DI SUSUN
O
L
E
H
INDAH RATNA SARI 178400248
ENZELI PRAGITA 178400186
NOVITA S. DEPARI 178400201
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MEDAN AREA
TA. 2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. karena dengan rahmat dan
hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas makalah Hukum Perdata II ini
tepat pada waktunya dengan judul “Perbuatan Melawan Hukum”.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hukum
Perdata II. Sehubungan dengan tersusunnya makalah ini kami menyampaikan terima
kasih kepada ibu Ika selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Perdata I.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami dan para pembaca. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan. Namun
penyusun tetap mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif sehingga
bisa menjadi acuan dalam penyusunan makalah selanjutnya.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Pada dasarnya kehidupan antara seseorang itu didasarkan pada adanya suatu
“hubungan”, baik hubungan atas suatu kebendaan atau hubungan yang lain.
Adakalanya hubungan antara seseorang atau badan hukum itu tidak berjalan mulus
seperti yang diharapkan, sehingga seringkali menimbulkan permasalahan hukum.
Semua tindakan yang dilakukan oleh manusia yang selalu terikat oleh hukum.
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat
oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi
untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi
pelanggarnya.
Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas
dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya
mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi
juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan
dengan ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari
perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi
kepada pihak yang dirugikan. “Setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara
seksama dalam undang-undang, sehingga sifatnya terbatas”.
3
BAB II
“ Setiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain,
mewajibkan orang yang karena kesalahannya yang menimbulkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”.
Berdasar pada rumusan Pasal ini, dapat dipahami bahwa suatu peraturan
dinyatakan melawan hukum apabila memenuhi empat unsur berikut :
Salah satu saja dari unsur-unsur di atas ini tidak terpenuhi, perbuatan itu tidak
dapat digolongkan perbuatan melawan hukum.1
A. Perbuatan (daad)
1
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 259-
260.
4
Pelanggaran perbuatan dalam dua pasal tersebut mempunyai akibat hukum sama,
yaitu mengganti kerugian.
Rumusan perbuatan positif dalam Pasal 1365 KUHPer dan perbuatan negatif
dalam Pasal 1366 KUHPer hanya digunakan sebelum ada Putusan Hoge Raad
Nederlands 31 Januari 1919 karena pada waktu itu pengertian “melawan hukum”
hanya bagi perbuatan positif, dalam arti sempit. Setelah keluar Putusan Hoge Raad
31 Januari 1919, pengertian “melawan hukum” diperluas, mencakup juga perbuatan
negatif, tidak berbuat. Maka, pengertian “perbuatan melawan hukum” pada Pasal
1365 KUHPer diperluas yang mencakup juga perbuatan negatif pada Pasal 1366
KUHPer yaitu berbuat atau tidak berbuat. Jadi perbuatan melawan hukum dalam
Pasal 1365 KUHPer adalah berbuat atau tidak berbuat merugikan orang lain.
Berbuat, contohnya merusak barang milik orang lain atau membakar kebun tetangga.
Tidak berbuat, contohnya tidak mengerjakan pekerjaan borongan yang telah
disanggupi atau membiarkan bayi tidak diberi susu. Kedua perbuatan tersebut
menimbulkan akibat hukum sama, yaitu merugikan orang lain. 2
Sejak tahun 1890 para penulis hukum telah menganut paham yang luas
tentang pengertian melawan hukum, sedangkan dunia peradilan (Mahkamah Agung)
masih menganut paham yang sempit. Hal itu dapat diketahui dari Putusan Hoge
Raad Nederlands sebelum tahun 1919, yang merumuskan :
“Perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan yang melanggar hak orang
lain atau jika orang berbuat bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.”
Dalam rumusan ini, yang perlu dipertimbangkan hanya hak dan kewajiban
hukum berdasar pada undang-undang (wet). Jadi perbuatan itu harus melanggar hak
orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang diberikan
undang-undang (wet). Dengan demikian melanggar hukum (onrechtmatige) sama
dengan melanggar undang-undang (onwetmatige). Melalui tafsiran sempit ini banyak
kepentingan masyarakat dirugikan, tetapi tidak dapat menuntut apa-apa.3Semula
2
Ibid., hlm. 260-261.
3
Ibid., hlm. 261.
5
pengertian melawan hukum hanya diartikan secara sempit yaitu perbuatan yang
melanggar undang-undang saja. Akan tetapi, kemudian Hoge Raad dalam kasus yang
terkenal Lindenbaum melawan Cohen memperluas pengertian melawan hukum
bukan hanya sebagai perbuatan yang melanggar undang-undang, tetapi juga
perbuatan yang melanggar kepatutan, kehati-hatian, dan kesusilaan dalam hubungan
antara sesama warga masyarakat dan terhadap benda orang lain.4
4
Sedyo Prayogo, Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum Dalam
Perjanjian, Jurnal Pembaharuan Hukum Volume III No. 2, 2 Mei-Agustus 2016.
