Anda di halaman 1dari 96

ABSTRAK

Peningkatan jumlah pengguna narkoba di Jakarta selalu naik tiap tahunnya.


Namun naikknya jumlah pengguna narkoba tidak diimbangi dengan fasilitas
tempat rehabilitasi yang dapat menampung para pengguna tersebut terutama di
daerah Jakarta Barat. Jakarta Barat sendiri menjadi tempat dengan angka
pengguna narkoba yang tinggi di Indonesia, namun belum ada tempat rehabilitasi
yang berada di Jakarta Barat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
dengan pendekatan korelatif, yang diharapkan dapat menghasilkan suatu desain
yang dapat membantu meningkatkan tingkat keberhasilan rehabilitasi di Indonesia
berdasarkan preseden dan juga standard-standard rehabilitasi yang ada di
Indonesia dengan pendekatan therapeutic architecture.

Kata kunci : Pengguna narkoba, therapeutic architecture

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyalahgunaan narkoba merupakan salah satu masalah yang masih mewabah


di masyarakat. Pengertian narkoba menurut Ghoodse yang dikutip dari artikel
liputan6.com, pengertian narkoba adalah zat kimia yang dibutuhkan untuk
merawat kesehatan, saat zat tersebut masuk kedalam organ tubuh maka akan
terjadi satu atau lebih perubahan fungsi didalam tubuh. Lalu dilanjutkan lagi
dengan ketergantungan secara fisik dan psikis pada tubuh, sehingga jika zat
tersebut dihentikan pengkonsumsiannya maka akan terjadi gangguan secara
fisik dan psikis. Namun karena perkembangan zaman, narkoba digunakan
untuk tujuan-tujuan yang tidak seharusnya.

Pada saat ini, penyalahgunaan narkoba tidak hanya menyerang satu lapisan
masyarakat, namun juga beberapa lapisan dalam masyarakat seperti kalangan
pelajar, polisi, maupun lapisan masyarakat lainnya. Penyalahgunaan narkoba
di Indonesia sudah sampai ke tingkat yang sangat mengkhawatirkan, fakta di
lapangan menunjukkan bahwa 50% penghuni LAPAS (Lembaga
Pemasyarakatan) disebabkan oleh kasus narkoba. Berita criminal di media
massa, baik media cetak maupun elektronik dipenuhi oleh berita tentang
penyalahgunaan narkoba.

https://media.neliti.com/media/publications/12297-ID-bahaya-
penyalahgunaannarkoba-serta-usaha-pencegahan-dan-penanggulangannya-suatu.pdf)

Mengutip dari kompas.com, Badan Narkotika Nasional menyatakan


bahwa pengguna narkoba atau zat adiktif lainnya pada tahun 2017 mencapai
angka 5 juta orang di Indonesia dan 600 ribu sampai 1,5 juta penggunanya
berada di Jakarta. Dengan hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Jakarta
merupakan salah satu kota dengan tingkat pengguna narkoba yang tinggi.

2
Menurut Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisiaris Jenderal Polisi
Heru Winarko menyebut, penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja
makin meningkat, dimana ada peningkatan sebesar 24 hingga 28 persen
remaja yang menggunakan narkotika.

Menurut kutipan yang diambil dari artikel tirto.id (2018), Koordinator


Advokasi Rumah Cemara, Subhan Panjaitan berpendapat bahwa tolak ukur
keberhasilan proses rehabilitasi adalah berhenti dari penggunaan, sehingga
seharusnya pada tiap tahunnya terdapat evaluasi mengenai berapa jumlah
pasien yang bisa terlepas dari penggunaan narkoba, namun sampai sekarang
belum ada data yang dihasilkan. Subhan merpendapat untuk mengetahui
tingkat keberhasilan rehabilitasi dapat diukur menggunakan indicator
peningkatan kualitas hidup dalam keberhasilan rehabilitasi seperti yang
digunakan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Ia berpendapat bahwa
dengan digunakannya tolak ukur peningkatan kualitas hidup, tidak menitik
beratkan pada masih atau tidak pasien rehabilitasi menjadi pemakai. Yang
menjadi perhatian adalah lebih kepada masalah pekerjaan, hubungan sosial,
pendidikan, keluarga, dan juga hal yang menyangkut produktivitas lainnya.
Tingkat kualitas hidup pasien harus dikur dari awal masa rehabilitasi,
pertengahan, dan juga akhir masa proses rehabilitasi.

Menurut kutipan dari artikel kompasiana.com (2018), pencegahan


penyalahgunaan narkoba terus dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional dan
Lembaga-lembaga masyarakat terkait. Penyuluhan narkoba merupakan
agenda wajib yang dilakukan oleh BNN, mulai dari tingkat sekolah, perguruan
tinggi, bahkan sampai lapisan-lapisan masyarakat lainnya. Selain melalui,
penyuluhan secara verbal, kampanye anti narkoba juga dilakukan melalui
media cetak, media massa, spanduk, ataupun billboard. "Memorandum of
Understanding" (MOU) terus di lakukan ke lembaga yang di anggap penting
dan perlu, baik Instansi Pemerintah, BUMN maupun swasta. Semua itu
dilakukan dalam rangka sinergitas untuk ikut berperan serta menanggulangi
masalah pengaruh bahaya narkoba kepada masyarakat. Walaupun hal ini

3
sudah dilakukan, namun jumlah orang pemakai narkoba tidak pernah
menurun, namun cenderung mengalami kenaikan.

Bantuan rehabilitasi bagi para pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan


narkoba di Indonesia diatur dalam UU Narkotika Pasal 54 yang berisi
“Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”. Berdasarkan data yang tercantum
dalam bnn.go.id, DKI Jakarta memiliki 6 tempat yang digunakan untuk
melakukan tahap rehabilitasi narkoba, padahal jumlah pengguna narkoba di
daerah Jakarta mencapai 1,5 juta jiwa, yang jika dihitung rasionya, 1 tempat
rehabilitasi harus menanggung beban 250.000 jiwa. Hal ini tergolong sedikit
jika dibandingkan dengan wilayah Jawa Barat yang satu pusat rehabilitasi
hanya menampung beban 59.000 jiwa. Karena masih minimnya tempat
rehabilitasi, sisa pasien lain pecandu narkoba ditangani oleh masyarakat
sekitar baik lewat pesantren maupun asrama bagi pecandu narkoba yang
didirikan secara pribadi.

Berdasarkan pada data yang ada diatas, dapat disimpulkan bahwa tempat
rehabilitasi bagi pengguna narkoba masih sangat minim, sehingga adanya
penambahan tempat rehabilitasi yang dilengkapi dengan fasilitas yang
mendukung harus ditingkatkan kembali yang dikaitkan dengan aspek-aspek
arsitektur yang terkait. Kualitas dari keberhasilan rehabilitasi itu sendiri masih
kurang jelas indikatornya. Fungsi edukasi belum terlalu membuahkan hasil
yang maksimal untuk mengurangi jumlah pengguna, karena pada faktanya
jumlah orang pengguna narkoba tidak berkurang setiap tahunnya, namun
cenderung naik dari tahun ke tahun.

4
1.2 Rumusan Masalah

1. Program ruang seperti apa yang bisa diinjeksi untuk melengkapi


tempat rehabilitasi?

2. Solusi arsitektur seperti apa yang dapat meningkatkan kualitas dari


proses rehabilitasi?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menggali manfaat yang bisa didapatkan dari tempat rehabilitasi itu


sendiri.

2. Mengetahui karakteristik tempat rehabilitasi yang dapat meningkatkan


kualitas dari proses rehabilitasi itu sendiri.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis, mengetahui karakter ruang secara arsitektur yang


dibutuhkan dalam mendesain tempat rehabilitasi bagi pecandu
narkoba.

2. Bagi pembaca, mengetahui bahwa banyak hal yang mempengaruhi


keberhasilan proses rehabilitasi.

3. Bagi pemerintah, untuk menjadi pertimbangan dalam membangun


tempat rehabilitasi yang memiliki kualitas yang baik.

5
1.5 Ruang Lingkup Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di yayasan ataupun organisasi yang sudah


terjun didalam bidang rehabilitasi narkoba seperti RSKO ataupun
pusat rehabilitasi lainnya.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan sampai 25 Oktober 2019.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam mendesain tempat rehabilitasi


adalah metode korelatif dengan menggunakan pendekatan relationship study.

1.7 Nilai Kebaharuan

Penelitian ini dilakukan sebagai tahap awal dari metode “design by research”
yang berarti desain yang dihasilkan merupakan sebuah respon solusi terhadap
permasalahan yang ada, terutama di daerah Tomang, Jakarta Barat. Desain
yang dihasilkan merupakan respon dari isu kurangnya tempat rehabilitasi
narkoba yang ada di Jakarta. Hasil desain diharapkan dapat menjawab
kurangnya tempat rehabilitasi narkoba, yang dilengkapi dengan program
ruang tambahan yang dapat menjadi nilai positif bagi orang yang datang dan
tentunya menjadi tempat rehabilitasi yang memiliki kualitas yang baik.

6
1.8 Kerangka Berpikir

Tabel 1.1 Kerangka Berpikir

1.9 Sistematika Pembahasan

a. BAB I - PENDAHULUAN

Memuat tentang latar belakang penelitian, tujuan, manfaat, ruang


lingkup penelitian, dan metode penelitian yang digunakan.

7
b. BAB II - LANDASAN TEORI

Membahas mengenai teori-teori arsitektur atau non arsitektural


yang akan digunakan sebagai pedoman dalam penelitian ini.

c. BAB III – METODOLOGI PENELITIAN

Memuat tentang metodologi penelitian, objek yang bersangkutan,


dan teknik pengumpulan data penelitian.

d. BAB IV – KRITERIA PERANCANGAN

Memuat kumpulan preseden dan juga kriteria perancangan desain.

e. BAB V – PEMBAHASAN

Membahas mengenai analisa tapak, konsep, strategi, dan simulasi


perancangan.

f. BAB VI– KESIMPULAN DAN SARAN

Memuat kesimpulan dari hasil penelitian dan juga saran yang


sifatnya membangun dan menambahkan nilai dari penelitian ini.

