Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan bagian yang penting dalam setiap keluarga. Kesehatan anak
merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yang saat ini terjadi di
Indonesia. Derajat kesehatan anak mencerminkan derajat kesehatan bangsa, sebab anak
sebagai generasi penerus bangsa mempunyai kemampuan yang dapat dikembangkan
dalam meneruskan pembangunan bangsa. Anak merupakan masa dimana organ-organ
tubuhnya belum berfungsi secara optimal sehingga anak lebih rentan terkena berbagai
penyakit, namun tidak semua penyakit dapat dicegah. Penyakit pada saluran pernafasan
yang banyak dijumpai pada anak adalah bronkopneumonia (Inayah dan Tunggal,
2016).
Bronkopneumonia merupakan penyakit saluran pernafasan bagian bawah yang
biasanya diawali dengan infeksi saluran pernapasan bagian atas (Shefia, 2014).
Bronkopneumonia adalah salah satu jenis Pneumonia yang mempunyai pola
penyebaran berbecak, teratur, dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam bronchi
dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya (Ngemba et al., 2017).
Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan penyebab terbesar
terjadinya kematian pada anak usia di bawah lima tahun (balita), hal ini terjadi karena
saluran napas pada anak masih sempit dan daya tubuhnya pun masih rendah (GASS,
2013).
Infeksi saluran nafas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang
kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Insiden
penyakit bronkopneumonia pada anak di bawah umur lima tahun (balita) dengan risiko
kematian yang tinggi di negara berkembang hampir 30%, sedangkan di Amerika
pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah
umur 2 tahun (Aryati, 2013). Menurut WHO tahun 2008, insiden pneumonia pada
anak-balita di negara berkembang yaitu mencapai 151,8 juta kasus pneumonia setiap
tahun, 10% diantaranya merupakan pneumonia berat yang perlu perawatan di rumah
2

sakit (GASS, 2013). Dari data SEAMIC Health Statistic 2011 pneumonia merupakan
penyebab kematian nomor 6 di Indonesia. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
Depkes tahun 2011 menunjukkan bahwa penyakit infeksi saluran napas bawah berada
pada peringkat kedua sebagai penyebab kematian di Indonesia (Marini dan Wulandari,
2011). Angka kejadian bronkopneumonia di Bali pada tahun 2007 sebanyak 2893
kasus merupakan peringkat ketiga setelah Diare, dan Demam Berdarah Dengue
(Dinkes Provinsi Bali, 2008).
Bronkopneuomonia disebabkan oleh beberapa mikroorganisme Streptococus
pneumoniae, Hemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus merupakan
penyebab terjadinya bronkopneumonia pada bayi yang lebih besar dan balita,
sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja selain bakteri tersebut, sering juga
ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae. Manifestasi klinis bronkopneumonia
adalah demam yang tinggi, dispnea, napas cepat dan dangkal, muntah, diare, gelisah,
sianosis, serta batuk kering dan produktif (Shefia, 2014).
Proses peradangan dari proses penyakit bronkopneumonia mengakibatkan produksi
sekret meningkat menimbulkan manifestasi klinis yang ada sehingga muncul masalah
dan salah satu masalah tersebut adalah bersihan jalan napas tidak efektif. Bersihan
jalan nafas tidak efektif adalah keadaan dimana individu tidak mampu mengeluarkan
sekret dari saluran nafas untuk mempertahankan kepatenan jalan nafas (Nurarif dan
Kusuma, 2015). Karakteristik dari bersihan jalan nafas tidak efektif adalah batuk,
sputum berlebih, sesak, suara nafas abnormal (ronchi, wheezing), penggunaan otot
bantu nafas, pernafasan cuping hidung, gelisah, frekuensi napas berubah. Apabila
masalah bersihan jalan nafas ini tidak ditangani secara cepat maka bisa menimbulkan
masalah yang lebih berat saperti pasien akan mengalami sesak yang hebat karena
mengalami sumbatan pada jalan nafas bahkan bisa menimbulkan kematian (Marini dan
Wulandari, 2011).
Penatalaksanaan yang diberikan pada bronkopneumonia adalah berupa tirah baring
atau bed rest (GASS, 2013). Dan untuk mengatasi bersihan jalan napas tidak efektif
salah satu cara yang dapat dilakukan melalui tindakan mandiri perawat diantaranya
3

adalah fisioterapi dada yaitu Clapping. Dimana tujuan dari terapi clapping ini adalah
jalan napas bersih, secara mekanik dapat melepaskan sekret yang melekat pada dinding
bronkus dan mempertahankan fungsi otot-otot pernafasan (Marini dan Wulandari,
2011).
Setelah tindakan fisioterapi dada, batuk efektif baik dilakukan karena setelah sekret
luruh dari dinding bronkus, maka akan lebih mudah keluar dengan dorongan dari batuk
efektif. Penatalaksanaan bersihan jalan napas tidak efektif juga dengan pemberian obat
secara dihirup, obat dapat dihirup untuk menghasilkan efek lokal atau sistemik melalui
saluran pernapasan dengan menghirup menggunakan uap, nebulizer atau aerosol
semprot (Ayu Ningrum et al., 2017).
Berdasarkan uraian diatas menunjukkan bahwa bronkopneumonia merupakan salah
satu masalah kesehatan dan penyebab terbesar terjadinya kematian pada anak apabila
tidak ditangani dengan cepat. Maka dari itu peneliti tertarik untuk menyusun laporan
studi kasus yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Anak Bronkopneumonia
Dengan Masalah Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif”. Laporan ini disusun dengan
harapan dapat meningkaTk.an kewaspadaan terhadap kasus Bronkopneumonia serta
dapat dijadikan acuan dalam memberikan pelayanan profesional untuk dapat
meningkaTk.an mutu asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit
Bronkopneumonia.

B. Batasan Masalah
Asuhan keperawatan pada anak Bronkopneumonia dengan Masalah Bersihan Jalan
Nafas Tidak Efektif di Ruang Sandat Rumah Sakit Tk.. II Udayana Denpasar.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan diatas maka masalah pokok
yang hendak diuraikan adalah: “Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Pada Anak
Bronkopneumoni Dengan Masalah Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif di Ruang
Sandat di Rumkit Tk.. II Udayana ?”.
4

D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melaksanakan Asuhan keperawatan pada anak Bronkopneumonia dengan
Masalah Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif di Ruang Sandat Rumah Sakit Tk.. II
Udayana Denpasar.

2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian keperawatan pada anak yang mengalami
Bronkopneumonia dengan Masalah Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif di
Ruang Sandat Rumah Sakit Tk.. II Udayana Denpasar.
b. Menetapkan diagnosis keperawatan pada anak yang mengalami
Bronkopneumonia dengan Masalah Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif di
Ruang Sandat Rumah Sakit Tk.. II Udayana Denpasar.
c. Menyusun perencanaan keperawatan pada anak yang mengalami
Bronkopneumonia dengan Masalah Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif di
Ruang Sandat Rumah Sakit Tk.. II Udayana Denpasar.
d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada anak yang mengalami
Bronkopneumonia dengan Masalah Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif di
Ruang Sandat Rumah Sakit Tk.. II Udayana Denpasar.
e. Melakukan evaluasi keperawatan pada anak yang mengalami
Bronkopneumonia dengan Masalah Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif di
Ruang Sandat Rumah Sakit Tk.. II Udayana Denpasar.

E. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Untuk mengembangkan ilmu keperawatan kesehatan anak terkait asuhan
keperawatan pada anak yang mengalami Bronkopneumonia dengan Masalah
Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif agar perawat mampu memenuhi kebutuhan
dasar Klien selama di rawat di Rumah Sakit, dengan harapan ke depan bisa
dijadikan panduan serta acuan bagi profesi keperawatan dalam merawat pasien
5

dengan masalah keperawatan ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik


sehingga program terapeutik efektif dan mampu meningkaTk.an kualitas kesehatan
pasien.

2. Manfaat Praktis
a. Bagi Klien dan keluarga
Klien dan keluarga mendapaTk.an informasi penyakit Bronkopneumonia
serta mengerti bagaimana cara perawatan dan penatalaksanaan pada penyakit
Bronkopneumonia secara benar dan bisa melakukan perawatan awal di rumah
secara mandiri serta membudayakan pengelolaan pasien Bronkopneumonia dengan
bersihan jalan nafas yang efektif.

b. Bagi Institusi Pendidikan


Dapat digunakan sebagai informasi bagi Institusi pendidikan dalam
pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan di masa yang akan datang
serta Sebagai referensi tambahan guna meningkaTk.an informasi/pengetahuan
sebagai referensi perpustakan Stikes Bali yang bisa digunakan oleh mahasiswa
sebagai bahan bacaan dan dasar untuk studi kasus selanjutnya.

c. Bagi Perawat
Dapat memberikan kontribusi bagi perawat untuk mengevaluasi dalam
memberikan pengobatan dan keperawatan suatu penyakit melalui upaya
peningkatan kesehatan Klien.

d. Bagi peniliti lain


Pembaca dapat memahami tentang penatalaksanaan dan perawatan pada
pasien Bronkopneumonia serta dapat dijadikan sebagai sarana untuk
mengaplikasikan ilmu dalam menerapkan asuhan keperawatan keluarga
sehingga dapat mengembangkan dan menambah wawasan peneliti.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Bronkopneumonia
1. Definisi Bronkopneumonia
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan
pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga
mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang
disebabkan oleh bermacam- macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda
asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada
juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan.
Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai
keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer
yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa (Bradley et.al., 2011).
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan
bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy
distribution). Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh
penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran gas setempat (Bradley et.al., 2011).
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang disebabkan
oleh bakteri, virus, jamur ataupun benda asing (Hidayat, 2008). Bronkopneumonia
adalah suatu peradangan pada parenkim paru dimana peradangan tidak saja pada
jaringan paru tetapi juga pada bronkioli (Ringel, 2012).
Bronkopneumonia adalah radang pada paru-paru yang menggambarkan
Pneumonia yang mempunyai penyebaran berbercak, teratur, dalam satu area atau
lebih yang berlokasi di dalam bronki dan meluas ke parenkim paru (Wijayaningsih,
2013).
7

Bronkopneumonia adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai pola


penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam
bronchi dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya (Nurarif,
2015).

2. Etiologi
Menurut Riyadi dan Suharsono (2010), bronkopneumonia terjadi bermula dari
adanya peradangan paru yang terjadi pada jaringan paru atau alveoli yang biasanya
didahului oleh infeksi traktus respiratorius bagian atas selama beberapa hari.
Bronkopneumonia dapat menyerang tubuh disebabkan oleh penurunan mekanisme
pertahanan tubuh terhadap virulensi organisme pathogen. Pada manusia normal dan
sehat memiliki mekanisme pertahanan tubuh pada organ pernapasan atas yaitu
seperti reflek glottis dan batuk, adanya lapisan mucus, gerakan silia yang
menggerakkan kuman keluar dari organ, dan sekresi humoral setempat (Nurarif dan
Kusuma, 2015).
Bronkopneumonia disebabkan oleh bakteri seperti diplococus pneumonia,
pneumococcus, stretococcus, hemoliticus aureus, haemophilus influenza, basilus
friendlander (klebsial pneumoni), mycobacterium tuberculosis, disebabkan oleh
virus seperti respiratory syntical virus, virus influenza dan virus sitomegalik, dan
disebabkan oleh jamur seperti citoplasma capsulatum, criptococcus nepromas,
blastomices dermatides, aspergillus Sp, candinda albicans, mycoplasma pneumonia
dan aspirasi benda asing (Wijayaningsih, 2013).

3. Manifestasi Klinis
Menurut Ringel, (2012) tanda-gejala dari Bronkopneumonia yaitu :
a. Gejala penyakit datang mendadak namun kadang-kadang didahului oleh infeksi
saluran pernafasan atas.
b. Pertukaran udara di paru-paru tidak lancar dimana pernafasan agak cepat dan
dangkal sampai terdapat pernafasan cuping hidung.
8

c. Adanya bunyi nafas tambahan pernafasan seperti ronchi dan wheezing.


d. Dalam waktu singkat suhu naik dengan cepat sehingga kadang-kadang terjadi
kejang.
e. Anak merasa nyeri atau sakit di daerah dada sewaktu batuk dan bernafas.
f. Batuk disertai sputum yang kental.
g. Nafsu makan menurun.

