Anda di halaman 1dari 15

Evidence Based Blog

Blog ini dikelola untuk membantu mahasiswa dan semua orang untuk mendapat apa yang ingin
diketahui

Wednesday, 3 July 2013

Laporan Praktikum Fisiologis: Kerutan Usus dan Refleks Usus

Fisiologi Gastrointestinal

TINJAUAN PUSTAKA

“Usus halus terletak di dalam rongga abdomen terbentang dari lambung ke duodenum, jejunum, dan
ileum (usus halus) dan berlanjut ke usus besar. Dalam usus halus terjadi segmentasi yang merupakan
kontraksi yang melakukan pencernaan, pencampuran dan pendorongan kimus secara perlahan
menelusuri usus halus. Segmentasi ini terdiri dari kontraksi-kontraksi berbentuk cincin di sepanjang usus
halus dimana terjadi kontraksi yang bergantian yaitu saat segmen yang satu melemas maka segmen yang
satu di sampingnya akan berkontraksi. Kontraksi ini menjadikan pencampuran kymus di usus halus lebih
merata di dalam lumennya. pada usus halus pencernaan selanjutnya di mulai pada duodenum yang
merupakan tempat muaranya getah pancreas dan cairan empedu. Segmentasi duodenum di mulai
terutama sebagai respon terhadap peregangan local yang di timbulkan pada saat ketika kymus mulai
keluar dari sfingter pylorus ke duodenum. Segmentasi yang lain terjadi pada ileum yang merupakan
reflex gastro ileum, dimana kymus memasuki duodenum sedangkan ileum masih dalam keadaan kosong
segmentasi ini di timbulkan oleh gastrin yang di sekreskan oleh reflex gastro ileum tadi.

Setelah mengalami berbagai aksi di dalam duodenum kymus tersebut kemudian melewati jejunum yang
merupakan bagian usus halus yang bersambungan dengan duodenum. Pada duodenum ini terjadilah
penyerapan makanan dan air yang kemudian berlanjut pada ileum yang melakukan fungsinya dengan
menyerap sisa-sisa nutrient yang belum tersserap di jejunum. Pada saat kymus berada di ileum reflek
gastro ileum mendorongnya ke arah katup ileocecal, terkadang kymus itu tertahan di depan katup
ileocecal tersebut sampai penambahan bolus yang baru kedalam lambung atau sampai seseorang makan
kembali.
Setelah masuk melewati katup ileocecal, kymus tersebut berjalan ke dalam lumen usus besar yang
berfungsi sebagai absorpsi air dan elektrolit dsri kymus untuk menjadi feses dsan juga penimbunan
bahan feses sampaim dapat di keluarkan dengan melakukan metode motilitas kolon berupa kontraksi
otot sirkular dan otot longitudianal yang terkumpul menjadi tiga pita longitudinal (taenia coli ) yang di
sebut kontraksi haustra yg dimulai oleh ritmisitas otonom sel otot polos kolon. Gerakan haustra secara
perlahan mengaduk isi kolon melalui gerakan maju mundur yang menyebabkan isi kolon terpajan ke
mukosa absorptive.

Setelah makan terjadi peningkatan nyata motilitas berupa kontraksi masif yang disebut gerakan massa
yang mendorong isi kolon ke distal lalu disimpan sampai terjadi defekasi . kontraksi haustra ini
berlangsung lambat tetapi tetap persisten yang membutuhkan waktu 8-15 jam untuk menggerakan
kymus dari katp ileosecal kolon. Kontraksi haustra ini dikontrol oleh reflex-refleks local yang melibatkan
fleksus intrinsic sepanjang usus besar yang sebelumnya kymus tersebut harus melewaati berbaagai
setruktur di dalam usus besar (colon) tersebut. yang di awali dengan melewati caeceum yang
setrukturnya mirip kantung dan merupakan bagian yang pertama menyusun usus besar diliputi oleh
peritoneum dan berdiameter 7.5 cm. Pada tepi cecum ini terdapat lubang yang menuju usus yang tidak
memiliki setruktur lanjutan atau usus buntu atau di sebut apendik vermiformis yang berbentuk seperti
cacing dan mengandung banyak jaringan limfoid.