8
BAB II
KAJIAN TEORI

Teori Non Arsitektural

2.1 Teori Narkoba

2.1.1 Pengertian Narkoba

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009


tentang Narkotika, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-
golongan sebagaimana terlampir dalam UndangUndang ini.

Golongan Narkotika:

1) Golongan I. Contoh : Tanaman Papaver Somniferum L, Opium


mentah, Opium Masak (candu), Tanaman koka, daun koka, kokain
mentah, tanaman ganja, dan lain-lain.

2) Golongan 2. Contoh : Alfasetilmetadol, Alfameprodina, Morfin


metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya.

3) Golongan 3. Contoh : Asetildihidrokodeina

2.1.2 Faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkoba

Menurut kutipan dari Jurnal Frans Simangunsong, S.H., M.H


mengenai narkoba, ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang
menggunakan narkoba:

9
1) Penyebab dari sendiri

a. Ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan

b. Kepribadian yang lemah

c. Kurangnya percaya diri

d. Tidak mampu mengendalikan diri

e. Dorongan ingin tahu,ingin mencoba, ingin meniru

f. Dorongan ingin berpetualang

g. Mengalami tekanan jiwa

h. Tidak memikirkan akibatnya dikemudian hari

i. Ketidaktahuan akan bahaya narkoba .

2) Penyebab yang bersumber dari keluarga(orang tua).

a. Salah satu atau kedua orang tua adalah pengguna narkoba

b. Tidak mendapatkan perhatian,dan kasih sayang dari orang tua

c. Keluarga tidak harmonis (tidak ada) komunikasi yang terbuka


dalam keluarga)

d. Orang tua tidak memberikan pengawasan kepada anaknya

e. Orang tua terlalu memanjakan anaknya

f. Orang tua sibuk mencari uang/mengejar karir sehingga


perhatian kepada anaknya menjadi terabaikan.

3) Penyebab dari teman/kelompok sebaya

10
a. Adanya satu atau beberapa teman kelompok yang menjadi
pengguna narkoba

b. Adanya anggota kelompok yang menjadi pengedar narkoba

c. Adanya ajakan atau rayuan dari teman kelompok untuk


menggunakan narkoba

d. Paksaan dari teman kelompok agar menggunakan narkoba


karena apabila tidak mau menggunakan akan dianggap tidak
setia kawan

e. Ingin menunjukan perhatian kepada teman.

f. Penyebab yang bersumber dari lingkungan

g. Masyarakat tidak acuh atau tidak peduli

h. Longgarnya pengawasan sosial masyarakat

i. Sulit mencari pekerjaan

j. Penegakan hukum lemah

k. Banyaknya pelanggaran hukum

l. Kemiskinan dan pengangguran yang tinggi

m. Menurunnya moralitas masyarakat

n. Banyaknya pengedar narkoba yang mencari konsumen

o. Banyaknya pengguna narkoba disekitar tempat tingga.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab penyalahgunaan


narkotika pada seseorang. Berdasarkan kesehatan masyarakat,

11
faktor-faktor penyebab timbulnya penyalahgunaan narkotika, terdiri
dari:

a. Faktor Individu

Setiap orang memiliki perbedaan mengenai tingkat resiko


penyalahgunaan narkoba. Faktor yang mempengaruhi individu
terdiri dari 2 hal, yaitu faktor kepribadian dan konstitusi.
Penyebab seseorang menggunakan NAPZA antara lain:

1) Rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba, tanpa


memikirkan akibatnya.

2) Rasa ingin bersenang-senang

3) Ingin mengikuti trend

4) Ingin diterima oleh kelompok atau lingkungan

5) Menghindari kebosanan, masalah, dan kendala hidup

6) Pengertian yang salah bahwa penggunaan narkoba yang


sekali-sekali tidak menimbulkan kecanduan

7) Mengalami tekanan dari lingkungan

8) Tidak bisa menolak NAPZA

b. Faktor Lingkungan, meliputi:

1) Lingkungan Keluarga

Hubungan antar anggota keluarga yang tidak baik,


komunikasi yang tidak lancar antara orang tua dan anak,
dan juga kurangnya rasa saling menghormati antar anggota

12
sehingga hal ini mendorong seseorang menggunakan
narkotika.

2) Lingkungan Sekolah

Lingkungan sekolah yang kurang disiplin, letak sekolah


yang dekat dengan tempat hiburan, kurangnya kesempatan
yang diberikan sekolah untuk siswa mengembangkan diri
secara kreatif dan positif, dan juga adanya siswa pengguna
narkoba yang mendorong penggunaan narkoba bagi siswa
lainnya.

3) Lingkungan Teman Sebaya

Adanya rasa keinginan dari remaja yang ingin diterima


sepenuhnya didalam kelompok.

2.1.3 Dampak Penggunaan Narkoba

Dadang Hawari (Sofyan, 2005:157) menyatakan bahwa orang


yang mengalami ketergantungan pada narkoba, hidupnya akan
mengalami gangguan kejiwaan sehingga dirinya tidak mampu
untuk berfungsi secara sempurna didalam masyarakat. Kondisi-
kondisi tersebut dapat terlihat dari beberapa sisi, seperti rusaknya
fungsi sosial, pendidikan, dan juga ketidakmampuan dalam
mengendalikan diri sendiri. Pada peristiwa ini, muncul gejala
fisik seperti keluarnya air mata secara berlebihan, cairan hidung
berlebihan, pelebaran pupil mata, keluarnya keringat secara
berlebihan, mual, muntah, diare, berdirinya bulu kuduk,
menguap, naiknya tekanan darah, jantung berdebar-debar,
insomnia, sulit mengendalikan emosi, dan juga agresif.

Menurut Muh. Adlin (2003), penyalahgunaan narkoba juga


dapat menimbulkan akibat resiko, baik secara medis,
psikososial, dan juga secara hukum sebagai berikut:

13
Secara hukum, Undang Undang yang mengatur tentang
penyalahgunaan narkoba diatur dalam Pasal 78, Pasal 79, Pasal
81, dan juga Pasal 82 UU No. 22 tahun 1997. Menurut sudut
pandang medis, penyalahgunaan narkoba akan mengganggu
system saraf dan juga daya ingat, menurunkan kualitas berpikir,
merusak berbagai organ vital, antara lain ginjal, jantung, hati,
paru-paru, dan juga sumsum tulang belakang. Resiko hepatitis,
HIV/AIDS, dan overdosis juga bisa menjadi resiko terburuk.
Berdasarkan sudut pandang psikososial, penyalahgunaan
penggunaan narkoba dapat mengubah seseorang menjadi
pemarah, murung, cemas, depresi, paranoid, dan juga gangguan
kejiwaan, tidak peduli dengan norma yang berlaku, dan dapat
mendorong tindakan kriminal.

2.2 Rehabilitasi Narkoba

2.2.1 Pengertian Rehabilitasi

Rehabilitasi, menurut pasal 1 angka 23 KUHAP adalah: “hak


seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan,
kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat
penyidikan, penuntutan atau pengadilan karena ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undangundang
atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Rehabilitasi merupakan salah satu bentuk dari pemidanaan yang


bertujuan sebagai pemulihan atau pengobatan. Menurut Soeparman
rehabilitasi adalah fasilitas yang sifatnya semi tertutup, maksudnya
hanya orang-orang tertentu dengan kepentingan khusus yang dapat
memasuki area ini. .Rehabilitasi bagi narapidana di lembaga
pemasyarakatan adalah tempat yang memberikan pelatihan

14
ketrampilan dan pengetahuan untuk menghindarkan diri dari
narkotika.

Pemulihan narkoba sendiri menurut Gardiner (1996) pada (Garey,


2002) merupakan perjalanan yang menerus. Tidak menggunakan
narkoba lagi bukan berarti pecandu tersebut sudah pulih, melainkan
pulih disini berarti pecandu narkoba tersebut dapat kembali menjalani
hidup seperti orang lain di sekitarnya dan dapat mengelola hidup
dengan baik tanpa narkoba.

Istilah rehabilitasi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika terdiri dari 2 (dua) yaitu:

a. Rehabilitasi medis menurut undang-undang RI No. 35 Tahun 2009


adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk
membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. M. Min
memberikan pengertian rehabilitasi medis bahwa Rehabilitasi
medis adalah lapangan specialisasi ilmu kedokteran baru,
berhubungan dengan penanganan secara menyeluruh dari pasien
yang mengalami gangguan fungsi/ cedera (impairment),
kehilangan fungsi/cacat (disability), yang berasal dari susunan
otot-tulang (musculos keletal), susunan otot syaraf
(neuromuscular), serta gangguan mental, sosial dan kekaryaan
yang menyertai kecacatan tersebut.

b. Rehabilitasi Sosial yaitu proses kegiatan pemulihan secara terpadu


baik fisik, mental maupun social, agar bekas pecandu narkotika
dapat kembali melaksanakan fungsi social dalam kehidupan
masyarakat, sesuai Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika. Tujuan dari rehabilitasi medis ini
ada dua, yaitu:

15
a) Jangka panjang, dimana pasien segera keluar dari tempat tidur
dapat berjalan tanpa atau dengan alat paling tidak mampu
memelihara diri sendiri,

b) Jangka pendek, dimana pasien dapat hidup kembali ditengah


masyarakat, paling tidak mampu memelihara diri sendiri,
ideal dan dapat kembali kepada kegiatan kehidupan semula
atau mendekati.

b. Rehabilitasi Sosial menurut UU No.35 Tahun 2009 Tentang


Narkotika adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu,
baik fisik, mental maupun sosial, agar narapidana narkotika dapat
kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Rehabilitasi sosial dimaksudkan dalam kaitannya dengan layanan
kepada individu yang membutuhkan layanan khusus di bidang
sosial, yaitu meningkatkan kemampuan bersosialisasi, mencegah
agar kemampuan sosialnya tidak menurun atau lebih parah dari
kondisi sosial sebelumnya. Tujuan dari rehabilitasi sosial yaitu:
a) Memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri kesadaran
serta tanggung jawab terhadap masa depan diri, keluarga
maupun masyarakat, atau lingkungan sosialnya.

b) Memulihkan kembali kemauan dan kemampuan untuk


mendapatkan fungsi sosial secara wajar.