4. Klasifikasi Bronkopneumonia
Bronkopneumonia adalah klasifikasi dari Pneumonia secara anatomi.
Pembagian Pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada dasar yang memuaskan, dan
pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan penyebabnya (etiologi).
Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan
etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan, daripada
pembagian secara anatomis (Bradley, 2011).

a. Berdasarkan lokasi Lesi di paru yaitu Pneumonia lobaris, Pneumonia


interstitiali, Bronkopneumonia.
b. Berdasarkan asal infeksi yaitu pneumonia yang didapat dari masyarakat
(community acquired pneumonia = CAP). Pneumonia yang didapat dari
rumah sakit (hospital-based pneumonia).
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab: Pneumonia bakteri, pneumonia
virus, pneumonia mikoplasma, dan pneumonia jamur.
d. Berdasarkan karakteristik penyakit yaitu pneumonia tipikal dan pneumonia
atipikal.
e. Berdasarkan lama penyakit yaitu pneumonia akut dan pneumonia persisten.

5. Patofisiologi
Proses terjadinya Bronkopneumonia yaitu dari berhasilnya kuman Patogen
masuk ke mucus jalan nafas. Kuman tersebut berkembang biak di saluran nafas
sampai masuk ke dalam paru-paru. Bila mekanisme pertahanan seperti system
9

transport Mukosilia tidak adekuat, maka kuman akan berkembang biak dengan
cepat sehingga akan terjadi peradangan di saluran nafas atas, sebagai respon
peradangan akan terjadi Hipersekresi mucus dan merangsang batuk.
Mikroorganisme berpindah karena adanya gaya tarik bumi dan Alveoli menebal.
Pengisian cairan Alveoli akan melindumgi Mikroorganisme dari fagosit dan
membantu penyebaran organisme ke Alveoli lain. Keadaan ini menyebabkan
infeksi meluas, aliran darah sebagaai peningkat yang diikuti peradangan vascular
dan penurunan darah kapiler (Price & Wilson, 2005)
Saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru. Paru-
paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan
mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa
filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan
lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit,
komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang
diperantarai sel (Bradley et.al., 2011)
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila
virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian
bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas,
dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkaTk.an kemungkinan
terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi
mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak
dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus. Secara patologis,
terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011), yaitu:
a. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti):
Yaitu hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat 9 infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
10

b. Stadium II (48 jam berikutnya):


Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini
udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah
sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

c. Stadium III (3-8 hari berikutnya):


Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

d. Stadium IV (7-11 hari berikutnya):


Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

6. Komplikasi
Menurut Ngastiyah (2014), komplikasi yang dapat terjadi pada pasien
Bronkopneumonia yaitu:
a. Atelectasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau
kolaps paru merupakan akibat dari kurangnya mobilisasi atau reflex batuk
hilang.
b. Empisema merupakan suatu keadaan dimana dalam rongga pleura pada
satu tempat atau seluruh rongga pleura terdapat kumpulan nanah
11

c. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang
d. Infeksi Sistemik
e. Endocarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial
f. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak (Wijayaningsih,
2013).
12

7. Web Caution Bronkopneumonia

Ada sumber infeksi di saluran

Obstruksi mekanik
saluran pernafasan krn Daya tahan saluran
aspirasi bekuan darah, pernafasan yang terganggu
pus, bagian gigi yg
menyumbat, makanan
dan tumor Bronkus

Ada sumber infeksi di saluran

Edema Trakeal/Faringeal Peradangan pada Bronkus menyebar ke Parenkim


Paru
Terjadi konsolidasi dan pengisian rongga
Peningkatan produksi Alveoli oleh eksudat
Sekret

Reaksi system: Bakteremia


Batuk Penurunan jaringan efektif atau Virema
Produktif paru & kerusakan membran
alveolar-kapiler

Sesak nafas Anoreksia


Sesak nafas
Demam

Penurunan Inteke nutrisi


Penggunaan otot
kemampuan tidak adekuat Peningkatan laju
bantu Nafas
batuk efektif metabolisme
umum

Ketidakefektifan Penurunan berat


Ketidakefektifan
bersihan jalan badan Hipertermi
pola Nafas
nafas

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh

Gambar . Web Caution Bronkopneumonia


13

8. Pemeriksaan penunjang
Sebagai penegak Diagnosa keperawatan dapat dilakukan pemeriksaan (Nanda,
2015) yaitu:
a. Pemeriksaan Laboratorium meliputi:
1) Darah
2) Sputum
3) Analisa gas darah
4) Kultur darah
5) Sampel darah, Sputum dan Urine

b. Pemeriksaan Radiologi
1) Photo Thoraks
2) Laringoskopi Bronkoskop

9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Bronkopneumonia menurut Mansjoer (2000) dan Ngastiyah
(2005) di bagi dua yaitu penatalaksanaan Medis dan Keperawatan.
a. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi, akan
tetapi, karena hal itu perlu waktu dan pasien perlu terapy secepatnya maka
biasanya diberikan:
1) Penisilin ditambah dengan Cloramfenikol atau diberikan antibiotic
yang mempunyai spectrum luas seperti Ampisilin, pengobatan ini
diteruskan sampai bebas demam 4-5 hari.
2) Pemberian Oksigen dan cairan.
3) Karena sebagian besar pasien terjadi acidosis metabolic akibat
kurang makan dan hipoksia, maka dapat diberikan koreksi sesuai
dengan hasil analisis gas darah arteri.
4) Pasien Pneomonia ringan tidak perlu di raawat di Rumah Sakit.
14

b. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan dalam hal ini yang dilakukan adalah suatu
bentuk intervensi perawat yaitu :
1) Menjaga kelancaran pernafasan
2) Jika pasien dalam keadaan Dispnea dan sianosis karena adanya
radang paru dan banyaknya lendir di dalam bronkus/paru diberikan O2
dan nebulizer (penguapan) sesuai petunjuk Dokter
3) Kebutuhan istirahat
Klien Pneumonia adalah klien payah, suhu tubuhnya tinggi,
sering Hiperpireksia maka klien perlu istirahat yang cukup, semua
klebutuhan klien harus di tolong di tempat tidur. Usahakan
pemberianobat secara tepat, usahakan keadaan tenang dan nyaman
agar pasien dapat istirahat sebaik-baiknya.
4) Kebutuhan nutrisi dan cairan
Pasien Bronkopneumonia hampir selalu mengalami masukan
yang kurang. Suhu tubuh yang tinggi selama beberapa hari dan
masukan cairan yang yang kurang dapat menyebabkan Dehidrasi.
Untuk mencegah dehidrasi dan kekurangan kalori di pasang cairan
Infus dengan cairan Glukosa 5% dan NaCl 0,9 %.
5) Mengontrol suhu tubuh.
Pasien Bronkopneumonia sewaktu-waktu dapat mengalami
Hiperpireksia. Untuk itu maka harus dikontrol suhu tubuh tiap jam
dan dilakukan kompres serta obat-obatan satu jam setelah di
kompres kemudian di cek kembali suhu tubuh apakah sudah turun
apa belum.

Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), adapun penatalaksanaan pada klien anak
dengan bronkopneumonia yang dapat diberikan antara lain:
15

a. Menjaga kelancaran pernapasan.


b. Terapi oksigen jika pasien mengalami pertukaran gas yang tidak adekuat
(Padila, 2013).

c. Kebutuhan istirahat.
Pasien ini sering hiperpireksia maka pasien perlu cukup istirahat, semua
kebutuhan pasien harus ditolong di tempat tidur.
d. Kebutuhan nutrisi dan cairan.
Pasien bronkopneumonia hampir selalu mengalami masukan makanan yang
kurang. Suhu tubuh yang tinggi selama beberapa hari dan masukan cairan
yang kurang dapat menyebabkan dehidrasi. Untuk mencegah dehidrasi dan
kekurangan kalori dipasang infus dengan cairan glukosa 5% dan NaCl
0,9%.
e. Mengontrol suhu tubuh.
f. Pengobatan
Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi. Namun karena
hal itu perlu waktu dan pasien perlu terapi secepatnya maka biasanya
diberikan penisilin ditambah dengan cloramfenikol atau diberikan antibiotik
yang mempunyai spektrum luas seperti ampisilin. Pengobatan ini diteruskan
sampai pasien bebas demam 4 sampai 5 hari. Karena kemungkinan besar
pasien akan jatuh ke dalam asidosis metabolik akibat kurang makan dan
hipoksia, maka dari itu dapat diberikan koreksi sesuai dengan hasil analisis
gas darah arteri.
16

B. Konsep Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif


1. Definisi
Bersihan jalan nafas tidak efektif adalah keadaan dimana individu tidak mampu
mengeluarkan sekret dari saluran nafas untuk mempertahankan kepatenan jalan
nafas (Nurarif dan Kusuma, 2015). Penyebab bersihan jalan nafas tidak efektif pada
pasien bronkopneumonia adalah mukus yang berlebih. Penumpukan sekret
merupakan kondisi terdapatnya dahak pada saluran pernafasan yang sulit
dikeluarkan, sehingga menggangu aktifitas udara yang keluar ataupun masuk
kedalam paru-paru (Marini dan Wulandari, 2011).

2. Tanda Dan Gejala


Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (2016) tanda dan
gejala bersihan jalan nafas tidak efektif adalah:
a. Batuk tidak efektif
b. Tidak mampu batuk
c. Sputum berlebih
d. Mengi, whezing dan /atau ronchi kering
e. Mekonium dijalan nafas (pada neonatus)
f. Dispnea
g. Sulit bicara
h. Ortonea
i. Gelisah
j. Sianosis
k. Bunyi nafas menurun
l. Frekuensi nafas berubah dan pola nafas berubah

3. Penatalaksanaan
Salah satu upaya untuk mengatasi bersihan jalan nafas tidak efektif dapat
dilakukan dengan fisioterapi dada, dalam hal ini merupakan tehnik untuk
mengeluarkan secret yang berlebihan atau material yang teraspirasi dari dalam
17

saluran respiratori. Sehingga dalam hal ini, fisioterapi dada tidak hanya mencegah
obstruksi, tetapi juga mencegah rusaknya saluran respiratori dan membantu
menghilangkan kelebihan mukus kental dari paru ke dalam trakea yang dapat
dibatukkan keluar (Maidartati, 2014).
Setelah tindakan fisioterapi dada, batuk efektif baik dilakukan karena setelah
sekret luruh dari dinding bronkus, maka akan lebih mudah keluar dengan dorongan
dari batuk efektif. Penatalaksanaan bersihan jalan nafas tidak efektif juga dengan
pemberian obat secara dihirup, obat dapat dihirup untuk menghasilkan efek lokal
atau sistemik melalui saluran pernafasan dengan menghirup menggunakan uap,
nebulizer atau aerosol semprot. Tetapi inhalasi uap adalah pengobatan efektif untuk
mengatasi bersihan jalan nafas tidak efektif (Ayu Ningrum et al., 2017).

C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan pada Pasien Bronkopneumonia


1. Pengkajian
Pengkajian adalah suatu tahap penting dari proses pemberian asuhan
keperawatan yang sesuai bagi kebutuhan individu. Oleh karena itu, pengkajian
yang akurat, lengkap, sesuai kenyataan dan kebenaran data sangat penting untuk
langkah selanjutnya dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai respon individu
(Mutaqqin, 2008).
Menurut Wijaya dan Putri (2013), berikut ini pengkajian yang dilakukan pada
pasien anak dengan bronkopneumonia yaitu:
a. Identitas Pasien dan Keluarga
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa, bahasa
yang digunakan, status pendidikan, dan diagnosa medis.

b. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering terjadi pada pasien Bronkopneumonia adalah
adanya demam, sesak nafas, batuk produktif, rewel dan gelisah, sakit
kepala.
18

c. Riwayat kehamilan dan persalinan


1) Riwayat kehamilan: penyakit infeksi yang pernah diderita ibu selama
hamil, perawatan ANC, imunisasi.
2) Riwayat persalinan: apakah usia kehamilan cukup, lahir premature, bayi
kembar, penyakit persalinan, Apgar scor.
3) Riwayat Penyakit Saat Ini Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung
keluhan utama, anak lemah, sianosis, sesak nafas, nafas cepat dan
dangkal, gelisah, ronchi (+), wheezing (+), batuk, demam, sianosis
daerah mulut dan hidung, muntah, diare.