Setelah melewati ceceum kymus berjalan melewati colon-colon usus yang berurutan melewati colon
ascendens yang memiliki ukuran panjang sekitar 13 cm dan berlokasi di region iliaca dektra, dan
kemudian berlanjut ke dalam colon transsversum yang memiloki ukuran panjang sekitar 38 cm,
tergantung ke bawah pada mesocolon transversum dan terletak diantara flexura coli dektra (flexura coli
hepatica) dan flekura coli sisnistra (flexura ilenalis), perjalanan kymus selanjutnya menuju colon yang
ukurannya sekitar 25 cm pada region iliaca sinistra dan berjalan dari flexura coli sinistra ke bawah
sampai ke pinggir pelvis yaitu colon descenden yang kemudian melanjutkan diri menjadi colon sigmoid
yang nantinya akan di lanjutkan ke rectum dan kanal anal (anus).” (Sherwood, 2012)

MEKANISME KONTRAKSI USUS

“Nama lain dari kontraksi pada sistem pencernaan adalah motilitas usus. Motilitas adalah kontraksi otot
yang mencampur dan mendorong maju isi saluran cerna. Otot polos di dinding saluran cerna
mempertahnkan suatu kontraksi tingkat rendah yang disebut juga sebagai tonus. Fungsi tonus adalah
untuk mempertahnkan tekanan tetap pada isi saluran cerna serta untuk mencegah dindingnya teregang
permanen setelah mengalami distensi.

Gerakan dari motilitas ini juga terbagi menjadi dua, yaitu gerakan propulsif dan gerakan mencampur.
Gerakan propulsif adalah gerakan mendorong maju isi saluran cerna, dengan kecepatan pergerakan
bervariasi yang bergantung pada fungsi yang dilakukan oleh saluran cerna tersebut. Gerakan mencampur
adalah gerakan mencampur makanan dengan getah makanan (untuk meningkatkan kinerja pencernaan)
dan juga mempermudah penyerapan dengan meletakkan semua bagian isi saluran cerna ke permukaan
serap saluran cerna. Pergerakan ini semua sebagian besar terjadi karena adanya kontraksi otot polos.

Motilitas pada usus halus, terbagi menjadi dua, yaitu segmentasi dan migrating motility complex
1. Segmentasi

Segmentasi adalah gerakan mencampur dan mendorong kimus secara perlahan. Segmentasi ini terdiri
dari kontraksi otot polos sirkular yag berulang dan berbentuk cincin di sepanjang usus halus. Di antara
segmen-segmen yang berkontraksi, terdapat kius di daerah-daerah rileks.

Cara kerja dari segementasi ini adalah sebagai berikut. Cincin kontraktil membagi usus halus menjadi
segmen-segmen kecil. Setelah itu, segmen-segmen yang berkontraksi melemas, dan kontraksi berbentuk
cincin muncul di bagian yang sebelumnya melemas tersebut. Kontraksi baru mendorong kimus di bagian
yang semula rileks untuk bergerak kekdua arah ke bagian-bagian yang kini mlemas di sampingnya.
Karena itu, segman ynga baru melemas menerima kimus dari kedua segmen yang berkontraksi tepat di
belakang dan di depannya. Segera setelahnya, bagian-bagian yang berkontraksi dan melemas kembali
berganti.

Fungsi dari segmentasi ini adalah untuk mencampur kimus dengan getah pencernaan yang disekresikan
ke dalam lumen usus halus. Selain itu, meletakkan semua kimus ke permukaan absorptif mukosa usus
halus. Segmentasi bekerja membagi kimus menjadi dua arah, yaitu ke depan dan kebelakang. Namun,
kimus dapat terus maju menelusuri usus halus. Hal tersebut dikarenakan frekuensi segmentasi menururn
di sepanjang usus halus. Sel-sel pemacu di duodenum secara spontan mengalami depolarisasi lebih
cepat daripada sel-sel serupa yang ada di bagian hilir usus dengan kontraksi segmentasi terjadi di
duodenum pada kecepatan 12 kali per menit dibandingkan dengan hanya 9 kali per menit pada ileum.
Karena itu, kimus lebih terdorong untuk maju dari untuk mundur. Isi usus halus ini memerlukan
setidaknya 3-5 jam untuk melintasi usus halus dengan cara ini.

Kontraksi segmentasi terjadi dimulai oleh adanya sel-sel pemacu ususu halus yang menghasilkan BER
(irama listrik basal). BER usus halus membawa lapisan otot polos sirkular ke ambang, lalu terjadilah suatu
kontraksi segmentasi, dengan frekuensi segmentasi itu sendiri mengikuti frekuensi BER. Intensitas
kontraksi segmentasi dapat dipengaruhi oleh regangan usus, hormon gastrin, dan oleh aktivitas
ekstrinsik. Pengaruh tersebut terjadi dengan cara menggeser potensial awal sekitar mana BER berosilasi
mendekati atau menjauhi ambang. Segmentasi berkurang atau berhenti di antara waktu makan tetapi
menjadi kuat segera setelah makan. Saat makanan masuk ke usus halus, duodenum mulai melakukan
kontraksi segmentasi karena adanya peregangan lokal yang ditimbulkan oleh keberadaan kimus.
Sedangkan segmentasi ileum juga bekerja, walaupun tidak ada makanan Hal tersebut diakrenakan
adanya gastrin yang disekresikan sebagai respons terhadap keberadaan kimus di lambung, disebut juga
refleks gastroileum. Stimulasi parasimpatis meningkatkan segmentasi, sementara stimulasi simpatis
menekan aktivitas segmentasi.
Gambar 1 : segmentasi usus halus

