Ada beberapa faktor yang membuat terjadinya perang teluk I, di mana terjadi
peperangan antara Irak dan Iran. Berikut ini adalah beberapa faktornya ya:
Adanya keinginan Irak dan Iran menguasai Shatt Al Arab. Shatt Al Arab
adalah jalur perariran strategis yang memisahkan Irak-Iran menuju Teluk
Persia. Sepanjang perairan ini dibangun pelabuhan-pelabuhan besar, wilayah
ini merupakan jalur ekspor minyak sehingga menjadi wilayah sengketa.
Adanya keinginan Irak dan Iran menjadi penguasa Teluk, hal ini sudah
dilakukan sejak Inggris mengakhiri keterlibatan militernya di Teluk tahun
1971.
Saddam Husein, Presiden Irak, merupakan seorang muslim aliran Sunni yang
khawatir akan adanya pemberontakan Syiah di Irak. Pemberontakan ini
terinspirasi dari terjadinya revolusi Iran di bawah pimpinan Ayatulloh
Khomeini.
Sehubungan dengan masalah ini, kedua negara pada tanggal 22 September 1969
menyetujui Memorandum of Understanding (MoU) yang menetapkan Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan dalam status quo yang berarti tidak boleh ditempati,
diduduki maupun dimanfaatkan baik oleh Indonesia maupun Malaysia
(Ratnaningrum, 2010). Diberlakukannya status quo ini ditujukan agar kestabilan
kedua negara maupun negara ASEAN yang berada di sekelilingnya tidak
terganggu.
Faktor kedua yaitu adanya implikasi kebijakan rezim Pol Pot yang menyebabkan
konflik berkepanjangan di Kamboja. Sebagai tindakan awal, Pol Pot membagi
masyarakat di Kamboja menjadi 5 kategori yakni petani, pekerja, borjuis, kapitalis
dan feudalis sehingga kebijakan-kebijakan yang ditetapkan kemudian mengubah
seluruh elemen masyarakat di Kamboja. Kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh
rezim Pol Pot tersebut kemudian mengundang berbagai reaksi antara negara-negara
sekitarnya. Reaksi yang cukup keras disampaikan oleh Vietnam bahwa Vietnam
merasa kebijakan rezim Pol Pot telah merugikan warga keturunan Vietnam di
Kamboja. Akibatnya, terjadilah intervensi Vietnam di Kamboja sebagai akar dari
konflik di Kamboja. Tindakan Vietnam yang melakukan intervensi didasari atas
perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan oleh rezim Pol Pot terhadap puluhan
ribu warga keturunan Vietnam dan khususnya para anggota partai komunis pro
Vietnam yang juga pernah berkoalisi menumbangkan Lon Nol pada tahun 1975.
Tindakan tersebut dianggap Vietnam telah melewati batas toleransi pihak Vietnam
sehingga Vietnam merasa terpaksa untuk menyerang pemerintahan Pol Pot guna
menyelamatkan rakyatnya (Runtukahu, 2009).
Pada awal tahun 1979, inervensi Vietnam secara resmi mengambil alih
pemerintahan di Kamboja dan kemudian membangun negara boneka Vietnam di
Kamboja. Vietnam yang berhasil mengambil alih Kamboja membentuk
pemerintahan baru yang dikenal sebagai People’s Republic of Kampuchea (PRK)
yang dipimpin oleh Presiden Heng Samrin dan Hun sen sebagai Perdana Menteri.
Berdirinya PRK sebagai pemimpin Kamboja mendapat dukungan dari Uni Soviet
dan Laos. Namun, PRK gagal untuk mendapatkan dukungan dari dunia
internasional khususya PBB. Hal ini disebabkan oleh intervensi militer yang
dilakukan Vietnam mengundang reaksi negatif dari dunia internasional. PBB dan
kebanyakan negara lainnya menolak untuk mengakui rezim Heng Samrin sebagai
pemerintahan yang sah di Kamboja (Runtukahu, 2009).ASEAN sebagai organisasi
regional menganggap intervensi dan invansi yang dilakukan Vietnam terhadap
Kamboja tidak sesuai dengan visi ASEAN untuk menjadikan suatu komunitas Asia
Tenggara yang damai dan hal ini juga telah mengancam keamanan negara anggota
ASEAN yang berbatasan langsung dengan Kamboja, yakni Thailand. Untuk
penyelesaian konflik tersebut, ASEAN memanfaatkan pengaruhnya melalui lobi
dengan anggota komunitas internasional dan melakukan mobilisasi dukungan
melalui diplomasi koleftif di forum internasional. Upaya ASEAN tersebut
kemudian berhasil tersalurkan saat PBB menggelar International Conference on
Kampuchea (ICK) pada bulan Juli 1981. Namun, harapan ASEAN terhadap ICK
dalam penyelesaian konflik tersebut dinilai kurang sukses karena konferensi ini
tidak berhasil untuk menghadirkan negara-negara tertentu. Hal ini disebabkan oleh
terpecahnya sikap negara-negara tertentu yang mendukung pemerintahan yang
dibentuk oleh Vietnam, dan pihak-pihak oposisi yang bertentangan (Runtukahu,
2009).
