Anda di halaman 1dari 16

Home

Posts RSS
Comments RSS
Edit
Evidence Based Blog
Blog ini dikelola untuk membantu mahasiswa dan semua orang untuk mendapat apa
yang ingin diketahui

OLIMPIADE PESANTREN 2013
P.P AL-HIKMAH
MAN TAMBAKBERAS
INTERNATIONAL MEDICAL JOURNAL
o MEDICAL JOURNAL
o FREE MED JOURNAL
o CLINICALKEY JOURNAL
FACEBOOK
JURNAL INDONESIA

undefined
undefined
Laporan Praktikum Fisiologis: Kerutan
Usus dan Refleks Usus

Fisiologi Gastrointestinal

TINJAUAN PUSTAKA

Usus halus terletak di dalam rongga abdomen terbentang dari lambung ke
duodenum, jejunum, dan ileum (usus halus) dan berlanjut ke usus besar. Dalam usus
halus terjadi segmentasi yang merupakan kontraksi yang melakukan pencernaan,
pencampuran dan pendorongan kimus secara perlahan menelusuri usus halus.
Segmentasi ini terdiri dari kontraksi-kontraksi berbentuk cincin di sepanjang usus
halus dimana terjadi kontraksi yang bergantian yaitu saat segmen yang satu melemas
maka segmen yang satu di sampingnya akan berkontraksi. Kontraksi ini menjadikan
pencampuran kymus di usus halus lebih merata di dalam lumennya. pada usus halus
pencernaan selanjutnya di mulai pada duodenum yang merupakan tempat muaranya
getah pancreas dan cairan empedu. Segmentasi duodenum di mulai terutama sebagai
respon terhadap peregangan local yang di timbulkan pada saat ketika kymus mulai
keluar dari sfingter pylorus ke duodenum. Segmentasi yang lain terjadi pada ileum
yang merupakan reflex gastro ileum, dimana kymus memasuki duodenum sedangkan
ileum masih dalam keadaan kosong segmentasi ini di timbulkan oleh gastrin yang di
sekreskan oleh reflex gastro ileum tadi.
Setelah mengalami berbagai aksi di dalam duodenum kymus tersebut
kemudian melewati jejunum yang merupakan bagian usus halus yang bersambungan
dengan duodenum. Pada duodenum ini terjadilah penyerapan makanan dan air yang
kemudian berlanjut pada ileum yang melakukan fungsinya dengan menyerap sisa-sisa
nutrient yang belum tersserap di jejunum. Pada saat kymus berada di ileum reflek
gastro ileum mendorongnya ke arah katup ileocecal, terkadang kymus itu tertahan di
depan katup ileocecal tersebut sampai penambahan bolus yang baru kedalam lambung
atau sampai seseorang makan kembali.
Setelah masuk melewati katup ileocecal, kymus tersebut berjalan ke dalam
lumen usus besar yang berfungsi sebagai absorpsi air dan elektrolit dsri kymus untuk
menjadi feses dsan juga penimbunan bahan feses sampaim dapat di keluarkan dengan
melakukan metode motilitas kolon berupa kontraksi otot sirkular dan otot
longitudianal yang terkumpul menjadi tiga pita longitudinal (taenia coli ) yang di
sebut kontraksi haustra yg dimulai oleh ritmisitas otonom sel otot polos kolon.
Gerakan haustra secara perlahan mengaduk isi kolon melalui gerakan maju mundur
yang menyebabkan isi kolon terpajan ke mukosa absorptive.
Setelah makan terjadi peningkatan nyata motilitas berupa kontraksi masif
yang disebut gerakan massa yang mendorong isi kolon ke distal lalu disimpan sampai
terjadi defekasi . kontraksi haustra ini berlangsung lambat tetapi tetap persisten yang
membutuhkan waktu 8-15 jam untuk menggerakan kymus dari katp ileosecal kolon.
Kontraksi haustra ini dikontrol oleh reflex-refleks local yang melibatkan fleksus
intrinsic sepanjang usus besar yang sebelumnya kymus tersebut harus melewaati
berbaagai setruktur di dalam usus besar (colon) tersebut. yang di awali dengan
melewati caeceum yang setrukturnya mirip kantung dan merupakan bagian yang
pertama menyusun usus besar diliputi oleh peritoneum dan berdiameter 7.5 cm. Pada
tepi cecum ini terdapat lubang yang menuju usus yang tidak memiliki setruktur
lanjutan atau usus buntu atau di sebut apendik vermiformis yang berbentuk seperti
cacing dan mengandung banyak jaringan limfoid.
Setelah melewati ceceum kymus berjalan melewati colon-colon usus yang
berurutan melewati colon ascendens yang memiliki ukuran panjang sekitar 13 cm dan
berlokasi di region iliaca dektra, dan kemudian berlanjut ke dalam colon transsversum
yang memiloki ukuran panjang sekitar 38 cm, tergantung ke bawah pada mesocolon
transversum dan terletak diantara flexura coli dektra (flexura coli hepatica) dan
flekura coli sisnistra (flexura ilenalis), perjalanan kymus selanjutnya menuju colon