2. Migrating Motility Complex

Sebagian makanan telah diserap, kontraksi segmentasi berhenti dan diganti (antara waktu makan) oleh
migrating motility complex. Migrating Motility Complex adalah motilitas di antara waktu makan yang
berbentuk gelombang peristaltik lemah berulang yang bergerak dalam jawak pendek ke hilir sebelum
lenyap. Gelombang ini bermigrasi dari usus halus ke ujung kolon, dengan setiap kontraksi yang dikerjakan
menyapu maju sisa-sisa makanan sebelumnya ditambah debris mukosa dan bakteri menuju kolon.
Setelah akhir usus halus tercapai, siklus dimulai kembali dan terus berulang sampai kedatangan makanan
berikutnya. Kerja ini diatur di antara waktu makan oleh hormon motilin, yang disekresikan selama
keadaan tidak makan oleh sel-sel endokrin mukosa usus halus. Pelepasan motilin itu sendiri dihambat
oleh makan.” (Sherwood, 2012)

PENGATURAN NEURAL

“Pengaturan GastroIntestinal oleh sistem saraf terdiri dari persarafan intrinsik (enterik) dan inervasi
ekstrinsik. Fungsi dari persarafan ini adalah untuk memonitor dan mengatur proses yang terjadi di
GastroIntestinal. Persarafan intrinsik terdiri dari dua pleksus yaitu pleksus mienterikus dan pleksus
submukosa. Pleksus mienterikus atau pleksus Aurbach sesuai namanya terletak di lapisan muskular
antara otot polos sirkular dan otot polos longitudinal. Sedangkan pleksus submukosa atau pleksus
Meissner terletak di lapisan submukosa. Sistem saraf intrinsik ini terdiri dari motor neuron, sensorik, dan
interneuron. Karena motor neuron pleksus mienterikus sebagian besar menginervasi otot polos
longitudinal dan sirkular, pleksus ini sebagai pengontrol motilitas GastroIntestinal. Sedangkan pada
pleksus submukosa motor neuronnya kebanyakan mempersarafi sel sekret di epitel mukosa, sehingga
pleksus ini sebagai pengontrol sekresi organ traktus GastroIntestinal. Interneuron persarafan intrinsik
berfungsi sebagai penghubung pleksus submukosa dan mienterikus. Sedangkan saraf sensorik yang
bertugas di epitel mukosa berguna sebagai kemoreseptor, stretch receptor yang teraktivasi apabila
dinding organ gastrointestinal terisi makanan.

Persarafan ekstrinsik dari gastrointestinal dipersarafi oleh sistem saraf otonom. Bagian parasimpatis
dipersarafi oleh nervus vagus yang hampir mempersarafi traktus GI secara keseluruhan kecuali setengah
bagian akhir dari usus besar yang dipersarafi oleh serat saraf dari medula spinalis yaitu nervus pelvis.
Kontrol persarafan ekstrinsik ini baik simpatik maupun parasimpatik membentuk hubungan dengan
sistem saraf enterik dengan persambungan ke pleksus mienterikus dan pleksus submukosa tempat
sistem saraf intrinsik (enterik) terususun rapi. Saraf otonom dapat mempengaruhi motilitas dan sekresi
saluran pencernaan melalui modifikasi aktivitas yang sedang berjalan di pleksus-pleksus sistem saraf
intrinsik. Sistem saraf simpatis dan parasimpatis yang mempersarafi jaringan tertentu menimbulkan efek
yang bertentangan di pencernaan. Sistem saraf simpatis bekerja menghambat/memperlambat kontraksi
dan sekresi saluran pencernaan. Sistem saraf parasimpatis bekerja sebaliknya yaitu meningkatkan kerja
dengan cara menaikkan motilitas dan sekresi enzim serta hormon pencernaan meningkat.

Kendali usus yang paling penting adalah aktivitas refleks lokal yang diperantarai oleh pleksus nervosus
intramural (Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya. Jadi pasien dengan kerusakan medula spinalis
maka fungsi ususnya tetap normal, sedangkan pasien dengan penyakit hirschsprung akan mempunyai
fungsi usus yang abnormal karena pada penyakit ini terjadi keabsenan pleksus aurbach dan meissner
(Taylor, 2005).

