Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Akibat perubahan Fisik yang semakin menua maka perubahan ini akan sangat
berpengaruh terhadap peran dan hubungan dirinya dengan lingkunganya. Dengan semakin
lanjut usia seseorang secara berangsur-angsur ia mulai melepaskan diri dari kehidupan
sosialnya karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Keadaan ini
mengakibatkan interaksi sosial para lansia menurun, baik secara kualitas maupun
kuantitasnya sehingga hal ini secara perlahan mengakibatkan terjadinya kehilangan dalam
berbagai hal yaitu: kehilangan peran ditengah masyarakat, hambatan kontak fisik dan
berkurangnya komitmen.
Di makalah yang bertema Perkembangan Sosio emosional Masa Dewasa Akhir akan
di bahas mengenai perubahan-perubahan sosial terhadap lingkungannya, dan adapun teori-
teori yang mendasarinya. Adapun beberapa rumusan masalah yang akan di bahas di bawah
ini.

II. RUMUSAN MASALAH


1. Apa saja teori perkembangan pada masa dewasa akhir
2. Bagaimana perkembangan sosioemosional masa dewasa akhir.
3. Bagaimana mengidentifikasi perubahan identitas dalam diri dan masyarakat di masa
dewasa akhir.
4. Bagaimana mendeskripsikan karateristik relasi keluarga dan sosial pada orang – orang
lanjut usia.
5. Bagaimana proses menjadi tua yang berhasil

1
BAB II
1. Teori Perkembangan Sosioemosi
1.1 Teori Erikson
Sebenarnya kami telah delapan tahap masa-hidup menurut Erik Erikson (1968) di
Bab 1,dan ketika dalam buku ini kami mengeksplorasi berbagai periode perkembangan
.kami mengkaji tahap-tahap tersebut secara lebih terperinci .kini,kami akan
mendiskusikan tahap terakhir menurut Erikson.
a. Integritas Versus Keputusasaan (Integrity Versus Despair)
Integritas versus keputusasaan adalah tahap kedelapan dan tahap akhir
perkembangan menurut Erikson, yang dialami individu di masa dewasa akhir. Tahap
ini melibatkan refleksi terhadap masa lalu dan entah menyimpulkan secara positif
pengalamannya atau menyimpulkan bahwa kehidupanya belum dimanfaatkan secara
baik secara baik. Melalui berbagai rute yang berbeda, orang lanjut usia dapat
mengembangkan sebuah pandangan yang positif mengenai setiap periode yang telah
dilalui sebelumnya. Gambaran tentang kehidupan yang dilewati dengan baik, dan
orang dewasa lanjut usia akan merasa puas (integritas). Tapi jika orang lanjut usia
melalui satu atau lebih tahapan sebelumnya secara negatif (misalnya terisolasi) secara
sosial di masa dewasa awal atau dimasa dewasa menengah, lintasan kenangan tentang
seluruh hidupnya bisa menjadi hal yang negatif (keputusasaan).
b. Tinjauan Hidup
Tinjauan hidup merupakan gagasan yang menonjol dalam tahap terakhir integritas
versus keputusasaan menurut Erikson. Melalui tinjauan hidup, seseorang meninjau
kembali pengalaman hidupnya di masa lampau, mengevaluasi, menginterpretasi, dan
sering kali menginterprestasikannnya kembali (George, 2010; Robitaille & kawan-
kawan,2010). Seorang peneliti terkenal di bidang proses penuaan, Robert Buttler,
berpendapat bahwa “...terdapat kemungkinan untuk rasa sakit, amarah, rasa bersalah,
kesedihan, tapi juga ada kesempatan untuk resolusi dan perayaan untuk afirmasi dan
harapan untuk rekonsiliasi dan pertumbuhan pribadi” (Bialet,2007,hal 72).
Butler(2007) menyatakan bahwa tinjauan hidup dibuat dengan menanti kematian.
Kadangkala tinjauan hidup berlangsung secara tenang, dan di saat lain berlangsung
secara intens yang menuntut usaha yang cukup besar untuk mencapai suatu
penghayatan mengenai tercapainya integrasi kepribadian. Pikiran-pikiran ini dapat
terus muncul dalam bentuk semburan yang muncul sebentar-sebentar secara singkat

2
atau juga bisa terus-menerus. Seorang laki-laki berusia 76 tahun berkata,”hidupku ada
dalam benakku. Memang begitu seharusnya. Ingatan masa lalu membayangi diriku.
Kadangkala aku bermain-main dengan ingatan itu, memperkuat dan menikmatinya
namun di saat lain aku menolaknya.”
Tinjaun hidup dapat mencakup dimensi-dimensi sosiobudaya, seperti budaya
etnisitas,dan gender. Tinjauan hidup juga dapat melibatkan dimensi interpersonal atau
relasi,termasuk berbagi dan menjalin keakraban dengan anggota keluarga atau teman
(cappeliz&O’Rourke,2006). Disamping itu, tinjauan hidup juga dapat melibatkan
dimensi pribadi, yang mugkin melibatkan kreasi serta penemuan makna dan koherensi.
Dimensi-dimensi pribadi ini mungkin terkuak dengan suatu cara, dimana hal itu dapat
atau tidak dapat dipahami oleh orang lanjut usia tersebut. Analisis akhirnya tinjauan
hidup setiap orang sampai taraf tertentu bersifat unik.
Ketika berbagai ingatan mengenai masa lalu bermunculan, orang lanjut usia
melakukan survei, observasi, dan refleksi. Dari sini muncul kembali pertimbangan
kembali terhadap pengalaman-pengalaman sebelumnya dan makna-makna yang
menyertai,serta kali disertai dengan pemahaman yang dapat memberikan makna yang
baru dan berarti menyangkut kehidupan seseorang. Dalam proses mengurangi rasa
takut, upaya ini juga dapat mempersiapkan individu untuk menghadapi kematian
(cappeliez,O’Rourke,&Chaudhury,2005). Sebuah studi terbaru mengungkapkan
bahwa satu aliran tinjauan hidup,”mencari makna,”mengurangi simtom depresi orang
dewasa paruh baya dan lanjut usia(Pot&kawan-kawan,2010).
Satu aspek dari tinjauan adalah mengidentifikasi dan merefleksi tidak hanya
aspek positif dari kehidupan seseorang tapi juga pada penyesalan sebagai bagian dari
kedewasaan dan pemahaman diri (Choi&Jun,2009). Harapannya adalah dengan
menelaah tidak hanya aspek postif dari kehidupan seseorang. Tapi ada juga yg di
sesali oleh inividu, visi yang lebih akurat tentamg kerumitan hidup seseorang dan
kemungkian peningkatan kepuasan hidup akan dapat dicapai (king&hicks,2007).

Berikut ini adalah sampling studi terbaru tentang penyesalan yang dimiliki orang
dewasa lanjut usia :
 Bagi orang dewasa lanjut usia berpenghasilan rendah. Penyesalan terhadap
pendidikan, karir dan pernikahan adalah hal yang lazim, tapi intensitas penyesalan
lebih besar terhadap finansial/uang. Konflik keluarga dan masalah kehilangan dan
duka serta kesehatan (Choi&Jun,2009).
3
 Membuat perbandingan sosial kebawah, seperti “kondisi saya lebih baik dari
kebanyakan orang” terkait dengan penurunan intensitas penyesalan pada orang
dewasa lanjut usia(bauwer,wrosch,dan jobin,2008)
 Setelah kematian orang yang di cintai, menyelesaikan penyesalan terkait dengan
depresi yang lebih rendah dan peningkatan kondisi keberadaan, (torges,stewart
dan nolen-hoesksema,2008)

Beberapa terapis menggunakan reminiscene therapi (terapi kenanangan) ketika


menangani orang-orang lanjut usia, terapi kenanagan mencakup mendiskusikan aktifitas
dan pengalaman masa lalu dengan individu atau kelompok lain (peng & kawan-
kawan.2009). Dalam terapi kenangan terapis dapat menggunakan foto,barang-barang
yang dikenang dan rekaman video atau audio. Terapi ini dapat meningkatkan kepuasan
hidup mereka dan menurunkan depresi dan rasa kesepian mereka(Chiang&kawan-
kawan,2010)

1.2 Teori Aktivitas


Teori aktifitas (activity theory) menyatakan bahwa orang yang lanjut usia semakin
besar aktifitas dan keterlibatan mereka semkain puas mereka terhadap kehidupannya.para
peneliti menemukan bahwa apabila orang pada lanjut usia itu aktif, energik, dan
produktif, mereka akan lebih baik dalam menghadapi masa tua dan lebih bahagia mereka
di jauhkan dari masyarakat. Apabila peran-peran ini di hapuskan dari kehidupan mereka
seperti di awal pensiun, mereka perlu menemukan peran-peran pengganti yang dapat
membuat mereka tetap aktif dan terlibat.

