PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa nifas adalah masa pulih kembali mulai dari persalinan selesai
sampai alat-alat kandungan kembali normal seperti sebelum hamil. Masa nifas
ini berlangsung sejak plasenta lahir sampai dengan 6 minggu setelah kelahiran
atau 42 hari setelah kelahiran.Nifas (puerperium) berasal dari bahasa latin
yang mempunyai 2 suku kata yakni puer dan parous. Peur berarti bayi dan
parous berarti melahirkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa purperium
merupakan masa setelah melahirkan (Asih 2016).
Masa nifas merupakan periode kritis dalam keberlangsungan hidup ibu
dan bayi baru lahir. Sebagian besar kematian ibu dan bayi baru lahir terjadi
dalam satu bulan pertama setelah persalinan (World Health Organization,
2014). Untuk itu, perawatan kesehatan selama periode ini sangat dibutuhkan
oleh ibu dan bayi baru lahir agar dapat terhindar dari risiko kesakitan dan
kematian. Menurut Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2017, Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, persentase wanita yang
memperoleh perawatan masa nifas dalam kurun waktu 2 hari pertama setelah
persalinan meningkat dari 80% pada SDKI 2012 menjadi 87% pada SDKI
2017. Untuk dapat menurunkan angka kematian ibu, pemerintah membuat
program dan kebijakan teknis yang lebih baru mengenai jadwal kunjungan
masa nifas. World Health Organization (WHO) menganjurkan agar pelayanan
kesehatan masa nifas (postnatal care) bagi ibu mulai diberikan dalam kurun
waktu 24 jam setelah melahirkan oleh tenaga kesehatan yang kompeten,
misalnya dokter, bidan atau perawat (World Health Organization, 2014).
Pada masa nifas tersebut dapat terjadi komplikasi baik secara langsung
maupun tidak langsung. Komplikasi masa nifas seperti sepsis puerperalis,
perdarahan, dan preeklampsia menjadi penyebab kematian ibu. Asuhan nifas
ini dilakukan untuk menilai keadaan ibu serta untuk mencegah, mendeteksi
dan menangani masalah atau penyulit yang dialami ibu nifas. Dengan
1
demikian ibu nifas perlu diberikanasuhankebidanan yang komprehensif
(Walyani, 2015).
Gangguan hipertensi dalam kehamilan termasuk preeklampsia pada
masa kehamilan dapat bertahan sampai pada masa nifas dan bisa terjadi
komplikasi walaupun sebagian besar ibu akan kembali pada tekanan darah
normal. Tekanan darah ibu nifas dapat berubah secara cepat dan tidak bisa
diprediksi pada periode postpartum (Podimow, 2010).
Preeklampsia merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dengan
hipertensi terjadi setelah minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya
memiliki tekanan darah normal. Ibu dengan riwayat kehamilan dengan
preeklampsia akan mengalami stressor yang lebih besar dibandingkan dengan
kehamilan normal. Preeklampsia merupakan suatu penyakit vasospastik yang
melibatkan banyak sistem dan ditandai oleh hemokonsentrasi, hipertensi, dan
proteinuria. Diagnosis preeklampsia secara tradisional didasarkan pada adanya
hipertensi yang disertai proteinuria atau edema (Bobak, 2005). Ibu dengan
riwayat preeklampsia selama masa kehamilan perlu mendapat monitoring atau
pengawasan yang lebih ketat selama masa nifas karena risiko preeklampsia
masih bisa terjadi pada masa nifas (Podimow, 2010).
Masa nifas ini merupakan masa yang cukup penting bagi tenaga
kesehatan khususnya bidan untuk selalu melakukan pemantauan karena
pelaksanaan yang kurang maksimal dapat menyebaban ibu mengalami
berbagai masalah, bahkan dapat berlanjut pada kematian ibu. Terlebih bagi ibu
dengan gangguan hipertensi selama kehamilan seperti riwayat preeklampsia
pada kehamilan perlu mendapat monitoring dalam manajemen asuhan masa
nifas untuk menilai perlunya intervensi farmakologi seperti pemberian obat
antihipertensi (Cairns, 2017).
2
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu nifas
dengan menerapkan pola pikir melalui pendekatan manajemen kebidanan
dan pendokumentasian menggunakan SOAP.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian data pada ibu saat masa
nifas.
b. Mahasiswa mampu menentukan diagnosa aktual dan potensial pada ibu
saat masa nifas.
c. Mahasiswa mampu mengidentifikasi kebutuhan tindakan segera pada
ibu saat masa nifas.
d. Mahasiswa mampu melakukan perencanaan pada ibu saat masa nifas.
e. Mahasiswa mampu melakukan penatalaksanaan asuhan pada ibu saat
masa nifas.
f. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi asuhan pada ibu saat masa
nifas.
g. Mampu membuat dokumentasi asuhan kebidanan SOAP pada ibu saat
masa nifas.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup asuhan adalah asuhan kebidanan secara holistik pada ibu
nifas dengan post kuretase atas indikasi rest sisa plasenta.
D. Manfaat
1. Manfaat bagi mahasiswa
Mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan asuhan kebidanan pada ibu
nifas sehingga mahasiswa mampu memberikan asuhan yang tepat dan sesuai
dengan kebutuhan pasien serta mengetahui kesesuaian tata laksana kasus
antara teori dengan praktik.
