh keadilan biasanya dierlukan pihak ketiga sebagai penengah, dengan harapan,
pihak tersebut dapat bertindak adil terhadap pihak-pihak berselisih. Oleh kartena itu, pihak
ketiga harus netral, tidak boleh menguntungkan salah satu pihak. Pihak ketiga sangat
diperlukan, karena tanpa pihak ketiga, yang berselisih akan beresikap konfrontatif yang
apabila dibiarkan dapat mengarah kepada kekerasan.
Sesuai dengan sifatnya, peradilan yang diadakan oleh pemerintah diberi lambang
sebuah neraca yang horizontal yang mengandung arti bahwa keadilan tidak berat sebelah. Di
Eropa, Kususnya di Yunani kuno, keadilan dipimpin oleh Dewi keadilan, digambarkan
sebagai seorang wanita yang membawa timbangan dan pedang dengan mata yang tertutup
kain agar ia tidak melihat. Hal ini diartikan “tanpa pandang bulu”. Jadi, demi keadilan
siapapun yang dinilai bersalah akan ditindak dengan tegas.
Untuk melaksanakan keadilan yang mengatur masyarakat di dalam negara (dulu di
kenal adanya negara suku), diperlukan suatu peraturan yang disebut undang-undang atau
hukum. Apakah hukum itu? Definisi hukum dalam ilmu pengetahuan sosial jumlahnya sangat
banyak. Namun, intinya hukum merupakan suatu sistem norma-norma yang mengatur
kehidupan dalam masyarakat.. Oleh karena itu, apabila ada seseorang yang merasa
memperoleh ketidakadilan dari pihak lain, ia berhak mengajukan tuntutan.
Selanjutnya, dikatakan bahwa hukum memiliki norma yang terletak pada sanksi yang
akan dikenakan pada pelanggarnya. Manusia sebagai makhluk berakhlak budi, berjasmani,
dan sebagai makhluk sosial, dalam hubungannya antara satu dan yang lain akan mudah
mengalami konflik. Untuk menghindari hal tersebut, diciptakanlah hukum yang mempunyai
5
fungsi dasar untuk mencegah agar konflik kepentingan itu dipecahkann dalam konflik terbuka.
Pemecahannya bukan atas dasar siapa yang kuat, melainkan berdasarkan aturan (hukum) yang
tidak membedakan antara orang kuat dan orang lemah. Setiap masyarakat memerlukan
hukum, dikatakan bahwa dimana ada masyarakat, di sana ada hukum (ubi societas ini ius).
Berdasarkan pernyataan di atas, keadilan merupakan salah satu ciri hukum. Dalam
hukum, tuntutan keadilan mempunyai dua arti, yaitu arti formal dan arti material. Dalam arti
formal. Keadaan menuntut supaya hukum berlaku secara umum, semua orang dalam situasi
yang sama diperlukan secara sama. Dengan kata lain, hukum tidak mengenal pengecualian.
Oleh karena itu, di hadapan hukum, kedudukan orang adalah sama, inilah yang disebut asas
kesamaan atau kesamaan kedudukan. Sementara itu, dalam arti material arti hukum harus adil.
Adil di sini adalah adil yang dianggap oleh masyarakat, jadi bukan sekedar secara formal saja
seperti apa yang tertulis itu adil. Itulah sebabnya, suatu sidang pengadilan belumlah selesai
apabila belum ada penyesuaian antara keputusan sidang dan penilaian masyarakat, walaupun
sidang peradilan itu telah usai. Oleh karena itu, apabila yang diputuskan oleh pengadilan
dirasakan tidak adil, reaksi masyarakat akan timbul.
Selain sebagai ciri keadilan, hukum juga memliki ciri kepastian. Kepastian di sini
bukan semata-mata formal seperti apa yang tersurat dalam hukum, tetapi kepastian yang dalam
pelaksanaannya mengandalkan orientasi. Kepastian tersebut menuntut agar hukum
dirumuskan secara sempit dan ketat, sehingga tidak terjadikekaburan atau penafsiran yang
berbeda-beda. Namun demikian, hukum itu sendiri seperti telah dikemukakan sebelumnya,
dapat disebut adil apabila dapat diterima oleh masyarakat. Hukkum memangharus pasti, tetapi
tidak boleh dimutlakkan, maka dalam hukum diperlukan adanya keluwesan agar keadilan
