Anda di halaman 1dari 12

Assalamualaikum wr

wb.
KELOMPOK :
1. SIRAJ DAMAI LAKSONO 1111170010
2. BARON PIETER AZMI ALFAUZ 1111170056
3. HILAL MUARIF 1111170308
ANALISA PUTUSAN MAHKAMAH
INTERNASIONAL STUDY KASUS KUIL
PREAH VIHEAR
FAKTA HUKUM
Konflik ini berpusat pada Candi Preah Vihear yang terletak sekitar 400 Kilometer utara Phanom Penh. kamboja
membawa Thailand ke Mahkamah Internasional dengan dasar kesepakatan dari masa kolonial dan dokumen.
Sengketa ini muncul setelah (UNESCO) menjadikan Kuil Preah Vihear sebagai warisan sejarah dunia yang dimiliki
oleh Kamboja pada tanggal 7 Juli 2008. Pada tahun 1962, (ICJ) atau Mahkamah Internasional telah menetapkan
bahwa Kuil Preah Vihear adalah milik Kamboja tetapi wilayah disekitar Kuil Preah Vihear yang seluas 4,6
kilometer persegi tersebut tidak ditetapkan kepemilikannya (dibiarkan tidak selesai). Oleh karena itu Thailand dan
Kamboja tetap mengklaim wilayah disekitar Kuil Preah Vihear kedalam wilayah kedaulatannya masing-masing.
Pemerintah Thailand menganggap masih ada ketidaksepahaman mengenai letak Kuil Preah Vihear yang sebenarnya,
sebagaimana yang disebutkan oleh Pemerintah Kamboja,
Pada akhirnya, konflik bersenjata berdarah pun terjadi. Kedua kepala negara sebenarnya telah melakukan upaya
penyelesaian damai. dari surat Perdana Menteri Hun Sen 17 Juli 2008 yang meminta kepada Perdana Menteri
Samak Sundaravej untuk segera menarik mundur tentaranya.
kemudian, Perdana Menteri Samak menyambut baik penyelesaian damai dan menjadwalkan pertemuan khusus dari
Thailand-Kamboja General Border Committee (GBC) pada tanggal 21 Juli 2008. Namun Perdana Menteri Samak
juga menekankan bahwa area di sekitar Preah Vihear Pagoda adalah berada dalam kedaulatan territorial kerajaan
Thailand dan justru Kamboja lah yang telah melakukan pelanggaran kedaulatan dan integritas wilayah Thailand.
Selanjutnya Perdana Menteri HunSen menjawab dalam surat lainnya dengan menyambut baik pertemuan yang
akan diadakan oleh GBC, namun juga menegaskan bahwa berdasarkan “Annex I Map” yang dipergunakan oleh
Mahkamah Internasional (ICJ) pada tahun 1962 dalam menyelesaikan sengketa ini, diputuskan Preah Vihear
Pagoda berada pada jarak 700 meter di dalam wilayah teritorial kerajaan Kamboja.
PERMASALAHAN HUKUM
kedua negara masih terdapat ketidaksepahaman atas keputusan Mahkamah Internasional tanggal 15 Juni 1962
tentang Case Concerning the Temple of Preah Vihear. Dalam keputusannya, mayoritas hakim (9 dari 12)
Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Kuil Preah Vihear berada dalam wilayah kedaulatan Kamboja.
Dalam kasus ini, Kamboja mendasarkan argumennya pada peta (Annex I Map) yang dibuat oleh pejabat Prancis
pada tahun 1907. Pada peta ini, daerah Dangrek yaitu lokasi Kuil Preah Vihear terletak berada dalam wilayah
Kamboja. Thailand berargumen bahwa peta tersebut tidaklah mengikat karena tidak dibuat oleh anggota Mixed
Commission yang sah.
Dalam salah satu kesimpulannya, mayoritas hakim berpendapat bahwa walaupun peta sebagaimana dalam Annex I
Map mempunyai kekuatan teknis topografi, namun pada saat dibuatnya peta ini tidak memiliki karakter mengikat
secara hukum.
Pendapat mayoritas hakim Mahkamah Internasional ini didasarkan pada prinsip Estoppel, dimana kegagalan
Thailand menyatakan keberataannya saat kesempataan tersebut ada membuat Thailand kehilangan hak untuk
menyatakan bahwa pihaknya tidak terikat pada peta dalam Annex I Map.
Hal ini masih belum diterima oleh Thailand yang tetap berpendapat bahwa telah terjadi kesalahan watershed line
dalam pembuatan peta namun tidak diperiksa oleh mayoritas hakim Mahkamah Internasional karena dianggap
tidak penting lagi.
Insiden tembak-menembak pada 15 Oktober 2008 sebenarnya bisa dikatakan sebagai akibat dari keenganan
Mahkamah Internasional untuk memeriksa kembali apakah watershed line yang dipergunakan dalam pembuatan
peta telah sesuai atau tidak dengan keadaan yang sebenarnya.
Berdasarkan Pasal 94 Piagam PBB, masuknya militer Thailand ke dalam wilayah Kamboja sebagaimana tertuang
dalam Annex I Map dapat dianggap sebagai ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Internasional.
Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mendesak Thailand dan Kamboja agar menunjukkan
perhatian yang sungguh-sungguh dan bisa menahan diri. ASEAN menawarkan diri untuk membantu mengatasi
ketegangan di antara mereka.
ANALISIS KASUS
Berdasarkan “Annex I Map” yang dipergunakan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice) pada
tahun 1962 dalam menyelesaikan sengketa perbatasan ini, diputuskan bahwa Preah Vihear Pagoda berada pada jarak
700 meter di dalam wilayah teritorial kerajaan Kamboja. Dalam keputusannya, mayoritas hakim (9 dari 12)
Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Kuil Preah Vihear berada dalam wilayah kedaulatan Kamboja dan
Thailand harus menarik personil kepolisian dan militer dari kuil tersebut.