3
1. Manfaat bagi Institusi
Laporan studi kasus ini dapat menjadi tambahan bahan pustaka agar
menjadi sumber bacaan sehingga dapat bermanfaat dan menambah
wawasan bagi mahasiswa terhadap tata laksana kasus ibu nifas
2. Manfaat bagi lahan praktik
Dapat meningkatkan pelayanan asuhan pada ibu hamil sesuai SOP yang
sudah ada.
4
BAB II
TINJAUAN KASUS DAN TEORI
A. Tinjauan Kasus
Pasien Ny N dipindahkan dari ruang VK ke ruang kenanga pada tanggal
12 Desember 2019 pukul 08.10 WIB dengan P 2A1Ah2 post partum normal
retensio sisa plasenta. Ny. N melahirkan pada tanggal 12 Desember 2019
pukul 01.30 WIB jenis kelamin laki-laki, berat badan lahir 3115 gram,
panjang badan 50 cm, A/S 7/8, bayi dilakukan rawat gabung. Riwayat air
ketuban jernih, umur kehamilan ibu ±38 minggu 2 hari.
Pada pukul 01.45 WIB setelah plasenta lahir di berikan oxytosin kedua
karena belum ada tanda - tanda pelepasan plasenta. Setelah 30 plasenta belum
lahir dilakukan kolaborasi dengan dokter untuk manual plasenta. Plasenta
dilahirkan secara manual dan dilakukan USG untuk memastikan bila ada sisa
plasenta yang tertinggal. Hasil USG terlihat ada masa sisa plasenta dan harus
dilakukan kuretase atas indikasi retensi sisa plasenta. TFU 1 jari di bawah
pusat, kontraksi uterus (+) keras, perdarahan ± 150cc, TD : 130/80mmHg, N :
88x/m, R: 20x/m, SB: 36,60C. Ny. N terpasang infuse cairan RL drips
oxitocyn 10IU 20 tetes/menit. Riwayat obstetric Ny N yaitu pada anak
pertama lahir tahun 2012 secara normal ditolong bidan dengan berat badan
lahir 3500 gr, anak kedua keguguran usia kehamilan 7 minggu dikuretase pada
tahun 2017, anak ketiga, saat ini.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasilnya : Hb, 13,3 gr/dl, HbSAg
negative, Protein Urine : negatiyae g sudah dalam batas normal.
Pada hari jumat tanggal 13 Desember 2019, Ny.N akan dikuretase, seluruh
persiapan telah dilakukan diantaranya, ibu sudah dipuasakan, persetujuan
tindakan operasi, KIE tujuan dikuretase, risiko kemungkinan yang akan terjadi
seperti perdarahan. Pukul 09.30 WIB Ny N dijemput dari ruang operasi,
keadaan umum baik, TD:130/90mmHg, N: 88x/m, R: 21x/m, SB: 36,8 0C.
Therapy oral yang diberikan adalah cefadroxil 3x 500mg, asam mefenamat
5
3x500mg, SF 1x1,captopril 12,5 diberikan untuk mengonntrl tekanan darah
tinggi ibu.
B. Tinjauan Teori
1. Masa Nifas
Masa nifas (puerperium) dimulai setelah plasenta lahir dan
berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum
hamil. masa nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu atau 42 hari,
namun secara keseluruhan akan pulih dalam waktu 3 bulan. Masa nifas
atau masa post partum disebut juga puerperium yang berasal dari bahasa
latin yaitu dari kata “puer” yang artinya bayi dan “parous” berarti
melahirkan. Nifas Yaitu darah yang keluar dari rahim karena sebab
melahirkan atau setelah melahirkan. Darah nifas yaitu darah yang tertahan
tidak bisa keluar dari rahim dikarenakan hamil. maka ketika melahirkan,
dara tersebut keluar sedikit demi sedikit. Darah yang keluar sebelum
melahirkan disertai tanda-tanda kelahiran, maka itu termasuk darah nifas
(Anggraini, 2010).
6
b. Puerperium intermedial (early puerperium) : Kepulihan menyeluruh
alat-alat genitalia yang lamanya 6-8 minggu
c. Remote puerperium (later puerperium) : Waktu yang diperlukan untuk
pulih dan sehat sempurna, terutama bila selama hamil dan waktu
persalinan mempunyai komplikasi.
7
Disebabkan oleh kontraksi dan retraksi yang terusmenerus dari
uterus setelah pengeluaran plasentamembuat uterus relatif anemia
dan menyebabkan seratotot atrofi.
2. Atrofi jaringan
Atrofi jaringan terjadi sebagai reaksi pengehentianhormon
esterogen saat pelepasan plasenta.
3. Autolysis
Autolysis merupakan proses penghancuran diri sendiriyang terjadi
di dalam otot uterine. Enzim proteolitik akanmemendekkan
jaringan otot yang telah sempat mengendurhingga 10 kali
panjangnya dari semula dan 5 kali lebardari semula selama
kehamilan atau dapat juga dikatakansebagai pengerusakan secara
langsung jaringan hipertropiyang berlebihan, hal ini disebabkan
karena penurunanhormon esterogen dan progesteron.
4. Efek oksitosin
Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksiotot
uterine sehingga akan menekan pembuluh darah
yangmengakibatkan berkurangnya suplai darah ke uterus.Proses ini
membantu untuk mengurangi situs atau tempat implasntasi
plasenta serta mengurangi pedarahan.Ukuran uterus pada masa
nifas akan mengecil sepertisebelum hamil.
