Fraktur Ekstremitas Askep
Fraktur Ekstremitas Askep
KEPERAWATAN DEWASA II
FRAKTUR EKSTREMITAS
OLEH:
Nama mahasiswa : Feky Dian Anggraini
NIM : 011310b003
Puji syukur kehadihat Allah SWT atas limpahan rahmat dan kasih
sayangnya hingga selesainya laporan pendahuluan tentang Fraktur
Ekstremitas ini, shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada
tauladan terbaik Rasulullah Muhammad saw. Penulis mengucapkan
banyak terimakasih pada pihak-pihak yang membantu penyusunan laporan
pendahuluan ini.
Saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk perbaikan lebih
lanjut. Semoga laporan pendahuluan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari hari yang semakin
meningkat selaras dengan ilmu pengetahuan dan tekologi modern, manusia
tidak akan pernah lepas dari fungsi normal system musculoskeletal, salah
satunya tulang yang merupakan alat gerak utama pada manusia. Namun
akibat dari manusia itu sendiri, fungsi tulang dapat terganggu karena
mengalami fraktur. Sebagaian besar fraktur terjadi karena kecelakaan.
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2009 terdapat lebih
dari 7 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta
orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang
memiliki prevalensi cukup tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas bawah
yakni sekitar 46,2% dari insiden kecelekaan yang terjadi. Fraktur merupakan
suatu keadaan dimana terjadi diistegritas tulang. Penyebab terbanyak adalah
insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif juga dapat
berpengaruh terhadap kejadian fraktur (Depkes RI, 2009).
Insiden fraktur dapat diatasi dengan baik apabila dilakukan tindakan
segera. Kesembuhan pada penderita fraktur dipengaruhi oleh keadaan fraktur,
pemenuhan nutrisi yang baik, adanya perawatan yang baik dan adanya
kondisi psikologis yang baik dari penderita fraktur sendiri. Pada sebagian
besar penderita fraktur ditemukan adannya respon cemas yang akhirnya
berdampak kepada adanya perubahan konsep diri yang akan mempengaruhi
proses keperawatan dan proses pemenuhan nutrisi, hal ini dikarena sebagian
besar penderita yang cemas kurang memiliki nafsu makan dan kurang
responsive terhadap pengobatan yang akhirnya sangat mempengaruhi proses
penyembuhan. Respon cemas yang terjadi pada individu yang mengalami
fraktur dipengaruhi oleh karakteristik, yakni umur, pendidikan, jenis kelamin,
pekerjaan (Bhecker, 2008).
Peran perawat pada pasien fraktur ekstremitas sangat banyak. Disini
perawat sangat diperlukan untuk mengantisipasi terjadinya komplikasi sedini
mungkin pada pasien fraktur ekstremitas. Hal lain pada klien dengan post op
fraktur ekstremitas juga dapat menimbulkan permasalahan yang kompleks
mulai dari nyeri, resiko terjadi infeksi, resiko perdarahan, gangguan integritas
kulit, serta berbagai masalah yang mengganggu kebutuhan dasar lainnya.
Berdasarkan masalah diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat
judul laporan pendahuluan tentang asuhan keperawatan klien dengan fraktur
ekstremitas.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan
Fraktur Ekstremitas.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui tentang pengertian Fraktur Ekstremitas
b. Mengetahui Etiologi dan faktor resiko Fraktur Ekstremitas
c. Mengetahui patofisiologi dan pathway Fraktur Ekstremitas
d. Mengetahui tanda dan gejala Fraktur Ekstremitas
e. Mengetahui indikasi dan komplikasi dari Fraktur Ekstremitas
f. Mampu melakukan pemeriksaan diagnostik Fraktur
Ekstremitas
g. Penatalaksanaan medis
h. Mampu memberikan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan
Fraktur Ekstremitas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar
dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan
langsung,' gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi
otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan
terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan
sendi, dislokasi sendi, rupiur tendo, kerusakan saraf, dan kerusakan
pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang
disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang (Brunner & Suddarth,
2002).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000).
Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and
Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas
tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari
yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan
dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing.
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Ada lebih dari 150
klasifikasi fraktur. Lima yang utama adalah:
1. Incomplete: Fraktur hanya melibatkan bagian potongan menyilang
tulang. Salah satu sisi patah; yang lain biasanya hanya bengkok
(greenstick).
2. Complete: Garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari
tulang, dan fragmen tulang biasanya berubah tempat.
3. Tertutup (simple): Fraktur tidak meluas melewati kulit.
4. Terbuka (compound): Fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit,
dimana potensial untuk terjadi infeksi.
5. Patologis: Fraktur terjadi pada penyakit tulang (seperti kanker,
osteoporosis), dengan tak ada trauma atau hanya minimal (Doenges,
Marlyn, 2000).
Fraktur ekstremitas adalah terputusnya kontinuitas tulang pada
ekstremitas, baik ekstremitas atas ataupun bawah (Brunner & Sudarth,
2002).
6. Fraktur Tangan
Trauma tangan sering memerlukan pembedahan rekonstruksi
ekstensif. Tujuan penanganan adalah selalu mengembalikan fungsi
maksimal tangan.