yang ukurannya sekitar 25 cm pada region iliaca sinistra dan berjalan dari flexura coli
sinistra ke bawah sampai ke pinggir pelvis yaitu colon descenden yang kemudian
melanjutkan diri menjadi colon sigmoid yang nantinya akan di lanjutkan ke rectum
dan kanal anal (anus). (Sherwood, 2012)
MEKANISME KONTRAKSI USUS
Nama lain dari kontraksi pada sistem pencernaan adalah motilitas usus.
Motilitas adalah kontraksi otot yang mencampur dan mendorong maju isi saluran
cerna. Otot polos di dinding saluran cerna mempertahnkan suatu kontraksi tingkat
rendah yang disebut juga sebagai tonus. Fungsi tonus adalah untuk mempertahnkan
tekanan tetap pada isi saluran cerna serta untuk mencegah dindingnya teregang
permanen setelah mengalami distensi.
Gerakan dari motilitas ini juga terbagi menjadi dua, yaitu gerakan propulsif
dan gerakan mencampur. Gerakan propulsif adalah gerakan mendorong maju isi
saluran cerna, dengan kecepatan pergerakan bervariasi yang bergantung pada fungsi
yang dilakukan oleh saluran cerna tersebut. Gerakan mencampur adalah gerakan
mencampur makanan dengan getah makanan (untuk meningkatkan kinerja
pencernaan) dan juga mempermudah penyerapan dengan meletakkan semua bagian isi
saluran cerna ke permukaan serap saluran cerna. Pergerakan ini semua sebagian besar
terjadi karena adanya kontraksi otot polos.
Motilitas pada usus halus, terbagi menjadi dua, yaitu segmentasi dan migrating
motility complex
1. Segmentasi
Segmentasi adalah gerakan mencampur dan mendorong kimus secara perlahan.
Segmentasi ini terdiri dari kontraksi otot polos sirkular yag berulang dan berbentuk
cincin di sepanjang usus halus. Di antara segmen-segmen yang berkontraksi, terdapat
kius di daerah-daerah rileks.
Cara kerja dari segementasi ini adalah sebagai berikut. Cincin kontraktil
membagi usus halus menjadi segmen-segmen kecil. Setelah itu, segmen-segmen yang
berkontraksi melemas, dan kontraksi berbentuk cincin muncul di bagian yang
sebelumnya melemas tersebut. Kontraksi baru mendorong kimus di bagian yang
semula rileks untuk bergerak kekdua arah ke bagian-bagian yang kini mlemas di
sampingnya. Karena itu, segman ynga baru melemas menerima kimus dari kedua
segmen yang berkontraksi tepat di belakang dan di depannya. Segera setelahnya,
bagian-bagian yang berkontraksi dan melemas kembali berganti.
Fungsi dari segmentasi ini adalah untuk mencampur kimus dengan getah
pencernaan yang disekresikan ke dalam lumen usus halus. Selain itu, meletakkan
semua kimus ke permukaan absorptif mukosa usus halus. Segmentasi bekerja
membagi kimus menjadi dua arah, yaitu ke depan dan kebelakang. Namun, kimus
dapat terus maju menelusuri usus halus. Hal tersebut dikarenakan frekuensi
segmentasi menururn di sepanjang usus halus. Sel-sel pemacu di duodenum secara
spontan mengalami depolarisasi lebih cepat daripada sel-sel serupa yang ada di bagian
hilir usus dengan kontraksi segmentasi terjadi di duodenum pada kecepatan 12 kali
per menit dibandingkan dengan hanya 9 kali per menit pada ileum. Karena itu, kimus
lebih terdorong untuk maju dari untuk mundur. Isi usus halus ini memerlukan
setidaknya 3-5 jam untuk melintasi usus halus dengan cara ini.
Kontraksi segmentasi terjadi dimulai oleh adanya sel-sel pemacu ususu halus
yang menghasilkan BER (irama listrik basal). BER usus halus membawa lapisan otot
polos sirkular ke ambang, lalu terjadilah suatu kontraksi segmentasi, dengan frekuensi
segmentasi itu sendiri mengikuti frekuensi BER. Intensitas kontraksi segmentasi dapat
dipengaruhi oleh regangan usus, hormon gastrin, dan oleh aktivitas ekstrinsik.
Pengaruh tersebut terjadi dengan cara menggeser potensial awal sekitar mana BER
berosilasi mendekati atau menjauhi ambang. Segmentasi berkurang atau berhenti di
antara waktu makan tetapi menjadi kuat segera setelah makan. Saat makanan masuk
ke usus halus, duodenum mulai melakukan kontraksi segmentasi karena adanya
peregangan lokal yang ditimbulkan oleh keberadaan kimus. Sedangkan segmentasi
ileum juga bekerja, walaupun tidak ada makanan Hal tersebut diakrenakan adanya
gastrin yang disekresikan sebagai respons terhadap keberadaan kimus di lambung,
disebut juga refleks gastroileum. Stimulasi parasimpatis meningkatkan segmentasi,
sementara stimulasi simpatis menekan aktivitas segmentasi.