dapat diwujudkan.
Untuk lebih mendalami soal keadilan, perlu dikenal tentang adanya hukum kodrat dan
hukum positif. Hukum kodrat (lex naturalis) merupakan hukum yang berdasarkan atas
penciptanya. Sebenarnya, hukum ini adalah hukum ilahi yang memilikisifat abadi. Hukum
positif atau hukum manusia (lex humana) berbeda dengan hukum kodrat, sifatnya tidak abadi.
Hukum ini diciptakan oleh manusia, sehingga dapat diganti apabila manusia yang
menciptakannya ingin mengganti karena sudah tidak sesuai dengan keadaan. Namun, kedua
hukum itu memiliki persamaan karena menyangkut hak-hak asasi manusia.
Yang disebut hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia, bukan
karena diberikan manusia, tetapimkarena diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, bukan
berdasarkan hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai
manusia. (Fans Von Magnis Suseno, 1987: 121). Semakin banyak tuntutan-tuntutan dasar
6
keadilan dan martabat manusia dimasukkan sebagai hak asasi ke dalam hukum positif, akan
semakin terasa bahwa hukum itu memang adil dan sesuai dengan martabat manusia. Oleh
karena itu, walaupun dalam masyarakat banyak terjadi seseorang yang merasa diperlakukan
tidak adil menurut hukum positif, karena hak-hak asasinya dilanggar. Orang itu dapat
mengatakan: “biarlah aku diperlakukan tidak adil di dunia, tetapi Tuhan tidak akan
membiarkannya karena hukum ilahi juga akhirnya yang akan menang.
Selain kedua hukum di atas, khususnya dalam msyarakat Indonesia yang tradisional,
dikenal hukum lain yang disebut hukum adat. Hukum adat pada umumnya tidak tertulis,
namun diketahui oleh warga masyaratnya. Dalam hukum adat, pada umumnya tidak bersifat
jasmani, melainkan rohani. Misalnya, seseorang yang dianggap melanggar adat oleh dewan
adat dijatuhi hukuman berupa pengucilan dari masyarakat. Melalui hukuman itu, orang yang
dijatuhi hukuman akan merasakan bagaimana tidak enaknya hidup terpisah dari keluarga ,
merasa kesepian dan merasa kesendirian. Sehingga menyiksa batinnya. Untuk melepaskan apa
yang dirasakannya, suatu waktu orang itu dapat mengajukan permintaan untuk memperoleh
pengampunan. Hal itu baru dapat diperoleh apabila masyarakat menerima permohonannya.
Apabila masyarakat meneria, sebagai perwujudannya antara lain diadakanlah pesta keluarga.
Di situ, orang yang dijatuhi hukuman harus meminta maaf kepada seluruh keluarga.
Salah satu cara untuk menentang ketidakadilan adalah dengann melakukan unjuk rasa.
Pada zaman dulu seseorang yang merasa diperlakukan tidak adil akan melakukan unjuk rasa
dengan cara menjemur diri di alun-alun (pepe) di depan istana raja. Harapannya agar
pemandangnnya yang tidak sedap di tengah kota tersebut mengundang perhatian raja, apabila
raja mengetahui, akan segera memerintahkan untuk memanggil orang tersebut. Raja
menanyakan ada apa gerangan yang menyebabkan orang tersebut melakukan pepe, Raja yang
bijaksana dan ingin menciptakan keadilan di negaanya tentunya akan cepat mencari
penyelesaian agar protes yang menusuk hati tersebut lekas berakhir. Di Negara barat, unjuk
rasa dilakukan secara bersama-sama (demonstrasi). Para demonstran pada umumnya
menuntut sesuatu, karena apa yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan keadaannya. Misalnya,
kaum buruh yang berdemonstrasi menuntut kenaikan upah karena upah yang mereka terima
tidak sesuai lagi dengan harga kebutuhan hidup.
Keinginan manusia untuk memperoleh keadilan seperti yang diharapkan sering kandas
hanya karena nilai keadilan pada dirinya berbeda dengan yang ada pada orang lain. Misalnya,
