Anda di halaman 1dari 19

SENGKETA STATUS DAN PEMANFAATAN PERAIRAN SILALA

ANTARA BOLIVIA VS CHILI

DISUSUN OLEH:

Khairil Ikhsan 20170610196

Bela Privanti 20170610286

Rezky Fitra Ramadhan 20170610247


BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang

Sengketa wilayah atau masalah perbatasan antar negara adalah hal yang lazim

terjadi di dunia internasional, dimana permasalahan yang seperti ini dapat mengancam

perdamaian dan keamanan internasional.Dalam kasus seperti ini kedaulatan suatu

negara seringkali menjadi persoalan utama dimana hal ini seringkali sulit untuk di

negosiasikan (non negotiable) yang tak jarang menimbulkan konflik antar

negara.Konflik antar wilayah atau territorial salah satu konflik yang sulit untuk di

selesaikan.

Setiap negara pada dasarnya selalu berupaya menetapkan garis batas wilayah

secara komprehensif dengan negara-negara tetangganya.Adanya penetapan garis batas

wilayah secara lengkap dapat memperkecil kemungkinan terjadinya sengketa

perbatasan.Sebaliknya, ketidakpastian batas wilayah dapat berakibat timbulnya klaim

teritorial yang tumpang tindih yang memicu konflik. Walaupun demikian dengan

adanya garis batas wilayah yang pasti, tidak otomatis akan menghentikan konflik antar

negara.
Hal ini terjadi pada hubungan antara chili dan Bolivia dimana kedua negara

terlibat konflik megenai batas atau status sungai silala. Pada bulan maret 2016 bolivia

menggugat chile ke mahkamah internasional dengan klaim wilayah perairan silala,

Bolivia sendiri mengkalim sebagai pemilik mata air silala dan chile tidak membayar

kompensasi atas penggunaan air silala sedangkan chile mengklaim bahwa perairan

adalah sungai internasional.

Sistem air Silala berasal dari mata air tanah yang terletak di ketinggian sekitar

4.400 meter di Bolivia dan beberapa kilometer di timur laut batas internasional Chili-

Bolivia. Sebagian besar mata air dikeringkan oleh serangkaian saluran buatan manusia

di wilayah Bolivia dan bergabung untuk membentuk kanal utama yang kemudian

melintasi ke Chili dan terhubung dengan sungai lain untuk membentuk anak sungai

Loa.1 Bolivia sendiri mengatakan bahwa bahwa Silala tidak memenuhi syarat sebagai

'jalur air internasional' dan bahwa Chili tidak memiliki hak untuk menggunakan

perairannya tanpa persetujuan Bolivia dan tanpa membayar ganti rugi.Aktivitas seperti

iini dilakukan untuk menghukum pelaku kesalahan.2Yang dimaksud disini adalah chili

yang di duga melakukan kesalahan tersebut.

Dari hal-hal yang telah dipaparkan di atas penulis sendiri tertarik untuk

mengkaji masalah ini dalam bentuk analisis dengan berdasarkan pada hukum

Penggunaan Non-Navigasi Dari Jalur Air Internasional maupun dengan instrumen

hukum lainnya yang terkait dengan menganalisis pasal-pasal terkait dengan

permasalahan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

1
Meshel, t. (2017). What’s In A Name? The Silala Waters And The Applicability Of International
Watercourse Law. 5
2
n.shaw, m. (2008). hukum internasional . bandung: nusa media.
BAB II

PEMBAHASAN

Asal Mula Konflik Antara Bolivia dan Chili Terkait Perairan Silala

Awal mula permasalahan konflik antara Bolivia dan Chili adalah status hukum

Silala sebagai “Jalur Internasional”. Dimana sistem air Silala naik dari mata air Air

Tanah yang terletak di ketinggian sekitar 4.400 meter di Bolivia dan beberapa kilometer

di timur laut batas internasional Chili-Bolivia. Perusahaan tambang Chili membangun

saluran buatan pada tahun 1908 di bawah konsesi yang diberikan oleh Bolivia untuk

membawa air ke Chili. Chili mengeklaim bahwa Silala melintasi perbatasan dari Bolivia

ke Chili secara alami dikarenakan adanya gravitasi, dan saluran buatan tidak merubah

aliran alaminya, maka dari itu menjadi “internasional”. Sedangkan, Bolivia menyangkal

