Anda di halaman 1dari 27

Konflik Timur Tengah

A. Latar Belakang Perang Teluk I

Ada beberapa faktor yang membuat terjadinya perang teluk I, di mana terjadi
peperangan antara Irak dan Iran. Berikut ini adalah beberapa faktornya ya:

 Adanya keinginan Irak dan Iran menguasai Shatt Al Arab. Shatt Al Arab
adalah jalur perariran strategis yang memisahkan Irak-Iran menuju Teluk
Persia. Sepanjang perairan ini dibangun pelabuhan-pelabuhan besar, wilayah
ini merupakan jalur ekspor minyak sehingga menjadi wilayah sengketa.

 Adanya keinginan Irak dan Iran menjadi penguasa Teluk, hal ini sudah
dilakukan sejak Inggris mengakhiri keterlibatan militernya di Teluk tahun
1971.

 Saddam Husein, Presiden Irak, merupakan seorang muslim aliran Sunni yang
khawatir akan adanya pemberontakan Syiah di Irak. Pemberontakan ini
terinspirasi dari terjadinya revolusi Iran di bawah pimpinan Ayatulloh
Khomeini.

 Melemahnya kekuatan Iran paska revolusi tahun 1979. Saddam Husein


yakin bahwa keadaan Irak sedang tidak stabil setelah revolusi karena eksekusi
mati para perwira-perwira perang yang pro terhadap Shah Reza Pahlevi. Hal
ini dapat menguntungan invasi yang akan dilakukan Irak.
Kalau kita lihat dari beberapa faktor di atas, terjadinya perang antara Irak dan Iran
ini disebabkan oleh adanya kepentingan dan keinginan yang sama dalam menguasai
wilayah. Perebutan wilayah tersebutlah yang kemudian memicu munculnya
peperangan antara keduanya.

B. Jalannya Perang Teluk I

Perang Teluk I antara Irak dan Iran (sumber: satujam.com)


Awal terjadinya ketegangan antara dua Negara tersebut yaitu pada April
1980. Pada saat itu, sedang berlangsung acara Konferensi Ekonomi Internasional
yang diselenggarakan oleh persatuan mahasiswa Asia di Irak. Tiba-tiba saja nih,
sebuah bom meledak dan tentunya menggagalkan acara tersebut.
Karena kejadian tersebut, Irak menganggap bahwa Iran sedang menantang untuk
berperang. Selang 5 bulan kemudian, tepatnya pada 4 September 1980, Iran tiba-
tiba saja melancarkan serangan ke beberapa wilayah Irak, seperti desa Khanaqin,
Muzayriah, Zurbatiyah, Qata Mandali dan Mustapha dan instalasi minyak Neft
Khaneh. Akibat dari serangan ini, puluhan rakyat Irak menjadi korban.
Kemudian Irak tidak tinggal diam. Tidak sampai sebulan, tepatnya pada 22
September 1980 Irak memulai serangan balasan. Irak mulai menghancurkan pusat-
pusat persenjataan berat dan juga pelabuhan udara Mehrabad, Teheran, Iran.
Irak berhasil menduduki Pulau Tumb Besar dan Tumb Kecil (wilayah
sengketa kedua negara) yang sudah dikuasai oleh Iran selama ratusan tahun.
Serangan ini kemudian dianggap sebagai kemenangan Irak. Akan tetapi Iran tidak
tinggal diam, Iran kembali melakukan serangan balasan ke wilayah Basra dan
Wasit.
Perang ini terus berlanjut, aksi saling balas serang pun tidak bisa dihindari. Hingga
akhirnya pada bulan April 1983, Irak menghancurkan sumur minyak di Norwuz
yang membawa dampak besar bahkan ke negara-negara tetangganya. Dampaknya
sangat buruk. Sumber daya air disekitar wilayah Teluk tercemar oleh minyak. Hal
ini membuat harga air minum di wilayah ini sangat mahal. Bahkan, harga satu liter
air pada saat itu hamper lima kali dari harga standar minyak mentah OPEC.
Beberapa negara yang terkena dampaknya adalah Qatar, Kuwait dan Bahrain.
Perang ini terus berlanjut hingga tahun ke delapan.
C. Akhir Perang Teluk I
Perang yang terjadi selama 8 tahun ini ternyata nggak membuahkan hasil lho
Squad. Dalam perang teluk I ini tidak ada yang menang maupun kalah. Hingga
akhirnya perang ini berakhir setelah Iran bersedia menerima Resolusi Dewan
Keamanan PBB No. 598 Tahun 1988. Pada resolusi tersebut, Iran diminta untuk
melaksanakan gencatan senjata dan pemberlakuan Perjanjian Algier yang sudah
disusun sejak tahun 1981.
Konflik Asia Tenggara
 Konflik Pulau Sipadan dan Ligit
Secara geografis, Pulau Sipadan dan Ligitan terletak di Selat Makassar. Pulau
Sipadan berada 15 mil laut dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 40 mil laut dari
pantai timur Pulau Sebatik, Kalimantan Utara. Sedangkan pulau Ligitan terletak 12
mil laut dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut dari pantai timur
Pulau Sebatik (www.lib.ui.ac.id). Konflik Indonesia dengan Malaysia ini berawal
pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara,
kedua negara tersebut secara bersamaan memasukkan pulau Sipadan dan Ligitan
dalam batas-batas wilayahnya.

Sehubungan dengan masalah ini, kedua negara pada tanggal 22 September 1969
menyetujui Memorandum of Understanding (MoU) yang menetapkan Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan dalam status quo yang berarti tidak boleh ditempati,
diduduki maupun dimanfaatkan baik oleh Indonesia maupun Malaysia
(Ratnaningrum, 2010). Diberlakukannya status quo ini ditujukan agar kestabilan
kedua negara maupun negara ASEAN yang berada di sekelilingnya tidak
terganggu.