Gambar 1 : segmentasi usus halus

2. Migrating Motility Complex
Sebagian makanan telah diserap, kontraksi segmentasi berhenti dan diganti
(antara waktu makan) oleh migrating motility complex. Migrating Motility Complex
adalah motilitas di antara waktu makan yang berbentuk gelombang peristaltik lemah
berulang yang bergerak dalam jawak pendek ke hilir sebelum lenyap. Gelombang ini
bermigrasi dari usus halus ke ujung kolon, dengan setiap kontraksi yang dikerjakan
menyapu maju sisa-sisa makanan sebelumnya ditambah debris mukosa dan bakteri
menuju kolon. Setelah akhir usus halus tercapai, siklus dimulai kembali dan terus
berulang sampai kedatangan makanan berikutnya. Kerja ini diatur di antara waktu
makan oleh hormon motilin, yang disekresikan selama keadaan tidak makan oleh sel-
sel endokrin mukosa usus halus. Pelepasan motilin itu sendiri dihambat oleh makan.
(Sherwood, 2012)
PENGATURAN NEURAL
Pengaturan GastroIntestinal oleh sistem saraf terdiri dari persarafan intrinsik
(enterik) dan inervasi ekstrinsik. Fungsi dari persarafan ini adalah untuk memonitor
dan mengatur proses yang terjadi di GastroIntestinal. Persarafan intrinsik terdiri dari
dua pleksus yaitu pleksus mienterikus dan pleksus submukosa. Pleksus mienterikus
atau pleksus Aurbach sesuai namanya terletak di lapisan muskular antara otot polos
sirkular dan otot polos longitudinal. Sedangkan pleksus submukosa atau pleksus
Meissner terletak di lapisan submukosa. Sistem saraf intrinsik ini terdiri dari motor
neuron, sensorik, dan interneuron. Karena motor neuron pleksus mienterikus sebagian
besar menginervasi otot polos longitudinal dan sirkular, pleksus ini sebagai
pengontrol motilitas GastroIntestinal. Sedangkan pada pleksus submukosa motor
neuronnya kebanyakan mempersarafi sel sekret di epitel mukosa, sehingga pleksus ini
sebagai pengontrol sekresi organ traktus GastroIntestinal. Interneuron persarafan
intrinsik berfungsi sebagai penghubung pleksus submukosa dan mienterikus.
Sedangkan saraf sensorik yang bertugas di epitel mukosa berguna sebagai
kemoreseptor, stretch receptor yang teraktivasi apabila dinding organ gastrointestinal
terisi makanan.
Persarafan ekstrinsik dari gastrointestinal dipersarafi oleh sistem saraf otonom.
Bagian parasimpatis dipersarafi oleh nervus vagus yang hampir mempersarafi traktus
GI secara keseluruhan kecuali setengah bagian akhir dari usus besar yang dipersarafi
oleh serat saraf dari medula spinalis yaitu nervus pelvis. Kontrol persarafan ekstrinsik
ini baik simpatik maupun parasimpatik membentuk hubungan dengan sistem saraf
enterik dengan persambungan ke pleksus mienterikus dan pleksus submukosa tempat
sistem saraf intrinsik (enterik) terususun rapi. Saraf otonom dapat mempengaruhi
motilitas dan sekresi saluran pencernaan melalui modifikasi aktivitas yang sedang
berjalan di pleksus-pleksus sistem saraf intrinsik. Sistem saraf simpatis dan
parasimpatis yang mempersarafi jaringan tertentu menimbulkan efek yang
bertentangan di pencernaan. Sistem saraf simpatis bekerja
menghambat/memperlambat kontraksi dan sekresi saluran pencernaan. Sistem saraf
parasimpatis bekerja sebaliknya yaitu meningkatkan kerja dengan cara menaikkan
motilitas dan sekresi enzim serta hormon pencernaan meningkat.
Kendali usus yang paling penting adalah aktivitas refleks lokal yang
diperantarai oleh pleksus nervosus intramural (Meissner dan Aurbach) dan
interkoneksinya. Jadi pasien dengan kerusakan medula spinalis maka fungsi ususnya