Silala sungai dan mengeklaim kepemilikan penuh Silala mata air tanah yang berasal dari

wilayah Bolivia dan air tersebut diangkat secara artificial ke Chili sebagai akibat dari

perubahan buatan manusia untuk jalan alami dengan kanalisasi. Oleh karena itu, Bolivia

menyatakan bahwa Silala tidak memenuhi syarat sebagai “jalur air internasional” dan

Chili tidak memiliki hak untuk menggunakan perairan Silala tersebut tanpa ada

persetujuan dari Bolivia dan tanpa membayar ganti rugi.3

Chili mengajukan permohonannya dengan meminta Pengadilan untuk

menyatakan bahwa sisitem Sungai silala sebenarnya dan secara hukum merupakan jalur

air internasional, yang akan memberikan hak bagian perairan yang masuk akal dan adil.

Namun, Bolivia menyangkal dan menyatakan sebaliknya bahwa saluran buatan tidak

3
Meshel, t. (2017). What’s In A Name? The Silala Waters And The Applicability Of International
Watercourse Law. 5-6.
memenuhi syarat jalur internasional. Sengketa antara Bolivia dengan chili sudah

menyentuh ranah hukum internasional karena melibatkan dua negara yang berbeda.

Dimana hukum internasional sendiri merupakan sistem hukum yang terutama berkaitan

dengan hubungan antar negara.4 Kedua belah pihak sebelum akan lebih baik

menyelesaikan sengketa melalui arbitrase internasional sebelum menyelesaikannya di

mahkamah internasional. Definisi arbitrase sendiri menurut pasal 1 ayat 1 undang-

undang no.30 tahun 1999 tentang arbitrase dan penyelesaian sengketa, arbitrase adalah

cara penyelesaian sengketa perdata diluar pengadilan yurisdiksi umum berdasarkan

perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang berselisih.”5

Melihat dari defenisi diatas adalah salah satu pilihan yang harusnya diutamakan

terlebih dahulu oleh kedua belah pihak dimana dengan menempuh cara seperti itu dapat

menjaga hubungan baik antar pihak yang bersengketa tentang jalur air internasional

tadi. Menurut Konvensi PBB 1997 tentang Hukum Non-Navigasi. Uses of International

Watercourses (UNWC), Jalur Air sebagai sistem perairan permukaan dan air tanah

berdasarkan hubungan fisik mereka secara keseluruhan yang utuh dan biasanya

mengalir ke terminal umum. Sedangkan, Jalur Air Internasional didefinisikan sebagai

jalur air yang sebagiannya ditetapkan di Negara yang berbeda, yang akan tergantung

pada faktor fisik yang keberadaannya dapat dibangun dengan pengamatan sederhana

dalam sebagian besar kasus. Oleh sebab itu, kanal buatan yang melintasi batas antar

negara akan menjadi internasional bila dianggap sebagian sistem dari jalur air dan

persyaratan sudah terpenuhi. Dalam pengajuan sengketa ke pengadilan internasional,

4
John O’Brian, International Law, Cavendish Publishing Limited, Great Britain, 2001.hlm 1.
5
Y Gunawan, 2017, Arbitration Award of ICSID on the Investment Disputes of Churchill Mining PLC v.
Republic of Indonesia, Hasanuddin Law Review, Volume 3 Issue 1, April 2017, Makassar,
DOI: http://dx.doi.org/10.20956/halrev.v3i1.948, Diakses juga pada
laman http://pasca.unhas.ac.id/ojs/index.php/halrev/article/view/948/0 pada tanggal 25 Desember
pukul 15.49 WIB.
pengadilan memiliki kekuatan yang melekat dan berakar pada fungsi yudisialnya dalam

mengidentifikasi masalah-masalah utama dalam perslisihan untuk menentukan apakah

memiliki kemampuan memdengar sengketa yang diajukan.6

Berdasarkan definisi „jalur air‟ UNMC terdapat 2 (dua) persyaratan kondisi,

yaitu: “berdasarkan hubungan fisik mereka satu kesatuanyang utuh” dan “biasanya

mengalir ke terminal umum”. Persyaratan pertama diartikan oleh ILC bahwa

komponen-komponen sistem hidrologi, yaitu sungai, danau, akuifer, gletser, waduk, dan

kanal, saling terkait satu sama lain sehingga membentuk bagian dari aliran air.

Termasuk „kanal‟ yang menunjukan bahwa dapat diterapkan pada saluran air buatan

manusia.Akan tetapi, pada persyaratan kedua saluran buatan atau kanal mungkin tidak

dapat dengan mudah sendirinya mengubah dua sistem jalur air yang berbeda menjadi

satu. Maka dari itu, definisi “jalur air internasional” adalah masalah utama baik dalam

saluran air dan pertimbangan ILC dan UNWC .