seorang anak memperoleh pembagian kue lebih sedikit dari kakaknya, ia merasakan hal itu
tidak adil karena tidak sama banyaknya. Sedangkan ibunya mempergunakan pertimbangan
bahwa anak kecil tidak sama dengan anak yang lebih besar. Apabila pada kesempatan lain
7
pembagian dilakukan dalam ukuran sama besar, si kakaklah yang akan merasakan
ketidakadilan. Contoh lain adalah seorang pria yang mau kawin lagi. Pada pria ini, biasanya
diajukan syarat agar ia bertindak adil terhadap kedua istrinya. Namun, dalam praktiknya,
tentunya pria itu untuk beberapa lama akan lebih menaruh perhatian kepada istri mudanya
daripada istri tuanya. Hal demikian menyebabkan sering terjadinya antara istri tua dengan
madunya. Berdasarkan hal tersebut, untunglah dalam undang-undang perkawinan yang
sekarang, pria yang akan kawin lagi, terlebih dahulu wajib meminta izin kepada istrinya yang
pertama. (UU No. 1 Tahun 1974).
Dengan menegakkan keadilan, dua orang yang bertikai atau berkonflik dapat
mengajukan persoalannya ke pengadilan negeri yag bertugas menanganinya secara perdata.
Sesuai dengan sifatnya, pengadilan wajib berbuat adil sehingga keputusannya dapat diterima
secara baik dan puas oleh mereka yang mencari keadilan di lembaga tersebut. Apabila terbukti
bahwa keputusan yang diambil oleh hakim dalam pengadilan tidak memuaskan salah seorang,
reaksi akan mudah terjadi dari pihak yang merasa dirugikan, pihak itu akan menuduh bahwa
pihak pengadilan telah berbuat curang, sehingga keadilan yang diharapkan tidak diperoleh.
Selain masalah perdata, pengadilan negeri juga bertugas mengadili terdakwa yang
dianggap melanggar sesuatu peraturan yang semestinya harus dihormati atas dasar hukum
pidana. Dalam kasus pidana, terutama dalam kasus-kasus berat yang memungkinkan seorang
terdakwa diancam dengan hukuman mati, si terdakwa wajib didampingi oleh pengacara.
Dalam hal ini, pengadilan harus benar-benar hati-hati dan teliti dalam menjatuhkan
keputusannya. Suatu keputusan merupakan perkosaan atas hak-hak asasi manusia. Apabila
seseorang yang dijatuhi hukuman mati dan telah terlanjur dulaksanakan ternyata terbukti tidak
bersalah, hukuman tersebut tidak mungkin dapat diralat, Akhirnya timbul rasa sesal dari
berbagai pihak dan jatuhlah kewibawaan penegak hukum.
Walaupun telah diadakan lembaga peradilan, namun dalam praktiknya masih ada juga
orang yang merasa tidak puas dengan apa yang telah diputuskan oleh lembaga tersebut. Oleh
karena itu, adakalanya apa yang telah diputuskan dirasakan masih kurang adil juga. Terhadap
kasus yang demikian, orang hanya dapat dinasehati agar lebih sabar karena sesungguhnya
keadilan yang seratus persen sulit diperoleh di dunia ini keadilan dalam arti sebenarnya hanya
dapat diperoleh manusia di alam akhirat.
Dalam forum pengadilan, ada seseorang yang menjadi pembela seseorang yang diadili.
Fungsi pertamanya adalah agar orang yang menjadi terdakwa jangan sampai mendapat
perlakuan yang tidak adil dari jaksa atau hakim, bukan semata-mata untuk membela orang
yang bersalah. Lebih-lebih bila seseorang diancam denagn hukkuman mati, ia harus mendapat
8
pembela, bila yang bersangkutan tidak mampu membayar pembela, negara yang wajib
menyediakannaya.
2.2 Macam-Macam Keadilan
Ada beberapa macam keadilan, diantarnya :
• Keadilan legal atau keadilan moral
Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum
dari masyarakat yang membuat dan menjadi kesatuannya. Dalam masyarakat yang adil
setiap orang menjalankan pekerjaan menurut sifat dasarnya paling cocok baginya ( the
man behind the gun ). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan oleh yang
lainnya disebut keadilan legal

