GURINDAM 12 adalah puisi lama karya Raja Ali Haji, seorang sastrawan dan
Pahlawan Nasional dari Pulau penyengat Provinsi Kepulauan Riau.
PASAL I#
Barang Siapa tiada memegang agama
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama
=> Maksudnya adalah setiap manusia harus memiliki agama karena agama sangat penting
bagi kehidupan manusia, orang yang tidak mempunyai agama akan buta arah menjalankan
hidupnya
PASAL 3#
Apabila terpelihara mata,
sedikitlah cita-cita.
=> orang yang tidak menjaga hawa nafsu, akan rugi
PASAL 4#
Hati kerajaan di dalam tubuh,
jikalai zalim segala anggota pun roboh
=> hati yang jahat dapat membawa kesengsaraan
PASAL 5#
Jika hendak mengenal orang berbangsa,
lihat kepada budi dan bahasa.
=> orang yang baik bisa dilihat dari etikanya
Jika hendak mengenal orang berbahagia,
sangat memeliharakan yang sia-sia
=> orang yang berbahagia, tidak menyia-nyiakan apapun
PASAL 6#
Cahari olehmu akan sahabat,
yang boleh dijadikan obat.
=> carilah sahabat yang selalu ada dalam situasi apapun
PASAL 7#
Apabila banyak berkata-kata,
di situlah jalan masuk dusta.
=> orang yang banyak bicara, lebih banyak berkata dusta
PASAL 9#
Tahu pekerjaan tak baik tetapi dikerjakan,
bukannya manusia yaitulah syaitan.
=>orang yang tahu bahwa yang dia lakukan itu tidak benar, tetapi tetap ia lakukan itu sama
saja dengan syaitan
PASAL 10#
Dengan bapa jangan durhaka,
supaya Allah tidak murka
=> harus patuh terhadap orang tua, agar mendapat ridha dari Allah Swt
PASAL 11#
Hendaklah berjasa,
kepada yang sebangsa.
=> saling membantu dan berbakti kepada bangsa dan negara
Hendak marah,
dahulukan hajat.
=> menahan emosi dalam mencapai keinginan
Hendak dimulai,
jangan melalui.
=> jangan pernah menunda-nunda sesuatu
Hendak ramai,
murahkan perangai.
=> berbuatlah baik jika ingin memiliki banyak teman
PASAL 12#
Raja mufakat dengan menteri,
seperti kebun berpagarkan duri
=> jika kita bekerjasama akan menjadi satu kesatuan yang kuat
Betul hati kepada raja
tanda jadi sebarang kerja
=> orang yang selalu mematuhi perintah pemimpin
CERPEN
Sekuntum Dandelion
Oleh: Meiza Maulida Munawaroh
“Bun, lihat sini deh!” pintaku. Bunda menghampiriku yang mematung di teras rumah. Ia
datang dengan wajah penasaran.
“Ada apa, Nayya?!”
“Itu bunga apaan, sih?” tunjukku kepada serumpun rumput-rumputan dengan tangkai
panjang dan bandul putih lembut seperti kapas. Hmm, banyak serbuk sarinya, lagi!
Bunda tersenyum seketika, “Kamu itu, sudah kelas enam, masa tidak tahu itu bunga apa?”
ledeknya, “Bunda akan tunjukkan sesuatu. Tapi kapan-kapan ya?”
“Huh,” dengusku dalam hati. “Aku lebih suka main game watch dan menulis resensi
daripada menjadiflowerholic seperti Bunda!”
Bunda tertawa geli, kemudian masuk ke dalam rumah. Meninggalkanku yang kembali
mematung dengan perasaan lain.
Kutatap rumpun bunga unik itu dari kejauhan, dengan pandangan datar. Lama-lama, aku
merasa sedikit risih karena bunga-bunga aneh itu. Bunga itu seolah virus bagi taman rumah
dan koleksi bunga milik Bunda lainnya.
Setiap hari, sepulang sekolah, aku selalu melirik bunga liar yang sekarang tumbuh
bertebaran di setiap sudut taman. Aku tidak habis pikir, bagaimana cara mereka bisa
menyebar sedemikian cepat? Yah, kuakui aku memang tidak tahu, dan tidak mau tahu.
