Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS KASUS SERTA PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA

KAMBOJA DAN THAILAND TERHADAP WILAYAH KUIL PREAH

VIHEAR

1. Pendahuluan

Permasalahan perbatasan wilayah antar negara-negara anggota ASEAN

kerap menimbulkan konflik, misalnya antara Indonesia dengan Malaysia,

Malaysia dengan Singapura, antara Thailand dengan Kamboja dan sebagainya.

Sengketa yang terjadi antara Thailand dan Kamboja disebabkan karena perebutan

wilayah di sekitar Candi Preah Vihear yang terletak diantara Provinsi Preah

Vihear Kamboja dan dekat distrik Kantharalak Thailand. Sengketa ini terjadi

setelah United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization

(UNESCO) menjadikan Candi Preah Vihear sebagai warisan sejarah dunia yang

dimiliki oleh Kamboja pada tanggal 7 Juli 2008. Sejak saat itu terjadi konflik

antara Thailand dengan Kamboja.

Kuil Preah Vihear berada di puncak pegunungan Dangrek dengan

ketinggian 525 meter atau 657 meter diatas permukaan air laut. Tepatnya, kuil ini

berada diantara wilayah perbatasan Kabupaten Kantharalak (Amphoe) Provinsi Si

Sa Ket, timur laut Thailand dan Kabupaten Choam Khasant, Provinsi Preah

Vihear, Utara Kamboja. Wilayah Preah Vihear merupakan wilayah yang memiliki

banyak peninggalan sejarah berupa situs candi kuno hingga 228 candi1.

1
Cipto, B. (2007). Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Teropong Terhadap Dinamika,
Realitas, dan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm 69

1
Setelah Kamboja meraih kemerdekaan pada tahun 1953, hailand

memperkuat pembelaannya di perbatasan dekat kuil Preah Vihear dengan adanya

pos polisi di Pegunungan Dangrek. Hal ini diprotes oleh pemerintah Kamboja di

bawah Perdana Menteri Sihanouk. Beberapa negosiasi yang dilakukan dari tahun

1953 sampai 1958 tidak mencapai hasil yang positif. Karena itu, Kamboja

memutuskan untuk mengirim kasus ini pada Mahkamah Internasional

(International Court Of Justice (ICJ)).

Penyelesaian berawal dari mendengarkan pendapat masing-masing antar

negara. Berdasarkan penjelasan dari Thailand dan Kamboja pada sidang ICJ,

keduanya berasumsi bahwa Kuil Preah Vihear adalah bagian dari negaranya.

Akhirnya, pihak Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan dengan berdasar

pada sejarah dan fakta yang dibuat antara kerajaan Siamdan Perancis pada tahun

1904 tentang cakupan ketentuan yang berkaitan dengan wilayah pegunungan

Dangkrek Timur wilayah kuil Preah Vihear terletak. Beberapa pasal yang termuat

antara lain2:

Article 1:

The frontier between Siam and Cambodia starts, on the left shore of the

Great Lake, from the mouth of the river Stung Roluos, it follows the

parallel from that point in an easterly direction until it meets the river Prek

Kompong Tiam, then, turning northwards, it merges with the meridian

from that meetingpoint as far as the Pnom Dang Rek mountain chain.

From there it follows the watershed between the basins of the Nam Sen

2
Tun, K. M. (2011). Towards a Peaceful Settlement of the Preah Vihear Temple Dispute. Asia
Paper Institute for Security and Development Policy . Pp. 14-15

2
and the Mekong, on the one hand, and the Nam Moun, on the other hand,

and joins the Pnom Padang chain the crest of which it follows eastwards as

far as the Mekong. Upstream from that point, the Mekong remains the

frontier of the Kingdom of Siam, in accordance with Article 1 of the

Treaty of 3 October 1893.