• Keadilan distributive
Aristoteles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang
sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan tidak sama
(justice is done when equels are treated equally).
• Keadilan komutatif
Keadilan ini bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan
umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan ini merupakan asas pertalian dan ketertiban
dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrem menjadikan
ketidakadilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat

2.3 Kejujuran
Kejujuran, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti kelurusan hati atau
ketulusan hati. Seseorang dikatakan jujur apabila ia memiliki kelurusan atau ketulusan hati.
Hati yang tulus atau lurus adalah hati atau perasaan yang ada pada diri seseorang dan memiliki
nilai yang baik. Lawan dari seseorang yang hatinya jujur ialah orang yang hatinya tidak bersih
dan bersifat curang, sehingga tidak baik dan biasanya bicaranya berbelit-belit.
Kejujuran bersangkut erat dengan masalah nurani. Menurut M. Alamsyah (1986: 83)
dalam bukunya budi nurani, filsafat berfikir, yang disebut nurani adalah sebuah wadah yang
ada dalam perasaan manusia. Di dalamnya tersimpan getaran kejujuran atau ketulusan yang
selalu mengarah kepada kebenaran lokal maupun kebenaran ilahi. Apabila dikembangkan,
nurani dapat menjadi budi nurani yang merupakan wadah yang menyimpan keyakinan. Jadi,
getaran kejujuran ataupun ketulusan dapat ditingkatkan menjadi suatu keyakinan. Atas
keyakinan yang terdapat dalam diri seseorang, kita dapat mengetahui kepribadiannya. Oleh
karena itu, kita dapat menilai bahwa orang yang memiliki ketulusan tinggi akan memiliki
9
keyakinan yang matang, sebaliknya seseorang yang hatinya tidak bersih dan mau berpikir
curang memiliki kepribadian yang buruk dan rendahdan sring tidak yakin kepada dirinya. Apa
yang ada dalam nuraninya banyak dipengaruhi oleh pemikirannya yang kadang-kadang justru
bertentangan.
Dengan bertolak ukur dari hati nuraninya, seseorang dapat ditebak dengan perasaan
moril dan susilanya, yaitu perasaan yang dihayati apabila harus menentukan pilihan, apakah
hal itu baik atau buruk, benar atau salah. Hati nurani selalu bertindak sesuai dengan
normanorma kebenaran. Manusia yang mau mengikutinya akan memiliki kejujuran dan
menjadi manusia jujur. Sebaliknya, orang yang secara terus-menerus berpikir atau bertindak
bertentangan dengan hati nuraninya, akan selalu mengalami konflik batin. Ia akan terus
mengalami ketegangan dan sifat kepribadiannya yang senestinya tunggal jadi terpecah.
Keadaan ini akan sangat berpengaruh pada jasmani ataupun rohaninya, sehingga dapat
menimbulkan penyakit yang disebut psikoneurosa, Adapun wujud dari perasaan etis atau
susila ini antara lain dapat berupa kesadaran akan kewajiban, rasa keadilan, dan juga
ketidakadilan. Nilai-nilai etis tersebut diambil berdasarkan kaitannya antara hubungan
manusia yang satu dan manusia yang lain.
Sealin nilai etis yang terkait erat antar sesama manusia, hati nurani terkait erat juga
dalam hubungan antara manusia dan Tuhan. Dalam hal ini, manusia yang memiliki budi nurani
yang amat peka dalam hubungannya dengan tuhan adalah manusia agama yang selalu ingat
kepada-Nya sebagai sang pencipta, selalu mematuhi apa yang diperintah-Nya, berusaha untuk
tidak melanggar larangan-Nya, selalu mensyukuri apa yang diberikan-Nya, selalu merasa
dirinya berdosa apabila tidakmenuruti apa yang digariskan-Nya, dan akan selalu gelisah tidur
apabila belum menjalankan ibadah untuk-Nya. Dalam sebuah hadits di sebutkan yang artinya
sebagai berikut :
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah bersabda: “Hendaklah engkau berbuat
jujur, sesungguhnya kejujuran akan menunjukkan kepada kebajikan dan kebajikan akan
menunjukkan ke surga. Orang yang menetap kepada kejujuran dan terus menerus berada
dalam kejujuan sehingga dia dicatat oleh Allah sebagai orang yang jujur. Janganlah engkau
berbuat dusta, sesungguhnya dusta akan menunjukkan kepada kedurhakan, dan kedurhakaan
akan menunjukkan kepada neraka. Orang yang menetap dalam dusta dan terus menerus
melakukan dusta sehingga dicatat oleh Allah sebagai pendusta. (H.R. Muttafaqun Alaih).

