0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
16 tayangan4 halaman
Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 di depan BPUPKI mengemukakan lima sila Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, yaitu: nasionalisme, internasionalisme, musyawarah/demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Bung Karno menekankan pentingnya persatuan bangsa dan tekad untuk merdeka agar Indonesia bisa mempertahankan kemerdekaannya.
Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 di depan BPUPKI mengemukakan lima sila Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, yaitu: nasionalisme, internasionalisme, musyawarah/demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Bung Karno menekankan pentingnya persatuan bangsa dan tekad untuk merdeka agar Indonesia bisa mempertahankan kemerdekaannya.
Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 di depan BPUPKI mengemukakan lima sila Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, yaitu: nasionalisme, internasionalisme, musyawarah/demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Bung Karno menekankan pentingnya persatuan bangsa dan tekad untuk merdeka agar Indonesia bisa mempertahankan kemerdekaannya.
MEREVIEW “Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 di Depan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai”
Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Pancasila
Dosen Pengampu: Abdul Mu’id Aris Shofa, S.Pd., M.Sc.
Disusun Oleh:
Wahyudi utomo (190514650056)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI S1 TEKNIK MESIN 2020 “Dokuritu Zyunbi Tyoosakai” atau yang dikenal dengan Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang pada saat masih menjajah Indonesia. BPUPKI telah mengadakan sidang pertama dari tanggal 29 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945 dan yang kedua dari tanggal 10 Juli 1945 sampai dengan tanggal 17 Juli 1945. Pada tanggal 1 Juni 1945 membahas mengenai “Dasar (Beginsel) Negara Indonesia”, diadakan sidang lanjutan BPUPKI yang membahas mengenai dasar negara Indonesia, dimana pada hari tersebut merupakan giliran Bung Karno untuk menegemukakan pendapat dan usulannya. Namun sebelum menyampaikan gagasannya, Bung Karno terlebih dahulu mengatakan bahwa beliau khawatir pada beberapa anggota BPUPKI yang terlalu “jelimet” (bahasa jawa) dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Beliau kemudian membandingkan bagaimana negara-negara seperti Jerman, Saudi Arabia, Iran, Rusia dan Mesir yang semuanya merdeka, tetapi isinya berbeda. Beliau menceritakan bahwa Negara Saudi Arabia tetap bisa merdeka walaupun pada saat itu 80% dari rakyatnya merupakan suku Badui yang tidak mengerti hal ini atau itu dan bahkan tidak mengetahui bahwa bahan bakar mobil adalah bensin. Selain itu, Uni Soviet yang juga merdeka meskipun sebagian rakyatnya tidak bisa membaca dan menulis. Kedua negara tersebut menjadikan kemerdekaan sebagai jembatan emas dimana setelah menyatakan merdeka, para pendiri negara tersebut memperbaiki keadaan rakyatnya lewat berbagai cara. Oleh karena itu, Bung Karno menginginkan para anggota untuk memantapkan hati bahwa Indonesia dapat segera merdeka tanpa terlebih dahulu menyelesaikan ini dan itu. Semboyan Indonesia merdeka telah lama disebut-sebut sekitar tahun 1932, sehingga Bung Karno amat sangat menyayangkan apabila para calon pemimpin rakyat masih gentar dalam memerdekakan Indonesia. Bahkan, Bung Karno mengatakan siap apabila Indonesia merdeka pada saat itu juga karena syarat terbentuknya suatu negara secara internasionalisme tidak neko-neko, yaitu ada negara, ada rakyat, ada pemerintah, dan pengakuan dari negara lain yang telah merdeka. Setelah memaparkan tentang seberapa pentingnya suatu kemerdekaan, Bung Karno melanjutkan pidatonya yang lebih menjurus pada dasar Negara Indonesia yang akan digunakan untuk mendirikan Indonesia merdeka. Bung Karno menekankan bahwa dasar negara tersebut nantinya dapat digunakan untuk memerdekakan seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya dari salah satu golongan tertentu saja. Beliau ingin menciptakan suatu negara “semua buat semua” yang telah beliau pikirkan 25 tahun lalu sejak tahun 1918. Prinsip-prinsip yang diusulkan Bung Karno sebagai dasar negara adalah sebagai berikut: Prinsip pertama yang diusung Bung Karno adalah dasar kebangsaan. Suatu bangsa dapat didefinisikan sebagai segerombolan