Beragam kegiatan ekstrakurikuler yang padat, serta PR yang tidak kira-kira, membuatku tak
sempat memikirkan hal lain. Lebih-lebih memikirkan soal bunga yang tidak begitu aku sukai.
Tapi bunga itu, lama-lama jadi menyebalkan. Aku menimang-nimang kapan akan
kuproklamasikan, “aku benci bunga-bunga itu!”. Tetapi tunggu, katanya Bunda ingin
menunjukkan sesuatu.
Sore ini, Bunda benar-benar memberiku kejutan. Sebuah benda dibungkus kertas kado yang
lucu disodorkannya. Bentuknya persegi panjang, cukup berat dan tebal. Bunda juga
memintaku membuat resensi dari hadiah yang ia berikan itu. Aku sibuk menebak-nebak isi
benda dibalik balutan kertas kado nan rapi ini. Novel? Tidak mungkin setebal dan seberat
ini, kecuali Harry Potter. Album foto? Lucu sekali jika Bunda memintaku untuk
menjadikannya resensi!
“Buka di dalam saja, Nayya! Di luar, anginnya kencang sekali. Ayo, masuk!” ajak Bunda
mengomando.
Aku merobek kertas kado itu tanpa ampun, dan menelantarkannya di lantai kamarku.
Mataku berbinar-binar ketika mengetahui hadiah yang diberikan Bunda tanpa keterangan
dalam rangka apapun. Sebuah ensiklopedia!
Sayangnya, membaca judulnya sudah membuatku lemas kembali. Ensiklopedia ini memuat
tentang bunga! Ya ampun, aku kan, bukanflowerholic seperti Bunda!
“Ehm, nggak apa-apalah. Yang penting, hanya menulis resensinya saja dan ensiklopedia ini
siap untuk berdebu di perpustakaan pribadiku!” ucapku sambil memandang ensiklopedia ini
lekat-lekat. Cover-nya memuat ilustrasi keren, agak berkerlap-kerlip karena mungkin
sengaja diberi tambahan glitter.
Aku membukanya perlahan. Halaman pertama, hanya ada kata pengantar. Kulirik daftar isi.
Ternyata, di dalamnya terdapat bermacam-macam artikel. Bunga mawar, melati, flamboyan,
aster, anggrek … Lihatlah, ada sebuah artikel yang sesungguhnya ‘menarik’. Tetapi, aku
terlalu malas untuk memerdulikannya.
Setiap hari Jumat, Sabtu, dan Minggu, kugunakan waktu luangku untuk menyusun resensi
dari ensiklopedia tebal ini. Aku butuh berlembar-lembar kertas folio untuk menuliskannya.
Suatu saat, akan kutunjukkan kepada Bunda dan menceritakannya seolah semua ini novel
fiksi belaka.
Tetapi, aku jadi sebal kepada Bunda karena dia tambah rajin merawat bunga-bunga liar itu.
Bunga yang terkadang warna serbuknya berubah-ubah. Warnanya sedikit kekuningan jika
diterpa cahaya senja. Setiap sore, Bunda selalu menghampiri bunga-bunga itu, meniupnya
hingga serbuk sarinya beterbangan, dan hinggap di tanah.
Sampai akhirnya aku kupikir, sekarang Bunda jadi pecinta bunga aneh yang menyebalkan
itu. Bunga berserbuk sari yang mengganggu, berserakan di taman rumahku.…
***
“Nayya! Nayya!” terdengar teriakan penjual kelontong dekat rumah yang bagiku begitu
familiar. Suara itu menyambutku ketika hendak membuka pagar, setelah letih menjalani
Kamis yang padat di sekolah.
“Bu Maryam?!” sahutku, “ada apa?”
“Bundamu menitipkan kunci rumah kepada ibu. Nih, kuncinya. Jadi, kalau Nayya mau masuk
rumah, nggak perlu menunggu Bunda dulu,” Bu Maryam menyerahkan kunci rumah.
Aku kebingungan, “Memangnya Bunda kemana?”
“Nayya tidak tahu?” tanya Bu Maryam. Aku menggeleng.
***
Krieeet!