Article 3:

There shall be a delimitation of the frontiers between the Kingdom of

Siam and the territories making up French IndoChina. This delimitation

will be carried out by Mixed Commissions composed of officers appointed

by the two contractingcountries. The work will relate to the frontier

determined by Articles 1, and the region lyingbetween the Great Lake

andthe sea

Berdasarkan artikel 1 dan 3 akhirnya kedua negara membentuk komisi

untuk memetakan garis batas negara di berbagai daerah termasuk bagian timur

jangkauan Dangrek. Komisi terdiri dari perwakilan Siam dan Petugas Perancis,

namun perwakilan Siam tidak ahli dalam melakukan pemetaan sehingga

prosesnya dilakukan oleh petugas Perancis dan melaporkan survei kepada komisi

bersama. Akibatnya, sebelas peta dikomunikasikan ke pemerintah Siam sebelum

akhir 1907. Salah satu peta menutupi bagian timur bagian dari Range Gunung

Dangrek dan menunjukkan garis batas antara Siam dan Kamboja. Garis batas

melewati dari garis Daerah Aliran Sungai (DAS) yang diatur dalam Pasal 1 dari

Perjanjian 1904. Penyimpangan tersebut mengakibtatkan seluruh tanjung di

Pegunungan Dangrek termasuk daerah kuil Preah Vihear masuk kedalam wilayah

3
kedaulatan Kamboja3. Akhirnya, Mahkamah Internasional (ICJ) mengeluarkan

putusan pada tahun 1962 yang menyatakan bahwa Kuil Preah Vihear adalah

bagian dari kedaulatan Kamboja, yang mengakibatkan Thailand wajib menarik

pasukannya dari wilayah tersebut4.

Sejak saat itu sudah tidak terdengar konflik dari kedua negara ini, hingga

akhirnya pada tahun 2008 Kuil Preah Vihear terdaftar sebagai warisan dunia.

Ketidakstabilan politik domestik Thailand pada saat itu juga mengakibatkan

Gerakan Nasionalis Thailand menggunakan isu ini untuk menggulingkan perdana

menteri saat itu, Samak Sundarajev5. Wilayah yang disengketakan adalah wilayah

disekitar kuil Preah Vihear yakni tanah 4.6 kilometer persegi. Thailand

berpendapat bahwa kedaulatan Kamboja atas kuil Preah Vihear berdasarkan

Interpretasi Mahkamah Internasional (ICJ) hanya pada garis batas saja,

sedangkan yang lain tidak memiliki status hukum atas keputusan yang

dikeluarkan6

Kedua negara mengalami perang dingin, pada bulan April 2009 tentara

daripada kedua negara saling tembak menembak melintasi wilayah perbatasan

yang disengketakan.Puncaknya persengketaan tersebut terjadi pada Februari 2011

dimana setidaknya delapan orang tewas pada pertempuran. Disusul pada bulan

April, karena bentrokan yang terjadi semakin besar yang membuat masyarakat

3
Alvarez, J. E. (2011). Concerning the Temple of Preah Vihear (Cambodia vs. Thailand). The
American Journal of International Law Vol. 56, No.4 , hl. 1035.
4
Dewi, R. (2013). Dispute Settlementofthe Thailand– Cambodia Border (Case:Disputeover
Preah Vihear Temple). 7th Berlin conference On Asian Security (BCAS) Territorial Issues in Asia
Drivers, Instruments, Ways Forward, SriftungWissenschaft und Politik German Instittute For
International and Acurity Affairs (hal. 3-4). Berlin: Sriftung Wissenschaft and Politik.
5
Ibid
6
Tun, K.M. Op.Cit. pp 22-24

4
yang tinggal diarea perbatasan terpaksa meninggalkan wilayah tempat

tinggalnya7.

Upaya perdamaian sebagai bentuk penyelesaian sengketa telah dilakukan

oleh kedua negara. Beberapa negosiasi telah dilakukan pada tahun 2008, dimana

dilakukan pertemuan antar perdana menteri Thailand Samak Sundarajev dan

perdana menteri Kambjoja Hun Sen. Pertemuan ini menghasilkan putusan bahwa

dilakukan penarikan militer dari wilayah sengketa, namun belum jelas kapan

penarikan itu dilakukan8. Selain pertemuan yang dilakukan kedua negara tersebut,

juga dilakukan upaya dengan keterlibatan pihak ketiga yakni perserikatan bangsa-

bangsa (PBB), Mahkamah Internasional (ICJ) dan ASEAN.