6
Berdasar pada Putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 tersebut di atas, ternyata
Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) telah meninggalkan paham yang sempit
dan beralih menganut paham yang luas mengenai rumusan perbuatan melawan
hukum Pasal 1401 BW Belanda. Paham yang luas tersebut sebenarnya adalah
rumusan pembuat undang-undang yang dimuat dalam rancangan undang-undang
sejak 1913, tetapi belum sempat menjadi undang-undang. Rumusan tersebut diambil
alih oleh Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) dalam praktik peradilan perkara
perdata. Dalam rumusan yang luas itu ternyata unsur “kesusilaan” telah dimasukkan
pula ke dalam lapangan hukum sehingga perbuatan yang bertentangan dengan
kesusilaan atau kesopanan dapat juga diberantas melalui jalan hukum berdasar pada
“perbuatan melawan hukum” Pasal 1401 BW Belanda.5
C. Ganti Kerugian
Kerugian yang dimaksud dalam pengertian ini dapat berupa kerugian materiel
atau kerugian imateriel. Menurut yurisprudensi, Pasal 1246-1248 KUHPer mengenai
ganti kerugian dalam hal terjadi wanprestasi tidak dapat diterapkan secara langsung
pada perbuatan pada perbuatan melawan hukum, tetapi dibuka kemungkinan
penerapan secara analogis.6
D. Kesalahan, Kelalaian
7
semua gradiasi dari kesalahan dalam arti “kesengajaan” sampai pada kesalahan
dalam arti “kelalaian”. Menurut konsep hukum perdata, seseorang dikatakan bersalah
jika kepadanya dapat disesalkan bahwa dia telah melakukan atau tidak melakukan
suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan. Perbuatan yang seharusnya dilakukan
atau tidak dilakukan, itu tidak terlepas dari dapat tidaknya dikira-kirakan. Dapat
dikira-kirakan itu harus diukur secara objektif. Artinya, manusia normal dapat
mengira-ngirakan dalam keadaan tertentu itu perbuatan seharusnya dilakukan atau
tidak dilakukan. Dapat dikira-kirakan itu harus juga dapat diukur secara subjekif.
Artinya, apa yang justru orang itu dalam kedudukannya dapat mengira-ngirakan
bahwa perbuatan itu seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan.7
Selain dari ukuran objektif dan subjektif, orang yang berbuat itu harus dapat
dipertanggungjawabkan (responsible). Artinya, orang yang berbuat itu sudah dewasa,
sehat akalnya, dan tidak berada di bawah pengampuan. Dalam pengertian “tanggung
jawab” itu termasuk juga akibat hukum dari perbuatan orang yang berada di bawah
pengawasannya, kekuasannya, dan akibat yang timbul dari binatang yang berada
dalam pemeliharaannya dan benda-benda yang berada di bawah pengawasannya
(Pasal 1367 dan 1368 KUHPer).
E. Hubungan Kausal
Hubungan kausal itu ada, dapat disimpulkan dari kalimat Pasal 1365 KUHPer
“ perbuatan yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian”. Kerugian itu harus
timbul sebagai akibat dari perbuatan orang itu. Jika tidak ada perbuatan, tidak pula
ada akibat, dalam hal ini kerugian. Untuk mengetahui bahwa suatu perbuatan adalah
sebab dari suatu kerugian, perlu diikuti teori adequate veroorzaking yang
dikemukakan oleh von Kries. Menurut teori ini, yang dianggap sebagai sebab adalah
perbuatan yang menurut pengalaman manusia normal sepatutnya dapat diharapkan
menimbulkan akibat, dalam hal ini akibatnya adalah kerugian. Jadi, antara perbuatan
dan kerugian yang timbul harus ada hubungan langsung (hubungan sebab akibat).
Sebagai contoh, seseorang lewat melalui pekarangan orang lain kemudian pot
kembang milik pekarangan itu tersentuh hingga jatuh dan pecah. Di sini, antara
7
Ibid., hlm. 263.
8
perbuatan tersentuh (sebab) dan kerugian yang timbul, yaitu pecahnya pot kembang
(akibat) ada hubungan kausal. Akan tetapi , jika dia lewat dalam pekarangan itu
bertepatan dengan jatuhnya pot kembang karena tataannya lapuk, di situ tidak ada
hubungan kausal.8
BAB III
9
I. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum
11
Ibid., hlm.
10
kepentingan pribadi tetapi juga kepentingan orang lain sehingga dalam bertindak
haruslah sesuai dengan, ketelitian, dan kehati-hatian yang berlaku dalam masyarakat.
2. Kerugian immaterial
Yang termasuk dalam kerugian immaterial akibat perbuatan melawan hukum
dapat berupa :
Kerugian moral,
Kerugian yang tidak dapat dihitung dengan uang.
12
Ibid.