REFLEKS

Perangsang agar terjadi refleks : distensi lumen saluran GI, osmoloritas kimus, keasaman kimus dan hasil
digestif (karbohidrat, lemak, protein). Reseptor yang terletak di GI merupakan mekanoreseptor (untuk
mengetahui distensi saluran GI), osmoreseptor (untuk mengetahui proses osmosis), kemoreseptor
(untuk melihat pH dan kandungan-kandungannya).

Jenis refleksnya dibagi menjadi dua, yaitu refleks panjang dan refleks pendek. Pemberian nama sesuai
panjang jalur yang dilewatinya. Refleks panjang jalurnya lewat pusat dulu contoh peristiwa: saat
mencium bau makanan memicu keluarnya kelenjar saliva. Contoh lain seperti saat kilta baru melihat,
atau memikirkan makanan, saliva sudah menetes dan tubuh menjadi merasa lapar. Neuron pathway-nya
untuk stimuli dari makanan yang kita lihat: sensoriknya berada di mata akan terkirim ke saraf ekstrinsik
ke otak lalu ke saraf simpatik / parasimpatik ke interneuron/efferen neuron (ada yang tanpa interneuron
langsung ke GI) lalu ke GI.

Kalau refleks pendek maka refleks itu berjalan dengan sensorik di GI dan motoriknya di GI juga misal
pada refleks gastrokolik. Resptor di lambung mengirim sinyal ke saraf di kolon. Efektornya otot polos
kolon, sehingga akan terjadi kontraksi di kolon. Refleks ini biasa terjadi setelah makan. Hasilnya orang
yang bersangkutan setelah makan akan langsung ke belakang. Yang dikeluarkan di feses adalah sisa
makanan yang kemari bukan yg baru masuk. Refleks in bertugas untuk mendorong sisa2 makanan yang
ada di GI sehingga makanan baru bisa masuk.Ada juga refleks Refleks duodenocolika. Refleknya mirip
gastrokolik cuman bedanya makanan yang menstimulus ada di duodenum, efektornya sama yaitu kolon.
Menurut kuliah refleks ini paling penting. Karena refleks ini tidak melibatkan otak dalam
pengorganisasian rangsang yang diterima, maka prof Greshon menyebut bahwa di GI itu ada otak kita
yang kedua atau disebut juga otak kecil atau otak enterik. (Taylor, 2005)

PENGARUH ACH

“Asetilkolin adalah salah satu neurotransmitter yang digunakan oleh saraf. Asetilkolin atau yang disebut
juga sebagai ACh, adalah neurotransmitter yang digunakan oleh serat praganglion simpatis dan
parasimpatis. Ach juga digunakan sebagai neurotransmitter serat pascaganglion parasimpatis. Serat ini
mengeluarkan asetilkolin. Serat ini, bersama dengan semua serat praganglion otonom, disebut juga
sebagai serat kolinergik.
Serat otonom pascaganglion ini tidak berakhir di satu benjolan terminal saja (synaptic knob). Namun,
cabang-cabang terminal serat otonom memiliki banyak pembengkakan atau benjolan, yang disebut
sebagai varicosities, yang secara bersamaan megeluarkan neurotransmitter ke suatu daerah luas di organ
yang disarafi dan bukan hanya untuk ke satu sel saja. Pelepasan neurotransmitter yang difus ini, disertai
kenyataan bahwa setiap perubahan aktivitas listrik yang terjadi menyebar ke seluruh massa otot polos
atau otot jantung (pada usus halus, yang berlaku adalah otot polos)melalui taut celah, meyebabkan
aktivitas otonom biasanya mempengaruhi organ keseluruhan bukan sel-sel tertentu.” (Sherwood, 2012)

Ach juga berperan dalam persisteman parasimpatis, yaitu sebagai neurotransmitter pascaganglion.
Sistem parasimpatis sangat berperan dalam sistem pencernaan. Sistem ini mendominasi pada keadaan
tenang dan santai. Pada keadaan tanpa ancaman, tubuh berkonsentrasi melaksanakan aktivitas
normalnya, misalnya pencernaan. Sistem parasimpatis merupakan tipe rest and digest, yaitu istirahat
dan cerna sekaligus memperlambat aktivitas-aktivitas yang ditingkatkan oleh sistem simpatis. Sebagai
contoh, efek stimulasi parasimpatis pada sistem pencernaan adalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan motilitias organ pencernaan

