Anda di halaman 1dari 11

74

MENGGUGAT RELASI FILSAFAT POSITIVISME


DENGAN AJARAN HUKUM DOKTRINAL
FX. Adji Samekto
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang
E-mail: adjisamekto@yahoo.com

Abstract

In the teaching of law, there is often "mistaken", that puts legal positivism (jurisprudence) is
identical with the philosophy of positivism. Legal positivism be identified as an instance of
positivism philosophy intact. The study of legal positivism, in fact very closely related to the
philosophy and teachings of the law from time to time. The effects of natural law in the scholastic
era, then the era of rationalism and the influence of positivism in the philosophy of natural science
is very attached to the legal positivism until today. Therefore not only the philosophy of positivism
affecting the development of legal positivism. Based on that then the legal positivism in fact has a
characteristic which is different from the social sciences. If the social sciences were developed
based on the philosophy of positivism, the doctrinal teaching of the law is not entirely been
developed based on the philosophy of positivism. Not all the logical positivist philosophy can be
applied in the doctrinal law.

Keywords : positivism, legal positivism, doctrinal

Abstrak

Di dalam pengajaran ilmu hukum, sering terjadi “salah kaprah”, yang menempatkan ajaran hukum
doktrinal identik dengan filsafat positivisme. Hukum positif diidentikkan sebagai turunan utuh filsafat
positivisme. Kajian hukum doktrinal,sesungguhnya sangat erat berhubungan dengan filsafat dan
ajaran-ajaran hukum dari masa ke masa. Pengaruh-pengaruh hukum alam pada era Skolastik,
kemudian pada era Rasionalisme serta pengaruh filsafat positivisme dalam ilmu pengetahuan alam
sangat melekat pada kajian hukum doktrinal hingga saat ini. Oleh karena itu bukan hanya filsafat
positivisme saja yang mempengaruhi perkembangan kajian hukum doktrinal. Berdasarkan hal itu
maka kajian hukum doktrinal sesungguhnya memiliki ciri khas yang berbeda dengan ilmu-ilmu sosial.
Apabila ilmu sosial dikembangkan berbasis filsafat positivisme,maka ajaran hukum doktrinal tidak
seluruhnya dikembangkan berbasis filsafat positivisme. Tidak semua logika filsafat positivisme bisa
diterapkan di dalam hukum doktrinal.

Kata kunci : positivisme, positivisme hukum, doktrinal

Pendahuluan Ajaran hukum doktrinal dalam pengajar-


Hukum (yang diterjemahkan dari kata an ilmu hukum, memiliki sejarah yang panjang,
“law” dalam bahasa Inggris) menurut Herman jauh sebelum filsafat ilmu pengetahuan modern
J. Pietersen adalah suatu bangunan normatif. mendominasi paradigma pengembangan ilmu
Dalam pengertian ini hukum dikonsepsikan se- pengetahuan termasuk ilmu-ilmu humaniora.
bagai an instrument of the state or polis con- Pengembangan ilmu hukum, walaupun meng-
cerned with justice, with rules of conduct to alami perkembangan sangat pesat di era post-
regulate human behaviour. Jadi menurut pan- positivisme, tetapi tidak terelakkan, bahwa
dangan ini hukum merupakan instrumen untuk ajaran hukum doktrinal masih dominan dalam
menegakkan keadilan yang wujudnya berupa pengajaran ilmu hukum pada hampir sebagian
pedoman perilaku dengan fungsi utamanya me- besar universitas di dunia. Tentu tidak boleh,
ngatur perilaku manusia. Inilah basis berpikir dalam dunia akademik (keilmuan) dilakukan
ajaran hukum doktrinal. stigmatisasi bahwa mempelajari hukum doktri-
Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal 75

nal adalah hal yang mudah, lebih rendah dera- dan paparan tentang filsafat positivisme de-
jatnya, ataupun apapun istilahnya yang mana ngan segala implikasinya. Dari paparan kedua
ungkapan-ungkapan itu berkesan tidak penting variabel tersebut diharapkan dapat ditemukan
melakukan kajian hukum dalam pendekatan relasi antara filsafat positivisme dengan ajaran
doktrinal.1 hukum doktrinal.
Kajian hukum dalam pendekatan doktri-
nal, kalau dipelajari secara benar, sesungguh- Pembahasan
nya tidak mudah. Kajian ini memiliki ciri khas Ajaran Hukum Doktrinal
sendiri yang berbeda dengan ilmu-ilmu sosial Istilah ajaran hukum doktrinal menunjuk
yang dikembangkan dahulu seiring dengan ke- pada ajaran hukum yang didasarkan pada pre-
lahiran filsafat positivisme. Akan tetapi yang mis bahwa hukum merupakan norma yang me-
terjadi adalah salah kaprah: kajian hukum dok- ngatur kehidupan masyarakat. Keberadaan huk-
trinal seolah-olah hanya berkutat persoalan- um sejak masa lampau jauh sebelum masuk pa-
persoalan keberlakuan dan ketidak-berlakuan da era positivisme, seiring dengan perkembang-
hukum positif saja. Salah kaprah berikutnya an peradaban manusia, diyakini sebagai sarana
adalah bahwa kajian hukum doktrinal identik untuk menyelesaikan problem konkret dalam
dengan positivisme hukum yang bersumber dari masyarakat. Oleh karena itu adalah benar apa-
filsafat positivisme. Pendapat kedua ini tidak bila Cicero menyatakan : ubi societas ibi ius (di
sepenuhnya salah, akan tetapi sesungguhnya mana ada masyarakat, di situ ada hukum). Ke-
ada kekhasan-kekhasan tersendiri dari ajaran adilan merupakan faktor penting bagi alasan
hukum dalam pendekatan doktrinal, yang itu keberadaan penegakan hukum. Fisosof-filosof
justru bertentangan dengan filsafat positivisme Yunani kuno, Socrates, Plato dan Aristoteles
itu sendiri. menyatakan bahwa tujuan hukum adalah me-
Berangkat dari pemikiran itulah, maka wujudkan keadilan, dan untuk itu diperlukan
tulisan ini akan membahas permasalahan me- penegakan hukum. Dalam hal ini pemikiran-pe-
ngenai relasi (keterkaitan) antara filsafat posi- mikiran yang bersumber dari ajaran agama be-
tivisme dengan ajaran hukum doktrinal; dan lum begitu kuat. Kuatnya pengaruh agama di
alasan-alasan mengapa ajaran filsafat positi- dalam pembentukan hukum di masa berikutnya
visme tidak dapat seluruhnya melandasi ajaran terjadi karena dijadikannya Kristen sebagai
hukum doktrinal? Berdasarkan permasalahan agama di bangsa Romawi semasa Imperium Ro-
tersebut di atas, maka dengan tujuan untuk mawi berkuasa atas sebagian besar daratan
memberikan kesadaran bahwa sesungguhnya Eropa.
ada kekhasan-kekhasan tersendiri dari ajaran Tokoh yang dianggap telah menjembatani
hukum dalam pendekatan doktrinal, yang itu filsafat Yunani dengan alam pemikiran Kristen
justru bertentangan dengan filsafat positivisme adalah St. Augustinus (354-430). Menurut St.
itu sendiri, maka pembahasan di dalam tulisan Augustinus hukum alam merupakan hukum aba-
ini difokuskan pada paparan tentang ajaran di yang ada pada Tuhan. Menurut St. Augusti-
hukum doktrinal dengan segala implikasinya, nus, prinsip tertinggi hukum alam adalah : “ja-
ngan berbuat kepada orang lain apa yang eng-
1 kau tidak inginkan orang berbuat kepadamu”.
Lihat tentang paradigm ini pada Erlyn Indarti, “Legal
Constructivism: Paradigma Baru Pendidikan Dalam Ajaran St.Augustinus ini mempengaruhi
Rangka Pembangunan Masyarakat Madani”, dalam Thomas Aquinas (1225-1275), salah satu tokoh
Majalah Ilmiah Masalah-Masalah Hukum, Vol. XXX, No.
3, Juli – September 2001, hlm. 139-154 dan Parsudi Su- masa skolastik. Menurut Thomas Aquinas, hu-
parlan, “Paradigma Naturalistik dalam Penelitian Pen- kum alam (natural law) adalah hukum yang me-
didikan: Pendekatan Kualitatif dan Penggunaannya”,
Majalah Antropologi Indonesia No. 53, Vol. 21 – 1997, ngatur kehidupan manusia dalam kehidupan di
diterbitka oleh FISIP UI Jakarta; Theresia Anita Chris-
tiani, ”Studi Hukum Berdasarkan Perkembangan Para-
dunia. Dalam pandangan Thomas Aquinas, hu-
digma Pemikiran Hukum Menujur Metode Holistik”, Jur- kum alam merupakan hukum yang lahir dari ke-
nal Hukum Pro Justitia, Vol. 26 No. 4 Oktober 2008,
giatan akal-budi manusia sendiri yang dituntun
hlm. 347-358.
76 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 12 No. 1 Januari 2012