1.3 Teori selektivitas sosioemosi (socio emotional selectivity theory)


Teori selektivitas sosioemosi menyatakan bahwa orang yang lanjut usia akan lebih
selektif dalam memilih jaringan sosialnya. Karena mereka sangat mementingkan
kekuasaan emosional, orang dewasa yang lebih tua seringkali meluangkan lebih banyak
waktu bersama individu-individu yang sudah dikenal dan menyenangkan.

4
1.4 Teori optimalisasi selektif melalui kompensasi
Ada tiga elemen kompensasi terhadap penurunan tubuh, yaitu:
1. Seleksi (selection) didasarkan pada suatu konsep bahwa kapasitas otrang lanjut usia
telah turun dan kehilangan kemampuan untuk berfungsi, di mana hal ini
mengakibatkan turunnya performa mereka di berbagai bidang kehidupan.
2. Optimalisasi (optimization) berarti bahwa kita dapat mempertahankan performa di
beberapa bidang, melalui praktik terus menerus dan penggunaan teknologi baru.
3. Kompensasi (compensation) menjadi relevan apabila tugas – tugas kehidupan
menuntut kapasitas yang melampaui taraf performa saat ini yang secara potensial
dimiliki oleh orang lanjut usia. Secara khusus orang – orang lanjut usia perlu
melakukan kompensasi dalam lingkungan yang mengandung tuntutan mental atau
fisik yang tinggi, seperti ketika memikirkan dan mengingat materi – materi baru
sangat cepat, bereaksi secara cepat ketika berkendara, atau berlari cepat. Kebutuhan
untuk melakukan kompensasi ini menjadi jelas ketika orang lanjut usia menderita
sakit.

Proses optimalisasi selektif dengan kompensasi cenderung akan menjadi efektif


apabila orang mengejar keberhasilan (freud&lam,2011);staundinger &jacobs,2011). yang
membuat SOC menarik bagi para ahli yang bmeneliti proses penuaan adalah SOS dapat
mengekplisitkan bagaimana individu dapat mengelola dan berpendapat terhadap
kemunduran. Dengan menggunakan SOS, mereka dapat melanjutkan kehidupannya
secara memuaskan
Satu hal yang perlu diperhatikan mengenai studi yang baru saja dideskripsikan
adalah garis batas dari masa lanjut usia untuk subkategori 70 hingga 84 tahun serta 85
hingga 105 tahun. Hal ini sesuai dengan pendapat kami mengenai beberapa peristiwa,
yakni bahwa peneliti semakin mengaku pentingnya membandingkan orang tua dengan
berbagai usia, dan bukan mempelajarinya sebagai satu kelompok usia.

5
2. Kepribadian, Diri, dan Masyarakat
2.1 Kepribadian
Berdasarkan hasil sebuah studi yang dilakukan baru-baru ini, ditemukan beberapa
dari lima faktor besar kepribadian terus berubah di masa dewasa akhir. Sebagai contoh,
dalam sebuah studi sikap kehati – hatian terus berlanjut di masa dewasa akhir (Roberts,
Walton, & Bogg, 2005), dan dalam sebuah studi lainnya orang dewasa lanjut usia
bersikap lebih hati – hati dan ramah dibandingkan orang dewasa muda dan paruh baya
(Allemand, Zimprich, & Hendriks, 2008).
Bisakah sifat tertentu dihubungkan dengan lamanya orang lanjut usia akan hidup?
Para peneliti telah menemukan bahwa kepribadian juga berkaitan dengan risiko kematian
pada orang – orang lanjut usia. Sebuah studi longtudinal terhadap lebih dari 1.200
individu selama tujuh dekade mengungkapkan bahwa lima faktor besar kepribadian dari
kehati – hatian (conscientiousness) dapat memprediksi resiko kematian yang lebih tinggi
dari masa kanak – kanak hingga masa dewasa akhir (Martin, Friedman, & Schwartz,
2007). Sebuah studi lainnya menemukan bahwa dua dari lima faktor besar kepribadian
terkait dengan kematian orang dewasa lanjut usia dalam sebuah studi, dengan sikap
kehati-hatian yang rendah dan neurosisme yang tinggi memprediksi kematian dini
(Wilson & kawan – kawan, 2004). Dalam studi longitudinal selama lima tahun, tingkat
kehati – hatian, extraversion, dan keterbukaan yang tinggi terkait dengan risiko kematian
yang lebih tinggi (Iwasa & kawan – kawan, 2008).

2.2 Diri Dan Masyarakat


Eksplorasi kita mengenai diri (self) berfokus pada perubahan dalam penghargaan diri
(self-esteem), possible selves, penerimaan diri (self-acceptance),dan kendali diri (self-
control).
a. Penghargaan Diri
Sebuah studi lintas budaya mengenai harga diri melakukan pengukuran terhadap
individu yang berjumlah lebih dari 300.000 dengan usia antara 9 hingga 90 tahun
(Robinw & kawan-kawan,2002). Sekitar dua pertiga partisipan berasal dari Amerika
Serikat. Individu-individu ini diminta untuk memberikan respons terhadap item “Saya
memiliki penghargaan diri yang tinggi” yang ditempatkan dalam skala lima.

6
1 2 3 4 5
Sangat tidak Sangat
Setuju Setuju

Mengapa penghargaan diri pada orang lanjut usia dapat mengalami penurunan?
Penjelasannya adalah adanya kemunduran kesehatan fisik dan sikap negatif dari
masyarakat terhadap orang lanjut usia. Meskipun demikian faktor-faktor ini belum
pernah diselidiki dalam studi berskala besar. Penelitian lanjutan dibutuhkan untuk
membuktikan bahwa perubahan penghargaan diri seiring dengan proses
perkembangan. Benarkah terdapat saat - saat tertentu dalam perkembangan hidup
dimana penghargaan diri cenderung stabil dibandingkan saat lainnya? Sebuah analisis-
meta yang dilakukan baru baru ini mengungkapkan bahwa penghargaan diri yang
stabil terjadi setidaknya di masa kanak-kanak (Trzesniewski, Donellan &
Robins,2003)
Meskipun orang lanjut usia mungkin memperoleh penghargaan diri dari
kesuksesan di beberapa bidang yang diperoleh di masa sebelumnya, seperti pekerjaan
dan keluarga, beberapa aspek dalam kehidupan mereka tetap memerlukan dukungan
(Smith,2009).
b. Possible Selves
Possible Selves adalah kemungkinan masa depan individu,masa depan seperti apa
yang ia inginkan, dan apa yang ia takutkan (Hoppmann & Smith, 2007 ; Markus &
Nurius ,1987). Penerimaan terhadap diri yang ideal dengan masa depan menurun dan
penerimaan terhadap masa lalu meningkat pada orang lanjut usia (Ryif, 1991). Satu
penelitian terbaru tentang orang lanjut usia (rata-rata usia 81) mengungkap bahwa
aktivitas yang terkait harapan lebih berdampak positif dan meningkatkan probabilitas
hidup lebih lama hingga lebih dari 10 tahun (Hoppmann& kawan-kawan,2007). Dalam
penelitian ini juga ditemukan bahwa harapan terhadap pribadi terkait dengan
kecenderungan partisipasi dalam domain-domain ini.
c. Kendali diri
Meskipun orang lanjut usia menyadari bahwa kemunduran-kemunduran yang
dialami terkait dengan usia,sebagian besar dari mereka masih dapat mempertahankan
kendali-dirinya secara efektif (Lewis,Todd& Xu,2011). Survei terbaru di 21 negara
maju dan berkembang mengungkap bahwa sebagian besar orang berusia 60-an dan 70-
an dapat mengendalikan hidupnya (HSBC Insurance, 2007). Di negara maju seperti