Analisis Sengketa Silala Berdasarkan Hukum Penggunaan Non-Navigasi Dari

Jalur Air Internasional

Dalam kasus sengketa silala, pertanyaan mendasar yang perlu di ajukan adalah

jenis aliran air apakah silala water ini? Jalur air internasional didefinisikan sebagai

sistem air permukaan dan air tanah yang terbentuk berdasarkan fisik mereka yang

terhubung satu sama lain secara keseluruhan.7

Karena dalam pandangan Bolivia silala water merupakan bukan jalur air internasional

melainkan milik dari negara Bolivia sendiri akan tetapi chili berpendapat lain soal itu

6
Buga, I. (2012). Territorial Sovereignty Issues In Maritime Disputes: A Jurisdictional Dilemma For Law Of
The Sea Tribunals. The International Journal Of Merine And Coastal Law 27, 89.
7
Mccaffrey, S. (2001). The Contribution Of The UN Convention On The Law Of The Non-Navigational
Uses Of International Watercourses. International Journal Global Environmental Issues, 251.
dimana chili mengatakan bahwa silala adalah jalur air internasional yang dapat

digunakan bersama berdasarkan hukum kebiasaan internasional. Karena pada

kenyataannya adalah setiap negara tunduk kepada hukum, terlepas dari tentang

kedaulatan negara tersebut di gunakan.8Jalur air internasional sendiri didefinisikan

sebagai jalur air yang sebagiannya ditempatkan atau berada di Negara yang berbeda.

Oleh karena itu, jika kanal buatan dianggap sebagai bagian dari 'sistem jalur air' dan jika

persyaratan lain dari definisi tersebut terpenuhi, jalur air yang diberikan akan menjadi

internasional setelah salah satu bagiannya melintasi batas antar negara, termasuk kanal

buatan. Akan tetapi pembacaan sepintas definisi UNWC gagal untuk mengklarifikasi

apakah kanal buatan akan dianggap sebagai bagian dari jalur air dimana hukum jalur air

internasional berlaku di mana ia merupakan satu-satunya penghubung antara sistem

terpisah yang terletak di negara bagian yang berbeda.

Definisi 'jalur air internasional' adalah masalah yang sangat serius dalam

pertimbangan ILC yang mengarah pada kesimpulan dari UNWC. Pada tahun 1980,

Komisi memutuskan untuk melanjutkan berdasarkan hipotesis kerja sementara berikut

mengenai konsep 'sistem jalur air internasional. Sistem jalur air terbentuk dari

komponen hidrografi seperti sungai, danau, kanal, gletser dan air tanah yang

membentuk berdasarkan hubungan fisik mereka keseluruhan kesatuan. Dengan

demikian, setiap penggunaan yang mempengaruhi perairan di satu bagian sistem dapat

mempengaruhi perairan di bagian lain. “Sistem jalur air internasional” adalah sistem

jalur air, yang komposisinya berada di dua atau lebih Negara. Sejauh bagian-bagian

perairan di satu Negara tidak terpengaruh atau tidak mempengaruhi penggunaan air di

Negara lain, mereka tidak akan diperlakukan sebagai termasuk dalam sistem jalur air

8
S.H, Soehino. (2013). Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
internasional. Dengan demikian, untuk menyatakan bahwa penggunaan perairan sistem

memiliki efek pada satu sama lain, sejauh sistem itu bersifat internasional, tetapi hanya

sejauh itu; dengan demikian, tidak ada karakter absolut, tetapi relatif, internasional dari

aliran air”.

Dalam kasus sengketa silala salah satu yang terpenting penentuan status aliran

air yang menjadi permasalahan mendasar sehinga kasus sengketa ini tak kunjung

menemui titik temu.Dari beberapa instrument hukum memiliki pandangan yang berbeda

soal ini.Bahkan hukum belum dapat dikatakan sebagai hukum baru sekedar positif

morality saja.9 Beberapa pakar hukum bahkan mengatakan bahwa secara logika tidak

ada heirarki dalam hukum internasional mengingat sistem hukum ini berlandaskan

prinsip koordinatif, prinsip desentralisasi juga persamaan kedudukan negara-negara

berdaulat.10 Saluran air buatan atau kanal banyak yang beranggapan tidak masuk dalam

saluran air internasional karena tidak bersifat alami atau bukan buatan manusia akan

tetapi beberapa instrumen hukum berpendapat bahwa aliran air termasuk sungai, danau

maupun kanal merupakan saluran air internasional ketika saluran air tersebut melintasi

batas suatu negara atau begiannya berada pada dua atau lebih negara.

