Anda di halaman 1dari 14

TUGAS HUKUM INTERNASIONAL

“Putusan Mahkamah Internasional Tentang Sengketa Kuil Preah Vihear


Antara Kambodja Dengan Thailand”
Dosen Pengampu : Erlies Septiana Nurbani, S.H., LL.M

Oleh :

1. Candra Imam Rusadi


2. Bima Setiawan
3. Baiq Riadhatul Hasanah
4. Baiq Nadya Sabrina
5. Allya Kurnia Madani
6. B Emila Suma Ramdani

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM


2019

ANALISIS KASUS KUIL PREAH VIHEAR ANTARA KAMBOJA DENGAN


THAILAND OLEH MAHKAMAH INTERNASIONAL
A. PENDAHULUAN

Perbatasan adalah salah satu manifestasi yang terpenting dari kedaulatan

teritorial. Sejauh perbatasan itu secara tegas diakui dengan traktat atau diakui secara

umum tanpa pernyataan yang tegas, maka perbatasan merupakan bagian dari suatu hak

negara terhadap wilayahnya. Suatu perbatsan bukan semata-mata sebuah garis pada

suatu tanah, perbatasan mungkin merupakan suatu rintangan, mungkin pula bukan.

Menurut pendapat ahli geografi politik, pengertian perbatasan dapat

dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu boundaries dan frontier. Kedua definisi ini mempunyai

arti dan makna yang berbeda meskipun keduanya saling melengkapi dan mempunyai

nilai yang strategis bagi kedaulatan wilayah Negara. Perbatasan disebut frontier

karena posisinya yang terletak di depan (front) atau di belakang (hinterland)dari suatu

Negara. Oleh karena itu, frontier dapat juga disebut dengan istilah foreland,

borderland, ataupun march. Sedangkan istilah boundarydigunakan karena fungsinya

yang mengikat atau membatasi (bound or limit) suatu unit politik, dalam hal ini

adalah Negara. Semua yang terdapat di dalamnya terikat menjadi satu kesatuan yang

bulat dan utuh serta saling terintegrasi satu dengan yang lain. Boundary paling tepat

dipakai apabila suatu Negara dipandang sebagai unit spasial yang berdaulat.

Secara umum, 10 negara ASEAN yang saling berbatasan secara darat dan laut

memilikimasalah perbatasan satu sama lain. Kedekatangeografis ini sering

menimbulkan permasalahankompleks, baik pelanggaran di

wilayahperbatasan/kedaulatan maupun kegiatan-kegiatanilegal di perbatasan. Belum

tuntasnyaperundingan tentang kesepakatan garis bataswilayah antarnegara bisa


menimbulkan masalahsaling klaim wilayah. Bahkan kesepakatan garisbatas wilayah

antarnegara yang sudah dicapaipunseringkali masih juga menimbulkan masalah.

Indonesia yang berbatasandarat maupun laut dengan 10 negara tetangganyajuga

tak luput dari masalah seputar perbatasan(garis batasnya) maupun masalah di

perbatasan(kegiatan ilegal). Indonesia dengan Malaysia seringkali timbul gesekan-

gesekan perbatasan yang bersifat fluktuatif. Demikian pula Thailand menghadapi

masalah serupa dengan negaranegara tetangganya (Myanmar, Malaysia, Kamboja,

Laos). Ini semua adalah tantangan yang tak mudah untuk diselesaikan maupun dikelola

agar sekecil apapun masalahnya harus disikapi dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi,

karena terkait dengan kedaulatan suatu negara.

Upaya-upaya penyelesaian terhadap masalah perbatasan sudah menjadi

perhatian yang cukup penting di masyarakat internasional sejak awal abad ke-20. Upaya

ini ditujukan untuk mencipakan hubungan antar negara yang lebih baik berdasarkan

prinsip perdamaian dan keamanan internasional. Peran yang dimainkan hukum

internasional dalam penyelesaian sengketa internasional adalah memberikan cara

bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum

ingternasional. Dalam perkembangan awalnya, hukum internasional mengenal dua cara

penyelesaian, yaitu cara penyelesaian secara damai dan perang (militer).