2. Relaksasi sfingter (untuk memungkinkan gerakan maju isi saluran cerna)

3. Stimulasi sekresi pencernaan

4. Stimulasi sekresi pankreas eksokrin (untuk pencernaan)

5. Pengeluaran banyak liur encer kaya enzim

PENGARUH ION CA

Ion Ca sangat diperlukan dalam mekanisme kontraksi otot polos. Jika ion Ca tidak ditemukan dalam
suatu otot polos, maka otomatis, kontraksi otot tidak terjadi. Hal tersebut dikarenakan Ca merupakan
pengaktivasi miosin kinase yang diperlukan untuk proses kontraktil. Berikut adalah proses yang terjadi
pada mekanisme kontraksi otot polos :

1. Pada saat sebuah hormon berikatan pada reseptor di membran maka akan mengaktifkan sebuah
molekul G protein akibat terjadinya mekanisme depolarisasi membran plasma.

2. Akibat depolarisasi membran plasma akan membuka kanal Ca di permukaan membran plasma dan
memicu proses difusi Ca melalui kanal Ca yang kemudian akan berkombinasi dengan calmodulin.

3. Calmodulin dengan Ca yang telah membentuk ikatan kemudian melekat pada miosin kinase dan
mengaktivasi protein kinase ini (miosin adalah salah satu protein yang juga berperan penting dalam
mekanisme kontraksi otot polos).

4. Aktivasi miosin kinase menempelkan fosfat dari ATP pada kepala miosin untuk mengaktifkan proses
kontraktil.
5. Kemudian terjadilah sebuah siklus cross-bridge formation, pergerakan, dan pelepasan ikatan
protein kontraktil yang terlibat. Siklus ini yang menyebabkan otot dapat berkontraksi secara terus-
menerus (disesuaikan dengan siklus relaksasi juga).

Gambar 2 : Mekanisme kontraksi otot polos

PENGARUH PILOKARPIN

“Pilokarpin memiliki efek yang sama dengan asetilkolin. Pilokarpin termasuk dalam obat
parasimpatometik yang langsung bekerja pada reseptor kolinergik tipe muskarinik. Perbedaanya adalah
pilokarpin dapat menimbulkan efek yang luas parasimpatis yang khas, dan tidak mudah tidak begitu
cepat dirusak oleh kolinesterase yang terdapat dalam darah dan cairan tubuh. Sedangkan, asetilkolin
tidak mempunyai efek yang sama persis di selurruh tubuh karena sebelum mencapai organ efektor, telah
dirusak terlebih dahulu oleh kolinesterase.” (Guyton, 2011)

PENGARUH SUHU

“Gerakan usus dapat dipengaruhi oleh suhu. Suhu normal tubuh membuat usus dapat melakukan gerak
peristaltiknya secara normal. Saat usus diberikan perlakuan dingin, maka yang terjadi adalah gerakan
usus semakin melambat. Hal tersebut dapat dilihat dari amplitudonya yang semakin mengecil.
Kemudian, usus diberikan perlakuan panas yang menyebabkan gerakan usus semakin cepat. Akan tetapi,
bukan berarti dengan suhu yang semakin panas (di atas normal) usus dapat bergerak lebih cepat lagi. Hal
ini dikarenakan oleh faktor enzim. Enzim hanya dapat bekerja dalam keadaan suhu tubuh
normal.”(Hernawati, 2010)

PENGARUH ION BARIUM

“Ion barium mempunyai efek yang sangat kuat terhadap gerakan usus. Kerja obat ini analog dengan
pilokarpin dan asetilkolin, karena meningkatkan gerakan usus.” (Guyton, 2011)

KERUTAN USUS DI LUAR BADAN

Tujuan Instruktional Umum :

Memahami pengaruh pelbagai faktor pada kerutan usus di luar badan

Tujuan Perilaku Khusus :

1. Menjelaskan pengaruh :

- Epinefrin
- AsetilKolin

- Ion Kalsium

- Pilokarpin

- Suhu

- Ion Barium

2. Menjelaskan tujuan pengaliran udara ke dalam cairan perfusi

3. Menjelaskan tujuan mempertahankan suhu larutan Locke di dalam tabung perfusi pada suhu 35oC
selama percobaan, kecuali percobaan pengaruh suhu

4. Memberi batasan mengenai Q10

Alat, Sediaan dan Bahan Kimia Yang Diperlukan :