7
Denmark, Amerika Serikat dan Inggris, orang dewasa berusia 60-an dan 70-an
mengatakan bahwa mereka dapat mengendalikan hidupnya dibandingkan orang di
negara berkembang ketika berusia 40-an dan 50-an. Orang lanjut usia di Denmark
bahkan memiliki kendali diri tertinggi.

2.3 Orang-Orang Lanjut Usia Di Masyarakat


Apakah masyarakat memiliki sterotip yang negatif mengenai orang lanjut usia? Isu-isu
mengenai kebijakan sosial apakah yang terdapat didalam masyarakat lanjut usia?
a. Stereotip Mengenai Orang Lanjut Usia
Partisipasi sosial oleh orang-orang lanjut usia sering kali tidak memperoleh
dukungan karena adanya ageism, yaitu prasangka terhadap orang lain sehubungan
dengan usia orang tersebut, khususnya prasangka terhadap orang-orang dewasa yang
lebih tua. Mereka sering kali dianggap tidak mampu berpikir secara jernih,tidak
mampu mempelajari hal-hal baru,tidak menikmati seks,tidak dapat berkontribusi bagi
komunitasnya, atau tidak dapat diserahi tanggung jawab dalam bekerja.
b. Isu-isu Kebijakan dalam Masyarakat Lanjut Usia
Komunitas lanjut usia dan status lanjut usia didalam komunitas ini memunculkan
isu-isu kebijakan mengenai keberadaan orang-orang lanjut usia. Diantaranya adalah
status ekonomi, dukungan bagi keluarga-keluarga yang merawat orang lanjut usia, dan
ketidakadilan generasional; masing-masing akan kita bahas secara bergiliran.

Status ekonomi
Sebuah isu penting yang melibatkan ekonomi dan proses menjadi tua adalah masalah
bahwa ekonomi kita tidak dapat menanggung begitu banyak orang lanjut usia, yang
biasanya lebih sering menjadi konsumen dibandingkan menjadi produsen. Namun
demikian, tidak semua orang yang berusia 18 hingga 64 tahun menjadi pekerja.

Perawatan Kesehatan
Masyarakat yang menua juga membawa beragam masalah menyangkut perawatan
kesehatan. Meningkatnya biaya perawatan kesehatan saat ini menyebabkan timbulnya
kekhawatiran yang besar. Satu faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya biaya
kesehatan adalah meningkatnya jumlah orang-orang lanjut usia.

8
Eldercare
Eldercare adalah perawatan secara fisik dan emosional terhadap anggota keluarga
berusia lanjut, baik dengan memberikan bantuan fisik sehari-hari ataupun dengan
memantau perawatan yang diberikan. Isu penting yang muncul dalam eldercare ini
adalah cara terbaik menyelenggarakannya (Bverly & kawan-kawan, 2010; Nabe
Nielsen & kawan-kawan, 2009). Dengan perawatannya yang sebagian besar
perempuan, siapa yang menggantikan mereka sebagai perawat? Selain itu, banyak
perawat yang sudah berusia 60 tahun, dan kebanyakan dari mereka pun sakit-sakitan.
Mereka mungkin mengalami stress terutama saat harus bertanggung jawab untuk
merawat sanak keluarganya yang berusia delapan puluhan atau sembilan puluhan.

Generational Inequity
Kebijakan lainnya tentang penuaan adalah ketidakadilan generational (generational
inequity), yaitu suatu pandangan bahwa masyarakat yang menua tersebut berlaku tidak
adil terhadap orang yang lebih muda dengan memperoleh alokasi yang lebih besar.
Beberapa peneliti mengatakan bahwa ketidakadilan generational menghasilkan konflik
generational dan pembagian di masyarakat (Longman, 1987). Isu-isu ketidakadilan
generational menimbulkan pertanyaan tentang keharusan generasi muda “membiayai”
generasi tua (Svihula & Estes, 2008).

Penghasilan
Orang lanjut usia yang miskin juga memperoleh perhatian khusus (Fisher & kawan-
kawan, 2009). Penelitian menemukan bahwa kemiskinan di masa dewasa akhir terkait
dengan masalah kesehatan fisikdan mental di usia tua (Gerst & kawan-kawan, 2008).
Penelitian terbaru juga mengungkapkan bahwa SES meningkatkan resiko kematian
dini pada orang dewasa akhir (Krueger & Chang, 2008). Data sensus terakhir
menyatakan bahwa meskipun sejak 1960-an jumlah keseluruhan dari orang lanjut usia
yang miskin telah berkurang, tapi pada tahun 2008, 9,7 persen orang lanjut usia masih
hidup dalam kemiskinan (Badan Sensus AS, 2010). Pada tahun 2008, hampir dua kali
lipat wanita di AS usia 65 tahun ke atas (11,9 persen) hidup dalam kemiskinan
dibandingkan dengan prianya (6,7 persen) (Badan Sensus AS, 2010). Sembilan belas
persen wanita yang melajang, bercerai, atau menjanda berusia 65 tahun keatas hidup
dalam kemiskinan. Tingkat kemiskinan antara etnis miinoritas dua per tiga lebih tinggi
dari orang kulit putih nonlatin. Mengombinasikan gender dan etnisitas, 60 persen

9
wanita Afrika-Amerika dan 50 persen wanita latin yang tinggal sendiri hidup miskin.
Juga, orang-orang tua sekali adalah subkelompok usia yang cenderung hidup dalam
kemiskinan.

Pengaturan Tempat Tinggal


Satu stereotip dari orang-orang lanjut usia dalah bahwa mereka seringkali tinggal
didalam institusi-institusi – rumah sakit, rumah sakit jiwa, panti jompo, dan
sebagainya. Namun, hampir 95% dari orang-orang lanjut usia tinggal didalam
masyarakat. Hampir 2/3 dari orang-orang lanjut usia tinggal bersama anggota
keluarga, misalnya bersama pasangan, anak, saudara kandungnya, sementara hampir
1/3 nya tinggal sendiri. Semakin tua seseorang, semakin besar kemungkinan mereka
untuk hidup sendiri. Setengah dari wanita berusia 75 tahun keatas hidup sendiri.
Mayoritas orang lanjut usia yang hidup sendiri sudah bercerai, dengan dua pertiganya
adalah wanita (Biro Sensus AS, 2010). Orang lanjut usia yang hidup sendiri
mengatakan bahwa mereka lebih kesepian dibandingkan orang yang hidup bersama
orang lain (Routasalo & kawan-kawan, 2006). Meskipun demikian, seperti orang yang
lebih muda, hidup sendiri sebagai orang lanjut usia tidak harus berarti kesepian. Orang
lanjut usia yang dapat menjaga dirinya ketika hidup sendiri sering kali memiliki
kesehatan yang baik dan tidak banyak mengalami kemunduruan. Mereka juga dapat
melakukan interaksi sosial dengan sanak saudara, kawan-kawan dan tetangga.