10
2.4 Kecurangan
Kecurangan atau curang identik dengan ketidakjujuran atau tidak jujur, dan sama pula
dengan licik, meskipun tidak serupa benar. Curang atau kecurangan artinya apa yang
diinginkan tidak sesuai dengan hati nuraninya atau, orang itu memang dari hatinya sudah
berniat curang dengan maksud memperoleh keuntungan tanpa bertenaga dan berusaha.
Kecurangan menyebabkan orang menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan
yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagai orang yang paling hebat, paling kaya,
dan senang bila masyarakat disekelilingnya hidup menderita. Bermacam-macam sebab orang
melakukan kecurangan.
Ditinjau dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, ada 4 aspek yaitu aspek
ekonomi, aspek kebudayaan, aspek peradaban dan aspek teknik. Apabila keempat aspek
tersebut dilaksanakan secara wajar, maka segalanya akan berjalan sesuai dengan norma-norma
moral atau norma hukum. Akan tetapi, apabila manusia dalam hatinya telah digerogoti jiwa
tamak, iri, dengki, maka manusia akan melakukan perbuatan yang melanggar norma tersebut
dan jadilah kecurangan.
Yang dimaksud dengan kecurangan (fraud) sangat luas dan ini dapat dilihat pada butir
mengenai kategori kecurangan. Namun secara umum, unsur-unsur dari kecurangan
(keseluruhan unsur harus ada, jika ada yang tidak ada maka dianggap kecurangan tidak terjadi)
adalah:
• Harus terdapat salah pernyataan (misrepresentation) dari suatu masa lampau (past) atau
sekarang (present).
• Fakta bersifat material (material fact) dilakukan secara sengaja atau tanpa perhitungan
(make-knowingly or recklessly) dengan maksud (intent) untuk menyebabkan suatu pihak
beraksi.
• Pihak yang dirugikan harus beraksi (acted) terhadap salah pernyataan tersebut
(misrepresentation) yang merugikannya (detriment).
Kecurangan dalam tulisan ini termasuk (namun tidak terbatas pada) manipulasi,
penyalahgunaan jabatan, penggelapan pajak, pencurian aktiva, dan tindakan buruk lainnya
yang dilakukan oleh seseorang yang dapat mengakibatkan kerugian bagi
organisasi/perusahaan.
Terdapat empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan kecurangan, yang
disebut juga dengan teori GONE, yaitu:
• Greed (keserakahan)