manusia yang ingin dirinya bersatu atau yang merasa dirinya bersatu. Bung Karno sangat mengharapkan adanya kebangsaan Indonesia yang bulat, bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat. Sehingga, prinsip pertama yang diusulkan Bung Karno adalah kebangsaan Indonesia (nasionalisme) yang diharapkan dapat mempersatukan seluruh rakyat Indonesia yang pluralisme ini Menurut Bung Karno, dasar kebangsaan yang diusung pada prinsip pertama akan berbahaya apabila tidak diresapi seutuhnya, karena kadangkala rasa nasionalisme pada seseorang dapat meruncing menjadi sifat chauvinisme (rasa cinta yang berlebihan terhadap negara sendiri). Sifat tersebut membuat rakyat suatu negara tidak mengingat bahwa negaranya hanya sebagian kecil dari dunia internasional. Bung Karno menegaskan jangan pernah berkata bahwa Indonesia adalah negara yang terbagus dan termulya, tetapi kita masih merendahkan negara lain karena hal tersebut dapat memicu rusaknya kekeluargaan bangsa-bangsa, dengan kata lain kita tetap harus mencintai negara Indonesia tanpa melupakan bahwa terdapat negara-negara lain yang harus dihormati dan tidak diremehkan. Sehingga, prinsip kedua yang diusulkan Bung Karno disebut internasionalisme yang sangat berhubungan erat dengan prinsip pertama. Dasar ketiga yang diusulkan Bung Karno adalah dasar mufakat atau demokrasi. Dasar ketiga tersebut menekankan tentang pentingnya bermusyawarah dalam menghadapi suatu masalah sehingga diperoleh suatu mufakat yang disetujui oleh seluruh anggota yang bermusyawarah. Menurut Bung Karno salah satu syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia adalah adanya permusyawaratan perwakilan tersebut, dimana para Badan Perwakilan Rakyat memiliki hak untuk mewakili kritik dan saran rakyat yang kemudian akan disampaikan dan dimusyawarahkan bersama untuk mencapai mufakat, sehingga tidak merugikan salah satu pihak dan dapat memperbaiki apa yang dikritikkan oleh rakyat Prinsip keempat yaitu kesejahteraan sosial. Kesejahteraan yang dimaksud yaitu setelah merdeka, diharapkan semua rakyat akan sejahtera dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, bukan salah satu atau sebagian kaum kapitalnya saja yang merajalela. Dengan kata lain, Bung Karno berharap semua rakyat memiliki porsi yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dari pemerintah. Adanya Badan Perwakilan Rakyat tidak menjamin akan kesejahteraan sosial yang merata pada rakyat, seperti negara-negara di Eropa maupun Amerika. Oleh karena itu, Bung Karno menginginkan Badan Perwakilan Rakyat di Indonesia ini tidak hanya berlandaskan keadilan politik (politieke rechtvaardigheid) saja, tetapi juga berbasis kesejahteraan sosial (sociale rechtvaardigheid). Setelah empat prinsip sebelumnya yang semuanya berhubungan dengan sesama manusia, maka Bung Karno berinisiatif prinsip kelima ini merupakan prinsip Ketuhanan, yaitu menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Bung Karno berharap bukan hanya bangsa Indonesia yang bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri sesuai keyakinan dan dapat dengan leluasa beribadah menurut agamanya masing-masing. Selain itu, Bung Karno menuturkan bahwa segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tidak adanya egoisme- agama dan saling menghormati antar agama yang dianut. Dengan ini, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, seluruh agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Kelima prinsip yang diusulkan oleh Bung Karno kemudian diberi nama Pancasila, dimana panca memiliki arti lima, sedangkan sila berarti azas atau dasar. Jika diartikan keseluruhan maka dengan berdasar pada kelima sila ini dapat didirikan negara Indonesia yang kekal dan abadi. Apabila para anggota sidang tidak menyetujui isi dari pancasila, Bung Karno membuat opsi lain, dimana dari kelima sila tersebut diperas menjadi tiga sila saja yang terdiri dari socio- nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan yang kemudian dikenal dengan istilah trisila. Opsi kedua yang diusulkan Bung Karno adalah merangkum pancasila hanya dalam satu dasar saja yang disebut ekasila yang hanya terdiri dari gotong royong. Pada akhir pidatonya Bung Karno menegaskan kembali dan berkata “jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak bertekad mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai keakhir jaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad.”