Anda di halaman 1dari 5

Nama : Andriana Kusuma Pertiwi

NIM : 165090201111044
Kelas/Absen : Kimia-A / 29
Mata Kuliah : Pancasila

REVIEW PIDATO BUNG KARNO 1 JUNI 1945


DI DEPAN SIDANG BPUPKI
Tentang Lima Prinsip Dasar Bernegara (Pancasila)

Pada tanggal 1 Juni 1945, diadakan sidang lanjutan BPUPKI yang membahas mengenai dasar
negara Indonesia, dimana pada hari tersebut merupakan giliran Bung Karno untuk mengemukakan
pendapat dan usulannya. Usulan mengenai dasar negara Indonesia tersebut tidak hanya disampaikan
oleh Bung Karno, tetapi terdapat pula dua orang yang ikut mengemukakan pendapatnya, yaitu M.
Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 dan Prof.Dr.Soepomo pada 30 Mei 1945. Namun, sebelum
menyampaikan gagasannya, Bung Karno terlebih dahulu mengatakan bahwa beliau khawatir pada
beberapa anggota BPUPKI yang terlalu njelimet dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Beliau
kemudian menceritakan bahwa Negara Saudi Arabia tetap bisa merdeka walaupun pada saat itu 80%
dari rakyatnya merupakan suku Badui yang bahkan tidak mengetahui bahwa bahan bakar mobil adalah
bensin. Selain itu, dibahas pula mengenai Uni Soviet yang juga bisa merdeka meskipun sebagian
rakyatnya tidak bisa membaca dan menulis. Kedua negara tersebut menjadikan kemerdekaan sebagai
jembatan emas dimana setelah menyatakan merdeka, para pendiri negara tersebut memperbaiki
keadaan rakyatnya lewat berbagai cara. Contohnya, salah seorang pembicara berkata: “kita bangsa
Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit
hongerudeem. Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka”. Bung Karno menyangkal
pernyataan tersebut karena beliau pikir jika harus menyelesaikan masalah tersebut, maka 20 tahun
kedepan pun Indonesia tidak akan merdeka, beliau meyakini bahwa lewat kemerdekaan, maka akan
banyak cara untuk memerdekakan rakyat dalam segi kesehatan maupun lainnya. Oleh karena itu, Bung
Karno menginginkan para anggota untuk memantapkan hati bahwa Indonesia dapat segera merdeka
tanpa terlebih dahulu menyelesaikan ini dan itu.
Semboyan Indonesia merdeka telah lama disebut-sebut sekitar tahun 1932, sehingga Bung
Karno amat sangat menyayangkan apabila para calon pemimpin rakyat masih gentar dalam
memerdekakan Indonesia. Bahkan, Bung Karno mengatakan siap apabila Indonesia merdeka pada saat
itu juga karena syarat terbentuknya suatu negara secara internasionalisme tidak neko-neko, yaitu ada
negara, ada rakyat, ada pemerintah, dan pengakuan dari negara lain yang telah merdeka. Syarat tersebut
tidak mengharuskan rakyat dapat membaca atau tidak, rakyat hebat ekonominya atau tidak, dan tidak
peduli rakyat bodoh atau pintar. Setelah memaparkan tentang seberapa pentingnya suatu kemerdekaan,
Bung Karno melanjutkan pidatonya yang lebih menjurus pada dasar Negara Indonesia yang akan
digunakan untuk mendirikan Indonesia merdeka. Bung Karno menekankan bahwa dasar negara
tersebut nantinya dapat digunakan untuk memerdekakan seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya dari
salah satu golongan tertentu saja. Beliau ingin menciptakan suatu negara “semua buat semua” yang
telah beliau pikirkan 25 tahun lalu sejak tahun 1918. Prinsip-prinsip yang diusulkan Bung Karno
sebagai dasar negara adalah sebagai berikut:

PRINSIP PERTAMA
Prinsip pertama yang diusung Bung Karno adalah dasar kebangsaan. Suatu bangsa dapat
didefinisikan sebagai segerombolan manusia yang ingin dirinya bersatu atau yang merasa dirinya
bersatu. Dalam hal ini, bukan hanya orang atau manusianya saja yang bersatu, tetapi terdapat unsur
lain, yaitu tempat (persatuan antara orang dan tempat), yang mana dalam hal ini tempat yang dimaksud
adalah tanah air kita, Indonesia. Bung Karno sangat mengharapkan adanya kebangsaan Indonesia yang
bulat, bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi,
Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale
staat. Sehingga, prinsip pertama yang diusulkan Bung Karno adalah kebangsaan Indonesia
(nasionalisme) yang diharapkan dapat mempersatukan seluruh rakyat Indonesia yang pluralisme ini.

PRINSIP KEDUA
Menurut Bung Karno, dasar kebangsaan yang diusung pada prinsip pertama akan berbahaya
apabila tidak diresapi seutuhnya, karena kadangkala rasa nasionalisme pada seseorang dapat meruncing
menjadi sifat chauvinisme (rasa cinta yang berlebihan terhadap negara sendiri). Sifat tersebut membuat
rakyat suatu negara tidak mengingat bahwa negaranya hanya sebagian kecil dari dunia internasional.
Bung Karno menegaskan jangan pernah berkata bahwa Indonesia adalah negara yang terbagus dan
termulya, tetapi kita masih merendahkan negara lain karena hal tersebut dapat memicu rusaknya
kekeluargaan bangsa-bangsa, dengan kata lain kita tetap harus mencintai negara Indonesia tanpa
melupakan bahwa terdapat negara-negara lain yang harus dihormati dan tidak diremehkan. Sehingga,
prinsip kedua yang diusulkan Bung Karno disebut internasionalisme yang sangat berhubungan erat
dengan prinsip pertama.
PRINSIP KETIGA
Dasar ketiga yang diusulkan Bung Karno adalah dasar mufakat, dasar perwakilan, dan
dasar permusyawaratan. Dasar ketiga tersebut menekankan tentang pentingnya bermusyawarah
dalam menghadapi suatu masalah sehingga diperoleh suatu mufakat yang disetujui oleh seluruh
anggota yang bermusyawarah. Menurut Bung Karno salah satu syarat yang mutlak untuk kuatnya
negara Indonesia adalah adanya permusyawaratan perwakilan tersebut, dimana para Badan Perwakilan
Rakyat memiliki hak untuk mewakili kritik dan saran rakyat yang kemudian akan disampaikan dan
dimusyawarahkan bersama untuk mencapai mufakat, sehingga tidak merugikan salah satu pihak dan
dapat memperbaiki apa yang dikritikkan oleh rakyat.

PRINSIP KEEMPAT
Prinsip keempat yang diusulkan Bung Karno merupakan prinsip baru yang belum pernah
diperbincangkan sebelumnya oleh para anggota sidang, yaitu kesejahteraan sosial. Kesejahteraan
yang dimaksud yaitu setelah merdeka, diharapkan semua rakyat akan sejahtera dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya, bukan salah satu atau sebagian kaum kapitalnya saja yang merajalela. Dengan
kata lain, Bung Karno berharap semua rakyat memiliki porsi yang sama untuk memperoleh
kesejahteraan dari pemerintah. Adanya Badan Perwakilan Rakyat tidak menjamin akan kesejahteraan
sosial yang merata pada rakyat, seperti negara-negara di Eropa maupun Amerika. Oleh karena itu,
Bung Karno menginginkan Badan Perwakilan Rakyat di Indonesia ini tidak hanya berlandaskan
keadilan politik (politieke rechtvaardigheid) saja, tetapi juga berbasis kesejahteraan sosial (sociale
rechtvaardigheid).

PRINSIP KELIMA
Setelah empat prinsip sebelumnya yang semuanya berhubungan dengan sesama manusia, maka
Bung Karno berinisiatif prinsip kelima ini merupakan prinsip Ketuhanan, yaitu menyusun Indonesia
Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Bung Karno berharap bukan hanya bangsa
Indonesia yang bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri
sesuai keyakinan dan dapat dengan leluasa beribadah menurut agamanya masing-masing. Selain itu,
Bung Karno menuturkan bahwa segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni
dengan tidak adanya egoisme-agama dan saling menghormati antar agama yang dianut. Dengan ini,
dalam pangkuan azas yang kelima inilah, seluruh agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan
mendapat tempat yang sebaik-baiknya.
PANCASILA
Kelima prinsip yang diusulkan oleh Bung Karno kemudian diberi nama Pancasila, dimana
panca memiliki arti lima, sedangkan sila berarti azas atau dasar. Jika diartikan keseluruhan maka
dengan berdasar pada kelima sila ini dapat didirikan negara Indonesia yang kekal dan abadi. Apabila
para anggota sidang tidak menyetujui isi dari pancasila, Bung Karno membuat opsi lain, dimana dari
kelima sila tersebut diperas menjadi tiga sila saja yang terdiri dari socio-nationalisme, socio-
demokratie, dan ketuhanan yang kemudian dikenal dengan istilah trisila. Opsi kedua yang diusulkan
Bung Karno adalah merangkum pancasila hanya dalam satu dasar saja yang disebut ekasila yang hanya
terdiri dari gotong royong.

GOTONG ROYONG
Berdasarkan opsi Bung Karno yang mereduksi pancasila menjadi trisila, kemudian menjadi
ekasila yang isinya merupakan gotong royong, dimana lewat ekasila tersebut Bung Karno berharap
Negara Indonesia yang didirikan merupakan negara gotong royong. Gotong royong adalah faham yang
dinamis, lebih dinamis dari "kekeluargaan". Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-
royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dilakukan bersama-sama guna
mencapai kepentingan dan kebahagiaan bersama. Bung Karno mempersilakan semua anggota sidang
untuk bebas memilih dasar mana yang lebih cocok untuk negara Indonesia merdeka ini, apakah
pancasila, trisila, atau ekasila. Namun, Bung Karno lebih merekomendasikan Pancasila sebagai dasar
negara yang akan digunakan nantinya karena beliau merasa isi Pancasila akan menciptakan negara
Indonesia merdeka yang kekal abadi. Bukan hanya karena pendapatnya sendiri, tetapi Bung Karno
telah memikirkan pancasila tersebut sejak tahun 1918 yang mana dapat dikatakan bahwa pemikiran
tersebut tidak main-main atau dapat dibilang sudah matang.
Namun, walaupun telah dipikirkan selama puluhan tahun, bukan berarti setelah pancasila
tersebut dicetuskan maka sila-sila tersebut akan langsung menjelma dan diterapkan pada masyarakat,
akan tetapi butuh perjuangan kembali untuk mengimplementasikan isi pancasila terhadap negara
Indonesia tersebut. Bung Karno memngingatkan bahwa setelah merdeka nanti, perjuangan tidak boleh
terhenti, tetapi perjuangan yang dimaksud memiliki konotasi yang berbeda dengan perjuangan sebelum
kemerdekaan. Jika sebelum merdeka rakyat berjuang untuk bebas dari penjajah dan memerdekakan
Indonesia, maka setelah merdeka rakyat harus berjuang untuk menyelenggarakan apa yang bangsa
Indonesia cita-citakan di dalam Pancasila tersebut. Pada akhir pidatonya Bung Karno menegaskan
kembali dan berkata “jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian untuk
mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat
selama-lamanya, sampai keakhir jaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa,
yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad.”

Anda mungkin juga menyukai