oleh Tuhan. Ide Thomas Aquinas mengenai hu- keagamaan. Ikatan ini sedemikian kuat mempe-
kum alam sangat dipengaruhi pandangan Aristo- ngaruhi segala aspek kehidupan, sehingga lahir
teles, filosof Yunani. Seperti Aristoteles, Tho- pandangan bahwa manusia menjadi tidak ber-
mas Aquinas berpandangan bahwa, alam semes- arti tanpa Tuhan. Corak pemikiran hukum pada
ta pada hakekatnya terdiri dari substansi-subs- masa skolastik banyak didasari oleh ajaran
tansi yang merupakan kesatuan materi dan agama terutama Kristen.
bentuk. Masing-masing substansi ini memiliki Hukum alam yang oleh Thomas Aquinas di
tujuan-tujuan sendiri-sendiri dan masing-ma- definisikan sebagai hukum yang berasal dari Tu-
sing memiliki tujuan di luar dirinya. Hal ini da- han, yang mewujudkan diri dalam akal dan ra-
pat dimisalkan benda mati berguna untuk tum- sio manusia, dibagi dalam dua golongan yang
buh-tumbuhan dan semua makhluk yang lebih terhubung, yaitu hukum alam primer dan hu-
tinggi. Sedangkan tumbuh-tumbuhan berguna kum alam sekunder. Hukum alam primer adalah
bagi manusia. Semua ini mempunyai tujuan hukum alam yang berlaku bagi setiap manusia.
yang lebih tinggi yaitu menuju kepada yang Contoh konkret hukum alam primer: “Berikan
sempurna yaitu Budi-Illahi. kepada setiap orang apa yang memang menjadi
Hal tersebut oleh Thomas Aquinas dipan- haknya”; “Jangan merugikan orang lain”. Hu-
dang sebagai aturan alam yang bersumber pada kum alam sekunder adalah hukum alam yang
Tuhan. Aturan-aturan tersebut kemudian me- tersimpul dari norma-norma hukum alam pri-
wujudkan diri dalam substansi yang disebut ma- mer. Misalnya di dalam hukum alam primer ada
nusia, yaitu di dalam kemampuannya mengenal ketentuan “jangan merugikan seseorang”, ma-
apa yang baik dan apa yang jahat. Sesuatu yang ka dari sini dapat diturunkan norma hukum
baik, menurut Thomas Aquinas adalah sesuatu alam sekunder : “jangan mencuri “ dan “jangan
yang sesuai dengan kecenderungan alam, dan membunuh”.3
sesuatu yang baik itu harus dilakukan. Misalnya Berkaitan dengan hukum alam sekunder,
kemauan untuk mempertahankan hidup, laki- dapat diajukan suatu pertanyaan, apakah ter-
laki dan wanita harus menikah, manusia harus jadinya tindakan saling bunuh dalam pepera-
bermasyarakat.2 Sebaliknya sesuatu yang jahat ngan merupakan hal yang bertentangan dengan
adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan kecen- hukum alam? Menurut Thomas Aquinas, dalam
derungan alam. Hukum alam yang terletak pada hal ini lebih baik dinyatakan, bahwa hukum
akal budi manusia disebut Thomas Aquinas alam tidak berlaku sebagaimana mestinya. Apa-
sebagai partisipasi aturan yang berasal dari Tu- bila selanjutnya dipertanyakan, mengapa di da-
han, yaitu Hukum yang Abadi yang mewujudkan lam peperangan terjadi tindakan saling bunuh
diri dalam rasio makhluk hidup. Menurut pen- padahal tindakan tersebut bertentangan de-
dapatnya, prinsip-prinsip hukum alam mengikat ngan hukum alam,Thomas Aquinas memberikan
setiap masyarakat. Oleh karena itu syarat yang jawaban: hal itu terjadi karena manusia memi-
dibutuhkan untuk eksistensi suatu sistem hu- liki sifat khilaf dan cenderung mementingkan
kum adalah bahwa hukum tersebut harus me- diri sendiri,sehingga akal sehat seringkali dika-
muat prinsip-prinsip hukum alam. burkannya dan mengakibatkan penafsirannya
Sejarah perkembangan ajaran hukum tentang hukum alam menjadi sesat, namun
doktrinal tidak bisa dilepaskan dari pembicara- tetap dilakukannya.
an perkembangan ajaran hukum alam. Pemba- Seiring dengan perkembangan pemikiran
hasan tentang hukum alam terkait dengan masa di Abad Pertengahan, konsepsi tentang hukum
skolastik. Masa skolastik adalah masa dimana alam pun mulai mengalami perubahan. Hukum
alam pikiran manusia sangat terikat oleh ikatan Alam yang pada masa Abad Pertengahan sangat
didominasi oleh ajaran-ajaran Ketuhanan (seba-
2
Theo Huijbers, 1980, Filsafat Hukum Dalam Lintasan
Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 40; Clarence
gaimana tampak pada ajaran Thomas Aquinas)
Morris, 1963, The Great Legal Philosophers: Selected
3
Reading in Jurisprudence, Philadelphia: University of Theo Huijbers, op.cit, hlm. 41; Clarence Morris, op.cit,
Pennsylvania Press, hlm. 32-33. hlm. 69.
Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal 77

