BAB I
PENDAHULUAN
kesehatan terutama untuk kesehatan gigi dan mulut. Mereka mempunyai keterbatasan
kemampuan mobilitas dan kognitif, gangguan pada otot dan perilaku, refleks muntah
serta gerakan tubuh yang tidak terkontrol, yang bisa mempengaruhi kesehatan serta
kualitas hidup mereka. Semua keadaan itulah yang membatasi anak berkebutuhan khusus
Salah satu masalah kesehatan anak berkebutuhan khusus adalah Cerebral Palsy.
Cerebral Palsy atau static encephalopathy adalah penyakit kronis dengan gangguan
nonprogresif pada postur dan gerak yang merupakan hasil dari cidera sistem saraf pusat
pada periode awal perkembangan otak, biasanya pada 3-5 tahun pertama kehidupan.
dan defisit motorik. Sebagian besar penderita Cerebral Palsy menderita kelainan
abnormal pada gigi, mulut, dan jaringan sekitarnya. Masalah gigi dan mulut yang sering
ditemukan pada penderita Cerebral Palsy adalah gigi karies, penyakit periodontal,
mulut (mouth breathing) akibat adanya infeksi pada saluran pernafasan atas. Anak yang
pergerakan oromuskular dan respirasi yang mempengaruhi koordinasi dan artikulasi bibir
dan pipi saat berbicara dan menelan. Masalah -masalah yang berkaitan dengan maloklusi
tersebut disebabkan adanya kesulitan dalam menghisap sebagai akibat dari hipotonisitas
dari bibir, otot perioral, dan otot mastikasi dan juga adanya kelainan pada pergerakan
lidah.
1.2 Tujuan
Tujuan referat ini disusun adalah sebagai salah satu tugas persyaratan mengikuti
ujian akhir dari serangkaian kegiatan kepanitraan klinik Bagian Ilmu Gigi dan Mulut dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
nonprogresif pada postur dan gerak yang merupakan hasil dari cidera sistem saraf pusat
pada periode awal perkembangan otak, biasanya pada 3-5 tahun pertama kehidupan.
Penyakit ini merupakan penyebab utama kecacatan pada anak yang mempengaruhi fungsi
tubuh dan perkembangan. Istilah Cerebral Palsy digunakan untuk menjelaskan suatu
bentuk kelainan pergerakan, kesehatan otot, atau keadaan lain yang menunjukkan fungsi
kontrol motorik yang abnormal oleh sistem saraf pusat. Anak penderita Cerebral Palsy
sering disalahartikan sebagai anak dengan keterbelakangan mental karena adanya reaksi
atau refleks postural yang primitif dan gangguan dalam berbicara (Hamid dkk, 2018;
Nallegowda, 2005).
2.1.2 Etiologi
Etiologi kelainan ini adalah kerusakan otak yang terjadi selama perkembangan anak
dan mempengaruhi area-area yang berbeda dari otak sehingga menimbulkan berbagai
tipe-tipe klinis dari Cerebral Palsy. Terdapat tiga kelompok etiologi Cerebral Palsy,
yaitu :
4
a. Prenatal
diberi terapi hormon tiroid, estrogen atau progesteron, perdarahan pada trimester
ketiga, kehamilan multiple, ibu dengan riwayat kejang, proteinuria dan hipertensi.
b. Perinatal
c. Postnatal
2.1.3 Klasifikasi
Cerebral Palsy tipe spastic adalah tipe yang paling umum terjadi, sekitar tiga
perempat dari keseluruhan kasus. Spastic dicirikan dengan kekakuan atau keketatan otot
-otot, peningkatan tonus otot sehingga terjadi resistensi untuk meregangkan, termasuk
pada mulut, lidah dan faring, kurangnya kontrol pada tubuh, tertekuknya lengan dan leher
sehingga membatasi pergerakan. Cerebral Palsy tipe spastic ini diklasifikasikan menjadi
salah satu anggota tubuh saja yang terkena umumnya terjadi pada ekstremitas
5
atas/lengan. Diplegia yaitu terjadi pada dua aggota tubuh misalnya pada kedua lengan
atau kedua kaki. Hemiplegia biasa terjadi pada lengan dan kaki disalah satu sisi tubuh.