Pelapor Khusus yang berasal dari pihak Bolivia sendiri Tuan McCaffrey, agak

beranjak dari keberatannya dengan dimasukkannya kanal buatan manusia dalam definisi

jalur air internasional, mencatat dalam Laporannya tahun 1991 bahwa air permukaan

membentuk bagian dari “sistem aliran air” dapat mengambil beberapa bentuk alami,

termasuk sungai, danau dan kolam, dan berbagai bentuk buatan seperti kanal dan

9
Dr. Sefriani, S. M. (2018). Hukum Internasional Suatu Pengantar. Depok: PT Rajagrafindo Persada.
10
Malcolm, E. (2003). international law. Oxford University press.
waduk.11 Dia juga merekomendasikan dimasukkannya sebuah artikel tentang

'penggunaan istilah' yang mendefinisikan 'sistem aliran air' sebagai 'sistem perairan

yang terdiri dari komponen hidrografi, termasuk sungai, danau, air tanah dan kanal,

yang dibentuk berdasarkan hubungan fisik mereka satu kesatuan.

Dalam Laporan 1983 untuk ILC, Pelapor Khusus Mr. Jens Evensen mencatat

bahwa danau (termasuk kanal) membentuk bagian alami dari sejumlah “jalur air

internasional” dan istilah “sistem jalur”cukup komprehensif untuk memasukkan hal

tersebut di samping sungai, danau dan anak sungai akan tetapi termasuk komponen

lainnya seperti kanal , aliran sungai dan akuifer dan air tanah.12

Instrumen internasional lainnya

Hukum internasional di depan negara-negara di dunia memiliki perlakuan yang

berbeda dalam praktek antara negara satu dengan negara yang lainnya. Contohnya saja

inggris yang menerapkan blackstone doctrine yang dimana doktrin ini menganggap

bahwa hukum internasional adalah bagian dari common law sehingga dapat

diberlakukan tanpa persyaratan apapun.13 Tidak hanya inggris, amerika serikat juga

menerapkan doktrin inkoorporasi, bahwa hukum internasional sebagai bagian dari

hukum nasional mereka (the law of the lands).14

Pemeriksaan pendahuluan atas instrumen internasional dan definisi mereka

tentang “jalur air” dan “jalur air internasional”, atau istilah yang identik secara

fungsional mengungkapkan tidak adanya instrumen yang secara eksplisit

mengecualikan kanal buatan. Namun, beberapa instrument ini merujuk pada perairan

11
Meshel, T. (2017). What’s In A Name? The Silala Waters And The Applicability Of International
Watercourse Law. 7.
12
Ibid, hlm 8.
13
Ariatno, M. K. (2007). Hukum Internasional Hukum Yang Hidup. Jakarta: Diadit Media
14
Kusumaatmadja, M. (1982). Pengantar Hukum Internasional (Bagian Umum). Jakarta: Binacipta.
dalam “jalur alami” atau “sistem hidrologis alami”, dengandemikian secara implisit

tidak termasuk aliran air buatan. Ada juga beberapa instrumen ditemukan yang tetap

diam tentang masalah ini, meninggalkan pertanyaan terbuka tentang saluran air

buatan.Misalnya,UNECE 1992 Konvensitentang Perlindungan dan Penggunaan Jalur

Air Lintas Batas dan Danau Internasional mendefinisikan “perairan lintas batas” secara

luas sebagai “air permukaan atau tanah yang menandai, menyeberang atau terletak pada

batas antara dua atau lebih Negara”. Panduan untuk Konvensi lebih lanjut menjelaskan

bahwa 'permukaan air meliputi pengumpulan air di tanah dalam aliran, sungai, saluran,

danau, waduk atau lahan basah', tidak secara khusus merujuk pada gua buatan.15

Di sisi lain, beberapa instrumen internasional ditemukan yang secara eksplisit

memasukkan saluran air atau buatan lainnya dalam inisiasi “jalur air” maupun “jalur air

internasional”, atau istilah-istilah yang selaras secara fungsional. Beberapa instrumen

ini bersifat umum, lainnya khusus untuk masalah polusi, sementara yang lain

berhubungan dengan penggunaan navigasi aliran air internasional.