mulai dimasuki pemikiran-pemikiran yang ber- Berkaitan dengan hubungan manusia (in-
sumber pada akal-budi manusia yang lepas dari dividu) dengan masyarakatnya, ajaran Samuel
pengaruh ajaran Ketuhanan. Kalau pada era Pfufendorf menyatakan: manusia harus mewu-
Abad Pertengahan ikatan-ikatan keagamaan se- judkan diri sebagai makhluk sosial supaya ia da-
demikian kuatnya mempengaruhi semua aspek pat hidup damai. Perwujudan diri sebagai mah-
kehidupan, maka dalam perkembangannya pe- luk sosial adalah suatu keharusan, sehingga bo-
ngaruh itu mulai tereduksi oleh akal-budi dan leh disebut ini merupakan keharusan moral. Sa-
rasio manusia. Fenomena ini mencapai puncak- muel Pfufendorf kemudian menjabarkannya da-
nya di era Renaissance yang berlangsung dari lam 2 (dua) bagian hukum, yaitu hukum yang
tahun 1493–1650. Terjadilah apa yang disebut berlaku bagi manusia itu sendiri dan hukum
sekularisasi hukum alam, dengan tokoh-tokoh- yang berlaku bagi manusia dalam kedudukannya
nya: Grotius atau Hugo de Groot (1583-1645) sebagai makhluk sosial. Berkaitan dengan kedu-
dan Samuel Pfufendorf (1632-1694). dukan manusia sebagai makhluk sosial lahirlah
Konsep-konsep hukum alam dari Grotius ketentuan hukum alam yang kemudian diangkat
bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk sebagai prinsip hukum umum yaitu : pacta sunt
sosial. Perwujudan manusia sebagai makhluk servanda (perjanjian harus dihormati) dan prin-
sosial adalah realitas bukan “seharusnya”. Kon- sip “jangan mengambil milik orang lain”.
sep ini dilandasi pemikirannya bahwa: (a) se- Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa
mua manusia sesungguhnya mempunyai alam keberlakuan hukum alam didasarkan pada nilai-
yang sama; (b) Oleh karenanya manusia mem- nilai atau ajaran-ajaran yang bersumber dari
punyai kecenderungan membentuk hidup ber- olah pikiran manusia. Dalam hal ini olah pikiran
sama. Menurut Grotius, dasar pemikiran inilah tentu sangat dipengaruhi tatanan sosial yang
yang menjadi dasar (pendorong) terbentuknya melingkupi kehidupan para pemikir-pemikir be-
negara. Grotius menyatakan bahwa semua ne- sar tadi. Nilai-nilai (yang bersumber dari olah
gara terikat oleh hukum alam, yang memisah- pikir tersebut) merupakan sesuatu yang bersifat
kan antara Hukum Illahi (Hukum Ketuhanan) abstrak,apriori, akan tetapi terjabarkan secara
dengan akal budi manusia (that nations are linear di dalam hukum yang mengatur kehidup-
bound by natural law, which was separate from an. Disebut bersifat apriori karena bersifat abs-
God's law and based on the nature of man). trak dan bersumber dari olah pikir yang ditun-
Samuel Pfufendorf adalah seorang filsof tun oleh ajaran-ajaran agama. Hukum yang di-
dan sejarawan dari Jerman. Seperti Grotius, bangun dengan demikian akan menjadi sepe-
karena ia hidup di era semangat pembentukan rangkat aturan yang mengatur hubungan antar
negara baru, maka konsep-konsepnya tentang manusia. Penalaran yang dibangun bersifat
hukum alam juga terkait dengan keberadaan deduktif, karena dari nilai-nilai tersebut di atas
negara dan hubungan individu dengan masyara- dibentuk aturan hukum yang harus diberlaku-
kat. Menurut pendapatnya, hubungan antar ne- kan terhadap siapa pun yang melanggar aturan
gara diatur oleh hukum alam. Ajarannya yang tersebut. Dari sinilah muncul prinsip tiada pi-
sampai sekarang tidak bisa dibantah adalah dana tanpa kesalahan (noela poena sinne cul-
tentang doktrin kesederajatan negara. Samuel pa). Dengan demikian harus dibuktikan dahulu
Pfufendorf menyatakan: semua negara adalah ada tidaknya kesalahan seseorang. Prinsip per-
sederajat tanpa memandang ukuran besar-ke- samaan perlakuan hukum (equality before the
cilnya serta kekayaannya.4 Doktrin ini merupa- law) sudah dimunculkan disini. Keberlakuan hu-
kan ketentuan fundamental dalam hukum yang kum dilambangkan dalam personifikasi Dewi
mengatur hubungan antar negara yang berlaku Themis, yang memegang timbangan di tangan
hingga sekarang. kiri, dengan kepala tertutup memegang pedang
di tangan kanan. Ajaran-ajaran yang tumbuh
semasa perkembangan hukum alam ini kemu-
4
Hingorani, 1984, Modern International Law, 2nd edit-
dian menjadi dasar dari apa yang disebut seba-
ion, London: Oceana Publications, hlm. 17-18.
78 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 12 No. 1 Januari 2012