Teknologi
Internet semakin berperan penting dalam akses informasi dan komunikasi pada orang
dewasa, sebagaimana pada orang muda (Gresci, Yarandi, dan Morell, 2010; Cutler,
2009; Rosenberg & kawan-kawan, 2009). Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa
orang lanjut usia sangat mampu dilatih mempelajari teknologi baru (Hickman, Rogers,
& Fisik, 2007). Seberapa baikkah orang-orang lanjut usia dalam mengikuti perubahan
di bidang teknologi? Orang-orang lanjut usia cenderung lebih sedikit yang memiliki
komputer di rumahnya dan cenderung kurang menggunakan internet dibandingkan
anak muda; namun orang-orang lanjut usia adalah segmen pengguna internet yang
tingkat pertumbuhannya paling cepat (Czaja & kawan-kawan, 2006). Dalam sebuah
survei tahun 2003 ditemukan bahwa 32 persen orang-orang AS yang berusia 65 tahun
ke atas (sekitar 11 juta) dan 61 persen orang-orang yang berusia antara 50 tahun
hingga 64 tahun menggunakan internet (Harris Interactive, 2003). Orang-orang lanjut

10
usia menggunakan internet lebih lama (rata-rata 8.3 jam perminggu), mengunjungi
lebih banyak situs web, dan meluangkan uang lebih banyak untuk menggunakan
internet, dibandingkan rekan-rekannya yang lebih muda. Secara khusus mereka
tertarik untuk belajar menggunakan e-mail dan mencari informasi mengenai kesehatan
(Westlake & kawan-kawan, 2007). Jumlah orang-orang lanjut usia yang menggunakan
e-mail untuk berkomunikasi dengan sanak-saudaranya juga bertambah banyak. Seperti
halnya dengan anak-anak kecil dan anak-anak muda, mereka perlu berhati-hati dalam
menyikapi ketepatan informasi internet, misalnya dalam bidang – bidang seperti
perawatan kesehatan (Cutler, 2009).

3. Relasi Keluarga dan Sosial


Apakah relasi akrab orang lanjut usia berbeda dengan orang yang lebih muda?
Bagaimanakah gaya hidup orang lanjut usia? Apa yang mengkarakteristikkan relasi antara
orang yang lanjut usia dan anak mereka yang telah dewasa? Apakah peran kakek-nenek buyut
berbeda dengan peran kakek-nenek? Bagaimanakah kontribusi persahabatan dan jaringan
sosial terhadap kehidupan orang lanjut usia? Bagaimanakah tipe dukungan sosial yang
dibutuhkan dan diinginkan? Bagaimanakah altruisme dan sukarelawan dapat berkontribusi
positif?

3.1 Keragaman Gaya Hidup


Gaya hidup yang berlangsung pada orang-orang lanjut usia mengalami perubahan. Dulu,
usia lanjut cenderung diwarnai oleh pernikahan pada laki-laki dan hidup menjanda pada
perempuan. Dengan perubahan demografis yang diwarnai oleh putusnya pernikahan
karena perceraian, kini sepertiga orang-orang dewasa kemungkinan menikah,
bercerai,dan menikah kembali dalam hidupnya. Sekarang marilah kita mengeksplorasi
gaya hidup yang berbeda-beda diantara orang-orang lanjut usia,dimulai dari mereka yang
menikah atau memiliki pasangan.
a. Orang Lanjut Usia yang Menikah
Pada tahun 2009, 56 persen orang dwasa AS berusia 65 tahun ke atas menikah,
sedangkan 29 persen dari kelompok usia itu telah bercerai (Badan Sensus AS, 2010).
Terdapat empat kali lebih banyak jumlah janda daripada duda. Masa antara pensiun
hingga kematian kadang disebut sebagai “tahap terakhir dari proses pernikahan.”
Gambaran pernikahan dalam kehidupan orang lanjut usia umumnya positif (Peek,

11
2009). Sebuah penelitian mengungkap bahwa kepuasan pernikahan lebih tinggi pada
orang lanjut usia dari pada orang paruh-baya (Henry & kawan-kawan, 2007). Dalam
penelitian ini orang lanjut usia menganggap bahwa pangannya lebih ramah daripada
orang paruh-baya.
Pensiun mengubah gaya hidup sebuah pasangan dan menuntut adaptasi (Higo &
Williamson, 2009; Price & Nesteruk, 2010). Perubahan tersebar terjadi dalam keluarga
tradisional, dimana sebelumnya suami terbiasa bekerja dan istri melakukan pekerjaan
rumah tangga. Suami mungkin akan menjadi tidak tahu dengan apa yang harus
dilakukan dengan waktunya,dan istri menjadi tidak nyaman ketika suaminya berada
dirumah sepanjang hari. Dalam keluarga tradisional, pasangan perlu berubah menuju
peran-peran yang lebih ekspresif. Suami harus menyesuaikan diri dari kedudukannya
sebagai pemeberi nfkah diluar rumah menjadi penolong di dalam rumah; istri harus
berubah kedudukannya sebagai ibu rumah tangga yang bekerja sendirian, menjadi
rekan yangmebagikan dan mendelegasikan tugas-tugasnya. Kebahagiaan pernikahan
diusia lanjut juga dipengaruhi oleh kemampuan setiap patner untuk mengatasi konflik-
konflik pribadi, termasuk proses menjadi tua, sakit dan bahkan kematian.
Individu yang menikah atau memiliki pasangan di masa dewasa akhir biasanya
lebih bahagia dan hidup lebih lama di bandingkan mereka yang hidup sendiri (Manzoli
& kawan-kawan, 2007). Disamping itu, studio longitudinal yang dilakukan baru-baru
ini terhadap orang-orang berusia 75 tahun keatas, mengungkapkan bahwa dalam
jangka waktu 7 tahun, jumlah kematian di antara individu-individu yang menikah
cenderung lebih sedikit dibandingkan individu-individu yang menikah cenderung lebih
sedikit dibanding individu yang tidak menikah (Rasulo, Christensen, & Tomassini,
2005).
b. Orang Lanjut Usia yang Bercerai dan Menikah Kembali
Ditahun 2008, 13 persen wanita dan 10 persen laki-laki berusia 65 tahun keatas
telah bercerai atau berpisah (Badan Sensus AS, 2009). Banyak dari orang-orang ini
bercerai atau berpisah sebelum mereka memasuki masa dewasa akhir. Mayoritas
orang lanjut usia yang bercerai adalah wanita, karena usia wanita lebih panjang dan
pria cenderung untuk menikah kembali (Peek, 2009). Perceraian cenderung lebih
sedikit terjadi di usia lanjutdaripada masa dewasa sebelumnya, yang sepertinya
mencerminkan efek kohort daripada efek usia karena perceraian lebih jarang ketika
efek kohort pada orang lanjut usia tersebut berusia lebih muda (Peek, 2009).

12
Perceraian yang terjadi diantara orang-orang lanjut usia memberikan dampak
sosial, finansial, dan fisik terhadap mereka (Mitchell, 2007). Perceraian dapat
memperlemah ikatan kekeluargaan apabila hal ini terjadi di usia lanjut, khususnya
pada laki-laki (Cooney, 1994). Dibandingkan wanita yang menikah, wanita yang
lanjut usia yang bercerai cenderung kurang memiliki sumber daya financial yang
memadai; disamping itu, seperti pada orang-orang yang lebih muda, perceraian
berkaitan dengan masalah kesehatan yang lebih banyak pada orang-orang lanjut usia
(Lillard & Waite, 1995).
Meningkatnya jumlah perceraian, usia panjang dan kesehatan yang lebih baik,
menyebabkan pernikahan meningkat kembali pada orang-orang lanjut usia. (Ganong
& Coleman, 2006). Apa yang terjadi apabila orang-orang lanjut usia ingin kembali
menikah (McKain, 1972)? Para peneliti telah menemukan bahwa beberapa orang
lanjut usia mengalami tekanan sosial yang negatif terhadap keputusannya untuk
menikah kembali. Sangsi-sangsi negatif ini berkisar dari kemarahan hingga penolakan
dari anak-anaknya yang telah dewasa. Meskipun demikian, mayoritas anak-anak
dewasa mendukung keputusan orang tuanya yang telah lanjut usia untuk menikah
kembali. Para peneliti telah menemukan bahwa para orang tua yang menikah kembali
dan para orang tua angkat kurang memberikan dukungan pada anak-anak angkat yang
telah dewasa, di bandingkan orangtua di pernikahan pertama (White, 1994).
c. Kohabitasi Pada Orang Lanjut Usia
Jumlah orang lanjut usia yang melukakan kohabitasi semakin besar (Mutchler,
2009). Pada tahun 1960, jumlah orang lanjut usia yang melakukan kohabitasi hanya
sedikit (Chevan, 1996). Kini, jumlah mereka hampir mecapai 3 persen dari seluruh
orang lanjut usia (Badan Sensus AS, 2004). Para ahli memperkirakan bahwa jumlah
ini akan semakin bertambah apabila generasi baby boomers mulai mecapai usia 65
tahun di tahun 2010, dimana mereka memiliki nilai-nilai yang lebih tidak tradisional
terhadap cinta, seks dan relasi. Dalam banyak khasus, kohabitasi lebih bersifat
kebersamaan di bandingkan cinta.
Apakah kohabitasi mempengaruhi kesehatan individu? Sebuah studi melibatkan
lebih dari 8.000 orang dewasa berusia 51 hingga 61 tahun mengungkapkan bahwa
kesehatan pasangan yang melakukan kohabitasi tidak berbeda dari kesehatan pasangan
yang tidak menikah (Walte, 2005).

13
d. Romantika dan Seks pada Orang Usia Lanjut
Tidak banyak diantara kita yang membayangkan bahwa orang lanjut usia masih
berminat untuk menjalin relasi seksual atau relasi romantik. Ekspresi seksualitas orang
lanjut usia berbeda dengan orang muda, khususnya apabila hubungan seksual tidak
lagi menjadi hal yang mudah dilakukan. Orang lanjut usia secara khusus menikmati
sentuhan dan belaian sebagai relasi seksual mereka. Meskipun demikian, bagi orang
lanjut usia, kebersamaan sering kali lebih penting daripada aktivitas seksual.

3.2 Orang Tua Lanjut Usia dan Anak-anak Mereka yang Telah Dewasa
Relasi orang tua-anak di akhir masa-hidup berbeda dari awal masa hidup
(Fingerman, Whiteman, & Dotterer, 2009; Fingerman, Miller, & Seidel, 2009; Merrill,
2009). Relasi-relasi tersebut dipengaruhi oleh sejauh mana ketertarikan serta
pengalaman dan memori mereka. Para peneliti bahwa orang lanjut usia yang memiliki
anak, cenderung lebih banyak menjalin kontak dengan sanak-saudara dibandingkan
dengan orang lanjut usia yang tidak memiliki anak (Johnson & Troll, 1992). Kini,
perbedaan yang terdapat pada orang tua lanjut usia dan anak-anak yang telahdewasa,
semakin besar. Dibandingkan dulu, kini jumlah orang lanjut usia yang bercerai
melakukan kohabitasi, dan mengasuh anak yang bukan hasil dari perkawinan, lebih
banyak dijumpai (Merril, 2009).
Gender memainkan peran penting dalam relasi antara para orang tua lanjut usia
dan anak-anak yang telah dewasa (Ward-Griffin & Kawan-kawan, 2007). Anak
perempuan yang telah dewasa lebih terlibat dalam kehidupan orangtua daripada anak
laki-laki. Dibandingkan anak laki-laki, anak perempuan dewasa cenderung ltiga kali
lebih banyak memberikan bantuan dalam aktivitas sehari-hari kepada orang tuanya
(Dwyer & Coward, 1991). Sebuah tugas berharga yang dapat diberikanoleh anak-anak
yang telah dewasa adalah mengoordinasikan dan memonitor layanan-layanan untuk
orangtua lanjut usia yang sudah menurun kemampuannya (Silverstein, 2009). Hal ini
dapat meliputi menyediakan perawatan dirumah dan kualitasnya, memberikan layanan
medis, mengatur bantuan layanan umum, dan menangani keuangan. Dalam beberapa
kasus, anak-anak dewasa memberikan bantuan langsung dalam kehidupan sehari-hari,
termasuk aktivitas makan, mandi dan berpakaian. Bahkan orang-ortang lanjut usia
relatif, tidak terlalu sakit juga mebutuhkan bantuan untuk berbelanja, menyelesaikan
tugas rumah tangga, transportasi, pemeliharaan rumah, dan membayar tagihan.

14
Penelitian terbaru mengungkap bahwa bahkan ketika orang tua memiliki masalah
kesehatyan, relasi diantara orang tua dan anak-anaknya mengalami perubahan yang
positif. (Fingerman & kawan-kawan, 2007). Meskipun demikian banyak kasus, para
peneliti menemukan bahwa ambivalensi sering kali terdapat dalam relasi di antara anak-
anak dewasa dengan orang tua lanjut usia. Persepsi ini meliputi cinta, saling bantu, nilai
bersama, untuk sisi positifnya; serta isolasi, konflik keluarga dan masalah-masalahnya,
kekerasan, pengabaian, dan stress yang dialami pengasuh, untuk sisi negatifnya (Fowler,
1999). Sebuah studi yang dilakukan baru-baru ini terhadap 1.599 relasi anak-anak
dewasa dengan orangtua lanjut usia, menemukan bahwa ambivalensi cenderung muncul
dalam relasi dengan mertua atau menantu, kesehatan buruk, dan sebelumnya mereka
memiliki relasi yang buruk (Willson, Shuey & Elder, 2003).

3.3 Kakek-Nenek Buyut


Karena usia harapan hidup meningkat, saat ini juml;ah kakek-nenek buyut lebih
banyak. Memasuki abad ke-20, keluarga dengan tiga generasi merupakan hal yang
banyak dijumpai, namun kini keluarga dengan empat generasijuga banyak dijumpai.
Salah satu kontribusi kakek-nenek buyut adalah melestarikan sejarah keluarga, yang
dilakukan dengan cara menyampaikan pada para anak-anak, para cucu, dan para cicit,
mengenali asla mereka, apa yang telah dicapai, apa yang telah dipertahankan, dan
bagaimana perubahan kehidupan mereka dari tahun ketahun ( Harris, 2002).
Penelitian mengenai kakek-nenek buyut tidak banyak dilakukan. Sebuah studi
mengkaji relasi antara orang-orang dewasa muda dan kakek-nenek dan kakek –nenek
buyut (Roberto & Skoklund, 1996). Orang-orang muda lebih banyak berinteraksi dan
berpartisipasi dalam aktivitas dengan kakek-nenek, dibandingkan dengan kakek nenek
buyut. Mereka juga memandang bahwa peran dan pengaruh kakek-nenek lebih besar,
dibandingkan kakek-nenek buyut. Lilian Troll (2000) menemukan bahwa orang-orang
lanjut usia memiliki kedekatan dengan relasi dengan keluarga cenderung kurang
tertekan dibandingkan dengan mereka yang tidak dekat dengan keluarganya.

3.4 Persahabatan
Dimasa dewasa awal, jaringan persahabatan meluas sejalan dengan koneksi sosial
baru yang dibuat diluar lingkungan rumah. Dimasa dewasa akhir, persahabatan baru tidak
terlalu dipaksakan, meskipun beberapa orang dewasa mencari persahabatan yang baru,
terutama setelah kematian pasangannya (Zettel Watson & Rook, 2009). Seorang ahli

15
proses penuaan, Laura Carstensen (1998) menyimpulkan bahwa ketika memasuki usia
lanjut, orang-orang cenderung memliih kawan-kawan dekat dibandingkan kawan-kawan
baru. Dan sejauh mereka memiliki beberapa kawan-kawan dekat dalam jaringannya,
mereka merasa puas.mendukung pandangan Carstensen, ingatlah penelitian terbabru
diawal bab ini yang menyebutkan bahwa yang dibandingkan orang dewasa muda, orang
lanjut usia mengalami emosi positif yang kurang intensif terhadap teman baru, namun
sebaliknya terhadap teman lama (Charles & Piazza, 2007). Dua studi yang dilakukan
naru-baru ini mendokumentasikan pentingnya persahabatan diantara orang-orang lanjut
usia:
 Sebuah studi yang melibatkan hampir 1.700 orang dewasa AS yang berusia 60 tahun
keatas mengungkapkan bahwa dibandingkan dengan relasi keluarga, persahabatan itu
lebih penting dalam melamarkan kesehatan mental (Fiori, Antonucci, & Cortina,
2006). Bahkan meskipun peneliti mengontrol kesehatan, usia, penghasilan dan faktor-
faktor lainnya, orang lanjut usia yang kontak sosialnya, terutama terbatas pada
anggota-anggota keluarga, cenderung untuk memperlihatkan simtom depresif. Kawan
kawan agaknya memberikan keakraban emosional dan kebersamaan, dan juga
membantu tercapainya integrasi di dalam komunitas (Antonucci, Akiyama &
Sherman, 2007).
 Sebuah studi longitudinal yang dilakukukan baru-baru ini terhadap orang – orang
berusia 75 tahun ke atas mengungkapkan bahwa individu – individu yang memiliki
ikatan dengan kawan – kawan lebih kecil kemungkinannya untuk meninggal dalam
jangka waktu tujuh puluh tahun (Rasulo, Chritensen, & Tomassini, 2005).
 Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa orang lanjut usia yang tidak menikah namun
terikat dengan jaringan pertemanan secara fisik dan psikologis lebih baik dari orang
lanjut usia yang tidak menikah namun hanya memiliki sedikit teman (Flori, Smith, &
Antonucci, 2007).

3.5 Dukungan Sosial dan Integrasi Sosial


Dukungan dan integrasi sosial berperan penting terhadap kesehatan fisik dan mental
orang lanjut usia (Antonucci & kawan – kawan, 2011; Birdiit, 2009; Kahana, Kahana,
& Hammel, 2009).
a. Dukungan Sosial

16
Dalam model konvoi relasi sosial, individu – individu melalui kehidupannya
dalam sebuah jaringan sosial, dimana mereka dapat memberi dan menerima
dukungan sosial (Antonucci, Birditt, & Kalinauskas, 2009; Antonucci & kawan –
kawan, 2007). Bagi orang lanjut usia, dukungan sosial dapat meningkatkan
kesehatan fisik dan mental pada orang – orang lanjut usia (Cheng, Lee, & Chow,
2010). Dukungan sosial berkaitan dengan berkurangnya simtom – simtom penyakit
dan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan perawatan kesehatannya sendiri dan
kematian (Rook & kawan – kawan, 2007). Dukungan sosial juga menurunkan
kemungkinan bahwa orang lanjut usia akan tinggal di institusi (Antonucci, 1990).
Dukungan sosial berkaitan dengan rendahnya insiden depresi pada orang lanjut usia
(Cacioppo & kawan – kawan, 2006).
Dukungan sosial untuk orang lanjut usia dapat dilakukan oleh orang dewasa
yang berbeda (Antonucci, Birditt, & Akiyama, 2009; Antonucci & kawan – kawan,
2011). Orang lanjut usia yang menikah cenderung tidak memerlukan dukungan
sosial yang formal, seperti perawatan rumah, panti jompo, layanan makanan,
daripada orang lanjut usia yang tidak menikah. Keluarga berperan penting dalam
dukungan sosial terhadap orang lanjut usia, namun sahabat juga berperan penting.
Dukungan sosial berbeda di berbagai budaya. Sebagai contoh di AS, orang yang
bertanggung jawab utama terhadap orang lanjut usia adalah anak perempuan,
sedangkan di Jepang adalah menantu perempuan.
b. Integrasi Sosial
Integrasi sosial juga berperan penting dalam kehidupan orang lanjut
usia (Rohr & Lang, 2009; von Tilburg, 2009). Ingatlah diskusi kita sebelumnya
mengenai teori selektivitas sosioekonomi, dimana terdapat banyak orang lanjut usia
yang memilih menjalin kontak sosial yang lebih terbatas dan memiliki kontak
emosional yang positif dengan kawan – kawan dan keluarga (Charles & Cartensen,
2009, 2010). Dengan demikian, berkurangnya keseluruhan aktivitas sosial dari
orang – orang lanjut usia dapat mencerminkan minat mereka yang lebih besar untuk
meluangkan lebih banyak waktu dalam kelompok kecil kawan – kawan dan
keluarga, dimana dalam kelompok kecil ini mereka cenderung lebih sedikit
mengalami emosi – emosi negatif. Peneliti telah menemukan bahwa orang lanjut
usia cenderung tidak merasa kesepian dari orang dewasa muda seperti yang
dibayangkan, berdasarkan kondisi mereka (Schnittker, 2007). Perasaan mereka ini

17
mencerminkan jaringan jaringan sosial yang lebih selektif dan penerimaan terhadap
kesepian dalam hidup mereka (Koropeckyj-Cox, 2009).
Penelitian baru – baru ini mengeksplorasi kualitas pernikahan pada orang
lanjut usia dan kaitannnya terhadap kesepian (de Jong Gierveld & kawan – kawan,
2009). Terdapat dua jenis kesepian yang dipelajari : emosional (pernyataan afektif
terhadap rasa terisolasi) dan sosial (faktor integrasi dalam jaringan sosial yang
dapat memberikan konektivitas dengan orang lain). Sekitar 20 hingga 25 persen
orang lanjut usia yang menikah merasakan kesepian emosional atau sosial yang
moderat atau kuat. Kesepian emosional dan sosial yang kuat terjadi pada orang
lanjut usia yang pasangannnya memiliki masalah kesehatan, tidak memperoleh
dukungan emosional dari pasangannya, yang jarang berkomunikasi dengan
pasangannya, dan yang menyatakan kehidupan seksnya tidak menyenangkan.
Kesepian emosional lebih kuat pada suami – suami dengan istri yang mengalami
kemunduran. Dan juga, kesepian emosional dan sosial terdapat pada orang lanjut
usia dengan jaringan sosial yang lebih sempit dan kurang berkomunikasi dengan
anak - anaknya.
Peneliti telah menemukan bahwa integrasi sosial tingkat rendah terkait
dengan penyakit jantung pada orang lanjut usia (Loucks & kawan – kawan, 2006).
Dalam suatu penelitian, menjadi bagian dari suatu jaringan sosial terkait dengan
harapan hidup yang lebih panjang, terutama pada pria (House, Landis, &
Umberson, 1988). Kesepian dan terisolasi secara sosial merupakan risiko kesehatan
yang signifikan pada orang lanjut usia (Koropeckyj-Cox, 2009). Sebagai contoh,
penelitian terbaru menemukan bahwa kesepian dapat memprediksi peningkatan
tekanan darah empat tahun kemudian pada orang paruh-baya dan lanjut usia.
(Hawkley & kawan – kawan, 2010).

3.6 Altruisme dan Kerja Sukarela


Terdapat suatu persepsi umum bahwa orang – orang lanjut usia sebaiknya dibantu
dan bukan membantu orang lain. Namun, penelitian longiang lain. Namun, penelitian
longitudinal selama 12 tahun mengungkap bahwa orang lanjut usia yang selalu merasa
tidak berguna untuk orang lain berisiko lebih tinggi terhadap kematian dini
(Gruenewald & kawan – kawan, 2009). Lebih lanjut, baru – baru ini para peneliti
menemukan bahwa orang – orang lanjut usia akan memperoleh keuntungan apabila

18
mereka terlibat dalam perilaku altruistik dan sukarela. Sebagai contoh, penelitian
terbaru menemukan bahwa menjadi sukarelawan terkait dengan berkurangnya
keringkihan pada orang lanjut usia (Jung & kawan – kawan, 2010). Menjadi
sukarelawan memuncak di masa dewasa pertengahan dan sedikit menurun di masa
dewasa akhir (Corporation for National and Community Service, 2006). Namun
demikian, orang lanjut usia lebih besar kecenderungannya untuk menjadi sukarelawan
lebih dari 100 jam per tahun dibandingkan kelompok usia lain (Burr, 2009). Hampir
50 persen pekerjaan sukarela yang dilakukan oleh orang lanjut usia berkaitan dengan
organisasi keagamaan (Burr, 2009).
Suatu penelitian dilakukan terhadap 423 pasangan lanjut usia selama lima tahun
(Brown & kawan – kawan, 2003). Pada permulaan penelitian, pasangan – pasangan itu
ditanyakan tentang sejauh mana mereka telah memberi atau menerima bantuan
emosional atau praktis di tahun – tahun terakhir. Lima tahun sesudahnya, mereka yang
mengatakan telah membantu orang lain hanya setengahnya yang meninggal dunia.
Satu kemungkinan alasannya adalah bahwa membantu orang lain dapat mengurangi
hormon stres, sehingga menghasilkan jantung yang sehat dan sistem imunitas yang
lebih baik.
Penelitian terbaru terhadap 21.000 orang usia 50 hingga 79 tahun di 21 negara
mengungkap bahwa satu pertiga dari mereka pernah dan masih menjadi sukarelawan
(HSBC Insurance, 2007). Dalam penelitian ini, sekitar 50 persennya mengatakan
bahwa mereka telah melakukannya paling tidak satu setengah hari setiap minggunya.
Penelitian terakhir menunjukkan peningkatan menjadi sukarelawan pada orang berusia
57 hingga 85 tahun (Cornwell, Laumann, & schumm, 2008). Penelitian longitudinal
selama 8 tahun mengindikasikan bahwa orang lanjut usia yang intens terhadap
pekerjaan sukarela, menjadi sukarelawan beberapa tahun, menikah dengan
sukarelawan juga, sehingga cenderung tidak menghentikan kegiatan itu (Butrica,
Johnson, & Zedlewsi, 2009). Orang lanjut usia yang tidak menjadi sukarelawan
cenderung memulai kegiatan itu jika mereka belum melakukannya dalam beberapa
tahun terakhir atau pasangan mereka merupakan sukarelawan.
Para peneliti juga menemukan bahwa bertindak sebagai sukarelawan di usia lanjut
bekaitan dengan sejumlah hasil yang positif (Burr, 2009). Penelitian terbaru terhadap
401 orang lanjut usia dalam 13 program kerja sukarela mengungkap bahwa lebih dari
30 persennya mengatakan mereka merasa jauh lebih baik karena menjadi sukarelawan
dan hampir 60 persennya mengatakan hal itu bermanfaat bagi keluarga (Morrow-

19
Howell, Hong & Tang, 2009). Sebuah studi yang melibatkan 2000 orang lanjut usia di
Jepang mengungkapkan bahwa mereka yang lebih banyak memberikan bantuan
kepada orang lain, memiliki kesehatan fisik yang lebih baik dibandingkan mereka
yang kurang memberi bantuan (Krause & kawan – kawan, 1999). Dampak positif dari
kerja sukarela ini disebabkan oleh adanya akivitas – aktivitas yang konstruktif dan
peran – peran yang produktif, integrasi sosial, dan meningkatkan hidup (Tan & kawan
– kawan, 2007).

4. Etnisitas, Gender dan Budaya


4.1 Etnisitas
Salah satu yang memperoleh perhatian khusus adalah orang lanjut usia dari etnis
minoritas, terutama orang – orang Afrika – Amerika dan Latin yang miskin (Kingson &
Bartholomew, 2009). Lihatlah Harry, seorang Afrika – Amerika berusia 72 tahun yang
tinggal di bekas hotel yang tidak terpelihara di Los Angeles. Ia menderita radang sendi
dan menggunakan alat bantu dan menggunakan alat bantu berjalan. Ia tidak dapat bekerja
selama bertahun – tahun, dan santunan pemerintah tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhannya.
Berdasarkan perbandingan yang dilakukan terhadap orang – orang Afrika – Amerika,
Latin, dan kulit putih, mengindikasikan terdapat masalah ganda yang dialami oleh orang
lanjut usia dari etnis minoritas. Mereka menghadapi masalah yang berkaitan dengan
ageism dan rasisme (Ciol & kawan – kawan, 2008). Sebuah studi baru – baru ini yang
melibatkan 4.000 orang lanjut usia, menemukan bahwa orang-orang Afrika – Amerika
merasakan diskriminasi yang lebih besar, dibandingkan dengan kulit putih nonlatin
(Barnes & kawan – kawan, 2004). Baik kekayaan dan kesehatan pada orang lanjut usia
dari etnis minoritas menurun lebih cepat dibandingkan orang lanjut usia kulit putih
nonlatin (Yee & Chiriboga, 2007). Individu – individu lanjut usia dari etnik minoritas
lebih sering sakit namun lebih jarang memperoleh kesempatan untuk memperoleh
perawatan (Hinrichsen, 2006). Mereka lebih sering memiliki riwayat pendidikan yang
rendah, pengangguran, kondisi pemukiman yang buruk, harapan – harapan hidup yang
pendek dibandingkan orang lanjut usia Amerika yang berkulit putih (Himes, Hogan, &
Eggebeen, 1996). Banyak pekerja dari etnis minoritas yang tidak pernah menikmati
Jaminan Sosial dan asuransi kesehatan, dimana penghasilan mereka dipotong untuk itu,

20
karena mereka meninggal sebelum mencapai usia yang memenuhi syarat untuk
memperoleh manfaat tersebut.
Meskipun orang – orang lanjut usia dari etnis minoritas menghadapi tekanan dan
diskriminasi, kebanyakan dari orang – orang ini telah memiliki mekanisme penyelesaian
masalah yang memberi kesempatan bagi mereka yang untuk bertahan di lingkungan
dominasi orang – orang kulit putih nonlatin. Perluasan jaringaan keluarga membuat orang
– orang lanjut usia dari kelompok minoritas mengatasinya dengan hal – hal pokok yang
nyata dalam kehidupan, dan memberi mereka perasaan dicintai (Karasik & Hamon,
2007). Gereja orang – orang Afrika – Amerika dan Latin, menyediakan kegiatan sosial
yang bermakna, perasaan – perasaan berkuasa, dan kepuasan internal (Hill & kawan –
kawan, 2006). Pusat pemukiman kelompok – kelompok etnis minoritas memberikan rasa
memiliki bagi anggota – anggotanya yang berusia lanjut. Dengan demikian,
mempertimbangkan variasi individual dalam kehidupan minoritas lanjut usia merupakan
hal yang penting (Albert, 2007). Untuk membaca tentang individu yang membantu orang
lanjut usia minoritas.

4.2 Gender
Apakah peran – peran gender kita berubah saat kita menjadi orang lanjut usia?
Beberapa ahli perkembangan percaya bahwa terjadi penurunan feminitas pada
perempuan dan penurunan maskulinitas pada laki – laki saat mereka memasuki masa
dewasa akhir (Gutmann, 1975). Bukti menyatakan bahwa laki – laki lanjut usia menjadi
lebih feminim – berjiwa pengasuh, sensitif, dan sejenisnya – meskipun nampaknya
perempuan tidak perlu menjadi lebih maskulin – aserttif, dominan, dan sejenisnya
(Turner, 1982). Ingatlah bahwa pengaruh kohort penting, khususnya dalam wilayah
seperti peran – peran gender. Seperti halnya perubahan – perubahan sosiohistoris yang
terjadi dan lebih sering diteliti dalam penyelidikan – penyelidikan masa hidup, apa yang
orang persepsikan sebagai pengaruh usia mungkin adalah pengaruh kohort (Schaie,
2007).
Risiko ganda juga dapat dialami oleh banyak perempuan yaitu beban yang
berkaitan dengan ageism dan seksisme (Calisanti, 2009). Kita tidak hanya perlu
memberi perhatian pada risiko ganda karena ageism dan seksisme, namun kita juga
perlu memberi perhatian khusus pada perempuan lanjut usia yang berasal dari kelompok
etnik minoritas (Leifheit-Limson & Levy, 2009). Mereka menghadapi tiga resiko
sekaligus – ageism, seksisme, dan rasisme. Wanita – wanita lanjut usi di kelompok

21
etnik minoritas menghadapi stres dalam kehidupannya. Untuk menghadapi stres ini
mereka telah menunjukkan kemampuan adaptasi, resiliensi, tanggung jawab, dan
keterampilan coping yang menakjubkan.

4.3 Budaya
Apa yang mendukung usia tua yang baik di sebagian besar budaya? Analisis
terbaru mengindikasikan bahwa ketiga faktor berikut penting dalam menjalani
“kehidupan yang baik” sebagai orang lanjut usia : kesehatan, keamanan, dan ikatan
keluarga atau dukungan (Fry, 2007).
Pertanyaan penting lainnya adalah : faktor – faktor apakah yang berkaitan dengan
apakah orang – orang lanjut usia akan memperoleh suatu status yang tinggi di dalam
sebuah budaya? Terdapat tujuh faktor yang paling dapat memprediksikan status yang
tinggi untuk orang – orang lanjut usia di sebuah budaya (Sangree, 1989), yaitu :
 Orang lanjut usia memiliki pengetahuan yang berharga
 Orang lanjut usia mengendalikan sumber daya keluarga / komunitas yang penting
 Orang lanjut usia diizinkan untuk terlibat di dalam fungsi – fungsi yang berguna dan
bernilai selama mungkin
 Terdapat kontinuitas peran sepanjang masa hidup
 Perubahan peran yang terkait dengan usia melibatkan tanggung jawab, otoritas, dan
kapasitas sebagai penasehat, yang lebih besar.
 Keluarga besar merupakan suatu bentuk pengaturan keluarga yang banyak dijumpai
di suatu budaya, dan orang lanjut usia diintegrasikan ke dalam keluarga besar.

Secara umum, penghormatan kepada orang lanjut usia lebih banyak dijumpai di
budaya kolektif (seperti Cina dan Jepang) dibandingkan di budaya individualis (seperti
Amerika Serikat). Meskipun demikian, beberapa peneliti menemukan bahwa perbedaan
kolektivitas / individualistik terhadap orang – orang lanjut usia, tidaklah sebesar seperti
yang biasanya diyakini, dalam beberapa kasus orang – orang lanjut usia yang tinggal di
dalam budaya individualistik juga dihormati (Antonucci, Vandewater, & Lansford, 2000).

22
5. Proses Masa Tua yang Berhasil
Sudah sejak lama, dimensi – dimensi positif dari masa dewasa akhir diabaikan
(Charles & Carstensen 2010; Deep & Jestee, 2010; Stirling, 2011). Melalui buku ini, kami
mengundang anda semua untuk memberi perhatian pada aspek – aspek positif dari proses
menjadi tua. Banyak sekali orang lanjut usia yang sehat dan tegap (Willcox & kawan-kawan,
2008). Melalui diet yang tepat, gaya hidup yang aktif, stimulasi dan fleksibilitas mental,
keterampilan coping yang positif, relasi dan dukungan sosial yang baik, serta tidak adanya
penyakit, ada banyak kemampuan yang dapat dipertahankan atau bahkan dalam beberapa
kasus ditingkatkan seiring dengan proses menjadi tua yang positif, (Antonucci & kawan –
kawan, 2011; Hughes, 2010; Lachman & kawan – kawan, 2010). Bahkan ketika individu
mengidap suatu penyakit, sumbangan dalam kemajuan pengobatan lebih bersifat agar orang –
orang lanjut usia dapat tetap aktif dan menjalani hidupnya secara konstruktif.
Menjadi individu yang aktif penting bagi keberhasilan proses masa tua (Erickson
& Kramer, 2009). Orang lanjut usia yang berolahraga secara teratur, keluar dan menghadiri
berbagai pertemuan,berpartisipasi dalam aktivitas keagamaan, dan berlibur, akan lebih puas
dalam menjalani kehidupannya dibandingkan mereka yang memisahkan diri dari masyarakat
(Levin, Chatters, & Taylor, 2010; Venturelli & kawan – kawan, 2010). Orang lanjut usia yang
secara emosional bersikap selektif, mengoptimalisasikan pilihan – pilihannya, dan melakukan
kompensasi secara efektif terhadap kemunduran yang dialami, akan dapat menjalani proses
masa tua secara lebih berhasil (Baltes & Smith, 2008; Schiebe & Casrtensen), 2010;
Staudinger & Jacobs, 2011).
Proses masa tua yang berhasil juga melibatkan penghayatan bahwa seseorang
mampu mengendalikan lingkungannya (Bandura, 2010; HSBC Insurance, 2007). Dalam
beberapa tahun terakhir, istilah self-efficacy sering kali digunakan untuk mendekskripsikan
penghayatan akan adanya kendali terhadap lingkungan dan kemampuan meenghasilkan
sesuatu yang positif (Bandura, 2009, 2010). Para peneliti telah menemukan bahwa banyak
orang lanjut usia yang sangat efektif dalam membina penghayatan akan kendali dan memiliki
pandangan yang positif mengenai dirinya (Dunbar, Leventhal, & Leventhal 2007). Sebagai
contoh, sebuah studi yang dilakukan baru – baru ini terhadap orang – orang yang berusia di
atasdi yang dilakukan baru – baru ini terhadap orang – orang yang berusia di atas 100 tahun,
menemukan bahwa banyak diantara mereka yang sangat bahagia serta bahwa self-efficacy dan
sikap optimis berhubungan dengan kebahagiaan mereka (Jopp & Rott, 2006).

23
BAB III

PENUTUP
Masa dewasa lanjut usia merupakan masa lanjutan atau masa dewasa akhir (60 ke atas). Perlu
memperhatikan khusus bagi orangtuanya yang sudah menginjak lansia dan anaknya yang butuh
dukungan juga untuk menjadi seorang dewasa yang bertanggungjawab. Di samping itu
permasalahan dari diri sendiri dengan perubahan fisik, mulai tanda penuaan yang cukup menyita
perhatian. Pada masa dewasa akhir, ada beberapa perkembangan yang kita alami. Diantaranya
adalah perkembanagn fisik, perkembangan kognitif, perkembangan psikis dan intelektual,
perkembangan emosional, perkembangan minat, dan perkembangan kepribadian. Menurut
erikson ada 3 gejala penting pada perkembangan psikososial pada masa dewasa akhir, yaitu
perkembangan keintiman, perkembangan generatif, dan perkembangan integritas

24

Anda mungkin juga menyukai