2.2.2 Tahapan Rehabilitasi

Tahapan rehabilitasi narkoba terdiri dari beberapa tahap, yakni:

1) Tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi dan stabilisasi)

Tahap ini pecandu diperiksa seluruh kesehatannya baik fisik dan


mental oleh dokter terlatih. Dokterlah yang memutuskan apakah
pecandu perlu diberikan obat tertentu untuk mengurangi gejala
putus zat (sakau) yang ia derita. Pemberian obat tergantung dari

16
jenis narkoba dan berat ringanya gejala putus zat. Dalam hal ini
dokter butuh kepekaan, pengalaman, dan keahlian guna
memdeteksi gejala kecanduan narkoba tersebut.

2) Tahap rehabilitasi nonmedis,

Tahap ini pecandu ikut dalam program rehabilitasi. Di Indonesia


sudah di bangun tempat-tempat rehabilitasi, sebagai contoh di
bawah BNN adalah tempat rehabilitasi di daerah Lido (Kampus
Unitra), Baddoka (Makassar), dan Samarinda. Di tempat
rehabilitasi ini, pecandu menjalani berbagai program diantaranya
program therapeutic communities (TC), 12 steps (dua belas
langkah, pendekatan keagamaan, dan lain-lain.

3) Tahap bina lanjut (after care),

Tahap ini pecandu diberikan kegiatan sesuai dengan minat dan


bakat untuk mengisi kegiatan sehari-hari, pecandu dapat kembali
ke sekolah atau tempat kerja namun tetap berada di bawah
pengawasan.

2.2.3 Standard Minimal Rehabilitasi

Dalam membuat pusat rehabilitasi yang baik maka diperlukan


beberapa standar oleh pemerintah dan juga standar-standar perancangan
untuk rehabilitasi secara umum.

2.2.3.1 Identifikasi Gejala Putus Zat Para Pecandu berdasarkan


Jenisnya

Secara umum semua pecandu narkoba mempunyai masalah putus zat.


Putus zat sendiri adalah gejala yang terjadi ketika
menggunakan zat narkoba. Masalah putus zat ini terjadi jika
para pecandu tidak menggunakan narkoba. Biasanya putus zat

17
ini lebih sering terjadi pada pecandu narkoba pada fase
stabilisasi.

18
19
Tabel 2.1 Identifikasi gejala putus zat berdasarkan pengguna (Sumber

:BNN, 2017)

2.2.3.2 Persyaratan Minimal

1. Sumber Daya Manusia

a. Dokter Umum terlatih minimal 1 orang

b. Perawat D III minimal 2 orang

c. Psikologi

d. Guru

e. Psikiater

f. Tenaga Pimpinan

g. Petugas tata usaha

h. Keuangan

i. Pesuruh

j. Petugas keamanan

k. Instruktur

l. Konselor

m. Pembimbing keagamaan

2. Sarana

20
1) Disediakan ruangan khusus untuk pemeriksaan

2) Seperangkat peralatan pemeriksaan kesehatan


sesuai standar yang berlaku
2.2.3.3 Sarana dan Prasarana Rehabilitasi

Dari Buku standar pelayanan terapi medik pusat rehabilitasi


narkoba yang disarankan oleh pemerintah harus memiliki
beberapa fungsi utama antara lain (BNN, 2003):

1. Sarana

a. Kantor

Fungsi kantor ini akan menjadi tempat


penyimpanan data yang diperlukan dalam proses
terapi ini.

b. Asrama

Sebagai tempat hunian untuk para penderita


ketergantungan narkoba yang sedang menjalani
perawatan di tempat rehabilitasi.

c. Ruang Kelas

Untuk memberi bekal kepada para pecandu


narkoba ini, agar saat keluar nanti bisa menjadi
orang yang berguna bagi masyarakat.

d. Ruang Konseling

Diperlukan untuk membantu memenuhi kebutuhan


pecandu narkoba dalam menghadapi masa-masa
sulit.

21
e. Ruang Ketrampilan

Ruang ketrampilan ini berfungsi untuk


menyalurkan bakat yang dimiliki oleh para
pecandu, beberapa kegiatan yang bisa disediakan
antara lain: Penyablonan, Kaligrafi , Menggambar,
Musik, dan lain sebagainya.

f. Aula

Ruang serbaguna dapat berfungsi untuk


mengadakan seminar, pelatihan, penyuluhan yang
dapat berfungsi untuk menguatkan para pecandu
narkoba serta meningkatkan ketrampilan mereka.

g. Dapur

Perlunya dapur untuk menyediakan makan bagi


para pasien medik yang merupakan tugas pusat
rehabilitasi sendiri.

h. Fasilitas olahraga

Biasanya fasilitas olahraga ini selalu menjadi


pelengkap di setiap pusat rehabilitasi narkoba, hal
ini ditujukan untuk membuat para pecandu bisa
melepaskan narkoba dengan melakukan kegiatan
yang positif

i. Ruang peribadatan

Telah diakui bahwa salah satu cara untuk


melepaskan diri dari kecanduan narkoba adalah
melakukan pendekatan agama dan berpegan teguh

22
pada nilai-nilainya yang bertentangan dengan
pemakaian narkoba.

j. Unit rehabilitasi medik

Fungsi ini adalah fungsi yang terpenting untuk


menjalani program terapi oleh para pecandu ini,
biasanya fungsi ini dilengkapi dengan fasilitas
poliklinik, UGD, ICU, R.Perawatan,
Laboratorium, Radiologi serta pendukung medis
dan non medis lainny

2. Prasarana

a. Jalan

b. Listrik

c. Air Minum

d. Pagar

e. Saluran air

f. Peralatan Kantor

g. Peralatan Pelayanan

h. Dan sebagainya

Untuk terlaksananya pusat rehabilitasi ini secara efektif maka


perlu untuk menyediakan sarana dan prasarana di atas sesuai
dengan kebutuhannya baik jumlah maupun jenisnya.

23
Selain itu ada juga perlunya pertimbangan untuk lokasi, agar
dapat tercipta lingkungan yang kondusif bagi pasien. Berikut
adalah beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan saat
pemilihan lokasi:

a. Ditetapkan lokasi luas tanah dan sesuai kebutuhan

b. Daerah tenang, aman dan nyaman

c. Kondisi lingkungan yang sehat

d. Tersedianya sarana air bersih

e. Tersedianya jaringan listrik

f. Tersedianya komunikasi telepon

g. Luas tanah proporsional dengan jumlah klien atau


residen yang ada

h. Hak pemakaian untuk peruntukkan lahan jelas

i. Mendapat dukungan masyarakat untuk proses


resosialisasi

Teori Arsitektural

2.3 Studi Antropometri

2.3.1 Antropometri Ruang Pasien

2.3.1.1. Antropometri Peralatan yang Digunakan

Reznikoff (1986) menyatakan bahwa fasilitas standard


yang digunakan didalam ruang pasien terdiri dari

24
tempat tidur yang bisa dinaik-turunkan (hi-low bed),
laci yang berada di samping tempat tidur, meja makan
yang bisa digunakan diatas tempat tidur, meja tinggi,
dan juga kursi geriatric yang memiliki sandaran
punggung tinggi.

Gambar 2.1. Anthropometri Tempat Tidur, Meja Makan, dan Kursi Ruang
Rawat

2.3.1.2 Panel Kontrol

Reznikoff (1986) menetapkan standar untuk peletakkan panel


control yang digunakan didalam ruang pasien. Panel tersebut
meliputi panel kontrol yang terdiri dari katub oksigen, rumahan
untuk tombol pemanggil perawat, jam digital, tombol alarm,

25
stop kontak, lampu yang berada diatas tempat tidur, lampu tarik
ulur, dan juga papan monitor dan perlengkapan outlet.

Gambar 2.2 Anthropometri Tempat Tidur, Meja Makan, dan Kursi Ruang

Rawat

2.3.1.3 Area Pribadi Sekitar Tempat Tidur Perseorangan dalam

Susunan Ganda

Panero dan Zelnik (1979) menetapkan lebar minimum area


tempat tidur pasien 251,5 cm, sehingga kedua sisi di
samping tempat tidur pasien memiliki lebar masingmasing
76,2 cm.

2.3.1.4 Ukuran ruang depan pintu untuk sirkulasi pengguna kursi


roda

Panero dan Zelnik (1979) menyatakan luas area yang ada


didepan pintu memiliki ukuran 152,4cm x 152,5 cm yang
dimaksudkan untuk mengakomodasi pengguna kursi roda.

26
Ruangan minimal yang dibutuhkan pengguna kursi roda
121,9 cm x 121,9 cm,

Panero dan Zelnik (1979) menetapkan luas area depan


pintu 152,4 cm x 152,4 cm untuk mengakomodasi pemakai
kursi roda. Sebuah kursi roda juga dapat digunakan dalam
area 121,9 cm x 121,9 cm, tetapi alokasi luasan ini terlalu
sempit dan harus dipandang sebagai ukuran yang paling
minimal.

2.3.1.5 Ukuran Lebar Pintu yang bisa dilalui Tempat Tidur Standard

Panero dan Zelnik (1979) menetapkan bahwa ukuran lebar


pintu berada diantara 116,8 – 121,9 cm, Ukuran tersebut
merupakan ukuran standard yang dapat memenuhi
sirkulasi tempat tidur pasien (121 cm x 99 cm).

Gambar 2.3. Standar Lebar Pintu yang dapat Dilalui Tempat Tidur

27
2.3.2 Antropometri Toilet Pasien

2.3.2.1 Penggunaan Toilet untuk Kursi Roda

Goldsmith (1984) memberikan beberapa alternatif luasan toilet


yang didasarkan pada penempattan pintu dengan peralatan toilet
utama seperti dudukan wastafel yang dapat mempermudah
pengguna kursi roda dalam menggunakan toilet.

Gambar 2.4. Standar Ukuran Toilet Difabel

2.3.2.2 Kloset

Goldsmith (1984) menetapkan jarak vertikal yang diperlukan


antara ketinggian air dan bibir dudukan harus tidak kurang dari 20
cm. Dengan demikian maka orang yang tidak dapat berjalan dapat
membersihkan diri tanpa beranjak dari kloset. Selanjutnya
Goldsmith juga menetapkan jarak bibir kloset dari lantai setinggi
47,5 cm.