Pada tanggal 22 Februari 2011, Kedua negara ini telah berupaya untuk

menghentikan konflik dengan melakukan pertemuan negosiasi yang difasilitasi

oleh ASEAN di Jakarta. Kedua pihak telah setuju untuk menerima tim pemantau

dari Indonesia yang akan dikirim ke area Kuil Preah Vihear. Kedua negara ini

juga telah sepakat untuk mengadakan Joint Border Comission (JBC) dengan

melibatkan menteri pertahanan dari masing-masing negara yang dilakukan di

Bogor, April 2011. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menyelesaikan

sengketa wilayah tersebut, dan juga ASEAN sebagai organisasi ingin memperkuat

sistem institusinya agar bisa lebih dipercaya oleh negara-negara lain sebagai

institusi negara regional.

7
Irewati, A. (2015). Sengketa wilayah Perbatasan Thailand-Kamboja. Yogyakarta: CV. Andi
Offset. Hlm 168
8
Raharjo, S. N. (2013). Tantangan konflik perbatasan Thailand-Kamboja bagi stabilitas
ASEAN. Jurnal Kajian Wilayah Vol. 4, No. 1 ,. Hlm 116

5
Rumusan masalah: Apa yang menyebabkan Thailand mengungkit kembali konflik

perbatasan Kuil Preah Vihear yang telah diselesaikan oleh pihak International

Court Of Justice?

2. PEMBAHASAN

Tinjauan Penyelesaian Sengketa Internasional

Sejak abad ke-20 sudah menjadi perhatian penting di kalangan masyarakat

Internasional terkait upaya-upaya penyelesaian sengketa. Upaya-upaya ini

ditujukan untuk menciptakan hubungan antar negara yang lebih baik berdasarkan

prinsip perdamaian dan keamanan internasional. Peranan hukum internasional

dalam menyelesaikan sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana

para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum

internasional. Dalam perkembangannya, hukum internasional mengenal dua cara

penyelesaian, yaitu penyelesaian secara damai dan militer (kekerasan). Dengan

semakin berkembangnya kekuatan militer serta senjata pemusnah massal,

masyarakat internasional semakin menyadari besarnya bahaya dari penggunaan

perang. Karenanya dilakukan upaya untuk menghilangkan atau sedikitnya

membatasi penggunaan penyelesaian sengketa dengan menggunakan kekerasan.9

Perkembangan hukum internasional dalam mengatur cara-cara

penyelesaian sengketa secara damai secara formal pertama kali lahir sejak

diselenggarakannya The Hague Peace Conference pada tahun 1899 dan 1907.

Konferensi perdamaian ini menghasilkan The Convention on the Pacific

9
Huala Adolf, op. cit., hlm. 1, dikutip dari Ion Diaconu, Peaceful Settlement of Disputes Between
States: History and Prospects, dalam Macdonald R. St. J. et. al., 1986, The Structure and Process
of International Law: Essayss in Legal Philosophy Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff, hlm.
1095.

6
Settlement of International Disputes tahun 1907. Konferensi Perdamaian Den

Haag tahun 1899 dan 1907 ini memiliki dua arti penting, yaitu:10

1. Konferensi ini memberikan sumbangan penting bagi hukum perang

(hukum humaniter internasional);

2. Konferensi memberikan sumbangan penting bagi aturan-aturan

penyelesaian sengketa secara damai antar negara.

Hasil konferensi ini sayangnya tidak memberi suatu kewajiban kepada

negara peserta untuk menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara damai.

Menurut Ion Diaconu, hasil konvensi bersifat rekomendatif semata. Dalam

perkembangannya konvensi Den Haag ini kemudian diikuti dengan disahkannya

perjanjian internasional berikut:11

a) The Convemtion for the Pacific C ovenant of the League of Nations

tahun 1919.

b) The Statue of the Permanent Court of Internasional Justice

(Statuta Mahkamah Internasional) tahun 1921.

c) The General Treaty for the Renunciation of War tahun 1928.

d) The General Act for the Pacific Settlement of International

Disputes tahun 1928

e) Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional tahun 1945.

f) The Manila Declaration on Peaceful Settlement of Disputes

between States, 15 November 1982.