1. Kaki tiga + kawat kassa

2. Gelas beker pireks 600cc

3. Statif

4. Tabung perfusi usus dengan klemnya

5. Pipa kaca bengkok untuk perfusi

6. Pipa karet dan kompressor udara

7. Termometer kimia

8. Pencatat gerakan usus

9. Signal magnet + kawat listrik

10. Kimokraf rangkap

11. Sepotong usus halus kelinci dengan panjang 3cm (dibagikan oleh asisten yang bertugas)

12. Larutan :

- Locke biasa dan Locke bersuhu 35oC

- Epinefrin 1:10.000

- Locke tanpa kalsium

- CaCl2 1%
- Asetilkolin 1:1.000.000

- Pilokarpin 0,5%

- BaCl2 1%

13. Es + Waskom

Cara Kerja :

1. Susunlah alat menurut gambar

2. Hangatkan air dalam gelas beker pireks sehingga larutan Locke di dalam tabung perfusi mencapai
suhu 35oC

3. Mintalah sepotong usus halus kelinci kepada asisten yang bertugas

4. Pasang sediaan usus tersebut sebagai berikut :

5. Alirkan udara ke dalam larutan Locke dalam tabung perfusi dengan mengatus klem pengatur aliran
udara, sehingga gelembung udara tidak terlalu menggoyangkan sediaan usus yang telah dipasang itu

6. Selama percobaan, perhatikan suhu larutan Locke ke dalam tabung perfusi yang harus
dipertahankan pada 35OC, kecuali bila ada petunjuk lain.

I. Pengaruh Asetilkolin

7. Catat 10 kerutan usus sebagai kontrol

8. Tanpa mengehentikan tromol, teteskan 2 tetes larutan asetilkolin 1:1.000.000.000 ke dalam cairan
perfusi. Beri tanda saat penetesan.

9. Teruskan dengan pencatatan sampai pengaruh asetilkolin terlihat jelas

10. Hentikan tromol dan cucilah sediaan usus untuk menghilangkan pengaruh asetilkolin sebagai berikut
:

10.1 Pindahkan kaki tiga + kawat basa dan gelas beker pireks dari tabung perfusi

10.2 Letakkan waskom kosong di bawah tabung perfusi

10.3 Bukalah sumbat tabung perfusi sehingga cairan perfusi keluar sampai habis
10.4 Tutup kembali tabung perfusi dan isilah dengan larutan Locke yang baru (tidak perlu bersuhu 35oC )
dan besarkan aliran udara sehingga usus bergoyang-goyang.

10.5 Buka lagi sumbat untuk mengeluarkan larutan Lockenya

10.6 Ulangi langkah 10.4 dan 10.5 sebanyak dua kali, sehingga dapat dianggap sediaan usus telah bebas
dari pengaruh asetilkolin

10.7 Setelah selesai hal-hal di atas, tutup kembali tabung perfusi dan isilah dengan larutan Locke baru
yang bersuhu 35oC (disediakan) serta atur kembali aliran udaranya.

10.8 Pasang kembali gelas beker pireks, kaki tiga + kawat kasa

II. Pengaruh Epinefrin

11. Catat 10 kerutan usus sebagai kontrol pada tromol yang berputar lambat, tetapi setiap kerutan
masih tercatat terpisah

12. Catat waktunya dengan interval 5 detik

13. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 2 tetes larutan epinefrin 1:10.000 ke dalam cairan perfusi.
Beri tanda saat penetesan. Bila 2 tetes tidak memberikan hasil setelah 5-10 kerutan, tambahkan
beberapa tetes lagi

14. Teruskan pencatatan sampai pengaruh epinefrin terlihat jelas

15. Hentikan tromol dan cucilah sediaan usus untuk menghilangkan pengaruh epinefrin seperti langkah
pada 10 butir.

III. Pengaruh Ion Kalsium

16. Catat 10 kerutan usus sebagai kontrol

17. Hentikan tromol dan gantilah larutan Locke dalam tabung perfusi dengan larutan Locke tanpa Ca
yang bersuhu 350C (disediakan).

18. Jalankan kembali tromol dan catatlah terus sampai pengaruh kekurangan ion Ca terlihat jelas.

19. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 1 tetes CaCl2 1% ke dalam cairan perfusi. Beri tanda saat
penetesan.
20. Teruskan dengan pencatatan sampai terjadi pemulihan. Bila pemulihan tidak sempurna, gantilah
cairan dlam tabung perfusi dengan cairan Locke baru bersuhu 350C

IV. Pengaruh Pilokarpin

21. Catat 10 kerutan usus sebagai kontrol

22. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 5 tetes larutan pilokarpin 0,5% ke dalam cairan perfusi. Beri
tanda saat penetesan