Konflik antara Thailand dan Kamboja berpusat pada Candi Preah Vihear yang

terletak sekitar 400 Kilometer utara Phanom Penh. Pada tahun 1954, pasukan Thailand

menempati dan mengklaim Preah Vihear, lalu 5 tahun kemudian Kamboja membawa

Thailand ke Mahkamah Internasional dengan dasar kesepakatan dari masa kolonial dan

dokumen lainnya sebagai usaha untuk memperoleh kembali apa yang menjadi warisan
budaya, dengan berpendapat bahwa kuil merupakan bagian dari kompleks Angkor Wat,

140 Kilometer barat daya kompleks tersebut.

Mengingat pentingnya situs warisan budaya ini bagi masing-masing negara,

sengketa Kuil Preah Vihear sejak 1962 telah memicu konflik berdarah antara Thailand

dan Kamboja. Konflik mengenai kuil PreahVihear kembali pecah pada 22 April

2011.Sengketa yang terjadi antara Thailand dan Kambojadisebabkan karena perebutan

wilayah di sekitarKuil Preah Vihear yang terletak diantara PropinsiPreah Vihear

Kamboja dan dekat distrik KantharalakThailand.

Sengketa ini muncul setelah United NationsEducational, Scientific and Cultural

Organization(UNESCO) menjadikan Kuil Preah Vihear sebagaiwarisan sejarah dunia

yang dimiliki oleh Kambojapada tanggal 7 Juli 2008. Sejak saat itu terjadi konflikantara

Thailand dengan Kamboja. Sengketaperbatasan ini mempermasalahkan daerah

seluas4,6 kilometer persegi di sekitar lokasi Kuil Preah Vihear. Kamboja dan Thailand

telah memperebutkan Candi Preah Vihear sejak lama.

Pada tahun 1962, International Court of Justice (/ICJ) atau Mahkamah

Internasional telahmenetapkan bahwa Kuil Preah Vihear adalah milikKamboja tetapi

wilayah di sekitar Kuil PreahVihear yang seluas 4,6 kilometer persegi tersebuttidak

ditetapkan kepemilikannya (dibiarkan tidakselesai). Oleh karena itu Thailand dan

Kambojatetap mengklaim wilayah di sekitar Kuil PreahVihear ke dalam wilayah

kedaulatannya masingmasing.Akibatnya ketika Kuil Preah Vihearditetapkan UNESCO

sebagai situs Warisan Dunia,muncullah protes keras dari kelompok nasionalis di

Thailand.

B. ANALISIS
Dalam sengketa perebutan Kuil Preah Vihear antara Negara Kamboja dan

Thailand kami menganalisa mengenai beberapa asas atau prinsip Hukum Internasional

yang terkandung dalam sengketa ini. Adapun asas-asas atau prinsip-prinsip tersebut

adalah Kepatuhan terhadap keputusan Mahkamah Internasonal, Teritorial,dan

Kepentingan Umum.

Dalam kronologisnya sengketa antara Kamboja dan Thailand ini sebenarnya

sudah mendapat putusan dari International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah

Internasional pada tahun 1962 silam. Setelah keluarnya putusan dari Mahkamah

Internasional tersebut kedua belah pihak tidak melakukan protes keberatan atau penolak

keputusan tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua pihak telah sepakat

dengan putusan dari Mahkamah Internasional di Den Haag.

Namun konflik kembali mencuat setelah Kamboja mengajukan kawasan kuil

menjadi warisan dunia kepada The United Nations Educational, Scientific and Cultural

Organization (UNESCO), ternyata usulan tersebut disambut baik dengan penetapan

UNESCO tentang kawasan Kuil Preah Vihear yang menjadi salah satu World Herritage

atau warisan dunia pada tahun 2008. Dari hasil penetapan UNESCO negara Thailand

menentang hal tersebut dan mengeklaim bahwa kawasan kuil tersebut adalah milik

negara Thailand, sedangkan Kamboja dengan tegas mengeklaim bahwa kawasan kuil

tersebut milik mereka.