10
Ibid., hlm. 9, dikutip dari David J. Bederman, The Hague Peace Conference of 1899 and 1907,
dalam Mark W. Janis et. al., 1992, International Court for Twenty First Century, Dordrecht,
Martinus Nijhoff, hlm. 9.
11
Ibid

7
Penyelesaian sengketa Internasional dijabarkan sebagai berikut:

a) Penyelesaian sengketa secara damai

b) Penyelesaian sengketa dengan kekerasan

c) Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di

pengadilan.

Adjudication atau ajudikasi adalah suatu cara yang digunakan untuk dapat

menyelesaikan konflik atau sebuah sengketa yang terjadi antara dua pihak dengan

cara melibatkan orang lain sebagai pihak ketiga. Ajudikasi juga dapat

didefinisikan sebagai proses untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di

masyarakat dengan memilih berbagai cara yang akan dilakukan.

Prinsip-prinsip umum mengenai penyelesaian sengketa internasional secara

damai adalah Prinsip iktikad baik (good faith) (prinsip iktikad baik disyaratkan

untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan

antarnegara dan prinsip ini harus ada ketika para pihak menyelesaikan

sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum

internasional yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau cara-

cara lain yang dipilih oleh para pihak); Prinsip larangan penggunaan kekerasan

(senjata) dalam penyelesaian sengketa; Prinsip kebebasan memilih cara-cara

penyelesaian sengketa; Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan

terhadap pokok sengketa; Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa

(konsensus); Prinsip Exhaustion of Local Remedies (sebelum para pihak

mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional maka langkah-langkah

penyelesaian yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional Negara harus

8
terlebih dahulu ditempuh) dan Prinsip-prinsip hukum internasional tentang

kedaulatan, kemerdekaan dan integritas wilayah Negara-Negara.12

Secara garis besar, penyelesaian sengketa dalam hukum internasional dapat

dilakukan secara damai dan kekerasan. Secara damai dapat melalui jalur politik

(negosiasi, mediasi, jasa baik/good offices, inquiry dan konsiliasi) dan melalui

jalur hukum (arbitrase dan pengadilan internasional). Sedangkan penyelesaian

dengan cara kekerasan dengan melalui perang dan non perang (pemutusan

hubungan diplomatik, retorsi, blokade, embargo dan reprisal).13

Upaya Yang Dilakukan ASEAN dalam Penyelesaian Sengketa Perbatasan

Antara Thailand dan Kamboja

Sengketa atas Candi Preah Vihear yang berusia 900 tahun menjadi ilustrasi

yang tepat. Intinya ketidakcocokan hasil survey tentang lokasi kuil dengan narasi

konvensi yang menggunakan batas alamiah atau bukti/watershed. Hasil survey

Perancis di dalam Mixed Commission yang dibentuk pada tahun 1904

menggambarkan Candi Preah Vihear sebagai bagian dari Kamboja. Sedangkan,

Thailand berpegang pada hasil pemetaan ahli Amerika yang memasukkannya

sebagai bagian dari wilayahnya. Akses termudah mencapai Candi memang berada

di Thailand. Namun, pada tahun 1959 ICJ menetapkan bahwa pihak Siam telah

memberikan persetujuannya secara diam-diam (aquiesence) terhadap peta hasil

survey pihak Perancis karena tidak pernah mengajukan protes.14

12
Huala Adolf, 2004, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Bandung, Sinar Grafika, hlm.
15-18
13
Sefriani, 2010, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm. 325
14
Arif Havas Oegroseno, 2009, Sengketa Perbatasan Antar ASEAN,“Opinio Juris”, Volume 01,
Oktober, hlm. 7-8

9
Kasus konflik Thailand dan Kamboja adalah salah satu contoh tantangan

bagi Indonesia yang pada saat itu (tahun 2011) sebagai ketua ASEAN untuk

berperan aktif menyelesaikan konflik di kawasan. Indonesia telah berupaya

mendorong kedua negara agar penyelesaian konflik dilakukan melalui jalan damai

dan tidak perlu dibawa ke tingkat internasional seperti DK-PBB. Indonesia pun

telah mendapatkan kepercayaan dari DK-PBB untuk menyelesaikan konflik

tersebut. Peran Indonesia untuk mendorong penyelesaian konflik diantara kedua

negara tidak saja mendapatkan sorotan dari sesama negara-negara ASEAN saja,

tetapi juga mendapatkan sorotan dari PBB.