Dalam sengketa silala, chili menggunakan air silala untuk keperluannya atau

keperluan negara yang jelas-jelas berada di dalam wilayah territorial mereka.Dengan

demikian kedaulatan negara chili dalam mengelola jalur air tersebut sudah jelas

memiliki hak mengatur regulasinya sendiri. Negara mempunyai kedaulatan penuh atas

orang, barang dan perbuatan yang ada di dalamnya akan tetapi negara tidak boleh

menggunakan kedaulatan itu seenaknya.16 Hukum internasional sendiri sudah mengatur

tentang penggunaan kedaulatan tersebut. Maka dari itu negara dapat dimintai

pertanggungjawaban untuk perbuatan melawan hukum. Dalam interaksinya satu sama

15
Meshel, t. (2017). What’s In A Name? The Silala Waters And The Applicability Of International
Watercourse Law. 8-9.
16
Mauna, B. (2000). Hukum Internasional: Pengertian, Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global.
Bandung : Alumni.
lain sangat besar kemungkinannya negara membuat kesalahan atau pelanggaran yang

merugikan negara lain, disinilah muncul pertanggungjawaban negara tersebut.17

Dalam Hukum Penggunaan Non-Navigasi dari Jalur Air Internasional dimuat

beberapa ketentuan yang tertuang dalam bentuk pasal.Dimana pasal tersebut mengatur

regulasi maupun klasifikasi tentang jalur air internasional. Beberapa diantaranya sebagai

berikut :

Pasal 2 tentang penggunaan istilah

Untuk keperluan konvensi ini:

1. “Jalur air” berarti suatu sistem perairan permukaan dan air tanah berdasarkan

hubungan fisiknya satu kesatuan yang utuh dan biasanya mengalir ke terminal

umum;

2. “Jalur air internasional” berarti jalur air, yang sebagian terletak di Negara yang

berbeda;

3. “Negara Jalur Air” berarti suatu pihak pada negara Konvensi ini di mana

wilayah bagian dari jalurair internasionalnya berada, atau suatu Pihak yang

merupakan organisasi integrasi ekonomi regional,di dalam wilayah satu atau

lebih dari negara-negara anggotanya yang merupakan bagian dari jalur

airinternasional terletak;

Dalam pasal ini dapat dilihat mengenai apa yang dimaksud dengan jalur air,

jalur air internasional maupun negara jalur air atau negara yang dilalui dengan jalur air

internasional. Pada pasal 2 ayat 2 jelas dikatakan bahwa jalur air internasional

merupakan jalur air yang mengalir atau berada di dua negara atau lebih tanpa adanya

penjelasan lebih rinci tentang klasifikasi jalur air seperti apa yang di maksudkan di atas

17
Tsani, M. B. (1990). Hukum Dan Hubungan Internasional . Yogyakarta: Liberty.
tadi. Kata “terletak” pada pasal diatas menjadi salah satu kata kunci ataupun poin

penting dalam pemberian status kepada jalur air yang mana dapat dikatakan sebagai

jalur air internasional atau tidak.

Pasal 5 pemanfaatan dan partisipasi

1. Negara-negara aliran air di wilayahnya masing-masing akanmenggunakan jalur

air internasional dengan cara yang adil dan masuk akal. Khususnya, jalur

airinternasional harus digunakan dan dikembangkan oleh Negara-negara jalur air

dengan tujuan untukmencapai pemanfaatan dan manfaatnya yang optimal dan

berkelanjutan darinya, denganmempertimbangkan kepentingan negara-negara

aliran air yang bersangkutan, konsisten denganperlindungan yang memadai

terhadap jalur air tersebut.

Dalam pasal ini jelas bagaimana dijelaskan bahwa negara yang diwilayahnya

dilalui oleh jalur air internasional harus memanfaatkannya dengan optimal dengan

prinsip keadilan dan juga batas wajar demi keberlangsungan darinya.Disini negara

keduanya yaitu hak dan kewajiban dimana hak mereka untuk memanfaatkan jalur air

tersebut dengan adil dan masuk akal serta kewajiban mereka unutk tidak melebihi hak

mereka. Dalam pemanfaatannya dalam batas wajar adalah dengan cara tidak membabi

buta sehingga tidak menimbulkan dampak negatif dari pemanfaatan yang berlebihan.

Sehingga hal tersebut tetap dapat mengendalikan aliran air dan juga tetpa menjaga

kerjasama antara negara jalur air internasional tersebut agar tetap terlindunginya

keberlangsungan jalur air tersebut.