gai ajaran hukum doktrinal. Hukum dalam ajar- dibuka untuk dimanfaatkan bagi tujuan-tujuan
an doktrinal ini mempunyai tujuan utama: men- kemanusiaan. Rasionalisme telah menempatkan
ciptakan keadilan. Dengan melandaskan pada akal budi manusia sebagai satu-satunya tolok
prinsip-prinsip utama menciptakan keadilan, ukur yang sah bagi kegiatan, karya dan kehi-
semua sama di depan hukum, tiada hukuman dupan manusia.
tanpa kesalahan,maka peran hukum yang uta- Sesuatu yang dipandang valid sebagai il-
ma adalah menyelesaikan problem konkret di mu adalah ilmu-ilmu pengetahuan alam, yaitu
dalam masyarakat. Problem di masyarakat bisa ilmu-ilmu yang disusun berdasarkan fakta-fakta
muncul manakala rasa keadilan itu terusik. Ter- yang dihimpun melalui observasi, dan hasil pe-
kait dengan ajaran doktrinal ini berlakulah nelitiannya dapat diulangi secara tidak terbatas
ajaran fiksi hukum (semua orang dianggap tahu untuk dilihat dan diukur. Sunaryati Hartono me-
hukum). Fiksi hukum seperti ini tentu tidak mu- nyebutkan, pembenaran terhadap pandangan
dah dinalar oleh penganut filsafat Positivisme.5 ini dapat didasarkan pada pendapat Francis Ba-
con dari Inggris dan Rene Descartes dari Peran-
Ajaran Dalam Filsafat Positivisme cis, bahwa alam dan benda-benda alamiah
Surutnya pengaruh ajaran Ketuhanan da- lainnya tidak mempunyai jiwa seperti manusia.
lam hukum alam telah mendorong makin me- Untuk mengenalnya benda-benda itu harus di-
ngedepannya proses-proses rasionalisasi bidang- teliti secara impersonal artinya lepas dari nilai-
bidang kehidupan. Inilah yang melandasi Eropa nilai subjektif dan hanya didasarkan pada akal
Barat masuk pada era Rasionalisme.6 Era ini di- (rasio) dan pengalaman.7 Oleh karena itulah
sebut juga sebagai Abad Pencerahan (Enlight- maka ilmu-ilmu pengetahuan alam sebenarnya
ment) yang terjadi dari tahun 1650 hingga awal selalu didasarkan pada pengamatan fenomena
1800-an. Terminologi “Era Pencerahan” (En- alam secara bebas, pasang jarak, dan imper-
lightment) digunakan sebagai lawan dari ter- sonal.8
minologi “Era Kegelapan” (Dark Age), yang me- Hukum-hukum yang berlaku dalam ilmu
nunjukkan keadaan dimana manusia telah dice- pengetahuan alam dirumuskan berdasarkan
rahkan, dibebaskan pikirannya dari belenggu anggapan bahwa alam dapat diidentifikasi dan
dominasi ajaran Ketuhanan kemudian dicerah- hasilnya tidak tergantung dari waktu dan tem-
kan sehingga mampu mendayagunakan akal pat.9 Aliran pemikiran tersebut merupakan ref-
budi dan rasionya untuk membentuk kehidupan leksi mazhab positivisme dalam ilmu pengeta-
sosial bersama. Sejak abad keenambelas ilmu- huan yang dipelopori Auguste Comte (1798-
ilmu alam membebaskan diri dari ikatan-ikatan 1857). Pemikiran dalam positivisme dikembang-
keagamaan melalui pengamatan, perbandingan, kan dari teori Auguste Comte yang bertolak da-
eksperimen dan falsifikasi empiris, dan dengan ri kepastian bahwa terdapat hukum perkem-
itu rahasia-rahasia alam mulai tersingkap. Alam bangan yang menguasai manusia dan segala
gejala hidup bersama dan itu mutlak. Inilah
5
Lihat tentang praktik penalaran deduktif ini pada yang oleh Comte disebutnya sebagai Hukum Ti-
Shidarta, 2006, ”Filosofi Penalaran Hukum Hakim Kons-
ga Tahap. Menurut Auguste Comte, dalam Hu-
titusi dalam Masa Transisi Konstitusionalitas”. Jurnal
Hukum Jentera, Edisi 11-tahun III, Januari-Maret 2006. kum Tiga Tahap10 tersebut, ada tiga tahap per-
hlm.6 dan M. Syamsudin, ” Konstruksi Pola Pikir Hakim
kembangan yang dilalui tiap-tiap masyarakat.
dalam Memutus Perkara Korupsi Berbasis Hukum
Progresif “, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 1
Januari 2011, hlm. 10-19
6 7
Pada Abad pertengahan yang dominan adalah kajian Sunaryati Hartono, 1991, “Pembinaan Hukum Nasional
metafisis. Gejala-gejala alam diyakini bersumber dari Dalam Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia”, Pidato
kekuatan-kekuatan yang menentukan kehidupan manu- Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum,
sia. Cara berpikir ini begitu dominan dan diterima seba- Bandung, FH UNPAD, hlm. 10
8
gai dogma. Manusia menganut begitu saja dogma (atau Boaventura De Sousa Santos, 1995, Toward a New Com-
opini?) tersebut tanpa verifikasi secara rasional dan mon Sense: Law,Science and Politics in the Paradig-
bukti konkret berbasis fakta. Cara berpikir ini tumbuh matic Transition, London: Routledge, hlm. 14-15.
9
sebagai akibat dominasi pemuka agama yang bersinergi Loc.cit
10
dengan kepentingan mempertahankan kekuasaan oleh Theo Huijbers, op.cit, hlm. 122-126; Budiono Kusumo-
Imperium Romawi di Eropa. hamidjojo, 1999, Ketertiban yang Adil: Problematika
Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal 79