Berbeda dengan sikap ASEAN yang selama ini terkesan senyap atau

sebatas mengeluarkan pernyataan setiap kali terjadi konflik perbatasan antar

negara anggotanya, ASEAN dibawah kepemimpinan Indonesia (tahun 2011)

memperlihatkan sikap proaktif dalam menyikapi perkembangan situasi keamanan

yang menyangkut anggotanya. Berselang satu hari setelah terjadinya baku tembak,

Menteri Luar Negeri (Menlu) Republik Indonesia Marty Natalegawa melakukan

“shuttle diplomacy” menemui Menlu Kamboja Hor Nam Hong di Phnom Penh

dan Menlu Thailand Kasit Piromya di Bangkok untuk mendapatkan informasi dari

pihak pertama. Bersama-sama dengan Menlu Thailand dan Kamboja, Menlu

Marty pun ke New York untuk memberikan pertimbangan dan masukan mengenai

peran ASEAN dalam menyelesaikan konflik internal di kawasan. Langkah ini

terbukti efektif dengan stabilnya kembali wilayah konflik di perbatasan Thailand

dan Kamboja. Meski kawasan konflik seluas 4,6 km2 yang diperebutkan masih

tegang, namun para tentara yang bertugas masih bisa menahan diri untuk tidak

10
kembali angkat senjata. Hal ini dilakukan Marty untuk menghindari adanya

kevakuman pada tingkat kawasan yang memerlukan intervensi secara langsung

oleh DK PBB.15

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat setelah pada tanggal

7 Juli 2008, UNESCO mengakui bahwa kawasan Candi Preah Vihear sebagai

warisan peradaban dunia yang dimiliki oleh Kamboja. Itulah yang mengundang

amarah publik Thailand. Konflik di sekitar candi peninggalan abad ke-11 kembali

memanas setelah mencapai kulminasi ketegangan domestik dan bilateral kedua

Negara. Kemudian, kedua Negara setuju untuk melakukan gencatan senjata pada

Agustus 2010, tetapi pada tanggal 4 hingga 6 Februari 2011 terjadi baku tembak

lagi antara kedua Negara. Pada tanggal 22 Februari 2011 di Jakarta digelar

pertemuan informal para Menlu ASEAN (Informal ASEAN Foreign Minister's

Meeting)

dengan agenda tunggal pembahasan penyelesaian konflik Thailand dan

Kamboja. Kedua Negara yang bertikai telah sepakat dalam tiga koridor yaitu

dialog perdamaian melalui mekanisme TAC, gencatan senjata permanen dan

pelibatan ASEAN dalam menengahi konflik. Pertemuan informal para Menlu

ASEAN yang diprakarsai Indonesia selaku Ketua ASEAN merupakan tindak

lanjut dari hasil sidang DK-PBB yang meminta Thailand dan Kamboja bekerja

sama dengan ASEAN sebagai mediator untuk menuntaskan persoalan perbatasan

melalui jalan damai.

15
ASEAN dan Penyelesaian Konflik Thailand-Kamboja, 22 Februari 2011, “Menteri Luar Negeri
RI, R.M. Marty M Natalegawa, melakukan pembicaraan dengan Menteri LuarNegeri Thailand
Kasit Piromya di Jakarta, (Kemlu.go.id)

11
Pertemuan informal Menlu ASEAN di Jakarta tersebut, bisa digunakan

untuk menentukan modalitas perundingan dan menentukan apakah pembahasan

perlu dibawa ke pertemuan High Council seperti yang disebutkan dalam ASEAN

Charter. Jika selama ini ASEAN belum pernah mengimplementasikan pertemuan

High Council, sekaranglah saat yang tepat. Jika dipandang perlu, ASEAN dapat

membuat “Peace Keeping Operation” yang berasal dari pasukan militer maupun

sipil negara-negara ASEAN sendiri dan menerjunkannya di daerah konflik. Kini

bukan lagi saatnya bagi ASEAN untuk meletakkan setiap konflik yang terjadi

dibawah karpet dan setiap negara anggota ASEAN dibiarkan mencari jalannya

sendiri dalam menyelesaikan konflik perbatasan. Sekarang saatnya ASEAN

bersikap proaktif dan menunjukkan kredibilitasnya sebagai organisasi kerja sama

regional yang memang dibutuhkan negara-negara anggotanya menuju

terbentuknya Komunitas ASEAN 2015.