tetap normal, sedangkan pasien dengan penyakit hirschsprung akan mempunyai
fungsi usus yang abnormal karena pada penyakit ini terjadi keabsenan pleksus
aurbach dan meissner (Taylor, 2005).
REFLEKS
Perangsang agar terjadi refleks : distensi lumen saluran GI, osmoloritas kimus,
keasaman kimus dan hasil digestif (karbohidrat, lemak, protein). Reseptor yang
terletak di GI merupakan mekanoreseptor (untuk mengetahui distensi saluran GI),
osmoreseptor (untuk mengetahui proses osmosis), kemoreseptor (untuk melihat pH
dan kandungan-kandungannya).
Jenis refleksnya dibagi menjadi dua, yaitu refleks panjang dan refleks pendek.
Pemberian nama sesuai panjang jalur yang dilewatinya. Refleks panjang jalurnya
lewat pusat dulu contoh peristiwa: saat mencium bau makanan memicu keluarnya
kelenjar saliva. Contoh lain seperti saat kilta baru melihat, atau memikirkan makanan,
saliva sudah menetes dan tubuh menjadi merasa lapar. Neuron pathway-nya untuk
stimuli dari makanan yang kita lihat: sensoriknya berada di mata akan terkirim ke
saraf ekstrinsik ke otak lalu ke saraf simpatik / parasimpatik ke interneuron/efferen
neuron (ada yang tanpa interneuron langsung ke GI) lalu ke GI.
Kalau refleks pendek maka refleks itu berjalan dengan sensorik di GI dan
motoriknya di GI juga misal pada refleks gastrokolik. Resptor di lambung mengirim
sinyal ke saraf di kolon. Efektornya otot polos kolon, sehingga akan terjadi kontraksi
di kolon. Refleks ini biasa terjadi setelah makan. Hasilnya orang yang bersangkutan
setelah makan akan langsung ke belakang. Yang dikeluarkan di feses adalah sisa
makanan yang kemari bukan yg baru masuk. Refleks in bertugas untuk mendorong
sisa2 makanan yang ada di GI sehingga makanan baru bisa masuk.Ada juga refleks
Refleks duodenocolika. Refleknya mirip gastrokolik cuman bedanya makanan yang
menstimulus ada di duodenum, efektornya sama yaitu kolon. Menurut kuliah refleks
ini paling penting. Karena refleks ini tidak melibatkan otak dalam pengorganisasian
rangsang yang diterima, maka prof Greshon menyebut bahwa di GI itu ada otak kita
yang kedua atau disebut juga otak kecil atau otak enterik. (Taylor, 2005)
PENGARUH ACH
Asetilkolin adalah salah satu neurotransmitter yang digunakan oleh saraf.
Asetilkolin atau yang disebut juga sebagai ACh, adalah neurotransmitter yang
digunakan oleh serat praganglion simpatis dan parasimpatis. Ach juga digunakan
sebagai neurotransmitter serat pascaganglion parasimpatis. Serat ini mengeluarkan
asetilkolin. Serat ini, bersama dengan semua serat praganglion otonom, disebut juga
sebagai serat kolinergik.
Serat otonom pascaganglion ini tidak berakhir di satu benjolan terminal saja
(synaptic knob). Namun, cabang-cabang terminal serat otonom memiliki banyak
pembengkakan atau benjolan, yang disebut sebagai varicosities, yang secara
bersamaan megeluarkan neurotransmitter ke suatu daerah luas di organ yang disarafi
dan bukan hanya untuk ke satu sel saja. Pelepasan neurotransmitter yang difus ini,
disertai kenyataan bahwa setiap perubahan aktivitas listrik yang terjadi menyebar ke
seluruh massa otot polos atau otot jantung (pada usus halus, yang berlaku adalah otot
polos)melalui taut celah, meyebabkan aktivitas otonom biasanya mempengaruhi organ
keseluruhan bukan sel-sel tertentu. (Sherwood, 2012)
Ach juga berperan dalam persisteman parasimpatis, yaitu sebagai neurotransmitter
