Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU NIFAS DENGAN


PREEKLAMPSIA BERAT
DI RUANG AL-AQSHA 4 RSU HAJI SURABAYA

OLEH:
DARANINDRA DEWI SARASWATI
011913243055

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan Kebidanan pada Post SC atas indikasi Pre Eklampsia Berat (PEB) di Ruang
Al- Aqsha 4 RSU Haji Surabaya, telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing
pada :

Hari :
Tanggal :

Surabaya, November 2019


Mahasiswa,

Daranindra Dewi Saraswati


011913243055

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Program Pendidikan Profesi Bidan Ruang Al-Aqsha 4 RSU Haji
FK UNAIR Surabaya Surabaya

Ratna Dwijayanti, S.Keb.Bd., M.Keb Jaenah, S.Keb.Bd


NIP. 19851004 201608 7 201 NIP. 19660204 198511 2 001
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa nifas atau puerperium dimulai sejak 2 jam setelah lahirnya


plasenta sampai dengan 6 minggu (42 hari) (Rini dan Kumala, 2017).
Pelayanan pasca persalinan harus terselenggara dengan optimal untuk
memenuhi kebutuhan ibu dan bayinya, yang meliputi upaya pencegahan,
deteksi dini dan pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi. Masa nifas
merupakan masa kritis bagi ibu dalam kehidupan reproduksinya. Fase ini
disebut demikian karena masih banyak risiko komplikasi yang mungkin terjadi
yang berhubungan dengan tahap perubahan baik fisik maupun psikologis ibu
setelah kehamilan dan persalinan. Sekitar 50 % kematian ibu terjadi dalam 24
jam pertam postpartum (Rini dan Kumala, 2017). Baik di negara maju maupun
negara berkembang, perhatian utama ibu dan bayi terlalu banyak tertuju pada
masa kehamilan dan persalinan, sementara pada keadaan yang sebenarnya
justru merupakan kebalikannya, oleh karena itu risiko mortalitas dan
morbiditas ibu serta bayi lebih sering terjadi pada masa pasca persalinan.
Gangguan hipertensi pada kehamilan merupakan penyebab utama
mortalitas dan morbiditas ibu, terutama di negara berkembang seperti Indonesia
(Goldberg et al, 2011). Hipertensi dapat terjadi sebelum, selama, atau
postpartum (Sibai, 2012). Hipertensi post partum dapat dikaitkan dengan
persistensi Hipertensi Gestasional, preeklampsia, atau Hipertensi kronis yang
sudah ada sebelumnya, atau dapat berkembang secara sekunder akibat
penyebab lainnya (Tan et al, 2002). Pada ibu dengan preeklampsia
superimposed, ada penurunan tekanan darah dalam 48 jam, tetapi akan
meningkat lagi antara 3-6 hari pasca persalinan (Sibai, 2012). Pada beberapa
pasien, penurunan serebral dan penurunan temuan laboratorium akan
bermanifestasi yang akan mengarah ke HELLP sindrom. Preeklampsia dan
eklampsia merupakan kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin,
dan dalam masa nifas. Postpartum pre-eklampsia merupakan hipertensi yang
terjadi dalam waktu 48 jam dan bisa sampai 6 minggu pasca persalinan disertai
gangguan organ ibu yang pernah mengalami episode hipertensi pada kehamilan
dapat terus mengalaminya higga periode postpartum. Risiko ini masih cukup
tinggi selama 28 hari post partum. Ibu yang memiliki tanda-tanda klinis
hipertensi akibat kehamilan masih berisiko mengalami eklampsia pada
beberapa jam atau beberapa hari setelah persalinan. Insiden preeklampsia
/eklampsia menurut Riset yang dilakukan Khidri (2019) menyebutkan kasus
antepartum eklampsia terjadi sebanyak 54,5%, PEB sebanyak 12,5%,
Postpartum eklampsia sebanyak 8%, HELLP sindrom 3,6 %, intra partum
eklampsia 2,7 % dan postpartum PEB 1,8%.
Risiko komplikasi preeklampsia/eklampsia terhadap morbiditas dan
mortalitas pada ibu hamil, bersalin dan nifas yang sangat tinggi, perlu
dilakukan upaya untuk skrining, pencegahan dan penatalaksanaan adequat,
tepat waktu dan sesuai prosedur. Perawatan dan observasi ketat pada ibu
dengan preeklampsia merupakan salah satu usaha nyata yang dapat dilakukan
untuk mencegah timbulnya komplikasi-komplikasi sebagai akibat lanjut dari
preeklampsia tersebut. Oleh karena itu, bidan harus melakukan penanganan
yang cepat dan tepat dalam penanganan awal dan sistem rujukan agar kematian
akibat preeklampsia berat dapat dihindari.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu nifas
dengan preeklampsia berat (PEB) dengan menerapkan pola pikir melalui
pendekatan manajemen kebidanan kompetensi bidan di Indonesia
menggunakan SOAP.
1.2.2 Tujuan Khusus
Diharapkan mahasiswa profesi mampu:
1. Menjelaskan konsep dasar nifas dengan preeklampsia berat.
2. Menjelaskan konsep dasar asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan
preeklampsia berat (PEB)
3. Melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan preeklampsia
berat (PEB)
4. Mendokumentasikan asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan
preeklampsia berat (PEB) dalam bentuk SOAP
5. Membahas kasus yang didapat pada pada ibu nifas dengan PEB dengan
konsep dasar teori yang ada

1.3 Manfaat
1. Manfaat bagi penulis
Penulis dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan selama
pendidikan

2. Manfaat bagi klien


Klien mendapatkan asuhan kebidanan yang komprehensif dan terhindar dari
komplikasi.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Masa Nifas
2.1.1 Definisi
Masa nifas (puerperium) dimulai sejak 2 jam setelah lahirnya plasenta
sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelahnya. Puerperium berasal dari kata
puer yang berarti bayi, dan parous berarti melahirkan, jadi puerperium
adalah masa setelah lahirnya bayi sampai kembali pulihnya alat-alat
kandungan seperti pra hamil (Rini et al, 2017).
Masa nifas (puerperium) adalah masa pemulihan kembali, mulai dari
persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti pra hamil.
Lama masa nifas 6-8 minggu (Sofian, 2013).
Masa nifas adalah masa sesudah persalinan dan kelahiran bayi,
plasenta, serta selaput yang diperlukan untuk memulihkan kembali organ
kandungan seperti sebelum hamil dengan waktu kurang lebih 6 minggu
(Walyani&Purwoastuti, 2015).

2.1.2 Tahapan masa nifas

Rini et al (2017), membagi masa nifas menjadi 3 tahapan, yakni


diantaranya adalah :

a. Periode Immediate Postpartum


Masa segera setelah plasenta lahir sampai dengan 24 jam. Pada masa
ini sering terdapat masalah, misalnya perdarahan karena atonia uteri.
Oleh karena itu bidan dengan teratur harus melakukan pemeriksaan
kontraksi uterus, pengeluaran lochea, tekanan darah dan suhu.
b. Periode Early Postpartum (24 jam – 1 minggu)
Pada fase ini bidan memastikan involusi uteri dalam keadaan normal,
tidak ada perdarahan, lochea tidak berbau busuk, tidak demam, ibu
cukup mendapatkan makanan dan cairan, serta ibu dapat menyusui
dengan baik.
c. Periode Late Postpartum (1 minggu – 5 minggu)
Pada periode ini bidan tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan
sehari-hari serta konseling KB.
Tahapan nifas sesuai masa pemulihan, yaitu:
a. Puerperium dini
Kepulihan dimana ibu diperbolehkan berdiri dan berjalan serta
menjalankan aktivitas layaknya wanita yang bukan postpartum (40
hari).

b. Puerperium Intermediate
Kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang lamanya 6-8
minggu.
c. Remote Puerperium
Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama
jika pada ibu yang selama hamil dan persalinan mengalami
komplikasi.

2.1.3 Perubahan fisiologis pada masa nifas

1) Sistem reproduksi
a. Uterus
Adapun mengenai proses terjadinya involusi dapat digambarkan
sebagai berikut (Medforth, Battersby, Evans, Marsh, & Walker,
2002).
1. Iskemia: otot uterus berkontraksi dan beretraksi, membatasi
aliran darah di dalam uterus.
2. Fagositosis: jaringan elastik dan fibrosa yang sangat banyak
dipecahkan.
3. Autolisis: serabut otot dicerna oleh enzim-enzim proteolitik
(lisosim).
4. Semua produk sisa masuk ke dalam aliran darah dan dikeluarkan
melalui ginjal.
5. Lapisan desidua uterus terkikis dalam pengeluaran darah
pervaginam dan endometrium yang baru mulai terbentuk dari
sekitar 10 hari setelah kelahiran dan selesai pada minggu ke 6
pada akhir masa nifas.
6. Ukuran uterus berkurang dari 15 cm x 11 cm x 7,5 cm menjadi
7,5 cm x 5 cm x 2,5 cm pada minggu keenam.
7. Berat uterus berkurang dari 1000 gram sesaat setelah lahir,
menjadi 60 gram pada minggu ke-6.
8. Kecepatan involusi: terjadi penurunan bertahap sebesar 1
cm/hari. Di hari pertama, uteri berada 12 cm di atas simfisis pubis
dan pada hari ke-7 sekitar 5 cm di atas simfisis pubis. Pada hari
ke-10, uterus hampir tidak dapat dipalpasi atau bahkan tidak
terpalpasi.
9. Involusi akan lebih lambat setelah seksio sesaria.
10. Involusi akan lebih lambat bila terdapat retensi jaringan plasenta
atau bekuan darah terutama jika dikaitkan dengan infeksi.
Segera setelah plasenta lahir, uterus mengalami kontraksi dan retraksi.
Ototnya akan menjadi keras sehingga dapat menutup / menjepit
pembuluh darah besar yang bermuara pada bekas implantasi plasenta.
Proses involusi uterus terjadi secara progressive dan teratur yaitu 1-2
cm setiap hari dari 24 jam pertama post partum sampai akhir minggu
pertama saat tinggi fundus sejajar dengan tulang pubis. Pada minggu
keenam uterus kembali normal seperti keadaan sebelum hamil kurang
lebih 50-60 gram. Uterus secara berangsur-angsur menjadi kecil
(involusi) sehingga akhirnya kembali seperti sebelum hamil.