Triplegia terjadi pada tiga anggota tubuh, paling sering pada kedua lengan dan salah satu
kaki. Quadriplegia yaitu spastic yang tidak hanya menyerang ekstrimitas atas, tetapi juga
ekstrimitas bawah atau terjadi pada kedua lengan dan kedua kaki dan juga terjadi
keterbatasan (paucity) pada tungkai (Maimunah, 2013; Mati, 2008; Ortega, 2007).
Cerebral Palsy tipe athethosis (dyskinetic) dicirikan dengan gerakan tidak teratur,
pita suara yang bergetar (spasmodik), melakukan gerakan spontan yang tidak disadari
(involunter) pada anggota badan atau otot wajah seperti menggeliat, menyeringai, sering
Cerebral Palsy tipe ataxia disebabkan oleh kerusakan pada cerebellum yang
bertanggung jawab untuk keseimbangan dan koordinasi beberapa kelompok otot. Tipe ini
ditandai adanya kehilangan koordinasi otot, sehingga gerakan dilakukan dengan kekuatan
abnormal, tidak berirama, dan tidak akurasi, cara berjalan yang lebar dan tidak dengan
satu garis lurus, terjadinya gerakan ritmik mata yang tidak terkontrol (nystagmus),
biasanya disertai dengan gemetar, karena sistem koordinasinya terganggu sehingga anak
dengan tipe ini sulit untuk menjaga keseimbangan tubuhnya (Maimunah, 2013; Mati,
2008).
Cerebral Palsy tipe campuran adalah dua atau lebih tipe Cerebral Palsy yang muncul
pada orang yang sama. Kombinasi karakteristiknya misalnya spastic yang disertai dengan
defisit motorik. Sekitar dua pertiga pasien Cerebral Palsy juga mengalami retardasi
Menurut Werner, ada beberapa tanda-tanda awal untuk mengenali gejala cerebral
palsy, yaitu :
1. Pada saat kelahiran bayi dengan cerebral palsy biasanya terlihat lemas (limp) dan
terkulai (floppy).
4. Memiliki kesulitan dalam hal mengisap, menelan dan mengunyah. Kondisi ini
Disamping itu biasanya bayi/anak dengan cerebral selalu mengeluarkan air liur
(ngeces).
5. Badan bayi sering kaku. Kondisi ini menyebabkan ibu dari anak cerebral palsy
2013).
7. Anak cerebral palsy biasanya juga memiliki masalah terhadap intelegensi. Hanya
2.2 MALOKLUSI
tidak benarnya hubungan antar lengkung gigi di setiap bidang spatial atau anomali
abnormal di setiap bidang spatial atau anomali abnormal dalam posisi gigi. Maloklusi
bukan merupakan suatu penyakit tetapi bila tidak dirawat dapat menimbulkan gangguan
pada fungsi pengunyahan, penelanan, bicara, dan keserasian wajah yang berakibat pada
gangguan fisik maupun mental. Faktor yang menyebabkan terjadinya maloklusi dibagi
menjadi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Oral bad habit merupakan faktor ekstrinsik
seperti kebiasaan menggigit kuku, menggigit benda seperti pensil dan pulpen, mengisap
jari, menghisap pipi, dan bernafas melalui mulut ( Astri dkk, 2014).
2013, sebanyak 14 provinsi mengalami masalah gigi dan mulut yaitu 25,9%. Prevalensi
maloklusi di Indonesia masih sangat tinggi sekitar 80% dari jumlah penduduk, dan
merupakan salah satu masalah kesehatan gigi dan mulut yang cukup besar, hal ini
ditambah dengan tingkat kesadaran perawatan gigi yang masih rendah dan kebiasaan
buruk seperti mengisap ibu jari atau benda-benda lain, karena jumlah dan keparahan
maloklusi akan terus meningkat maka maloklusi seharusnya dicegah ataupun ditangani.
Indonesia menderita penyakit gigi dan mulut meliputi karies gigi dan penyakit jaringan
penyangga. Kesehatan gigi dan mulut sangat penting, peranannya cukup besar dalam
disamping fungsi estetis dan bicara.Berbagai penyakit maupun kelainan gigi dan mulut
susunan gigi disebut dengan maloklusi. Maloklusi merupakan bentuk hubungan rahang
atas dan rahang bawah yang menyimpang dari bentuk standar yang diterima sebagai
Keseimbangan dentofasial ini tidak disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi beberapa
Salzman dibagi atas faktor prenatal dan postnatal. Faktor prenatal terdiri dari genetik,
diferensiasi dan kongental. Faktor postnatal terdiri dari perkembangan, fungsional dan
lingkungan. Prevalensi maloklusi tahun 2008 mencapai 80% dan menduduki urutan
ketiga setelah karies dan penyakit periodontal.5 Jenis-jenis maloklusi yang dapat
dijumpai antara lain protrusi, intrusi dan ekstrusi, crossbite, open bite, gigi berjejal, dan
diastema.
Maloklusi diakibatkan oleh banyak faktor dan hampir tidak pernah memiliki satu
penyebab yang spesifik. tetapi hal-hal dibawah ini adalah faktor-faktor yang sering terjadi
1. Herediter.
10
Anak pasti memiliki materi gen yang sama dengan orang tuanya. Faktor herediter ini
memiliki pengaruh terhadap sistem neuromuskular, tulang, gigi dan jaringan lunak.
Pengaruh herediter dapat bermanifestasi dalam dua hal, yaitu: (Kumar dkk, 2012)
b. Disproporsi ukuran, posisi dan bentuk rahang atas dan rahang bawah yang
4. Agen fisis (ekstraksi dini pada gigi desidui dan sumber makanan).
Gigi desidui yang tanggal prematur dapat berdampak pada susunan gigi permanen.
Semakin muda umur pasien pada saat terjadi tanggal prematur gigi desidui semakin
5. Kebiasaan buruk.
Banyak kebiasaan buruk yang bisa mempengaruhi, diantaranya adalah menghisap ibu
jari, menjulurkan lidah, menghisap atau mengigit bibir, mengigit-gigit kuku, dan lain
maloklusi. Durasi atau lama kebiasaan buruk berlangsung merupakan faktor yang
6. Penyakit (penyakit sistemik, kelainan hormon endokrin ataupun penyakit lokal lainnya,
pertumbuhan yang abnormal contohnya maloklusi. Hal ini sering terjadi di negara
berkembang.
Maloklusi diklasifikasikan atas beberapa tipe oleh Angle yaitu Klas I, Klas II, Klas III.5,10
Klas I Angle ditandai dengan tonjol mesiobukal gigi molar pertama rahang atas
terletak pada celah bagian bukal gigi moalr pertama rahang bawah (relasi gigi
neutroklusi).
Klas II Angle ditandai dengan tonjol mesiobukal molar pertama rahang atas
terletak pada ruangan di antara tonjol mesiobukal M1 dan tepi distal tonjol bukal
gigi premolar rahang bawah (relasi gigi distoklusi). Klas II Angle dibagi lagi
Klas III Angle ditandai dengan tonjol mesiobukal gigi molar pertama rahang atas
beroklusi dengan bagian distal tonjol distal M1 dan tepi mesial tonjol mesial gigi
Klasifikasi ini didasarkan pada hubungan antar cusp mesiobukal pada molar
pertama rahang atas dan groove bukal molar pertama rahang bawah.5 Jika terdapat
hubungan molar tersebut, maka gigi dapat dikatakan memiliki oklusi yang normal.
Selain dari klasifikasi Angle, kelainan-kelainan lain yang dapat dilihat dari
labio/bukoversi, linguo/palatoversi).
Infraoklusi, yaitu gigi yang tidak mencapai garis oklusal dibandingkan gigi lain
Supraoklusi, yaitu gigi yang melebihi garis oklusal dibandingkan gigi lain dalam
lengkung gigi.
Cross bite, yaitu hubungan labiolingual atau bukolingual dari gigi-gigi yang
Anterior open bite, yaitu dalam bidang vertikal, gigi insisivus bawah tidak
menyentuh gigi insisivus atas dan tidak beroklusi ketika gigi-gigi posteriornya
saling beroklusi.