Perseteruan tersebut terus memanas hingga kemudian Thailand mengerahkan

militernya untuk menyerang kawasan kuil dan terjadilah baku tembak selama beberapa

jam. Dari baku tembak tersebut menewaskan beberapa anggota militer dari kedua belah

negara. Tindakan negara Thailand ini merupakan hal yang tidak tepat. Secara hasil

ketetapan UNESCO bukanlah merupakan kesalahan karena pada dasarnya hakim


Mahkamah Internasional terdahulu telah memberi keputusan bahwa wilayah Kuil Preah

Vihear berada dalam teritorial Negara Kamboja yang masuk dalam kompleks Kuil

Angkor Watt.

Negara Thailand dinilai tidak patuh terhadap putusan Mahkamah Internasional

dimana prinsip kepatuhan merupakan hal yang esensial sebagai anggota PBB. Hingga

akhirnya negara Kamboja kembali mengajukan kasus tersebut ke Mahkamah

Internasional setelah sebelumnya melewati beberapa perundingan yang dilakukan kedua

belah negara. Setelah kasus tersebut ditangani, Mahkamah Internasional memberikan

hasil keputusan yang sama seperti keputusan terdahulu yaitu bahwa kawasan kuil

tersebut merupakan teritorial dari negara Kamboja pada tanggal 13 November 2013.

Mengenai kepatuhan terhadap hasil putusan Mahkamah Internasional, sejak

berdiri pada tahun 1945 dengan dasar piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa, Mahkamah

Internasional merupakan pengadilan Internasional yang menyelesaikan persengketaan

hukum antara negara - negara dan memberikan nasehat atau opini hukum menurut

hukum internasional yang sah sebagai organ PBB atau badan khusus sehingga

keputusan yang dikeluarkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak akan mengikat

bagi masing-masing negara. Tentunya putusan dari PBB atau badan khusus tersebut

harus dipatuhi sebagai konsekuensi setiap negara yang telah setuju untuk menjadi

anggota dari perserikatan dunia tersebut. Sesuai dengan Pasal 94 Piagam PBB yang

berbunyi :

“Bila suatu keputusan Mahkamah Internasional tidak dilaksanakan, maka

Dewan Keamanan PBB dapat mengusulkan tindakan-tindakan yang akan menjamin

pelaksanaan keputusan”
Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex aequo

et bono, yaitu didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan berdasarkan hukum,

namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar negara-negara yang

bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya final, tidak dapat banding dan

hanya mengikat para pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara mayoritas. Yang

dapat menjadi pihak hanyalah negara, namun semua jenis sengketa dapat diajukan ke

Mahkamah Internasional.

Namun dalam berhubungan dalam kehidupan bernegara pasti didasari dengan

asas Courtesy, asas ini merupakan asas pokok yaitu setiap negara yang bersangkutan

haruslah saling menghormati dan saling menjaga kehormatan negaranya satu sama lain.

Dalam sengketa ini tentunya prinsip ini sudah harus dilaksanakan mengingat dalam

keadaan nyata Kamboja dengan Thailand terlibat pada berbagai hubungan, baik sebagai

anggota ASEAN, PBB, dll.

Dengan adanya hubungan-hubungan tersebut seharusnya kedua belah negara

saling menghormati satu sama lain, ditambah dengan wilayah negara yang berbatasan

secara langsung. Tidak etis rasanya apabila sampai terjadi konflik, walaupun perbatasan

juga merupakan hal yang sensitif bagi semua negara di dunia. Karena bagaimanapun

apabila telah terjadi sebuah sengketan tentu akan mempengaruhi hubungan kedua

negara dalam berbagai bidang lain.

Munculnya sengketa antar negara diatas cukup menyita perhatian dari berbagai

pihak, terutama di wilayah ASEAN. Seperti halnya sengketa antara Indonesia-Malaysia,

walaupun telah diberikan putusan dan berlalu cukup lama namun masih meninggalkan

bekas bagi masyarakat maupun pemerintah. Terutama apabila sengketa telah masuk

ketahap pengadilan. Tidak akan ada lagi win-win solution seperti apabila kedua negara
menggunakan Alternative Dispute Resolution atau yang lebih dikenal dengan

Penyelesaian Sengketa Alternatif, dimana kedua belah pihak masih dapat merundingkan

aspek-aspek kelebihan dan kekurangan dari berbagai penyelesaian yang ada. Dalam

putusan pengadilan pasti terdapat pihak yang dikalahkan atau dirugikan. Berpikir secara

realistis apabila suatu pihak mengalami kekalahan atau kerugian maka secara natural

akan menimbulkan rasa sakit hati, walaupun pada dasarnya keputusan pengadilan

diambil dengan berbagai pertimbangan demi mencapai sebuah keputusan yang adil.

Seperti itulah yang terjadi dikemudian hari terhadap masyarakat Indonesia atas

kekalahannya dari Malaysia tentang sengketa Pulau Sipadan beberapa tahun yang lalu.

Apabila sudah terjadi seperti itu maka rasa tidak respect-pun akan muncul

sebagai dampak dari sakit hati tersebut. Setelah putusan Mahkamah Internasional atas

sengketa antara Kamboja dan Thailand hubungan bernegara antar keduanya menjadi

kurang baik dan hal tersebut menjadikan prinsip Courtesy tidak berjalan dengan

sebagaimana mestinya.

Menurut asas kepentingan umum dalam sengketa antara Kamboja dengan

Thailand, kedua negara memperjuangkan apa yang mereka yakini. Baik Kamboja

maupun Thailand menginginkan untuk menjaga teritorialnya dan kewenangannya untuk

mengatur suatu wilayah negara. Sampai manakah mereka dapat mengatur dan berkuasa.

Bukan perkara yang sepele apabila telah menyangkut prinsip kepentingan

umum, kedua negara tentu memiliki tujuan dan cara masing-masing dalam melindungi

rakyat dan negara itu sendiri. Tidak ada alasan lain dari suatu negara dalam

memperjuangkan haknya dari negara lain selain untuk memiliki kedaulatan yang pasti.

Seberapa luas negara itu berdaulat, seberapa besar pengaruh negara itu dalam kehidupan

bernegara.
Memiliki sebuah situs peninggalan dunia tentu merupakan suatu kehormatan

bagi mereka yang memilikinya, seperti halnya Thailand yang beranggapan memiliki

Kuil Preah Vihear. Namun lemahnya bukti kepemilikan menjadikan Thailand tidak bisa

melindungi rakyatnya di kawasan kuil tersebut.

Kemudian bila dilihat dari prinsip teritorial baik Kamboja maupun Thailand

yang pada saat itu masih mengeklaim bahwa kawasan kuil merupakan bagian dari

teritorial masing-masing negara tentu melakukan yag terbaik untuk perkembangan

kawasan tersebut. Negara Kamboja yang selama ini mengelola kawasan tersebut tentu

lebih memiliki sense of belonging atau rasa kepemilikan yang lebih terhadap kuil

tersebut, mengingat kuil tersebut merupakan bagian dari sejarah negara Kamboja. Tentu

banyak hal yang membuat Kamboja berjuang dengan gigih untuk mempertahankan serta

mengembangkan kawasan kuil tersebut.

Baik dari pemerintah maupun masyarakat kawasan kuil pun pasti memiliki

kesamaan dalam memandang kebaikan untuk Kuil Preah Vihear. Seperti yang kita

ketahui budaya merupakan hal yang sangat sensitif bagi masyarakat sebuah negara.

Keberadaan sebuah budaya bagi masyarakat dunia bagaikan sebuah jati diri, latar

belakang, sekaligus kebanggan bagi mereka. Begitu juga Kuil Preah Vihear bagi

masyarakat Kamboja, bahkan banyak pula masyarakat Kamboja yang telah menetap

dikawasan kuil.

Setiap masyarakat sebuah negara berhak untuk mengembangkan dan merasakan

apa yang telah mereka lakukan untuk kebudayaan tersebut. Setelah terjadi penyerangan

terhadap kuil oleh militer Thailand dilaporkan bahwa sebagian kuil mengalami

kerusakkan dan ribuan masyarakat Kamboja yang tinggal disekitar kuil juga terpaksa
harus mengungsi. Sebuah tindakan yang gegabah dan tidak dapat dibenarkan oleh

Thailand menyebabkan kerugian bagi Kamboja bahkan bagi negara Thailand sendiri.

“Cultural rights in the ICESCR are the rights of everyone to take part in

cultural life, to enjoy the benefits of scientific progress, to benefit from the protection of

the moral and material interests resulting from any scientific, literary or artistic

production of which he is the author”1

Masyarakat setempat tentu memiliki hak terhadap apa yang ada di kuil tersebut,

baik dalam bentuk moral maupun material. Seperti disebutkan pada penjelasan diatas,

baik masyarakat maupun pemerintah Kamboja tentu merasa sepenuhnya berhak atas

pengembangan dan pengelolaan dari Kuil Preah Vihear. Sedangkan setelah adanya

penetapan dari UNESCO negara Thailand melakukan klaim, atas dasar kepercayaan

pribadi negara Thailand sendiri, bahwa mereka memiliki hak dan kekuasaan atas kuil

tersebut padahal sebelumnya tidak melakukan keberatan atas putusan Mahkamah

Internasional terdahulu. Tentu hal tersebut secara moral telah melukai perasaan dari

masyarakat Kamboja serta secara tidak langsung juga mencoreng moral negara Thailand

sendir karena dianggap hanya menginginkan ketenaran dari kuil setelah adanya

ketetapan UNESCO.

Kemudian perlu diketahui bahwa munculnya sengketa kedua negara ini juga

dipicu dari bidang politik kedua negara di daerah perbatasan. Thailand secara politik

mengalami instabilitas dan konflik horizontal dalam negeri, yaitu ketika PM Samak

diturunkan secara paksa oleh kekuatan rakyat (walaupun kemudian penurunan ini

dilegitimasi dengan tuduhan lain). Sebagai gantinya, PM Somchai yang terpilih

menggantikan PM Samak. Sebelumnya PM samak diturunkan dari jabatannya karena

1
dituduh sebagai antek PM Taksin. PM Somchai pun tak dapat bertahan lama karena

masih kerabat mantan PM Taksin.

Untuk menghadapi instabilitas dan konflik horizontal tersebut, cara yang paling

ampuh adalah mengalihkan perhatian rakyat, antara lain dengan cara memiliki musuh

bersama. Hal itu dilakukan pada waktu Kamboja mengusulkan ke UNESCO agar kuil

Preah Vihear dijadikan sebagai Tapak Warisan Dunia, kemudian permohonan tersebut

dikabulkan oleh UNESCO. Sebelumnya, Kamboja telah memberitahukan kepada

Thailand mengenai maksud tersebut. Oleh Menteri Luar Negeri Thailand menyatakan

mendukung usulan tersebut. Tetapi pada saat permohonan Kamboja tersebut dikabulkan

oleh UNESCO, Thailand berubah pendapat dan justru menuntut kepada Kamboja untuk

mengurungkan permohonan tersebut. Thailand beranggapan bahwa status tanah seluas

4,6 kilometer persegi di sekitar kuil tersebut masih belum jelas.

Terkait hal itu, Thailand sendiri yangsebenarnya mengharapkan adanya konflik

ini, karena jelas Kamboja tidak akan pernah bisa diuntungkan dengan adanya konflik

ini. Secara hukum internasional, posisi kedua negara atas kuil ini sudah jelas. Secara

politik, Kamboja relatif stabil. Secara ekonomi, Kamboja sedang giat-giatnya bangkit

dari keterpurukan akibat perang saudara berkepanjangan pada dekade-dekade yang lalu.

Secara militer, Kamboja jauh tertinggal dibanding Thailand sehingga tidak mungkin

Kamboja sengaja menantang Thailand untuk sebuah konflik terbuka. Jadi serangan

militer di awal menjadi awal perseteruan puluhan tahun silam yang terjadi kembali.

C. Kesimpulan
Dalam sengketa perebutan Kuil Preah Vihear antara Kamboja dan Thailand

terjadi karena Kamboja yang mengajukan usulan kepada UNESCO untuk menjadikan

Kuil Preah Vihear menjadi salah satu World Herritage atau warisan dunia yang

kemudian disetujui oleh UNESCO pada tahun 2008. Thailand kemudian meprotes dan

menuntut ketetapan UNESCO tersebut untuk dibatalkan karena Thailand memberikan

klaim bahwa Kuil Preah Vihear merupakan wilayah yang berada dalam teritorial

Thailand. Kamboja yang tidak dapat menerima klaim tersebut kembali meminta bantuan