Perubahan normal pada uterusselama postpartum adalah
sebagai berikut (Marmi, 2010)
a) Plasenta lahir tinggi fundus uteri setinggi pusat, beratuterus
1000 gr, diameter uterus 12,5 cm
b) 7 hari (1 minggu) tinggi fundus uteri pertengahanpusat dan
simpisis berat uterus 500 gr, diameter uterus7,5 cm.
c) 14 hari (2 minggu) tinggi fundus uteri tidak terababerat uterus
350 gr, diameter uterus 5 cm
d) 6 minggu tinggi fundus uteri normal, berat uterus 60gr,
diameter uterus 2,5 cm
8
b. Involusi tempat plasenta
Setelah persalinan tempat plasenta merupakan tempat dengan
permukaan kasar, tidak rata dan kira-kira sebesar permukaan tangan.
Dengan cepat luka ini mengecil, pada akhir minggu ke 2 hanya sebesar
3-4 cm dan pada akhir nifas1-2 cm. Penyembuhan luka bekas plasenta
khas sekali. Pada permulaan nifas bekas plasenta mengandung banyak
pembuluh darah besar yang tersumbat oleh thrombus. Biasanya luka
yang demikian sembuh dengan menjadi parut,tetapi luka bekas
plasenta tidak meninggalkan parut. Hal ini disebabkan karena luka ini
sembuh dengan cara dilepaskan dari dasarnya tetapi diikuti
pertumbuhan endometrium baru di bawah permukaan luka.
Endometrium ini tumbuh dari pinggir luka dan juga dari sisa-sisa
kelenjar pada dasar luka. Regenerasi endometrium terjadi di tempat
implantasi selama sekitar 6 minggu. Epitelium berproliferasi meluas ke
dalam dari sisi tempat ini dan dari lapisan sekitar uterus serta dibawah
tempat implantasi plasenta dari sisa-sisa kelenjar basilar endometrial di
dalam desidua basalis. Pertumbuha kelenjar endometrium ini
berlangsung dalam desidua basalis. Pertumbuhan kelenjar ini pada
hakekatnya mengikis pembuluh darah yang membeku pada tempat
implantasi plasenta yang menyebabkan menjadi terkelupas dan tidak
dipakai lagi pada pembuangan lochea (Marmi, 2012).
c. Perubahan ligamen
Ligamen-ligmen dan diafragma pelvis serta fasia yang
merenggang sewaktu kehamilan dan partus, setelah jalan lahir,
berangsur-angsur menciut kembali seperti sedia kala. Tidak jarang
ligamentum rutondum menjadi kendor dan mengakibatkan letak uterus
menjadi retroflexi. Tidak jarangpula wanita mengeluh “kandungannya
turun” setelah melahirkan oleh karena ligament, fasia, jaringan
penunjang alat genetalia menjadi agak kendor (Marmi, 2012).
9
d. Perubahan pada serviks
Serviks mengalami involusi bersama-sama uterus. Perubahan
yang terdapat pada serviks postpartum adalah bentuk serviks yang
akan menganga seperti corong. Bentuk ini disebabkan oleh korpus
uteri yang dapat mengadakan kontraksi, sedangkan serviks tidak
berkontraksi, sehingga seolah-olah pada perbatasan antara korpus dan
serviks uteri terbentuk semacam cincin. Warna serviks sendiri merah
kehitam-hitaman karena penuh pembuluh darah. Beberapa hari setelah
persalinan, ostium externum dapat dilalui oleh 2 jari, pinggir-
pinggirnya tidak rata tetapi retak retak karena robekan dalam
persalinan. Pada akhir minggu pertama hanya dapat dilalui oleh 1 jari
saja, dan lingkaran retraksi berhubungan dengan bagian atas dari
canalis cervikalis. Pada serviks terbentuk sel-sel otot baru yang
mengakibatkan serviks memanjang seperti celah. Karena proses
hiperpalpasiini, arena retraksi dari serviks, robekan serviks menjadi
sembuh. Walaupun begitu, setelah involusi selesai, ostium externum
tidak serupa dengan keadaan sebelum hamil, pada umumnya ostium
externum lebih besar dan tetap ada retak-retakdan robekan-robekan
pada pinggirnya, terutama pada pinggir sampingnya. Oleh robekan ke
samping ini terbentuk bibir depan dan bibir belakang pada serviks
(Marmi,2012).
e. Lochea
Lochea adalah ekskresi cairan rahim selama masa nifas. Lochea
mengandung darah dan sisa jaringan desidua yang nekrotik dari dalam
uterus. Lochea mempunyai reaksi basa/alkalis yang dapat membuat
organisme berkembang lebihcepat dari kondisi asam yang ada pada
vagina normal. Lochea mempunyai bau yang amis (anyir) meskipun
tidak terlalu menyengat dan volumenya berbeda-beda pada setiap
wanita. Lochea yang berbau tidak sedap menandakan adanya infeksi.
Lochea mengalami perubahan karena proses involusi. Pengeluaran
lochea dapat dibagi berdasarkan waktu dan warnanya, seperti berikut:
10
1. Lochea Rubra, waktu 1-3 hari warna merah kehitaman,ciri-cirinya
terdiri dari darah segar, jaringan sisa-sisaplasenta, dinding rahim,
lemak bayi, lanugo (rambutbayi), dan sisa mekoneum.
2. Sanguinolenta, waktu 4-7 hari warna merah kecoklatandan
berlendir, ciri-cirinya sisa darah bercampur lendir.