Pada pertemuan antar Menlu ASEAN pada bulan Februari 2011 disepakati

Indonesia menjadi fasilitator pertemuan perundingan sengketa perbatasan kedua

Negara, sekaligus mengirim pasukan pemantau yang akan ditempatkan di kedua

pihak di wilayah perbatasan. Kelangsungan perundingan dengan Indonesia

sebagai pihak yang memfasilitasi sangat tergantung pada komitmen kedua Negara

yang bersengketa tersebut. Indonesia hanya menawarkan jasa baiknya, sedangkan

penggunaannya tergantung pada kedua belah pihak.16

Upaya-upaya yang dilakukan Indonesia yaitu upaya diplomasi seperti

perundingan-perundingan antara pihak Thailand dan Kamboja. Upaya diplomasi

16
Kompas, 25 Maret 2011, “Sengketa Wilayah, Indonesia Belum Dapat Kabar Pembatalan
Perundingan”

12
sangat diutamakan untuk menghindari cara kekerasan dan militer. Indonesia telah

m e n c o b a m e n c a r i t e r o b o s a n d e n g a n menyelenggarakan pertemuan

tiga Negara yaitu Thailand, Kamboja dan Indonesia di Bogor pada bulan Mei

2011 sebagai kelanjutan pendekatan KTT ASEAN. Namun, pada kenyataannya

hanya delegasi Kamboja yang bersedia hadir, sedangkan Thailand tidak

mengirimkan delegasinya. Tampaknya golongan garis keras dari Partai Demokrat

di Thailand didukung kelompok militer tetap bersikeras agar masalah diselesaikan

dengan secara bilateral. Sikap ini memacetkan perundingan. Sedangkan Kamboja

melihat penyelesaian sengketa secara bilateral yang bersifat asimetris tidak akan

menampung kepentingannya.17

Pemerintah Indonesia mempersilahkan jika Thailand dan Kamboja batal

menggelar perundingan sengketa wilayah perbatasan mereka di Indonesia

sebagaimana yang telah disepakati pada pertemuan antar menteri luar negeri

seASEAN di Jakarta pada bulan Februari 2011. Sejak awal, kehadiran dan

keterlibatan Indonesia dalam upaya penuntasan sengketa itu justru atas undangan

kedua Negara, begitu pula yang berkaitan dengan permintaan agar Indonesia

mengirim militernya sebagai pemantau di lokasi sengketa. Setelah Indonesia

masuk atas undangan kedua Negara tadi, situasi berangsur-angsur kondusif.

Kedua Negara secara tidak langsung telah samasama menjalankan kebijakan

gencatan senjata walau tim pemantau Tentara Negara Indonesia (TNI) masih

belum diterjunkan karena masih menunggu pembahasan term of references gelar

pasukan yang belum selesai. Apabila proses perundingan benar digelar, berarti

misi ASEAN untuk meredakan konflik terbuka yaitu dengan membawa ke meja
17
Makarim Wibisono, 3 Oktober 2011, Dinamika Baru Sengketa Kamboja-Thailand, “Kompas”

13
perundingan tercapai. Langkah ASEAN dalam menangani sengketa perbatasan

antar Negara anggotanya akan menjadi preseden bagi setiap masalah serupa untuk

yang akan datang. Dengan demikian kepedulian ASEAN untuk turun tangan

dalam setiap persoalan yang dialami anggota-anggotanya akan menjadi sesuatu

yang lazim dan terukur.