Namun kedua negara memahami pengertian tersebut berbeda. Malaysia memahami


status quo bahwa kedua pulau tersebut tetap berada dibawah kepemimpinan
Malaysia sampai persengketaan selesai. Sedangkan pihak Indonesia memahami
bahwa adanya status quo berarti kedua pulau tidak boleh ditempati atau tidak
dalam kepemimpinan kedua negara hingga persengketaan selesei (Puspita, t.t).
Berbeda dengan Indonesia yang mentaati hukum internasional, Malaysia justru
memanfaatkan kondisi tersebut dengan mendirikan fasilitas pariwisata di dua
kepulauan tersebut. Mengetahui hal tersebut Indonesia langsung mengirimkan
protes kepada Malaysia bahwa kedua kepulauan tersebut sedang dalam kondisi
sengketa dan tidak diperbolehkan untuk menduduki wilayah tersebut. Keadaan
bertambah parah ketika Malaysia mulai memasukkan kedua pulau tersebut pada
perpetaan wilayahnya pada tahun 1979.
Situasi yang semakin parah ini membuat Presiden Soeharto sebagai wakil dari
Indonesia dan Perdana Menteri Mahathir Muhammad sepakat untuk mencari solusi
dari permasalahan ini kepada ICJ. Setelah pertemuan kedua negara melalui ICJ ini
terbentuklah suatu perjanjian atas adanya perdamaian antara Malaysia dan
Indonesia serta sesegera mungkin ICJ memberikan kepemilikan pulau Sipadan dan
Ligitan ini berdasarkan bukti-bukti yang ada. Dengan dibawanya sengketa wilayah
ini melalui ICJ justru memperlemah posisi Indonesia. Pada tahun 2002, Indonesia
dan Malaysia memberikan argumennya terkait dengan persengketaan wilayah
tersebut berdarkan bukti-bukti yang dimiliki. Pada argumen yang disampaikan
Indonesia, Indonesia menyatakan bahwa bukti kepemilikannya atas kedua pulau
tersebut berdasarkan Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1981 dimana garis batas
kedua negara adalah di pantai timur Pulau Kalimantan yang terus memotong ke
pulau Sebatik yang menempatkan kedua pulau tersebut dibawah kepemilikan
Belanda. Sedangkan argumen yang disampaikan oleh Malaysia dengan bukti-bukti
yang ada bahwa Malaysia sejak tahun 1971 telah membuktikan pemberian
perlindungan terhadap kedua wilayah tersebut seperti mengeluarkan perlindungan
Penyu, adanya pembangunan mercusuar di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada
tahun 1962 (Steven, 2009: 45). Pernyataan yang disampaikan Indonesia dan
Malaysia ini membuat Mahkamah Hukum Internasional memutuskan bahwa Pulau
Sipadan dan Ligitan secara resmi berada dibawakepemilikan Malaysia terbukti
dengan keefektifan Malaysia yang melakukan perawatan atas kedua pulau tersebut.

Kasus serupa juga terjadi di kawasan perairan Ambalat, di mana Malaysia


melakukan klaim terhadap perairan tersebut. Pemerintah Indonesia merespon
tindakan yang dilakukan oleh Malaysia dengan jalan pengirima pasukan militer.
Pemerintah Malaysia melakukan klaimnya atas perairan tersebut didasarkan pada
peta mereka yang mereka buat sendiri pada tahun 1979. Hal ini pun tidak bisa
deiterima oleh pemerintah Indonesia. Hingga tahun 2013, masih sering terjadi
pelanggaran perbatasan oleh Malaysia di perairan Republik Indonesia. Sehingga
Konflik ini laksana bom waktu.
 Konflik Vietnam-Kamboja

Latar belakang awal kemunculan konflik di Kamboja dipengaruhi oleh beberapa


faktor. Faktor pertama bahwa adanya berbagai kepentingan dari pihak asing di
Kamboja. Pihak asing yang terlibat dalam proses pembentukan bangsa Kamboja
ini cenderung mengambil keuntungan dari Kamboja. Kamboja merupakan negara
yang terletak di bagian timur laut Asia Tenggara dan merupakan negara yang
berbatasan langsung dengan Thailand, Vietnam, dan Laos. Sekitar abad ke-10
sampai abad ke-14, wilayah Kamboja berada di bawah kejayaan Kerajaan Khmer.
Namun, sejak abad ke-14, Thailand dan Vietnam menginvasi dan berusaha untuk
menguasai Kamboja terus menerus selama 4 abad. Thailand melihat bahwa
Kamboja memiliki pangsa pasar yang sangat potensial bagi perdagangan kedua
negara tersebut. Vietnam kemudian ingin menyatukan wilayah Indocina di bawah
kepemimpinannya yang didukung oleh Perancis. Kamboja kemudian menjadi
bagian dari French Protectorate atau perlindungan Perancis dan bagian dari French
Indochina atau bagian dari koloni Perancis. Awal tahun 1940-an, tepatnya pada
saat Perang Dunia II, Kamboja menjadi wilayah perebutan bagi Perancis dan
Jepang. Jepang berhasil merebut Kamboja dari perancis pada tahun 1940, tetapi
kemudian kembali menjadi wilayah perlindungan Perancis sampai tahun 1953
karena Jepang yang menyerah pada sekutu. Negara superpower seperti Amerika
Serikat, Uni Soviet dan Cina juga memliki kepentingan terhadap Kamboja, di
mana Cina memberikan dukungan kepada pemerintahan Democratic Kampuchea
di bawah pimpinan Pol Pot dan Pangeran Sihanouk untuk mengusir Vietnam yang
didukung oleh Uni Soviet untuk keluar dari Kamboja. Sedangkan, Amerika Serikat
melihat Kamboja sebagai wilayah yang strategis untuk membendung komunisme
Vietnam Utara pada Perang Indocina tahun 1965-1975 dengan jalan membangun
aliansi dengan negara-negara kawasan Indocina seperti Vietnam Selatan, Thailand
dan Kamboja di bawah pemerintahan Lon Nol (Runtukahu, 2009).

Faktor kedua yaitu adanya implikasi kebijakan rezim Pol Pot yang menyebabkan
konflik berkepanjangan di Kamboja. Sebagai tindakan awal, Pol Pot membagi
masyarakat di Kamboja menjadi 5 kategori yakni petani, pekerja, borjuis, kapitalis
dan feudalis sehingga kebijakan-kebijakan yang ditetapkan kemudian mengubah
seluruh elemen masyarakat di Kamboja. Kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh
rezim Pol Pot tersebut kemudian mengundang berbagai reaksi antara negara-negara
sekitarnya. Reaksi yang cukup keras disampaikan oleh Vietnam bahwa Vietnam
merasa kebijakan rezim Pol Pot telah merugikan warga keturunan Vietnam di
Kamboja. Akibatnya, terjadilah intervensi Vietnam di Kamboja sebagai akar dari
konflik di Kamboja. Tindakan Vietnam yang melakukan intervensi didasari atas
perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan oleh rezim Pol Pot terhadap puluhan
ribu warga keturunan Vietnam dan khususnya para anggota partai komunis pro
Vietnam yang juga pernah berkoalisi menumbangkan Lon Nol pada tahun 1975.
Tindakan tersebut dianggap Vietnam telah melewati batas toleransi pihak Vietnam
sehingga Vietnam merasa terpaksa untuk menyerang pemerintahan Pol Pot guna
menyelamatkan rakyatnya (Runtukahu, 2009).

