Anda di halaman 1dari 16

KELOMPOK 1

Sultan Meurizki 20160610110


Dinda Putri Maharani 20160610341
Tiara Rizky Andespa 20160610350
Galuh Fata Surya Ilhami 20170610329
Pengadilan Internasional : C

Penyelesaian Kasus Selat Corfu antara Inggris dan Albania melalui


Mahkamah Internasional (International Court of Justice)

A. Pendahuluan

Pertentangan antar setiap manusia merupakan hal yang umum terjadi di dalam

masyarakat. Pertentangan tersebut dapat mengakibatkan timbulnya benturan yang dapat

menyebabkan kekacauan didalamnya.1 Hal itu dapat terjadi apabila dalam keadaan

tersebut hukum atau tata tertib tidak dilaksanakan dengan baik. Usaha-usaha untuk

menyelesaikan kepentingan yang bertentangan tersebut dapat diupayakan melalui

perdamaian oleh golongan yang berkepentingan dengan cara membentuk norma yang

berisi hukum, kebiasaan, adat istiadat, agama, dan kesusilaan. 2 Hukum yang dimaksud

adalah petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam masyarakat dan harus ditaati

oleh seluruh anggota masyarakat. Adapun dalam kaidah hukum meliputi asas-asas

hukum yang dapat menjadi pedoman dalam menentukan hukum yang berlaku pada

suatu kasus tertentu. Tujuan di bentuknya hukum guna mengatur pergaulan hidup

bermasyarakat secara damai. Dengan adanya hukum menhendaki untuk perdamaian.

1
E. Utrecht. 1962. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Penerbit Balai Buku Ichtiar. Hal. 5
2
Sudikno Mertokusumo. 2001. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Hal.
4

1
Perdamaian antara manusia di pertahankan dengan adanya hukum dengan cara

melindungi kepentingan-kepentingan manusia atau masyarakat tertentu, kehormatan,

kemerdakaan, jiwa, harta, benda, dan sebagainya yang dapat merugikan.

Dalam lingkup Hukum Internasional, putusan hakim diwakilkan melalui putusan

Mahkamah Internasional. Para pihak yang besengketa dapat mengajukan kasus mereka

kepada Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Mahkamah ini

dibentuk guna menggantikan Permanent Court of International Justice. Mahkamah

Internasional terdiri atas 15 orang hakim yang bertugas untuk menyelesaikan tuntutan

atas dasar hukum internasional dan mengeluarkan keputusan mutlak yang tidak dapat

diajukan banding serta mengikat para pihak yang bersengketa. International Court of

Justice maupun Permanent Court of Justice telah menangani beberapa kasus

persengketaan dalam lingkup Internasioanl yang diselesaikan secara hukum (judicial

settlement), yang beberapa diantaranya menyangkut masalah perjanjian internasional

dan permasalahan khusus lainnya, seperti:

a. Permasalahan yang berkaitan dengan kedaulatan terhadap wilayah tertentu dan

permasalah terkait perbatasan;

b. Permasalahan mengenai delimitasi maritim dan permasalahan hukum lain yang

berhubungan dengan perselisihan laut;

c. Permasalahan yang timbul akibat terjadinya kekerasan;

d. Permasalahan lain yang melibatkan pelaksanaan kontrak-kontrak dan

pelanggaran terhadap asas-asas hukum kebiasaan Internasional.3

Dalam kasus Selat Corfu yang melibatkan pertikaian antara negara Albania dan

Inggris pada tahun 1946, diawali dengan rusaknya kapal Inggris yang dikarenakan
3
Sumaryo Suryokusumo. 2007. Studi Kasus Hukum Internasional. Jakarta: Penerbit Tatanusa. Hal. 222
2
terkena ranjau saat melewati Selat Corfu Utara. Selat yang dilewati negara Inggris

berada di perairan Albania yang dinyatakan sebagai status aman. Peristiwa lain juga

terjadi saat Albania menembakkan ke arah dua cruisers Inggris. Pemerintah Inggris

memprotes dan menyatakan bahwa hak tersebut terjadi karena Albania memiliki hak

yang dinyatakan dalam hukum Internasional. Pemerintah Albania menyatakan bahwa

kapal perang asing dan kapal dagang dilarang masuk ke dalam laut teritorial Albania

tanpa izin telebih dahulu. Hal tersebut diikuti oleh pernyataan Inggris yang mengatakan

bahwa Inggris akan membalas tembakan tersebut apabila kejadian tersebut terulang

kembali.

Setelah terjadi ledakan pada tanggal 22 Oktober Pemerintah Inggris

mengirimkan nota ke Albania mengenai niatnya untuk melakukan sweeping di Corfu

Chennel. Adapun jawaban dari Albania adalah ijin tidak dapat diberikan kecuali untuk

melakukan operasi penyapuan ranjau yang berada di luar wilayah laut teritorial Albania,

dan penyapuan ranjau yang dilakukan di wilayah perairan-perairan tersebut merupakan

pelanggaran kedaulatan Albania, penyapuann ranjau yang dilakukan oleh Angkatan

Laut Inggris terjadi pada tanggal 12-13 November 1946, yang masuk di laut teritorial

Albania dan berada dalam jarak yang sebelumnya telah dilakukan penyapuan, 22 ranjau

telah dijinakkan, serta ranjau-ranjau tersebut adalah tipe ranjau GY yang dibuat oleh

Jerman.

Dengan adanya kejadian ini maka Inggris menuntut ganti rugi atas kerusakan

kapal-kapalnya dan korban-korban yang telah meninggal. Akan tetapi Albania menolak

tuntutan tersebut, kemudian Inggris mengajukan kasus ini kepada Mahkamah

Internasional pada tanggal 22 Mei 1947.

3
Peristiwa ini menimbulkan perdebatan antara Inggris dan Albania. Pemerintah

Albania menyatakan bahwa ranjau yang ditemukan pada tanggal 13 November, telah

ditempatkan di daerah tersebut setelah tanggal 22 Oktober, sehingga kerusakan yang

dialami oleh kepal-kapal perang tersebut tidak mungkin disebabkan oleh apa yang

terdapat di daerah tersebut. Namun, ahli-ahli Malta telah berpendapat bahwa kerusakan-

kerusakan kapal milik Inggris disebabkan oleh ranjau yang telah identik dengan ranjau

yang ditemukan pada ladang ranjau.

Inggris kemudian menuntut bahwa ladang ranjau tersebut telah diadakan oleh

Albania dengan adanya persetujuan dan sepengetahuan dari Albania sendiri, atau

sebagai alternatif dari pemerintah Albania yang telah mengelabui mengenai ladang

ranjau yang telah berada di dalam perairan teritorialnya. Hal ini merupakan pelanggaran

terhadap Konvensi Den Haag yang ke delapan pada tahun 1907 dan telah gagal dalam

memberikan peringatan kepada negara-negara lain tentang adanya ladang ranjau

tersebut. Pemerintah Albania sebelumnya telah mengetahui akan kedatangan kapal-

kapal Angkatan Laut Inggris dan telah gagal memberi peringatan tentang adanya ranjau,

dan adanya ladang ranjau tersebut tanpa memberikan pemberitahuan adalah

pelanggaran dari hak lintas damai oleh kapal-kapal asing melalui perairan Internasional

seperti Selat Corfu ini. Inggris dengan kejadian ini menuntut ganti rugi sebesar 825.000

poundsterling yang digunakan untuk perbaikan kerusakan kepada kedua kapalnya dan

50.000 poundsterling untuk dana pensiun dan pengeluaran lain-lain yang diperuntukan

bagi awak kapal yang telah meninggal dan awak kapal yang mengalami luka-luka.

Albania melakukan penyanggahan dengan mengatakan bahwa tidak ada bukti

yang diajukan oleh Inggris mengenai ranjau-ranjau yang merusak kapal-kapal Inggris.

4
Negara-negara pantai memiliki hak dalam hal-hal luar biasa, melakukan pengaturan lalu

lintas kapal asing yang melalui wilayah perairan teritorialnya, dan pengaturan ini telah

diterapkan pada Selat Corfu. Bahwa keadaan luar biasa tersebut terdapat pada waktu

kejadian terjadi, sehingga kapal-kapal asing yang akan melaluinya harus memperoleh

izin terlebih dahulu untuk melewati perairan teritorial wilayah teritorial Albania.

Perlintasan kapal-kapal yang terjadi pada tanggal 22 Oktober 1946 yang tidak memiliki

izin merupakan pelanggaran terhadap hukum Internasional. Bahwa perlintasan yang

dilalui kapal-kapal Inggris bukan merupakan wilayah lintas damai, dan pembersihan

ranjau pada tanggal 12-13 November 1946 belum memperoleh izin di perairan Albania

merupakan pelanganggaran hukum Internasional. Untuk alasan-alasannya, Albania

memiliki pendirian tidak perlu melakukan pembayaran ganti rugi kepada Inggris, justru

sebaliknya Inggris yang harus memberikan ganti rugi kepada pemerintah Albania atas

pelanggaran-pelanggaran dari hukum Internasional.

B. Pembahasan

1. Asas-Asas Hukum Internasional

5
Di dalam Hukum Internasional, terdapat beberapa asas yang mengatur hubungan

hukum antar negara, antara lain:

a. Asas Teritorial

Berdasarkan asas ini, negara menerapkan hukum bagi semua orang dan benda

yang terdapat di wilayahnya.

b. Asas Kebangsaan

Asas ini menyebutkan bahwa setiap warga negara tetap akan mendapatkan

perlakuan hukum yang sama dimanapun mereka berada.

c. Asas Kepentingan Umum

Asas ini menyebutkan bahwa negara dapat menyesuaikan dengan keadaan

dan peristiwa yang berkaitan dengan kepentingan umum dan tidak berkaitan

dengan batas wilayah suatu negara.

d. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas ini menyebutkan bahwa perjanjian yang telah dibuat berlaku secara

mengikat bagi para pihak yang membuatnya.

e. Asas Egality Rights

Asas yang mengatur para pihak yang saling mengadakan hubungan dan

memiliki kedudukan yang sama dalam hukum.

f. Asas Reciprositas

Asas yang menjelaskan pembalasan setimpal atas tindakan suatu negara

terhadap negara lain, baik tindakan yang bersifat negatif ataupun positif.

g. Asas Courtesy

6
Asas ini menjelaskan keharusan untuk saling menghormati dan menjaga

kehormatan negara.

h. Asas Rebus Sic Stantibus

Asas yang dapat digunakan terhadap perubahan mendasar atas keadaan yang

berhubungan dengan perjanjian internasional.

i. Asas Persamaan Derajat

Asas ini menyebutkan bahwa hubungan antar bangsa hendaknya didasarkan

pada asas yang berhubungan dengan Negara yang berdaulat.

j. Asas Keterbukaan

Asas ini mendasarkan pada hukum Internasional terhadap kesediaan masing-

masing negara untuk memberikan informasi secara jujur dan dilandasi rasa

keadilan.

k. Asas Nebis In Idem

Asas ini menyebutkan bahwa tidak ada seorangpun yang diadili sehubung

dengan perbuatan kejahatan yang dengannya telah diputus bersalah atau

dibebaskan. Asas ini juga menjelaskan bahwa tidak seorangpun dapat diadili di

pengadilan lain untuk kejahatan dimana orang tersebut telah dihukum atau

dibebaskan oleh pengadilan pidana Internasional. Adapun tidak seorang pun yang

telah diadili oleh suatu pengadilan di suatu negara mengenai perbuatan yang

dilarang.

l. Asas Jus Cogent

7
Asas ini menjelaskan bahwa perjanjian Internasional dapat batal demi hukum

apabila pembentukannya bertentangan dengan kaidah dasar dari Hukum

Internasional umum (Pasal 53 Konvensi Wina 1969).

m. Asas Inviolability dan Immunity

Asas ini menyebutkan bahwa seorang pejabat diplomatic tidak dapat

ditangkap atau ditahan oleh alat perlengkapan negara penerima dan sebaliknya

negara penerima berkewajiban untuk mencegah serangan atas kehormatan pribadi

penjabat diplomatik yang bersangkutan.

2. Analisis Kasus

Berdasarkan asas-asas yang telah dijelaskan, penyelesaian kasus Selat Corfu

antara Albania dengan Inggris menggunakan asas reciprositas, asas courtesy, dan asas

keterbukaan. Dalam kasus tersebut, digunakan asas repositas dimana asas tersebut

menjelaskan mengenai pembalasan setimpal yang akan dilakukan oleh suatu negara

terhadap negara lain, dalam hal ini Inggris berjanji akan membalas perbuatan Albania

apabila negara tersebut tetap berusaha menyerang Inggris. Adapun asas selanjutnya

yang digunakan yaitu asas courtesy yang menyebutkan bahwa setiap negara harus

menghormati negara lainnya, hal tersebut harus diterapkan oleh negara Inggris terkait

kedaulatan wilayah perairan negara Albania dan keharusan negara Inggris dalam

meminta izin masuk sebelumnya. Asas yang dapat digunakan selanjutnya adalah asas

keterbukaan yang menyebutkan suatu negara harus memberikan informasi yang jujur

dan akurat demi keadilan semua negara, dalam hal ini Albania harus memberikan

informasi terlebih dahulu atas ranjau-ranjau yang telah diletakannya.

8
Perjanjian perdamaian tidak bisa dianggap absah apabila di dalamnya

mengandung maksud yang tersembunyi untuk mempersiapkan perang dimasa yang akan

datang. Apabila hal itu terjadi, maka perjanjian tersebut tidak lain merupakan bagian

dari gencatan senjata, penangguhan sikap sementara dari permusuhan bukan perdamaian

yang sesungguhnya.4 Dalam hal tersebut masing-masing pihak mampu untuk

mengartikan ketentuan-ketentuan dari undang-undang yang sama secara berlainan dan

berbeda. Pengadilan merupakan kedudukan yang paling penting karena melakukan

fungsi yang pada hakikatnya untuk melengkapi ketentuan-ketentuan dari hukum tertulis

yang ada melalui pembentukan hukum (rechtvorming) dan penemuan hukum

(rechtsvinding).

Secara historis, negara telah diberikan kewenangan untuk menindak pelanggaran

hukum pidana Internasional dengan menggunakan dua pendekatan: 1. secara domestik

dan menggunakan hukum internasional di tingkat nasional. 2. Penggunaan hukum

internasional menggunakan pengadilan supranasional atau tribunal khusus, seperti

Mahkamah Pidana Internasional.5

Dengan kata lain hakim atau pengadilan memiliki fungsi untuk membuat hukum

yang baru (creation of new law). Dalam melaksanakan fungsinya membentuk hukum

yang dilakukan pengadilan atau hakim harus dapat mengisi kekosongan dalam hukum

dan dapat mencegah tidak ditanganinya suatu perkara karena adanya hukum yang tidak

4
Immanuel Kant. 2005. Menuju Perdamaian Abadi. Sebuah Konsep Filosofis. Penerjemah Arpani Harun
dan Hendarto Setiadi. Bandung: Penerbit Mizan. Hal. 35
5
Y Gunawan, 2012, Penegakan Hukum Terhadap Pembajakan di Laut Melalui Yurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional, Jurnal Media Hukum, Vol 25, No 1 (2018), Yogyakarta, FH UMY. Diakses juga
pada laman http://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/1978/1959 pada tanggal 30 Desember
2018 pukul 07.52 WIB
9
jelas atau tidak ada. Fungsi yang sangat pentig dari pengadilan atau hakim ini dilakukan

oleh hakim dengan jalan interpretasi, konstruksi dan penghalusan.6

Mahkamah Internasional telah berhasil dalam menyelesaikan berbagai persoalan

kasus antar negara. Beberapa keputusan atau opini timbul berdasarkan sengketa-

sengketa politik penting yang dibawa ke hadapan Dewan Keamanan Perserikatan

Bangsa-Bangsa dan keputusan dari Mahkamah Internasional dalam Corfu Channel,

memberikan sumbangan kepada perkembangan dan metodologi hukum Internasional. 7

Secara substansial International Court Justice merupakan bagian kelanjutan dari

Permanent Court of International Justice, dimana keduanya memiliki kesamaan, statuta

yang kurang lebih sama, jurisdiksi yang dimiliki juga hampir sama, yang menjadi

pembeda fundamental terdapat dalam prosedur untuk amandemen dalam Statuta

International Court Justice.8

Kasus antara Albania dan Inggris dalam kasus Corfu Channel ini terdapat pihak

yang tidak hadir di Mahkamah, dimana pihak tersebut adalah Albania. Negara

bersengekta yang tidak hadir tidak akan menghalangi Mahkamah dalam mengambil

keputusan dengan syarat sesuai dengan pasal 53 ayat (2) Statuta, dalam menjatuhkan

keputusan untuk pihak yang tidak hadir sebelumnya Mahkamah harus meyakinkan

bahwa tidak hanya memiliki wewenang, akan tetapi juga keputusannya yang betul-betul

harus didasarkan pada fakta dan hukum yang ada. Dengan demikian maka pihak yang

6
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta. 2000. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Penerbit
Alumni. Hal. 99
7
J.G. Starke. 2007. Pengantar Hukum Internasional Edisi ke Sepuluh bag 2, Penerjemah Bambang Iriana
Djajaatmadja. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika. Hal. 670
8
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar. 2006. Hukum Internasional Kontemporer. Bandung: Penerbit
Refika Aditama. Hal. 240
10
dihukum meskipun tidak hadir pada prinsipnya tidak memilik hak untuk menolak

keputusan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional tersebut.9

Fakta pertama berkaitan mengenai perilaku dari pemerintah Albania sebelum dan

sesudah bencana. Bahwa peletakan ranjau terjadi didalam periode dimana terdapat

niatan Albania untuk mengawasi laut teritorialnya. Terlebih pemerintah Albania secara

sepenuhnya telah sadar akan keberadaan ladang ranjau, secara tegas pemerintah Albania

memprotes aktivitas dari kapal Inggris, tidak memprotes mengenai peletakan ranjau

yang dilakukannya. Tindakan tersebut apabila dilakukan tanpa persetujuan dari Albania

akan menjadi persoala yang serius atas kedaulatan dsri Albania.

Albania tidak memberikan pemberitahuan kepada kapal-kapal mengenai

keberadaan ranjau sesuai dalam hukum Internasional, Albania juga tidak melakukan

tindakan penyelidikan secara yudisial yang seharsunya menjadi tanggungjawabnya.

Tindakan seperti ini hanya dapat dijelaskan apabila pihak dari Pemerintah Albania

mengetahui keberadaan dari peletakan ranjau tersebut, atau menginginkan kejadian

tersebut untuk dirahasiakan.

Fakta kedua berhubungan dengan kemungkinan untuk memantau peletakan ranjau

dari pantai Albania, dimana secara geografis selat tersebut dapat dilihat secara mudah,

pantai ini didominasi oleh ketinggian yang meawarkan titik-titik untuk observasi dan

berhadapan langsung dengan pantai, yang mana ranjau terdekat terletak dalam radius

500 meter lepas dari pantai. Peletakkan ranjau yang ada secara metodikal dan telah

dipersiapkan dengan tertata rapi.

9
Boer Mauna. Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,
Op.cit. Hal. 247
11
Pada dasarnya tugas Albania untuk membeitahukan kapal-kapal dan khususnya

untuk memberikan peringatan kepada kapal-kapal yang melewati selat tersebut pada 22

Oktober mengenai bahaya yang akan dihadapi. Pada faktanya tidak ada hal apapun yang

dilakukan Albania untuk mencegah terjadinya bencana, dan kelalaian berat ini

menimbulkan pertanggungjawaban yang berat bagi Albania. Penilaian dari Pengadilan

telah dilampirkan dalam satu deklarasi dan dissenting opinioins dari Alvarez, Winiarski,

Zoricic, Badawi Pasha, Krylov and Azevedo, dan juga Dr Ecer Hkim ad hoc.10

10
Mohamad Mova Al’Afghani. 2005. Konsep Kealpaan Dalam Hukum Pertanggungjawaban Negara.
Depok: Fakultas Hukum UI. Hal. 98.
12
C. Penutup

1. Simpulan

Berdasarkan asas-asas yang telah dijelaskan, penyelesaian kasus Selat Corfu

antara Albania dengan Inggris menggunakan asas reciprositas dan asas courtesy.

Penggunaan asas repositas (pembalasan) dikarenakan Inggris berjanji akan membalas

perbuatan Albania apabila negara tersebut tetap berusaha menyerang Inggris. Adapun

asas selanjutnya yang digunakan yaitu asas courtesy (penghormatan) yang harus

diterapkan oleh negara Inggris terkait kedaulatan wilayah perairan negara Albania dan

keharusan negara Inggris dalam meminta izin masuk.

Kasus tersebut berakhir pada putusan Mahkamah Internasional yang menyebutkan

bahwa Albania dinyatakan bersalah karena tindakan Albania telah bertentangan dengan

hukum Internasional karena sepenuhnya sadar dengan keberadaan ranjau yang ada di

wilayah perairannya tanpa memberitahu negara lain. Kesalahan Albania selanjutnya

adalah tidak memantau ranjau yang diletakannya, padahal hal tersebut dapat berdampak

buruk bagi keselamatan setiap kapal yang melintasinya. Oleh karena itu, dapat

disimpulkan bahwa Albania tidak melakukan pencegahan terhadap terjadinya bencana

di wilayah perairannya.

2. Saran
Saran yang dapat diberikan kepada pemerintah Albania maupun negara-negara

lainnya sehubungan dengan kasus ini adalah mematuhi asas-asas hukum Internasional

sehingga setiap negara memiliki hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Negara

harus menerapkan asas keterbukaan di setiap penggambilan keputusan karena asas

tersebut merupakan asas dominan yang dapat berpengaruh pada penerapan asas-asas
13
lainnya. Adapun asas yang harus diterapkan oleh setiap negara yaitu asas courtesy yang

menekankan bahwa setiap negara harus menghormati negara lainnya guna menciptakan

sebuah keadilan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

14
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Yordan. 2018. Penegakan Hukum Terhadap Pembajakan di Laut Melalui

Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Jurnal Media Hukum.

http://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/1978/1959. 30 Desember

2018, pukul 07.52 WIB. Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta.

Kant, Immanuel. 2005. Menuju Perdamaian Abadi. Sebuah Konsep Filosofis.

Penerjemah Arpani Harun dan Hendarto Setiadi. Bandung: Penerbit Mizan

Kusumaatmadja, Mochtar dan B. Arief Sidharta. 2000. Pengantar Ilmu Hukum.

Bandung: Penerbit Alumni

Mauna, Boer. Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era

Dinamika

Mertokusumo, Sudikno. 2001. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta:

Penerbit Liberty

Mova Al’Afghani, Mohamad. 2005. Konsep Kealpaan Dalam Hukum

Pertanggungjawaban Negara. Depok: Fakultas Hukum UI

Starke, J.G. 2007. Pengantar Hukum Internasional Edisi ke Sepuluh bag 2, Penerjemah

Bambang Iriana Djajaatmadja. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika

Suryokusumo, Sumaryo. 2007. Studi Kasus Hukum Internasional. Jakarta: Penerbit

Tatanusa

Thontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar. 2006. Hukum Internasional Kontemporer.

Bandung: Penerbit Refika Aditama

Utrecht, E. 1962. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Penerbit Balai Buku

Ichtiar
15
Lembar Penilaian Sejawat

No. Mahasiswa Nama Persentase UK 1 UK 2 UK 3

Bekerja

(0-100)

20160610110 Sultan Meurizki 80 Ya Ya Ya

20160610341 Dinda Putri Maharani 90 Ya Ya Ya

20160610350 Tiara Rizky Andespa 90 Ya Ya Ya

20170610329 Galuh Fata Surya I 80 Ya Ya Ya

16

Anda mungkin juga menyukai