Tahap yang pertama adalah tahap teo- Positivisme, merupakan perkembangan


logis. Dalam tahap ini manusia percaya pada lebih lanjut dari aliran empirisme12 yang meya-
kekuatan Illahi di belakang gejala-gejala alam. kini bahwa realitas adalah segala sesuatu yang
Tahap yang kedua adalah tahap metafisik. Da- hadir secara kasat mata. Dengan kata lain, da-
lam tahap ini dimulailah kritik terhadap segala lam empirisme, pengetahuan kita harus ber-
pikiran, termasuk pikiran teologis. Ide-ide teo- awal dari verifikasi empirik, lebih lugasnya ber-
logi diganti dengan ide-ide abstrak dari metafi- basis bukti terlebih dahulu. Positivisme me-
sika. Tahap yang ketiga adalah tahap positif. ngembangkan paham empirik dengan mengata-
Dalam tahap ini gejala-gejala tidak diterangkan kan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah
lagi oleh suatu ide alam yang abstrak, tetapi ilmu-ilmu positif atau sains yaitu ilmu-ilmu
gejala diterangkan melalui gejala lain dengan yang berangkat dari fakta-fakta yang terverifi-
mendapati hukum-hukum diantara gejala-ge- kasi dan terukur secara ketat.13
jala yang bersangkutan. Hukum-hukum tersebut Mazhab positivisme memuat nilai-nilai
sebenarnya merupakan bentuk relasi yang kons- dasar yang diambil dari tradisi ilmu alam, yang
tan diantara gejala-gejala tersebut. Positivis- menempatkan fenomena yang dikaji sebagai
me, dengan demikian, memuat nilai-nilai dasar objek yang dapat dikontrol, digeneralisir se-
yang diambil dari tradisi ilmu alam yang me- hingga gejala ke depan bisa diramalkan.14 Maz-
nempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek hab positivisme berangkat dari asumsi bahwa
yang dapat dikontrol, dan digeneralisasi sehing- ilmu-ilmu alam adalah satu-satunya ilmu pe-
ga gejala ke depan bisa diramalkan. ngetahuan yang secara universal adalah valid.
Demikianlah maka dengan paradigma po- Berdasarkan asumsi ini maka walaupun ter-
sitivisme, ilmu-ilmu sosial telah dibentuk me- dapat perbedaan antara fenomena alam dengan
nurut paham rasional dan empirisisme ilmu pe- fenomena sosial, dianggap selalu memungkin-
ngetahuan alam yang sangat menonjolkan epis- kan untuk mempelajari fenomena sosial dengan
temologi positivistik. Donny Gahral Adian, me- pendekatan dalam ilmu alam. Adanya dominasi
nyatakan positivisme melembagakan pandangan paradigma positivisme dalam ilmu pengetahuan
objektivistiknya dalam suatu doktrin kesatuan alam yang kemudian diadopsi dalam ilmu sosial
ilmu (unified science). Doktrin ini menyatakan menimbulkan cara berpikir seolah-olah fenome-
bahwa ilmu alam maupun ilmu sosial harus ber- na sosial harus dipahami dengan metode yang
ada di bawah payung (paradigma) positivisme. impersonal,netral dan objektif, dan “rumus”
Doktrin kesatuan ilmu memuat kriteria-kriteria nya dimana-mana selalu sama tidak tergantung
bagi ilmu pengetahuan sebagai berikut.11 Perta- ruang dan waktu.
ma, bebas nilai; dalam hal ini peneliti atau pe- Berdasarkan uraian di atas maka bebera-
ngamat harus bebas dari kepentingan, nilai dan pa ajaran di dalam filsafat positivisme dapat
emosi dalam mengamati objeknya agar diper- dipaparkan sebagai berikut. Pertama, positivis-
oleh pengetahuan yang objektif. Kedua, ilmu me bertolak dari pandangan bahwa filsafat
pengetahuan harus menggunakan metode veri- positivisme hanya mendasarkan pada kenyataan
fikasi empirik. Ketiga, realitas direduksi menja- (realita,fakta) dan bukti terlebih dahulu; ke-
di fakta-fakta yang dapat diamati. dua, positivisme tidak akan bersifat metafisik,
dan tidak menjelaskan tentang esensi; ketiga,
positivisme tidak lagi menjelaskan gejala-
Filsafat Hukum, Jakarta: Grasindo, hlm. 83–84; Made gejala alam sebagai ide abstrak. Gejala-gejala
Subawa, “Pemikiran Filsafat Hukum Dalam Membentuk
Hukum”, Sarathi : Kajian Teori Dan Masalah Sosial alam diterangkan berbasis hubungan sebab-
Politik, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Denpasar, Vol. 14 akibat dan dari itu kemudian didapatkan dalil-
(3), 2007, hlm. 244-245; dan Sewu, P. Lindawaty
S, “Kegunaan Filsafat Hukum Dalam Mengupas Tuntas dalil atau hukum-hukum yang tidak tergantung
Permasalahan Hukum Kontekstual”, Wacana Paramarta:
Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas
12
Langlangbuana, Vol. 5 No. 1 2006, hlm. 25-38 Ibid, hlm. 30-31.
11 13
Donny Gahral Adian, 2001, Arus Pemikiran Kontempo- Ibid.
14
rer , Jogjakarta: Jalasutra, hlm. 35-36. Boaventura De Sousa Santos, op.cit, hlm. 14-15
80 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 12 No. 1 Januari 2012

dari ruang dan waktu; keempat, positivisme


menempatkan fenomena yang dikaji sebagai Positivisme dalam Ajaran Ilmu Hukum: Tin-
objek yang dapat digeneralisasi sehingga ke de- jauan Kritis
pan dapat diramalkan (diprediksi); dan kelima, Ajaran Auguste Comte ternyata tidak saja
positivisme meyakini bahwa suatu realitas (ge- mempengaruhi ahli-ahli sosiologi (sehingga me-
jala) dapat direduksi menjadi unsur-unsur yang reka banyak memberi bantuan makna tentang
saling terkait membentuk sistem yang dapat apa yang disebut hukum) tetapi juga mempe-
diamati. ngaruhi ahli-ahli hukum itu sendiri. Dengan
Positivisme yang dikembangkan Auguste mengadopsi cara berpikir Positivisme dari Au-
Comte menjadi dasar cara berpikir Max Weber guste Comte, maka ahli ahli hukum mengemu-
dalam mengembangkan sosiologi. Pada awal kakan bahwa yang disebut hukum tidak boleh
abad XX ilmu sosiologi sangat besar pengaruh- abstrak, hukum harus konkret. Konkretisasi ini
nya dan selalu disempurnakan metode ilmiah- ditunjukkan dengan keharusan bahwa hukum
nya. Metode pendekatan di dalam sosiologi me- harus tertulis.
ngadopsi pendekatan-pendekatan ilmu empirik, Salah seorang pemikir hukum penganut
sehingga sosiologi, walaupun ilmu ini berkaitan positivisme, HLA Hart mengatakan oleh karena
dengan perilaku manusia, ia tidak dapat mele- hukum harus konkret maka harus ada pihak
paskan diri dari sikap naturalisme sebagaimana yang menuliskan. Pengertian ‘yang menuliskan’
dikembangkan penganut Positivisme. Cara ber- itu menunjuk pengertian bahwa hukum harus
pikir seperti ini tercermin pada pemikiran-pe- dikeluarkan oleh suatu pribadi (subjek) yang
mikiran sosiolog seperti Max Weber, dan Eugen memang mempunyai otoritas untuk menerbit-
Erlich. Sosiologi, karena dinilai memiliki mutu kan dan menuliskannya. Otoritas tersebut ada-
ilmiah yang sangat tinggi (sesuai semangat lah negara. Otoritas negara ditunjukkan dengan
Positivisme) maka dianggap dapat memberikan adanya atribut negara, berupa kedaulatan ne-
sumbangan bagi kehidupan masyarakat. Dalam gara. Berdasarkan kedaulatannya, secara inter-
pada itu, ahli-ahli sosiologi menganggap tanpa nal negara berwenang untuk mengeluarkan dan
bantuan pengetahuan tentang masyarakat, ahli- memberlakukan apa yang disebut sebagai hu-
ahli hukum tidak akan dapat membuat per- kum positif. Selanjutnya HLA Hart menyatakan:
aturan-peraturan yang dapat memenuhi tujuan pertama, hukum (yang sudah dikonkretisasi da-
hukum.15 lam bentuk hukum positif) harus mengandung
Bagi Max Weber, hukum merupakan salah perintah; dan kedua, tidak selalu harus ada ka-
satu unsur yang hidup di dalam masyarakat. itan antara hukum dengan moral dan dibedakan
Oleh karena itulah kita bisa memahami ba- dengan hukum yang seharusnya diciptakan
gaimana Max Weber mendefinisikan tentang (there is no necessary connection between law
hukum: hukum adalah fakta-fakta atau kenya- and morals or law as it is and law as it ought to
taan yang muncul sebagai perkembangan hubu- be).
ngan sebab-akibat. Dengan kata lain, hukum Pendapat Hart seperti dipaparkan pada
adalah bagian dari gejala sosial. Pandangan ini butir kedua mengindikasikan tolakan HLA Hart
jelas berbasis landasan empirik, artinya hukum bahwa hukum harus bersumber dari sesuatu
dilahirkan dari hubungan sebab-akibat. Dengan yang abstrak. Ini adalah konsekuensi logis cara
demikian basisnya adalah adanya realita ter- berpikir dalam Positivisme, yang bersumber da-
lebih dahulu, dan dari realita itu dapat diverifi- ri hubungan sebab-akibat suatu gejala dengan
kasi hubungan sebab-akibat yang logis. gejala yang lain secara konkret (kasat mata).
Oleh karenanya pertimbangan-pertimbangan
15
Sistem pemikiran ahli sosiologi abad XX terangkum da- moral tidak harus terkait dengan terbitnya hu-
lam sosiologi hukum. Dalam perspektif sosiologi, hu-
kum merupakan salah satu gejala di dalam masyarakat,
kum positif, karena pertimbangan moral bukan-
dan hukum dikaji dari perspektif sosiologi. Tujuan lah hal yang konkret. Begitu kuatnya logika
sosiologi hukum secara harfiah adalah untuk menjelas-
kan masyarakat dengan instrumen hukum.
Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal 81