Konflik Asia Selatan
Bangladesh, salah satu negara yang menderita kemiskinan parah menurut standar
World Bank, adalah negara yang lahir dengan memisahkan diri dari Pakistan.
Pemerintahan mereka menggunakan ideologi sekular, sangat berlawanan dengan
pemerintahan Pakistan yang berbasiskan Sharia. Di dalam Bangladesh, terdapat
dua partai yang selalu berseteru satu sama lain – Bangladesh National Party dan
Awami League. Begitu parahnya perseteruan di antara kedua partai tersebut
sampai-sampai sebuah pemerintahan dapat dikudeta sampai lebih dari dua puluh
kali dalam kurun waktu 1977-1980. Usaha kudeta pun masih kerap terjadi di
Bangladesh hari ini.
Kashmir adalah sebuah wilayah yang terletak di sebelah Barat Laut India, diapit
oleh Pakistan di sebelah Barat dan China di sebelah Timur. Kashmir terkenal akan
kesuburan tanahnya dan nilai historis tak ternilai yang ada di sana, membuatnya
mendapat julukan Surga di Bumi. Kondisi geografis itulah yang membuat Kashmir
menjadi perebutan antara negara-negara yang mengapitnya. Konflik menjadi
semakin panas semenjak Pakistan memisahkan diri dari India, membuat daftar
negara yang memperebutkan Kashmir bertambah. Pakistan dan India pun mulai
membuat nuklir untuk mengimbangi China dalam hal posisi tawar, sehingga
kondisi ‘Perang Dingin’ pun tercipta di sana. Namun yang paling parah tentunya
adalah perang di antara India dan Pakistan. Kedua negara tersebut memang
bermasalah secara historis. Berulang kali mereka melakukan uji coba nuklir untuk
saling menunjukkan kekuatannya, Perang Dingin mungkin memang benar-benar
terjadi di sana.
4. Konflik Pengaturan Air
Antara India dan Bangladesh dilalui sebuah sungai yang amat panjang, namanya
adalah Sungai Gangga. Keadaan geografis ini menjadi menyulitkan karena mau
tidak mau kedua negara harus saling berbagi sumber daya alam tersebut. Tentu
saja, tidak ada negara yang mau berbagi, itu jelas tidak mungkin, maka dibuatlah
sebuah perjanjian di antara India dan Bangladesh. Perjanjian tersebut mencakup
soal buka-tutup kanal Sungai Gangga. Namun tentu saja, tidak ada negara dominan
yang cukup bodoh untuk mengikuti syarat negara yang lebih lemah darinya, India
pun melanggar perjanjian tersebut secara sepihak. Ketika sungai Gangga sedang
banjir, kanal dibuka, mengakibatkan Bangladesh terkena banjir. Ketika sungai
Gangga sedang kering, kanal ditutup, mengakibatkan Bangladesh tidak mendapat
air. Situasi ini menyebabkan konflik di antara kedua negara.
Konflik Asia Timur
China vs Taiwan
Konflik antara etnis muslim Uyghur dengan etnis Han dan pemerintah China
1. Pre konflik
Konflik ini sudah terjadi pada tahun 1980-an, Xinjiang adalah daerah dengan
sumber daya alam yang berlimpah, mulai dari minyak, batubara, dan gas alam,
letak xinjiang pun sangat strategis. Penduduknya adalah dari muslim Uyghur dan
etnis Han (mayoritas, hal ini yang di sinyalir menjadi awal dari konflik ini, karena
muslim Uyghur berada di daerah yang sangat strategis sebagaimana yang di
sebutkan oleh Anshari Thayib dalam bukunya Islam di China dan oleh Dr. Suffian
Mansur, dosen sejarah Universitas Malaysia. Jadi, konflik ini awalnya bukan
merupakan konflik agama antar muslim dan non-muslim, tetapi lebih kepada
perebutan sumber-sumber daya alam dan hal ini di dukung dengan turut
campurnya pemerintahan China yang berpihak kepada salah satu etnis.