Pada awal tahun 1979, inervensi Vietnam secara resmi mengambil alih
pemerintahan di Kamboja dan kemudian membangun negara boneka Vietnam di
Kamboja. Vietnam yang berhasil mengambil alih Kamboja membentuk
pemerintahan baru yang dikenal sebagai People’s Republic of Kampuchea (PRK)
yang dipimpin oleh Presiden Heng Samrin dan Hun sen sebagai Perdana Menteri.
Berdirinya PRK sebagai pemimpin Kamboja mendapat dukungan dari Uni Soviet
dan Laos. Namun, PRK gagal untuk mendapatkan dukungan dari dunia
internasional khususya PBB. Hal ini disebabkan oleh intervensi militer yang
dilakukan Vietnam mengundang reaksi negatif dari dunia internasional. PBB dan
kebanyakan negara lainnya menolak untuk mengakui rezim Heng Samrin sebagai
pemerintahan yang sah di Kamboja (Runtukahu, 2009).ASEAN sebagai organisasi
regional menganggap intervensi dan invansi yang dilakukan Vietnam terhadap
Kamboja tidak sesuai dengan visi ASEAN untuk menjadikan suatu komunitas Asia
Tenggara yang damai dan hal ini juga telah mengancam keamanan negara anggota
ASEAN yang berbatasan langsung dengan Kamboja, yakni Thailand. Untuk
penyelesaian konflik tersebut, ASEAN memanfaatkan pengaruhnya melalui lobi
dengan anggota komunitas internasional dan melakukan mobilisasi dukungan
melalui diplomasi koleftif di forum internasional. Upaya ASEAN tersebut
kemudian berhasil tersalurkan saat PBB menggelar International Conference on
Kampuchea (ICK) pada bulan Juli 1981. Namun, harapan ASEAN terhadap ICK
dalam penyelesaian konflik tersebut dinilai kurang sukses karena konferensi ini
tidak berhasil untuk menghadirkan negara-negara tertentu. Hal ini disebabkan oleh
terpecahnya sikap negara-negara tertentu yang mendukung pemerintahan yang
dibentuk oleh Vietnam, dan pihak-pihak oposisi yang bertentangan (Runtukahu,
2009).
Konflik Asia Selatan

 Huru-Hara Politik di Bangladesh

Bangladesh, salah satu negara yang menderita kemiskinan parah menurut standar
World Bank, adalah negara yang lahir dengan memisahkan diri dari Pakistan.
Pemerintahan mereka menggunakan ideologi sekular, sangat berlawanan dengan
pemerintahan Pakistan yang berbasiskan Sharia. Di dalam Bangladesh, terdapat
dua partai yang selalu berseteru satu sama lain – Bangladesh National Party dan
Awami League. Begitu parahnya perseteruan di antara kedua partai tersebut
sampai-sampai sebuah pemerintahan dapat dikudeta sampai lebih dari dua puluh
kali dalam kurun waktu 1977-1980. Usaha kudeta pun masih kerap terjadi di
Bangladesh hari ini.

Situasi politik yang tidak stabil semacam itu menyebabkan kebijakan-kebijakan


kesejahteraan yang dicanangkan negara tidak berjalan, menyebabkan kemiskinan
akut, kurangnya infrastruktur, dan tingkat edukasi yang rendah. Namun hebatnya,
kondisi semacam itulah yang membuat berbagai pemikir ternama dunia terkait
kemiskinan dapat lahir. Muhammad Yunus, pemenang Nobel Perdamaian yang
mendapatkan hadiah tersebut berkat konsep microfinance yang diterapkannya di
Bangladesh. Dia membuka Grameen Bank dimana setiap orang dapat meminjam
tanpa agunan sama sekali untuk tujuan membuka usaha. Hasilnya luar biasa, dan
warga Bangladesh cukup terbantu dengan hal itu.
2.Konflik Kashmir

Kashmir adalah sebuah wilayah yang terletak di sebelah Barat Laut India, diapit
oleh Pakistan di sebelah Barat dan China di sebelah Timur. Kashmir terkenal akan
kesuburan tanahnya dan nilai historis tak ternilai yang ada di sana, membuatnya
mendapat julukan Surga di Bumi. Kondisi geografis itulah yang membuat Kashmir
menjadi perebutan antara negara-negara yang mengapitnya. Konflik menjadi
semakin panas semenjak Pakistan memisahkan diri dari India, membuat daftar
negara yang memperebutkan Kashmir bertambah. Pakistan dan India pun mulai
membuat nuklir untuk mengimbangi China dalam hal posisi tawar, sehingga
kondisi ‘Perang Dingin’ pun tercipta di sana. Namun yang paling parah tentunya
adalah perang di antara India dan Pakistan. Kedua negara tersebut memang
bermasalah secara historis. Berulang kali mereka melakukan uji coba nuklir untuk
saling menunjukkan kekuatannya, Perang Dingin mungkin memang benar-benar
terjadi di sana.
4. Konflik Pengaturan Air

Antara India dan Bangladesh dilalui sebuah sungai yang amat panjang, namanya
adalah Sungai Gangga. Keadaan geografis ini menjadi menyulitkan karena mau
tidak mau kedua negara harus saling berbagi sumber daya alam tersebut. Tentu
saja, tidak ada negara yang mau berbagi, itu jelas tidak mungkin, maka dibuatlah
sebuah perjanjian di antara India dan Bangladesh. Perjanjian tersebut mencakup
soal buka-tutup kanal Sungai Gangga. Namun tentu saja, tidak ada negara dominan
yang cukup bodoh untuk mengikuti syarat negara yang lebih lemah darinya, India
pun melanggar perjanjian tersebut secara sepihak. Ketika sungai Gangga sedang
banjir, kanal dibuka, mengakibatkan Bangladesh terkena banjir. Ketika sungai
Gangga sedang kering, kanal ditutup, mengakibatkan Bangladesh tidak mendapat
air. Situasi ini menyebabkan konflik di antara kedua negara.
Konflik Asia Timur

 Korea Utara vs Korea Selatan

Korea Utara vs Korea Selatan, termasuk ke dalam jenis konflik internasional


karena konflik ini melewati batas-batas negara dan melibatkan 2 negara di
dalamnya.
Korea Utara vs Korea Selatan, disebabkan karena korea selatan bersikeras
melakukan latihan militer di wiliyah sengketa, sekitar puluhan kilometer dari pulau
Yeonpyeong dan Korea Utara tanpa peringatan meluncurkan roket ke arah Korea
Selatan dan di balas kembali oleh Korea Selatan. (versi tahun 2010) Saat ini
tingkatan konfliknya masih dalam tingkatan konfrontasi.

China vs Taiwan

China vs Taiwan, termasuk ke dalam jenis konflik internasional karena


konflik ini melewati batas-batas negara dan melibatkan 2 negara di dalamnya.
China vs Taiwan, disebabkan karena terjadi perang saudara di China daratan
antara Partai Nasionalis Kuomintang dan Partai Komunis. Perang yang berakhir di
tahun 1949 ini dimenangkan oleh kubu komunis yang kemudian membuat
Kuomintang tergusur dan lari ke Taiwan. Di Taiwan, Kuomintang yang dipimpin
oleh Chiang Kai-shek kemudian mendirikan pemerintahan yang tetap diberi nama
Republik China. Chiang Kai-shek mendirikan pemerintahan ini dengan tujuan
untuk tetap mempertahankan filosofis nasionalis, dan berusaha membangun
kekuatan untuk pada akhirnya kembali merebut China daratan. Saat ini tingkatan
konfliknya masih dalam tingkatan post konflik yang dimana Partai nasionalis
Kuomintang melarikan diri ke Taiwan dan berdasarkan sokongan A.S, maka Pulau
Taiwan dipisahkan dari Tanah Besar China.
Klaim kepemilikan Takeshima antara Jepang dan Korea Selatan

Klaim kepemilikan Takeshima antara Jepang dan Korea Selatan, termasuk ke


dalam jenis konflik internasional karena konflik ini melewati batas-batas negara
dan melibatkan 2 negara di dalamnya.
Klaim kepemilikan Takeshima antara Jepang dan Korea Selatan, disebabkan
karena letak pulau ini yang berada di antara Jepang dan korea Selatan, kedua
negara mengklaim pulau tersebut berdasarkan letak geografis serta historis atas
kepemilikan pulau tersebut. Pulau ini kaya akan biota laut dan sumber gas alam.
Pulau ini juga mencerminkan kepribadian dari kedua negara secara
simbolik.sehingga muncul perdebatan kepemilikan atas pulau tersebut. saat ini
tingkatan konfliknya masih dalam tingkatan outcome yang dimana Jepang pernah
meminta Korea Selatan agar membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional
pada tahun 1954 dan 1962, namun keduanya ditolak oleh Korea Selatan.

Konflik antara etnis muslim Uyghur dengan etnis Han dan pemerintah China

Jenis konflik : Konflik internal, horizontal dan vertikal


Tingkatan konflik:

1. Pre konflik
Konflik ini sudah terjadi pada tahun 1980-an, Xinjiang adalah daerah dengan
sumber daya alam yang berlimpah, mulai dari minyak, batubara, dan gas alam,
letak xinjiang pun sangat strategis. Penduduknya adalah dari muslim Uyghur dan
etnis Han (mayoritas, hal ini yang di sinyalir menjadi awal dari konflik ini, karena
muslim Uyghur berada di daerah yang sangat strategis sebagaimana yang di
sebutkan oleh Anshari Thayib dalam bukunya Islam di China dan oleh Dr. Suffian
Mansur, dosen sejarah Universitas Malaysia. Jadi, konflik ini awalnya bukan
merupakan konflik agama antar muslim dan non-muslim, tetapi lebih kepada
perebutan sumber-sumber daya alam dan hal ini di dukung dengan turut
campurnya pemerintahan China yang berpihak kepada salah satu etnis.
2. Konfrontasi
Pada tahun 1990, pemerintah China melarang pembangunan masjid dan madrasah.
Hal ini berujung pada konfik kekerasan antara umat muslim Uyghur dengan
pemerintahan. Pemerintah pun melarang muslim Uyghur berpuasa. Hal ini
membuat muslim Uyghur mulai melawan dan terjadi beberapa konfrontasi.

3. Krisis
5 Juli 2009, merupakan puncak dari konflik antara dua etnis ini, muslim Uyghur
yang di sinyalir sebagai sebuah gerakan perjuangan yang ingin memisahkan diri
dari China. Diberitakan bahwa sedikitnya 140 orang tewas dan 828 orang terluka.
Hal ini melibatkan muslim Uyghur dan etnis Han (pemerintah). ini juga merupakan
sebuah penyelesaian konflik secara kohersif tapi juga sebagai puncak dari konflik
antara muslim Uyghur dan etnis Han yang sudah terjadi beberapa tahun ini.

 KONFLIK JEPANG-CHINA (klaim Kepulauan Diaoyu/Senkaku)

Aktor yang Terlibat :


Jepang, China, Amerika Serikat.

1. Pre Conflict :
Saling klaim wilayah. Kepulauan Diaoyu/Senkaku tidak dikembalikan ke
Tiongkok (China & Taiwan) setelah Amerika meninggalkan Okinawa (1972)
sehingga Jepang mengklaim kepulauan tersebut adalah miliknya. Ketidakpedulian
China (setelah beberapa lama Amerika meninggalkan Okinawa dan
menyerahkannya ke Jepang) terhadap kepualauan Diaoyu/Senkaku membuat
Jepang berlarut-larut dan pengelolaan pulau tersebut lebih banyak dilakukan oleh
Jepang.
2. Confrontation :
Eksplorasi dimulai di area kepualauan Diaoyu/Senkaku dan China menemukan
fakta bahwa kepulauan tersebut kaya akan sumber daya alam. Mulailah China
kembali mempermasalahkan kepulauan tersebut. Disisi lain, Jepang pada
September 2012 lalu membeli 3 pulau dari kepulauan Diaoyu/Senkaku sehingga
mendapat kecaman keras dari pemerintah China.

3. Crisis :
Belum terjadi perang fisik, namun hubungan bilateral kedua negara semakin
memburuk.
4. Outcome :
Belum ada usaha untuk meredam konflik. Kedua negara hanya unjuk kekuatan
militer untuk saling menakuti sehingga “perdamaian” masih bisa terjaga.
Diharapkan penyelesaian masalah ini mampu dilakukan dengan cara damai.
Konflik Eropa

 Bosnia-Harzekovina

SEKILAS SEJARAH TRAGEDI BOSNIA-HERZEGOVINA


Sebelum kami paparkan tragedi yang menimpa saudara-saudara muslim kita di
Bosnia-Herzegovina kami akan membentangkan sekilas sejarah Bosnia-
Herzegovina berikut letak geografisnya.
-Republik Bosnia-Herzegovina terletak di samping republik-republik Serbia,
Croasia, Slovenia, Macedonia, semuanya dikenal dengan nama Yugoslavia.
-Sebelum utara Yugoslavia adalah Negara Hongaria dan Austria, di sebelah timur
adalah Rumania dan di sebelah selatan adalah Negara Yunani dan Spanyol, serta
disebelah barat adalah laut Adriatik.
-Letak Bosnia-Herzegovina berada di tengah tengah Yugoslavia yang berbatasan di
sebelah utara dan barat dengan Croasia, di sebelah timur dengan Serbia dan di
sebelah selatan dengan Sernagora (Montenogro).
– Bosnia-Herzegovina dibuka pada masa Kholifah Muhammad Al-Fatih. Antara
46-60% dari 4,5 juta penduduknya masih memeluk Islam hingga penghujung abad
ini, dikala Serbia menindas dan menjarah republik muslim ini. Perlu disebutkan
bahwa ibukota Bosnia-Herzegovina bernama “Siroj Bosnah” kemudian dirubah
Serbia dengan nama “Sarajevo Bosnia” nama salah seorang panglima Serbia.
-Serbia (Kristen Ortodoks) dikenal permusuhannya yang keras terhadap Islam dan
kaum muslimin. Kemudian mulailah mereka menggunakan cara-cara yang keji
melawan kaum muslimin.
1. Pada akhir Perang Dunia I Serbia mengadakan pembantaian masal terhadap
kaum muslimin Bosnia. Membakar 270 perkampungan muslim serta membunuh
ribuan orang yang masuk islam. Baik itu wanita, orang tua, anak-anak. Dan
mengakibatkan 300.000 orang muslim melarikan diri dan meninggalkan Bosnia.
2. Padatahun 1941 Serbia membantai 60.000 muslimin. Melemparkannya ke
sungai Foja (Voca) sehingga air sungai berubah menjadi sungai darah merah…
mengenaskan.
3. Setelah Perang Dunia II terjadilah perang antara Serbia (Ortodoks) dengan
Croasia (Katholik) mulai tahun 1941-1945. Perang ini berakhir dengan pembagian
Bosnia-Herzegovina menjadi wilayah Serbia dan wilayah Croasia.
4. Setelah Yugoslavia melepaskan diri dari republik Uni-Yugoslavia, sebagian
republik-republik Yugoslavia menuntut kemerdekaan dan memisahkan diri dari
Yugoslavia. Diantara republik-republik itu adalah Slovenia, Croasia, Bosnia-
Herzegovina, Macedonia. Akan tetapi Serbia tidak rela dengan tuntutan mereka.
Serbia rakus dengan warisan Uni-Yugoslavia. Serbia menguasai 85% kekuatan
militer Uni Yugoslavia dan mendapat dukungan dari republik Montenegro yang
bergabung dengan Serbia.
5. Dimulailah serangan terhadap Croasia (Katholik). Pada peristiwa ini dunia
bangkit. Paulus menentang serangan Serbia terhadap Croasia, ia pergi ke Hongaria
(30 km dari Croasia) untuk menghentikan pertempuran. PBB sendiri mengirim
misi bantuan dan 14.000 personil pasukan keamanan untuk menjaga perdamaian.
Akhirnya tercapailah gencatan senjata.
6. Setelah Negara Bosnia-Herzegovina melepaskan diri dan memperoleh
pengakuan internasional dari 34 negara (6 April 1992), tentara Serbia membantai
kaum muslimin Bosnia-Herzegovina. Saat ini, kaum muslimin berada dalam
penderitaan yang tak berkesudahan.
-Pembantaian semakin meluas, hingga meliputi sebagian besar republik muslimin.
Orang-orang Serbia telah menguasai dua kota di utara timur Bosnia yaitu kota
Belina dan Zornik, demikian pula Modrisya di utara dan Molistar, Votsya,
Ghoradezh, Busanaski dan Kubrs.
– Sekarang kebiadaban merajalela dalam bentuk yang menjijikkan di ibukota
Sarajevo. Pernah seharian kota tersebut dihujani dengan peluru-peluruberat dan
kaum Milisi mengadakan pembantaian dan pembunuhan yang mengerikan.
Konflik Afrika

1. South Sudan
South Sudah terletak di Benua Afrika bersebelahan dengan Sudan dan Ethiopia.
Sejak 2011 silam South Sudan memasuki fase baru dalam pemerintahan. Negara
ini menjadi independen. Hal ini terjadi karena adanya konflik internal dalam
pemerintahan.

South Sudan [image source]Kekerasan antar etnik menjadi hal biasa di South
Sudan. Para Suku nomaden bertarung dengan suku yang lain. Kekuasaan
diperebutkan. Hal ini membuat keamanan South Sudan tidak terjamin. Bahkan
warga asing dilarang masuk ke negara ini.
2. Somalia
Somalia mengalami perang sipil sejak tahun 1991. Perang antar warga ini terus
bertahan selama puluhan tahun, bahkan sekarang. Gerakan perang dimulai sejak
rezim Siad Barre pada tahun 1980. Sekarang anak-anak dari organisasi Siad
memulai misinya sendiri-sendiri.

Somalia [image source]Yang diperebutkan di Somalia adalah pengaruh untuk


negara. Atau bahasa sederhanannya, perebutan kekuasaan. Yang berkonflik tidak
hanya dua kelompok etnik atau klan, tapi banyak. Semua menginginkan hal yang
sama, dan tidak memedulikan keselamatan warganya.
3. Sudan
Sama halnya dengan South Sudan. Negara Sudan mengalami konflik internal.
Kekuatan negara digerogoti dari dalam dan membuat seluruh warganya sengsara.
Perang sipil antar kelompok warga berjalan selama bertahun-tahun. Dan sampai
sekarang tidak ada penyelesaiannya.
Selain itu, Hak Asasi Manusia di Sudan tidak begitu diperhitungkan. Orang seperti
tidak memiliki nyawa atau hak apapun. Selain itu isu pemusnahan membuat
semuanya kian mencekam dan mengerikan.
4. Democratic Republic of Congo
Negara ini sebenarnya kaya akan hasil bumi. Namun keadaan politiknya kacau.
Tidak pernah stabil. Selain itu budaya korupsi yang mendarah daging membuat
Congo semakin rusak parah. Perang sipil terjadi pada tahun 1996 hingga sekarang.

Democratic Republic of Congo [image source]Tercatat ada sekitar 5,4 juta warga
meninggal dunia dalam suasana perang. Hal ini terjadi pada tahun 1996-1998.
Sekitar 90% kematian diakibatkan malaria, diare, pneumonia. Hal ini terjadi karena
warga mengungsi ke daerah yang memiliki kondisi sanitasi buruk.
5. Nigeria
Meski termasuk negara yang kaya akan hasil tambang minyak. Nigeria dikenal
sebagai negara dengan isu sosial yang tinggi. Hak Asasi manusia di sana benar-
benar tidak ada sama sekali. Negara ini juga dikenal sebagai negara korup. Bahkan
hampir seluruh pemerintahannya pasti korup.