d. Riwayat Keluarga
Kaji bagaimana pengaruh sosial ekonomi, lingkungan rumah, maupun
lingkungan keluarga terhadap penyakit yang di alamai, apakah ada riwayat
penyakit keluarga seperti riwayat infeksi, TBC, Pneumonia, dan
penyakitpenyakit infeksi saluran pernafasan lainnya

e. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum : tampak lemah
2) Tanda-tanda Vital Tekanan darah menuruh, nafas sesak, nadi lemah dan
cepat, suhu meningkat, distress pernafasan, sianosis.
3) TB atau BB Disesuaikan dengan pertumbuhuan dan perkembangan
4) Kulit Tampak pucat, sianosis, biasanya turgor kulit jelek.
5) Hidung Nafas cuping hidung, sianosis
6) Mulut Pucat sianosis, membran mukosa kering, bibir kering dan pucat
7) Paru-paru Infiltrasi pada lobus paru, perkusi pekak (redup), ronchi (+),
wheezing (+), sesak nafas saat istirahat dan bertambah saat beraktifitas.
8) Abdomen Bising usus (+), distensi abdomen, nyeri biasanya tidak ada
9) Ekstremitas Kelemahan, penurunan aktifitas, sianosis ujung jari tangan
dan kaki
19

f. Data khusus, meliputi:


1) Data subjektif
Pada pasien bronkopneumonia data subjektif yang sering ditemukan
adalah pasien mengeluh lemas, sesak, batuk berdahak, dan demam
tinggi
2) Data objektif
Pada pasien bronkopneumonia data objektif yang ditemukan adalah
pasien tampak gelisah dan lemas, terdengar suara napas tambahan
seperti wheezing dan ronkhi, sianosis

g. Riwayat sosial
Siapa pengasuh klien, interaksi sosial, kawan bermain, peran ibu, keyakinan
agama atau budaya.

h. Kebutuhan dasar pengkajian fokus pola kesehatan menurut Padila, 2013


meliputi:
1) Sirkulasi
Gejala : riwayat gagal jantung kronis
Tanda : takikardi, penampilan keperanan atau pucat
2) Integritas ego
Gejala : banyak stressor, masalah finansial
3) Makanan atau cairan
Gejala : kehilangan nafsu makan, mual dan muntah
Tanda : distensi abdomen, hiperaktif bunyi usus, kulit kering dengan
turgor buruk, penampilan Malnutrisi
4) Nyeri atau kenyamanan
Gejala : nyeri dada dan sakit kepala serta batuk produktif
5) Pernafasan
20

Gejala : dispnea, takipnea, penggunaan otot aksesori dan


pelebaran Nasal
Tanda : sputum merah muda, berkarat atau purulen
Perkusi : pekak diatas area yang konsolidasi, gesekan friksi plural
Bunyi nafas : nafas bronchial
Fremitus : taktil dan vocal meningkat dengan konsolidasi
Warna : pucat atau sianosis bibir atau kuku
6) Keamanan
Gejala : riwayat system imun, demam Tanda : berkeringat,
menggigil berulang, gemetar, kemerahan

i. Pemeriksaan tingkat perkembangan


1) Motorik kasar: setiap anak berbeda, besifat familiar, dan dapat dilihat
dari kemampuan anak menggerakkan anggota tubuh.
2) Motorik halus: gerakkan tangan dan jari untuk mengambil benda,
menggenggam, mengambil dengan jari, menggambar, menulis
dihubungkan dengan usia.
3) Perkembangan Bahasa: mengucap satu kata, merangkai kata sesuai
dengan usia.

j. Data Psikologis
1) Anak
Krisis hospitalisasi, mekanisme koping yang terbatas dipengaruhi oleh
usia, pengalaman sakit, perpisahan, adanya support, keseriusan
penyakit.
2) Orang tua
Reaksi orang tua terhadap penyakit anaknya dipengaruhi oleh:
a) Keseriusan ancaman terhadap anaknya
b) Pengalaman sebelumnya
21

c) Prosedur medis yang akan dilakukan pada anaknya


d) Adanya suportif dukungan
e) Agama, kepercayaan dan adat
f) Pola komunikasi dalam keluarga

k. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan radiologi yaitu pada foto thorak, terdapat bercak-bercak
infiltrate pada satu atau beberapa lobus
2) Pemeriksaan laboratorium, gambaran darah tepi didapati leukositosis,
dapat mencapai antara antara 15.000 sampai 40.000/mm3 dengan
pergeseran ke kiri
3) Hitung sel darah putih biasanya meningkat kecuali bila pasien
mengalami imunodefiensi
4) Pemeriksaan analisa gas darah arteri, menunjukkan asidosis metabolic
dengan atau tanpa retensi CO2
5) Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah, kuman penyebab dapat
dibiakkan dari usapan tenggorok dan mungkin juga dari darah
(Ngastiyah, 2014).
6) Pemeriksaan urine, terdapat albuminuria karena suhu yang naik dan
sedikit torak hialin, dan urine berwarna lebih tua (Ngastiyah, 2014).
l. Penatalaksanaan
Menurut Nurarif & Kusuma (2015), adapun penatalaksanaan pada klien
anak dengan bronkopneumonia yang dapat diberikan antara lain:
1) Menjaga kelancaran pernafasan
2) Terapi oksigen
3) Kebutuhan istirahat
4) Kebutuhan nutrisi dan cairan.
5) Mengontrol suhu tubuh.
6) Pengobatan
22

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis adalah fase kedua proses keperawatan. Pada fase ini perawat
menggunakan ketrampilan berpikir kritis untuk menginterprestasikan data
pengkajian dan mengidentifikasi kekuatan serta masalah pasien. Dalam asuhan
keperawatan diagnosis adalah langkah yang sangat penting dalam proses
keperawatan. Semua aktivitas sebelum fase ini ditujukan untuk merumuskan
diagnosis keperawatan (Kozier et al., 2010). Menurut Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (2016) dari pengkajian yang dilakukan maka didapatkan
diagnosa yang muncul pada pasien dengan bronkopneumonia adalah:

Tabel 1 Diagnosa Keperawatan Pada Pasien Bronkopneumonia

NO Masalah Penyebab Tanda dan Gejala


Data Mayor Data Minor
1 Bersihan Peningkatan produksi Subyektif : Obyektif:
Jalan Nafas Sputum Tidak tersedia Batuk tidak efektif, tidak
Tidak efektif mampu batuk, sputum
berlebih, ronkhi kering
Subyektif : Obyektif:
Dispnea Gelisah, frekuensi nafas
berubah, pola nafas berubah
Sumber: SDKI, 2016

3. Perencanaan
Perencanaan adalah fase ketiga dalam asuhan keperawatan dimana
pengembangan strategi disain yang dilakukan untuk mencegah, mengurangi, dan
mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasikan dalam diagnosis
keperawatan. Dalam perencanaan diawali dengan memprioritaskan masalah
keperawatan berdasarkan pada masalah yang mengancam kehidupan pasien (Kozier
et al., 2010). Masalah tersebut diambil dari tanda gejala dari penyakit
bronkopneumonia dan disesuaikan dengan batasan karakteristik Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (2016). Adapun perencanaan tujuan dan intervensi pada
23

diagnosa yang mungkin muncul pada kasus bronkopneumonia adalah sebagai


berikut:

Tabel 2 Intervensi Keperawatan Pada Pasien Bronkopneumonia


Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Hasil
1 2 3 4
Bersihan Jalan NOC NIC a. Memungkinkan upaya jalan
Nafas Setelah diberikan a. Posisikan pasien nafas lebih dalam dan
Tidak efektif asuhan keperawatan untuk memaksimalkan ekspansi paru.
berhubungan selama ...x... jam meringankan
dengan spasme diharapkan jalan nafas sesak nafas b. Mengetahui ada tidaknya
jalan nafas efektif. pola nafas abnormal misalnya
ditandai dengan Kriteria hasil: b. Monitor pola takipnea
batuk tidak a. Frekuensi nafas c. Mengetahui ada tidaknya
efektif, sputum pernafasan tidak ada c. Auskultasi suara suara nafas tambahan seperti
berlebih, deviasi dari kisaran nafas wheezing dan ronchi
normal

wheezing dan b. Kemampuan untuk d. Lakukan d. Membantu mengeluarkan


ronkhi, mengeluarkan sekret fisioterapi dada sekret dan membersihkan jalan
dispnea, tidak ada deviasi nafas
gelisah, dari kisaran normal e. Instruksikan
sianosis, bagaimana agar d. Mendorong keluarnya secret
frekuensi nafas c. Suara nafas bisa melakukan
berubah, pola tambahan (wheezing batuk efektif f. Membantu mengencerkan
nafas berubah dan ronkhi) tidak dahak
ada d.Dispnea tidak f. Berikan bantuan
ada (RR 18- terapi nafas jika
30x/menit) diperlukan
d.Akumulasi sputum misalnya
tidak ada nebulizer

Sumber: NOC dan NIC, 2016

4. Pelaksanaan
Implementasi atau pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi
24

pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan sesudah


tindakan, dan menilai data yang baru. Pelaksanaan dibagi atas tindakan
keperawatan mandiri dan kolaboratif (Kozier et al., 2010).
Berikut pelaksanaan keperawatan yang dilakukan pada diagnosa bersihan jalan
nafas tidak efektif yaitu memposisikan pasien untuk meringankan sesak nafas,
memonitor pola nafas, mengauskultasi suara nafas, melakukan fisioterapi dada,
menginstruksikan bagaimana agar bisa melakukan batuk efektif, dan memberikan
bantuan terapi nafas jika diperlukan misalnya nebulizer.

5. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan dari asuhan keperawatan ini sesuai dengan
perencanaan yang telah disusun sebelumnya dengan menggunakan SOAP. Evaluasi
meliputi 2 hal yaitu evaluasi formatif dan sumatif. Evaluasi formatif adalah
evaluasi yang dilakukan setelah selesai melaksanakan tindakan keperawatan dan
evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilaksanakan pada akhir dari keseluruhan
pelaksaan asuhan keperawatan (Kozier et al., 2010).

Adapun evaluasi yang diharapkan sesuai dengan rencana tujuan yaitu:


a. Bersihan jalan nafas efektif
1) Frekuensi pernafasan tidak ada deviasi dari kisaran normal
2) Kemampuan untuk mengeluarkan sekret tidak ada deviasi dari kisaran
normal
3) Suara nafas tambahan (wheezing dan ronkhi) tidak ada
4) Dispnea tidak ada (RR 18-30x/menit)
5) Akumulasi sputum tidak ada
25

BAB III
METODE STUDI KASUS

A. Desain Studi Kasus


Menguraikan desain yang dipakai pada penelitian. Desain yang digunakan dalam
penyusunan karya tulis ilmiah adalah deskriftif dengan pendekatan studi kasus, yaitu
satu jenis rancangan penelitian yang menggambarkan seperangkat peristiwa atau
populasi tertentu. Studi kasus merupakan rencana penelitian yang mencakup
pengkajian satu penelitian secara intensif misalnya satu klien, keluarga, kelompok,
komunitas, atau institusi (Nursalam, 2013). Rencana penelitian merupakan bagian
terpenting dalam melakukan penelitian, memungkinkan pengontrolan maksimal dalam
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi akurasi suatu hasil. Rencana juga dapat
digunakan sebagai petunjuk dalam perencanaan dan pelaksanaan untuk mencapai suatu
tujuan atau menjawab suatu pertanyaan dalam penelitian (Nursalam, 2013). Studi kasus
dibatasi oleh tempat dan waktu, serta kasus yang dipelajari yaitu berupa peristiwa,
aktivitas atau individu. Penelitian ini menggunakan rancangan studi kasus yaitu
menggambarkan asuhan keperawatan pada anak bronkopneumonia dengan masalah
bersihan jalan nafas tidak efektif.

Studi kasus dibatasi oleh tempat dan waktu, serta kasus yang dipelajari yaitu
berupa peristiwa, aktivitas atau individu. Penelitian ini menggunakan rancangan studi
kasus yaitu menggambarkan asuhan keperawatan pada anak bronkopneumonia dengan
masalah bersihan jalan napas tidak efektif

B. Batasan Istilah
Bronkopneumonia merupakan radang yang menyerang paru-paru dimana daerah
konsolidasi atau area putih pada paru-paru terdapat cairan atau seluler yang tersebar
luas disekitar bronkus dan bukan bercorak lobaris (Wijaya & Putri, 2013).
Bronkopneumonia dapat dijumpai pada bayi dan anak dibawah usia 6 tahun. Istilah
untuk Bronkopneumonia digunakan dalam menggambarkan pneumonia yang
26

mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi
di dalam bronki dan meluas ke parenkim paru (Smeltzer & Bare, 2013)
Untuk menghindari kesalahan dalam memahami judul penilitian, maka penliti
sangat perlu memberikan batasan istilah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1. Asuhan Keperawatan adalah suatu metode yang sistematis dan terorganisasi
dalam pemberian asuhan keperawatan, yang difokuskan pada reaksi dan respon
unik individu pada suatu kelompok dan perorangan terhadap gangguan
kesehatan yang di alami baik actual maupun potensial
2. Klien adalah yang mencari dan menerima perawatan medis. Klien dalam studi
kasus ini adalah 2 klien dengan diagnose medis dan masalah keperawatan yang
sama.
3. Bronkopneumonia adalah peradangan yang terjadi pada jaringan paru melalui
cara penyebaran langsung melalui saluran pernafasan.
4. Hipertermia adalah Suhu diatas kisaran normal karena kegagalan thermogulasi
(Nanda, 2015-2017)

C. Subyek Studi Kasus


Subjek penelitian adalah bagian dari populasi yang akan dilakukan dalam
penelitian yang merupakan bagian yang representative dan mempresentasikan karakter
atau ciri-ciri populasi (Herdiansyah, 2014). Untuk studi kasus tidak dikenal populasi
dan sample, namun lebih mengarah kepada istilah subjek studi kasus oleh karena yang
menjadi subjek studi kasus sekurang-kurangnya dua klien (individu, keluarga atau
masyarakat keleompok khusus) yang diamati secara mendalam, subjek kasus perlu
dirumuskan kriteria inklusi dan eksklusi.
Subjek penelitian ini diambil dari pasien dengan bronkopneumonia yang datang ke
ruang Sandat Rumkit Tk. II Udayana. Pemilihan subjek secara deskriptif yaitu cara
pengambilan sample dilakukan dengan memilih sample yang memenuhi kriteria
penelitian sampai kurun waktu tertentu sehingga jumlah sample terpenuhi. Jumlah
27

pasien bronkopneumonia yang datang ke ruang Sandat Rumkit Tk.. II Udayana


sebanyak 8 pasien dan yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 2 pasien. Kriteria
inklusi dan kriteria ekslusi sempel dari penelitian ini sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi
Kiteria inklusi adalah kriteria umum subjek penelitian dari suatu populasi target
terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2013). Karakteristik sample yang layak
diteliti yaitu:
1) Pada anak bronkopneumonia dengan masalah bersihan jalan nafas tidak
efektif
2) Keluarga memberikan izin dilakukan penelitian pada anaknya

b. Kriterian eksklusi
Kiteria eksklusi yaitu dengan mengeluarkan subjek yang tidak memenuhi
kriteria inklusi yang diperlukan untuk studi kasus karena berbagai sebab
(Nursalam, 2013).
Karakteristik sempel yang tidak memenuhi kriteria inklusi yaitu:
Pada anak dengan bronkopneumonia disertai penyakit penyerta lainnya atau
dengan komplikasi.

D. Fokus Studi Kasus


Fokus studi adalah kajian utama yang akan dijadikan titik acuan studi kasus yaitu
anak Bronkopneumonia dengan masalah bersihan jalan nafas tidak efektif.

E. Definisi Operasional
Pada bagian ini berisi tentang penjelasan atau definisi yang dibuat oleh peneliti
tentang fokus studi yang dirumuskan secara operasional yang akan digunakan pada
studi kasus dan bukan merupakan definisi konseptual yang berdasarkan literature.
Untuk menghindari perbedaan persepsi maka diperlukan penjelasan lanjut dari
variable sebagai berikut:
28

Tabel 3 Definisi Operasional


Variable Sub Variable Definisi Operasional Alat Ukur Waktu Cara
1 2 3 4 5 6
Bronkopneumonia Bronkopneumonia Wawancara 5 Dilakukan dengan
merupakan penyakit menit cara menanyakan
saluran pernafasan kepada keluarga

1 2 3 4 5 6
bagian bawah yang pasien apakah
biasanya diawali pasien mengalami
dengan infeksi demam tinggi,
saluran pernafasan batuk berdahak,
bagian atas dengan dan sesak
gejala utama demam
tinggi, batuk
produktif dengan
sputum, sesak, dan
terdapat wheezing
atau ronkhi

Bersihan jalan Bersihan jalan nafas Observasi dan 10 Dilakukan dengan


nafas tidak efektif tidak efektif nafas pemeriksaan menit cara observasi dan
adalah fisik melakukan
ketidakmampuan pemeriksaan fisik
seorang individu fokus pada
untuk membersihkan pernafasan dan
sekresi atau obstruksi jalan nafas
dari saluran
pernafasan untuk
mempertahankan
bersihan jalan nafas
Sumber: Nursalam, 2014

F. Lokasi dan Waktu Studi Kasus


1. Lokasi Studi Kasus
Studi kasus ini dilaksanakan di Ruang Sandat Rumah Sakit Tk. II Udayana
Denpasar beralamat di Jalan PB. Sudirman No. 1 Denpasar selama kurang lebih 5
hari perawatan.
2. Waktu Studi Kasus
Studi kasus dilaksanakan pada bulan April tahun 2019.
29

G. Pengumpulan Data
Jenis pengumpulan data yang digunakan dalam studi kasus ini adalah sebagai
berikut :
1. Wawancara
Adalah percakapan antara dua orang yang diarahkan oleh seseorang untuk
memperoleh keterangan. Dalam studi kasus ini, peneliti menggunakan 2 jenis
wawancara yaitu:
a) Autoanemnesa. Wawancara langsung dengan Klien
b) Aloanamnesa. Wawancara dengan keluarga Klien

2. Observasi dan Pemeriksaan fisik


Observasi merupakan hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian
untuk menyadari adanya rangsangan. Pengamatan dapat dilakukan dengan
seluruh alat indera, tidak terbatas hanya pada apa yang dilihat. (Saryono, 2013
& Muhklis, 2016). Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk
menyajikan gambaran realistis perilaku atau kejadian, untuk menjawab
pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia dan untuk evaluasi
yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek tertentuuntuk melaksanakan
umpan balik terhadap pengukuran tersebut.
Pemeriksaan fisik pada studi kasus ini menggunakan pendekatan IPPA :
Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi pada system tubuh Klien.

3. Studi Dokumentasi
Studi Dokumentasi adalah kegiatan mencari data atau variable dari sumber
berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat,
agenda dan sebagainya. Yang diamati dalam studi dokumentasi adalah benda
mati (Saryono, 2013 & Muhklis, 2016). Dalam studi kasus ini menggunakan
studi dokumentasi berupa catatan hasil data rekam medis, revie literature dan
pemeriksaan diagnostic serta data lain yang relevan.
30

H. Uji Keabsahan Data


Untuk memperoleh data dengan validitas tinggi maka uji keabsahan pada studi
kasus ini dilakukan dengan cara memperpanjang waktu pengamatan/tindakan
keperawatan minimal tiga hari, mencari sumber informasi tambahan menggunakan
triangulasi dari tiga sumber data utama yaitu pasien, perawat, keluarga pasien yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Uji keabsahan data dimaksudkan untuk menguji kualitas data atau informasi yang
diperoleh dalam penelitian sehingga menghasilkan data dengan validitas tinggi.
Disamping integritas peniliti (karena peniliti menjadi instrument utama), uji keabsahan
data dilakukan dengan :
1. Memperpanjang waktu pengamatan/tindakan, dalam studi kasus ini waktu yang
ditentukan adalah 3 hari, akan tetapi apabila belum mencapai validitas yang
diinginkan oleh peneliti maka waktu waktu untuk mendapatkan data studi kasus
diperpanjang 1 hari, sehingga waktu yang diperlukan adalah 4 hari.
2. Metode triangulasi merupakan metode yang dilakukan peneliti pada saat
mengumpulkan dan menganalisis data dengan memanfaatkan pihak lain untuk
memperjelas data atau informasi yang telah diperoleh dari responden, adapun
pihak lain dalam studi kasus ini adalah keluarga klien, perawat dan perawat
yang pernah mengatasi masalah yang sama dengan klien.

I. Analisa Data

Analisis data dilakukan sejak peneliti dirumah sakit, sewaktu pengumpulan data
sampai semua data terkumpul. Analisa data dilakukan dengan mengemukakan fakta
hasil penelitian, selanjutnya dituangkan dalam membandingkan dengan teori yang ada
dan selanjutnya dituangkan dalam opini pembahasan. Teknik analisis yang digunakan
dengan cara menarasikan jawaban-jawaban yang diperoleh dari hasil interpretasi
wawancara mendalam yang dilakukan untuk menjawab rumusan masalah. Teknik
analisis digunakan dengan cara observasi oleh peneliti dan studi dokumentasi yang
menghasilkan data untuk selanjutnya diinterpretasikan dan dibandingkan teori yang ada
31

sebagai bahan untuk memberikan rekomendasi dalam interpretasi tersebut. Data


dikumpulkan dari hasil WOD (wawancara, observasi, dokumen). Hasil ditulis dalam
bentuk catatan lapangan, kemudian disalin dalam bentuk transkrip (catatan terstruktur).
Dari hasil wawancara yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan dijadikan satu
dalam bentuk transkrip dan dikelompokkan menjadi data subjektif dan objtektif,
dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan diagnostik kemudian dibandingkan dengan
nilai normal. Penyajian data dapat dilakukan dengan label, gambar, bagan maupun teks
naratif. Kerahasiaan dari klien dijamin dengan jalan mengaburkan identitas dari klien.
Dari data yang disajikan, kemudian data dibahas dan dibandingkan dengan hasil-hasil
penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan perilaku kesehatan. Penarikan
kesimpulan dilakukan dengan metode induksi. Data yang dikumpulkan terkait dengan
data pengkajian, diagnosis, perencanaan, tindakan, dan evaluasi. Urutan dalam analisis
adalah:
1. Pengumpulan data
Data dikumpulkan dari hasil observasi dan dokumen. Hasil ditulis dalam bentuk
catatan lapangan, kemudian disalin dalam bentuk transkip (catatan terstruktur).

2. Mereduksi data
Data hasil wawancara yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan dijadikan
satu dalam bentuk transkip dan dikelompokkan menjadi data subjektif dan
objektif, dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan diagnostic kemudian
dibandingkan nilai normal

3. Penyajian data
Penyajian data disesuaikan dengan desain studi kasus deskriptif yang dipilih
untuk studi kasus, data disajikan secara tekstular/narasi dan dapat disertai
dengan cuplikan ungkapan verbal dari subjek studi kasus yang merupakan data
pendukung. Penyajian data juga dapat dilakukan dengan tabel, gambar.
Kerahasiaan dari klien dijamin dengan jalan mengaburkan identitas dari klien.
32

4. Kesimpulan
Dari data yang disajikan, data akan dibahas kemudian dibandingkan dengan
hasil penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan perilaku kesehatan.
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induksi. Data yang
dikumpulkan yang berisikan data dari pengkajian, diagnosis, perencanaan,
tindakan dan evaluasi

J. Etika Studi Kasus


Dalam studi kasus asuhan keperawatan klien yang mengalami Bronkopneumonia
dengan masalah Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif di Rumah Sakit Tk. II Udayana
Denpasar dengan etika penelitian yang diperhatikan adalah sebagai berikut:

1. Information sheet

Information sheet berisi tentang informasi tentang proses studi kasus yang akan
dilaksanakan oleh peneliti. Bentuk persetujuan antara peneliti dengan
responden peneliti dengan memberikan lembar persetujuan inform consent
tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar
persetujuan dengan menjadi responden.tujuan informed consend adalah agar
subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian dan mengetahui dampaknya. Jika
subjek bersedia maka mereka harus menandatangani hak responden

2. Informed consent
Informed consent merupakan suatu lembaran yang berisikan tentang permintaan
persetujuan kepada responden bahwa responden bersedia untuk menjadi
responden pada penelitian ini dengan membubuhkan tanda tangan pada
lembaran informed consent tersebut.
33

3. Anonimity

Penulis tidak akan mencantumkan identitas dari responden. Responden cukup


mencantumkan initial. Masalah yang memberikan jaminan dalam subjek
penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden
pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.

4. Confidentiality

Penulis akan menjaga kerahasiaan tentang semua hal yang sudah diceritakan
oleh responden, penulis tidak akan memberitahu kepada siapapun tentang cerita
responden tersebut. Kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun
masalah-masalah lainnya akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya
bebrapa data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil penelitian.

Anda mungkin juga menyukai