Involusi Tinggi Fundus Uteri Berat Uterus


Bayi lahir Setinggi pusat 1000 gram
Plasenta Lahir 2 jari bawah pusat 750 gram
1 minggu Pertengahan pusat simfisis 500 gram
2 minggu Tidak teraba di atas simfisis 350 gram
6 minggu Bertambah kecil 50 gram
8 minggu Sebesar normal 30 gram
Sumber : Baston, 2011

b. Perineum
Dalam proses persalinan, terkadang dilakukan episiotomi atas
indikasi atau dapat juga terjadi robekan perineum. Luka itu akan di
jahit untuk mengembalikan fungsi perineum. Setelah persalinan
perineum menjadi kendur karena teregang oleh tekanan kepala bayi
yang bergerak maju. Pulihnya otot perineum terjadi sekitar 5-6
minggu post partum dan hal ini akan lebih cepat pulih bila dibantu
dengan latihan atau senam postpartum. Perineum mendapat suplai
darah yang banyak karena adanya laserasi atau luka episiotomi pada
perineum. Luka jahitan dapat sembuh dalam 7 hari tetapi laserasi
yang luas akan bersifat sensitif dan akan terasa sakit untuk beberapa
minggu.
c. Lochea
Lochea adalah cairan sekret yang berasal dari kavum uteri dan
vagina, yang keluar pada saat masa nifas.
Macam-macam lochea :
- Locha Rubra (cruenta)
Berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua,
verniks caseosa, lanugo dan mekonium selama 2 hari pasca
persalinan.
- Lochea Sanguinolenta
Berwarna merah kuning berisi darah dan lendir yang keluar
pada hari ke-3 sampai ke-7 pasca persalinan.
- Lochea Serosa
Berwarna kuning, cairan tidak berdarah lagi pada hari ke-7-14
pasca persalinan.
- Lochea Alba
Cairan putih, setelah 2 minggu.
- Lochia Purulenta
Terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau busuk.
- Lochiostasis
Lochia yang tidak lancar pengeluarannya
d. Serviks, Vulva dan Vagina
Setelah persalinan bentuk serviks agak menganga seperti corong
berwarna merah kehitaman. Konsistensinya lunak, kadang-kadang
terdapat perlukaan-perlukaan kecil. Setelah bayi lahir, tangan masih
bisa masuk rongga rahim. Setelah 2 jam dapat dilalui oleh 2-3 jari
dan setelah 7 hari hanya dapat dilalui 1 jari. Vulva dan vagina
mengalami penekanan serta perenggangan yang sangat besar selama
proses melahirkan bayi, dan dalam beberapa hari pertama sesudah
proses tersebut kedua organ ini tetap berada dalam keadaan kendur.
Setelah 3 minggu postpartum, vulva dan vagina kembali kepada
keadaan tidak hamil dan rugae pada vagina secara berangsur- angsur
akan muncul kembali. Himen tampak sebagai carunculae
mirtyformis, yang khas pada ibu multipara. Ukuran vagina agak
sedikit lebih besar dari sebelum persalinan.
e. Payudara
Lepasnya plasenta dan berkurangnya fungsi korpus luteum,
mengakibatkan estrogen dan progesterone berkurang, prolaktin akan
meningkat dalam darah yang merangsang sel-sel acini untuk
memproduksi ASI. Keadaan payudara pada dua hari pertama post
partum sama dengan keadaan dalam masa kehamilan. Pada hari
ketiga dan keempat buah dada membesar, keras dan nyeri ditandai
dengan sekresi air susu sehingga akan terjadi proses laktasi
(Wahyuningsih, 2018).
f. Peritoneum dan Dinding Abdomen
Ligamentum latum dan rotundum memerlukan waktu yang cukup
lama untuk pulih dari peregangan dan pelonggaran yang terjadi
selama kehamilan. Sebagai akibat dari ruptur serat elastik pada kulit
dan distensi lama pada uterus karena kehamilan, maka dinding
abdomen tetap lunak dan flaksid. Beberapa minggu dibutuhkan oleh
struktur-struktur tersebut untuk kembali menjadi normal. Pemulihan
dibantu oleh latihan. Kecuali untuk striae putih, dinding abdomen
biasanya kembali ke penampilan sebelum hamil. Akan tetapi ketika
otot tetap atonik, dinding abdomen juga tetap melemas. Pemisahan
yang jelas otot-otot rektus (diastasis recti) dapat terjadi
(Cunningham et al., 2013).

2) Sistem perkemihan
Pelvis, ginjal dan ureter yang teregang dan berdilatasi selama
kehamilan kembali normal pada akhir minggu keempat setelah
melahirkan. Pasca persalinan terdapat peningkatan kapasitas kandung
kemih, pembengkakan dan trauma jaringan sekitar uretra yang terjadi
selama proses melahirkan. Untuk postpartum dengan tindakan SC, efek
konduksi anestesi yang menghambat fungsi neural pada kandung
kemih. Distensi yang berlebihan pada kandung kemih dapat
mengakibatkan perdarahan dan kerusakan lebih lanjut. Pengosongan
kandung kemih harus diperhatikan. Kandung kemih biasanya akan
pulih dalam waktu 5-7 hari pasca melahirkan, sedangkan saluran kemih
secara keseluruhan akan pulih dalam waktu 2-8 minggu tergantung
pada keadaan umum ibu atau status ibu sebelum persalinan, lamanya
kala II yang dilalui, besarnya tekanan kepala janin saat intrapartum.
Dinding kandung kencing pada ibu postpartum memperlihatkan adanya
oedem dan hyperemia. Kadang-kadang oedema trigonium,
menimbulkan abstraksi dari uretra sehingga terjadi retensio urine.
Kandung kencing dalam masa nifas kurang sensitif dan kapasitasnya
bertambah, sehingga kandung kencing penuh atau sesudah kencing
masih tertinggal urine residual (normal + 15 cc). Sisa urine dan trauma
pada kandung kencing waktu persalinan memudahkan terjadinya
infeksi. Acetonuri terutama setelah partus yang sulit dan lama yang
disebabkan pemecahan karbohidrat dan lemak untuk menghasilkan
energi, karena kegiatan otot-otot rahim meningkat. Pada masa hamil,
perubahan hormonal yaitu kadar steroid tinggi yang berperan
meningkatkan fungsi ginjal. Begitu sebaliknya, pada pasca melahirkan
kadar steroid menurun sehingga menyebabkan penurunan fungsi ginjal.
Fungsi ginjal kembali normal dalam waktu satu bulan setelah wanita
melahirkan. Urin dalam jumlah yang besar akan dihasilkan dalam
waktu 12 – 36 jam sesudah melahirkan.
Kurang lebih 40% wanita nifas mengalami proteinuria yang
nonpatologis sejak pasca melahirkan sampai 2 hari post partum
proteinuri terjadi akibat dari autolisis sel-sel otot. Dilatasi ureter dan
pyelum normal dalam waktu 2 minggu. Urine biasanya berlebihan
(poliuri) antara hari kedua dan kelima, hal ini disebabkan karena
kelebihan cairan sebagai akibat retensi air dalam kehamilan dan
sekarang dikeluarkan. Kadang-kadang hematuri akibat proses katalitik
involusi. Diuresis yang normal dimulai segera setelah bersalin sampai
hari kelima setelah persalinan. Jumlah urine yang keluar dapat melebihi
3000 ml per harinya. Hal ini diperkirakan merupakan salah satu cara
untuk menghilangkan peningkatan cairan ekstraseluler yang merupakan
bagian normal dari kehamilan. Ureter dan pelvis renalis yang
mengalami distensi akan kembali normal pada 2-8 minggu setelah
persalinan (Cunningham, 2012; Wahyuningsih, 2018). Bila wanita
pasca persalinan tidak dapat berkemih dalam waktu >4 jam pasca
persalinan, mungkin ada masalah dan sebaiknya lakukan kateterisasi.
Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu ≤4 jam,
lakukan upaya-upaya merangsang berkemih dengan proses fisiologis.
Dan bila jumlah residu >200 ml maka kemungkinan ada gangguan
proses urinasinya, sehingga kateter harus tetap terpasang dan dibuka 4
jam kemudian. Bila volume urine ≤200 ml, kateter dibuka dan pasien
diharapkan dapat berkemih seperti biasa (Varney, 2015).
3) Sistem gastrointestinal
Selama persalinan, motilitas lambung berkurang, terutama akibat nyeri,
rasa takut dan obat narkotik. Penurunan tonus sfingter esofagus bawah,
penurunan motilitas lambung dan peningkatan keasaman lambung
menyebabkan perlambatan pengosongan lambung. Tonus dan tekanan
sfingter esofagus bawah kembali normal dalam 6 minggu selama
persalinan. Namun pada masa nifas dini, penurunan tonus otot dan
motilitas saluran cerna dapat menyebabkan relaksasi abdomen,
peningkatan distensi gas dan konstipasi segera setelah melahirkan.
Defekasi pertama biasanya terjadi dalam 2 atau 3 hari setelah persalinan
(Coad, 2006). Beberapa hal yang berkaitan dengan perubahan pada
sistem pencernaan, antara lain:
a. Nafsu Makan
Pasca melahirkan biasanya ibu merasa lapar, karena metabolisme
ibu meningkat saat proses persalinan, sehingga ibu dianjurkan untuk
meningkatkan konsumsi makanan, termasuk mengganti kalori,
energi, darah dan cairan yang telah dikeluarkan selama proses
persalinan. Ibu dapat mengalami peubahan nafsu makan. Pemulihan
nafsu makan diperlukan waktu 3–4 hari sebelum faal usus kembali
normal. Meskipun kadar progesteron menurun setelah melahirkan,
asupan makanan juga mengalami penurunan selama satu atau dua
hari.
b. Motilitas
Secara fisiologi terjadi penurunan tonus dan motilitas otot traktus
pencernaan menetap selama waktu yang singkat beberapa jam
setelah bayi lahir, setelah itu akan kembali seperti keadaan sebelum
hamil. Pada postpartum SC dimungkinkan karena pengaruh
analgesia dan anastesia bisa memperlambat pengembalian tonus dan
motilitas ke keadaan normal.
c. Pengosongan Usus
Pasca melahirkan, ibu sering mengalami konstipasi. Hal ini
disebabkan tonus otot usus menurun selama proses persalinan dan
awal masa pascapartum. Pada keadaan terjadi diare sebelum
persalinan, enema sebelum melahirkan, kurang asupan nutrisi,
dehidrasi, hemoroid ataupun laserasi jalan lahir, meningkatkan
terjadinya konstipasi postpartum. Sistem pencernaan pada masa
nifas membutuhkan waktu beberapa hari untuk kembali normal.
Beberapa cara agar ibu dapat buang air besar kembali teratur, antara
lain pengaturan diit yang mengandung serat buah dan sayur, cairan
yang cukup, serta pemberian informasi tentang perubahan eliminasi
dan penatalaksanaanya pada ibu (Wahyunuingsih, 2018).
4) Sistem hematologi
Kadar hemoglobin kembali ke kadar normal prahamil dalam 4-6
minggu dan jumlah sel darah putih turun ke normal dalam seminggu
setelah persalinan. Jumlah trombosit meningkat pada beberapa hari
pertama setelah persalinan, kemudian turun secara bertahap sampai ke
kadar prahamil. Aktifitas fibrinolitik maksimum segera setelah
persalinan selama beberapa jam sebagai respons terhadap keluarnya
plasenta, yang menghasilkan inhibitor fibrinolitik. Hasil akhir adalah
keadaan hiperkoagulabilitas pada kehamilan meningkat pada masa
nifas awal dan kemudian secara perlahan kembali ke keadaan prahamil
dalam beberapa minggu. Mobilisasi merupakan hal penting untuk
mengoptimalkan aliran balik vena untuk menghindari stasis di dalam
jaringan vaskular sehingga resiko trombosis vena profunda dapat
berkurang (Coad, 2006). Pada hari pertama postpartum, kadar
fibrinogen dan plasma akan sedikit menurun tetapi darah lebih
mengental dengan peningkatan viskositas, dan juga terjadi peningkatan
faktor pembekuan darah serta terjadi Leukositosis dimana jumlah sel
darah putih dapat mencapai 15.000 selama persalinan akan tetap tinggi
dalam beberapa hari pertama dari masa postpartum. Jumlah sel darah
putih tersebut masih bisa naik lagi sampai 25.000-30.000, terutama
pada ibu dengan riwayat persalinan lama (Cunningham, 2012).
5) Sistem kardiovaskular
Perubahan volume darah bergantung pada beberapa faktor, misalnya
kehilangan darah selama melahirkan dan mobilisasi, serta pengeluaran
cairan ekstravaskular (edema fisiologis). Kehilangan darah merupakan
akibat penurunan volume darah total yang cepat, tetapi terbatas. Setelah
itu terjadi perpindahan normal cairan tubuh yang menyebabkan volume
darah menurun dengan lambat. Pada minggu ke-3 dan ke-4 setelah bayi
lahir, volume darah biasanya menurun sampai mencapai volume darah
sebelum hamil. Pada persalinan pervaginam, ibu kehilangan darah
sekitar 300-400 cc. Pada persalinan dengan tindakan SC, maka
kehilangan darah dapat dua kali lipat. Perubahan pada sistem
kardiovaskuler terdiri atas volume darah (blood volume) dan hematokrit
(haemoconcentration). Pada persalinan pervaginam, hematokrit akan
naik sedangkan pada persalinan dengan SC, hematokrit cenderung
stabil dan kembali normal setelah 4-6 minggu postpartum. Tiga
perubahan fisiologi sistem kardiovaskuler pascapartum yang terjadi
pada wanita antara lain sebagai berikut:
a. Hilangnya sirkulasi uteroplasenta yang mengurangi ukuran
pembuluh darah maternal 10-15%.
b. Hilangnya fungsi endokrin placenta yang menghilangkan stimulus
vasodilatasi.
c. Terjadinya mobilisasi air ekstravaskular yang disimpan selama
wanita hamil.
Denyut jantung, volume dan curah jantung meningkat sepanjang masa
hamil. Segera setelah wanita melahirkan, keadaan ini meningkat
bahkan lebih tinggi selama 30-60 menit karena darah yang biasanya
melintasi sirkulasi uteroplacenta tiba-tiba kembali ke sirkulasi
umum/ke sistem vena kava. Nilai ini meningkat pada semua jenis
kelahiran. Curah jantung biasanya tetap naik dalam 24-48 jam
postpartum dan menurun ke nilai sebelum hamil dalam 10 hari
(Cunningham et al., 2012). Frekuensi jantung berubah mengikuti pola
ini. Resistensi vaskuler sistemik mengikuti secara berlawanan. Hal ini
diperkuat oleh mobilisasi cairan ekstrasel. Kehamilan normal
dihubungkan dengan peningkatan cairan ekstraseluler yang cukup
besar, dan diuresis postpartum merupakan kompensasi yang fisiologis
untuk keadaan ini. Ini terjadi teratur antara hari ke-2 dan ke-5 dan
berkaitan dengan hilangnya hipervolemia kehamilan residual. Pada
preeklampsi, baik retensi cairan antepartum maupun diuresis
postpartum dapat sangat meningkat (Cunningham et al., 2012).
Resolusi hipertrofi ventrikel berlangsung lambat. Remodeling vaskular
pada kehamilan menetap selama paling sedikit setahun setelah
persalinan dan diperkuat oleh kehamilan selanjutnya. Karena volume
darah dalam sirkulasi dan curah jantung turun pada masa nifas dan
ventrikel yang hipertrofi lambat mengalami remodelling, isi sekuncup
relatif tetap tinggi. Hal ini berarti kecepatan denyut jantung pada masa
nifas berkurang karena isi sekuncup secara proporsional memberi
kontribusi yang lebih besar terhadap penurunan curah jantung. Dengan
demikian, wanita masa nifas lazim mengalami bradikardia (penurunan
kecepatan denyut jantung menjadi sekitar 60-70 kali per menit).
Peningkatan kecepatan denyut mungkin mengindikasikan anemia berat,
trombosis vena atau infeksi (Coad, 2006).
6) Sistem Muskuloskeletal
Otot-otot uterus berkontraksi segera setelah persalinan. Pembuluh-
pembuluh darah yang berada di antara anyaman otot-otot uterus akan
terjepit. Proses ini akan menghentikan perdarahan setelah placenta
dilahirkan. Ligamen-ligamen, diafragma pelvis, serta fasia yang
meregang pada waktu persalinan, secara berangsur-angsur menjadi
pulih kembali ke ukuran normal. Pada sebagian kecil kasus uterus
menjadi retrofleksi karena ligamentum retundum menjadi kendor.
Tidak jarang pula wanita mengeluh kandungannya turun. Setelah
melahirkan karena ligamen, fasia, dan jaringan penunjang alat genitalia
menjadi kendor. Stabilitasi secara sempurna terjadi pada 6-8 minggu
setelah persalinan. Sebagai akibat putusnya serat-serat kulit dan distensi
yang berlangsung lama akibat besarnya uterus pada waktu hamil,
dinding abdomen masih agak lunak dan kendor untuk sementara waktu.
Untuk memulihkan kembali jaringan-jaringan penunjang alat genitalia,
serta otot-otot dinding perut dan dasar panggul, dianjurkan untuk
melakukan latihan atau senam nifas, bisa dilakukan sejak 2 hari post
partum (Wahyuningsih, 2018).
7) Sistem endokrin
Selama proses kehamilan dan persalinan terdapat perubahan pada
sistem endokrin, terutama pada hormone-hormon yang berperan dalam
proses tersebut, misalnya:
a. Oksitosin
Oksitosin disekresikan dari kelenjar otak bagian belakang. Selama
tahap ketiga persalinan, hormone oksitosin berperan dalam
pelepasan plasenta dan mempertahankan kontraksi, sehingga
mencegah terjadinya perdarahan. Isapan bayi dapat merangsang
produksi ASI dan sekresi oksitosin. Hal tersebut membantu uterus
kembali ke bentuk normal seperti pra hamil.