2.3.2.3 Wastafel

Goldsmith (1984) menerangkan bahwa wastafel harus disediakan


tetapi tidak perlu untuk dapat dijangkau langsung oleh orang yang
sedang duduk di kloset. Wastafel sebaiknya ditempatkan di pojok
yang bukan merupakan jalan tempat orang keluar-masuk toilet.

28
Gambar 2.5. Standar Ukuran Wastafel Difabel

Goldsmith (1984) menetapkan bahwa ukuran wastafel minimal


50cm atau lebih, sedangkan panjangnya tidak terlalu dipentingkan.
Goldsmith (1984) menyarankan agar kran air sebaiknya dipasang
tidak kurang dari 10 cm ke arah depan dan melewati garis bibir
belakang, dan juga kurang lebih 10cm diatas bibir wastafel untuk
menyediakan ruang cuci tangan. Kran dengan bentuk pengungkit
lebih disarankan agar memudahkan orang yang hanya
menggunakan satu tangan. Goldsmith (1984) juga menyatakan
bahwa ukuran yang tepat untuk bibir wastafel yang digunakan oleh
pengguna kursi roda, berada pada ketinggian 67cm sampai 82 cm,
sementara bibir wastafel yang dipasang untuk orang yang bisa
berdiri berada pada ketinggian 90cm.

2.3.3.4 Cermin

Goldsmith (1984) menetapkan bahwa untuk orang normal


berdiri, ujung atas cermin dinding tidak boleh lebih rendah dari
180 cm di atas lantai, sementara ujung bawah tidak boleh lebih
tinggi dari 130 cm.

2.3.3.5 Pegangan Tangan

29
Goldsmith (1984) menyatakan bahwa pegangan tangan yang
memiliki bentuk horizontal dapat diletakkan disamping dudukan
dengan ketinggian sekitar 22,5 cm diatas bibir kloset. Panjang
minimum rel yang dibutuhkan adalah 40 cm, dan akan lebih baik
jika didesain lebih panjang untuk mempermudah pengguna kursi
roda.

2.3.3 Antropometri Ruang Rawat

2.3.3.1 Jarak Terhadap Ruang Pasien

Menurut, Malkin (1992), waktu yang digunakan untuk berjalan


dan kemampuan dalam mengunjungi pasien menjadi penting
dalam meminimalisir kendala dalam adanya keterbatasan tenaga
perawat. Semakin pendek perjalanan dan kemudahan dalam
suplai, maka akan lebih efektif bagi perawat sehingga pasien
akan mendapatkan lebih banyak waktu dari perawat. Jarak ruang
rawat terhadap ruang pasien yang dekat dapat memudahkan
jangkauan.

2.3.3.2 Hubungan Dengan Ruang Pendukung

Menurut De Chiara dan Challender (1990), perencanaan ruang


perawat harus memperhatikan sarana pendukung seperti tempat
penyimpanan linen, alat, dan suplai yang dibawa dari unit suplai
dan sterilisasi sentral. Sehingga jarak ruang perawat harus
diletakkan sedekat mungkin dengan ruang tersebut.

2.2.3.4 Area Kerja Perawat dan Jarak dalam Ruang

30
Menurut Panero dan Zelnik (1979) ketinggian meja pelayanan
harus nyaman untuk pengunjung dan tidak menghalangi
penglihatan perawat. Untuk itu ketinggian meja pelayanan yang
baik sekitar 106,7 – 109,2 cm dari lantai. Lebar alas kepala meja
38,1 – 45,7 cm, lebar area meja untuk kerja perawat 53,3 – 54,6
cm dan tinggi meja kerja 76,2 serta tinggi alas duduk kursi kerja
38,1 – 45,7 cm.

Gambar 2.6 Tampak Samping Area Kerja Ruang Perawat

2.2.4 Antropometri Koridor

Menurut Woodson (1981), koridor harus cukup lebar sehingga


orang tidak harus berjalan berhati-hati agar tidak menabrak
dinding, orang lain, atau perabot yang menempel pada dinding
atau dibawa dengan alat dorong. Sub koridor merupakan akses
pendukung yang menghubungkan antar ruang pelayanan yaitu
ruang perawat, ruang konsultasi dokter, ruang kepala ruang,
dapur, ruang obat, ruang linan dan ruang cuci. Pada subkoridor
ini tidak terdapat perabot apapun. Penggunanya adalah seluruh
staf keperawatan dengan perabot yang sering digunakan yaitu
kereta makan, kereta injeksi, dan kereta balut.

31
2.4 Peran Arsitektur dalam Proses Rehabilitasi

Menurut Morgenthaler dalam jurnal “Therapeutic Architecture”,


Konsep dari Therapeutic Architecture bukan menyatakan bahwa
arsitektur sendiri mempunyai kapasitas menyembuhkan pasien, namun
manipulasi ruang dan struktur dapat menyediakan faktor kenyamanan
lain seperti suara, warna, visual, bau, dan penerangan, dimana
semuanya ini berperan dalam tujuan penyembuhan.

2.3.1 Suara

Suara menjadi suatu aspek yang penting, karena suara seperti


kebisingan yang berlebihan dapat menyebabkan kondisi stress
dari pasien bertambah. Hal ini pun juga berlaku untuk para
pekerja yang ada. Menurut riset dari WHO, tingkat kebisingan
tidak banyak mempengaruhi saat orang mengerjakan hal yang
ringan , namun sebaliknya saat mengerjakan hal yang berat maka
tingkat kebisingan ini akan mempengaruhi banyaknya kesalahan
yang akan dilakukan oleh orang. (Ecophon, 2017)

32
Tabel 2.2. Hubungan kebisingan dengan pekerjaan (Sumber : WHO) Menurut
Jaramillo, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi suara melalui
bangunan antara lain:

a. Ketebalan

Ketebalan dari material bisa secara natural mengurangi tingkat


kebisingan yang akan masuk ke dalam bangunan.

b. Resonansi

Semakin banyak kesamaan material maka semakin mudah


resonansi pada bangunan terjadi, oleh karena itu menggunakan
material yang berbeda atau tidak simetri akan menguntungkan
saat ingin mengurangi resonansi.

c. Absorbsi

Meningkatkan pengaruh absobsi diantara rongga yang ada


dapat dilakukan dengan cara meletakkan material yang dapat
menyerap suara, biasanya dapat dicapai dengan menggunakan

33
material yang berpori seperti mineral fiber, Glass Fiber, open
cell foams atau material yang berserat lainnya.

NR
Material C Performance
Marble 0 Almost Reflective
Plastered Block Work
0.05 Very poor Absorption
Window 0.15 Low Absorption
Carpet On
Rubber underlay 0.55 Good Absorption
Mineral Fiber Almost Completely
Ceiling tile 0.95 Absoptive
Tabel 2.3. Acoustic absorption berdasarkan performa (Sumber: Architectural
Acoustics)

d. Detail material

Biasa hal-hal ini disebabkan oleh struktur yang tidak lengkap


seperti kurangnya detail untuk servis (MEP), ceiling ataupun
detail-detail lainnya.

e. Mengapit Transmisi

34
Gambar 2.7. Arah Suara (sumber: Isostore.com)

2.3.2 Penerangan

Penelitian menunjukkan bahwa lingkungan yang struktural bisa


membantu meningkatkan kestabilan emosi, mengurangi infeksi,
dan mencegah kejatuhan. Ruang dengan penerangan yang cukup
menunjukkan efek positif kepada pasien daripada ruang dengan
penerangan yang tidak cukup. (Abdelhay & Dewidar, 2016).
Penerangan sendiri dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu:

a. Penerangan Alami

Penerangan alami dicapai dengan memanfaatkan sinar


matahari untuk pencahayaan dalam ruangan. Biasanya hal ini
dicapai dengan membuka bukaan yang tepat pada desain.

b. Penerangan Buatan

Penerangan buatan ini biasanya dapat diukur dengan satuan


Lux. Untuk menentukan besar lux yang diperlukan maka akan
diperlukan standard. Dalam prakteknya, Lux yang tidak sesuai
dengan yang telah ditentukan standard dinyatakan dapat

35
merusak penglihatan. Berikut adalah standard yang dibutuhkan
untuk penerangan ruang berdasarkan aktivitasnya
:

Tabel 2.4. Standard lux secara umum (Sumber : Arif, 2001)

Fungsi Ruang Kegunaan penerangan Lux


Kantor Ruang kerja 350
Asrama Ruang kamar 200
Koridor saat siang 200
Koridor saat malam 50
Ruang Penerangan secara umum 250
Rehabilitasi Poliklinik 500
R perawatan 500
UGD 500
ICU 100

36
Laboratorium 500
Radiologi 300
Ruang Kelas Belajar (Membaca dan menulis) 200
Pencahayaan Umum untuk
Ruang Konseling pekerjaan 350
Ruang
Ketrampilan Berhubungan dengan gambar 400
Ruang Serbaguna Aktifitas publik 200
Dapur Memasak 300
Tabel 2.4. Standard Lux pada fungsi

2.3.3 Aspek Alam

Desain arsitektural dengan menggabungkan aspek alam, baik buatan


maupun eksisting akan mempunyai efek pengobatan yang
baik. (Morgenthaler, 2015)

2.3.4 Warna

Studi menunjukkan bahwa efek warna sudah digunakan untuk pusat


rehabilitasi. Pemilihan skema warna dengan cahaya yang baik dan
karya seni dapat membantu meningkatkan suasana hati dari pasien. (D.
Kirk Hamilton, 2009). Warna menjadi suatu pertimbangan saat
mewarnai dinding karena harus berinteraksi dengan warna
keseluruhan dan juga cahaya alami.

Menurut jurnal riset “Color in Healthcare Environment” oleh CHER


maka ada beberapa poin yang dapat menjadi acuan untuk mengatur
skema warna yang ada di dalam desain fungsi healthcare antara lain
(Tofle, Schwartz, Yoon, & Max-Royale, 2004) :

37
• Menurut Goldstein warna merah memiliki pengaruh dalam
memperburuk penyakit pasien, sedangkan warna hijau meningkatkan
kondisi pasien. Dinyatakan bahwa warna merah membuat kondisi
tidak normal ini menjadi lebih buruk dan warna hijau sebaliknya.