Edge to edge, yaitu insisal insisivus atas bertemu dengan insisal insisivus bawah.
maupun alat cekat. Dalam melakukan perawatan tersebut sangat perlu adanya
kerjasama antara penderita dengan dokter gigi yang merawat. Konsep terapi dini
memberikan arahan atau acuan untuk membimbing operator agar memberi perawatan
15
yang efektif dalam terapi dini. Oleh karena itu dokter gigi harus mengerti
kadang-kadang pada masa ahir dari periode gigi sulung, hal ini berguna untuk
dan dokter gigi agar dicapai hasil yang optimal. Berdasarkan perawatan dalam
Kategori pertama adalah kerjasama minimal. Pada kategori ini pasien tidak
terlalu aktif, strategi perawatan ini memerlukan kerjasama yang minimal, bahwa
pasien tidak perlu terlalu aktif dalam melakukan perawatan, kecuali perawatan
terhadap kebersihan gigi dan mulut tetap harus dijaga/ditingkatkan. Contohnya adalah
alat orto cekat yang digunakan terus menerus. Bahan yang disemenkan pada gigi
molar, Rapid Maxillary Expansion atau pada mandibula berupa: Lingual Arch, untuk
Kategori ketiga adalah kerjasama maksimal. Pada kasus ini diberikan untuk kasus
yang maksimal dengan pasien, karena dengan menggunakan alat ini, pasien
normal agar tidak terjadi malposisi gigi dan hubungan rahang yang abnormal.
dini bahkan semenjak berada didalam kandungan ibu. Menjaga asupan nutrisi agar selalu
tercukupi mulai dari vitamin , kalsium,fosfor, fluor dan lain lain. Setelah bayi lahir
nutrisi harus tetap terpenuhi , agar pertumbuhan dan perkembangan anak tidak terhambat.
Dan supaya pertumbuhan gigi tidak terganggu. Setelah anak memiliki gigi maka harus
dijaga agar gigi ini tetap sehat sampai pada saatnya akan digantikan oleh gigi permanen.
Kebersihan mulut harus dijaga, harus diajarkan cara-cara menggosok gigi yang benar,
tiga kali sehari setiap selesai makan dan menjelang tidur. Secara teratur anak
diperiksakan ke dokter gigi setiap 6 bulan sekali untuk melihat keadaan gigi-giginya. Jika
terdapat karies harus segera ditambal. Dilakukan tindakan preventif agar gigi-giginya
tidak mudah terserang karies. Fungsi pengunyahan harus dijaga agar tetap baik. Pada
18
masa pergantian gigi harus dijaga agar gigi desidui tidak dicabut atau hilang terlalu awal
(premature axtraction atau premature loss), ataupun terlambat dicabut sehingga gigi
permanen penggantinya telah tumbuh (terjadi persistensi atau prolong retention gigi
desidui).
penderita Cerebral Palsy. Faktor resiko maloklusi dapat berasal dari mekanisme keadaan
fisik, kebiasaan, trauma, atau penyakit. . Maloklusi juga dapat terjadi karena ukuran
besarnya gigi dan tulang rahang tidak seimbang. Gigi besar sedangkan rahang yang kecil
thrusting). Kebiasaan menjulurkan lidah, posisi lidah berada diantara gigi anterior dan
molar. Hal tersebut menyebabkan gigi insisivus mengalami tekanan secara terus menerus
sehingga terdorong ke arah labial sehingga gigi insisivus terdorong depan atau terjadi
Prevalensi trauma gigi pada penderita Cerebral Palsy lebih tinggi daripada
inidividu normal. Hal ini dikarenakan penderita Cerebral Palsy bergantung pada bantuan
dari pengasuhnya dalam kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan faktor resiko trauma
gigi, yang paling sering terjadi adalah jatuh, kejang, tooth grinding, overjet karena
19
penekanan, dan kurangnya kemampuan untuk menutup bibir dengan baik. Inkompetensi
bibir menjadi faktor resiko yang sangat berkaitan dengan trauma gigi. Gerakan kepala
yang tidak terkontrol yang merupakan karakteristik Cerebral Palsy meningkatkan resiko
trauma gigi karena gigi menjadi mudah kontak dengan benda keras. Kemampuan bibir
untuk menutup memiliki peran penting sebagai faktor protektif terhadap trauma tersebut
(Miamoto, 2011).