Dalam analisis masalah ini, terdapat suatu persengketaan terhadap wilayah Kuil Preah Vihear yang sebelumnya
telah diakui secara resmi oleh UNESCO (United Nations Economic, Social and Cultural Organization) masuk ke
dalam daftar warisan dunia (Word Heritage List) atas Negara Kamboja. Persengketaan ini telah berlangsung sejak
lama, dimana sampai pada saat itu Pemerintah Thailand yang menganggap masih ada ketidaksepahaman mengenai
letak Kuil Preah Vihear yang sebenarnya.
Namun Keputusan Pengadilan Internasional atas kasus tersebut, Mahkamah Internasional (International Court of
Justice) pada tahun 1962 dalam menyelesaikan sengketa perbatasan ini, diputuskan bahwa Preah Vihear Pagoda
berada pada jarak 700 meter di dalam wilayah teritorial kerajaan Kamboja. Dimana hakim mahkamah Internasional
Tetapi Thailand tidak secara nyata menunjukkan kesepakatannya terhadap putusan tersebut,
Berdasarkan kasus ini dapat ditarik suatu persamaan bahwa kasus tersebut timbul akibat terjadinya suatu suksesi
baik suksesi negara, dalam kaitan beralihnya kekuasaan dari pemerintah kolonial Prancis kepada suksesornya yaitu
kamboja dalam kasus Preah Viher dengan pihak-pihak terkait lainnya.
Perjanjian internasional yang terjadi dalam kasus tersebut, maka terhadap suksesor memiliki akibat hukum yang
berbeda, mengenai kasus Preah Vihear yang berkaitan dengan perjanjian perbatasan antara Prancis selaku suksesor
dari kamboja dengan Kerajaan Siam maka berdasarkan praktek negara-negara dan Vienna Convention on
Succession of States in respect of Treaties, perjanjian internasional semacam ini mengikat negara suksesor.
Mengenai Konsekuensi tersebut secara tegas diatur dalam pasal 11 Vienna Convention on Succession of States in
respect of Treaties yang berbunyi :
A succession of States does not as such affect:
a boundary established by treaty; or
obligations and rights established by a treaty and relating to the regime of a boundary.
Dari pendapat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan terhadap suatu pemerintahan dalam suatu
negara tidak akan merubah atau berakibat kepada posisi negara tersebut dimata hukum internasional baik mengenai
kebijakan luar negeri suatu negara maupun perjanjian yang telah dibuat oleh pemerintahan sebelumnya.
KESIMPULAN
Daam sengketa perebutan Kuil Preah Vihear antara Kamboja dan Thailand terjadi karena Kamboja yang
mengajukan usulan kepada UNESCO untuk menjadikan Kuil Preah Vihear menjadi salah satu World Herritage atau
warisan dunia yang kemudian disetujui oleh UNESCO pada tahun 2008. Thailand kemudian meprotes dan
menuntut ketetapan UNESCO tersebut untuk dibatalkan karena Thailand memberikan klaim bahwa Kuil Preah
Vihear merupakan wilayah yang berada dalam teritorial Thailand. Kamboja yang tidak dapat menerima klaim
tersebut kembali meminta bantuan kepada Mahkamah Internasional untuk memberikan klarifikasi mengenai stastus
Kuil Preah Vihear karena pada kenyataanya dimasa lalu, tepatnya pada tahun 1962, Mahkamah Internasional pernah
mengeluarkan putusan atas kasus yang sama yaitu perebutan atas kuil tersebut, Mahkamah Internasional
memutuskan Kuil Preah Vihear sebagai bagian dari teritorial Negara Kamboja dimana wilayah tersebut merupakan
satu komplek dari Kuil Angkor Watt. Setelah menimbang berbagai hal Mahkamah Internasional kembali
memberikan putusan bahwa wilayah Kuil Preah Vihear merupakan teritorial dari Kamboja.
Secara garis besar, penyelesaian sengketa dalam hukum internasional dapat dilakukan secara damai dan
kekerasan. Secara damai dapat melalui jalur politik (negosiasi, mediasi, jasa baik/good offices, inquiry dan
konsiliasi) dan melalui jalur hukum (arbitrase dan pengadilan internasional). Sedangkan penyelesaian dengan
cara kekerasan dengan melalui perang dan non perang (pemutusan hubungan diplomatik, retorsi, blokade,
embargo dan reprisal).
ASEAN dapat menjadi penengah atau mediator dan fasilitator sebagaimana diamanatkan dalam Bab VIII
Piagam ASEAN akan menjadi langkah awal dalam mengatasi berbagai sengketa di ASEAN. Di dalam Pasal
22 Piagam ASEAN berbunyi bahwa Negara-negara anggota ASEAN wajib berupaya menyelesaikan secara
damai semua sengketa dengan cara yang tepat waktu melalui dialog, konsultasi dan negosiasi. Dengan
demikian ASEAN harus mengambil cara-cara damai apabila terjadi persengketaan di antara Negara-negara
anggota ASEAN. Negara-negara anggota yang merupakan para pihak dalam sengketa dapat sewaktu-waktu
sepakat untuk menggunakan jasa baik, konsiliasi atau mediasi dalam rangka menyelesaikan sengketa
dengan batas waktu yang disepakati. Para pihak tersebut juga bisa meminta Ketua ASEAN atau Sekretaris
Jenderal (Sekjen) ASEAN untuk bertindak dalam kapasitas ex-officiomenyediakan jasa-jasa baik, konsiliasi
atau mediasi.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai