Christy
22010319130050
Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
2019
Nama : Christy
NIM : 22010319130050
Kelas :B
1. Apa yang dimaksud dengan difusi? Berikan contoh difusi dalam ilmu farmasetik
atau dalam praktik kefarmasian?
Menurut Kustiyah (2007), difusi merupakan peristiwa mengalirnya atau
berpindahnya suatu zat dalam pelarut dari bagian berkonsentrasi tinggi ke bagian
yang berkonsentrasi rendah. Dengan definisi diatas, dapat diambil contoh dari
proses difusi yang sering ditemui adalah proses pembuatan minuman teh
menggunakan teh celup. Seperti pada umumnya, pembuatan teh celup akan
menggunakan air hangat yang kemudian dicelupkan dengan kantong berisi sari
teh. Setelah dicelupkan, maka akan terjadi perubahan warna pada air hangat dari
bening menjadi merah kecoklatan. Perubahan warna tersebut merupakan salah
satu dari banyaknya indikasi yang menunjukkan terjadinya proses difusi atau
penyebaran molekul zat dari yang berkonsentrasi tinggi (kantong teh) ke
konsentrasi yang rendah (air). Menurut Kustiyah (2007), kecepatan difusi ini
ditentukan oleh jumlah zat yang tersedia, kecepatan gerak kinetik dan jumlah
celah pada membran sel. Jumlah zat yang tersedia berarti seberapa besar
konsentrasi dari larutan tersebut sedangkan kecepatan gerak kinetik dipengaruhi
oleh temperatur. Ketika temperatur dari air tersebut lebih tinggi, maka proses
difusi akan lebih cepat dan ketika temperatur nya rendah makan prosesnya akan
lebih lambat. Hal ini dapat diindikasikan dengan warna teh akan lebih pekat pada
kondisi temperatur tinggi dibandingkan dengan temperatur yang rendah.
Menurut Sinko (2016), difusi didefinisikan sebagai proses transfer massa molekul
tunggal suatu senyawa yang terjadi karena gerakan molekul acak dan dikaitkan
dengan gaya dorong seperti gradien konsentrasi. Gradien konsentrasi ini diartikan
sebagai perbedaan konsentrasi dari kedua larutan yang menyebabkan terjadinya
difusi atau perpindahan konsentrasi dari yang tinggi menuju ke konsentrasi yang
rendah. Perpindahan tersebut akan terus berlanjut hingga kedua larutan memiliki
konsentrasi yang sama atau dinyatakan sebagai kondisi yang setimbang.
Menurut Sinko (2016), dalam ilmu farmasetik, difusi diperlukan untuk obat
dalam melewati membran biologis agar obat dapat diabsorpsi ke dalam tubuh dan
dieliminasi dari tubuh dan juga untuk mencapai tempat kerjanya dalam sel
tertentu. Terdapat istilah yang disebut sebagai bioavalabilitas, dimana istilah
tersebut menurut Arvin (1996) diartikan sebagai fraksi atau perbandingan jumlah
yang diabsorpsi setelah pemberian obat ekstravaskuler (dari luar) relatif terhadap
pemberian secara intravena (dalam pembuluh darah). Sederhananya,
bioavailabilitas ini berarti seberapa mampu tubuh manusia melakukan penyerapan
terhadap obat yang dikonsumsi. Proses penyerapan ini juga melalui tahap difusi
yang terjadi di dalam tubuh manusia. Menurut Sinko (2016), waktu paruh obat
dapat sangat berkurang jika wadah atau penutup tidak dapat mencegah absorpsi
uap air ke dalam wadah. Hal ini menunjukan bahwa bioavailabilitas dari suatu
obat pada tubuh manusia juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kelarutan
molekul yang berpenetrasi dalam membran, diameter pori-pori membran, bentuk
pori-pori membran dan juga ukuran relatif molekul yang akan berpenetrasi ke
dalam membran. Faktor-faktor tersebut harus dipertimbangkan agat obat mampu
menembus barrier atau organ-organ sebelum organ yang dituju. Sebagai contoh,
seorang pasien meminum obat yang dikhususkan untuk penyembuhan usus, maka
obat tersebut harus dibuat sedemikian rupa agar dapat menembus organ-organ
sebelum usus, seperti lambung yang bersifat asam dan sebagainya. Semakin tinggi
proses penyerapan itu terjadi maka dinyatakan tinggi bioavailabilitasnya dan
sebaliknya, bioavailabilitas dikatakan rendah apabila proses penyerapan obat pada
tubuh rendah.
5. Apa yang dimaksud dengan laju disolusi dan faktor-faktor yang mempengaruhi
laju disolusi?
Menurut Avisha (2015), tetapan laju disolusi merupakan suatu besaran yang
menunjukkan jumlah bagian senyawa zat yang larut dalam media per satuan
waktu. Tujuan dari pengujian laju disolusi ini adalah agar diketahui seberapa
mudahnya sediaan obat yang dapat terlarut dalam media pelarut pada waktu
tertentu. Semakin cepat proses disolusi ini maka akan semakin cepat pula obat
dapat diabsorpsi ke dalam tubuh.
Persamaan kecepatan menurut Noyes dan Whitney (1997) adalah sebagai
berikut:
dM DS dC DS
= (Cs−C) atau = (Cs−C )
dt h dt Vh
Keterangan
M : Massa zat terlarut yang dilarutkan
t : waktu yang dibutuhkan untuk melarutkan zat
dM
: Laju disolusi dari massa tersebut (massa/waktu)
dt
D : Koefisien difusi dari zat terlarut dalam larutan
S : luas permukaan zat padat yang menyentuh larutan
h : ketebalan lapisan difusi
Cs : Kelarutan zat padat (konsentrasi larutan jenuh dari senyawa tersebut)
C : Konsentrasi zat dalam pada waktu
dC
: Laju disolusi
dt
V : Volume larutan
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, C. Howard. 1985. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press
Arvin, Behrman Kliegman. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Avisha, Arief Pratama. 2015. Praktikum Kimia Fisika Kecepatan Disolusi. Riau:
Universitas Riau
Kustiyah. 2007. Miskonsepsi Difusi dan Osmosis Pada Siswa MAN Model
Palangkaraya. Kanderang Tingang: Jurnal Ilmiah Guru
Martin, Alfred. 1993. Farmasi Fisik. Jakarta: UI Press
Noyes, AS and Whitney WR. 1987. The Rate of Solution of Solid Substances in Their
Own Solutions. Chem. Soc. 19: 930-934.
Sinko, Patrick J. 2016. Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Sinila, Santi. 2016. Farmasi Fisik Komprehensif. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI
Siregar , C. J. P., dan Wikarsa, S. 2010. Teknologi Farmasi Sediaan Tablet Dasar-
Dasar Praktis. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Wardhani, Siti Pramitha Retno. 2019. Intisari Biologi Dasar. Yogyakarta: Diandra
Kreatif 2019