• Penelitian Jacobs dan Hustmyer mengatakan bahwa warna merah lebih


menggugah daripada warna hijau dan warna hijau lebih menggugah
daripada warna seperti biru dan kuning

• Dalam risetnya yang membandingkan antara pengaruh dari cahaya


merah dan cahaya biru, Gerard menyimpulkan bahwa cahaya berwarna
merah dapat menyebabkan meningkatnya tekanan darah, sistem
respirasi dan frekuensi dari kedipan mata.

• Ada juga pembagian warna secara aktif dan pasif yang bisa ditentukan
untuk berbagai fungsi dengan kegiatan yang berbeda.

Warna Aktif Warna Pasif


Merah Hijau
Kuning Violet Biru

Tabel 2.5, Kesimpulan warna dalam healthcare (Sumber : CHER)

2.3.5 Visual

Melihat pemandangan melalui jendela atau layar dapat mengurangi


tingkat stress dan kesakitan dan juga adanya kehadiran tanaman dalam
fasilitas rehabilitasi dapat mengangkat suasana hati dan juga
mengurangi gejala dari penyakit fisik. (Jyotna Chandra, 2001)

38
2.3.6 Ventilasi

Penelitian menunujukkan bukti bahwa ventilasi yang cukup dapat


membantu meningkatkan kondisi mental pasien. (Jyotna Chandra,
2001). Setiap aspek ini perlu untuk mendesain lingkungan kondusif
yang bisa mengurangi stress dan juga menyembuhkan para pecandu.

2.5 Studi Preseden

2.4.1 . Sister Margaret Smith Addictions Treatment Centre

Gambar 2.8 Perspektif eksterior Sister Margaret Smith Addictions Treatment Centre

Sister Margaret Smith Addictions Treatment Centre merupakan sebuah


pusat rehabilitasi yang menyediakan layanan rawat inap dan juga rawat jalan
bagi orang-orang yang memiliki kecenderungan kecanduan menggunakan
atau mengkonsumsi obat-obatan, alcohol, bahkan perjudian, dan masalah-

39
masalah lainnya. Pusat rehabilitasi ini dijalankan dengan menanamkan nilai
keagamaan dan kepercayaan.

Gambar 2.9. Site Plan Sister Margaret Smith Addictions Treatment Centre

Berdasarkan pada site plan diatas, dapat diketahui bahwa tiap ruangan
memiliki view ke area lanskap. Hal ini sesuai dengan aspek-aspek yang ada
dalam point pelaksanaan Therapeutic Architecture.

40
Gambar 2.10. Site Plan Sister Margaret Smith Addictions Treatment Centre

SMSATC dikonfigurasi sebagai dua loop yang berdampingan, yang


masing-masing memiliki aksesnya sendiri. Loop pertama menampung tiga
unit rawat inap: unit 10 tempat tidur untuk remaja, 15 unit tempat tidur untuk
pria dan 15 unit untuk wanita. Setiap unit sudah termasuk dapur bagi penghuni
untuk membantu persiapan makanan. Loop kedua mengakomodasi fasilitas
publik dan fungsi administrasi, termasuk gym, ruang terapi seni, dan sejumlah
ruang konseling individu dan kelompok. Tiga halaman memberikan
pencahayaan alami dan pemandangan ke semua ruang yang ditempati secara
teratur.

SMSATC juga memiliki fasilitas pendukung seperti lapangan basket


semi indoor ataupun outdoor yang dapat digunakan oleh para pasien yang
sedang melakukan proses rehabilitasi.

41
Gambar 2.11. Site Plan Sister Margaret Smith Addictions Treatment Centre

2.4.2 Rehabilitation Centre Groot Klimmendaal

Groot Klimmendaal Rehabilitation Center merupakan salah satu tempat


rehabilitasi yang memiliki konsep yang berbeda dengan tempat rehabilitasi
lainnya. Image Groot Klimmendaal ini dibentuk bukan hanya sebagai tempat
rehabilitasi bagi kelompok-kelompok tertentu, namun juga menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat. Tempat ini didesain untuk merangsang dan
meningkatkan kesejahteraan pasien yang dapat memberikan dampak positif
untuk waktu yang panjang.

42
Gambar 2.12. Eksterior Groot Klimmendaal Rehabilitation Center

Secara arsitektur, penggunaan kaca pada material eksterior bisa


menjadi solusi karena meningkatkan kualitas visual pada bangunan yang dapat
membantu proses therapeutic architecture. Selain memiliki pencahayaan alami
yang baik, bangunan ini dikelilingi oleh pohon-pohon sehingga hal ini bias
menjadi pemandangan bagi para pasien rehabilitasi yang ada. Jika dilihat dari
site plannya, bangunan ini terdapat di tempat yang masih asri dan memiliki
sumber daya alam yang banyak, sehingga menjadi nilai tambah bagi pusat
rehabilitasi ini.

43
Gambar 2.13. Site Plan Groot Klimmendaal Rehabilitation Center

Gambar 2.14. Denah Level -1 Groot Klimmendaal Rehabilitation Center

44
Gambar 2.15. Denah Level 0 Groot Klimmendaal Rehabilitation Center

Gambar 2.16. Denah Level 1 Groot Klimmendaal Rehabilitation Center

Gambar 2.17. Denah Level 2 Groot Klimmendaal Rehabilitation Center

45
Gambar 2.18. Denah Level 3 Groot Klimmendaal Rehabilitation Center Legenda:

1. Pintu Masuk

2. Kantor

3. Gymnasium

4. Kolam Renang

5. Teater

6. Restoran

7. Fitness Center

8. Ruang Pasien

9. Living Room

10. Ronald McDonal House

11. Void

Dari program ruang yang tertera diatas, rehabilitation center ini


memiliki banyak sekali program-program yang dapat meningkatkan tingkat
interaksi bagi pengguna dan penghuninya sehingga dapat menimbulkan
dampak yang positif,

46
Gambar 2.19. Interior Groot Klimmendaal Rehabilitation Center

Gambar 2.20. Interior Groot Klimmendaal Rehabilitation Center

Dari sisi interior, warna-warna yang digunakan banyak mengandung


unsur-unsur warna cerah karena dapat memantulkan cahaya tinggi sehingga
dapat membantu efisiensi penyebaran cahaya. Penggunaan warna kuning

47
memberikan kesan kebahagiaan dan kehangatan, sedangkan warna biru
memberikan warna ketenangan.

Untuk pembagian zoningnya sendiri, lantai -1 sampai 1 memiliki fungsi


public yang dominan seperti gymnasium, fitness center, swimming pool,
restoran, dan lain-lain. Sedangkan untuk lantai 2-3 memiliki fungsi yang
cenderung private, namun tetap diletakan ruang-ruang public untuk
berinteraksi.

Gambar 2.21. Potongan Groot Klimmendaal Rehabilitation Center

Gambar 2.22. Potongan Groot Klimmendaal Rehabilitation Center

48
Berikut merupakan tabel luasan ruang pada Groot Klimmendaal

Rehabilitation Center:
Fungsi Ukuran
Kantor 30-40m2
Kamar Pasien 25 m2
Gymnasium 143 m2
Kolam Renang dan fasilitas 621 m2
pendukung
Fitness Center 340 m2
Living room 225 m2
Tabel 2.6. Kesimpulan Ukuran Ruang

Gambar 2.23 Potongan Groot Klimmendaal Rehabilitation Center

49
Gambar 2.24. Hubungan Antar Ruang Groot Klimmendaal Rehabilitation Center

2.4 Pisau Analisa

Berdasarkan teori-teori diatas yang membahas tentang penyalahgunaan


narkoba, tempat rehabilitasi, dan therapeutic architecture, dapat diambil
point-point sebagai berikut:

1. Narkoba merupakan salah satu permasalahan besar yang sulit


ditanggulangi, sehingga dibutuhkan tempat rehabilitasi yang memang
bisa mengedukasi para pengguna narkoba dan juga masyarakat luas.

2. Tempat rehabilitasi harus bisa memumpuni tahapan-tahapan rehabilitasi


yang sudah ditetapkan oleh undang-undang dan dasar-dasar pemenuhan
tempat rehabilitasi.

3. Tempat rehabilitasi harus mengikuti standar-standard antropometri, baik


mengenai perabot ataupun ukuran ruang yang dibutuhkan.

4. Therapeutic architecture dapat membantu pasien untuk menjalani proses


rehabilitasi dengan nyaman dalam aspek kenyamanan bangunan tempat
dimana rehabilitasi dijalankan.

50
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan adalah metodologi korelatif yang


didasarkan pada relatiohship study, karena pada penelitian kali ini penulis
ingin mengetahui hubungan antara tingkat ruang rehabilitasi terhadap
keberhasilan proses rehabilitasi yang dilakukan oleh para pengguna narkoba.

3.2 Subjek dan Objek Penelitian

1) Subjek Penelitian

Subjek penelitian pada kasus ini adalah orang-orang yang


menggunakan narkoba di daerah Jakarta Barat.

2) Objek Penelitian

Objek yang diteliti dalam kasus ini adalah panti rehabilitasi/ tempat
rehabilitasi bagi pengguna narkoba.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan untuk melakukan penelitian


ini antara lain:

1) Wawancara

Penulis akan melakukan kegiatan wawancara kepada orang yang


sudah pernah melakukan proses rehabilitasi, orang yang sedang
melakukan rehabilitasi, dan petugas tempat rehabilitasi yang

51
dimaksudkan untuk mengetahui kondisi yang terjadi pada tempat
rehabilitasi yang sudah ada dan mencari informasi-informasi selama
proses rehabilitasi.

2) Observasi Lapangan

Penulis melakukan observasi ke tempat rehabilitasi untuk melihat


seberapa lengkap dan efisien dalam penanggulangan pencegahan
narkoba melalui proses rehabilitasi. Tempat yang dipilih penulis
adalah Ashefa Griya Pusaka, yang merupakan sebuah tempat
rehabilitasi yang berada di daerah Ragunan, Jakarta Selatan.

3) Studi Literatur

Menjadikan teori yang sudah dikumpulkan sebagai data dan dasar


dalam mendesain tempat rehabilitasi yang berkualitas, yang dapat
mengedukasi para pengguna narkoba maupun masyarakat luas.

52
BAB IV
KRITERIA PERANCANGAN

4.1 Observasi Lapangan

4.1.1 Ashefa Griya Pusaka

Observasi lapangan dilakukan di Ashefa Griya Pusaka Rehabilitation


Center yang berada di Jl. Margasatwa No.46, RT.1/RW.7, Jagakarsa, Kec.
Jagakarsa, Kota Jakarta Selatan.