23. Teruskan dengan pencatatan, sehingga pengaruh pilokarpin terlihat jelas

24. Hentikan tromol dan cucilah sediaan usus untuk menghilangkan pengaruh pilokarpin seperti langkah
pada butir 10

V. Pengaruh Suhu

25. Catat 10 kerutan usus sebagai kontrol pada suhu 35oC

26. Hentikan tromol dan turunkan suhu cairan perfusi dengan jalan mengganti air hangat di dalam gelas
beker pireks dengan air biasa

27. Segera setelah tercapai suhu 30oC, jalankan tromol kembali dan catatlah 10 kerutan usus

28. Hentikan tromol lagi dan ulangi percobaan ini dengan setiap kali menurunkan suhu cairan perfusi
5oC, sampai tercapai suhu 20oC dengan jalan memasukkan potongan es ke dalam gelas beker, sehingga
diperoleh pencatatan keaktifan usus pada suhu 35oC, 300C, 250C dan 200C

29. Hentikan tromol dan naikkan suhu cairan perfusi sampai 35oC dengan jalan mengganti air es di
dalam gelas beker dengan air panas

30. Segera setelah tercapai suhu 35oC, jalankan tromol kembali dan catat 10 kerutan usus.

VI. Pengaruh Ion Barium

31. Catat 10 kerutan usus sebagai kontrol

32. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 1 tetes larutan BaCl21% ke dalam cairan perfusi. Bila 1 tetes
tidak memberikan hasil setelah 5-10 kerutan yang tidak berhasil.

33. Teruskan dengan pencatatan, sehingga pengaruhnya terlihat jelas

HASIL
PEMBAHASAN

Pengaruh Ach

Pemberian Ach pada usus menyebabkan kontraksi usus yang maksimal karena amplitudo mencapai
ambang batas dari kontraksi, bahkan bisa dilihat bahwa amplitudo Ach menduduki tempat tertinggi dari
berbagai penambahan lainnya. Ach dilepaskan dari saraf pasca ganglion parasimpatis, dengan
reseptornya kolinergik muskarinik. Saat diberikan penambahan Ach, hal ini digunakan sebagai analog
dari Ach yang dilepaskan di dalam tubuh yang menandakan bahwa terjadi peningkatan rangsangan
parasimpatis di usus, yang mengakibatkan permeabilitas Ca ekstraselular meningkat, sehingga kerja otot
longitudinal usus meningkat. Hasilnya : peningkatan amplitudo usus yang direkam oleh tromol

Dalam kehidupan sehari-hari, saraf otonom simpatis dapat terjadi ketika kita sedang santai dan tenang,
misalnya ketika kita sedang duduk tenang, maka saraf parasimpatis akan memicu pengeluaran reseptor
asetilkolin pada postganglion, yang nantinya akan memicu kerja dari pencernaan kita.

Pengaruh Epinefrin

Pemberian dari epinefrin pada praktikum ini adalah bertujuan untuk menguji pengaruh dari epinefrin
yang dihasilkan oleh medula suprarenal terhadap kinerja peristaltik dari usus. Epinefrin dilepaskan dari
reseptor adrenergik dari post ganglion simpatis. Berdasarkan dari dasar teori di atas, dapat diketahui
bahwa epinefrin merupakan hormon pemicu kerja saraf simpatis, sehingga hasil dari praktikumnya dapat
diperkirakan. Dalam hasil praktikum yang dilakukan, ketika air yang menggenangi usus kelinci diberi 2
tetes epinefrin 1:10.000 maka selang beberapa saat terjadi penurunan dari gerak peristaltik pada usus.
Penurunan ini dapat diketahui dari penurunan grafik garis yang dibentuk oleh tromol. Dari percobaan ini
dapat ditarik kesimpulan bahwa hormon epinefrin dapat menurunkan kinerja dari usus. Epinefrin
menghambat kerja otot longitudinal tetapi mengaktifasi otot sirkular. Karena pada praktikum ini yang
dapat diamati adalah kerja dari otot longitudinal, maka hasilnya terjadi penurunan amplitudo yang
dicatat oleh tromol.

Dalam kehidupan sehari-hari penurunan ini biasa terjadi ketika sistem otonom kita sedang mengaktifkan
sistem simpatisnya. Ketika kita sedang dirangsang untuk mengaktifkan saraf simpatis kita (misalnya
dengan berlari) maka simpatis akan merangsang peningkatan pengeluaran epinefrin oleh medula
suprarenal, dimana salah satu kerja dari epinefrin sudah kita buktikan sebelumnya yakni menurunkan
kerja pencernaan kita, sehingga ketika kita sedang berlari, sistem pencernaan kita tidak bekerja.