Penderita Cerebral Palsy sering menderita penyakit infeksi saluran atas, yang
mengarah pada kebiasaan untuk bernafas dengan mulut (mouth breathing). Pada
kebiasaan bernapas melalui mulut, rahang bawah dan lidah berada pada posisi
rendah/diturunkan dan kepala dalam posisi tegak. Apabila keadaan ini terjadi dalam
waktu yang cukup lama maka dapat terjadi pertambahan tinggi wajah dan gigi posterior
mengalami supraerupsi. Fungsi normal bibir adalah menahan gigi anterior dari tekanan
lidah sehingga tidak berinklinasi ke labial. Saat mulut terbuka, posisi bibir atas tidak
dalam keadaan menahan gigi anterior, sedangkan bibir bawah yang berfungsi menahan
tepi insisal gigi anterior maksila terletak lebih ke depan dari normal. Hal ini
menyebabkan gigi anterior maksila menjadi protrusi. Mandibula akan berotasi ke bawah
dan ke belakang sehingga terjadi anterior open bite dan peningkatan overjet, selain itu
tekanan dari pipi dapat menyebabkan lengkung gigi maksila menjadi menyempit
sehingga terjadi posterior crossbite. Pada anak yang memiliki kebiasaan bernafas
menggunakan mulut musculus mentalis nya berkerja lebih keras untuk mempertahankan
pengaruh Cerebral Palsy terhadap maloklusi, dapat menjelaskan faktor-faktor apa saja
yang sebenarnya terlibat dalam kasus ini. Chandna dkk dalam studinya yang menjelaskan
tentang status rongga mulut pada anak penderita Cerebral Palsy menunjukkan bahwa
kebanyakan anak penderita Cerebral Palsy mengalami maloklusi Klas II (Chandna dkk,
2010).
Penelitian ini dilakukan pada 25 anak dengan usia antara 6 dan 10 tahun yang
menderita Cerebral Palsy. Lima belas anak penderita Cerebral Palsy tipe spastik dan 10
anak lain dengan tipe campuran. Anak dengan spastik Cerebral Palsy dapat mengalami
maloklusi Klas II yang signifikan, begitu juga pada anak dengan Cerebral Palsy tipe
campuran. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.1 yang menunjukkan bahwa dari 25 anak
dan 8 diantaranya ditemukan memiliki maloklusi Klas I. Selain itu, unilateral posterior
cross bite juga dapat dilihat pada anak-anak tersebut (Chandna dkk, 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chandna dkk, faktor resiko yang
berhubungan dengan keparahan maloklusi yang dialami oleh anak dengan Cerebral
22
Palsy adalah bernafas melalui mulut, kelemahan pada otot bibir, dan bentuk wajah yang
Penelitian lainya dilakukan oleh Martinez dkk yang meneliti tentang pengaruh
posisi kepala pada saat istirahat terhadap terjadinya maloklusi pada penderita Cerebral
Palsy. Penelitian dilakukan pada 44 orang pasien Cerebral Palsy dengan usia antara 12-
55 tahun (18 laki-laki dan 26 perempuan). Selain posisi kepala, aspek lain yang
diperhatikan dalam penelitian ini adalah pola pernafasan dan penelanan. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa pada pasien Cerebral Palsy sering terjadi maloklusi
kelas II diikuti dengan open bite dan overjet yang tinggi serta posisi kepala
2014).
Penelitian lainnya dilakukan di Dubai oleh Hashmi dkk yang meneliti mengenai
status kesehatan gigi pada anak penderita Cerebral Palsy. Penelitian ini dilakukan pada
84 anak penderita Cerebral Palsy dan 125 anak sehat sebagai kontrol. Pada penelitian
didapatkan prevalensi tinggi maloklusi Kelas II pada populasi Cerebral Palsy dengan
gigi seri rahang atas yang menonjol, bibir yang tidak kompeten, kesulitan dalam
penelitian ini, di mana pasien CP memiliki insidensi Maloklusi kelas II lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol. Maloklusi Kelas II lebih sering terjadi pada anak CP
karena hipotonia otot orofasial dan dorongan ke depan lidah. Pada maloklusi kelas II
terjadi deviasi musculus buccinator kearah anterior (Brodle, 2000; Hashmi, 2017).