Gambar 4.1 Logo Ashefa Griya Pusaka

Ashefa Griya Pusaka merupakan sebuah tempat rehabilitasi narkoba yang


terdiri dari 7 unit kamar rehabilitasi yang terdiri dari tipe Suite, VIP, dam VVIP.
Hal ini didasarkan pada fasilitas yang didapatkan oleh pasien.

53
Gambar 4.2 Tampak Depan Bangunan

4.1.1.1 Proses Rehabilitasi

1. Proses Detoksifikasi
Detoksifikasi merupakan proses pemeriksaan medis yang dilakukan untuk
mengetahui seberapa jauh pasien menggunakan narkoba (assessment).
Proses ini biasanya dilakukan selama 7 hari dan pada akhirnya akan
dilakukan konseling keluarga untuk mengkomunikasikan seberapa jauh
tingkat penggunaan narkoba dari pasien.
2. Tahap Perawatan
a. Rawat Jalan
Setelah mengetahui tingkat penggunaan narkoba dari pasien,
pasien dapat mengikuti proses rawat jalan yang dilakukan dengan
melakukan kunjungan satu seminggu sekali. Setiap satu kali
kunjungan, akan dilakukan pengecekkan kesehatan dan gejala
putus zat kepada pasien. Selain itu, pasien juga melakukan
kegiatan konselling yang disesuaikan dengan kebutuhannya
sendiri (konseling kelompok atau konseling pribadi).
b. Rawat Inap
Proses rawat inap dilakukan selama 1-3 bulan yang terdiri dari
kegiatan primary, yaitu pembentukan karakter, emosional,
intelektual, spiritual, vokasional, dan survive.
3. Re-entry
Re-entry merupakan sebuah proses terakhir rehabilitasi, dimana
pasien sudah mulai kembali beradaptasi dan bersosialisasi dengan
masyarakat luar diluar komunitas residensial yang dipersiapkan.

54
Untuk memenuhi kebuthan kegiatan rehabilitasi, Ashefa Griya Pusaka
memiliki beberapa ruangan seperti:

Nama Ruangan Jumlah Kapasitas

Ruang Dokter 1 2-3 orang

Ruang Manajemen 1 15 orang

Ruang Konseling 1 2 orang

Ruang Kelas 1 7-10 orang

Fitness Center 1 7-10 orang

Kolam Renang 1 7-10 orang

Ruang Komunal 1 7-10 orang

Ruang Keagamaan 1 -

Ruang Jenguk 1 10-12 orang

Berdasarkan program-program yang ada diatas, hanya beberapa ruangan


yang bisa diakses public, yaitu receptionist dan ruang kunjungan, karena daerah
rehabilitasi harus memiliki tingkat keamanan yang tinggi, untuk menghindari hal-
hal yang tidak diinginkan.

Berikut merupakan dokumentasi dari Klinik Rehabilitasi Narkoba Ashefa


Griya Pusaka:

55
Gambar 4.3 Menuju Resepsionis (Ruang Tunggu)

Gambar 4.4 Resepsionis

Gambar 4.5 Ruang Kunjungan

56
Gambar 4.6 Fitness Center

Gambar 4.7 Ruang Komunal

Gambar 4.8 Ruang Makan

57
Gambar 4.9 Kolam Renang

Gambar 4.10 Ruang Kelas

Gambar 4.11 Ruang Dokter dan Konselor

58
Ashefa Griya Pusaka juga memiliki satu tempat rehabilitasi yang terletak di
daerah Antasari, Jakarta Selatan. Yang membedakan 2 tempat ini adalah kelas dari
tempat rehabilitasi ini karena tempat rehabilitasi yang terletak di Antasari memiliki
kapasitas 25 pasien yang terdiri dari pasien kelas 1-3. Kelas 1 terdiri dari 8 tempat
tidur, kelas 2 terdiri dari 6 tempat tidur, dan kelas 1 terdir dari 2 tempat tidur. Karena
menampung pasien lebih banyak, personil dokter dan konselor yang dibutuhkan
juga lebih banyak. Tempat rehabilitasi ini memiliki 4 orang dokter, 4 orang
konselor, 10 orang pegawai, dan 8 orang yang mengurus administrasi.

4.2 Tabel Kapasitas Ruang

Berdasarkan data yang didapatkan dari Reserse Narkoba Polres Metro


Jakarta Barat, terdapat +/- 300 orang yang ditangkap atas kepemilikan narkoba.
Dengan jumlah tersebut jika dikalkulasikan, 1 orang pasien rata-rata bisa
menghabiskan 1 bulan lamanya untuk melakukan proses rehabilitasi. Jika dalam
setahun terdapat 300 pasien, dalam sebulan tempat rehabilitasi ini dapat
menampung 32 orang pasien untuk melakukan rehabilitasi, sehingga tempat ini
dapat menampung hampir semua pengguna narkoba di Jakarta Barat.

4.3 Kriteria Perancangan

Berdasarkan studi preseden dan hasil observasi lapangan yang telah


dilakukan, berikut merupakan kriteria-kriteria desain yang diperlukan untuk
merancang pusat rehabilitasi narkoba di Tomang, Jakarta Barat:

1. Pusat rehabilitasi yang mementingkan aspek seperti yang tertera pada


therapeutic architecture, seperti pengaturan cahaya, warna, suara,
maupun ventilasi.

2. Pusat rehabilitasi yang dilengkapi dengan fasilitas olahraga yang


memadai seperti gymnasium, fitness center, maupun kolam berenang.

3. Pusat rehabilitasi yang memiliki olah lanskap yang dapat menunjang


proses penyembuhan dari pasien rehabilitasi.

59
4. Pusat rehabilitasi yang dilengkapi dengan tempat ibadah yang sesuai
dengan agama masing-masing sehingga tidak menimbulkan
kecemburuan social.

5. Pusat rehabilitasi dengan ruang komunal yang dapat meningkatkan


interaksi sesama pengguna.

6. Sirkulasi yang dinamis agar mempermudah aksesibilitas pasien,


pengelola, maupun pengunjung.

7. Menginjeksi fungsi-fungsi komunitas outdoor agar memaksimalkan


peran landscape dalam penyembuhan pasien.

Berdasarkan poin-poin diatas, berikut merupakan tabel kebutuhan program


ruang:

Nama Ruangan Kapasitas Luas (m2) Keterangan

Receptionist 3-4 orang 20 m2 Publik

R. Security 1-2 orang 8 m2 Publik

R. Kunjungan 10-12 orang 40 m2 Publik

Toilet (visitor) 2-3 orang 15 m2 Publik

Gedung kamar 25-32 orang 160 m2 Private

Kolam Renang - 100 m2 Private

Lapangan Olahraga - 100 m2 Private

Ruang Dokter 2-3 orang 16 m2 Private

Ruang Konseling 1-2 orang 12 m2 Private

60
Ruang Lab. 2-3 orang 20 m2 Private

Ruang Komunal 25-30 orang 100 m2 Private

Ruang Keagamaan 25-30 orang 100 m2 Private

Total 691m2

61
BAB V
SIMULASI PERANCANGAN

5.1 Analisa Tapak

Lokasi tempat rehabilitasi in terletak di Jl. Letjen S. Parman No.Kav 108,


RT.8/RW.3, Tomang, Kec. Grogol petamburan, Kota Jakarta Barat, Daerah
Khusus Ibukota Jakarta.

Gambar 5.1 Tapak Pusat Rehabilitasi

Luas: 3300m2
KDB: 50%
KLB: 3,5
GSB: 16
KDH: 30
KTB: 55

5.1.1 Analisa Mikro

62
1) Rencana Tata Lahan

Gambar 5.2 Tapak Pusat Rehabilitasi


Berdasarkan rencana tata kota, site ini memiliki fungsi
perkantoran dan bisnis professional.
2) Strength
Ada beberapa kekuatan yang dimiliki site ini, antara lain:
• Terletak disebelah jalan arteri, sehingga akan mempermudah
akses bagi pengunjung.
• Berada di salah satu pusat kegiatan Jakarta Barat, sehingga
mudah dijangkau dan diketahui oleh banyak orang
3) Analisa Arsitektur
1. Analisa Fungsi Sekitar Tapak
• Rumah Sakit
Berdasarkan pemetaan diatas, tapak ini terletak di daerah
yang strategis dan tepat, karena dalam radius 2km terdapat
banyak rumah sakit, karena bagaimanapun sebuah tempat
rehabilitasi biasanya berhubungan dengan instansi-
instansi medis.

63
Gambar 5.3. Diagram Persebaran Rumah Sakit
Berdasarkan pemetaan diatas, dalam radius +/- 2km, site ini
diapit oleh beberapa fasilitas rumah sakit, seperti Rumah
Sakit Royal Taruma, RS. Sumber Waras, RSUD Tarakan,
dan Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.
• Kantor Polisi

Gambar 5.4. Diagram Persebaran Kantor Polisi

64
Berdasarkan pemetaan diatas, tapak ini terletak di dekat 2
kantor polisi, yaitu Polsek Tanjung Duren dan Polres
Jakarta Barat, sehingga jarak yang ditempuh jika ada
keperluan rehabilitasi tidak terlalu jauh, mudah dijangkau,
dan efektif.

2. Analisa Aksesibilitas
Karena terletak dijalan arteri, site ini mudah diakses dan
dijangkau. Hal ini menjadi nilai plus bagi site ini. Selain
itu, site ini dekat dengan halte transjakarta dan stasiun
kereta api yang makin mempermudah aksesibilitas.

Gambar 5.5. Diagram Sirkulasi dan Aksesibilitas

65
3. Analisa Kebisingan
Karena terletak dijalan utama, site ini memiliki
kekurangan yaitu memiliki tingkat kebisingan yang tinggi
karena dilalui banyak kendaraan dan aktivitas-aktivitas
kendaraan.

Gambar 5.6. Diagram Kebisingan


Kebisingan tertinggi disebabkan lalu lalang kendaraan
yang berada didepan site, yaitu di Jalan S. Parman, karena
merupakan salah satu jalan utama di Jakarta. Selain itu
kebisingan juga disebabkan oleh jalan kecil dan aktivitas
warga yang berada dibelakang site, namun memiliki
frekuensi yang jauh lebih kecil dibanding jalan utama
karena lebar jalan yang kecil.

66
4) View keluar Tapak

Gambar 5.7. View didepan site


View dari dalam site mengarah ke fly over yang berada didepan
tapak dan juga mengarah ke Mall Taman Anggrek dan APL Tower
yang tepat didepannya. Namun view mall dan Gedung perkantoran
tersebut juga terhalang fly over.

Gambar 5.8. View didepan site

Meski memiliki pedestrian way didepan site, namun tempat pejalan


kaki ini tidak dirancang dengan baik dan tidak tertata dengan rapi.
Selain itu, karena adanya

67
Gambar 5.9. View dibelakang site ( Jl. Gelong Baru)
Gambar diatas menunjukkan keadaan dibelakang site. Sama seperti
didepan site, tempat ini juga tidak memberikan view yang menarik dan
bagus ke dalam site.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa site ini tidak memiliki vista
yang bagus dan menarik yang mengarah keluar site.

5.2 Experimental Workshop

5.2.1 Ruang Lamunan

Dari beberapa teknik yang terdapat di buku architecture folding, terpilihlah


3 opsi yang digunakan untuk membuat ruang lamunan, yaitu fold, twist,
dan cut. Kertas diolah menggunakan ketiga teknik tersebut sehingga
menghasilkan massa seperti gambar disamping dan secara tidak disadari
menghasilkan ruang lamunan.

68
Gambar 5.10. Penggunaan Teknik FOLD, CUT, TWIST dalam workshop

5.2.2 Tarian dan Ruang

Tarian kontemporer yang dipilih adalah tarian duet. Proses yang dilakukan
adalah dengan cara mengambil 9 gerakan yang dianggap menarik, lalu
setiap gerakan diambil titik-titik yang menciptakan suatu outline pada tiap-
tiap gerakan. Setelah semua gerakan sudah membentuk outline, dibuatlah
maket menggunakan bahan dasar tanah liat yang lalu digabungkan sesuai
dengan urutan tarian yang ada.

69
Gambar 5.11. Tarian Duet

Gambar 5.12. Clay yang di Gabungkan

5.2.3 Teks Terbuka

Dalam workshop 3, kami melakukan analisa spasial dari denah rumah Villa
Stein yang didesain oleh Le Corbusier. Lalu dari denah tersebut dipilih
sebuah bagian dengan ukuran yang sudah ditentukan yaitu 12x12cm.
Setelah terpilih, dilakukan pembagian berdasarkan hatch yang diberikan
motif berbeda. Sehingga munculah 2 bentuk geometri berupa persegi

70
panjang dan segitiga, yang memiliki ketinggian yang berbeda-beda yang
menimbulkan kesan dinamis pada maket.

Gambar 5.13. Workshop Text Terbuka

71
5.2.4 Agregasi Ruang

Agregasi ruang dihasilkan dari penggabungan workshop folding paper,


tanah liat, dan juga maket akrilik. Penggabungan dilakukan dengan cara
melakukan overlay semua output workshop 1-3 dan setelah semua telah di
overlay, hasilnya di print dan direalisasikan dalam bentuk 3D maket namun
tetap berdasar pada maket-maket workshop yang telah dibuat selanjutnya.

Gambar 5.14. Workshop Agregasi Ruang

5.2.5 Sebuah Notasi

Hasil akhir gambar disamping terbentuk dari 3 proses, yaitu pertama


melakukan overlay foto maket yang terbuat dari cardboard menggunakan
kertas kalkir, melakukan penggambaran outline berdasarkan maket. Lalu
proses kedua adalah melakukan overlay untuk kedua kalinya menggunakan
kertas kalkir. Sebuah text dibacakan dan setiap kata yang keluar
direpresentasikan kedalam bentuk garis garis berdasarkan imajinasi masing-
masing. Tahap ketiga yang dilakukan adalah menggabungkan garis yang

72
ada pada kedua kertas kalkir yang sudah berisi coretan tangan yang
kemudian diwarnai menggunakan 8 aturan warna yang sudah ditentukan.

Gambar 5.15. Workshop Sebuah Notasi

5.2.6 Multi Dimensi Permintakan

Setelah menghasilkan output dari workshop 5, hasil penggambaran diwarnai


menggunakan warna-warna yang telah ditetapkan. Warna terdiri dari
beberapa jenis:
1. Kuning muda = subconcious
2. Kuning tua = statis
3. Biru = served
4. Ungu = servant
5. Hijau Muda = publik
6. Hijau Tua = private
7. Orange = concious
8. Pink = dinamis
Lalu hasil dari gambar tersebut direalisasikan kedalam bentuk maket yang
merepresentasikan warna dan artinya.

73
Gambar 5.16. Workshop Multi Dimensi Permintakan

5.2.7 Pergerakkan Sebagai Sirkulasi

Melakukan penggambilan maket manilla lalu di print dan di overlay


menggunakan 3 lembar kertas kal Membuat garis-garis linear yang
memiliki awalan dan akhiran sebanyak 3 alternatif, yang pada akhirnya
ketiga alternatif sirkulasi ini dijadikan menjadi satu kesatuan sehingga
menjadi sirkulasi yang utuh, yang terbagi menjadi sirkulasi primer,
sekunder, dan tertier yang membentuk sirkulasi didalam bangunan.

Gambar 5.17. Workshop Sirkulasi

5.2.8 Lapisan Fungsi

Berdasarkan workshop sirkulasi yang dilakukan sebelumya, terbentuklah


ruang-ruang yang terbentuk dari sirkulasi tersebut. Saat memasuki massa
akan disambut dengan fungsi statis yang diapit oleh fungsi dinamis dengan

74
pola sirkulasi yang linear, yang pada suatu bagian tertentu memecah ke
fungsi-fungsi lainnya.

Gambar 5.18. Workshop Lapisan Fungsi 1

Gambar 5.19 Workshop Lapisan Fungsi 2

5.2.9 Struktur

Dalam workshop kali ini, pembuatan maket ditujukan untuk mengetahui


keterbangunan dari massa-massa itu sendiri (tektonika) dan studi prioritas
penyusunan fungsi dan ruangnya. Struktur yang digunakan dalam massa
disamping adalah struktur point (kolom), struktur bentang lebar, dan juga
penggunaan selubung sebagai struktur.

75
Gambar 5.20. Workshop Struktur

5.2.10 Selubung

Selubung yang direpresentasikan pada foto maket disamping memiliki arti


yang berbeda-beda. Dari gambar disamping, representasi stamp pada tiap
selubung didasarkan pada pemilihan material yang akan digunakan. Pada
fungsi dinamis, selubung berfungsi sebagai facade dan sebagai sistem
struktur pembentuk massa. Pada maket disamping, terdapat 3 jenis stamp
yang berbeda.

76
Gambar 5.21. Workshop Selubung
5.2.11 Photogrametry

Dapatkan foto maket sekurang-kurangnya 360 derajat, dan masukkan fotonya


ke dalam software 3D seperti Agisoft atau Autodesk Recap. Model 3D
tersebut nantinya digunakkan untuk mempermudah proses pembuatan 3D
model digital.

5.3 Konsep Perancangan

Konsep yang digunakan dalam perancangan ini adalah Natural Healing,


dimana diharapkan tempat rehabilitasi narkoba ini dapat membantu penyembuhan
baik secara disadari atau tidak, dengan memperhatikan aspek-aspek yang telah
ditentukan oleh pemerintah, maupun dengan memperhatikan teori-teori
Therapeutic Architecture yang membantu dalam proses penyembuhan pasien
pengguna narkoba seperti kualitas visual dalam berupa pemilihan pemilihan
warna yang sesuai, view organik, maupun penggunaan-penggunaan material.

5.4 Penerapan Strategi Perancangan

5.4.1 Strategi Perancangan

Untuk merancang Pusat Rehabilitasi yang sesuai, maka ditetapkanlah


beberapa kriteria berdasarkan beberapa aspek, seperti:
1. Lokasi
• Karena berada disamping jalan utama, hal ini membuat massa bangunan
diletakkan menjorok kedalam agar mengurangi tingkat kebisingan yang
dihasilkan dari kendaraan yang lalu lalang didepan tapak.
2. Tempat Rehabilitasi
• Berdasarkan hasil survei, telah ditetapkan bahwa tempat rehabilitasi ini
didesain dengan kapasitas 25 pasien dan staff yang terdiri dari dokter,

77
konselor, staff bidang management, keamanan berjumlah kurang lebih 20
orang.
• Memenuhi program ruang yang wajib dimiliki tempat rehabilitasi, seperti
kamar yang layak, ruang konseling, ruang dokter, sarana keagamaan, dan
juga olahraga.
• Ruang security diletakkan paling depan agar memudahkan pengawasan
bagi tamu yang akan berkunjung.
3. Fasilitas
• Sarana olahraga berupa kolam renang, hanging jogging track, dan juga
outdoor gym untuk menunjang kegiatan sehari-hari pasien.
• Ruang kelas yang dapat menampung pasien untuk kegiatan sosialisasi
sehari-hari.
• Spiritual center yang digunakan untuk meningkatkan keyakinan para
pasien terhadap agamanya masing-masing
4. Aksesibilitas dan Sirkulasi
• Pintu masuk diletakkan didepan tapak. Site ini hanya memiliki 1 sirkulasi
kendaraan, yaitu mobil masuk melalui Jl. S. Parman, dan keluar di Jl.
Gelong Baru.

Gambar 5.22. Diagram Pintu Masuk dan Keluar

78
• Menjadikan bagian depan dan bagian belakang sebagai jalur sirkulasi
untuk menghindari konsekuensi kebisingan yang berasal dari jalan raya,
sehingga massing bangunan diletakkan ditengah.
• Menjadikan bagian depan dan bagian belakang tapak sebagai sarana
parkir bagi pengunjung maupun karyawan.
5. Therapeutic Architecture
Berdasakan penerapan teori therapeutic architecture, bangunan ini
didesain dengan dikelilingi dengan ruang terbuka hijau yang dapat
membantu meningkatkan tingkat penyembuhan bagi para pasien. Setiap
kamar didesain dengan view keluar ruangan.