Pasal 8 tentang kewajiban umum untuk bekerja sama

1. Negara-negara aliran air harus bekerja sama berdasarkan kesetaraan kedaulatan,

integritaswilayah, saling menguntungkan dan itikad baik untuk mencapai


pemanfaatan yang optimal dan perlindungan yang memadai atas jalur air

internasional.

2. Dalam menentukan cara kerja sama seperti itu, negara-negara aliran air dapat

mempertimbangkan pembentukan mekanisme atau komisi bersama,

sebagaimana dianggap perlu oleh mereka, untuk memfasilitasi kerja sama pada

langkah-langkah dan prosedur yang relevan mengingat pengalaman yang

diperoleh melalui kerja sama dalam mekanisme dan komisi bersamayang ada di

berbagai daerah.

Dalam pasal ini dijelaskan bagaimana kewajiban tiap-tiap negara jalur air

internasional untuk bekerjasama berdasarkan kesetaraan kedaulatan, integritaswilayah,

saling menguntungkan dan itikad baik guna mencapai pemanfaatan yang optimal.Dalam

menjalin kerjasama seperti yang dimaksud dalam pasal diatas negara terkait memiliki

kewenangan tersendiri dalam mengatur mekanisme kerjasama mereka demi menjaga

keberlangsungan dan perlindungan atas jalur air internasionaldemi kepentingan

bersama.

Pasal 20 Perlindungan dan pelestarian ekosistem

“Negara-Negara Jalur Air secara individu harus dan jika sesuai bersama-sama

melindungi dan melestarikan ekosistem perairan-perairan internasional.”

Dalam pasal ini kembali di tegaskan secara jelas bagaimana pentingnya

kerjasama antara negara-negara jalur air internasional dalam melindungi dan

melestarikan ekosistem perairan internasional. Kata “ekosistem” disini memiliki makna

yang luas yang memiliki ruang lingkup tidak hanya di bagian perairan saja akan tetapi

mencakup komponen ekologi baik yang hidup maupun yang tidak hidup demi menjaga

keseimbangan alam sekitar jalur air tersebut.


Pasal 25 tentang regulasi

1. Negara-negara aliran air harus bekerja sama jika perlu untuk menanggapi

kebutuhan ataupeluang untuk pengaturan aliran air dari jalur air internasional.

2. Kecuali disepakati lain, Negara-negara aliran air harus berpartisipasi secara adil

dalam konstruksidan pemeliharaan atau pembiayaan biaya pekerjaan peraturan

tersebut sebagaimana mereka mungkin telah sepakat untuk melakukannya.

Dalam pasal ini tetap dijelaskan mengenai kerjasama antarnegara yang tetap

perlu untuk dilakukan dalam membentuk pengaturan atau regulasi mengenai tata kelola

jalur air internasional.Akan tetapi, terdapat kata “jika perlu” yang menimbulkan tafsir

yang berbeda dan menjadi kata yang dapat memperlemah keharusan kerjasama antar

negara aliran air.Serta terdapat pula kata “kecuali disepakati lain” yang merujuk dapat

tidak dilaksanakannya aturan-aturan atau ketentuan seperti yang telah dijelaskan dalam

pasal diatas.Kata seperti diatas dapat membuat multitafsir didalam suatu pasal sehingga

membuat kepastian makna dalam pasal tersebut menjadi tidak jelas.Misalnya saja chili

yang yang mengatur atau mengelola jalur airinternasional yang ada dalam

wilayahnya.Dalam situasi saling ketergantungan seperti ini,tidak ada negara yang dapat

mengisolasi dirinya sendiri dengan mempertahankan prinsip absolute sovereignty

seperti yang pernah di yakini di era sebelumnya.18

Pasal 32 tentang non diskriminasi

“Kecuali negara aliran air yang bersangkutan telah menyetujui

sebaliknya untuk melindungi kepentingan orang, alam atau yuridis, yang telah

menderita atau berada di bawah ancaman seriusmenderita kerusakan lintas batas

18
Latif, Y. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Kompas
Gramedia.
yang signifikan sebagai akibat dari kegiatan yang terkait dengan

jalurairinternasional. , suatu negara aliran air tidak boleh mendiskriminasi

berdasarkan kebangsaan atau tempat tinggal atau tempat di mana cedera terjadi,

dalam memberikan kepada orang-orang tersebut, sesuai dengan sistem

hukumnya, akses ke prosedur hukum atau prosedur lainnya, atau hak

untukmenuntut kompensasi atau bantuan lain sehubungan dengan kerusakan

signifikan yang disebabkanoleh kegiatan-kegiatan tersebut yang dilakukan di

wilayahnya.”