11
• Opportunity (kesempatan)
• Need (kebutuhan)
• Exposure (pengungkapan)
Faktor Greed dan Need merupakan faktor yang berhubungan dengan individu pelaku
kecurangan (disebut juga faktor individual). Sedangkan faktor Opportunity dan Exposure
merupakan faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban perbuatan kecurangan
(disebut juga faktor generik/umum).

2.5 Pemulihan Nama Baik


Pemulihan nama baik berarti mengembalikan nama baik seseorang yang semula dinilai
tidak baik, sehingga pada saat penilaian tersebut ditiadakan atau dicabut, orang tersebut akan
memiliki nama baiknya kembali. Dalam hubungannya dengan keadilan, merupakan hal yang
adil dan manusiawi apabila seseorang yang pada suatu waktu dinilai sudah baik, berhak
memperoleh nama baiknya kembali. Di sini lebih jelas lagi letak kelebihan manusia daripada
makhluk tuhan yang lain, yaitu memiliki nama yang bisa baik, sehingga martabatnya sebagai
makhluk tertinggi dapat ditentukan tinggi atau rendah.
Berhubungan dengan pengembalian nama baik ini, dalam pemerintahan dikenal
adanya rehabilitasi martabat, yaitu pemulihan martabat dalam nama baik, disertai atau tidak
disertai ganti rugi, dan pemulihan jabatan atau kedudukan seseorang yang telah dikenakan
hukuman administrasiatau pengadilan yang menyebabkan ia kehilangan martabatnya.
Rehabilitasi dalam pengertian demikian bisa juga dilakukan pengadilan kepada seseorang
yang dinyatakan pailit oleh pengadilan. Namun setelah semua orang yang berpiutang
kepadanya kemudian menyatakan telah lunas, berarti orang yang berutang telah membayar
atau melunasi utangnya. (ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru-Van Hoeve, Edisi Khusus,
2871).
Dalam kaitannya dengan pemerintahan, hanya presiden RI-lah yang mempunyai hak
memberikan rehabilitasi (UUD 1945 bab III pasal 14). Erat kaitannya dengan rehabilitas
adalah grasi, amnesti, dan abolisi. Grasi berasal dari kata gratia yang berarti rahmat atau
karunia, sehingga grasi berarti pengampunan hukuman, baik sebagian maupun seluruhnya.
Dalam arti tertentu, grasi adalah penghapusan sepenuhnya atau bersyarat, pengurangan atau
penggantian hukuman. Grasi inipun dalam pemerintahan diberikan oleh presiden RI
berdasarkan UUD 1945 Bab III 14 (Ibid, 1167). Sedangkan amnesti adalah pengampunan
terhadap seseorang yang melakukan kesalahan dan telah diadili, tetapi diberikan

12
pengampunan dibebaskan dari keputusan menjalani hukuman, amnesti dapat juga diberikan
kepada mereka yang sedang menjalani hukuman. Misalnya, pemberian amnesti pada hari
kemerdekaan atau pada hari ulang tahun penguasa atau sebagai perjudia politik. Dalam
amnesti, kesalahan tetap kesalahan, jadi tidak sama dengan kebebasan tuduhan (Ibid, 200).
Akhirnya yang disebut abolisi adalah penghapusan tindak pidana serta penghentian
penuntutan pidana serta penghentian penuntutan pidana.Jika hal ini telah dijalankan, tindak
pidana serta akibat-akibatnya dianggap tidak pernah ada (Ibid, 59).
Dari keempat pengertian tersebut di atas, yaitu rehabilitasi, grasi, amnesti, dan abolisi
dapatlah ditarik kesimpulan bahwa melalui UUUD 1945 Bab III Pasal 14, presiden RI dapat
memberi jalan bagi warga negaranya yang salah untuk memulihkan nama baiknya melalui
tingkatan-tingkatan tertenttu. Bergantung pada kesalahan yang dilakukan serta kesempatan
yang diberikan. Kiranya ini juga dapat diartiakan sebagai perwujudan dari sila kedua
pancasila.
Nama baik merupakan tujuan utama orang hidup. Nama baik adalah nama yang tidak
tercela. Setiap orang menajaga dengan hati-hati agar namanya baik. Lebih-lebih jika ia
menjadi teladan bagi orang/tetangga disekitarnya adalah suatu kebanggaan batin yang tak
ternilai harganya. Penjagaan nama baik erat hubungannya dengan tingkah laku atau perbuatan.
Atau boleh dikatakan nama baik atau tidak baik ini adalah tingkah laku atau perbuatannya.
Yang dimaksud dengan tingkah laku dan perbuatan itu, antara lain cara berbahasa, cara
bergaul, sopan santun, disiplin pribadi, cara menghadapi orang, perbuatn-perbuatan yang
dihalalkan agama dan sebagainya. Pada hakekatnya pemulihan nama baik adalah kesadaran
manusia akan segala kesalahannya; bahwa apa yang diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran
moral atau tidak sesuai dengan ahlak yang baik. Untuk memulihkan nama baik manusia harus
tobat atau minta maaf. Tobat dan minta maaf tidak hanya dibibir, melainkan harus bertingkah
laku yang sopan, ramah, berbuat darma dengan memberikan kebajikan dan pertolongan kepaa
sesama hidup yang perlu ditolong dengan penuh kasih sayang , tanpa pamrih, takwa terhadap
Tuhan dan mempunyai sikap rela, tawakal, jujur, adil dan budi luhur selalu dipupuk.