Nigeria [image source]Hal lain yang mengerikan di Nigeria adalah tatanan


sosialnya. Pemerkosaan terjadi di sepanjang jalan. Penyiksaan dan eksploitasi
seksual anak-anak juga terjadi. Bahkan yang parah, di Nigeria sering terjadi
diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, etnik dan agama. Benar-benar negara yang
sangat kacau.
Meski Indonesia tidak seperti negara di atas. Tapi indonesia juga dikenal sebagai
negara yang korup. Perebutan kekuasaan juga kerap terjadi di Indonesia. Kita harus
waspada dan menjaga diri agar hal mengerikan seperti di atas tidak terjadi.
Konflik Amerika Latin
Wilayah kawasan Amerika Selatan dapat diidentifikasi berdasarkan klasifikasi
konflik atau permasalahan tertentu berdasarkan beberapa dasar, yakni konflik etnis,
ideology politik, ekonomi perdagangan, keamanan, dan hubungan luar negeri.
 Konflik Etnis di Amerika Selatan
Secara psikologi, etnis memiliki definisi yaitu kelompok masyarakat yang terikat
oleh kesamaan tertentu dan berbeda dengan kelompok yang lain. Mereka diikat
oleh budaya yang mereka pertahankan dan perjuangkan secara bersama-sama.
Untuk kawasan Amerika Selatan sendiri, sedikit berbeda dengan negara kita
Indonesia. Di Indonesia, meski hanya sebuah negara, tapi terdiri dari berbagai etnis
berbeda. Hal ini disebabkan karena kita diikat oleh budaya-budaya dan suku yang
berbeda tergantung dari wilayah kita. Sedangkan di Amerika Latin, mereka
sebagian besar hanya terkelompok dalam suku Indian. Sehingga etnisitas di
Amerika Latin memiliki sifat yang cukup homogeny. Adapun kelompok-kelompok
masyarakat yang terbentuk lebih banyak karena latar belakang pergerakan dan
kepentingan yang sama.
Secara gamblang, jika kita mengutip James Petras, seorang akademisi dan aktivis
yang banyak membantu masyarakat tanpa tanah di Brazil, ada tiga gelombang
gerakan sosial yang saling tumpang tindih dan berkaitan dalam 25 tahun
belakangan ini. Gelombang yang pertama, secara gampangnya, muncul pada akhir
1970an hingga pertengahan 1980an. Pada umumnya, gerakan ini yang kemudian
dikenal sebagai “gerakan sosial baru” (the new social movements), terdiri dari
aliansi kekuatan sosial seperti kalangan aktivis hak asasi manusia, lingkungan,
feminis, etnis dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat (NGOs). Gelombang kedua,
yang berkembang menjadi kekuatan politik yang signifikan, berawal dari
pertengahan 1980an hingga saat ini. Sebagian besar gerakan ini dipimpin dan
terdiri dari petani dan buruh tani, di mana organisasi massanya terlibat dalam aksi-
aksi langsung, dalam upayanya mempromosikan dan melindungi kepentingan-
kepentingan ekonomi dari pendukungnya. Yang paling menonjol dari gerakan ini
gerakan Zapatista (Ejércite Zapatista de Liberación Nacional – ZLN) di Meksiko,
Gerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah (Movimento dos Trabalhadores Rurais
Sem Terra – MST), gerakan petani koka masyarakat Indian (Cocaleros) di Bolivia,
Federasi Petani Nasional (National Peasant Federation) di Paraguay, Angkatan
Bersenjata Revolusioner Kolombia (Revolutionary Armed Forces of Colombia –
FARC) di Kolombia, dan gerakan petani Indian yang tergabung dalam Konfederasi
Kebangsaan Masyarakat Adat Ekuador (CONAIE) di Ekuador.
Gerakan ketiga, yang merupakan gelombang gerakan sosial yang lebih baru,
berpusat wilayah-wilayah urban. Di sini, termasuk gerakan massa pekerja
pengangguran berbasis barrio (komunitas) di Argentina, kalangan pegangguran dan
kaum miskin di Republik Dominika, dan penduduk yang bermukim di rumah-
rumah gubuk yang menaruh harapannya di belakang bendera populis yang diusung
oleh Hugo Chavez, presiden Venezulea. Lain daripada itu, ada gerakan urban yang
tampilannya adalah new multi-sectorial movements (gerakan multisektoral baru)
yang melibatkan perjuangan massa yang mengintegrasikan buruh tani dan petani
bertanah menengah dan kecil yang berkembang di Kolombia, Meksiko, Brazil, and
Paraguay.
Jika kita perhatikan mengenai komposisi, taktik, dan tuntutan yang diperjuangkan
gerakan sosial ini memang bervariasi dan bisa juga berjalan sendiri-sendiri.
Meskipun demikian, kelihatannya ada “kepentingan bersama” yang menyebabkan
mereka bersatu sebagai oposisi terhadap neoliberalisme dan imperialisme.
Tepatnya, mereka melawan ketidakadilan dan penindasan sebagai akibat dari
kebijakan ekonomi rejim neoliberal dan berkembangnya konsentrasi kekayaan
ditangan para elit lokal dan asing. Secara lebih khusus lagi, yang mereka
perjuangkan adalah pembagian tanah dan otonomi nasional bagi komunitas Indian.