2. Konfrontasi
Pada tahun 1990, pemerintah China melarang pembangunan masjid dan madrasah.
Hal ini berujung pada konfik kekerasan antara umat muslim Uyghur dengan
pemerintahan. Pemerintah pun melarang muslim Uyghur berpuasa. Hal ini
membuat muslim Uyghur mulai melawan dan terjadi beberapa konfrontasi.
3. Krisis
5 Juli 2009, merupakan puncak dari konflik antara dua etnis ini, muslim Uyghur
yang di sinyalir sebagai sebuah gerakan perjuangan yang ingin memisahkan diri
dari China. Diberitakan bahwa sedikitnya 140 orang tewas dan 828 orang terluka.
Hal ini melibatkan muslim Uyghur dan etnis Han (pemerintah). ini juga merupakan
sebuah penyelesaian konflik secara kohersif tapi juga sebagai puncak dari konflik
antara muslim Uyghur dan etnis Han yang sudah terjadi beberapa tahun ini.
1. Pre Conflict :
Saling klaim wilayah. Kepulauan Diaoyu/Senkaku tidak dikembalikan ke
Tiongkok (China & Taiwan) setelah Amerika meninggalkan Okinawa (1972)
sehingga Jepang mengklaim kepulauan tersebut adalah miliknya. Ketidakpedulian
China (setelah beberapa lama Amerika meninggalkan Okinawa dan
menyerahkannya ke Jepang) terhadap kepualauan Diaoyu/Senkaku membuat
Jepang berlarut-larut dan pengelolaan pulau tersebut lebih banyak dilakukan oleh
Jepang.
2. Confrontation :
Eksplorasi dimulai di area kepualauan Diaoyu/Senkaku dan China menemukan
fakta bahwa kepulauan tersebut kaya akan sumber daya alam. Mulailah China
kembali mempermasalahkan kepulauan tersebut. Disisi lain, Jepang pada
September 2012 lalu membeli 3 pulau dari kepulauan Diaoyu/Senkaku sehingga
mendapat kecaman keras dari pemerintah China.
3. Crisis :
Belum terjadi perang fisik, namun hubungan bilateral kedua negara semakin
memburuk.
4. Outcome :
Belum ada usaha untuk meredam konflik. Kedua negara hanya unjuk kekuatan
militer untuk saling menakuti sehingga “perdamaian” masih bisa terjaga.
Diharapkan penyelesaian masalah ini mampu dilakukan dengan cara damai.
Konflik Eropa
Bosnia-Harzekovina
1. South Sudan
South Sudah terletak di Benua Afrika bersebelahan dengan Sudan dan Ethiopia.
Sejak 2011 silam South Sudan memasuki fase baru dalam pemerintahan. Negara
ini menjadi independen. Hal ini terjadi karena adanya konflik internal dalam
pemerintahan.
South Sudan [image source]Kekerasan antar etnik menjadi hal biasa di South
Sudan. Para Suku nomaden bertarung dengan suku yang lain. Kekuasaan
diperebutkan. Hal ini membuat keamanan South Sudan tidak terjamin. Bahkan
warga asing dilarang masuk ke negara ini.
2. Somalia
Somalia mengalami perang sipil sejak tahun 1991. Perang antar warga ini terus
bertahan selama puluhan tahun, bahkan sekarang. Gerakan perang dimulai sejak
rezim Siad Barre pada tahun 1980. Sekarang anak-anak dari organisasi Siad
memulai misinya sendiri-sendiri.
Democratic Republic of Congo [image source]Tercatat ada sekitar 5,4 juta warga
meninggal dunia dalam suasana perang. Hal ini terjadi pada tahun 1996-1998.
Sekitar 90% kematian diakibatkan malaria, diare, pneumonia. Hal ini terjadi karena
warga mengungsi ke daerah yang memiliki kondisi sanitasi buruk.
5. Nigeria
Meski termasuk negara yang kaya akan hasil tambang minyak. Nigeria dikenal
sebagai negara dengan isu sosial yang tinggi. Hak Asasi manusia di sana benar-
benar tidak ada sama sekali. Negara ini juga dikenal sebagai negara korup. Bahkan
hampir seluruh pemerintahannya pasti korup.
Konflik Ekonomi
Seperti halnya negara-negara berkembang lainnya, kawasan Amerika Selatan pun
memiliki kekayaan yang cukup potensial untuk Sumber Daya Alam. Sektor
pertanian adalah sektor yang sangat dibanggakan dan dipupuk dalam budaya
masyarakat Amerika Selatan. Bahkan pergerakan petani pun sampai terbentuk
untuk menjaga pergerakan dan lahan mereka dari pihak kapitalis yang ibaratnya
bertujuan untuk mematikan sektor perdagangan tradisional. Selain itu, Amerika
Selatan juga memiliki potensi yang cukup besar dalam komoditi minyak.