kepada Mahkamah Internasional untuk memberikan klarifikasi mengenai stastus Kuil

Preah Vihear karena pada kenyataanya dimasa lalu, tepatnya pada tahun 1962,

Mahkamah Internasional pernah mengeluarkan putusan atas kasus yang sama yaitu

perebutan atas kuil tersebut. Pada putusan tersebut Mahkamah Internasional

memutuskan bahwa Kuil Preah Vihear sebagai bagian dari teritorial Negara Kamboja

dimana wilayah tersebut merupakan satu komplek dari Kuil Angkor Watt. Setelah

menimbang berbagai hal Mahkamah Internasional kembali memberikan putusan bahwa

wilayah Kuil Preah Vihear merupakan teritorial dari Kamboja.

Sebenarny secara garis besar, penyelesaian sengketa dalam hokum internasional

dapat dilakukan secara damai dan kekerasan. Secara damai dapat melalui jalur politik

(negosiasi, mediasi, jasabaik/good offices, inquiry dan konsiliasi) dan melalui jalur

hokum (arbitrase dan pengadilan internasional). Sedangkan penyelesaian dengan cara

kekerasan dengan melalui perang dan non perang (pemutusan hubungan diplomatik,

retorsi, blokade, embargo dan reprisal).2

ASEAN dapat menjadi penengah atau mediator danfasilitator sebagaimana

diamanatkan dalam Bab VIII Piagam ASEAN akan menjadi

langkahawaldalammengatasi berbagai sengketa di ASEAN. Di dalam Pasal 22


2
Piagam ASEANberbunyibahwa Negara-negara anggota ASEAN

wajibberupayamenyelesaikan secara damai semuasengketa dengan cara yang tepat

waktu melalui dialog, konsultasi dan negosiasi. Dengan demikian ASEAN harus

mengambil cara-cara damai apabila terjadi persengketaan di antara Negara-negara

anggotaASEAN. Negara-negara anggota yang merupakan para pihak dalam sengketa

dapat sewaktu-waktu sepakat untuk menggunakan jasa baik, konsiliasi atau

mediasi dalam rangka menyelesaikan sengketa dengan batas waktu yang disepakati.

Para pihak tersebut juga bisa meminta Ketua ASEAN atau Sekretaris Jenderal

(Sekjen) ASEAN untuk bertindak dalam kapasitas ex-officiomenyediakan jasa-jasabaik,

konsiliasi atau mediasi. Hal tersebut menandakan bahwa kasus antara Thailand dan

Kamboja ini tidak harus sampai ke Pengadilan Internasional, kedua Negara dapat saling

bernegosiasi.

DaftarPustaka
 Buku

 Arifin, S. 2014. Hukum Perbatasan Darat Antarnegara. Jakarta:Sinar


grafika.
 Hadiwijoyo, S S. 2011.Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum
Internasional.Yogyakarta: Graha Ilmu.
 Adolf, H.2004.Hukum Penyelesaiaan Sengketa Internasional. Sinar
Grafika: Jakarta.
 Sefriani. 2010.Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
 Jurnal

 Irewati, A. 2014.“Meninjau Mekanisme Penyelesaian Sengketa


Perbatasan di ASEAN”. Jurnal Penelitian Politik Vol. 11. hlm 44.
 Farida, A. 2014. “Penyelesaian sengketa Perbatasan antara Thailand
Dengan Kamboja Melalui Mekanisme ASEAN”. Jurnal MMH, Jilid 43
No. 1. hlm 58.
 Gunawan, Y, danEndyka Yovi Cajapa. (2017), “The Protection of Small
and Medium Enterprises in Yogyakarta:The Challenges of ASEAN of
Economic Community”. Pertanika J. Soc. Sci. & Hum. 25 (S)/; 199-206
(2017), ISSN: 0128-7702, Kuala Lumpur, Universiti Putra Malaysia
Press, Diakses juga pada laman:
http://www.pertanika.upm.edu.my/Pertanika%20PAPERS/JJSH
%20Vol.52025%%20Oct.%202017/JJSH(S)-0550-2017.pdf pada tanggal
25 Desember pukul 20.15 WIB.

Anda mungkin juga menyukai