3. Serosa, waktu 7-14 warna kuning kecoklatan, ciri-cirinyalebih
sedikit darah dan lebih banyak serum, jugaterdiri dari leukosit dan
robekan/ laserasi plasenta
4. Alba, waktu > 14 hari berlangsung 2 – 6 minggupostpartum warna
putih, ciri-cirinya mengandungleukosit, sel desidua dan sel epitel,
selaput lendirserviks dan serabut jaringan yang mati.
5. Lochea purulenta, ciri-cirinya terjadi infeksi, keluarcairan seperti
nanah berbau busuk.
6. Lochiastasis, yaitu lochea yang tidak lancar keluarnya(Anggraini,
2010).
11
sekalipun tetap lebih kendur dari pada keadaan sebelum melahirkan.
Ukuran vagina akan selalu lebih besar dibandingkan keadaan saat
sebelum persalinan pertama. Mekipun demikian latihan otot perinium
dapat mengembalikan tonus tersebut dan dapat mengencangkan vagina
hingga tingkat tertentu. Hal ini dapat dilakukan pada akhir puerperium
dengan latihan harian (Rukiyah.,2010)
12
6. Kunjungan Masa Nifas
Menurut kebijakan pemerintah, kunjungan masa nifas antara lain
(Rukiyah, 2010) :
a. Kunjungan ke-1 (6-8 jam setelah persalinan): mencegah adanya
perdarahan masa nifas karena antonia uteri; mendeteksi dan merawat
penyebab lain perdarahan: rujuk bila perdarahan berlanjut;
memberikan konseling pada ibu atau salah satu anggota keluarga
bagaimana mencegah perdarahan masa nifas karena antonia uteri;
pemberian ASI awal; melakuka hubungan antara ibu dan bayinya;
menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah hipotermi; jika
petugas kesehatan menolong persalinan, ia harus tinggal dengan ibu
dan bayinya untuk 2 jam pertama setelah lahir, atau sampai ibu dan
bayi dalam keadaan sehat.
b. Kunjungan ke-2 (6 hari setelah persalinan): memastika involusi uteri
berjalan dengan normal; uterus berkontraksi, fundus dibawah
umbilikus, tidak ada perdarahan abnormal, tidak ada bau; menilai
adanya tanda – tanda demam, infeksi atau perdarahan abnormal;
memastikan ibu cukup makanan, cairan, dan istirahat; memastikan ibu
menyusui dengan baik dan memperhatikan tanda – tanda penyulit,
meberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada bayi, tai pusat,
menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi sehari – hari.
c. Kunjungan ke-3 (2 minggu setelah persalinan): sama seperti diatas
d. Kunjungan k-4 (6 minggu setelah persalinan): menanyakan pada ibu
tentang penyulit – penyulit yang ibu tau atau yang bayi alami;
memberikan konseling KB secara dini.
7. Komplikasi Masa Nifas
a. Perdarahan masa nifas
Perdarahan ini bisa terjadi segera begitu ibu melahirkan.
Terutama di dua jam pertama yang kemungkinannnya sangat tinggi.
Itulah sebabnya, selama 2 jam setelah bersalin ibu belum boleh keluar
dari kamar bersalin dan masih dalam pengawasan. “yang diperhatikan
13
adalah tinggi rahim, ada perdarahan atau tidak, lalu tekanan darah dan
nadinya. Bila terjadi perdarahan, maka tinggi rahim akan bertambah
naik, tekanan darah menurun, dan denyut nadi ibu menjadi cepat.
Normalnya tinggi rahim setelah melahirkan adalah sama dengan pusar
atau 1 cm diatas pusar (Anggraini, 2010)
b. Infeksi masa nifas, adalah infeksi peradangan pada semua alat
genetalia pada masa nifas oleh sebab apapun dengan ketentuan
meningkatnya suhu badan melebihi 38℃ tanpa menghitung hari
pertama dan berturut-turut selama 2 hari (Anggraini, 2010).
c. Keadaan abnormal pada payudara yaitu seperti bendungan asi, mastitis
dan abses payudara (Anggraini, 2010).
d. Demam, pada masa nifas mungkin terjadi peningkatan suhu badan atau
keluhan nyeri. Demam pada masa nifas menunjukan adanya infeksi,
yang tersering infeksi kandung dan saluran kemih.ASI yang tidak
keluar terutama pada hari ke 3-4, terkadang menyebabkan demam
disertai payudara membengkak dan nyeri. Demam ASI ini umumnya
berakhir setelah 24 jam (Anggraini, 2010).
e. Pre Eklampsia dan Eklampsia,
Biasanya orang menyebutnya keracunan kehamilan. Ini
ditandai dengan munculnya tekanan darah tinggi, oedema atau
pembengkakan pada tungkai, dan bila diperiksa laboratorium urinya
terlihat mengandung protein. Dikatakan eklampsia bila sudah terjadi
kejang, bila hanya gejalanya saja maka dikatakan preeklampsia.
Selama masa nifas dihari ke-1 sampai ke 28, ibu harus mewaspadai
munculnya gejala preeklampsia. Jika keadaannya bertambah berat bisa
terjadi eklampsia, dimana kesadaran hilang dan tekanan darah
meningkat tinggi sekali. Akibatnya, pembuluh darah otak bisa pecah,
terjadi oedema pada paru-paru yang memicu batuk berdarah. Semua
ini bisa menyebabkan kematian (Anggraini, 2010).
14
f. Infeksi dari vagina ke Rahim
Adanya lochea atau darah dan kotoran pada masa nifas inilah
yang mengharuskan ibumembersihkan daerah vaginanya dengan
benar, seksama setelah BAK atau BAB, bila tidak dikhawatirkan
vagina akan mengalamiinfeksi (Anggraini, 2010).
g. Payudara berubah merah panas dan nyeri.
15
plasenta tidak lengkap, maka harus dilakukan eksplorasi dari cavum
uteri. Potongan-potongan plasenta yang ketinggalan tidak diketahui
biasanya menimbulkan perdarahan post partum (Saleha, 2009).
b. Etiologi
Faktor penyebab utama perdarahan baik secara primer
maupun sekunder adalah grande multipara, jarak persalinan pendek
kurang dari 2 tahun, persalinan yang dilakukan tindakan, pertolongan
kala uri sebelum waktunya, pertolongan persalinan oleh dukun,
persalinan dengan tindakan paksa, pengeluaran plasenta tidak hati-hati
(Rukiyah dan Yulianti, 2010).
Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomaly dari uterus atau
serviks kelemahan dan tidak efektifitas kontraksi uterus, Kelainan dari
plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa,
implantasi dari cornu dan adanya plasenta akreta. Kesalahan
manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus yang
tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan
kontraksi yang tidak ritmik, pemberian uterotonik yang tidak tepat
waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi dan
menahan plasenta, serta pemberian anastesi terutama yang
melemahkan kontraksi uterus, (Prawirohardjo, 2010).
c. Patofisiologi
Menurut, (Saifudin, A.B, 2010) setelah bayi dilahirkan, uterus
secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi otot - otot uterus
menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi,
sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan
lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung continue, miometrium
menebal secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran
juga mengecil. Pengecilan mendadak uterus ini disertai mengecilnya
daerah tempat perlekatan plasenta. Ketika jaringan penyokong plasenta
berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai
terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkan menyebabkan
16
lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan
pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat
di uterus berada di antara serat - serat otot miometrium yang saling
bersilang. Kontraksi serat – serat otot ini menekan pembuluh darah dan
retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta
perdarahan berhenti. Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan
menggunakan pencitraan ultrasonografi secara dinamis telah
membuka perspektif baru tentang mekanisme kala tiga persalinan. Kala
tiga yang normal dapat dibagi dalam empat fase yaitu :
1) Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas
tempat plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat
masih tipis.
2) Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat
plasenta melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi kurang
2 cm).
3) Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan
pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom
yang terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya
plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif
dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta,
yang mengurangi permukaan tempat melekatnya plasenta.
Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.
4) Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat
plasenta bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan
sejumlah kecil darah terkumpul didalam rongga rahim. Ini
menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih
merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan
normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan
mengguanakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas
dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya. Tanda-tanda
pelepasan plasenta adalah sering ada pancaran darah yang
17
mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya menjadi
semakin padat, uterus meninggi kearah abdomen karena plasenta
yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang
keluar lebih panjang. Sesudah plasenta terpisah dari tempat
melekatnya maka tekanan yang diberikan oleh dinding rahim atau
atas vagina. Kadangkadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini
oleh adanya tekanan inter-abdominal. Namun, wanita yang
berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat mengeluarkan
plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisal
untuk menyempurnakan persalinan kala tiga.
d. Komplikasi Rest Plasenta
Komplikasi sisa plasenta adalah polip plasenta artinya plasenta
masih tumbuh dan dapat menjadi besar, perdarahan terjadi intermiten
sehingga kurang mendapat perhatian, dan dapat terjadi degenerasi
ganas menuju korio karsinoma dengan manifestasi klinisnya. Menurut
Manuaba 2010, rest plasenta memudahkan terjadinya :
1) Anemia yang berkelanjutan
2) Infeksi puerperium
3) Kematian akibat perdarahan
e. Faktor yang berhubungan dengan Rest Plasenta
1) Umur
Usia ibu hamil terlalu muda (<20 tahun) dan terlalu tua
(>35 tahun) mempunyai resiko yang lebih besar untuk melahirkan
bayi kurang sehat. Hal ini dikarenakan pada umur 20 tahun, dari
segi biologis fungsi organ reproduksi seorang wanita belum
berkembang dengan sempurna untuk menerima keadaan janin dan
segi psikis belum matang dalam menghadapi tuntutan beban moril,
mental dan emosional, sedangkan pada umur diatas 35 tahun dan
sering melahirkan, fungsi reproduksi seorang wanita sudah
mengalami kemunduran atau degenerasi dibandingkan fungsi
18
normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pasca
persalinan terutama perdarahan lebih besar.
Perdarahan post partum yang mengakibatkan kematian
maternal pada wanita hamil yang melahirkan pada umur dibawah
20 tahun, dua sampai lima kali lebih tinggi dari pada perdarahan
post partum yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan post
partum meningkat kembali setelah usia 30-35 tahun,
(Wiknjosastro, 2010).
2) Paritas
Uterus pada saat persalianan, setelah melahirkan plasenta
sukar untuk berkontraksi dan berektraksi kembali sehingga
pembuluh darah maternal pada dinding uterus akan tetap tebuka.
Hal inilah yang dapat menyebabkan meningkatkan perdarahan post
partum, (Winknjosastro, 2010). Jika kehamilan “terlalu muda,
terlalu tua, terlalu banyak dan terlalu dekat (4 terlalu” dapat
meningkatkan resiko berbahaya pada proses reprodusi karena
kehamilan terlalu sering dan terlalu dekat menyebabkan intake
(masukan) makanan atau gizi menjadi lebih rendah. Ketika
tuntunan dan beban fisik terlalu tinggi mengakibatkan wanita tidak
punya waktu untuk mengembalikan kekuatan diri dari tuntunan
gizi, juga anak yang telah dilahirkan perlu mendapat perhatian
yang optimal dari kedua orang tuanya sehingga sangat perlu
mengatur kapan sebaiknya waktu yang tepat untuk hamil
(Saifuddin, 2010).
f. Diagnosa Rest Plasenta
Diagnosis pada rest plasenta dapat ditegakkan berdasarkan :
1) Palpasi Uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus
uteri.
2) Memeriksa plasenta apakah lengkap atau tidak
3) Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari sisa plasenta
4) Sisa Plasenta atau selaput ketuban
19
5) Robekan rahim
6) Plasenta suksenturiata
7) Inspekulo : untuk melihat robekan pada serviks, vagina dan varises
yang pecah
8) Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu Hb, COT (Clot
Observation Test), dll
g. Penatalaksanaan
Dengan perlindungan antibiotik sisa plasenta dikeluarkan
secara digital atau dengan kuret besar. Jika ada demam ditunggu dulu
sampai suhu turun dengan pemberian antibiotik dan 3–4 hari kemudian
rahim dibersihkan, namun jika perdarahan banyak, maka rahim segera
dibersihkan walaupun ada demam (Saleha, 2009). Keluarkan sisa
plasenta dengan cunam ovum atau kuret besar. Jaringan yang melekat
dengan kuat mungkin merupakan plasenta akreta. Usaha untuk
melepas plasenta terlalu kuat melekatnya dapat mengakibatkan
perdarahan hebat atau perforasi uterus yang biasanya membutuhkan
tindakan hisrektomi (Prawirohardjo, 2010).
Menurut Morgan & Hamilton (2009) terapi yang biasa
digunakan :
1) Pemasangan infus dan pemberian uterotonika untuk
mempertahankan keadaan umum ibu dan merangsang kontraksi
uterus.
2) Kosongkan kandung kemih
3) Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi
4) Antiobiotika ampisilin dosis awal 1 gr IV dilanjutkan dengan 3x1
gram per oral dikombinasikan dengan metrodinazol 1 gram
suppositoria dilanjutkan dengan 3x500 mg.
5) Oksitosin
6) Methergin 0,2 mg peroral setiap 4 jam sebanyak 6 dosis. Dukung
dengan analgesik bila kram. Mungkin perlu dirujuk ke rumah sakit
untuk dilatasi dan kuretase bila terdapat perdarahan.
20
7) Observasi tanda – tanda vital dan perdarahan
8) Bila kadar HB <8 gr % berikan tranfusi darah. Bila kadar Hb >8gr
%, berikan sulfas ferosis 600mg/hari selama 10 hari. Sisa plasenta
bisa diduga kala uri berlangsung tidak lancar atau setelah
melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon
yang tidak lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan
masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada saat
kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit.
Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi kedalam rahim dengan cara
manual/ digital atau kuret dan pemberian uterotonika.
h. Pencegahan Rest Plasenta
Pencegahan terjadi perdarahan post partum merupakan
tindakan utama, sehingga dapat menghemat tenaga, biaya dan
mengurangi komplikasi upaya preventif dapat dilakukan dengan :
1) Meningkatkan kesehatan ibu, sehingga tidak terjadi anemia dalam
kehamilan.
2) Meningkatan usaha penerimaan KB.
3) Melakukan pertolongan persalinan di rumah sakit bagi ibu yang
mengalami perdarahan post partum.
4) Memberikan uteronika segera setelah persalinan bayi, kelahiran
plasenta dipercepat, (Manuaba, 2010). Menurut Manuaba (2010)
untuk menghindari terjadinya sisa plasenta dapat dilakukan dengan
membersihkan kavum uteri dengan membungkus tangan dengan
sarung tangan sehingga kasar, mengupasnya sehingga mungkin
sisa membran dapat sekaligus dibersihkan, segera setelah plasenta
lahir dilakukan kuretase menggunakan kuret post partum yang
besar.
21
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengkajian
Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan hasil bahwa Ny.N berumur
33 tahun P2A1Ah2 partus spontan umur kehamilan 38 minggu 2 hari. Berat
badan lahir bayinya 3115 gram, panjang badan : 50 cm, LK : 33 cm, LD 33
cm, A/S 7/8. Ny.N Pada pukul 02.05 WIB plasenta lahir dilakukan manual
plasenta oleh dokter SpOG, selanjutnya dilakukan USG untuk melihat jika ada
sisa plasenta yang tertinggal. Hasilnya terlihat ada massa sisa plasenta dan
direncanakan untuk kuretase atas indikasi rest sisa plasenta. Terdapat rupture
derajat 2 dan dilakukan hacting dalam dan luar.
Rest plasenta merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga
rahim yang dapat menimbulkan perdarahan post partum dini atau perdarahan
post partum lambat yang biasanya terjadi dalam 6 hari sampai 10 hari pasca
persalinan, (Prawirohardjo, 2010). Selaput yang mengandung pembuluh darah
ada yang tertinggal, perdarahan segera. Gejala yang kadang–kadang timbul
uterus berkontraksi baik tetapi tinggi fundus tidak berkurang. Sisa plasenta
yang masih tertinggal di dalam uterus dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan.
B. Analisa
Ny N umur 33 tahun P2A1Ah2 post partum normal dengan retensio sisa
plasenta. Rest Plasenta dalam nifas menyebabkan perdarahan dan infeksi.
Perdarahan yang banyak dalam nifas hampir selalu disebabkan oleh sisa
plasenta. Jika pada pemeriksaan plasenta ternyata jaringan plasenta tidak
lengkap, maka harus dilakukan eksplorasi dari cavum uteri. Potongan-
potongan plasenta yang ketinggalan tidak diketahui biasanya menimbulkan
perdarahan post partum (Saleha, 2009).
22
C. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan asuhan ibu nifas dengan kasus rest sisa plasenta,
dibutuhkan observasi terhadap perdarahan dan kontraksi uterus. Jika rest sisa
plasenta tidak dapat dibersihkan dengan manual eksplorasi, maka dilakukan
kuretase dengan menggunakan alat kuret rest plasenta. Dengan perlindungan
antibiotik sisa plasenta dikeluarkan secara digital atau dengan kuret besar. Jika
ada demam ditunggu dulu sampai suhu turun dengan pemberian antibiotik dan
3–4 hari kemudian rahim dibersihkan, namun jika perdarahan banyak, maka
rahim segera dibersihkan walaupun ada demam (Saleha, 2009). Keluarkan sisa
plasenta dengan cunam ovum atau kuret besar. Jaringan yang melekat dengan
kuat mungkin merupakan plasenta akreta. Usaha untuk melepas plasenta
terlalu kuat melekatnya dapat mengakibatkan perdarahan hebat atau perforasi
uterus yang biasanya membutuhkan tindakan hisrektomi (Prawirohardjo,
2009).
Dalam kasus ini sudah diberikan KIE tentang tujuan dilakukannya
kuretase, kemungkinan risiko yang akan terjadi serta tanda-tanda bahaya nifas
seperti perdarahan serta KIE tentang penggunaan kontrasepsi IUD atau MOW.
pasien dipulangkan pada tanggal 14 Desember 2019 dan dianjurkan untuk
kontrol kembali 1 minggu kemudian yaitu pada tanggal 20 Desember 2019 di
Poli Kebidanan Rumah Sakit atau jika ada keluhan yang dirasakan bisa segera
ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan terdekat.
D.
23
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada kasus ini, peran mahasiswa sebagai profesi bidan dapat
memberikan asuhan kepada ibu nifas dengan kuretase atas indikasi rest sisa
plasenta. Asuhan yang diberikan berupa observasi perdarahan, kontraksi
uterus, tinggi fundus uteri dan tanda-tanda vital, berkolaborasi dengan dokter
dan tenaga kesehatan lainnya seperti gizi, laboratorium untuk pemeriksaan
penunjang. Selain itu, diberikan KIE tanda-tanda bahaya nifas sehingga pasien
dapat mengenali tanda bahaya yang mungkin terjadi sehingga bisa segera
mendapatkan penanganan yang tepat dan optimal. KIE tentang perawatan
pasca kuretase, KIE tentang kapan ibu bisa merencanakan untuk hamil lagi,
serta KIE tentang penggunaan kontrasepsi.
Mahasiswa diharapkan mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu
nifas dengan menerapkan pola pikir melalui pendekatan manajemen
kebidanan secara holistik mulai dari pengkajian data, analisis, menentukan
kebutuhan, melakukan perencanaan dan tatalaksana tindakaan serta
pendokumentasian menggunakan SOAP.
B. Saran
1. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa harus meningkatkan kemampuan dalam penatalaksanaan kasus
ibu nifas dengan post kuretase atas indikasi rest sisa plasenta, sehingga
mahasiswa mampu memberikan asuhan yang tepat dan sesuai dengan
kebutuhan pasien serta mengetahui kesesuaian tata laksana kasus antara
teori dengan praktik.
2. Bagi Institusi
Sebaiknya Laporan studi kasus ini bisa menjadi tambahan bahan pustaka
agar menjadi sumber bacaan sehingga dapat bermanfaat dan menambah
24
wawasan bagi mahasiswa di institusi pendidikan pada tata laksana kasus
ibu nifas dengan riwayat PEB dan kuretase atas indikasi rest sisa plasenta
3. Bagi Lahan Praktik
Tetap mempertahankan pemberian tindakan sesuai dengan SOP yang ada.
25
DAFTAR PUSTAKA
Bobak, I., Deitre M. & Shannon. (2010). Maternity Nursing. St Louis :Mosby
Grundmann, M., Woywodt, A., & Kirsch, T. (2009). Circulating endothelial cells:
a marker of vascular damage in patients with preeclampsia. Am Journal
Obs Gyn. Volume 198, Issue 3, Pages 317. e1-317. e5
Morgan, Geri dan Carole Hamilton. 2009. Obstetri & Ginekologi Panduan
Praktik. Jakarta : EGC
Rukiyah, Y. (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta : Trans Info
Medika.
26
Sari, Erlin Ika Wulan, 2012. Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas P1A0 Ny. A
Dengan Anemia Sedang Di RB Marga Wahaya Surakarta, Surakarta :
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kusuma Husada.
Sitti Saleha, 2009. Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas. Yogyakarta : Fitrimaya
27
Lampiran
No register : 734660
Nama Pengkaji : Meyke Potutu
Tempat Pengkajian : Di Ruang Kenanga RSUD Wates
Waktu Pengkajian : 12-12-2019/20.30 WIB
C. RIWAYAT MENSTRUASI
Menarche : 13 tahun
Siklus Haid : 30 hari
Lama Haid : 7 hari
Banyaknya : ± 3 kali ganti pembalut/hari
28
Disminorhea : Tidak
Riwayat Penyakit : Tidak ada
D. RIWAYAT OBSTETRI
Persalinan Nifas
Ha
mil Jenis Komplikasi
Tgl BB Laktasi Komplik
ke- UK persali Oleh JK
lahir Ibu Bayi lahir Ya/tdk asi
nan
1 11/05 Ater Norma Bidan t.a.k t.a.k Laki - laki 3500 Ya t.a.k
/2012 m l gram
2 2016 7 Keguguran
Ming
gu
3 22/12 Ater Norma Bidan t.a.k t.a.k Laki - laki 3115 Ya t.a.k
/2019 m l Gram
E. RIWAYAT KESEHATAN
Ibu : Tidak sedang ataupun pernah mendrita
penyakit jantung, asma, DM, ginjal, batuk lama
(TBC atau difteri), sudah pernah dilakukan
pemeriksaan hepatitis, IMS dan HIV/AIDS
hasil pemeriksaan non reaktif. Ibu sebelumnya
belum pernah menderita hipertensi.
29
Malam :±6Jam/hari
Siang : ±1Jam/hari
3. Personal Hygiene
Mandi : 2x/hari Gosok Gigi :2x/hari
Ganti Pakaian : 2x/hari
G. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Suami dan keluarga sangat senang dengan kelahiran bayi.
30
Tidak ada bekas luka, terdapat linea nigra, kontraksi
(7) Abdomen
: uterus keras, TFU 1 jari dibawah pusat
(8) Genetalia : Perdarahan tidak banyak, lochea rubra
: Terpasang infuse cairan RL drips oksitosin 1 ampul
(9) Ekstremitas
sampai dengan kuretase 20 tetes permenit
3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 12 Desember 2019
Hb, 13,3gr/dl, HbSAg negative, Protein Urine : negatif.
31
e. Menyiapkan untuk tindakan kuretase dengan memberikan inform consent
untuk persetujuan tindakan
Evaluasi :Surat persetujuan sudah ditanda tangani, bagian ruang
OK sudah dihubungi
f. Memberi KIE tentang perlunya mengelola stress dengan berdoa dan
beribadah dan menganjurkan keluarga untuk mendukung menjaga
kestabilan psikologi selama masa nifas.
Evaluasi :Ibu bersedia untuk berusaha rileks dan mengurangi
kecemasan yang dialami untuk menurunkan risiko komplikasi
selama masa nifas terutama kenaikan tekanan darah.
g. Mengelola terapi sesuai advis dokter yaitu: Cefadroxil 3x500 mg, asam
Mefenamat 3x500mg, SF 1x1, captopril 2 x 12,5 mg
Evaluasi :Terapi diberikan sesuai jadwal pemberian
h. Melakukan Skintes untuk melihat reaksi tubuh ibu dengan obat antibiotik
cefotaxime
Evaluasi : Skintest terlaksana dan tidak ada reaksi alergi
i. Menganjurkan ibu untuk melakukan persiapan kuretasi dengan berpuasa
mulai pukul 03.00 WIB
Evaluasi : Ibu mengatakan akan melakukan apa yangdianjurkan
j. Mengobservasi KU, Kontraksi Uterus, Perdarahan, TTV
k. Mendokumentasikan asuhan kebidanan
Evaluasi : Dokumentasi asuhan telah dituliskan.
32
SOAP PERKEMBANGAN HARI PERTAMA
TD : 110/70 mmHg
N : 89 x/menit
R : 20 x/menit
SB : 36,7 o C
33
Perdarahan : Dalam batas normal
Lochia : Rubra
P :
34
SOAP PERKEMBANGAN HARI KEDUA
TD : 120/70 mmHg
N : 84 x/menit
R : 22 x/menit
SB : 36,4 o C
35
steril dan tidak ada perdarahan
Genetalia : tidak ada kelainan
Lochia : Rubra
P :
36
jarak kehamilan selanjutnya dimana jarak kehamilan yang normal adalah
tidak kurang dari 2 tahun dan tidak lebih dari 6 tahun. Apabila ibu ingin
melakukan program KB ibu dapat melakukan kunjungan ke Puskesmas
atau Praktik Mandiri Bidan.
Evaluasi : Ibu mengatakan berencana ingin menggunakan KB implant dan
akan mengunjungi puskesmas terdekat.
5. Memberitahu ibu bahwa ibu sudah bisa di perbolehkan pulang dan
menganjurkan ibu untuk melakukan kunjungan di puskesmas atau
poliklinik 7 hari kemudian untuk mengontrol kesehatan ibu dan bayi atau
sewaktu – waktu apabila ibu ada keluhan yang dirasakan setelah di
perbolehkan pulang.
Evaluasi: Ibu bersedia untuk melakukan kunjungan di puskesmas
6. Menganjurkan ibu untuk mengkonsumsi obat sesuai advis dokter yaitu:
Cefadroxil 3x500 mg, asam Mefenamat 3x500mg, SF 1x1, captopril 2 x
12,5 mg
Evaluasi : ibu mengatakan akan mengkonsumsi obat sesuai dengan
dosis yang diberikan
7. Melakukan dokumentasi asuhan kebidanan yang dilakukan
Evaluasi : Dokumentasi telah dilakukan
37