b. Prolaktin
Menurunnya kadar esterogen menimbulkan terangsangnya kelenjar
pituitary bagian belakang untuk mengeluarkan prolaktin, hormone
ini berperan dalam pembesaran payudara untuk merangsang
produksi susu. Pada wanita yang menyusui bayinya, kadar prolaktin
tetap tinggi dan pada permulaan ada rangsangan folikel dalam
ovarium yang ditekan. Pada wanita yang tidak menyusui bayinya
tingkat sirkulasi prolaktin menurun dalam 14-21 hari setelah
persalinan, sehingga merangsang kelenjar bawah depan otak yang
mengontrol ovarium kearah permulaan pola produksi esterogen dan
progesterone yang normal, pertumbuhan folikel, ovulasi dan
menstruasi.
c. Esterogen dan progesteron
Selama hamil volume darah normal meningkat walaupun
mekanismenya secara penuh belum dimengerti. Diperkirakan bahwa
tingkat esterogen yang tinggi memperbesar hormone antidiuretik
yang meningkatkan volume darah. Di samping itu, progesteron
mempengaruhi otot halus yang mengurangi perangsangan dan
peningkatan pembuluh darah. Hal ini sangat mempengaruhi saluran
kemih, ginjal, usus, diding vena, dasar panggul, perineum, vulva dan
vagina (Wahyuningsih, 2018).
8) Perubahan tanda-tanda vital
a. Suhu
Suhu tubuh wanita inpartu tidak lebih dari 37,20C. Sesudah partus
dapat naik kurang lebih 0,2-0,50C dari keadaan normal, namun tidak
akan melebihi 380C. Perubahan suhu tubuh ini hanya terjadi
beberapa jam setelah persalinan, setelah ibu istirahat dan mendapat
asupan nutrisi serta minum yang cukup, maka suhu tubuh akan
kembali normal. Bila suhu lebih dari 380C, mungkin terjadi infeksi
pada klien.
b. Nadi dan pernapasan
Nadi berkisar antara 60-80 denyutan per menit setelah partus, dan
dapat terjadi bradikardi. Bila terdapat takikardi dan suhu tubuh tidak
panas mungkin ada perdarahan berlebihan atau ada vitium kordis
pada penderita. Perubahan nadi yang menunjukkan frekuensi
bradikardi (100 kali permenit) menunjukkan adanya tanda shock
atau perdarahan. Pada masa nifas umumnya denyut nadi labil
dibandingkan dengan suhu tubuh, sedangkan pernapasan akan
sedikit meningkat setelah partus kemudian kembali seperti keadaan
semula.
Frekuensi pernapasan relatif tidak mengalami perubahan pada masa
postpartum, berkisar pada frekuensi pernapasan orang dewasa 12-16
kali permenit.
c. Tekanan darah
Setelah kelahiran bayi, harus dilakukan pengukuran tekanan darah.
Jika ibu tidak memiliki riwayat morbiditas terkait hipertensi,
superimposed hipertensi serta preeklampsi/eklampsi, maka biasanya
tekanan darah akan kembali pada kisaran normal dalam waktu 24
jam setelah persalinan. Pada beberapa kasus ditemukan keadaan
hipertensi post partum dan akan menghilang dengan sendirinya
apabila tidak terdapat penyakit-penyakit lain yang menyertainya
dalam ½ bulan tanpa pengobatan (Wahyuningsih, 2018).

2.1.4 Adaptasi psikologis pada masa nifas


Periode masa nifas merupakan waktu dimana ibu mengalami stress
pasca persalinan, terutama pada ibu primipara. Periode ini diekspresikan
oleh Reva Rubin yang terjadi pada 3 tahap berikut :
1) Taking in period
Terjadi pada 1-2 hari setelah persalinan. Ibu masih pasif dan sangat
bergantung pada orang lain, fokus perhatian terhadap tubuhnya, ibu
lebih mengingat pengalaman melahirkan dan persalinan yang dialami,
serta kebutuhan tidur dan nafsu makan meningkat.
2) Taking hold period
Berlangsung 3-4 hari postpartum. Ibu lebih berkonsentrasi pada
kemampuannya dalam menerima tanggung jawab sepenuhnya
terhadap perawatan bayi. Pada masa ini ibu menjadi sangat sensitive,
sehingga membutuhkan bimbingan dan dorongan perawat untuk
mengatasi kritikan yang dialami ibu.
3) Letting go period
Dialami setelah ibu dan bayi tiba di rumah. Ibu secara penuh
menerima tanggung jawab sebagai “seorang ibu” dan menyadari atau
merasa kebutuhan bayi sangat bergantung pada dirinya.

2.1.5 Tanda bahaya masa nifas

Wahyuningsih (2018), menyebutkan tanda bahaya pada masa nifas


yaitu sebagai berikut :

a. Perdarahan vagina yang keluar biasa atau tiba-tiba bertambah banyak/


perdarahan post partum.
b. Pengeluaran vagina yang baunya menusuk.
c. Rasa sakit dibagian bawah abdomen atau punggung.
d. Sakit kepala yang terus-menerus, nyeri ulu hati atau masalah
pengelihatan.
e. Pembengkakan di wajah atau di tangan.
f. Demam, muntah, rasa sakit waktu buang air kecil.
g. Payudara yang berubah menjadi merah, panas, atau terasa sakit.
h. Kehilangan nafsu makan dalam waktu yang lama.
i. Rasa sakit, merah, lunak, atau pembengkakan di kaki

2.1.6 Kebutuhan dasar dan perawatan masa nifas


1) Mobilisasi / ambulasi
Ambulasi sedini mungkin sangat dianjurkan, kecuali ada kontra
indikasi. Ibu yang baru melahirkan mungkin enggan bergerak karena
letih dan sakit. Berdasarkan penelitian ibu sudah diperbolehkan turun
dari tempat tidur dalam kurun waktu 1- 2 jam setelah persalinan dengan
bantuan keluarga atau bidan. Ambulasi ini akan meningkatkan sirkulasi
dan mencegah risiko tromboflebitis, meningkatkan fungsi kerja
peristaltik dan kandung kemih, sehingga mencegah distensia abdominal
dan konstipasi. Bidan harus menjelaskan pada ibu tentang tujuan dan
manfaat ambulasi dini. Ambulasi ini dilakukan secara bertahap sesuai
kekuatan ibu (Wahyuningsih, 2018).
2) Diet / nutrisi
Tidak ada kontra indikasi dalam pemberian nutrisi postpartum. Ibu
harus mendapatakan nutrisi yang lengkap dengan tambahan kalori (200
– 500 kkal), yang akan mempercepat pemulihan kesehatan dan
kekuatan. Ibu nifas memerlukan diet untuk mempertahankan tubuh
terhadap infeksi, mencegah konstipasi, dan untuk memulai proses
pemberian ASI ekslusif. Asupan kalori perhari ditingkatkan sampai
2700 kkal. Asupan cairan perhari ditingkatkan sampai 3000 ml (susu
1000 ml). Suplemen zat besi dapat diberikan kepada ibu nifas selama 4
minggu pertama setelah kelahiran (Wahyunngsih, 2018).
3) Eliminasi
Menurut Wahyuningsih (2018) pola eliminasi pada ibu nifas dibagi
menjadi :
- Buang air kecil
Ibu diminta untuk miksi 6 jam postpartum. Jika dalam 8 jam
postpartum ibu belum dapat berkemih atau sekali berkemih
belum melebihi 100 cc, maka dilakukan katerisasi. Akan tetapi,
kalau ternyata kandung kemih penuh, tidak perlu menunggu 8 jam
untuk kateterisasi.

- Buang air besar


Ibu post partum diharapkan dapat BAB setelah hari kedua post
partum. Jika pada hari ketiga belum juga BAB, maka perlu diberi
obat pencahar per oral atau per rektal.
4) Hygiene
Masa nifas adalah masa yang rentan terjadi infeksi pada ibu. Oleh
karena itu, ibu nifas disarankan :
- Menjaga kebersihan seluruh tubuh dengan mandi.
- Membersihkan daerah kelamin sabun dan air. Untuk
membersihkan daerah disekitar kelamin dilakukan dari arah
depan ke belakang kemudian didaerah sekitar anus setiap selesai
buang air kecil maupun buang air besar. Keringkan dengan
handuk dengan cara ditepuk – tepuk dari arah muka ke belakang.
- Menyarankan ibu untuk mengganti pembalut setidaknya dua kali
sehari.
- Cuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah membersihkan
daerah kelaminnya (Wahyunimgsih, 2018).
5) Perawatan payudara
Perawatan payudara dilakukan untuk memperlancar pengeluaran ASI.
Pada payudara terjadi proses laktasi, sehingga perlu pengkajian fisik
dengan perabaan apakah terdapat benjolan, pembesaran kelenjar, atau
abses serta bagaimana keadaan puting. Merawat payudara dengan
menjaga tetap bersih dan kering, menggunakan bra yang menyokong
payudara (Wahyuningsih,2018).
6) Kebutuhan psikologis
Wanita mengalami banyak perubahan emosi / psikologis selama masa
nifas, sementara ia menyesuaikan diri menjadi seorang ibu. Cukup
sering ibu menunjukkan depresi ringan beberapa hari setelah kelahiran.
Hal ini sering terjadi akibat sejumlah faktor seperti :
 Kekecewaan emosional yang mengikuti rasa puas dan takut
yang dialami kebanyakan wanita selama kehamilan dan
persalinan.
 Rasa sakit masa nifas awal
 Kelelahan karena kurang tidur selama persalinan dan
postpartum
 Kecemasan tentang kemampuannya merawat bayi
 Ketakutan tentang penampilan yang tidak menarik lagi bagi
suaminya.
Pada sebagian besar kasus tidak diperlukan terapi yang efektif, kecuali
antisipasi, pemahaman dan rasa aman. Seorang bidan dapat lebih dekat
dengan ibu dan berusaha memberi nasihat yang berarti dan meminta
keluarga untuk tetap memberi dukungan moral dan perhatian terhadap
ibu. Kaji bagaimana perasaannya, termasuk mood (suasana hati) dan
perasaannya menjadi orangtua. Keluhan atau masalah yang sekarang
dirasakan, perasaan tentang persalinan dan kelahiran bayinya. Bayi
yang baru dilahirkan segera disusukan kepada ibu agar ikatan antara ibu
dan bayi (bounding) semakin erat. Menyusui bayi sedini mungkin
adalah terciptanya rasa kasih sayang, sehingga tumbuh pertalian yang
intim antara ibu dan anak (Bahiyatun, 2009).
7) Istirahat
Istirahat sangat penting untuk ibu yang menyusui. Seorang wanita yang
dalam masa nifas dan menyusui memerlukan waktu lebih banyak untuk
istirahat karena sedang dalam proses penyembuhan, terutama organ-
organ reproduksi dan untuk kebutuhan menyusui bayinya. Bayi
biasanya terjaga saat malam hari. Hal ini akan mengubah pola istirahat
ibu, oleh karena itu dianjurkan istirahat / tidur saat bayi sedang tidur.
Ibu dianjurkan untuk menyesuaikan jadwalnya dengan jadwal bayi dan
mengejar kesempatan untuk istirahat. Jika ibu kurang istirahat akan
mengakibatkan berkurangnya jumlah produksi ASI, memperlambat
proses involusi, menyebabkan depresi dan menimbulkan rasa
ketidakmampuan merawat bayi (Wahyuningsih, 2018).
8) Kebutuhan seksual
Secara fisik aman untuk memulai hubungan suami-isteri begitu darah
berhenti dan ibu dapat memasukkan 1 atau 2 jari ke dalam vagina tanpa
rasa nyeri. Begitu darah berhenti dan ibu tidak merasakan
ketidaknyamanan, inilah saat yang aman untuk memulai hubungan
suami-isteri kapan saja ibu siap. Banyak budaya yang mempunyai
tradisi menunda hubungan suami-isteri sampai waktu tertentu, misalnya
setelah 40 hari persalinan. Keputusan bergantung pada pasangan yang
bersangkutan (Bahiyatun, 2009)
9) Keluarga berencana (KB)
Idealnya pasangan harus menunggu sekurang-kurangnya 2 tahun
sebelum ibu hamil kembali. Setiap pasangan harus menentukan sendiri
kapan dan bagaimana mereka ingin merencanakan kehamilan. Namun
petugas kesehatan dapat membantu merencanakan dengan mengajarkan
kepada mereka tentang cara mencegah kehamilan yang tidak
diinginkan. Biasanya wanita tidak akan menghasilkan telur (ovulasi)
sebelum ia mendapatkan lagi haidnya selama meneteki. Oleh karena itu,
metode amenorhea laktasi dapat dipakai sebelum haid pertama kembali
untuk mencegah terjadinya kehamilan baru. Bila tidak menyusui, siklus
menstruasi biasanya akan kembali dalam waktu 6-8 minggu, tapi sulit
untuk menentukan secara klinis waktu spesifik terjadinya menstruasi
pertama setelah melahirkan (amenore laktasi). Menstruasi pertama pada
wanita menyusui dapat terjadi paling cepat pada bulan ke 2 – bulan ke
18 (Bahiyatun, 2009).

2.1.7 Kunjungan masa nifas

Kunjungan masa nifas dilakukan paling sedikit 4 kali. Kunjungan ini


bertujuan untuk menilai status ibu dan bayi baru lahir juga untuk mencegah,
mendeteksi serta menangani masalah-masalah yang terjadi (Kemenkes RI,
2013).

Kunjungan Waktu Tujuan


1 6-8 jam setelah 1. Mencegah terjadinya perdarahan masa
Persalinan nifas.
2. Mendeteksi dan merawat penyebab
lain perdarahan dan memberi rujukan
bila perdarahan berlanjut.
3. Memberikan konseling pada ibu atau
salah satu anggota keluarga mengenai
bagaiman mencegah perdarahan masa
nifas karena atonia uteri.
4. Pemberian ASI pada awal menjadi ibu.
5. Mengajarkan cara mempererat
hubungan antara ibu dan bayi baru
lahir.
6. Menjaga bayi tetap sehat dengan cara
mencegah hipotermia.
jika bidan menolong persalinan, maka bidan
harus menjaga ibu dan bayi baru lahir untuk
2 jam pertama setelah kelahiran atau sampai
ibu dan bayi dalam keadaan stabil.
2 6 hari setelah 1. Memastikan involusi berjalan normal,
persalinan uterus berkontraksi, fundus dibawah
umbilikus, tidak ada perdarahan
abnormal, tidak ada bau.
2. Menilai adanya tanda-tanda demam,
infeksi atau perdarahan abnormal
3. Memastikan ibu mendapatkan cukup
makanan, cairan dan istirahat
4. Memastikan ibu menyusui dengan baik
dan tak memperlihatkan tanda-tanda
penyulit
5. Memberikan konseling pada ibu
mengenai asuhan pada bayi, tali pusat,
menjaga bayi tetap hangat dan
merawat bayi sehari-hari
3 2 minggu Sama seperti di atas (6 hari setelah
setelah persalinan)
persalinan
4 6 minggu Menanyakan pada ibu tentang penyulit-
setelah penyulit yang ibu atau bayi alami dan
persalinan memberikan konseling untuk KB secara
dini
2.2 Konsep Dasar Preeklampsia Berat
2.2.1 Definisi

Preeklampsia adalah sindrom khas kehamilan berupa penurunan


perfusi organ akibat vasospasme dan pengaktifan endotel (Leveno, 2009).

Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu


kehamilan disertai dengan proteinuria (Saifuddin, 2009).

Preeklampsia merupakan kumpulan gejala yang timbul pada ibu


hamil, bersalin dan nifas yang terdiri dari trias ; Hipertensi, Proteinuria dan
edema yang kadang-kadang dapat disertai konvulsi sampai koma, yang
sebelumnya tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan vaskuler atau
hipertensi (Sofian, 2013).

Preeklampsia merupakan sekumpulan gejala yang khas berupa


menurunnya perfusi organ akibat vasokonstriksi dan aktivasi endotel
(Cunningham et al, 2012). American College of Obstetricians
and Gynecologists (2013) mendefinisikan preeklampsia sebagai kondisi
hipertensi yang didapatkan setelah usia kehamilan 20 minggu dengan
tekanan darah ≥140/90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan jarak 15
menit menggunakan lengan yang sama, disertai dengan keterlibatan
gangguan sistem organ dan tidak selalu ditemukan proteinuria.
2.2.2 Etiologi
Sampai saat ini penyebab preeklampsia masih belum bisa dijelaskan
dengan teori yang pasti, disebut juga The Disease of Theory. Preeklampsia
bisa terjadi karena berbagai faktor dari ibu, janin, plasenta. Terdapat
beberapa teori yang diduga sebagai penyebab dari preeklampsia, meliputi
(Pribadi, et al., 2015) :
1) Abnormalitas invasi trofoblas
Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi
lapisan desidua dan myometrium dalam dua tahap, yaitu : intersisial dan
endovaskuler. Pada tahap pertama, sel-sel trofoblas endovaskuler
menginvasi arteri spiralis ibu dengan mengganti endothelium dan
merusak jaringan elastis pada tunika media dan jaringan otot polos
dinding arteri serta menggantinya dengan material jaringan fibrinoid.
Proses ini selesai pada akhir trimester I sampai proses
deciduomyometrial junction.
Terdapat fase istirahat sampai usia kehamilan mencapai 14-16
minggu, tahap kedua terjadi invasi sel trofoblas ke dalam lumen arteri
spiralis hingga ke dalam miometrium. Kemudian proses berulang seperti
pada tahap pertama. Akhir dari proses ini adalah dinding pembuluh darah
menjadi tipis, otot dinding arteri lemas berbentuk seperti kantung yang
berdilatasi secara pasif untuk menyesuaikan kebutuhan aliran darah ke
janin.
Pada preeklampsia terjadi kegagalan pada proses invaginasi
plasenta. Pertama, tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel
trofoblas. Kedua, arteri yang mengalami invasi pada tahap pertama
berjalan normal tetapi pada tahap kedua tidak sempurna sehingga bagian
arteri spiralis dalam miometrium tetap berbentuk dinding muskuloelastis
reaktif (Powe, Levine and Karumanchi, 2011).

Gambar 2.1 Remodeling arteri spiralis pada kehamilan normal dan


preeklampsia/eklamsia (Powe, Levine and Karumanchi, 2011).

2) Gangguan toleransi immunologis antara jaringan ibu, plasenta, dan janin


Penyebab lain terjadinya preeklampsia adalah gangguan toleransi imun
ibu terhadap antigen janin dan antigen plasenta. Perubahan histologis
pada permukaan maternal-plasental diduga merupakan reaksi penolakan
akut (Cunningham et al, 2014) . Risiko preeklampsia meningkat karena
pembentukan antibodi terhadap antigen pada area plasenta yang
terganggu, kondisi ini biasanya lebih berisiko pada kehamilan pertama
atau kehamilan kedua dengan suami yang berbeda (Prawirohardjo,
2010). Hasil konsepsi dianggap sebagai benda asing yang sebagian
genetiknya berasal dari sel ibu. Pada kehamilan dengan preeklampsia,
Human Leukocyte Antigen Protein G (HLA-G) yang berfungsi sebagai
modulasi respon imun agar tidak terjadi penolakan pada hasil konsepsi
mengalami penurunan fungsi. HLA-G juga dapat merangsang produksi
sitokin yang dapat menyebabkan reaksi inflamasi, sehingga terjadi
Immune-Maladaptation pada preeklampsia. Pada kehamilan dengan
preeklampsia, kerja dari Th1 yang berperan dalam merangsang produksi
sitokin meningkat dibandingkan dengan Th2 yang memacu imunitas
humoral.

3) Gangguan adaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau


inflamasi dari kehamilan normal
Pada kehamilan normal pembuluh darah akan mengalami refrakter yaitu
pembuluh darah tidak melakukan respon terhadap bahan vasopressor,
dengan kata lain diperlukan kadar vasopresor yang lebih banyak untuk
menimbulkan vasokonstriksi. Penyebab dari kondisi ini karena adanya
sintesis prostaglandin pada sel endotel vaskular. Pada hipertensi dalam
kehamilan terjadi kehilangan daya refrakter terhadap vasokonstriktor dan
terjadi peningkatan respon terhadap bahan vasopressor (Prawirohardjo,
2010).
Perubahan inflamasi diduga merupakan kelanjutan perubahan pada tahap
pertama yang disebabkan oleh kegagalan invasi trofoblas. Sebagai
respon atas berbagai faktor dari trofoblas yang dilepaskan akibat
perubahan iskemik atau penyebab lain seperti apoptosis dan nekrotik
trofoblas yang berlebihan sehingga menimbulkan stress oksidatif
semakin meningkat. Reaksi inflamasi pada preeklampsia dapat
menyebakan disfungsi endotel juga diduga disebabkan pula oleh faktor
metabolik dan anti angiogenik serta mediator inflamasi (Cunningham et
al, 2014).

4) Faktor genetik termasuk gen predisposisi yang diwariskan serta pengaruh


epigenetik
Kejadian preeklampsia erat kaitannya dengan hubungan kerabat. Angka
kejadian tertinggi ditemukan pada anak perempuan dengan ibu
preeklampsia, selain itu seorang wanita yang pasangannya pernah
menjadi ayah dari kehamilan preeklampsia berisiko terjadi preeklampsia,
dengan kata lain faktor paternal juga ikut berperan. Faktor keturunan
yang diwariskan dari garis maternal lebih kuat 2,2 kali daripada garis
paternal (Lisowska, Pietrucha and Sakowicz, 2018).

5) Teori defisiensi gizi


Malnutrisi atau status gizi buruk yang terkait dengan defisiensi trace
element atau mikronutrien berhubungan dengan komplikasi maternal
seperti preeklampsia. Mikronutrien tersebut antara lain kalsium, fosfor,
yodium, seng, magnesium, selenium, tembaga, besi, dan fluorida.
Mikronutrien ini terlibat dalam proses migrasi sel dan invasi selama
proses remodeling arteri spiralis pada plasenta dan bertanggungjawab
untuk suplai nutrisi dari ibu ke janin. Hal ini menjadi alasan pentingnya
mengkonsumsi unsur-unsur ini selama kehamilan (Elind, 2016)

2.2.3 Patofisiologi

Kegagalan migrasi trofoblas interstitial sel dan endothelial trofoblast ke dalam arterioli miometrium

Penyakit Maternal: Faktor Imunologis, kebutuhan Faktor trofoblast


darah, nutrisi, dan oksigen berlebihan: hamil
Hipertensi tidak terpenuhi setelah 20 ganda, mola hidatidosa,
minggu hamil + DM
Kardiovaskular

Iskemia region uteroplasenter

Terapi HDK: Bahan toksis


Perubahan terjadi: bahan
Medikamentosa menurut: toksis, aktivitas endothelium Sitokin
meningkat, perlu endotel
 Vasokonstriksi Lipid Peroksid
 Pritchard
 ZuspanatauSibai
Hipertensi Permeabilitas Kapiler Meningkat Perlukaan Endotel

Iskemia organ vital


Timbunan trombosit
Edema dan nekrosis
Perlekatan fibrin
Perdarahan
Terjadi fibrinolisis
Trombositopenia

Menimbulkan gangguan fungsi, Tromboksan A2


meningkat
Khusus darahnya:

 Hemokonsentrasi Hemolisis darah/


 Hipovolumia eritrosit

Preeklampsia/
HELLP sindrom
Eklampsia

Kematian maternal:
Sembuh baik ANC Terminasi hamil:
 Dekompensasiokordis
teratur Persalinan
 Impending eklampsia  Acute vascular accident
berencana
 Fetal distress  Kegagalan organ vital
 Solusioplasenta  Perdarahan
 Kriteria Eden  IUGR-asfiksia
 Biofisikprofil fetal buruk
2.2.4 Faktor risiko
Faktor risiko yang berkaitan dengan preeklampsia antara lain :
1) Usia ibu yang ekstrim yaitu terlalu muda atau terlalu tua
Wanita yang hamil pada usia ekstrim yaitu < 20 tahun atau > 35 tahun
memiliki risiko 4,43 kali lebih tinggi untuk mengalami preeklampsia
dibandingkan dengan wanita yang hamil pada usia reproduksi 20 – 35 tahun
(Denantika, Serudji and Revilla, 2015). Pada usia < 20 tahun, ukuran uterus
belum mencapai ukuran yang normal untuk kehamilan, sehingga kemungkinan
terjadinya gangguan dalam kehamilan seperti preeklampsia menjadi lebih besar.
Faktor lain karena invasi trofoblas yang tidak sempurna dan kegagalan
remodelling arteri spiralis yang terkait dengan patofisiologi terjadinya
preeklampsia serta bagaimana ibu bereaksi (Kumari, Dash and Singh, 2016).
Pada usia > 35 tahun tahun terjadi proses degeneratif yang mengakibatkan
perubahan sruktural dan fungsional yang terjadi pada pembuluh darah perifer
yang bertanggung jawab terhadap perubahan tekanan darah, sehingga lebih
rentan mengalami preeklampsia (Denantika, Serudji and Revilla, 2015).
2) Nuliparitas
Nuliparitas adalah seorang ibu yang belum pernah melahirkan bayi untuk
pertama kali (Prawirohardjo, 2010). Penelitian Denantika (2015) menyebutkan
nuliparitas meningkatkan kejadian preeklampsia 2,2 kali lebih besar daripada
multiparitas. Secara teori, nuliparitas lebih berisiko untuk mengalami
preeklampsia daripada multiparitas karena preeklampsia biasanya timbul
pada wanita yang pertama kali terpapar vilus korion. Hal ini terjadi karena pada
wanita tersebut mekanisme imunologik pembentukan blocking antibody yang
dilakukan oleh HLA-G (Human Leukocyte Antigen G) terhadap antigen plasenta
belum terbentuk secara sempurna, sehingga proses implantasi trofoblas ke
jaringan desidual ibu menjadi terganggu. Nuliparitas juga rentan mengalami
stres dalam menghadapi persalinan yang akan menstimulasi tubuh untuk
mengeluarkan kortisol. Efek kortisol adalah meningkatkan respon simpatis,
sehingga curah jantung dan tekanan darah juga akan meningkat (Cunningham et
al, 2012). .
3) Obesitas
Obesitas adalah peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan skeletal
dan fisik akibat akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh (Wafiyatunisa, 2016).
Sedangkan WHO menjelaskan bahwa obesitas merupakan penimbunan lemak
yang berlebihan di seluruh jaringan tubuh secara merata yang dapat
menyebabkan gangguan kesehatan dan menimbulkan berbagai penyakit seperti
diabetes, tekanan darah tinggi, serangan jantung yang dapat menyebabkan
kematian. Kriteria yang paling sering digunakan untuk menentukan status gizi
seseorang adalah Indeks Masa Tubuh (IMT), IMT <18,5 dikategorikan
underweight (kurang berat badan), IMT 18,6-24,9 dikategorikan normal, dan
IMT >30 dikategorikan obesitas. Wanita dengan obesitas sebelum kehamilan
memiliki risiko 4 kali lipat mengalami preeklampsia dibandingkan dengan
wanita dengan IMT normal. Faktor-faktor seperti inflamasi, resistensi insulin,
dislipidemia, stres oksidatif, serta diet berhubungan dengan peningkatan kadar
ADMA. ADMA adalah suatu inhibitor endogen dari Nitrit oxide sintase (NOS)
yang akan meningkat pada wanita obesitas dan akan mempengaruhi terjadinya
preeklampsia. Oleh sebab itu perlu diperhatikan dalam perencanaan kehamilan
atau prakonsepsi tentang pengaturan makanan seperti diet tinggi protein, dan
rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak
berlebihan karena terbukti bahwa obesitas dapat mempengaruhi terjadinya
preeklampsia (Wafiyatunisa, 2016).
4) Riwayat preeklampsia sebelumnya
Wanita yang mengalami preeklampsia pada kehamilan sebelumnya mempunyai
risiko 8,4 kali lebih tinggi (7,1-9,9: CI 95%) pada kehamilan berikutnya (Bartsch
et al., 2016)
5) Penyakit komplikasi maternal
Penyakit komplikasi maternal yang dapat meningkatkan kejadian preeklampsia
antara lain diabetes gestasional sebesar 3,7 kali, hipertensi kronis 5,1 kali, gagal
ginjal kronis 1,8 kali, SLE 2,5 kali CI 95% (Bartsch et al., 2016). Hal ini dapat
terjadi juga jika terdapat massa plasenta yang besar seperti pada ondisi
hiperplasentosis, hidrops fetalis dan kehamilan multiple.