pascaganglion. Sistem parasimpatis sangat berperan dalam sistem pencernaan. Sistem
ini mendominasi pada keadaan tenang dan santai. Pada keadaan tanpa ancaman, tubuh
berkonsentrasi melaksanakan aktivitas normalnya, misalnya pencernaan. Sistem
parasimpatis merupakan tipe rest and digest, yaitu istirahat dan cerna sekaligus
memperlambat aktivitas-aktivitas yang ditingkatkan oleh sistem simpatis. Sebagai
contoh, efek stimulasi parasimpatis pada sistem pencernaan adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan motilitias organ pencernaan
2. Relaksasi sfingter (untuk memungkinkan gerakan maju isi saluran cerna)
3. Stimulasi sekresi pencernaan
4. Stimulasi sekresi pankreas eksokrin (untuk pencernaan)
5. Pengeluaran banyak liur encer kaya enzim
PENGARUH ION CA
Ion Ca sangat diperlukan dalam mekanisme kontraksi otot polos. Jika ion Ca tidak
ditemukan dalam suatu otot polos, maka otomatis, kontraksi otot tidak terjadi. Hal
tersebut dikarenakan Ca merupakan pengaktivasi miosin kinase yang diperlukan
untuk proses kontraktil. Berikut adalah proses yang terjadi pada mekanisme kontraksi
otot polos :
1. Pada saat sebuah hormon berikatan pada reseptor di membran maka akan
mengaktifkan sebuah molekul G protein akibat terjadinya mekanisme depolarisasi
membran plasma.
2. Akibat depolarisasi membran plasma akan membuka kanal Ca di permukaan
membran plasma dan memicu proses difusi Ca melalui kanal Ca yang kemudian akan
berkombinasi dengan calmodulin.
3. Calmodulin dengan Ca yang telah membentuk ikatan kemudian melekat pada miosin
kinase dan mengaktivasi protein kinase ini (miosin adalah salah satu protein yang juga
berperan penting dalam mekanisme kontraksi otot polos).
4. Aktivasi miosin kinase menempelkan fosfat dari ATP pada kepala miosin untuk
mengaktifkan proses kontraktil.
5. Kemudian terjadilah sebuah siklus cross-bridge formation, pergerakan, dan pelepasan
ikatan protein kontraktil yang terlibat. Siklus ini yang menyebabkan otot dapat
berkontraksi secara terus-menerus (disesuaikan dengan siklus relaksasi juga).
Gambar 2 : Mekanisme kontraksi otot polos
PENGARUH PILOKARPIN
Pilokarpin memiliki efek yang sama dengan asetilkolin. Pilokarpin termasuk
dalam obat parasimpatometik yang langsung bekerja pada reseptor kolinergik tipe
muskarinik. Perbedaanya adalah pilokarpin dapat menimbulkan efek yang luas
parasimpatis yang khas, dan tidak mudah tidak begitu cepat dirusak oleh kolinesterase
yang terdapat dalam darah dan cairan tubuh. Sedangkan, asetilkolin tidak mempunyai
efek yang sama persis di selurruh tubuh karena sebelum mencapai organ efektor, telah
dirusak terlebih dahulu oleh kolinesterase. (Guyton, 2011)
PENGARUH SUHU
Gerakan usus dapat dipengaruhi oleh suhu. Suhu normal tubuh membuat usus
dapat melakukan gerak peristaltiknya secara normal. Saat usus diberikan perlakuan
dingin, maka yang terjadi adalah gerakan usus semakin melambat. Hal tersebut dapat
dilihat dari amplitudonya yang semakin mengecil. Kemudian, usus diberikan
perlakuan panas yang menyebabkan gerakan usus semakin cepat. Akan tetapi, bukan
berarti dengan suhu yang semakin panas (di atas normal) usus dapat bergerak lebih
cepat lagi. Hal ini dikarenakan oleh faktor enzim. Enzim hanya dapat bekerja dalam
keadaan suhu tubuh normal.(Hernawati, 2010)
PENGARUH ION BARIUM
Ion barium mempunyai efek yang sangat kuat terhadap gerakan usus. Kerja
obat ini analog dengan pilokarpin dan asetilkolin, karena meningkatkan gerakan
usus. (Guyton, 2011)