Aku membuka pintu geser kamar nomor 275. Bau obat dan nuansa penyakit menyeruak di
mana-mana. Buru-buru, kuhampiri Bunda yang terbaring lemah di sebuah ranjang putih.
Bundamu tadi siang pingsan saat sedang berkebun! Ia dilarikan ke rumah sakit. Ayahmu
ditelepon dan memutuskan pulang, mungkin sekarang sudah di rumah sakit.
Aku nyaris tidak percaya dengan apa yang Bu Maryam katakan tadi. Karena tidak tega, Bu
Maryam mengantarkanku ke rumah sakit, untuk melihat keadaan Bunda. Ayah yang
seharusnya masih bekerja di Lampung, berdiri di samping Bunda.
“Bunda,” ucapku pelan. Bunda terlihat lelah sekali, beliau hanya menoleh dari ranjangnya
sambil tersenyum sangat tipis. Aku heran kenapa Bunda bisa pingsan. Aku juga tidak tahu
kenapa Bunda berkebun di siang hari. Memang,sih, Bunda suka sekali merawat dan
berkhayal bersama bunga-bunga koleksinya yang benar-benar keren. Tetapi, tidak biasanya
Bunda ‘ngobrol’ dengan puluhan bunganya di siang hari. Bunda lebih suka berkebun di sore
hari, karena tidak terlalu panas.
Aku berdiri di samping Ayah, menatapnya. Tetapi, Ayah yang kuharapkan memberi
penjelasan, malah bungkam dan memberiku tatapan datar.
“Nayya, Sayang,” panggil Bunda lembut, “resensinya sudah jadi?” Aku mengangguk
semangat, kuberikan resensi ensiklopedia di dua lembar kertas folio yang sengaja kubawa
untuk kupamerkan kepada Bunda. Yah, siapa tahu, itu membuatnya bahagia.
“Bunda kenapa? Bunda sakit apa?”
Bukannya menjawab, wanita itu malah memperlihatkan senyum malaikatnya, “Sayang,
boleh tidak, Bunda minta sesuatu?”
“Bunda ingin … ingin Nayya menyayangi bunga-bunga liar di taman rumah kita itu. Dan satu
lagi, maukah Nayya membawakan sekuntum dandelion untuk Bunda?” pintanya dengan
suara lembutnya yang sangat kusayangi.
“Kamu bisa baca di ensiklopedia, buka halaman 245. Ayah yakin, kamu belum membaca
artikel itu!” Ayah ikut nimbrung. Aku terdiam kaku. Ada apa di halaman 245?
***
Kubuka ensiklopedia halaman 245 dengan hati-hati, sesuai saran Ayah. Aku memang sudah
di rumah karena harus tetap masuk sekolah. Sementara, Bunda masih di rumah sakit karena
belum pulih. Penyakitnya bahkan belum kuketahui. Hanya saja, Ayah datang setiap hari
untuk menengokku di rumah.
Sebenarnya, sih, aku sudah biasa di rumah sendirian. Tetapi mengingat sikapku yang begitu
teledor dan kadangkala bikin panik orang, Bunda meminta tolong Bi Arkha untuk
menjagaku.
“Nayya, sedang apa?” tanya Bi Arkha yang datang membawa mi goreng kesukaanku.
“Membaca buku. Terima kasih ya, Bi! Aku makan di kamar saja,” aku mengambil alih piring
yang dibawa Bi Arkha dan menutup pintu setelah beliau berlalu.
Sambil makan, kusapu setiap kalimat di halaman 245 itu:dandelion. Gambarnya benar-benar
mirip dengan bunga pengganggu di halaman rumahku. Tetapi, aku tidak tahu kenapa,
keingintahuanku seolah membuatku berhenti membenci bunga itu barang sebentar.
“Ternyata..., dandelion adalah bunga liar. Dimanapun angin yang membawa benihnya
berhenti, disitulah dandelion baru akan tumbuh. Dandelion memang terlihat tidak menarik,
dan terkesan ‘rapuh’. Namun, dandelion ini justru mengajarkan banyak arti hidup kepada
manusia,” kutipku. Aku terdiam. Sebelas detik kemudian, dapat kutafsirkan kalau aku salah
karena membenci bunga aneh bernama dandelion itu. Aku juga baru ingat kalau Bunda
memintaku untuk membawakan sekuntum dandelion untuknya. Tetapi..., dalam rangka
apa?