2.2.5 Klasifikasi
Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi
ante, intra, dan postpartum. Gambaran klinis pada penderita preeklampsia sangat
bervariasi pada masing-masing individu, adanya keterlibatan banyak organ
berpotensi meningkatkan gejala klinis yang lebih berat. Beberapa pemeriksaan
yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa preeklampsia antara lain
pemeriksaan klinis, biofisik, dan biokimia. Pemeriksaan tersebut antara lain:
1) Tekanan Darah
Rekomendasi POGI untuk pengukuran tekanan darah antara lain pemeriksaan
dilakukan pada pasien dalam keadaan tenang, tensimeter yang digunakan
dianjurkan memakai tensimeter air raksa yang sudah dikalibrasi. Pasien
diperiksa dalam posisi duduk dengan manset ukuran yang sesuai dipasang sesuai
level jantung. Pengukuran tekanan darah diastolik berdasarkan bunyi korotkoff
V. Hipertensi didiagnosa apabila dalam dua kali pengukuran dengan selang 15
menit terdapat kenaikan tekanan sistolik >30 mmHg atau ≥140 mmHg, dan
tekanan diastolik terdapat kenaikan >15 mmHg atau ≥ 90 mmHg.
2) Kenaikan berat badan/ Indeks Masa Tubuh (IMT)
Kenaikan berat badan pada penderita preeklampsia adalah kenaikan berat badan
berlebih yang terjadi secara singkat sebagai manifestasi adanya edema. IMT >
35 pada kunjungan trimester I meningkatkan risiko preeklampsia.
3) Pemeriksaan sistem vaskular
(1) Tes Tidur Miring (TTM) atau Roll Over Test (ROT)
Pemeriksaan ini dilakukan pada saat usia kehamilan 28-32 minggu dengan
cara mengukur tekanan darah pasien dengan posisi tidur miring kiri, lalu
hasil dicatat. Pengukuran selanjutnya dilakukan dalam posisi pasien tidur
terlentang dan hasil dicatat. ROT dianggap positif jika perbandingan selisih
tekanan darah diastolik pada posisi miring dan terlentang ≥ 15 mmHg.
(2) Infus angiotensin II
Tes ini dilakukan pada usia kehamilan 28-32 minggu, dengan memberikan
infus angiotension II < 8 ng/kgbb/menit jika terjadi kenaikan tekanan
diastolik 20 mmHg maka dapat terjadi preeklampsia. Tes ini tidak praktis
dari segi biaya, waktu dan proses yang rumit.
(3) Tes latihan isometrik (isometric exercise test)
Tes ini dilakukan dengan cara pasien berbaring ke sisi lateral kiri, diukur
tekanan darah lalu pasien memijit bola karet tensimeter yang dipasang di
lengan lain sampai kontraksi maksimal untuk 30 detik dalam waktu 3 menit.
Hasil dinyatakan positif jika didaptkan kenaikan tekanan diastolik > 20
mmHg.
(4) Pemeriksaan biokimia
Biomarker atau petanda preeklampsia dapat membantu deteksi dini dan
pencegahan serta penatalaksanaan yang tepat. Biomarker yang cukup
penting pada preeklampsia yang terkait dengan iskemia plasenta dan
disfungsi endotel adalah faktor angiogenik yang terdiri dari pro-angiogenik
dan anti-angiogenik. Protein anti-angiogenik seperti soluble FMS-like
tirosinkinase-1 (sFlt-1) dan soluble Endoglin (sEng) yang diproduksi secara
berlebihan dalam sirkulasi maternal ikut bertanggungjawab terhadap
timbulnya preeklampsia. Faktor pro-angiogenik meliputi Vascular
Endotelial Growth Factor (VEGF), Placental Growth Factor (PIGF), dan
Transforming Growth Factor-β1 (TGFβ-1) (Lindheimer and Romero, 2007;
Mikat et al., 2012). Ketidakseimbangan antara faktor-faktor angiogenik
seperti meningkatnya kadar sFlt-1 dan sEng dan kadar PIGF, VEGF serta
TGFβ-1 yang rendah menjadi penyebab terjadinya disfungsi endotel pada
preeklampsia (Eiland, Nzerue and Faulkner, 2012).
Pemeriksaan biokimia menggunakan marker ini membutuhkan biaya tinggi,
di Indonesia menggunakan pemeriksaan kadar asam urat, kadar kalsium,
dan kadar HCG (Human Chorionic Gonadotrophin) dengan biaya yang
relatif terjangkau. Konsentrasi asam urat > 350 umol/L merupakan petanda
preeklampsia berat. Kadar asam urat mulai meningkat 6 minggu sebelum
preeklampsia menjadi berat. Kadar kalsium dideteksi dengan pemeriksaan
teraradioimunologik, pada usia kehamilan 24-34 minggu apabila didapatkan
mikroalbuminuria dan hipokalasuria merupakan petanda dari preeklampsia.
Kadar HCG pada penderita preeklampsia mengalami peningkatan. Pada
trimester I jika didapatkan kadar HCG > 2 kali lipat kadar rata-rata dapat
meningkatkan 1,7 kali kejadian preeklampsia.
(5) Pemeriksaaan hematologi
Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan kadar haemoglobin dan hematokrit
serta kadar trombosit dan fibronectin. Kadar Hemoglobin rendah < 7gr/dL
dapat meningkatkan kejadian preeklampsia sebesar 8,2 % atau meningkat
3,6 kali dibanding ibu hamil yang memiliki kadar Hb normal dan 3,3% pada
kejadian eklamsia (Ali et al., 2011). Namun masih terdapat beberapa
perbedaan pendapat dalam menentukan kadar Hb sebagai petanda
preeklampsia. Kadar hematokrit yang meningkat mempengaruhi kejadian
preeklampsia, terjadi karena adanya hemokonsentrasi akibat volume plasma
yang menurun karena vasospasme.
Kadar trombosit akan mengalami penurunan sebelum tekanan darah
meningkat pada preeklampsia. Kelainan hemostatis yang sering pada
preeklampsia adalah peningkatan kadar faktor pembekuan VIII dan
penurunan kadar anti thrombin III. Peningkatan kadar fibronectin juga
ditemukan dalam preeklampsia, saat terjadi kerusakan endotel vascular,
maka fibronektin akan dilepaskan ke dalam sirkulasi maternal.
(6) Pemeriksaan USG Doppler
Pada pemeriksaan USG Doppler untuk penderita preklamsia didapatkan
gambaran kelainan gelombang arteri umbilikalis yaitu gelombang diastolik
yang rendah, hilang atau terbalik. Sebagian besar ditemukan adanya
penurunan aliran darah arteri uterine dan arteri umbilikalis.
Pemeriksaan skrining preeklampsia selain menggunakan biomarker dan
USG Doppler Velocimetry masih belum dapat direkomendasikan secara
rutin, sampai metode skrining tersebut terbukti meningkatkan luaran
kehamilan (POGI, 2016).
Diagnosis preeklampsia ditegakkan saat usia kehamilan ≥ 20
minggu, ditandai dengan adanya hipertensi dan adanya gangguan organ.
Proteinuria tidak direkomendasikan untuk diagnosa preeklampsia akan
tetapi adanya protein dalam urin ditemukan pada 75% kasus preeklampsia
(Brown et al., 2018), apabila tidak didapatkan proteinuria, maka salah satu
atau lebih tanda dan gejala sebagai berikut dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosa preeklampsia, antara lain :
1) Kadar trombosit < 100.000/mikroliter
2) Disfungsi organ maternal, pada ginjal ditandai dengan peningkatan
kadar serum kreatinin > 1.1 mg/dL, pada hepar peningkatan fungsi hati
lebih dari dua kali lipat, serta adanya keluhan nyeri epigastrium
3) Edema paru
4) Gangguan neorologis seperti nyeri kepala, stroke, dan gangguan
penglihatan
5) Gangguan sirkulasi uteroplasenta seperti pertumbuhan janin terhambat,
oligohidramnion, atau didapatkan adanya ARDV (absent or reserved
end diastolic velocity) (ACOG, 2013; Brown et al., 2018).
ISSHP sudah tidak merekomendasikan klasifikasi preeklampsia
menjadi ringan, karena setiap preeklampsia merupakan kondisi berbahaya
dan mengakibatkan tingginya morbiditas dan morbiditas maternal dalam
waktu singkat (ACOG, 2013; Brown et al., 2018). Beberapa gejala klinis
yang menunjukkan adanya pemberatan atau preeklampsia berat dapat
dilihat dari salah satu atau beberapa kriteria gejala dan kondisi seperti di
bawah ini :
1) Hipertensi : tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan diastolik ≥ 110
mmHg pada dua kali pemeriksaan menggunakan lengan yang sama
berjarak 15 menit
2) Trombositopeni : trombosit < 100.000/microliter
3) Disfungsi organ maternal, pada ginjal ditandai dengan peningkatan
kadar serum kreatinin > 1.1 mg/dL, pada hepar peningkatan fungsi hati
lebih dari dua kali lipat, serta adanya keluhan nyeri epigastrium
4) Gangguan neorologis seperti nyeri kepala, stroke, dan gangguan
penglihatan
5) Gangguan sirkulasi uteroplasenta seperti pertumbuhan janin terhambat,
oligohidramnion, atau didapatkan adanya ARDV (absent or reserved
end diastolic velocity) (ACOG, 2013; POGI, 2016).
Berdasarkan usia kehamilan terjadinya preeklampsia dapat
diklasifikasikan menjadi preeklampsia tipe dini (early onset preeclamcia)
dan preeklampsia tipe lambat (late onset preeclamcia).
1) Preeklampsia tipe dini
Preeklampsia tipe dini terjadi pada saat usia kehamilan < 34 minggu
sebagai akibat dari plasentasi yang tidak sempurna dan kegagalan
remodeling arteri spiralis, sehingga menimbulkan stress oksidatif pada
sinsiotrofoblas. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan janin terhambat.
2) Preeklampsia tipe lambat
Preeklampsia tipe lambat terjadi sekitar 80% dari seluruh kasus
preeklampsia pada usia kehamilan > 34 minggu, penyebab bukan
berasal dari faktor plasenta. Beberapa gambaran khas pada
preeklampsia tipe lambat adalah sebagai berikut :
(1) Tidak ditemukan adanya pertumbuhan janin terhambat
(2) Pada USG Doppler tampak gambaran arteri spiralis normal dan
tidak ada perubahan aliran darah di arteri umbilikalis
(3) Peningkatan risiko pada ibu yang memiliki komplikasi penyakit
maternal seperti diabetes mellitus, gemelli, anemia atau tinggal di
dataran tinggi

