Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak berkebutuhan khusus membutuhkan perhatian lebih mengenai perawatan

kesehatan terutama untuk kesehatan gigi dan mulut. Mereka mempunyai keterbatasan

kemampuan mobilitas dan kognitif, gangguan pada otot dan perilaku, refleks muntah

serta gerakan tubuh yang tidak terkontrol, yang bisa mempengaruhi kesehatan serta

kualitas hidup mereka. Semua keadaan itulah yang membatasi anak berkebutuhan khusus

bisa melakukan perawatan gigi secara optimal.

Salah satu masalah kesehatan anak berkebutuhan khusus adalah Cerebral Palsy.

Cerebral Palsy atau static encephalopathy adalah penyakit kronis dengan gangguan

nonprogresif pada postur dan gerak yang merupakan hasil dari cidera sistem saraf pusat

pada periode awal perkembangan otak, biasanya pada 3-5 tahun pertama kehidupan.

Anak-anak dengan Cerebral Palsy biasanya mengalami keterlambatan perkembangan

dan defisit motorik. Sebagian besar penderita Cerebral Palsy menderita kelainan

abnormal pada gigi, mulut, dan jaringan sekitarnya. Masalah gigi dan mulut yang sering

ditemukan pada penderita Cerebral Palsy adalah gigi karies, penyakit periodontal,

maloklusi, bruxisme, dan drooling.

Maloklusi yang diderita oleh penderita Cerebral Palsy disebabkan oleh

kebiasaan-kebiasaan seperti menjulurkan lidah (tongue thrusting) dan bernafas melalui

mulut (mouth breathing) akibat adanya infeksi pada saluran pernafasan atas. Anak yang

memiliki kebiasaan membiarkan mulutnya terbuka dapat menyebabkan kelainan


2

pergerakan oromuskular dan respirasi yang mempengaruhi koordinasi dan artikulasi bibir

dan pipi saat berbicara dan menelan. Masalah -masalah yang berkaitan dengan maloklusi

tersebut disebabkan adanya kesulitan dalam menghisap sebagai akibat dari hipotonisitas

dari bibir, otot perioral, dan otot mastikasi dan juga adanya kelainan pada pergerakan

lidah.

1.2 Tujuan

Tujuan referat ini disusun adalah sebagai salah satu tugas persyaratan mengikuti

ujian akhir dari serangkaian kegiatan kepanitraan klinik Bagian Ilmu Gigi dan Mulut dan

untuk mengetahui tentang pengaruh Cerebral Palsy terhadap terjadinya maloklusi.


3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 CEREBRAL PALSY

2.1.1 Definisi

Cerebral Palsy didefinisikan sebagai penyakit kronis dengan gangguan

nonprogresif pada postur dan gerak yang merupakan hasil dari cidera sistem saraf pusat

pada periode awal perkembangan otak, biasanya pada 3-5 tahun pertama kehidupan.

Penyakit ini merupakan penyebab utama kecacatan pada anak yang mempengaruhi fungsi

tubuh dan perkembangan. Istilah Cerebral Palsy digunakan untuk menjelaskan suatu

bentuk kelainan pergerakan, kesehatan otot, atau keadaan lain yang menunjukkan fungsi

kontrol motorik yang abnormal oleh sistem saraf pusat. Anak penderita Cerebral Palsy

sering disalahartikan sebagai anak dengan keterbelakangan mental karena adanya reaksi

atau refleks postural yang primitif dan gangguan dalam berbicara (Hamid dkk, 2018;

Nallegowda, 2005).

2.1.2 Etiologi

Etiologi kelainan ini adalah kerusakan otak yang terjadi selama perkembangan anak

dan mempengaruhi area-area yang berbeda dari otak sehingga menimbulkan berbagai

tipe-tipe klinis dari Cerebral Palsy. Terdapat tiga kelompok etiologi Cerebral Palsy,

yaitu :
4

a. Prenatal

Faktor genetik atau keturunan, malformasi kongenital, polihidramnion, ibu yang

diberi terapi hormon tiroid, estrogen atau progesteron, perdarahan pada trimester

ketiga, kehamilan multiple, ibu dengan riwayat kejang, proteinuria dan hipertensi.

b. Perinatal

Dystocic labour, asfiksia, pendarahan intrakranial, prematuritas dan berat badan

rendah, ikterus yang parah, dan infeksi melalui saluran lahir.

c. Postnatal

Meningitis, ensefalitis, perdarahan intracranial, hipoksia-iskemia karena aspirasi

mekonium, kernikterus, kekurangan nutrisi, sindrom epileptik, dan status

epileptikus (Hamid dkk, 2018; Ortega dkk, 2007).

2.1.3 Klasifikasi

Menurut hambatan gerakannya, Cerebral Palsy dapat diklasifikasikan kedalam empat

jenis yaitu : spastic, athethosis(dyskinetic), ataksia, campuran.

a. Cerebral Palsy Tipe Spastic

Cerebral Palsy tipe spastic adalah tipe yang paling umum terjadi, sekitar tiga

perempat dari keseluruhan kasus. Spastic dicirikan dengan kekakuan atau keketatan otot

-otot, peningkatan tonus otot sehingga terjadi resistensi untuk meregangkan, termasuk

pada mulut, lidah dan faring, kurangnya kontrol pada tubuh, tertekuknya lengan dan leher

sehingga membatasi pergerakan. Cerebral Palsy tipe spastic ini diklasifikasikan menjadi

monoplegia, diplegia, hemiplegia, triplegia dan quadriplegia. Monoplegia yaitu hanya

salah satu anggota tubuh saja yang terkena umumnya terjadi pada ekstremitas
5

atas/lengan. Diplegia yaitu terjadi pada dua aggota tubuh misalnya pada kedua lengan

atau kedua kaki. Hemiplegia biasa terjadi pada lengan dan kaki disalah satu sisi tubuh.

Triplegia terjadi pada tiga anggota tubuh, paling sering pada kedua lengan dan salah satu

kaki. Quadriplegia yaitu spastic yang tidak hanya menyerang ekstrimitas atas, tetapi juga

ekstrimitas bawah atau terjadi pada kedua lengan dan kedua kaki dan juga terjadi

keterbatasan (paucity) pada tungkai (Maimunah, 2013; Mati, 2008; Ortega, 2007).

b. Cerebral Palsy Tipe Athethosis (Dyskinetic)

Cerebral Palsy tipe athethosis (dyskinetic) dicirikan dengan gerakan tidak teratur,

pita suara yang bergetar (spasmodik), melakukan gerakan spontan yang tidak disadari

(involunter) pada anggota badan atau otot wajah seperti menggeliat, menyeringai, sering

disertai gerakan fluktuasi secara tiba-tiba (Maimunah, 2013; Mati, 2008).

c. Cerebral Palsy Tipe Ataxia

Cerebral Palsy tipe ataxia disebabkan oleh kerusakan pada cerebellum yang

bertanggung jawab untuk keseimbangan dan koordinasi beberapa kelompok otot. Tipe ini

ditandai adanya kehilangan koordinasi otot, sehingga gerakan dilakukan dengan kekuatan

abnormal, tidak berirama, dan tidak akurasi, cara berjalan yang lebar dan tidak dengan

satu garis lurus, terjadinya gerakan ritmik mata yang tidak terkontrol (nystagmus),

biasanya disertai dengan gemetar, karena sistem koordinasinya terganggu sehingga anak

dengan tipe ini sulit untuk menjaga keseimbangan tubuhnya (Maimunah, 2013; Mati,

2008).

d. Cerebral Palsy Tipe Campuran


6

Cerebral Palsy tipe campuran adalah dua atau lebih tipe Cerebral Palsy yang muncul

pada orang yang sama. Kombinasi karakteristiknya misalnya spastic yang disertai dengan

tremor, dan campuran spasticathetoid quadriplegia (Maimunah, 2013; Mati, 2008).

Gambaran Tipe-tipe Cerebral Palsy

2.1.4 Tanda-tanda Cerebral Palsy


7

Secara umum Cerebral Palsy ditandai dengan keterlambatan perkembangan dan

defisit motorik. Sekitar dua pertiga pasien Cerebral Palsy juga mengalami retardasi

mental (Jan, 2006; Mati, 2008).

Menurut Werner, ada beberapa tanda-tanda awal untuk mengenali gejala cerebral

palsy, yaitu :

1. Pada saat kelahiran bayi dengan cerebral palsy biasanya terlihat lemas (limp) dan

terkulai (floppy).

2. Kadang-kadang bayi nampak membiru dan sulit bernafas dengan benar.

3. Terlambat dalam pertumbuhan seperti mengangkat kepala, duduk, menggunakan

tangan ataupun bergerak.

4. Memiliki kesulitan dalam hal mengisap, menelan dan mengunyah. Kondisi ini

menyebabkan bayi/anak memiliki masalah dalam hal makan dan minum.

Disamping itu biasanya bayi/anak dengan cerebral selalu mengeluarkan air liur

(ngeces).

5. Badan bayi sering kaku. Kondisi ini menyebabkan ibu dari anak cerebral palsy

mengalami kesulitan ketika mengangkat, mengenakan baju, memandikan ataupun

ketika mengajak bermain.

6. Kesulitan dalam berbicara (komunikasi). Anak cerebral palsy biasanya terlambat

dalam berbicara atau tidak jelas dalam mengucapkan kata-kata (Maimunah,

2013).

7. Anak cerebral palsy biasanya juga memiliki masalah terhadap intelegensi. Hanya

25 persen kasus yang mempunyai intelegensi rata-rata (normal), sedangkan 30

persen kasus menunjukkan IQ di bawah 70.


8

2.2 MALOKLUSI

2.2.1 Definisi Maloklusi

Maloklusi merupakan oklusi yang menyimpang dari normal.yang ditandai dengan

tidak benarnya hubungan antar lengkung gigi di setiap bidang spatial atau anomali

abnormal di setiap bidang spatial atau anomali abnormal dalam posisi gigi. Maloklusi

bukan merupakan suatu penyakit tetapi bila tidak dirawat dapat menimbulkan gangguan

pada fungsi pengunyahan, penelanan, bicara, dan keserasian wajah yang berakibat pada

gangguan fisik maupun mental. Faktor yang menyebabkan terjadinya maloklusi dibagi

menjadi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Oral bad habit merupakan faktor ekstrinsik

seperti kebiasaan menggigit kuku, menggigit benda seperti pensil dan pulpen, mengisap

jari, menghisap pipi, dan bernafas melalui mulut ( Astri dkk, 2014).

2.2.2 Epidemiologi Maloklusi

Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional tahun

2013, sebanyak 14 provinsi mengalami masalah gigi dan mulut yaitu 25,9%. Prevalensi

maloklusi di Indonesia masih sangat tinggi sekitar 80% dari jumlah penduduk, dan

merupakan salah satu masalah kesehatan gigi dan mulut yang cukup besar, hal ini

ditambah dengan tingkat kesadaran perawatan gigi yang masih rendah dan kebiasaan

buruk seperti mengisap ibu jari atau benda-benda lain, karena jumlah dan keparahan

maloklusi akan terus meningkat maka maloklusi seharusnya dicegah ataupun ditangani.

Penelitian mengenai maloklusi tidak hanya membantu dalam rencana perawatan

ortodontik tetapi mengevaluasi pelayanan kesehatan ( Astri dkk, 2014)


9

Pada tahun 2010 Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa 63% penduduk

Indonesia menderita penyakit gigi dan mulut meliputi karies gigi dan penyakit jaringan

penyangga. Kesehatan gigi dan mulut sangat penting, peranannya cukup besar dalam

mempersiapkan zat makanan sebelum absorbsi nutrisi pada saluran pencernaan,

disamping fungsi estetis dan bicara.Berbagai penyakit maupun kelainan gigi dan mulut

dapat menggangu penampilan, fonetik ataupun pengunyahan. Salah satu kelainan

susunan gigi disebut dengan maloklusi. Maloklusi merupakan bentuk hubungan rahang

atas dan rahang bawah yang menyimpang dari bentuk standar yang diterima sebagai

bentuk normal.Maloklusi dapat disebabkan karena tidak ada keseimbangan dentofasial.

Keseimbangan dentofasial ini tidak disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi beberapa

faktor saling mempengaruhi. Faktor-faktor yang mempengaruhi maloklusi menurut

Salzman dibagi atas faktor prenatal dan postnatal. Faktor prenatal terdiri dari genetik,

diferensiasi dan kongental. Faktor postnatal terdiri dari perkembangan, fungsional dan

lingkungan. Prevalensi maloklusi tahun 2008 mencapai 80% dan menduduki urutan

ketiga setelah karies dan penyakit periodontal.5 Jenis-jenis maloklusi yang dapat

dijumpai antara lain protrusi, intrusi dan ekstrusi, crossbite, open bite, gigi berjejal, dan

diastema.

2.2.3 Etiologi Maloklusi

Maloklusi diakibatkan oleh banyak faktor dan hampir tidak pernah memiliki satu

penyebab yang spesifik. tetapi hal-hal dibawah ini adalah faktor-faktor yang sering terjadi

pada sekelompok orang daripada individual, yaitu: (Kumar dkk, 2012)

1. Herediter.
10

Anak pasti memiliki materi gen yang sama dengan orang tuanya. Faktor herediter ini

memiliki pengaruh terhadap sistem neuromuskular, tulang, gigi dan jaringan lunak.

Pengaruh herediter dapat bermanifestasi dalam dua hal, yaitu: (Kumar dkk, 2012)

a. Disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan maloklusi

berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa diastema multiple meskipun

yang terakhir ini jarang dijumpai.

b. Disproporsi ukuran, posisi dan bentuk rahang atas dan rahang bawah yang

menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis.

2. Gangguan pada masa perkembangan yang tidak diketahui penyebabnya.

3. Trauma (prenatal trauma dan postnatal trauma).

4. Agen fisis (ekstraksi dini pada gigi desidui dan sumber makanan).

Gigi desidui yang tanggal prematur dapat berdampak pada susunan gigi permanen.

Semakin muda umur pasien pada saat terjadi tanggal prematur gigi desidui semakin

besar akibatnya pada gigi permanen. (Kumar dkk, 2012)

5. Kebiasaan buruk.

Banyak kebiasaan buruk yang bisa mempengaruhi, diantaranya adalah menghisap ibu

jari, menjulurkan lidah, menghisap atau mengigit bibir, mengigit-gigit kuku, dan lain

sebagainya. Suatu kebiasaan buruk yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari,

berfrekuensi cukup tinggi dengan intensitas yang cukup dapat menyebabkan

maloklusi. Durasi atau lama kebiasaan buruk berlangsung merupakan faktor yang

paling berpengaruh dalam menyebabkan maloklusi. (Kumar dkk, 2012)


11

6. Penyakit (penyakit sistemik, kelainan hormon endokrin ataupun penyakit lokal lainnya,

misalnya: tumor, periodontitis, gingivitis, karies).

7. Malnutrisi. Defisiensi nutrisi selama masa pertumbuhan bisa menyebabkan

pertumbuhan yang abnormal contohnya maloklusi. Hal ini sering terjadi di negara

berkembang.

2.2.4 Klasifikasi Maloklusi

Maloklusi diklasifikasikan atas beberapa tipe oleh Angle yaitu Klas I, Klas II, Klas III.5,10

 Klas I Angle ditandai dengan tonjol mesiobukal gigi molar pertama rahang atas

terletak pada celah bagian bukal gigi moalr pertama rahang bawah (relasi gigi

neutroklusi).

Gambar 1.Maloklusi Klas I Angle (Proffit dkk,2013)


12

Gambar 1.1Klasifikasi maloklusi Angle klas I

Sumber: Singh G. Textbook of orthodontics. New Delhi: Jaypee Publisher; 2015.p171

 Klas II Angle ditandai dengan tonjol mesiobukal molar pertama rahang atas

terletak pada ruangan di antara tonjol mesiobukal M1 dan tepi distal tonjol bukal

gigi premolar rahang bawah (relasi gigi distoklusi). Klas II Angle dibagi lagi

menjadi Klas II Angle Divisi 1 dan 2.

Gambar 2.Maloklusi Klas II Angle (Proffit dkk,2013)

Gambar 2.3 Klasifikasi maloklusi Angle klas II divisi II


Sumber : Singh G. Textbook of orthodontics. New Delhi: Jaypee; 2015.p 172
13

 Klas III Angle ditandai dengan tonjol mesiobukal gigi molar pertama rahang atas

beroklusi dengan bagian distal tonjol distal M1 dan tepi mesial tonjol mesial gigi

molar kedua rahang bawah (relasi gigi mesioklusi).

 Gambar 5.Maloklusi Klas III Angle (Proffit dkk,2013)

Gambar 2.5 Klasifikasi maloklusi Angle klas III


sumber : Singh G. Textbook of orthodontics. New Delhi: Jaypee; 2015.p 17

Klasifikasi ini didasarkan pada hubungan antar cusp mesiobukal pada molar

pertama rahang atas dan groove bukal molar pertama rahang bawah.5 Jika terdapat

hubungan molar tersebut, maka gigi dapat dikatakan memiliki oklusi yang normal.

Selain dari klasifikasi Angle, kelainan-kelainan lain yang dapat dilihat dari

kondisi gigi-geligi seseorang adalah10 :


14

 Versi, yaitu mahkota yang miring ke arah tertentu (mesioversi, distoversi,

labio/bukoversi, linguo/palatoversi).

 Torsiversi, yaitu gigi berputar menurut sumbu panjang gigi.

 Transversi, yaitu perubahan posisi gigi.

 Infraoklusi, yaitu gigi yang tidak mencapai garis oklusal dibandingkan gigi lain

dalam lengkung gigi.

 Supraoklusi, yaitu gigi yang melebihi garis oklusal dibandingkan gigi lain dalam

lengkung gigi.

 Crowded, yaitu gigi yang berdesakan atau tumpang tindih.

 Diastema, yaitu ruangan di antara gigi yang berdekatan.

 Cross bite, yaitu hubungan labiolingual atau bukolingual dari gigi-gigi yang

saling berhadapan berlawanan dengan keadaan normalnya, misalnya suatu

overlap horizontal yang terbalik.

 Anterior open bite, yaitu dalam bidang vertikal, gigi insisivus bawah tidak

menyentuh gigi insisivus atas dan tidak beroklusi ketika gigi-gigi posteriornya

saling beroklusi.

 Edge to edge, yaitu insisal insisivus atas bertemu dengan insisal insisivus bawah.

2.2.5 Perawatan maloklusi

Perawatan maloklusi dapat dilakukan baik dengan alat ortodonti lepasan

maupun alat cekat. Dalam melakukan perawatan tersebut sangat perlu adanya

kerjasama antara penderita dengan dokter gigi yang merawat. Konsep terapi dini

harus ditegaskan lebih lanjut dengan konteks yang komprehensif, sehingga

memberikan arahan atau acuan untuk membimbing operator agar memberi perawatan
15

yang efektif dalam terapi dini. Oleh karena itu dokter gigi harus mengerti

pertumbuhan craniofasial, dan perkembangan lengkung rahang agar dapat memberi

perawatan yang efektif dan efisien bagi pasien. (Proffit et al,2013)

Beberapa klinisi melakukan intervensi pada periode geligi campuran, atau

kadang-kadang pada masa ahir dari periode gigi sulung, hal ini berguna untuk

mengatur atau mengeliminasi /modifikasi pertumbuhan skeletal, muscular abnormal,

mengatur dentoalveolar abnormal, sebelum erupsi semua gigi tetap. Menurut Mc

Namara (2001), sebaiknya dilakukan modifikasi pertumbuhan tulang, bila telah

terlihat adanya ketidaknormalan pertumbuhan, sebelum pertumbuhan abnormal

tersebut ditunggu menjadi lebih parah.

Dalam melakukan perawatan ini diperlukan kerjasama antara pasien, orangtua

dan dokter gigi agar dicapai hasil yang optimal. Berdasarkan perawatan dalam

periode geligi campuran dibagi menjadi 3 kategori, tergantung dari tingkat/kadar

kerjasama (cooperation). (Bishara, 2001)

Kategori pertama adalah kerjasama minimal. Pada kategori ini pasien tidak

terlalu aktif, strategi perawatan ini memerlukan kerjasama yang minimal, bahwa

pasien tidak perlu terlalu aktif dalam melakukan perawatan, kecuali perawatan

terhadap kebersihan gigi dan mulut tetap harus dijaga/ditingkatkan. Contohnya adalah

alat orto cekat yang digunakan terus menerus. Bahan yang disemenkan pada gigi

molar, Rapid Maxillary Expansion atau pada mandibula berupa: Lingual Arch, untuk

mempertahankan lebar lengkung mandibula. (Bishara, 2001)


16

Gambar 12.A.Rapid Maxillary Expansion B.Lingual Arch (Proffit et al,2013)

Kategori kedua adalah kerjasama menengah. Pada kategori ini biasanya

menggunakan alat lepasan, yang berguna untuk merubah aktifitas neuromuscular.

Misalnya lip bumper,distalisasi molar. Alat stabilisasi setelah pemakaian rapid

maxillary expansion. (Bishara, 2001)

Gambar 13. Lip bumper (Proffit et al,2013)

Kategori ketiga adalah kerjasama maksimal. Pada kasus ini diberikan untuk kasus

skeletal, dan neuroimbalance muscular. Pada kategori ini memerlukan kerjasama

yang maksimal dengan pasien, karena dengan menggunakan alat ini, pasien

bertendensi mengganggu kehidupannya misalnya Headgear, Face Mask. Chin cap

pada perawatan kasus klas III. (Bishara, 2001)


17

Gambar 14.A.Headgear B.Face mask C.Chin cap (Proffit et al,2013)

2.2.6 Pencegahan Maloklusi

Pencegahan ortodontik (Preventive Orthodontics), yaitu segala tindakan yang

menghindarkan segala pengaruh yang dapat merubah jalannya perkembangan yang

normal agar tidak terjadi malposisi gigi dan hubungan rahang yang abnormal.

Tindakan-tindakan yang diperlukan misalnya mejaga kesehatan anak mulai sejak

dini bahkan semenjak berada didalam kandungan ibu. Menjaga asupan nutrisi agar selalu

tercukupi mulai dari vitamin , kalsium,fosfor, fluor dan lain lain. Setelah bayi lahir

nutrisi harus tetap terpenuhi , agar pertumbuhan dan perkembangan anak tidak terhambat.

Dan supaya pertumbuhan gigi tidak terganggu. Setelah anak memiliki gigi maka harus

dijaga agar gigi ini tetap sehat sampai pada saatnya akan digantikan oleh gigi permanen.

Kebersihan mulut harus dijaga, harus diajarkan cara-cara menggosok gigi yang benar,

tiga kali sehari setiap selesai makan dan menjelang tidur. Secara teratur anak

diperiksakan ke dokter gigi setiap 6 bulan sekali untuk melihat keadaan gigi-giginya. Jika

terdapat karies harus segera ditambal. Dilakukan tindakan preventif agar gigi-giginya

tidak mudah terserang karies. Fungsi pengunyahan harus dijaga agar tetap baik. Pada
18

masa pergantian gigi harus dijaga agar gigi desidui tidak dicabut atau hilang terlalu awal

(premature axtraction atau premature loss), ataupun terlambat dicabut sehingga gigi

permanen penggantinya telah tumbuh (terjadi persistensi atau prolong retention gigi

desidui).

2.3 PENGARUH CEREBRAL PALSY TERHADAP MALOKLUSI.

Banyak faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya maloklusi pada

penderita Cerebral Palsy. Faktor resiko maloklusi dapat berasal dari mekanisme keadaan

fisik, kebiasaan, trauma, atau penyakit. . Maloklusi juga dapat terjadi karena ukuran

besarnya gigi dan tulang rahang tidak seimbang. Gigi besar sedangkan rahang yang kecil

menyebabkan susunan gigi tidak beraturan (Udi, 2009).

Penderita Cerebral Palsy memiliki kebiasaan menjulurkan lidah (tongue

thrusting). Kebiasaan menjulurkan lidah, posisi lidah berada diantara gigi anterior dan

molar. Hal tersebut menyebabkan gigi insisivus mengalami tekanan secara terus menerus

sehingga terdorong ke arah labial sehingga gigi insisivus terdorong depan atau terjadi

protrusi (Oliveira, 2010; Bhalajhi,2004).

Prevalensi trauma gigi pada penderita Cerebral Palsy lebih tinggi daripada

inidividu normal. Hal ini dikarenakan penderita Cerebral Palsy bergantung pada bantuan

dari pengasuhnya dalam kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan faktor resiko trauma

gigi, yang paling sering terjadi adalah jatuh, kejang, tooth grinding, overjet karena
19

penekanan, dan kurangnya kemampuan untuk menutup bibir dengan baik. Inkompetensi

bibir menjadi faktor resiko yang sangat berkaitan dengan trauma gigi. Gerakan kepala

yang tidak terkontrol yang merupakan karakteristik Cerebral Palsy meningkatkan resiko

trauma gigi karena gigi menjadi mudah kontak dengan benda keras. Kemampuan bibir

untuk menutup memiliki peran penting sebagai faktor protektif terhadap trauma tersebut

(Miamoto, 2011).

Overjet pada Penderita Cerebral Palsy

Ketidakmampuan Lip Sealing pada Penderita Cerebral Palsy


20

Penderita Cerebral Palsy sering menderita penyakit infeksi saluran atas, yang

mengarah pada kebiasaan untuk bernafas dengan mulut (mouth breathing). Pada

kebiasaan bernapas melalui mulut, rahang bawah dan lidah berada pada posisi

rendah/diturunkan dan kepala dalam posisi tegak. Apabila keadaan ini terjadi dalam

waktu yang cukup lama maka dapat terjadi pertambahan tinggi wajah dan gigi posterior

mengalami supraerupsi. Fungsi normal bibir adalah menahan gigi anterior dari tekanan

lidah sehingga tidak berinklinasi ke labial. Saat mulut terbuka, posisi bibir atas tidak

dalam keadaan menahan gigi anterior, sedangkan bibir bawah yang berfungsi menahan

tepi insisal gigi anterior maksila terletak lebih ke depan dari normal. Hal ini

menyebabkan gigi anterior maksila menjadi protrusi. Mandibula akan berotasi ke bawah

dan ke belakang sehingga terjadi anterior open bite dan peningkatan overjet, selain itu

tekanan dari pipi dapat menyebabkan lengkung gigi maksila menjadi menyempit

sehingga terjadi posterior crossbite. Pada anak yang memiliki kebiasaan bernafas

menggunakan mulut musculus mentalis nya berkerja lebih keras untuk mempertahankan

agar bibirnya tertutup (Matos, 2017; Oliveira, 2010; Rahardjo, 2009).


21

Beberapa penelitian berikut, yang dilakukan untuk membuktikan adanya

pengaruh Cerebral Palsy terhadap maloklusi, dapat menjelaskan faktor-faktor apa saja

yang sebenarnya terlibat dalam kasus ini. Chandna dkk dalam studinya yang menjelaskan

tentang status rongga mulut pada anak penderita Cerebral Palsy menunjukkan bahwa

kebanyakan anak penderita Cerebral Palsy mengalami maloklusi Klas II (Chandna dkk,

2010).

Penelitian ini dilakukan pada 25 anak dengan usia antara 6 dan 10 tahun yang

menderita Cerebral Palsy. Lima belas anak penderita Cerebral Palsy tipe spastik dan 10

anak lain dengan tipe campuran. Anak dengan spastik Cerebral Palsy dapat mengalami

maloklusi Klas II yang signifikan, begitu juga pada anak dengan Cerebral Palsy tipe

campuran. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.1 yang menunjukkan bahwa dari 25 anak

yang menderita Cerebral Palsy, 17 diantaranya ditemukan memiliki maloklusi Klas II

dan 8 diantaranya ditemukan memiliki maloklusi Klas I. Selain itu, unilateral posterior

cross bite juga dapat dilihat pada anak-anak tersebut (Chandna dkk, 2010).

Tabel Distribusi Kasus Maloklusi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chandna dkk, faktor resiko yang

berhubungan dengan keparahan maloklusi yang dialami oleh anak dengan Cerebral
22

Palsy adalah bernafas melalui mulut, kelemahan pada otot bibir, dan bentuk wajah yang

panjang (Chandna dkk, 2010).

Penelitian lainya dilakukan oleh Martinez dkk yang meneliti tentang pengaruh

posisi kepala pada saat istirahat terhadap terjadinya maloklusi pada penderita Cerebral

Palsy. Penelitian dilakukan pada 44 orang pasien Cerebral Palsy dengan usia antara 12-

55 tahun (18 laki-laki dan 26 perempuan). Selain posisi kepala, aspek lain yang

diperhatikan dalam penelitian ini adalah pola pernafasan dan penelanan. Hasil dari

penelitian ini menunjukkan bahwa pada pasien Cerebral Palsy sering terjadi maloklusi

kelas II diikuti dengan open bite dan overjet yang tinggi serta posisi kepala

hyperextension dapat mempengaruhi perkembangan maloklusi tersebut (Martinez dkk,

2014).

Penderita Cerebral Palsy dengan Maloklusi Kelas II


23

Penelitian lainnya dilakukan di Dubai oleh Hashmi dkk yang meneliti mengenai

status kesehatan gigi pada anak penderita Cerebral Palsy. Penelitian ini dilakukan pada

84 anak penderita Cerebral Palsy dan 125 anak sehat sebagai kontrol. Pada penelitian

didapatkan prevalensi tinggi maloklusi Kelas II pada populasi Cerebral Palsy dengan

gigi seri rahang atas yang menonjol, bibir yang tidak kompeten, kesulitan dalam

ambulasi, dan meningkatnya insiden kejang. Pola maloklusi dikonfirmasi dalam

penelitian ini, di mana pasien CP memiliki insidensi Maloklusi kelas II lebih tinggi

dibandingkan dengan kontrol. Maloklusi Kelas II lebih sering terjadi pada anak CP

karena hipotonia otot orofasial dan dorongan ke depan lidah. Pada maloklusi kelas II

terjadi deviasi musculus buccinator kearah anterior (Brodle, 2000; Hashmi, 2017).
24

2.4 Edukasi Untuk Pengasuh Penderita Cerebral Palsy

Penderita Cerebral Palsy tidak mampu merawat diri sendiri dalam kehidupan

sehari-hari, maka dari itu sangatlah penting pemberian edukasi pada pengasuh untuk

menjaga dan merawat penderita dengan baik, khususnya dalam menjaga kesehatan gigi

dan mulut. Pengasuh dianjurkan untuk melakukan pengawasan terhadap kebiasaan-

kebiasaan buruk yang dapat menyebabkan terjadinya maloklusi.

Tindakan-tindakan lain yang diperlukan misalnya menjaga asupan nutrisi agar

selalu tercukupi mulai dari vitamin , kalsium, fosfor, fluor dan lain lain. Kebersihan

mulut harus dijaga, dengan cara menggosok gigi anak dengan benar, tiga kali sehari

setiap selesai makan dan menjelang tidur. Secara teratur anak diperiksakan ke dokter gigi

setiap 6 bulan sekali untuk melihat keadaan gigi-giginya. Jika terdapat karies harus

segera ditambal.

BAB III

KESIMPULAN
25

Cerebral Palsy didefinisikan sebagai penyakit kronis dengan gangguan

nonprogresif pada postur dan gerak yang merupakan hasil dari cidera sistem saraf pusat

pada periode awal perkembangan otak, biasanya pada 3-5 tahun pertama kehidupan.

Penyakit ini merupakan penyebab utama kecacatan pada anak yang mempengaruhi fungsi

tubuh dan perkembangan. Salah satu penyakit yang mengganggu pertumbuhan dan

sering dialami oleh masyarakat Indonesia adalah maloklusi.

Maloklusi merupakan oklusi yang menyimpang dari normal.yang ditandai dengan

tidak benarnya hubungan antar lengkung gigi di setiap bidang spatial atau anomali

abnormal di setiap bidang spatial atau anomali abnormal dalam posisi gigi . Berdasarkan

laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2013, sebanyak 14

provinsi mengalami masalah gigi dan mulut yaitu 25,9%. Prevalensi maloklusi di

Indonesia masih sangat tinggi sekitar 80% dari jumlah penduduk, dan merupakan salah

satu masalah kesehatan gigi dan mulut yang cukup besar ( Astri dkk.2014 ).

Penderita Cerebral Palsy memiliki kebiasaan menjulurkan lidah (tongue

thrusting). Kebiasaan menjulurkan lidah, posisi lidah berada diantara gigi anterior dan

molar. Hal tersebut menyebabkan gigi insisivus mengalami tekanan secara terus menerus

sehingga terdorong ke arah labial sehingga gigi insisivus terdorong depan atau terjadi

protrusi (Oliveira, 2010; Bhalajhi,2004) Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Chandna dkk, faktor resiko yang berhubungan dengan keparahan maloklusi yang dialami

oleh anak dengan Cerebral Palsy adalah bernafas melalui mulut, kelemahan pada otot

bibir, dan bentuk wajah yang panjang (Chandna dkk, 2010). Penelitian lainnya dilakukan
26

di Dubai oleh Hashmi dkk yang, hasilnya Maloklusi Kelas II lebih sering terjadi pada

anak CP karena hipotonia otot orofasial dan dorongan ke depan lidah (Hashmi, 2017).
27

DAFTAR PUSTAKA

Ana Cristiana Oliveira, Saul Martins Paiva, Milene Torres Martins, Cintia Silva Torres,
Isabela Almeida Pordeus. Prevalence and determinant factors of malocclusion in
children with special needs. The European Journal of Orthodontics, October 2010: 1-6.

A.O.L Ortega, A.S. Guimaraes, A.L. Ciamponi. Frequency of parafunctional oral habits
in patients with cerebral palsy. Journal of Oral Rehabilitation, 2007; 34: 323-328.

Brodle A.G. 2000. Muscular Factors in The Diagnosis and Treatment of Malocclusions.
Illionis.

Hamid H. Z. A. 2018. Cerebral Palsy. MedScape.

Hashmi A. H., Koowash M., Hassan A., AlHalabi M. 2017. Oral Health Status Among
Children with Cerebral Palsy in Dubai, United Emirates Arab. NCBI.

Kumar DA, Varghese RK, Chatuverdi SS. Prevalenceof malocclusion among children
and adolescents residing in orphanages of Bilaspur, Chattishgarh, India. J Adv Oral
Research 2012; 3(3): 21-8

Maimunah S. Studi Eksploratif Perilaku Koping Pada Individu dengan Cerebral Palsy.
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang. ISSN: 2013: 1(1);154-9.

M Farhana. Characteristics of Cerebral Palsy Attended at Centre for Rehabilitation of the


Paralysed.Bangladesh Health Professions Institute (BHPI) (Departement of
Physiotherapy). Bangladesh. February 2013;7-8

Martinez M, Silvestre FJ, Orellana LM. Resting position of the head and malocclusion
in a group of patients with cerebral palsy. J Clin Exp Dent. 2014;6(1):el-6.

Mattos F. M., Berzin F., Nagae Mirian. 2017. The Impact of Oronasal Breathing on
Perioral Musculature. Scielo.

M. Nallegowda, V. Mathur, U. Singh, H. Prakash, M. Khanna, G. Sachdev, SL Yadav, S.


Wadhwa, G. Handa. Oral Health Status in Indian Children with Cerebral Palsy - A Pilot
Study. IJPMR, April 2005; 16 (1): 1-4.
28

P. Chandna, V.K. Adlakha, J.L. Joshi. Oral status of a group of cerebral palsy children.
Journal of Dentistry and Oral Hygiene, February 2011; 3 (2): 18-21.

Proffit WR, Fields HW, Sarver DM. Contemporary Orthodontics. 5th ed. Canada: Mosby
Elsevier, 2013:5-10

Singh G. Textbook of orthodontics 2 nd.ed.New Delhi : Jaypee Publisher; 2007. p.179-89

Rusdima Udi. Multiple ekstraksi gigi pada anak cerebral palsy. Sains Medika. 2009:1(1);
1-5.

Vigni Astria Laguhi ,S Anindita, Paulina N. Gunawan. Gambaran maloklusi dengan


menggunakan HMAR pada pasien di rumah sakit Gigi dan Mulut Universitas Sam
Ratulangi Manado. Jurnal e-GiGi (eG), Volume 2, Nomor 2, Juli-Desember 2014.

Anda mungkin juga menyukai