Pada tanggal 18 Juli 2012, militer Kamboja dan Thailand sama-sama

menarik pasukan mereka dari wilayah perbatasan darat di dekat situs Warisan

Budaya Dunia Candi Preah Vihear yang selama ini disengketakan. Setelah

penarikan pasukan, kedua Negara diharapkan menempatkan personel kepolisian

dan penjaga keamanan sebagai pengganti tentara. Pemerintah Kamboja dilaporkan

menarik 500 personel militernya dari kawasan Candi Preah Vihear, yang

kemudian digantikan oleh 250 polisi dan 100 petugas keamanan. Thailand juga

memastikan akan melakukan langkah yang sama yaitu menarik dan mengganti

personel militernya. Thailand dan Kamboja telah mengatur sebuah tim bersama,

yang akan membahas dan sekaligus menyusun kerangka acuan (term of reference)

untuk dijadikan patokan oleh tim pemantau asal Indonesia. Penugasan tim

pemantau asal Indonesia dihasilkan melalui mekanisme perundingan di ASEAN

sebelumnya atas gagasan Indonesia. Tim ini akan melakukan pemantauan di

lokasi perbatasan yang disengketakan seluas 4,6 kilometer persegi. Penarikan

pasukan memang dilakukan terutama untuk memberi jalan dan kesempatan bagi

tim pemantau asal Indonesia.

3. KESIMPULAN

14
Upaya yang dilakukan oleh ASEAN untuk menyelesaikan sengketa

perbatasan antara Thailand dan Kamboja adalah upaya diplomasi. Upaya

diplomasi sangat diutamakan untuk menghindari cara kekerasan dan militer.

Indonesia selaku pemegang mandat telah melakukan “shuttle diplomacy”. Selain

itu juga telah digelar Informal ASEAN Foreign Minister's Meeting dengan agenda

tunggal pembahasan penyelesaian konflik Thailand dan Kamboja. Kedua negara

yang bertikai telah sepakat dalam tiga koridor yaitu dialog perdamaian melalui

mekanisme TAC, gencatan senjata permanen dan pelibatan ASEAN dalam

menengahi konflik.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, disampaikan saran bahwa seharusnya

ASEAN lebih bersikap proaktif untuk menunjukkan kredibilitasnya sebagai

organisasi kerja sama regional yang mempunyai mekanisme penyelesaian

sengketa sendiri. Oleh karena itu harus berani menggunakan mekanisme tersebut

untuk penyelesaian konflik antar Negara anggotanya. Dengan demikian ASEAN

dapat menunjukkan perannya di forum global untuk mewujudkan ASEAN

Community in a Global Community of Nations.

DAFTAR PUSTAKA

15
Buku

Cipto, B. (2007). Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Teropong Terhadap


Dinamika, Realitas, dan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Huala Adolf, 2004, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Bandung, Sinar


Grafika, hlm. 15-18

Irewati, A. (2015). Sengketa wilayah Perbatasan Thailand-Kamboja. Yogyakarta:


CV. Andi Offset

Sefriani, 2010, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta, Raja Grafindo


Persada, hlm. 325

Jurnal

Alvarez, J. E. (2011). Concerning the Temple of Preah Vihear (Cambodia vs.


Thailand). The American Journal of International Law Vol. 56, No.4

Arif Havas Oegroseno, 2009, Sengketa Perbatasan Antar ASEAN,“Opinio Juris”,


Volume 01, Oktober

ASEAN dan Penyelesaian Konflik Thailand-Kamboja, 22 Februari 2011,


“Menteri Luar Negeri RI, R.M. Marty M Natalegawa, melakukan
pembicaraan dengan Menteri LuarNegeri Thailand Kasit Piromya di Jakarta,
(Kemlu.go.id)

Dewi, R. (2013). Dispute Settlementofthe Thailand– Cambodia Border


(Case:Disputeover Preah Vihear Temple). 7th Berlin conference On Asian
Security (BCAS) Territorial Issues in Asia Drivers, Instruments, Ways
Forward, SriftungWissenschaft und Politik German Instittute For
International and Acurity Affairs . Berlin: Sriftung Wissenschaft and Politik

Raharjo, S. N. (2013). Tantangan konflik perbatasan Thailand-Kamboja bagi


stabilitas ASEAN. Jurnal Kajian Wilayah Vol. 4, No. 1

Tun, K. M. (2011). Towards a Peaceful Settlement of the Preah Vihear Temple


Dispute. Asia Paper Institute for Security and Development Policy

ARTIKEL

Kompas, 25 Maret 2011, “Sengketa Wilayah, Indonesia Belum Dapat Kabar


Pembatalan Perundingan”

Makarim Wibisono, 3 Oktober 2011, Dinamika Baru Sengketa Kamboja-


Thailand, “Kompas”

16
17

Anda mungkin juga menyukai