Tahun 1980an merepresentasikan titik balik yang menentukan di Amerika Latin.
Krisis hutang yang merenggut Dunia Ketiga memfasilitasi neoliberalisasi di
negara-negara di Amerika Latin melalui kebijakan restrukturisasi IMF. Dengan
disusul kejatuhan Uni Soviet, saat itu tampak tak ada alternatif yang mungkin
terhadap arus pasang politik kanan. Juga dalam era ini, industri timah di Bolivia
runtuh karena persediaan global yang terlalu banyak (oversupply), yang terutama
dipasok oleh Cina dan Brasil. Dalam konteks tersebut, industri lalu-lintas narkotika
(narcotrafficking) mulai marak. Hal itu pada prinsipnya dibahan-bakari oleh
konsumsi di utara dan didorong oleh naluri bisnis (sense of entrepreneurialism)
yang tak ada duanya di Kolombia, pusat (epicentre) dari perdagangan obat-obatan
terlarang. Perbatasan internasional yang semakin berpori-pori berkat globalisasi,
dan konteks lokal berupa bencana hutang dan ekonomi, menciptakan atmosfir
mengundang bagi kekayaan yang diasosiasikan dengan maraknya industri lalu-
lintas narkotika.
Selain sektor minyak dan narkotika, Amerika Selatan atau Amerika Latin sangat
dekat dengan isu privatisasi. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, ini
dikarenakan ketika krisis global pada tahun 1990-an, negara-negara di Amerika
Selatan seperti tidak diberi pilihan lain selain menerima bantuan IMF dan WTO
untuk tetap bertahan dalam perekonomian. Pada 1999-2000 ketika diterapkan
rencana privatisasi air di Lembah Cochabamba melalui anak perusahaan Bechtel
Corporation, Aguas de Tunari. Dalam waktu beberapa bulan harga air meningkat
drastis dan memicu aksi-aksi protes yang semakin agresif, termasuk suatu
demonstrasi massal di mana seorang protestan terbunuh dan beberapa lainnya
terluka oleh militer. ‘Perang Air’ ini, sebagaimana biasa disebut, berujung pada
pembatalan kesepakatan privatisasi air. Ia juga memperkuat gerakan anti-neoliberal
yang berlanjut meningkat dalam jumlah dan intensitas.
Konflik Keamanan
Rezim-rezim militer yang didirikan di Argentina, Chili, dan Uruguay pada tahun
70-an adalah tergolong dalam tipe otoriterisme birokratis. Mereka beroperasi
dengan sebuah basis ideologi yang mirip yang disebut Doktrin Keamanan
Nasional. Dengan doktrin itu mereka bersikap sebagai penyelamat bangsa dengan
tuntutan untuk melindungi nilai-nilai eropa-kristen dan ingin menghadirkan
kembali kedamaian dan ketertiban. Tentu saja para pimpinan aparat kekuasaan di
tiga negara ini memiliki struktur berbeda. Jika Chilli, segera setelah runtuhnya
Allende, sangat kuat berkiblat pada Jendral Pinochet dan dapat menciptakan
kediktatoran yang berlangsung selama 17 tahun (1973-1990), pihak junta militer
Argentina yang terdiri dari pimpinan tiga divisi angkatan bersenjata membagi-bagi
kekuasaan sejak 1976 sampai 1983. Junta militer ini, bersama-sama dengan
boneka-boneka yang berbeda-beda, hampir tidak menciptakan kesan sebuah blok
kekuasaan yang tertutup. Sebaliknya para penguasa militer Uruguay memanfaatkan
sebagian besar waktu berkuasa mereka (dari 1973 sampai 1985) untuk melakukan
agitasi berkedok orang-orang sipil, sehingga sampai tahun 1981 mereka tidak
pernah menempatkan anggota militer sebagai pimpinan-pimpinan puncak
pemerintahan.
Berbeda dari 3 negara lain yang dibahas di sini, di Paraguay terdapat sebuah
kediktatoran tradisional yang patrimonial dan berciri khas Amerika Tengah,
khususnya ciri Karibia. Rejim Stroessner mengikat elemen-elemen pemerintahan
militer dengan beberapa ciri khas kediktatoran yang berkiblat pada perseorangan
pada gaya lama Caudillo, yang memperoleh dukungan ekstra melalui sebuah partai
negara.