Dalam pasal ini telah diatur bagaimana pemberian akses jalur air internasional

baik dari segi yuridis maupun prosedur lainnya tidak boleh menganut prinsip

diskriminasi baik itu berdasarkan kebangsaan, tempat tinggal maupun tempat dimana

kerusakan terjadi.Dalam pasal ini terdapat dua elemen penting dimana mengatur tentang

non-diskriminasi berdasarkan kebangsaan dan non-diskriminasi berdasarkan tempat

kerusakan terjadi. Aturan yang di tetapkan mewajibkan negara untuk memastikan

bahwa siapapun, apapun kebangsaannya atau tempat tinggalnya menerima perlakuan

yang sama seperti yang diberikan negara asal kepada warga negaranya.

Kalimat “Kecuali negara aliran air yang bersangkutan telah menyetujui

sebaliknya untuk melindungi kepentingan orang” memiliki arti bahwa negara dapat

menyepakati sebaliknya yang terbaik dalam memberi bantuan kepada orang yang telah

menderita atau yang berada di dalam ancaman serius misalnya saja bantuan saluran

diplomatik serta dalam pemberian bantuan tersebut tak boleh menggunakan hak atas

kompensasi ataupun semacamnya.Karena pada kenyataannya negara-negara untuk

mengadakan konsultasi dengan itikad baik dan secepatnya.19

19
Sodik, D. M. (2016). Hukum Laut Internasional Dan Pengaturannya. Bandung: Pt Rafika Aditama.
Dalam kasus silala water disputes, penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan

tanpa melalui proses peradilan atau melalui mahkamah internasional adalah dengan

jalur mediasi atau arbitrase. Jalur seperti ini akan lebih mudah menjaga hubungan baik

kedua negara dibandingkan dengan menempuh jalur peradilan internasional.20 Selain

dari mahkamah internasional, penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan di depan

mahkamah pidana internasional apabila ada pengakuan dari negara-negara yang

bersengketa terhadap yurisdiksi mahkamah pidana internasional dalam sengketa hukum

negara yang bersengketa. Salah satu pengakuan yang dapat diberikan adalah memalui

klausul pilihan.21Status silala dalam kasus ini sebelum dan sesudah adanya Hukum

Penggunaan Non-Navigasi dari Jalur Air Internasional menjadi berbeda.Setelah adanya

peraturan ini maka silala pun dapat dikatakan sebagai jalur air internasional ketika

mengacu pada hukum penggunaan non-navigasi jalur air internasional. Dengan begitu

secara yuridis normatif maka status silala yang sudah menjadi jalur air internasional

tidak perlu lagi di persengketakan dimana jalur air internasional dapat digunakan

bersama-sama oleh negara-negara yang di lalui jalur air tersebut.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Penyebab awal terjadinya konflik antara Bolivia dan Silala ialah mengenai status

dari kanal buatan yang melintasi batas negara yang dapat dikatakan Jalur Air

20
D.Madzger, S. (1954). Settlement Of International Disputes By Non-Judicial Methods. American Journal
Of International Law , 409.
21
Adolf, H. (2006). Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional . Bandung : Sinar Grafika.
Internasional apabila sudah memenuhi syarat sebagaian sistem dari jalur air

internasional. Berdasarkan UNWC definisi Jalur Air terdapat 2 (dua) persyaratan bahwa

adanya jalur air akibat dari kondisi, yaitu komponen-komponen sistem hidrologi. Serta

akibat dari kanal buatan, yaitu saluran yang tidak dapat dengan mudah mengubah jalur

air dengan sendirinya.

Perairan Silala merupakan jenis aliran air permukaan dan air tanah yang

terbentuk berdasarkan fisik mereka yang terhubung satu sama lain secara keseluruhan.

Berdasarkan pernyataan beberapa pakar hukum, bahwa tidak ada heirarki dalam hukum

internasional mengingat sistem hukum ini berlandaskan prinsip koordinatif, prinsip

desentralisasi dan persamaan kedududkan negara- negara berdaulat. Saluran air buatan

atau kanal tidak termasuk dalam saluran air internasional sebab tidak bersifat alami.