Positivisme menjadi pedoman bepikir Hart, dalam Positivisme adalah bahwa keseluruhan
tercermin pula dari ajarannya bahwa:16 objek sesungguhnya adalah hasil ‘penjumlahan’
“...the analysis or study of legal atau integrasi dari pemahaman atas bagian-
concepts is an important study to be bagian atau unsur-unsur. Cara pandang yang
distinguished from historical inquiries, matematis dari positivisme ini meyakini bahwa
sociological inquiries and the critical
appraisal of law in terms or morals, unsur-unsur bisa membentuk satu kesatuan sis-
socials aims..” tem. Inilah yang di dalam sosiologi melahirkan
teori struktural-fungsional sebagaimana di-
Cara pandang senada juga dikemukakan kemukakan oleh Talcott Parson.
oleh tokoh positivisme hukum John Austin Pertanyaannya, apakah reduksionisme ini
(1790-1859) yang menyatakan bahwa norma hu- bisa diterapkan di dalam ajaran hukum? Seba-
kum harus memuat: perintah, kewajiban dan gai konsekuensi dari diadopsinya Positivisme di
sanksi. Terkait dengan perintah (command) ha- dalam pengembangan hukum, maka reduksio-
rus memenuhi 2 (dua) syarat sebagaimana di- nisme juga diterima di dalam ilmu yang me-
sampaikan John Austin:17 ngembangkan hukum positif. Oleh karena itulah
“Commands are laws if two conditions kita bisa melihat upaya-upaya reduksionisme ini
are satisfied : first,they must be general; dilakukan di dalam ilmu hukum, sebagaimana
second they must be commanded by what
exists in every political society, what- dilakukan oleh John Austin, HLA Hart, maupun
ever its constitutional form, namely, a Hans Kelsen.
preson or a group of persons aho are in Bagaimana reduksionisme ini dilakukan di
receipt of habitual obedience from most dalam positivisme hukum? John Austin menya-
of the society...” takan bahwa ilmu hukum identik dengan hukum
Terkait dengan wacana realitas objektif, yang berlaku (hukum positif) yang harus diteri-
apakah benar kajian hukum positif bisa dipisah- ma tanpa harus memperhatikan apakah aturan
kan dari nilai-nilai tertentu seperti moral? Bu- hukum itu baik atau tidak secara moral. Selan-
kankah hukum positif dibuat dalam tatanan jutnya ia memaparkan unsur-unsur yang harus
yang terikat pada ruang dan waktu, sehingga terkandung di dalam suatu aturan hukum. Me-
ada nilai-nilai tertentu yang akan mempenga- nurut pendapatnya, aturan hukum harus me-
ruhinya? Bukankah nilai-nilai tertentu bahkan muat 3 (tiga) unsur: command (perintah), sanc-
kepentingan-kepentingan tertentu dapat meng- tion (sanksi) dan dikeluarkan oleh pejabat yang
ikat pembuat hukum maupun adressat hukum memang berwenang untuk itu. Kewenangan itu
sehingga harus dikatakan bahwa hukum positif terefleksikan dalam kedaulatan negara. Penda-
pun terbit sebagai produk nilai-nilai tertentu? pat John Austin dengan demikian sangat senada
Telah dikatakan di atas, bahwa salah satu dengan HLA Hart, yang mengedepankan aspek
ciri positivisme adalah bersifat reduksionis. kedaulatan negara sebagai atribut negara yang
Asumsi yang dikembangkan dari reduksionisme berimplikasi pada kewenangan bersifat ekster-
nal maupun internal.
16 HLA Hart memecah hukum (dalam hal ini
Lihat dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatul-
lah, 2007, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Yogyakarta: hukum positif) di dalam 2 (dua) bagian. Perta-
Pustaka Pelajar, hlm. 97. Bandingkan mengenai
ma, primary rules, yaitu aturan-aturan hukum
persoalan moral pada Suadamara Ananda, “Hukum dan
Moralitas”, Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 24 No. 3 yang secara langsung memberikan hak-hak dan
Juli 2006, hlm. 301-307; dan Frans H. Winata, kewajiban kepada orang-per orang. Aturan-atu-
“Pencapaian Supremasi Hukum yang Beretika dan
Bermoral”, Jurnal Hukum Pro Justitia, Tahun XX No. 1 ran itu meliputi aturan hukum perdata dan hu-
Januari 2003, hlm. 3-8; dan M. Husni, “Moral dan kum pidana. Kedua, secondary rules, yaitu atu-
Keadilan Sebagai Landasan Penegakan Hukum Yang
Responsif”, Jurnal Equality Fakultas Hukum Univer-sitas
Sumatera Utara, Vol. 11 (1) Februari 2006
17
Lihat dalam David Dyzenhaus, Sophia Reibetanz More-
au and Arthur Ripstein(editor), 2007, Law and Morali-
ty: Readings in Legal Philosophy: 3rd edition, Toron-
to: University of Toronto Press, hlm. 30-31.
82 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 12 No. 1 Januari 2012

ran-aturan hukum yang memberikan hak dan Berdasarkan uraian reduksionisme dalam
kewajiban kepada penguasa negara.18 ilmu hukum maka ada pertanyaan yang diulang
Selanjutnya Hans Kelsen, memecah hu- kembali, apakah reduksionisme sesungguhnya
kum (dalam hal ini hukum positif) menjadi 2 bisa dilakukan terhadap keberadaan suatu atu-
(dua) bagian bahasan besar : teori hukum murni ran hukum? Reduksionisme di dalam filsafat po-
dan stufenbautheorie. Kedua bahasan besar sitivisme, berbasis pada keyakinan bahwa objek
tersebut boleh dikatakan sebagai hasil reduk- telaah sesungguhnya terdiri dari sub-sub objek
sionis oleh Hans Kelsen atas pemahaman hu- (unsur-unsur) yang membentuk satu kesatuan
kum. Terkait dengan pemikiran Hans Kelsen, yang membentuk objek tersebut. Dari uraian
beberapa ajarannya yang terangkum dalam Hart,John Austin dan Hans Kelsen maka objek
ajaran hukum murni (the pure theory of law) telaah kajian hukumnya adalah aturan hukum
dipaparkan sebagai berikut. positif. Pertanyaannya, apakah ketika hasil pe-
Pertama, bahwa hukum harus dilepaskan cahan-pecahan itu disatukan akan menghasil-
dari moral, pertimbangan-pertimbangan yang kan aturan hukum sebagai satu kesatuan sis-
abstrak, pertimbangan politik, ekonomi dan tem? Apakah bagian-bagian yang dipecah-pecah
faktor di luar hukum lainnya. Tujuan hukum (sebagaimana terlihat pada pendapat Hart,
adalah kepastian hukum. Begitu kuatnya prinsip Austin dan Hans Kelsen) kalau disatukan kem-
ini diajarkan oleh Hans Kelsen sehingga ia pun bali akan menghasilkan pemahaman yang utuh
sampai pada pendapat bahwa ilmu hukum harus tentang hukum?
dipisahkan dari ilmu sosial. Seorang ahli hukum Pertanyaan-pertanyaan ini perlu menda-
harus mempelajari hukum lepas dari ilmu-ilmu patkan jawaban karena berbeda dengan ajaran
kemasyarakatan maupun kondisi sosial. filsafat positivisme, objek pengaturan hukum
Kedua, hukum harus benar-benar objektif adalah manusia. Memang manusia adalah reali-
tanpa prasangka. Oleh karena itu Hans Kelsen tas tetapi manusia selalu terikat pada nilai-nilai
dalam hal ini berbeda dengan HLA Hart maupun tertentu, tatanan sosial tertentu. Hukum positif
John Austin. Bagi Hans Kelsen aturan hukum pun di dalam perkembangannya juga terikat
bukanlah hasil dari perintah penguasa karena pada nilai-nilai tertentu, bahkan kepentingan-
penguasa berpotensi memiliki kepentingan sub- kepentingan tertentu, karena terbitnya hukum
jektif dan bisa memiliki agenda politik yang positif sesungguhnya juga merupakan keputus-
bisa menyebabkan aturan yang dibuat menjadi an politik, yang mendasarkan pada anutan
tidak objektif. nilai-nilai tertentu. Dengan menyadari hal-hal
Ketiga, keadilan adalah persoalan di wila- seperti itu maka tidak serta-merta reduksio-
yah ought to be (yang seharusnya) bukan is nisme dapat secara mudah dilakukan dalam
(yang ada). Dengan demikian bagi Hans Kelsen, kajian ilmu hukum.
keadilan bukan merupakan bagian dari kajian Ciri positivisme berikutnya adalah objek-
ilmu hukum positif. Keadilan adalah persoalan tif atau bebas nilai. Oleh karena itulah dikata-
keharusan (ideal, apa yang seharusnya) tetapi kan,19 di dalam (paradigma) positivisme ada
bersifat metayuridis. Keadilan menurut Hans dikotomi yang tegas antara fakta dengan nilai,
Kelsen merupakan persoalan yang bersifat tidak dan mengharuskan subjek peneliti mengambil
rasional (dalam terminologi positivisme: penu- jarak terhadap realitas dengan bersikap netral.
lis) yang tidak jelas batas-batasnya sehingga Akan tetapi perilaku manusia dapat berubah
tidak dapat menjadi konsep yang memuaskan sesuai dengan faktor yang mempengaruhinya.
apabila dikaji dari apa yang oleh Kelsen disebut Fenomena sosial secara alamiah adalah subjek-
ajaran hukum murni. tif dan tidak akan dapat dipahami sebagai se-
suatu yang objektif. Secara cukup jelas Santos20
18
Secondary rules ini selanjutnya dipecah menjadi 3 (ti-
mengatakan, perilaku manusia tidak akan dapat
ga) bagian yaitu : Pertama, rule of change ; Kedua, rule
19
of adjudication ; Ketiga,rule of recognition. Donny Gahral Adian, op.cit, hlm. 36.
20
Boaventura De Sousa Santos, op.cit, hlm. 16-17.
Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal 83

dideskripsikan dan digambarkan berdasarkan dalkan kekuatan nilai-nilai dan ajaran-ajaran.


karakteristik eksternalnya. Karakteristik manu- Perwujudannya yang sangat khas adalah: fiksi
sia, tidak dapat diobjektifikasikan karena tin- hukum. Ajaran ini dikembangkan jauh sebelum
dakan yang tampak (eksternal) sama bisa saja ilmu hukum dikembangkan dalam cara berpikir
menimbulkan interpretasi yang beragam. Ilmu- filsafat positivisme. Apabila ajaran hukum dok-
ilmu sosial, dengan demikian akan selalu men- trinal itu dikaji dalam perspektif filsafat positi-
jadi pengetahuan yang subjektif dan menurut visme, maka menjadi bertentangan karena fil-
Santos, di dalamnya harus ada pemahaman si- safat positivisme mengandalkan verifikasi mela-
kap dan arti tindakan. lui pembuktian empiris.
Hans Kelsen menolak pendapat bahwa Kedua, ilmu hukum yang dikembangkan
hukum (dalam hal ini hukum positif) adalah dengan cara berpikir filsafat positivisme me-
perintah dari penguasa karena dengan menyan- nyebabkan pengkajian ilmu hukum seperti
darkan pada penguasa, hukum akan terkonta- pengkajian pada ilmu-ilmu lain yang dikem-
minasi dengan subjektifitas. Realitanya hukum bangkan dalam filsafat positivisme berciri logi-
positif tentu dikeluarkan oleh penguasa, dan ko-empirik, objektif, reduksionis, deterministik
sebagaimana disebut di atas, hukum positif dan bebas nilai. Ciri bermanfaat untuk me-
muncul karena kekuasaan yang menganut nilai- ngembangkan ilmu menjadi bersifat ilmiah.
nilai tertentu. Bahkan hukum positif pun bisa Oleh karena itu untuk mengilmiahkan ilmu hu-
memuat hidden agenda untuk tujuan-tujuan kum, maka kajian ilmu hukum harus dibebaskan
tertentu. dari unsur-unsur yang bersifat tidak konkrit, ti-
Seiring dengan perkembangan ilmu pe- dak rasional seperti moral, kebaikan dan ajar-
ngetahuan dan eksplorasi terus-menerus dalam an-ajaran tentang kebaikan lainnya. Ilmu hu-
mencari kebenaran ilmiah, maka positivisme kum harus didudukkan seperti ilmu-ilmu dalam
yang berpijak pada realitas, objektivitas, net- kerabat sains; netral dan bebas nilai.
ralitas dan menekankan pada fakta mulai diper- Ketiga, ilmu hukum yang dikembangkan
tanyakan keabsahannya ketika cara berpikir po- dalam tradisi pemikiran positivisme dalam be-
sitivisme harus diterapkan pada soal-soal ke- berapa hal bertentangan dengan tradisi pemi-
masyarakatan. kiran hukum doktrinal yang tumbuh pada masa
pra-positivisme. Pengkajian hukum dalam tradi-
Penutup si filsafat positivisme, tidak serta merta identik
Simpulan dengan tradisi pemikiran hukum doktrinal. Be-
Beberapa simpulan yang dapat ditarik da- berapa prinsip di dalam positivisme bahkan ber-
ri pembahasan di atas adalah sebagai berikut. tentangan di dalam ilmu hukum doktrinal se-
Pertama, kajian hukum doktrinal memiliki tra- perti ditunjukkan dengan adanya ajaran fiksi
disi pemikiran yang bersumber dari filsafat ma- hukum maupun kepastian hukum.
sa Yunani yang kemudian dikembangkan pada
era tumbuhnya ajaran hukum alam di Eropa Saran
Barat. Tradisi pemikirannya bersumber dari Dapat dikatakan bahwa ilmu hukum dok-
ajaran-ajaran agama dan olah pikir manusia de- trinal mempunyai karakter tersendiri yang tidak
ngan rasionalitasnya. Dalam batas-batas ini, bisa disamakan begitu saja dengan ilmu-ilmu
pemahaman nilai atau ajaran sebenarnya sa- sosial yang dikembangkan dalam tradisi Positi-
ngat penting bagi pengkajian hukum doktrinal. visme. Ilmu hukum doktrinal mensyaratkan
Inilah ciri khas dari hukum doktrinal, bahwa kajian mendalam tentang nilai-nilai, moral dan
keberadaannya tidak mendasarkan pada logiko- ajaran-ajaran hukum yang mengkonkritkan ni-
empirik sebagaimana dikembangkan filsafat Po- lai tersebut dalam mengatur perilaku manusia.
sitivisme, akan tetapi pada cara berpikir a prio- Oleh karena itu disarankan kepada para peng-
ri. Cara berpikir a priori tidak menggantung- kaji ilmu hukum doktrinal (normatif) untuk ti-
kan pada fakta sosial (empirik) tetap mengan- dak sekedar mengupas aturan hukum positif sa-
84 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 12 No. 1 Januari 2012

ja. Mengeksplorasi nilai filsafat dibalik terbit- Huijbers, Theo. 1980. Filsafat Hukum Dalam
nya suatu aturan menjadi tidak terelakkan da- Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius;
lam kajian hukum doktrinal. Diharapkan para Husni, M. “Moral dan Keadilan Sebagai Lan-
pembaca menyadari kembali bahwa ilmu hu- dasan Penegakan Hukum Yang Respon-
sif”. Jurnal Equality, Vol. 11 No. 1 Feb-
kum doktrinal sesungguhnya tidaklah mudah. Ia
ruari 2006. FH Univ. Sumatera Utara;
tidak sekedar mengupas aturan-aturan hukum
Indarti, Erlyn. “Legal Constructivism: Paradig-
positif saja, tetapi menukik lebih dalam untuk ma Baru Pendidikan Dalam Rangka Pem-
menjelajah nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bangunan Masyarakat Madani”. Majalah
menyebabkan kenapa suatu aturan hukum ter- Ilmiah Masalah-Masalah Hukum, Vol.
tentu harus diberlakukan. XXX, No. 3, Juli – September 2001;
Semakin disadari bahwa hukum sangat su- Kusumohamidjojo, Budiono. 1999. Ketertiban
lit untuk dilepaskan dari basis sosialnya. Oleh yang Adil: Problematika Filsafat Hukum.
Jakarta: Grasindo;
karena itu tidak dapat dicegah terjadinya inter-
Morris, Clarence. 1963. The Great Legal Philo-
aksi antar disiplin dan proses saling memasuki.
sophers: Selected Reading in Jurispru-
Inilah yang menjadi landasan penyebutan ilmu dence. Philadelphia: University of Penn-
hukum yang holistik. Ilmu hukum yang holistik sylvania Press;
tidak bisa bekerja sendiri dengan memfokus- Prasetyo, Teguh dan Abdul Hakim Barkatullah,
kan pada peraturan (rule) melainkan juga pada 2007. Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum.
perilaku. Dalam ilmu hukum holistik, hukum Yogyakarta: Pustaka Pelajar;
adalah untuk manusia, dan dari situ akan me- Santos, Boaventura De Sousa. 1995. Toward a
New Common Sense: Law,Science and
ngalir pendekatan, fokus studi, metodologi dan
Politics in the Paradigmatic Transition.
sebagainya. Ilmu hukum yang mengisolasikan London: Routledge;
diri dari keterkaitannya dengan disiplin ilmu Sewu, P. Lindawaty S. “Kegunaan Filsafat Hu-
lain akan memiliki penjelasan yang sangat ku- kum Dalam Mengupas Tuntas Permasa-
rang. lahan Hukum Kontekstual”. Wacana Para-
marta: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 5 No. 1
Daftar Pustaka 2006, FH Univ. Langlangbuana;
Shidarta. ”Filosofi Penalaran Hukum Hakim
Adian, Donny Gahral. 2001. Arus Pemikiran
Konstitusi dalam Masa Transisi Konstitu-
Kontemporer. Jogjakarta: Jalasutra; sionalitas”. Jurnal Hukum Jentera, Edisi
Ananda, Suadamara. “Hukum dan Moralitas”. 11-tahun III, Januari-Maret 2006;
Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 24 No. 3 Subawa, Made. “Pemikiran Filsafat Hukum da-
Juli 2006; lam Membentuk Hukum”. Sarathi: Kajian
Christiani, Theresia Anita. ”Studi Hukum Ber- Teori Dan Masalah Sosial Politik, Vol. 14
dasarkan Perkembangan Paradigma Pemi- No. 3 2007. Asosiasi Ilmu Politik Indonesia
kiran Hukum Menujur Metode Holistik”. Denpasar;
Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 26 No. 4 Suparlan, Parsudi. “Paradigma Naturalistik da-
Oktober 2008; lam Penelitian Pendidikan: Pendekatan
Dyzenhaus, David. Sophia Reibetanz Moreau Kualitatif dan Penggunaannya”. Majalah
and Arthur Ripstein(eds). 2007. Law and Antropologi Indonesia No. 53, Vol. 21 –
Morality: Readings in Legal Philosophy. 1997. FISIP UI Jakarta;
3rd edition. Toronto: University of Syamsudin, M. ”Konstruksi Pola Pikir Hakim da-
Toronto Press; lam Memutus Perkara Korupsi Berbasis
Hartono, Sunaryati. 1991. Pembinaan Hukum Hukum Progresif”. Jurnal Dinamika Hu-
Nasional Dalam Suasana Globalisasi Ma- kum Vol. 11 No. 1 Januari 2011;
syarakat Dunia. Pidato Pengukuhan Jaba- Winata, Frans H. “Pencapaian Supremasi Hu-
tan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum, kum yang Beretika dan Bermoral”. Jurnal
Bandung: FH UNPAD; Hukum Pro Justitia, Tahun XX No. 1
Hingorani. 1984. Modern International Law. Januari 2003.
2nd edition. London: Oceana Publi-
cations;

Anda mungkin juga menyukai