KERUTAN USUS DI LUAR BADAN

Tujuan Instruktional Umum :
Memahami pengaruh pelbagai faktor pada kerutan usus di luar badan
Tujuan Perilaku Khusus :
1. Menjelaskan pengaruh :
- Epinefrin
- AsetilKolin
- Ion Kalsium
- Pilokarpin
- Suhu
- Ion Barium
2. Menjelaskan tujuan pengaliran udara ke dalam cairan perfusi
3. Menjelaskan tujuan mempertahankan suhu larutan Locke di dalam tabung perfusi
pada suhu 35
o
C selama percobaan, kecuali percobaan pengaruh suhu
4. Memberi batasan mengenai Q
10

Alat, Sediaan dan Bahan Kimia Yang Diperlukan :
1. Kaki tiga + kawat kassa
2. Gelas beker pireks 600cc
3. Statif
4. Tabung perfusi usus dengan klemnya
5. Pipa kaca bengkok untuk perfusi
6. Pipa karet dan kompressor udara
7. Termometer kimia
8. Pencatat gerakan usus
9. Signal magnet + kawat listrik
10. Kimokraf rangkap
11. Sepotong usus halus kelinci dengan panjang 3cm (dibagikan oleh asisten yang
bertugas)
12. Larutan :
- Locke biasa dan Locke bersuhu 35
o
C
- Epinefrin 1:10.000
- Locke tanpa kalsium
- CaCl
2
1%
- Asetilkolin 1:1.000.000
- Pilokarpin 0,5%
- BaCl
2
1%
13. Es + Waskom

Cara Kerja :
1. Susunlah alat menurut gambar
2. Hangatkan air dalam gelas beker pireks sehingga larutan Locke di dalam tabung
perfusi mencapai suhu 35
o
C
3. Mintalah sepotong usus halus kelinci kepada asisten yang bertugas
4. Pasang sediaan usus tersebut sebagai berikut :
5. Alirkan udara ke dalam larutan Locke dalam tabung perfusi dengan mengatus klem
pengatur aliran udara, sehingga gelembung udara tidak terlalu menggoyangkan
sediaan usus yang telah dipasang itu
6. Selama percobaan, perhatikan suhu larutan Locke ke dalam tabung perfusi yang harus
dipertahankan pada 35
O
C, kecuali bila ada petunjuk lain.

I. Pengaruh Asetilkolin

7. Catat 10 kerutan usus sebagai kontrol
8. Tanpa mengehentikan tromol, teteskan 2 tetes larutan asetilkolin 1:1.000.000.000 ke
dalam cairan perfusi. Beri tanda saat penetesan.
9. Teruskan dengan pencatatan sampai pengaruh asetilkolin terlihat jelas
10. Hentikan tromol dan cucilah sediaan usus untuk menghilangkan pengaruh asetilkolin
sebagai berikut :
10.1 Pindahkan kaki tiga + kawat basa dan gelas beker pireks dari tabung perfusi
10.2 Letakkan waskom kosong di bawah tabung perfusi
10.3 Bukalah sumbat tabung perfusi sehingga cairan perfusi keluar sampai habis
10.4 Tutup kembali tabung perfusi dan isilah dengan larutan Locke yang baru (tidak perlu
bersuhu 35oC ) dan besarkan aliran udara sehingga usus bergoyang-goyang.
10.5 Buka lagi sumbat untuk mengeluarkan larutan Lockenya
10.6 Ulangi langkah 10.4 dan 10.5 sebanyak dua kali, sehingga dapat dianggap sediaan
usus telah bebas dari pengaruh asetilkolin
10.7 Setelah selesai hal-hal di atas, tutup kembali tabung perfusi dan isilah dengan larutan
Locke baru yang bersuhu 35oC (disediakan) serta atur kembali aliran udaranya.
10.8 Pasang kembali gelas beker pireks, kaki tiga + kawat kasa

II. Pengaruh Epinefrin

11. Catat 10 kerutan usus sebagai kontrol pada tromol yang berputar lambat, tetapi setiap
kerutan masih tercatat terpisah
12. Catat waktunya dengan interval 5 detik
13. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 2 tetes larutan epinefrin 1:10.000 ke dalam
cairan perfusi. Beri tanda saat penetesan. Bila 2 tetes tidak memberikan hasil setelah
5-10 kerutan, tambahkan beberapa tetes lagi
14. Teruskan pencatatan sampai pengaruh epinefrin terlihat jelas
15. Hentikan tromol dan cucilah sediaan usus untuk menghilangkan pengaruh epinefrin
seperti langkah pada 10 butir.