Pengaruh Ca
Ca diperlukan oleh usus untuk berkontraksi, karena usus merupakan otot polos. Otot polos memiliki
mekanisme kerja yang sama dengan otot-otot lainnya namun sedikit memiliki perbedaan. Perbedaannya
adalah otot polos termasuk organ otonom yang dapat berkontraksi tanpa dipengaruhi keinginan untuk
mengkontraksikannya. Tetapi mengapa di tromol amplitudonya menurun ? Hal ini disebabkan oleh
adanya Ca yang diberikan tetapi hanya sedikit sehingga potensial aksi (kenaikan amplitudo) belum terjadi
walaupun sudah diberikan CaCl

Pengaruh Pilokarpin

Pilokarpin merupakan parasimpatomimetik, yang bekerja menyerupai kerja saraf parasimpatis. Pada otot
polos longitudinal pada saluran cerna, pengaruh perasimpatis menyebabkan peningkatan kontraksi usus.
Pada percobaan, ketika usus kelinci dalam larutan Locke ditambahkan 1 tetes pilokarpin, terlihat adanya
peningkatan kontraksi otot polos longitudinal pada usus kelinci. Kemudian, ditambahkan larutan
pilokarpin sebanyak 4 tetes lagi,sehingga jumlah seluruhnya ada 5 tetes pilokarpin, hal ini bertujuan agar
lebih terlihat perbedaannya. Peningkatan kontraksi otot longitudinal usus kelinci ini dibuktikan dengan
peningkatan amplitude pada pencatat usus, sehingga terlihat tanjakan dan turunan yang lebih tajam.

Pengaruh Suhu

Suhu mula-mula larutan Locke yang berisi usus kelinci adalah 35oC. Untuk mengetahui pengaruh suhu
terhadap kontraksi otot longitudinal usus adalah dengan mengubah suhu cairan. Ketika suhu cairan
diubah menjadi 30oC, terlihat adanya penurunan kekuatan kontraksi otot longitudinal usus. Kemudian
ketika suhu diturunkan menjadi 250C dan seterusnya, penurunan kekuatan kontraksi usus terlihat
semakin jelas. Hal ini membuktikan bahwa penurunan suhu dapat mengurangi kekuatan kontraksi usus.
Karena aktifitas enzim-enzim terganggu akibat kenaikan suhu yang ekstrim, sehingga terjadi
penghambatan kontraksi usus.

Pengaruh Barium

Pemberian barium pada usus dapat menyebabkan spasme otot polos usus, sehinga meningkatkan
kekuatan kontraksi otot polos usus. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan amplitudo pencatat usus yang
tajam setelah ditambahkan 1 tetes barium dalam cairan Locke yang berisi usus kelinci. Barium biasanya
merupakan salah satu komposisi dalam obat pencahar. Obat ini bertujuan agar dapat mengeluarkan isi
lumen usus dalam waktu yang relative singkat. Terbukti, dalam percobaan terlihat dengan jelas
perpindahan kimus yang cepat dalam lumen usus. Namun karena kedua ujung usus dalam kondisi
terikat, maka kimus tersebut tidak keluar. Penambahan barium ini merupakan peningkatan kontraksi
usus yang paling terlihat tajam.

KESIMPULAN
Kontraksi usus membutuhkan Ca dari eksraselular yang mencukupi. Kontraksi usus dapat meningkat
apabila diberikan Ach neurotransmitter rasangan parasimpatis, dan dapat menurun apabila diberikan
neurotransmitter rangsangan simpatis berupa Epinefrin. Tetapi kenaikan dan penurunan kontraksi usus
juga dapat dipengaruhi oleh reaksi suhu yang berpengaruh pada aktivitas enzim, kemudian obat-obatan
yang dapat meningkatkan kontraksi usus seperti obat-obatan yang mengandung ion barium, maupun
pilokarpin.

DAFTAR PUSTAKA

Chandrasoma, P. & Taylor, C.R. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Ahli bahasa: Roem Soedoko, Dewi Asih
Mahnani. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Edisi II

Hernawati. Peranan Syaraf dan Hormon (Neuroendokrin) dalam Pergerakan Lambung pada Sistem
Pencernaan Hewan Ruminansia. Skripsi. Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA Universitas Pendidikan
Indonesia.; 2010

Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, ed.11th. Jakarta : EGC; 2011

Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia: Dari Jaringan ke Sel. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2012.

Dek_Riko at 09:10

Share

No comments:

Post a Comment

Home

View web version

Powered by Blogger.

About Me

My photo

Dek_Riko

Kandangan Kediri
Dalam Hidupku,,, hanya antara aliran takdir dan ikhtiyar...

View my complete profile

Anda mungkin juga menyukai