Namun terdapat beberapa instrument hukum menyatakan bahwa aliran air sungai, danau

maupun kanal termasuk saluran air internasional jika saluran air tersebut melintasi batas

suatu negara atau bagiannya berada pada dua atau lebih negara.

Dalam Hukum Internasional lainnya, definisi mengenai jalur air secara

fungsional tidak instrument secara eksplisit pengecualian kanal buatan. Namun,

instrument yang ada merujuk pada sistem hidrologis sehingga secara implisit aliran air

buatan tidak termasuk. Pengaturan terkait jalur air dalam Hukum Penggunaan Non-

Navigasi dari Jalur Air Internasional termuat pada Pasal 2, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 20,

Pasal 25, dan Pasal 32. Status Silala menjadi jalur air internasional ketika mengacu pada

hukum penggunaan non-navigasi. Sehingga status Silala telah memiliki landasan yuridis

normatif.

Saran
Dalam penyelesaian sengketa yang terjadi pada kasus silala antara Bolivia

dengan chili merupakan kasus yang hendaknya diselesaikan dengan cara arbitrase tanpa

harus melalui pengadilan internasional. Karena dengan penyelesain konflik dengan cara

arbitrase ataupun mediasi akan tetap menjaga hubungan baik antara kedua negara

dengan melihat itikad baik kedua negara dalam penyelesaian sengketa tersebut.

Sedangkan menyelesaikan konflik dengan mengajukan ke mahkamah internasional

justru dapat berakibat menimbulkan konflik-konflik baru dengan ketegangan yang

terjadi diantara kedua negara. Dimana hubungan baik antara kedua negara yang

berbatasan langsung harusnya tetap dijaga dalam hubungan bernegara baik dalam

penyelesaian konflik seperti yang di atas maupun konflik yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Adolf, H. (2006). Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional . Bandung : Sinar

Grafika.

Ariatno, M. K. (2007). Hukum Internasional Hukum Yang Hidup. Jakarta: Diadit

Media.

Buga, I. (2012). Territorial Sovereignty Issues In Maritime Disputes: A Jurisdictional

Dilemma For Law Of The Sea Tribunals. The International Journal Of Merine

And Coastal Law 27, 89.

D.Madzger, S. (1954). Settlement Of International Disputes By Non-Judicial Methods.

American Journal Of International Law , 409.

Dr. Sefriani, S. M. (2018). Hukum Internasional Suatu Pengantar. Depok: PT

Rajagrafindo Persada.

John O‟Brian, International Law, Cavendish Publishing Limited, Great Britain, 2001.
Kusumaatmadja, M. (1982). Pengantar Hukum Internasional (Bagian Umum). Jakarta:

Binacipta.

Latif, Y. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas

Pancasila. Jakarta: Kompas Gramedia.

Malcolm, E. (2003). International Law. Oxford University press.

Mauna, B. (2000). Hukum Internasional: Pengertian, Peranan Dan Fungsi Dalam Era

Dinamika Global. Bandung : Alumni.

Mccaffrey, S. (2001). The Contribution Of The UN Convention On The Law Of The

Non-Navigational Uses Of International Watercourses. International Journal

Global Environmental Issues, 251.

Meshel, t. (2017). What‟s In A Name? The Silala Waters And The Applicability Of

International Watercourse Law.

n.shaw, m. (2008). hukum internasional . bandung: nusa media.

S.H, Soehino. (2013). Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.

Sodik, D. M. (2016). Hukum Laut Internasional Dan Pengaturannya. Bandung: Pt

Rafika Aditama.

Tsani, M. B. (1990). Hukum Dan Hubungan Internasional . Yogyakarta: Liberty.

Y Gunawan, 2017, Arbitration Award of ICSID on the Investment Disputes of

Churchill Mining PLC v. Republic og Indonesia, Hasanuddin Law Review,

Volume 3 Issue 1 April 2017, Makassar, DOI:

http://dx.doi.org/10.20956/halrev.v3i1.948 diakses juga pada laman

http://pasca.unhas.ac.id/ojs/index.php/halrev/article/view/948/0 pada pada

tanggal 25 Desember pukul 15.49 WIB.


Lembar Penilaian Sejawat :

No. Presentase
Nama UK 1 UK 2 UK 3
Mahasiswa Bekerja (0-100)
20170610196 Khairil Ikhsan 95 Ya Ya Ya
20170610286 Bela Privanti 70 Ya Ya Ya
Rezky Fitra
20170610247 30 Ya Ya Ya
Ramadhan

Anda mungkin juga menyukai