III. Pengaruh Ion Kalsium
16. Catat 10 kerutan usus sebagai kontrol
17. Hentikan tromol dan gantilah larutan Locke dalam tabung perfusi dengan larutan
Locke tanpa Ca yang bersuhu 35
0
C (disediakan).
18. Jalankan kembali tromol dan catatlah terus sampai pengaruh kekurangan ion Ca
terlihat jelas.
19. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 1 tetes CaCl
2
1% ke dalam cairan perfusi. Beri
tanda saat penetesan.
20. Teruskan dengan pencatatan sampai terjadi pemulihan. Bila pemulihan tidak
sempurna, gantilah cairan dlam tabung perfusi dengan cairan Locke baru bersuhu
35
0
C
IV. Pengaruh Pilokarpin
21. Catat 10 kerutan usus sebagai kontrol
22. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 5 tetes larutan pilokarpin 0,5% ke dalam cairan
perfusi. Beri tanda saat penetesan
23. Teruskan dengan pencatatan, sehingga pengaruh pilokarpin terlihat jelas
24. Hentikan tromol dan cucilah sediaan usus untuk menghilangkan pengaruh pilokarpin
seperti langkah pada butir 10
V. Pengaruh Suhu
25. Catat 10 kerutan usus sebagai kontrol pada suhu 35
o
C
26. Hentikan tromol dan turunkan suhu cairan perfusi dengan jalan mengganti air hangat
di dalam gelas beker pireks dengan air biasa
27. Segera setelah tercapai suhu 30
o
C, jalankan tromol kembali dan catatlah 10 kerutan
usus
28. Hentikan tromol lagi dan ulangi percobaan ini dengan setiap kali menurunkan suhu
cairan perfusi 5
o
C, sampai tercapai suhu 20
o
C dengan jalan memasukkan potongan es
ke dalam gelas beker, sehingga diperoleh pencatatan keaktifan usus pada suhu 35
o
C,
30
0
C, 25
0
C dan 20
0
C
29. Hentikan tromol dan naikkan suhu cairan perfusi sampai 35
o
C dengan jalan
mengganti air es di dalam gelas beker dengan air panas
30. Segera setelah tercapai suhu 35
o
C, jalankan tromol kembali dan catat 10 kerutan usus.
VI. Pengaruh Ion Barium
31. Catat 10 kerutan usus sebagai kontrol
32. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 1 tetes larutan BaCl
2
1% ke dalam cairan
perfusi. Bila 1 tetes tidak memberikan hasil setelah 5-10 kerutan yang tidak berhasil.
33. Teruskan dengan pencatatan, sehingga pengaruhnya terlihat jelas

HASIL



PEMBAHASAN

Pengaruh Ach
Pemberian Ach pada usus menyebabkan kontraksi usus yang maksimal karena
amplitudo mencapai ambang batas dari kontraksi, bahkan bisa dilihat bahwa
amplitudo Ach menduduki tempat tertinggi dari berbagai penambahan lainnya. Ach
dilepaskan dari saraf pasca ganglion parasimpatis, dengan reseptornya kolinergik
muskarinik. Saat diberikan penambahan Ach, hal ini digunakan sebagai analog dari
Ach yang dilepaskan di dalam tubuh yang menandakan bahwa terjadi peningkatan
rangsangan parasimpatis di usus, yang mengakibatkan permeabilitas Ca ekstraselular
meningkat, sehingga kerja otot longitudinal usus meningkat. Hasilnya : peningkatan
amplitudo usus yang direkam oleh tromol
Dalam kehidupan sehari-hari, saraf otonom simpatis dapat terjadi ketika kita
sedang santai dan tenang, misalnya ketika kita sedang duduk tenang, maka saraf
parasimpatis akan memicu pengeluaran reseptor asetilkolin pada postganglion, yang
nantinya akan memicu kerja dari pencernaan kita.

Pengaruh Epinefrin
Pemberian dari epinefrin pada praktikum ini adalah bertujuan untuk menguji
pengaruh dari epinefrin yang dihasilkan oleh medula suprarenal terhadap kinerja
peristaltik dari usus. Epinefrin dilepaskan dari reseptor adrenergik dari post ganglion
simpatis. Berdasarkan dari dasar teori di atas, dapat diketahui bahwa epinefrin
merupakan hormon pemicu kerja saraf simpatis, sehingga hasil dari praktikumnya
dapat diperkirakan. Dalam hasil praktikum yang dilakukan, ketika air yang
menggenangi usus kelinci diberi 2 tetes epinefrin 1:10.000 maka selang beberapa saat
terjadi penurunan dari gerak peristaltik pada usus. Penurunan ini dapat diketahui dari
penurunan grafik garis yang dibentuk oleh tromol. Dari percobaan ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa hormon epinefrin dapat menurunkan kinerja dari usus. Epinefrin
menghambat kerja otot longitudinal tetapi mengaktifasi otot sirkular. Karena pada
praktikum ini yang dapat diamati adalah kerja dari otot longitudinal, maka hasilnya
terjadi penurunan amplitudo yang dicatat oleh tromol.
Dalam kehidupan sehari-hari penurunan ini biasa terjadi ketika sistem otonom
kita sedang mengaktifkan sistem simpatisnya. Ketika kita sedang dirangsang untuk
mengaktifkan saraf simpatis kita (misalnya dengan berlari) maka simpatis akan
merangsang peningkatan pengeluaran epinefrin oleh medula suprarenal, dimana salah
satu kerja dari epinefrin sudah kita buktikan sebelumnya yakni menurunkan kerja
pencernaan kita, sehingga ketika kita sedang berlari, sistem pencernaan kita tidak
bekerja.

Pengaruh Ca
Ca diperlukan oleh usus untuk berkontraksi, karena usus merupakan otot
polos. Otot polos memiliki mekanisme kerja yang sama dengan otot-otot lainnya
namun sedikit memiliki perbedaan. Perbedaannya adalah otot polos termasuk organ
otonom yang dapat berkontraksi tanpa dipengaruhi keinginan untuk
mengkontraksikannya. Tetapi mengapa di tromol amplitudonya menurun ? Hal ini
disebabkan oleh adanya Ca yang diberikan tetapi hanya sedikit sehingga potensial
aksi (kenaikan amplitudo) belum terjadi walaupun sudah diberikan CaCl
Pengaruh Pilokarpin
Pilokarpin merupakan parasimpatomimetik, yang bekerja menyerupai kerja
saraf parasimpatis. Pada otot polos longitudinal pada saluran cerna, pengaruh
perasimpatis menyebabkan peningkatan kontraksi usus. Pada percobaan, ketika usus
kelinci dalam larutan Locke ditambahkan 1 tetes pilokarpin, terlihat adanya
peningkatan kontraksi otot polos longitudinal pada usus kelinci. Kemudian,
ditambahkan larutan pilokarpin sebanyak 4 tetes lagi,sehingga jumlah seluruhnya ada
5 tetes pilokarpin, hal ini bertujuan agar lebih terlihat perbedaannya. Peningkatan
kontraksi otot longitudinal usus kelinci ini dibuktikan dengan peningkatan amplitude
pada pencatat usus, sehingga terlihat tanjakan dan turunan yang lebih tajam.
Pengaruh Suhu
Suhu mula-mula larutan Locke yang berisi usus kelinci adalah 35
o
C. Untuk
mengetahui pengaruh suhu terhadap kontraksi otot longitudinal usus adalah dengan
mengubah suhu cairan. Ketika suhu cairan diubah menjadi 30
o
C, terlihat adanya
penurunan kekuatan kontraksi otot longitudinal usus. Kemudian ketika suhu
diturunkan menjadi 25
0
C dan seterusnya, penurunan kekuatan kontraksi usus terlihat
semakin jelas. Hal ini membuktikan bahwa penurunan suhu dapat mengurangi
kekuatan kontraksi usus. Karena aktifitas enzim-enzim terganggu akibat kenaikan
suhu yang ekstrim, sehingga terjadi penghambatan kontraksi usus.
Pengaruh Barium
Pemberian barium pada usus dapat menyebabkan spasme otot polos usus,
sehinga meningkatkan kekuatan kontraksi otot polos usus. Hal ini dibuktikan dengan
peningkatan amplitudo pencatat usus yang tajam setelah ditambahkan 1 tetes barium
dalam cairan Locke yang berisi usus kelinci. Barium biasanya merupakan salah
satu komposisi dalam obat pencahar. Obat ini bertujuan agar dapat mengeluarkan
isi lumen usus dalam waktu yang relative singkat. Terbukti, dalam percobaan terlihat
dengan jelas perpindahan kimus yang cepat dalam lumen usus. Namun karena kedua
ujung usus dalam kondisi terikat, maka kimus tersebut tidak keluar. Penambahan
barium ini merupakan peningkatan kontraksi usus yang paling terlihat tajam.


KESIMPULAN
Kontraksi usus membutuhkan Ca dari eksraselular yang mencukupi. Kontraksi
usus dapat meningkat apabila diberikan Ach neurotransmitter rasangan parasimpatis,
dan dapat menurun apabila diberikan neurotransmitter rangsangan simpatis berupa
Epinefrin. Tetapi kenaikan dan penurunan kontraksi usus juga dapat dipengaruhi oleh
reaksi suhu yang berpengaruh pada aktivitas enzim, kemudian obat-obatan yang dapat
meningkatkan kontraksi usus seperti obat-obatan yang mengandung ion barium,
maupun pilokarpin.

DAFTAR PUSTAKA
Chandrasoma, P. & Taylor, C.R. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Ahli bahasa: Roem
Soedoko, Dewi Asih Mahnani. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Edisi II
Hernawati. Peranan Syaraf dan Hormon (Neuroendokrin) dalam Pergerakan Lambung pada
Sistem Pencernaan Hewan Ruminansia. Skripsi. Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA
Universitas Pendidikan Indonesia.; 2010
Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, ed.11
th
. Jakarta : EGC; 2011
Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia: Dari Jaringan ke Sel. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2012.

Anda mungkin juga menyukai