Untuk fraktur tanpa pergeseran tulang distal (tulang jari), jari
dibebat selama 3 sampai 4 minggu untuk mengurangi nyeri dan
melindungi ujung jari dari trauma lebih lanjut. Fraktur yang mengalami
pergeseran dan fraktur terbuka mungkin memerlukan reduksi terbuka
dengan fiksasi interna, menggunakan kawat atau pin.
1. Fraktur Femur
Fraktur femur dapat terjadi pada beberapa tempat. Bila bagian
kaput, fcoium, atau trokhanterik femur yang terkena, terjadilah fraktur
pinggul. Fraktur juga dapat terjadi pada batang femur dan di daerah lutut
(fraktur suprakondiler dan kondiler).
2. Fraktur Pinggul
Ada insidensi tinggi fraktur pinggul pada lansia, yang tulangnya
biasanya sudah rapuh karena osteoporosis (terutama wanita) dan yang
cenderung sering jatuh. Kelemahan otot kwadrisep, kerapuhan umum
akibat usia, dan keadaan yang mengakibatkan penurunan perfusi arteri ke
otak (serangan iskemi transien, anemia, emboli, dan penyakit
kardiovaskuler, efek obat) berperan dalam insidensi terjadinya jatuh.
Pasien yang mengalami fraktur pinggul sering mempunyai kelainan medis
yang berhubungan (mis. kardiovaskuler, pulmonal, renal, endokrin).
Klasifikasi fraktur pinggul:
a. Fraktur intrakapsuler adalah fraktur kolum femur.
b. Fraktur ekstrakapsuler adalah fraktur daerah trokhanterik (antara basis
kolum femur dan trokhanter minor femur) dan daerah subtrokhanterik.
Penyembuhan fraktur kolum femur lebih sulit dibanding fraktur
pada daerah trokhanterik, karena sistem pembuluh darah yang memasok
darah ke kaput dan kolum femoris dapat mengalami kerusakan akibat
fraktur. Pembuluh darah nutrisi dalam tulang dapat terputus, dan sel tulang
dapat mati. Dengan alasan ini, maka sering terjadi nonunion atau nekrosis
aseptik pada pasien dengan tipe fraktur ini.
Fraktur intertrokhanterik ekstrakapsuler mempunyai pasokan darah
yang baik dan segera menyembuh.
Manifestasi Klinis fraktur pinggul. Pasien akan mengeluh nyeri
ringan pada selangkangan atau di sisi medial lutut. Pada fraktur
ekstrakapsuler, ektremitas jelas tampak memendek, dengan rotasi eksternal
yang lebih besar dibanding fraktur intrakapsuler, memperlihatkan spasme
otot yang tidak memungkinkan eksiremitas dalam posisi normal, dan
terdapat hematoma besar atau daerah ekhimosis yang diakibatkannya.
Diagnosis fraktur pinggul ditegakkan dengan sinar-x.
Pendekatan Gerontologik fraktur femur: Fraktur pinggul merupa-
kan penyumbang terhadap angka kematian di atas usia 75. Stres dan
imobilitas sehubungan dengan trauma menyebabkan lansia menjadi rentan
terhadap pneumonia, sepsis, dan penurunan kemampuan untuk mengatasi
masalah kesehatan lain. Kebanyakan lansia yang dihospitalisasi karena
fraktur pinggul mengalami konfusi, tidak hanya akibat stres sehubungan
dengan trauma, suasana asing, dan gangguan tidur tetapi juga karena
penyakit sistemik yang mendasarinya. Konfusi yang timbul pada beberapa
pasien lansia dapat disebabkan karena iskemia otak ringan. Faktor lain
yang mungkin berhubungan dengan konfusi meliputi respons terhadap
obat dan anestesia, malnutrisi, dehidrasi, proses infeksi, gangguan emosi,
dan kehilangan darah (Brunner & Suddarth, 2002).
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan
untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
( Ignatavicius, Donna D, 1995 ).
4. Etiologi
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik
terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat
fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat
yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya
adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan
penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
(Oswari E, 1993).
5. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan
gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi
apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya
atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan
terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya
respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan
dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993).
Pathway:
6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan
perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar frag-
men tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa)
bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada
fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun
teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan
dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan
baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang
tempat melengketnya otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang
sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah
tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain
sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. (Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.)
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur.
Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur
impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis
fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x
pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah
tersebut (Brunner & Suddarth, 2002).
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan ronsen: Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
b. Skan tulang, tomogram, skan CT/MRI: Memperlihatkan fraktur;
juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak.
c. Arteriogram: Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat
(hemqkonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi
fraktur atau organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan jumlah
SDP adalah respons stres normal setelah trauma.
e. Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk
klirens ginjal.
f. Profil koagulasi: Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
tranfusi multipel, atau cedera hati (Doenges, Marlyn, 2000).
8. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Kedaruratan.
Bila dicurigai adanya fraktur penting untuk mengimobilisasi
bagian tubuh segera sebelum pasien dipindahkan bila pasien yang
mengalami cidera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat
dilakukan pembidaian, ekstrimitas harus disangga diatas dan di bawah
tempat fraktur untuk mencegah gerakan rotasi/angulasi. Gerakan frgmen
patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak, dan
perdarahan lebih lanjut. Nyeri dapt dikurangi dengan menghindari gerakan
fragmnen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian sangat penting
untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang.
Imobilisasi tulang panjang ekstrimitas bawah juga dapat dilakkan
dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ekstrimitas yang sehat
sebagai bidai bagi ekstrimitas yang cidera.
Pada ekstrimitas atas lengan dapat dibebatkan pada dada atau
lengan bawah yang cidera digantung pada sling. Pada fraktur terbuka luka
ditutup dengan pembalut erdih atau steril untuk mencegah kontaminasi
jaringan yang lebih dalam, jangan sekali-kali melakukan reduksi fraktur
bahkan jika ada fragmen tulang melalui luka.
b. Komplikasi Lambat
1. Penyatuan Terlambat atau Tidak Ada Penyatuan.
Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi
dengan kecepatan normal untuk jenis, dan tempat fraktur tertentu.
Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik
dan distraksi (tarikan jauh) fragmen tulang. Pada akhirnya fraktur
menyembuh.
Tidak adanya penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan
ujung-ujung patahau tulang. Pasien mengeluh tidak nyaman dan
gerakan yang menetap pada tempat fraktur. Faktor yang ikut berperan
dalam masalah penyatuan meliputi infeksi pada tempat fraktur;
imerposisi jaringan di antara ujung-ujung tulang; imobilisasi dan
manipulasi yang tidak memadai, yang menghentikan pembentukan
kalus; jarak yang terlalu jauh antara fragmen tulang (gap tulang);
kontak tulang yang terbatas; dan gangguan asupan darah yang
mengakibatkan nekrosis avaskuler.
2. Nekrosis Avaskuler Tulang.
Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan
darah dan mati. Dapat terjadi setelah fraktur (khususnya pada kolum
femoris), dislokasi, terapi kortikosteroid dosis-tinggi berkepanjangan,
penyakit ginjal kronik, anemia sel sabit, dan penyakit lain. Tulang
yang mati mengalami kolaps atau diabsorpsi dan diganti dengan
tulang baru. Pasien mengalami nyeri dan keterbatasan gerak. Sinar-x
menunjukkan kehilangan kalsium dan kolaps struktural. Penanganan
umumnya terdiri atas usaha mengembalikan vitalitas tulang dengan
graft tulang, penggantian prostesis atau artrodesis (penyatuan sendi).
3. Reaksi terhadap Alat Fiksasi Interna.
Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang
telah terjadi, namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak
diangkat sampai menimbulkan gejala. Nyeri dar penurunan fungsi
merupakan indikator ulama telah terjadinya masalah. Masalah
tersebut meliputi kegagalan mekanis (pemasangan dan stabilisasi
yang tak memadai); kegagalan material (alat yang cacat atau rusak);
berkaratnya alat, menyebabkan inflamasi lokal; respons alergi
terhadap campuran logam yang dipergunakan; dan remodeling
osteoporotik di sekitar alat fiksasi (stres yang dibutuhkan untuk
memperkuat tulang diredam oleh alat tersebut, mengakibatkan
osteoporosis disuse) ( Brunner & Suddarth, 2002).
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. AKTIVITAS/ISTIRAHAT
Tanda : Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
(mungkin segera, fraktur itu sendiri, atau terjadi secara
sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri).762
b. SIRKULASI
Tanda : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respons
terhadap nyeri/ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah).
Takikardia (respons stres, hipovolemia).
Penurunan/tak ada nadi pada bagian distal yang cedera;
pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena.
Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi
cedera.
c. NEUROSENSORI
Gejala : Hilang gerakan/sensasi, spasme otot.
Kebas/kesemutan (parestesis).
Tanda : Deformitas lokal; angulasi abnormal, pemendekan, rotasi,
krepitasi (bunyi berderit), spasme otot, terlihat
kelemahan/hilang fungsi.
Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau
trauma lain).
d. NYERI/KENYAMANAN
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin
terlokalisasi pada area jaringan/kerusakan tulang; dapat
berkurang pada imobilisasi); tak ada nyeri akibat kerusakan
saraf.
Spasme/kram otot (setelah imobilisasi).
e. KEAMANAN
Tanda :Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna.
Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau
tiba-tiba).
f. PENYULUHAN/PEMBELAJARAN
Gejala : Lingkungan cedera.
DRG menunjukkan rerata lama dirawat: Femur 7,8 hari;
panggul/pelvis, 6,7 hari; lain-nya, 4,4 hari bila memerlukan
perawatan di rumah sakit.
Pertimbangan Rencana Pemulangan :
Memerlukan bantuan dengan trasportasi, aktivitas
perawatan diri, dan tugas pemeliharaan/ perawatan rumah.
2. Diagnosa dan Intervensi
3. Evaluasi
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Guyton & Hall (1997) “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, Jakarta : EGC.