Handphone milikku berdering, menandakan sebuah telepon masuk. Nomor Ayah tertera di
dalamnya.
“Assalamualaikum. Ayah?”
“Waalaikumsalam, Nayya. Nak, kamu ke rumah sakit sekarang, ya! Bunda kritis, dia harus
dimasukkan ke ruang ICCU. Maaf Sayang, Ayah selama ini menyimpan rahasia dan baru
memberitahumu sekarang. Bahwa Bundamu, sebetulnya sudah lama mengidap liver. Dan
kini liver Bundamu semakin parah. Segera berangkat ke rumah sakit sekarang, Nak!”
Aku berlari keluar rumah dengan kebingungan dan air mata yang tidak bisa kubendung lagi.
Kenapa aku bisa tidak tahu kalau malaikat berhati mulia itu terserang penyakit pada hatinya
sendiri? Salah apakah Bunda? Padahal, dirinya begitu baik dan sabar.
Aku bimbang. Tak mungkin untuk pergi ke Valley of Flowers di sisi barat Himalaya untuk
memetik dandelion, seperti digambarkan dalam ensiklopedia, untuk mempersembahkannya
pada Bunda. Tangisku tambah kencang. Dimana aku harus menemukannya?
Tiba-tiba, perhatianku tertuju pada bunga liar di halaman rumah yang tinggal sedikit.
Bukankah itu dandelion yang sama, seperti digambarkan dalam ensiklopedia? Ya, bunga-
bunga liar itu tinggal sedikit karena hari-hari sebelumnya sengaja kuinjak-injak. Tidak hanya
itu, juga kusapu benih-benihnya yang masih tersisa, dan kubuang tanpa dosa. Air mataku
berderai, kupetiki dandelion-dandelion tersisa itu dengan hati terluka. Aku berlari menemui
Bunda di rumah sakit, berharap aku belum terlambat.
Aku menangis seperti anak kecil yang putus asa karena jatuh dari sepedanya, sambil
memeluk Bunda. Pelan-pelan, kuserahkan sekuntum dandelion yang sengaja kuikat dengan
pita di tangkainya. Bunda tersenyum. Aku tidak habis pikir mengapa Bunda malah
memintaku membuka jendela, dan meniup serbuk dandelion ini. Membiarkan biji-biji
lembutnya terbang bersama angin, untuk mendarat di sebuah tempat dan berkembang
biak.
“Mereka akan tumbuh dimanapun engkau meniupnya,” kata Bunda dengan suara lemah.
Aku membuka jendela di dekat ruang ICCU yang menghadap langsung ke luar sana. Kutiup
pelan serbuk sari dandelion ini dengan air mata berderai yang tak kunjung berhenti. Angin
kencang membawanya, serbuknya terbang mencari tempat baru yang telah ditakdirkan
Sang Kuasa. Mereka akan tumbuh menjadi rumpun-rumpun manis yang bahagia.
Dan aku cukup puas telah mampu membuat Bunda bahagia, sebelum dia meninggalkan
dunia beserta isinya.
Bunda, dirimu memang seperti dandelion yang suci. Begitu berjasa dan mententramkan
hati. Begitu mempesona dan memberi banyak pelajaran. Bundaku pergi, melekat kan
sebuah kenangan. Kenangan yang tidak bisa kulupakan.
Memang benar. Dandelion hanyalah bunga liar yang secara fisik tak menarik. Lemah dan
rapuh. Serbuknya terbang diterpa angin kencang, dibawa ke sebuah tempat pilihan, dan
tumbuh dengan hati lapang. Dandelion jarang dianggap, tetapi memberi untaian cinta dan
pelajaran. Seperti Bunda.
PUISI
Balada
Puisi balada adalah puisi yang objektif, menggambarkan perilaku seseorang, baik lewat
dialog maupun monolog sehingga mengandung suatu gambaran kisah tertentu.
Contoh puisi Balada:
Disusun Oleh: