Tinjauan Pustaka
1. Mie Basah
1.1 Definisi Mie Basah
Mie pertama kali dibuat dan berkembang di daratan cina dan hingga kinimasih
terkenal sebagai Oriental Noodle. Kemudian diperkenalkan oleh Macropolo
kepada para Bangsawan di Italia lalu menyebar ke Prancis, dan menyebar
keseluruh penjur Eropa. Hingga pada saat ini mie telah dikenal di berbagai
Negara si seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pembuataannya pun telah
bersifat modern (koswara,2009). Mie merupakan produk makanan yang dibuat
dari tepung gandum atau tepung terigu dengan tanpa penambahan bahan
makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diijinkan, bentuk khas mie
siap dihidangkan setelah dimasak. Mie dapat dijadikan menu makan sehari-
hari oleh orang Indonesia karen sangat mudah ditemui, baik yang
menggunakan mi basah, mi kering, maupun mie instan hingga berbagai resep
masakan tradisional yang menggunakan mie sebagai bahan dasarnya, seperti
aneka soto, mi celor Palembang, dan lain-lain. Sifat mie yang memiliki rasa
netral dan praktis memudahkan penggunaannya untuk diolah menjadi aneka
resep makanan yang bervariasi (Purnawijayanti, 2009). Produk mie
merupakan makanan yang berbahan dasar tepung terigu yang berasal dari
tanaman gandum. Menurut Irviani dan NIsa (2014) dalam penelitian
Hasmawati dkk (2020), pada tahun 2012 impor gandum telah menembus
angka 6,3 juta ton sehingga diperlukan upaya pelaksanaan diversifikasi
pangan agar pembuatan mie tidak bergantung pada tepung terigu.
Mie merupakan makanan yang paling popular di Asia. Sekitar 40% dari
komsumsi tepung terigu di Asia di gunakan untuk pembuatan mie.
Berdasarkan penelitian dari Kruger dan Matsuo pada tahun 1996, di Indonesia
pada tahun 1990 penggunaan tepung terigu untuk pembuatan mie mencapai
60-70%. Hal tersebutlah membuktikan bahwa mie merupakan makanan yang
paling di Asia khususnya Indonesia hingga pada saat ini bahkan digunakan
sebagai pengganti nasi. Ada berbagai jenis mie menurut Purnawijayanti
(2009) yaitu mie kering dan mie basah. Mie kering adalah mie mentah yang
langsung di keringkan sedangkan mie basah adalah mie mentah yang melalui
proses perebusan dengan air terlebih dahulu sebelum di pasarkan. Menurut
Koswara 2009, Mie basah memiliki kadar air sekitar 52%. Mie basah tidak
bisa disimpan terlalu lama. Pembuatan dan penanganan dengan baik maka
pada musim panas atau musim kering mie basa hanya dapat tahan simpan
selama kisaran 36 jam sedangkan pada keadaan musim penghujan mie hanya
memiliki daya tahan simpan selama kisaran 20-22 jam dikarenakan mikroflora
teutama jamur atau kapang yang pada umumnya lebih mudah tumbuh dalam
keadaan lembab dan suhu yang tidak terlalu tinggi. Mie basah digolongkan
sebagai produk yang memiliki kadar air yang cukup tinggi (± 60%) .
(Koswara, 2009)
Pengawet yang di tambahkan pada mie basah adalah kalsium propinat untuk
mencegah mie berlendir dan mencegah munculnya jamur ( koswara, 2009).
Mie basah sering disebut juga mie kuning karena warnya yang kuning
(purnawijayanti, 2009). Mie yang berwarna kuning dikarenakan memiliki
kadar gluten yang tinggi. Bahan kimia yang bersifat alkali mengubah gluten
dan membuat mie berubah menjadi kenyal, serta mengangtifkan senyawa
flavonoid sehinggan mie berwarna kuning (Aprilianti,2009). Mie kuning
dengan Ph alkaline sulit untuk dicerna oler pencernaan, namun demikian mie
termasuk makanan karbohidrat yang mudah diserap oleh tubuh manusia dan
menyebabkan menigkatnya kadar gula darah karena mie memiliki kandungan
glikemik yang tinggi menurut Sidik, 2014 dikutip dalam jurnal Indonesian
Journal Of Halal. Nilai gizi utama dari mie basah adalah karbohidrat
tergantung pada bahan tambahan yang di gunakan dalam membuatnya.
Menurut purnawijayanti 2009, mie basah yang memiliki kadar air yang cukup
tinggi dan memiliki kadar kalori yang rendah.
Menurut koswara (2009) mutu mie yang berkualitas baik ditandai dengan sifat
karakteristik sebagai berikut:
Menurut SNI 01-2987 (1992), mie basah adalah produk pangan yang terbuat
dari tepung terigu dengan ataupun tanpa bahan tambahan pangan yang lain dan
bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak
dikeringkan. Mutu mie basah berdasarkan SNI dapat dilihat pada table 2.
No Kriteria Uji Satuan Persyarataan
1 Keadaaan
1.1 Bau
1.2 Rasa Normal
1.3 Warna
2 Kadar Air % b/b 20-35
3 Kadar Abu %b/b Maksimal 3
4 Kadar Protein (Nx6,25) %b/b Minimal 3
5 Bahan Tambahan Pangan Tidak boleh ada sesuai
5.1 Boraks dan Asam SNI-022-M dan peraturan
borat Menkes
5.2 Pewarna No.722/Menkes/per/IX/88
Tidak boleh ada
6 5.3 Formalin
Cemaran Logam Maksimal 1
6.1 Timbal (Pb) Maksimal 10
6.2 Tembaga (Cu) Mg/kg Maksimal 40
6.3 Seng (Zn) Maksimal 0,05
7 6.4 Raksa (Hg) Mg/kg Maksimal 0,05
8 Arsen (As)
Cemaran Mikroba Koloni/g Maksimal 1x106
8.1 Angka Lempeng total APM/g Maksimal 10
8.2 E. Coli Koloni/g Maksimal 1x104
8.3 Kapang
Sumber: SNI 01-2987 (1992)
Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan mie basah adalah Tapioka dan
tepung terigu sedangkan bahan tambahan pendukung pada pembuatan mie
basah adalah air, garam, dan telur.
1.2.1 Tapioka
Tepung tapioka adalah pati ubi kayu yang dikeringkan. Tepung tapioka biasa
digunakan sebagai pencampur untuk menambah bobot/volume mie yang
dihasilkan dan mengurangi penggunaan terigu. Semakin banyak tapioka yang
ditambahkan, harga mi juga semakin rendah karena jika terlalu banyak akan
menurunkan kualitas dan mengurangi kekenyalan mie (Purnawijayanti, 2009).
Singkong telah dibudidayakan dan dikembangkan dalam skala agrobisnis di
Indonesia. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi ubi kayu di
Indonesia tahun 2009 tercatat lebih dari 22 juta ton, yang tersebar di Pulau
Jawa (lebih dari 9 juta ton) dan Pulau Sumatra (lebih dari 8 juta ton). Dari
kedua wilayah pulau tersebut sebagai sentra produksi menhasilkan lebih dari 17
juta ton (77%) dari seluruh Tanah Air (Gardjito, dkk., 2013). Hasil panen
utama dari tanaman singkong adalah umbinya. Berdasarkan sifat umbi
singkong yang hanya memiliki masa segar sangat singkat, yaitu hanya 2 x 24
jam saja, maka umbi singkong yang telah dipanen harus diawetkan agar pada
saat digunakan masih tetap dalam kondisi baik ataupun segar (Suprapti, 2002).
Komposisi kimia tapioca dapat dilihat pada tabel 3.
Komposisi Jumlah
Serat (%) 0,5
Air (%) 15
Karbohidrat (%) 85
Protein (%) 0,5-0,7
Lemak (%) 0,2
Energi (kalori/100 gram) 307
Sumber: Grace (1977)
Menurut Fenema (1979) dalam Gardjito, dkk (2013), pati ubi kayu sering kali
disebut juga sebagai pati tapioka. Tapioka tersusun atas pati sekitar 85%, dengan
sifat-sifat tidak larut dalam air dingin, dapat membentuk gel dalam air panas, tidak
berasa, tidak berwarna. Granula pati tidak larut dalam air dingin, sehingga apabila
granul pati dicampur dengan air dingin, maka akan terjadi penyerapan air (hidrasi)
dan sedikit penggelembungan bersifat balik (reversible) karena pati dapat
dikeringkan kembali tanpa perubahan strukturnya.
Moorthy (2004) mengemukakan bahwa tapioca diperoleh dari hasil ektrak singkng.
Proses ektraksi harus dilakukan dengan baik, agar didapatkan pati yang berwarna
putih dan memiliki mutu yang baik. Hal ini terdapat di dalam SNI 01-3-451 (1994)
yang membagi tapioca menjadi tiga kelas berdasarkan derajat keputihan.
Aplikasinya dalam pembuatan produk pangan juga demian, tapioca yang lebih
putih biasnya lebih dipilih sebagai bahan baku seperti tercanutm di tabel 4. Produk
diharapkan dapat menghasilan warna putih yang baik (tidak kusam), sehingga
produk leih dapat diterima oleh konsumen dari segi organoleptiknya.
Gandum yang telah diolah menjadi tepung terigu menurut (Rustandi, 2011)
dapat digolongkan menjadi 3 tingkatan yang dibedakan berdasarkan
kandungan protein yang dimiliki, yakni :
a. Hard flour (kandungan protein 12% – 14%) Tepung ini mudah dicampur
dan difermentasikan, memiliki daya serap air tinggi, elastis, serta mudah
digiling. Jenis tepung ini cocok untuk membuat roti, mie, dan pasta.
b. Medium flour (kandungan protein 10,5% – 11,5%) Tepung ini cocok untuk
membuat adonan dengan tingkat fermentasi sedang, seperti donat, bakso, cake,
dan muffin.
c. Soft flour (kandungan protein 8% – 9%) Tepung ini memiliki daya serap
rendah, sukar diuleni, dan daya pengembangan rendah. Tepung ini cocok
untuk membuat kue kering, biskuit, pastel.
1.2.3 Air
Air dalam proses pembuatan mie berfungsi sebagai media reaksi antara gluten,
karbohidrat dan larutan garam serta membentuk sifat kenyal gluten. Air juga
digunakan untuk merebus mie mentah dalam pembuatan mie basah. Pada
proses perebusan akan terjadi glatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga
dapat meningkatkan kekenyalan mie (Sunaryo,1985 dalam Ratnawati, 2003).
Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat (akan
mengembang), melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Air
yang digunakan sebaiknya memilih pH antara 6-9. Makin tinggi pH air maka
mie yang dihasilkan tidak mudah patah karena absorbsi air meningkat dengan
meningkatnya pH. Selain pH, air yang digunakan harus air yang memenuhi
persyaratan sebagai air minum, diantaranya tidak berwarna, tidak berbau, dan
tidak berasa. Jumlah air yang ditambahkan pada umumnya sekitar 28-38%
dari campuran bahan yang akan digunakan. Jika lebih dari 38%, adonan akan
menjadi sangat lengkat dan jika kurang dari 28%, adonan akan menjadi rapuh
sehingga sulit di cetak (Astawan, 2006).
1.2.4 Garam
Garam merupakan bahan tambahan yang ditambahkan dalam jumlah sedikit
pada makanan. Namun memberikan pengaruh yang banyak terhadap
penerimaan konsumen pada suatu produk pangan. Garam dalam pembuatan
mie berfungsi memberi rasa agar tidak hambar, memperkuat citarasa, dan
mengontrol pertumbuan khamir pada pembuatan produk yang di kembangkan
dengan ragi, memperkuat gluten ( daya regang) dalam adonan dan membantu
mncegah pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkam dapat meningkatkan
daya penyerapan air dari tepung, serta mengatur pewarna pada produk mie
( Andarwulan,2011).
1.2.5 Telur
Telur dalam pembuatan produk olahan pangan mie dapat berfungsi
membentuk warna dan flavour yang khas pada mie, memperbaiki cita rasa dan
keseragaman mie, membantu mebentuk adonan yang kalis, meningkatkan nilai
gizi serta kelembutan produk. Telur berfungsi memunculkan warna khas
kuning pada mie. Pada proses pembuatan mie telur juga berfungsi sebagai
sumber protein dan air pada pembuatan adonan mie. Albumin pada telur
menyebabkan peningkatan kadar air pada mie. Namun dalam penggunaannya
telur juga tidak boleh terlalu berlebihan, hal ini dapat menyebabkan adonan
menjadi lembek, dan susah kalis. Selain itu juga telur berfungsi sebagai
emulsifier dengan adanya lisitin sehingga dapat memperbaiki stabilitas tekstur
pada mie (Winarno, 1994). Telur yang ditambahkan dalam adonan dapat
meningkatkan nilai gizi mie sekaligus membuat warna menjadi lebih menarik
dan menjadikan mie lebih liat sehingga tidak mudah putus. Putih telur dapat
mengurangi kekeruhan air saat merebus mie, sedangkan kuning telur
mengandung lesitin yang berfungi sebagai emulsifier sehingga adonan lebih
kompak atau menyatu (Sutomo, 2008).
2.3.1 Formalin
a. Definsi Formalin
Formalin mempunyai banyak nama kimia yang biasa kita dengar di
masyarakat, diantaranya Formol, Methylene aldehyde, Paraforin, Morbicid,
Oxomethane polyoxymethylene glycols, Methanol, Formoform,
Superlysoform, Formic aldehyde, Formalith, Tetraoxymethylene, Methyoxide,
Karsan, Trioxane, Oxymethylene dan Methylene glycol (Nurheti Yuliarti,
2007).
Formalin mudah larut dalam air sampai kadar 55%, sangat reaktif dalam
suasana alkalis serta bersifat sebagai zat pereduksi kuat, mudah menguap
karena titik didihnya yaitu -21°C. Formalin sebenarnya berbentuk padat
dengan sebutan formaldehid atau dalam istilah asingnya di tulis formaldehyde.
Bila zat ini tercampur dengan air barulah di sebut dengan formalin, didalam
formalin tersebut terkandung 37% formaldehida, 13 % methanol dan air
dengan kadar 36 – 40 % yang merupakan cairan yang tidak berwarna dengan
bau yang menusuk, uapnya merangsang selaput lendir hidung dan
tenggorokan, rasa terbakar dan jika di simpan di tempat dingin dapat menjadi
keruh, biasanya penyimpanannya di wadah tertutup, terlindung dari cahaya
dengan suhu tempat penyimpanan di atas 20ºC (Asma,2018).
Dalam suhu yang normal dapat berbentuk gas dan mencair pada suhu < 21º C
dan membeku pada suhu < 92ºC dimana berat molekul formalin 30,03 dengan
rumus molekul HCOH, ukuran molekulnya yang sangat kecil memudahkan
reabsobsi dan distribusinya kedalam sel tubuh memiliki sifat antimicrobial
dari formaldehid merupakan hasil dari kemampuanya mengaktivasi protein
dengan cara mengkondensasi dengan asam amino bebas dalam protein
menjadi campuran lain, gugus karbonil yang dimiliki formadelhid sangat aktif,
dan dapat beraksi dengan gugus –NH2 dari protein yang ada pada tubuh
membentuk senyawa yang dapat mengendap (Nerendra,2010). Strukrur
formalin sebagai berikut :
D. Bahaya Formalin
a. Akut
Dampak akut merupakan efek pada kesehatan manusia langsung terlihat
merupakan jangka pendek yang terjadi biasanya bila terpapar formalin dalam
jumlah yang banyak seperti : Mual, Muntah, Rasa terbakar, Sakit perut,
Pusing bersin, Radang tenggorokan, Sakit dada yang berlebihan, Lelah,
Jantung berdebar, Sakit kepala, Diare
b. Kronis
Prinsip KLT yaitu suatu tehknik pemisahan dengan menggunakan dua fase
yaitu fase gerak dan fase diam. Pemisahan terjadi berdasarkan distribusi
komponen zat yang dianalisa diantara dua fase, pemisahan komponen terjadi
secara differensial dibawa oleh fase gerak melewati fase diam
(Mawaddah,2015).
Tehknik pemisahan Kromatografi Lapis Tipis, yaitu
1. Fase gerak
Fase gerak merupakan berupa campuran dua pelarut organic karena daya elusi
campuran antara kedua pelarut mudah diatur sehingga terjadi pemisahan yang
optimal. Ada beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak,
yaitu :
Pemilihan Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi
karena KLT merupakan teknik yang sensitif.
Daya elusi fase gerak harus diatur dengan teliti sehingga harga Rf terletak
antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silica gel,
polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solute yang
berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit
polar seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzene
akan meningkatkan harga Rf secara signifikan.
Solut-solut ionik dan solute-solut polar lebih baik digunakan campuran
pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan methanol dengan
perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau ammonia
masing-masing akan meningkatkan solute-solut yang bersifat basa dan
asam.
2. Fase diam
Dalam fase diam terdapat dua sifat yang terpenting yang harus diperhatikan
yaitu mengenai ukuran partikel dan absorben yang akan di gunakan dalam
KLT. Absorben yang sesuai adalah adsorben yang memiliki ukuran diameter
yang kecil kisaran 10-30 μm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel adsorben
maka semakin sempit pula kisaran ukurannya, artinya kinerja KLT semakin
baik dalam efisiensi dan resolusinya (Gandjar dan Rohman,2012). Pada fase
diam KLT, penjerap yang paling sering digunakan adalah silica dan serbuk
selulosa, sementara mekanisme sorpsi yang utama pada KLT adalah adsorpsi
dan partisi (Gandjar dan Rohman,2012).
Menurut Wulandari (2011), Pada KLT identifikasi awal suatu senyawa
didasarkan pada perbandingan nlai Rf dibandingkan dengan Rf standar. Pada
umumnya nilai Rf suatu laboratorium tidak akan sama bahkan pada waktu
analisis yang berbeda dilaboratorium yang sama sehingga perlu
dipertimbangkan penggunaan Rf relative yaitu nilai Rf noda senyawa
dibandingkan dengan noda senyawa lain dalam lepeng yang sama. Factor-
faktor yang mempengaruhi perbedaan Rf meluputi dimensi dan jenis ruang,
sifat dan ukuran lempeng, arah aliran fase gerak, volume dan komposisi fase
gerak, kondisi kesetimbangan, kelembaban, dan metode persiapan sampel
KLT sebelumnya (wulandari,2011). Nilai Rf:
jarak yang ditempuh solut
Rf =
jarak yang ditempuh f ase gerak
Nilai Rf berkaitan dengan faktor perlambatan dan bukan merupakan suatu
nilai fizika absolut suatu komponen namun digunakan unutuk identifikasi
kualitatif. Ada beberapa hal yang mempengaruhi nilai rf, contohnya perbedaan
komposisi fase gerak, suhu, ukuran chamber, lapisan adsorben dan sifat
campuran (Gandjar dan Rohman, 2012).
2. Uji Kuantitatif
Uji kuantitatif pengawet formalin dilakukan dengan spektrofotometri
menggunakan instrumen spektrofotometri visible. Spektrofotometri
merupakan salah satu metode pemeriksaan dalam kimia analisa yang dipakai
unutk menentukan kadar komposisi suatu sampel secara kuantitatif
berdasarkan pada interaksi antara materi dengan cahaya (Mawaddah, 2015).
Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan
intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel.
Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk
mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih
tinggi. Spektroskopi UV- Vis biasanya digunakan untuk molekul dan ion
anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai
bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa
didapatkan dari spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara
kuantitatif. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm,
sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm (Suarsa
Wayan, 2015).
Alat spektrofotometer visible terdiri dari spektrofotometer dan fotometer.
Spektrofotometer yaitu alat untuk menghasilkan sinar spekrum dan panjang
gelombang tertentu. Fotometer yaitu alat untuk mengukur intensitas cahaya
yang ditransmisikan atau diabsorbsi. Cahaya adalah radiasi elektromagnetik
yang terdiri dari gelombang. Seperti semua gelombang, kecepatan cahaya,
panjang gelombang dan frekuensi. Cahaya/sinar tampak (Visible) terdiri dari
suatu bagian sempit kisaran panjang gelombang dari radiasi elektromagnetik
dimana mata manusia sensitif. Radiasi dari panjang gelombang yang berbeda
ini dirasakan oleh mata kita sebagai warna yang berbeda, sedangkan campuran
dari semua panjang gelombang tampak seperti sinar putih. Sinar putih
memiliki panjang gelombang mencakup 400-760 nm. Perkiraan panjang
gelombang dari berbagai warna adalah sebagai berikut :