2.6 Pembalasan
Pembalasan adalah suatu reaksi atas perbuatan orang lain. Reaksi itu dapat berupa
perbuatan serupa, perbuatan yang seimbang, tingkah laku yang serupa, tingkah laku yang
seimbang. Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan mengadakan
pembalasan. Bagi yang bertakwa kepada Tuhan diberikan pembalasan, dan bagi yang
mengingkari perintah Tuhan pun diberikan pembalasan yang seimbang, yaitu siksaan di
13
neraka. Pembalasan disebabkan oleh adanya pergaulan. Pergaulan yang bersahabat
mendapatkan pembalasan yang bersahabat. Sebaliknya, pergaulan yang penuh kecurigaan,
menimbulkan pembalasan yang tidak bersahabat pula.
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk moral dan makhluk sosial. Dalam bergaul,
manusia harus mematuhi norma-norma untuk mewujudkan moral itu. Bila manusia bermuat
amoral, lingkunganlah yang menyebabkannya. Perbuatan amoral pada hakekatnya adalah
perbuatan yang melanggar hak dan kewajiban manusia lain. Oleh karena itu manusia tidak
menghendaki hak dan kewajibannya dilanggar, maka manusia berusaha mempertahankan hak
dan kewajibannya itu. Mempertahankan hak dan kewajiban itu adalah pembalasan.

14
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan ini maka dapat disimulkan bahwa keadilan itu adalah suatu
perbuatan yang tidak memandang jabatan, kedudukan, serta martabanya sebagai manusia,
akan tetapi berdasarkan perilaku baik dan buruknya. Atau disebut juga tidak memihak, maka
dari itu perilaku jujur menjadi dasar utama dalam perilaku adil, jangan sampai perilaku
kecurangan menjadi penghalang untuk berbuat adil, karena semua perbuatan itu akan ada
balasannya, baik itu balasan di dunia, yang bisa saja dihindari, maupun pembalasan di akhirat
yang tidak bisa dihindari, dan di akhiratkah seseorang akan mendapatkan peradilan yang
seadil-adilnya. Tak seorangpun yang dapat menghindari peradilan dari-Nya. Jadi, mari kita
berbuat adil karena-Nya.

3.2 Saran
Dengan dibuatnya makalah yang berjudul manusia dan keadilan ini diharapkan kita
para mahasiswa khususnya, bisa memahami dan melaksanakan keadilan di dalam kehidupan
sehari-hari, tidak berbuat curang, selalu mengikuti hati nurani yang sifatnya benar. Alangkah
baiknya jika bisa disampaikan juga kepada saudara kita yang belum mengerti arti dari
keadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Zen Harun dan Zenal Mutaqin.2011. Bulughul Maram min Adillatul Ahkam tarjamah.Jakarta:Bone
Pustaka cet. Ke 2 h. 390
Drs. Siswono Supartono Widyo. 2009.Ilmu Budaya Dasar.Bogor Selatan:Graha Indonesia h.114
Internet :
andrazain.wordpress.com/2013/05/31/manusia-dan-keadilan/
bunyamingunadarma.wordpress.com/2010/03/27/manusia-dan-keadilan/
http://vebrianz.wordpress.com/2011/12/09/makalah-manusia-dan-keadilan/

15
http://ilmubudayadasarardhi.blogspot.com/2012/11/manusia-dan-keadilan.html
http://dofadroid.blogspot.com/2012/05/ibd-manusia-dan-keadilan.html
http://dadangpramono.wordpress.com/2013/04/20/manusia-dan-keadilan/

16

Anda mungkin juga menyukai