24
Penderita Cerebral Palsy tidak mampu merawat diri sendiri dalam kehidupan
sehari-hari, maka dari itu sangatlah penting pemberian edukasi pada pengasuh untuk
menjaga dan merawat penderita dengan baik, khususnya dalam menjaga kesehatan gigi
selalu tercukupi mulai dari vitamin , kalsium, fosfor, fluor dan lain lain. Kebersihan
mulut harus dijaga, dengan cara menggosok gigi anak dengan benar, tiga kali sehari
setiap selesai makan dan menjelang tidur. Secara teratur anak diperiksakan ke dokter gigi
setiap 6 bulan sekali untuk melihat keadaan gigi-giginya. Jika terdapat karies harus
segera ditambal.
BAB III
KESIMPULAN
25
nonprogresif pada postur dan gerak yang merupakan hasil dari cidera sistem saraf pusat
pada periode awal perkembangan otak, biasanya pada 3-5 tahun pertama kehidupan.
Penyakit ini merupakan penyebab utama kecacatan pada anak yang mempengaruhi fungsi
tubuh dan perkembangan. Salah satu penyakit yang mengganggu pertumbuhan dan
tidak benarnya hubungan antar lengkung gigi di setiap bidang spatial atau anomali
abnormal di setiap bidang spatial atau anomali abnormal dalam posisi gigi . Berdasarkan
laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2013, sebanyak 14
provinsi mengalami masalah gigi dan mulut yaitu 25,9%. Prevalensi maloklusi di
Indonesia masih sangat tinggi sekitar 80% dari jumlah penduduk, dan merupakan salah
satu masalah kesehatan gigi dan mulut yang cukup besar ( Astri dkk.2014 ).
thrusting). Kebiasaan menjulurkan lidah, posisi lidah berada diantara gigi anterior dan
molar. Hal tersebut menyebabkan gigi insisivus mengalami tekanan secara terus menerus
sehingga terdorong ke arah labial sehingga gigi insisivus terdorong depan atau terjadi
Chandna dkk, faktor resiko yang berhubungan dengan keparahan maloklusi yang dialami
oleh anak dengan Cerebral Palsy adalah bernafas melalui mulut, kelemahan pada otot
bibir, dan bentuk wajah yang panjang (Chandna dkk, 2010). Penelitian lainnya dilakukan
26
di Dubai oleh Hashmi dkk yang, hasilnya Maloklusi Kelas II lebih sering terjadi pada
anak CP karena hipotonia otot orofasial dan dorongan ke depan lidah (Hashmi, 2017).
27
DAFTAR PUSTAKA
Ana Cristiana Oliveira, Saul Martins Paiva, Milene Torres Martins, Cintia Silva Torres,
Isabela Almeida Pordeus. Prevalence and determinant factors of malocclusion in
children with special needs. The European Journal of Orthodontics, October 2010: 1-6.
A.O.L Ortega, A.S. Guimaraes, A.L. Ciamponi. Frequency of parafunctional oral habits
in patients with cerebral palsy. Journal of Oral Rehabilitation, 2007; 34: 323-328.
Brodle A.G. 2000. Muscular Factors in The Diagnosis and Treatment of Malocclusions.
Illionis.
Hashmi A. H., Koowash M., Hassan A., AlHalabi M. 2017. Oral Health Status Among
Children with Cerebral Palsy in Dubai, United Emirates Arab. NCBI.
Kumar DA, Varghese RK, Chatuverdi SS. Prevalenceof malocclusion among children
and adolescents residing in orphanages of Bilaspur, Chattishgarh, India. J Adv Oral
Research 2012; 3(3): 21-8
Maimunah S. Studi Eksploratif Perilaku Koping Pada Individu dengan Cerebral Palsy.
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang. ISSN: 2013: 1(1);154-9.
Martinez M, Silvestre FJ, Orellana LM. Resting position of the head and malocclusion
in a group of patients with cerebral palsy. J Clin Exp Dent. 2014;6(1):el-6.
Mattos F. M., Berzin F., Nagae Mirian. 2017. The Impact of Oronasal Breathing on
Perioral Musculature. Scielo.
P. Chandna, V.K. Adlakha, J.L. Joshi. Oral status of a group of cerebral palsy children.
Journal of Dentistry and Oral Hygiene, February 2011; 3 (2): 18-21.
Proffit WR, Fields HW, Sarver DM. Contemporary Orthodontics. 5th ed. Canada: Mosby
Elsevier, 2013:5-10
Rusdima Udi. Multiple ekstraksi gigi pada anak cerebral palsy. Sains Medika. 2009:1(1);
1-5.