5.4.2 Strategi berdasarkan Workshop Experimental

• Tidak melakukan banyak perubahan pada maket yang dihasilkan dari


workshop experimental kedalam proses pembuatan site plan.
• Melakukan penyesuaian ukuran massing dan ruangan, antara workshop
experimental dan kebutuhan ruang untuk proses rehabilitasi.
• Melakukan penyesuaian antara fungsi yang ditetapkan pada workshop
experimental dan juga kebutuhan ruangan dalam proses design tempat
rehabilitasi

5.4.3 Strategi Desain berdasarkan Workshop Experimental dan Analisa Tapak

• Transformasi Penyesuaian Massing ke dalam Tapak

79
1. Transformasi 1

Gambar 5.23. Gubahan sebelum dimasukkan kedalam tapak

Gambar 5.24. Gubahan sebelum dimasukkan kedalam tapak

2. Transformasi 2

80
Gambar 5.25. Gubahan setelah dimasukkan kedalam tapak

Setelah dimasukkan kedalam tapak, tiap massa disesuaikan dengan


fungsi, sehingga mengalami perbesaran atau sedikit perubahan bentuk
ruangan. Selain itu, tiap massa dipisahkan dengan landscape sehingga
membetuk sirkulasi yang dinamis didalam tapak.
Berikut merupakan massa bangunan setelah disesuaikan dengan fungsi
dan kapasitas:

81
Gambar 5.26. Gubahan setelah dimasukkan kedalam tapak
Penataan massing dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
berikut:
Massing 1 :
Direpresentasikan dengan fungsi statis (sesuai dengan workshop
experimental, dan diinjeksi dengan fungsi ruang security dan diletakkan
paling depan sehingga memudahkan pemeriksaan tamu yang ingin
berkunjung.
Massing 2 :
Direpresentasikan dengan fungsi served dan diinjeksi dengan fungsi
receptionist, karena fungsi served sendiri diartikan sebagai penerima
didalam bangunan sehingga cocok sebagai fungsi receptionist.
Massing 3:
Massing 3 memiliki fungsi awal ruang public, sehingga diterjemahkan
kedalam fungsi ruang kunjungan didalam site. Massing 3 ini mengalami
penyesuaian yaitu atap yang pada awalnya miring, dijadikan rata karena
atap tidak difungsikan sebagai public rooftop.
Massing 4:

82
Massing 4 memiliki fungsi awal ruang public, sehingga diterjemahkan
kedalam fungsi toilet umum. Hal ini disesuaikan berdasarkan bentuknya
yang kecil dibandingkan masa-masa yang lain, sehingga dapat
mengakomodir kebutuhan toilet bagi pengunjung di tempat rehabilitasi.
Massing 5:
Massing 5 memiliki fungsi awal ruang private, sehingga
direpresentasikan kedalam fungsi ruang kelas. Untuk massanya sendiri
disesuaikan dengan melakukan perbesaran massing sehingga dapat
mengakomodir kegiatan sosialisasi dan pembelajaran di tempat
rehabilitasi.
Massing 6:
Massing 6 memiliki fungsi conscious, sehingga direpresentasikan
kedalam fungsi ruang medis, yang terdiri dari 4 lantai dan masing2 lantai
memiliki fungsi tersendiri, seperti ruang dokter (lantai 1), ruang
konseling (lantai 2 dan 3), dan labolatorium (lantai 4).
Massing 7:
Massing 7 memiliki fungsi awal ruang private, sehingga
direpresentasikan kedalam fungsi ruang komunal dan spiritual center.
Penginjeksian fungsi ruang komunal dalam fungsi private disebabkan
karena ruang komunal hanya boleh digunakan oleh pasien, dan spiritual
center yang bersifat private antara pasien dan Tuhan-nya.
Massing 8 & 10:
Massing 8 memiliki fungsi awal dinamis, sehingga massing ini diisi
dengan fungsi yang dinamis seperti outdoor gym, kolam renang, dan
juga hanging jogging track.
Massing 9:
Massing 9 memiliki fungsi awal ruang yang bersifat statis, sehingga
direpresentasikan kedalam fungsi ruang tidur pasien, karena sifatnya
yang statis, yakni hanya digunakan sebagai tempat beristirahat.
Pemilihan massing ini untuk mengakomodir ruang tidur pasien juga

83
dikarenakan bentuknya yang besar dan dapat mengakomodasi banyak
orang.
Masing 11:
Massing 11 mempunyai fungsi awal servant, sehingga direpresentasikan
kedalam fungsi ruang management, yang sifatnya melayani berbagai
kegiatan yang ada didalam tempat rehabilitasi ini.

Dari poin-poin yang ada diatas, strategi sirkulasi dibuat sebagai berikut:

Gambar 5.27. Sirkulasi Kendaraan Bermobil


Sirkulasi mobil dibuat satu arah untuk mengefesienkan besar jalan yang
diperlukan persirkulasi.

Gambar 5.28. Sirkulasi Kendaraan Bermotor

84
Sirkulasi untuk kendaraan bermotor disamakan dengan mobil untuk
mengefisienkan sirkulasi.

Gambar 5.29. Sirkulasi Pengunjung


Sirkulasi pengunjung terdiri dari pemeriksaan oleh security, lalu dilanjutkan ke
bagian receptionist untuk bertemu dengan staff dengan tujuan mengetahui
maksud dan tujuan yang dilakukan pengunjung. Selanjutnya diteruskan ke
ruang kunjungan.

Gambar 5.30. Sirkulasi Pasien

85
Sirkulasi pasien didesain secara radial, dimana Gedung kamar menjadi nodes
dari setiap kegiatan yang ada.

Semua program ruang yang ada selalu terhubung dengan ruang hijau, karena
setiap titik yang ada di bubble diagram diartikan sebagai sebuah sirkulasi,
baik perkerasan maupun ruang terbuka (hijau). Warna ungu menunjukkan
program ruang yang berhubungan dengan kegiatan olahraga, kuning
menunjukkan program ruang yang bersifat public, pink menunjukkan
program ruang yang bersifat informal, biru menunjukkan program ruang yang
berhubungan dengan medis, orange menunjukkan area statis, hijau area
servis, dan merah area keamanan.

86
5.5 Simulasi Perancangan

5.5.1 Injeksi Fungsi

Berikut merupakan tabel yang berisi proposal program ruang, ukuran, dan
masing-masing kapasitas.
Nama Ruangan Kapasitas Luas (m2) Keterangan

Receptionist 3-4 orang 38 m2 Publik

R. Security 1-2 orang 22 m2 Publik

R. Kunjungan 10-12 orang 68 m2 Publik

Toilet (visitor) 2-3 orang 22 m2 Publik

Gedung kamar 20-25 orang 604 m2 Private

Kolam Renang - 132 m2 Private

Lapangan Olahraga - 134 m2 Private

Ruang Dokter 2-3 orang 32 m2 Private

Ruang Konseling 1-2 orang 32 m2 Private

Ruang Lab. 2-3 orang 32 m2 Private

Ruang Komunal 25-30 orang 105 m2 Private

Ruang Keagamaan 25-30 orang 105 m2 Private

Total 1326m2

Tabel 5.1. Proposal Ukuran Program Ruang

87
5.5.2 Denah, Tampak, Potongan

Gambar 5.31. Denah Lantai 1

Gambar 5.32. Denah Lantai 2

88
Gambar 5.33. Denah Lantai 3

Gambar 5.34. Denah Lantai 4

89
Gambar 5.35. Potongan A

Gambar 5.36. Potongan B

90
Gambar 5.37. Tampak A

Gambar 5.38. Tampak B

5.5.3 Interior dan Eksterior

91
Gambar 5.39. Perspektif kolam renang dan jogging track

Gambar 5.40. Perspektif outdoor gym dan jogging track

Gambar 5.41. Perspektif Kamar Kelas 1

92
Gambar 5.42. Perspektif Kamar Kelas 2

Gambar 5.43. Perspektif Kamar Kelas 3

Gambar 5.44. Perspektif Outdoor Gym

93
Gambar 5.45. Ruang Komunal

94
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dan workshop experimental yang dilakukan,


dihasilkan desain seperti yang dicantumkan didalam bab 4 dan 5, yaitu sebuah
desain dengan sirkulasi radial yang dipecah ke beberapa aktivitas yang berbeda
seperti aktivitas yang berhubungan dengan medis, olahraga, peningkatan karakter
pribadi, dan juga hubungan dengan masyarakat luar.

Massa yang dihasilkan dari workshop dimanfaatkan dengan maksimal


dengan cara tidak merubah banyak bentuk dari massa-massa itu sendiri, namun
tetap di sesuaikan dengan konteks lingkungan sekitar tapak. Tempat rehabilitasi
dengan penerapan therapeutic architecture diharapkan dapat membantu
meningkatkan kualitas dari proses rehabilitasi itu sendiri.

6.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, adapun saran-saran yang ingin


disampaikan penulis, antara lain:

1. Dapat menggali lebih dalam mengenai konsep therapeutic architecture


didalam perancangan sebuah tempat rehabilitasi narkoba.
2. Pemilihan massa dan penginjeksian fungsi harus disesuaikan sebaik-
baiknya agar menghasilkan program ruang dengan kualitas yang
maksimal.
3. Dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam mengembangkan dan
membangun pusat rehabilitasi di Jakarta Barat dengan memperhatikan
aspek-aspek arsitektur.

95
DAFTAR PUSTAKA

Penyalahgunaan Narkoba serta Usaha Pencegahan dan Penanggulangannya,

https://media.neliti.com/media/publications/12297-ID-bahaya-
penyalahgunaannarkoba-serta-usaha-pencegahan-dan-penanggulangannya-
suatu.pdf)

Indikator Keberhasilan Rehabilitasi Narkoba Dinilai Belum Jelas,

https://tirto.id/indikator-keberhasilan-rehabilitasi-narkoba-dinilai-belum-jelas-
cM2W

Groot Klimeendall Rehabilitation Center,

https://www.archdaily.com/126290/rehabilitation-centre-groot-klimmendaal-
koen-van-velsen

Sister Margaret Smith Addictions Treatment Centre


https://www.archdaily.com/109414/sister-margaret-smith-addictions-treatment-
centre-montgomery-sisam-architects

96

Anda mungkin juga menyukai