13
Ibid., hlm.
11
1. Kesengajaan adalah melakukan suatu perbuatan, dimana dengan
perbuatan itu si pelaku menyadari sepenuhnya akan ada akibat dari
perbuatan tersebut.
2. Kelalaian adalah seseorang tidak melakukan suatu perbuatan, tetapi
dengan bersikap demikian pada hakikatnya ia telah melawan hukum,
sebab semestinya ia harus berbuat atau melakukan suatu perbuatan. Jadi,
ia lalai untuk melakukan suatu perbuatan yang sebenarnya wajib
melakukan suatu perbuatan.
14
Ibid.
12
BAB IV
13
masyarakat. Setiap anggota masyarakat harus menggunakan haknya sesuai dengan
tujuannya. Anggota masyarakat yang menggunakan haknya tidak sesuai dengan
tujuannya yang menimbulkan kerugian pada orang lain, maka padanya akan
dimintakan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dalam praktek, hakim dalam menentukan apakah seorang telah melanggar
kepantasan, kesusilaan di tengah-tengah masyarakat sering menemui kesulitan
karena perluasan pengertian perbuatan melawan hukum, maka apabila seseorang
melawan kesusilaan dan kepantasan dianggap telah melakukan perbuatan melawan
hukum. Kalau hakim memenuhi kesulitan dalam menentukan ini otomatis dalam
menentukan ganti rugi hakim juga akan menemukan kesulitan. Walaupun ada
pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum namun ada juga hal-hal yang
melenyapkan sifat perbuatan melawan hukum dari suatu tuntutan, sehingga
kepadanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Hal-hal yang dapat melenyapkan pertanggungjawaban atas perbuatan
melawan hukum dibedakan dalam 2 golongan yaitu :17
Yang berasal dari undang-undang
Yang berasal dari hukum tidak tertulis
17
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005) hlm.
14
Dalam hal ini harus ada seorang dari pihak lain baru bisa dilakukan
pembelaan diri. Sifat melawan hukum lenyap bilamana seseorang dalam melakukan
perbuatannya dapat mendalilkan bahwa hak pribadi yang menjadi dasar
perbuatannya. Contoh pasal 1354 KUH Perdata dengan pasal 1358 KUH Perdata
tentang zaakwarneming.
Kalau pada waktu pembelaan diri tergolong pada perbuatan melawan hukum,
maka sifat melawan hukumnya menjadi lenyap. Harus diperhatikan bahwa harus
benar-benar ada keadaan yang memerlukan seseorang untuk membela diri juga harus
diperhatikan bahwa pembelaan diri ini tidak berakibat serangan baru terhadap yang
menyerang.18
c) Keadaan Memaksa (Overmacht)
Menurut Subekti, “Untuk dapat dikatakan keadaan memaksa (overmacht), keadaan
itu diluar kekuasaan manusia dan memaksa. Yang mana kerugian yang timbul
akibat keadaan memaksa, kerugian tersebut tidak dapat dipastikan terjadi
sebelumnya karena keadaan itu di luar kekuasaan manusia”.
Selanjutnya beliau mengatakan, keadaan memaksa ini terbagi 2 yaitu:
Bersifat mutlak (absolut) : Dalam hal ini tidak mungkin lagi melaksanakan
suatu perjanjian. Jadi tidak mungkin lagi untuk menuntut ganti rugi.
Bersifat relatif (tidak mutlak) : Yaitu berupa keadaan dimana perjanjian
masih dapat dilaksanakan tetapi dengan pengorbanan-pengorbanan yang
sangat besar dari pihak yang melakukan kesalahan.
d) Perintah Jabatan
Perintah jabatan adalah melaksanakan tugas pekerjaan berdasarkan perbuatan
yang berlaku dalam lingkungannya.
B. Yang Berasal Dari Hukum Yang Tidak Tertulis
Hal yang melenyapkan sifat melanggar hukum yang tidak berasal dari
undang-undang, misalnya: wewenang untuk melanggar hak orang lain atas dasar
persetujuan yang berhak. Misalnya: A pemilik seekor anjing, ternyata kemudian
menderita sakit gila. A meminta B yang kebetulan memegang sebuah tongkat untuk
memukul anjingnya tersebut. Atas persetujuan A tersebut, B memukul anjing tadi.
BAB V
18
Ibid.
15
PENUTUP
I. Kesimpulan
A. Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks hukum
perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer) yang berbunyi : “ Setiap perbuatan melawan hukum yang
mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena
kesalahannya yang menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
B. Berdasar pada rumusan Pasal ini, dapat dipahami bahwa suatu peraturan
dinyatakan melawan hukum apabila memenuhi empat unsur berikut :
Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatige);
Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian;
Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan; dan
Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan
kausal.
C. Pelaku perbuatan melawan hukum ialah :
manusia pribadi, atau
badan hukum.
16
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir. 2005. Perbuatan Melawan Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
17