 Konflik Ideologi Politik di Amerika Selatan


Konflik Ideologi Politik di Amerika Selatan seringkali dihiasi interaksi antara
pihak golongan ‘kanan’ dan ‘kiri’. Amerika Selatan adalah kawasan yang sangat
kental dan terkenal dengan gerakan-gerakan sosialisnya yang anti terhadap
ideology politik neoliberal. Ada beberapa negara yang memiliki ideology politik
yang cukup kental dan kerapkali bisa menjadi potensi munculnya konflik politik di
wilayah negara tersebut. Bolivia, misalnya. Revolusi pada tahun 1952 yang
dipimpin oleh Gerakan Nasionalis Revolusioner (MNR) berhasil menggulingkan
rezim militer kanan dan menasionalisasi tambang timah terbesar di negeri itu,
selain itu reformasi tanah (land reform) pun mulai digalakkan, dan memberikan
hak pilih pada perempuan dan kaum Indian yang sebelumnya tidak memiliki hak
pilih. Nasionalisasi di berbagai sektor di Bolivia sangat jelas mewakili ideology
politik yang dianut negara tersebut.
Kebijakan politis Bolivia ini jelas menimbulkan keresahan yang cukup meluas di
pihak investor dan perusahaan-perusahaan asing. Namun, Bolivia sesungguhnya
tidak bisa mengesampingkan kebutuhan mereka akan investor asing. Meski berani
dalam setiap pengambilan kebijakan politisnya, dalam hal ini nasionalisasi sektor-
sektor penting, Bolivia sesungguhnya belum memiliki capital yang cukup untuk
mengolah sektor pertambangan, jika saja korporasi-korporasi swasta sudah merasa
sangat dirugikan dalam setiap kebijakan nasionalisasi Bolivia dan penarikan pajak
negara yang cukup tinggi di Bolivia.
Selain Bolivia, Venezuela pun adalah negara yang mencatat pergerakan politik
cukup jelas dan justru member pengaruh bagi negara-negara lain di Amerika
Selatan. Pada 1998, pemilihan Hugo Chavez sebagai Presiden Venezuela memberi
pengaruh besar akan terjadinya perubahan di daratan Amerika Selatan. Dan ini
bukan hanya menyebarnya pencarian model perekonomian alternatif dan arah
politk yang cocok diterapkan di suatu negara. Satu demi satu, dari Brasil hingga
Argentina, mulai Bolivia sampai Chile, partai-partai dari kelompok kiri menguasai
kantor kepresidenan melalui pemilu-pemilu demokratis. Dengan perlahan atau
lantang, negara-negara tersebut mulai berani bersuara miring terhadap, bahkan
sampai menyingkirkan, model perekonomian neolib yang didesakkan Konsensus
Washington beserta paket institusi kebijakan sosial dan perekonomiannya.
Sadar bila model neolib hanya menciptakan marjinalisasi sosio-ekonomi dari
mayoritas rakyat, pemerintahan-pemerintahan generasi baru (sejak Chavez) mulai
memadukan kebijakan ekonomi untuk mencapai stabilitas fiskal dan makro,
dengan kebijakan-kebijakan sosial yang difokuskan pada isu-isu kemiskinan,
pengangguran, dan kesehatan. Hasilnya, kita mendengar adanya harmoni—sebuah
orkestrasi yang dimainkan oleh nyaris seluruh kawasan—tentang stabilitas dan
keteraturan (juga kewibawaan) politik, kesetaraan sosial dan ekonomi, serta
kebangkitan umat manusia. Pemaparan yang saya gambarkan diatas lebih ke
bagaimana ideology negara-negara di Amerika Selatan yang sangat kental
menjunjung tinggi kepentingan rakyat kecil, dalam hal ini petani dan kaum buruh.
Karena kebijakan yang menjunjung tinggi kaum kecil itulah, sehingga kemudian
dapat menimbulkan konflik dengan pihak-pihak investor dan korporasi asing.
Selain itu, ada juga konflik politk antar penguasa dalam memperebutkan kursi
kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara. Mulai tahun 1954 Jenderal Stroessner
berkuasa selama 35 tahun di Paraguay, setelah di negara itu selama bertahun-tahun
terjadi ketidakstabilan politik akibat sering bergantinya pemerintahan. Kekuasaan
rezim otoriternya dibangun di atas 3 pilar yaitu: Partai Colorado, aparat negara,
dan militer (yang sejak akhir Perang Chaco melawan Bolivia pada tahun 1935
menjadi aktor politik yang jelas-jelas sangat berperan).
Sementara Jendral Stroessner sukses menciptakan stabilitas represif sistem politik
di Paraguay, perkembangan politik di Argentina berlangsung secara berubah-ubah.
Sejak tahun 1930, pemerintahan-pemerintahan militer yang dibentuk melalui
kudeta dan presiden-presiden yang terpilih secara demokratis di Argentina
berusaha saling menggeser kedudukan. Tidak ada kekuasaan demokratis yang
sungguh-sungguh berusia lama. Tak satupun presiden terpilih dapat menyelesaikan
masa bakti mereka secara reguler, apalagi sampai bisa menyerahkan jabatan itu
kepada penggantinya yang resmi terpilih. Kudeta tahun 1976 merupakan
goncangan keenam yang berhasil terhadap negara, sejak tahun 1930. Pihak militer
Argentina saat itu merupakan penguasa politik nasional dalam jangka waktu lama.
Konstelasi sejarah di Chilli dan Uruguay sangatlah berbeda dengan kedua negara
di atas. Dalam kurun waktu 143 tahun sebelum kudeta pada September 1973 (di
mana pemerintahan sosialis Allende yang dipilih secara demokratis digulingkan),
Chilli mengalami 4 bulan saja di bawah pemerintahan junta militer. Fenomena ini
tentu saja tidak dapat disejajarkan dengan hilangnya peran militer sebagai aktor
politik. Terutama pada pertengahan tahun 20-an sampai awal tahun 30-an, mereka
membuat pengaruh yang tidak sepele pada politik nasional. Berbeda dengan itu,
militer di Uruguay pada abad 20 hingga akhir tahun 60-an tidak tampil sebagai
tokoh politik yang relevan. Bahkan pada awal 30-an, ketika terjadi masa singkat
kediktatoran, mereka juga tidak memainkan peranan penting.

 Konflik Ekonomi
Seperti halnya negara-negara berkembang lainnya, kawasan Amerika Selatan pun
memiliki kekayaan yang cukup potensial untuk Sumber Daya Alam. Sektor
pertanian adalah sektor yang sangat dibanggakan dan dipupuk dalam budaya
masyarakat Amerika Selatan. Bahkan pergerakan petani pun sampai terbentuk
untuk menjaga pergerakan dan lahan mereka dari pihak kapitalis yang ibaratnya
bertujuan untuk mematikan sektor perdagangan tradisional. Selain itu, Amerika
Selatan juga memiliki potensi yang cukup besar dalam komoditi minyak.
Tahun 1980an merepresentasikan titik balik yang menentukan di Amerika Latin.
Krisis hutang yang merenggut Dunia Ketiga memfasilitasi neoliberalisasi di
negara-negara di Amerika Latin melalui kebijakan restrukturisasi IMF. Dengan
disusul kejatuhan Uni Soviet, saat itu tampak tak ada alternatif yang mungkin
terhadap arus pasang politik kanan. Juga dalam era ini, industri timah di Bolivia
runtuh karena persediaan global yang terlalu banyak (oversupply), yang terutama
dipasok oleh Cina dan Brasil. Dalam konteks tersebut, industri lalu-lintas narkotika
(narcotrafficking) mulai marak. Hal itu pada prinsipnya dibahan-bakari oleh
konsumsi di utara dan didorong oleh naluri bisnis (sense of entrepreneurialism)
yang tak ada duanya di Kolombia, pusat (epicentre) dari perdagangan obat-obatan
terlarang. Perbatasan internasional yang semakin berpori-pori berkat globalisasi,
dan konteks lokal berupa bencana hutang dan ekonomi, menciptakan atmosfir
mengundang bagi kekayaan yang diasosiasikan dengan maraknya industri lalu-
lintas narkotika.
Selain sektor minyak dan narkotika, Amerika Selatan atau Amerika Latin sangat
dekat dengan isu privatisasi. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, ini
dikarenakan ketika krisis global pada tahun 1990-an, negara-negara di Amerika
Selatan seperti tidak diberi pilihan lain selain menerima bantuan IMF dan WTO
untuk tetap bertahan dalam perekonomian. Pada 1999-2000 ketika diterapkan
rencana privatisasi air di Lembah Cochabamba melalui anak perusahaan Bechtel
Corporation, Aguas de Tunari. Dalam waktu beberapa bulan harga air meningkat
drastis dan memicu aksi-aksi protes yang semakin agresif, termasuk suatu
demonstrasi massal di mana seorang protestan terbunuh dan beberapa lainnya
terluka oleh militer. ‘Perang Air’ ini, sebagaimana biasa disebut, berujung pada
pembatalan kesepakatan privatisasi air. Ia juga memperkuat gerakan anti-neoliberal
yang berlanjut meningkat dalam jumlah dan intensitas.

 Konflik Keamanan
Rezim-rezim militer yang didirikan di Argentina, Chili, dan Uruguay pada tahun
70-an adalah tergolong dalam tipe otoriterisme birokratis. Mereka beroperasi
dengan sebuah basis ideologi yang mirip yang disebut Doktrin Keamanan
Nasional. Dengan doktrin itu mereka bersikap sebagai penyelamat bangsa dengan
tuntutan untuk melindungi nilai-nilai eropa-kristen dan ingin menghadirkan
kembali kedamaian dan ketertiban. Tentu saja para pimpinan aparat kekuasaan di
tiga negara ini memiliki struktur berbeda. Jika Chilli, segera setelah runtuhnya
Allende, sangat kuat berkiblat pada Jendral Pinochet dan dapat menciptakan
kediktatoran yang berlangsung selama 17 tahun (1973-1990), pihak junta militer
Argentina yang terdiri dari pimpinan tiga divisi angkatan bersenjata membagi-bagi
kekuasaan sejak 1976 sampai 1983. Junta militer ini, bersama-sama dengan
boneka-boneka yang berbeda-beda, hampir tidak menciptakan kesan sebuah blok
kekuasaan yang tertutup. Sebaliknya para penguasa militer Uruguay memanfaatkan
sebagian besar waktu berkuasa mereka (dari 1973 sampai 1985) untuk melakukan
agitasi berkedok orang-orang sipil, sehingga sampai tahun 1981 mereka tidak
pernah menempatkan anggota militer sebagai pimpinan-pimpinan puncak
pemerintahan.
Berbeda dari 3 negara lain yang dibahas di sini, di Paraguay terdapat sebuah
kediktatoran tradisional yang patrimonial dan berciri khas Amerika Tengah,
khususnya ciri Karibia. Rejim Stroessner mengikat elemen-elemen pemerintahan
militer dengan beberapa ciri khas kediktatoran yang berkiblat pada perseorangan
pada gaya lama Caudillo, yang memperoleh dukungan ekstra melalui sebuah partai
negara.

 Konflik Eksternal (Hubungan Luar Negeri)


Untuk masalah-masalah hubungan luar negeri sendiri, negara-negara di Amerika
Selatan seringkali berkonflik dengan negara-negara liberal kapitalis yang
seringkali disebabkan oleh perbedaan ideology diantara mereka. Negara-negara di
Amerika Selatan, terkhusus negara-negara yang berideologi kiri keras seringkali
menganggap negara-negara Barat tengah mengatur rencana eksploitatif untuk
menundukkan kawasan Amerika Selatan. Negara Barat yang dimaksud di sini
adalah Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Misalnya saja Presiden Bolivia Evo Morales sangat marah dan murka atas tindakan
dan sabotase CIA yang melakukan konspirasi menentang kebijakan energi
negaranya. Hal tersebut menjadi pemicu berupa tindakan Presiden Bolivia Evo
Morales secara tegas mengusir seorang pejabat kedutaan besar AS pada hari Selasa
10 Maret 2009. Morales, yang sering menyebut AS sebagai “Imperial”,
sebelumnya telah mengusir duta besar AS dan para pejabat anti-narkotika AS.
Jurubicara kedutaan itu mengatakan Martinez adalah seorang pejabat tingkat
menengah dan jabatannya adalah sekretaris kedua. Morales merasa bahwa
perusahaan-perusahaan negara yang dibangunnya sedang digembosi dan hal ini
direncanakan oleh Washington. Washington terlalu campur tangan dalam
penentuan perusahaan energi milik-negara di Bolivia seperti YPFB.
Tidak hanya itu, Pada bulan Januari 2009 Presiden Ekuador Rafael Correa juga
mengusir seorang pejabat kedutaan besar AS yang ia tuduh melakukan hal yang
sama seperti di Bolivia. Washiington merasa kurang senang dengan banyaknya
pendirian perusahaan negara dalam menangai kekayaan mineral di negara-negara
Amerika Latin. Washington sering memaksakan kehendak dengan banyak
keterlibatan CIA dalam dial-dial perusahaan-perusahaan minyak di kawasan
tersebut. Correa adalah sekutu dekat Morales, seperti Presiden Venezuela Hugo
Chavez, yang mengusir duta besar AS tahun lalu. Semua ketiga pemimpin sayap
kiri itu mengatakan AS telah campur- tangan dalam politik dalam negeri mereka.
Tahun 2007 yang lalu ketika presiden AS masih dijabat oleh George W Bush yang
berkunjung ke Sao Paolo juga mendapatkan hujatan dari rakyat Brasil yang
bermunculan di sepanjang jalan-jalan utama Sao Paolo. Para pemimpin demontrasi
akan mengajak puluhan ribu orang dalam aksi massa hari ini saat Bush
meresmikan kerja sama energi etanol dengan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da
Silva. Perusahaan AS di Brasil ini banyak mengambil kesempatan para petani
Brasil dan justru merugikan ekonomi Brasil dalam jangka panjang. Penyerapan
tenaga kerja oleh perusahaan tersebut tidak sebanding dengan matinya lahan
penghidupan petani yang jumlahnya hampir 100 kali lipat.

Anda mungkin juga menyukai