2.2.6 Preeklampsi-Eklampsi Postpartum


Preeklampsia dan eklampsia tidak hanya terjadi pada masa kehamilan,
namun pada beberapa kasus preeklampsi/eklampsi dapat berlanjut hingga pada
masa postpartum. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa 67% kasus pre-
eklampsia terjadi selama masa kehamilan atau sebelum kelahiran. Selebihnya, 33%
kasus terjadi setelah proses persalinan dan 79% di antaranya terjadi 48 jam setelah
melahirkan. Risiko terjadi preeklampsia masih cukup tinggi selama hingga 28 hari
setelah persalinan. Secara klinis biasanya diawali dengan hipertensi. Preeklampsi
pasca persalinan (postpartum preeclampsia) biasanya ditandai dengan gejala
hampir sama dengan pre-eklampsia pada masa hamil. Di antaranya, tekanan darah
meningkat (hipertensi), pusing dan kejang, penglihatan terganggu (pandangan
menjadi kabur), sakit perut, pembengkakan terutama pada kaki, merasa cepat lelah,
serta nyeri otot atau persendian. Preeklampsi/eklampsia postpartum berhubungan
dengan beberapa faktor seperti digambarkan pada skema Gambar 2.2 berikut ini :

Gambar 2.2 Faktor Predisposisi Preeklampsi Nifas (WHO, 2013)

2.2.7 Penatalaksanaan
Perawatan dan pengobatan preeklampsia mencakup pencegahan
kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif
terhadap penyulit organ yang terlibat.
1. Pemberian obat anti kejang
a. MgSO4 (Magnesium sulfat)
Obat antikonvulsan pada preeklampsia yang sampai saat ini masih
menjadi pilihan pertama baik di dunia maupun di Indonesia adalah
magnesium sulfat (MgSO47H2O). Magnesium sulfat menghambat
atau menurunkan kadar asteilkolin pada rangsangan neuron dengan
menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular
membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium
sulfat, magnesium akan berkompetisi dengan kalsium sehingga aliran
rangsangan tidak terjadi (terjadi inhibisi kompetitif antara ion kalsium
dan magnesium).

Cara pemberian magnesium sulfat adalah sebagai berikut:


1) Dosis Inisial
 4 g MgSO440% dibuat dengan cara mengencerkan 10 ml larutan
MgSO4 dalam 10ml aquades, diberikan bolus (IV) selama 10-15
menit
 Segera dilanjutkan dengan 6 g MgSO4 40% dibuat dengan cara
melarutkan 15ml larutan MgSO4 ke dalam 500 ml RL, habis dalam
6 jam
 Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan 2 g MgSO440%
dibuat dengan cara mengencerkan 5 ml larutan MgSO4 dalam 5 ml
aquades, diberikan bolus (IV) selama 5 menit.
2) Dosis Rumatan
Larutan MgSO4 40% 1 g/jam dimasukkan melalui cairan infus
Ringer Laktat (RL)/Ringer Asetat (RA) yang diberikan sampai 24
jam pascapersalinan
Pemberian MgSO4 memiliki syarat-syarat pemberian yang harus
terpenuhi, yaitu:
 Harus tersedia antidotum MgSO4 yakni Ca Gluconas 10%. Jika
terjadi tanda-tanda intoksikasi (refleks patella menghilang, distres
pernapasan), segera berikan 1g Ca Gluconas 10% yang dibuat
dengan cara mengencerkan 10 ml larutan Ca Gluconas dalam 10
ml aquades, diberikan secara IV dalam 3-5 menit
 Refleks pattela pasien normal
 Frekuensi pernapasan ≥16 kali/menit dan tidak ada tanda-tanda
distres pernapasan.
Pemberian magnesium sulfat harus dihentikan jika terdapat tanda-
tanda intoksikasi atau setelah 24 jam pascapersalinan/24 jam setelah
kejang terakhir. Selain sebagai terapi untuk menghentikan kejang,
magnesium sulfat juga diberikan kepada pasien dengan tanda-tanda
preeklampsia berat sebagai profilaksis kejang. Dosis yang digunakan
serupa dengan dosis terapi pada preeklampsia dengan kejang
(eklampsia).
b. Alternatif Antikonvulsan
Alternatif antikonvulsan lain selain magnesium sulfat yang dapat
dipakai adalah diazepam atau fenitoin sodium.
 Diazepam IV 10 mg diberikan secara perlahan kurang lebih selama
2 menit. Jika kejang berulang dapat diulang sesuai dosis awal. Jika
kejang sudah teratasi, dosis rumatan yang dipakai adalah 40 mg
diazepam dilarutkan dalam 500 ml RL dihabiskan dalam 24 jam.
Pemberian diazepam harus dilakukan dengan sangat hati-hati
karena risiko depresi pernapasan (Dosis maksimal diazepam >30
mg/jam). Perlu menjadi catatan bahwa pemberian diazepam
sebagai antikonvulsan pada preeklampsia dilakukan jika memang
betul-betul dalam kondisi tidak tersedia magnesium sulfat.
 Fenitoin sodium mempunyai khasiat stabilisasi membran neuron,
cepat masuk jaringan otak dan efek antikejang terjadi 3 menit
setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium diberikan dalam dosis 15
mg/kg berat badan dengan pemberian intravena 50 mg/menit.

2. Pemberian antihipertensi
Obat antihipertensi mulai diberikan pada preeklampsia berat dengan
tekanan darah ≥160/100 mm Hg. Obat hipertensi yang dapat digunakan
pada kasus preeklampsia adalah hidralazin, labetalol, nifedipin, dan
sodium nitroprusside. Di Indonesia, karena tidak tersedia hidralazin dan
labetalol IV, obat antihipertensi yang menjadi lini pertama adalah
nifedipin.
Dosis awal nifedipin adalah 10-20 mg per oral, diulangi setiap 30 menit
bila perlu (maksimal 120 mg dalam 24 jam). Nifedipin tidak boleh
diberikan secara sublingual karena efek vasodilatasi yang sangat cepat.
Untuk obat antihipertensi lini kedua jika tidak tersedia nifedipin, dapat
juga digantikan dengan labetalol oral atau sodium nitroprusside IV. Dosis
inisial labetalol oral adalah 10 mg. Jika setelah 10 menit respon tidak
membaik, dapat diberikan lagi labetalol 20 mg.
Untuk sodium nitroprusside IV, dosis yang dipakai adalah 0.25
μg/kg/menit (infus) kemudian dapat ditingkatkan menjadi 0.25 μg/kg/5
menit (WHO, 2011; Ross, 2016).
Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian
antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik ≥ 180 mmHg dan atau
tekanan sistolik ≥110 mmHg. Jenis antihipertensi yang dapat digunakan:

a. Nifedipin, dosis 5-10 mg peroral, tiap 8 jam


b. Metildopa, dosis awal 1 gram dan dosis rumatan 1-2 gram atau
maintenance 250 mg, tiap 8 jam.
3. Pemberian Diuretikum
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-
paru, payah jantung kongesif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai
ialah Furosemid.

2.2.8 Perawatan Pascapersalinan


Preeklampsia akan berakhir setelah persalinan. Namun, masih
dibutuhkan observasi yang ketat pascapersalinan karena tekanan darah yang
masih tinggi dan kemungkinan terjadinya kejang pascapersalinan
(mayoritas terjadi 24 jam pascapersalinan walaupun ada juga yang terjadi
48 jam pascapersalinan). Oleh karena itu, profilaksis kejang dengan
magnesium sulfat harus dilanjutkan sampai 24 jam pascapersalinan.
Pemeriksaan hitung trombosit, fungsi hati, dan fungsi ginjal harus tetap
dilakukan secara berkala sampai pasien keluar dari rumah sakit. Jarang
terjadi, seorang pasien mengalami peningkatan level enzim hati,
trombositopenia, dan insufisiensi renal lebih dari 72 jam pascapersalinan.
Jika pasien akan dipulangkan dengan obat antihipertensi, penilaian ulang
terhadap tekanan darah harus dilakukan, setidaknya 1 minggu setelah keluar
dari rumah sakit. Kecuali pada pasien dengan hipertensi kronik, tekanan
darah akan kembali normal dalam waktu maksimal 3 bulan pascapersalinan.

2.2.8 Komplikasi

1. Penyulit ibu
a. Komplikasi pada sistem saraf pusat meliputi perdarahan intrakranial,
trombosis vena sentral, hipertensi ensefalopati, edema serebri, edema
retina, macular atau retina detachment dan kebutaan korteks.
b. Gastrointestinal-hepatik: subskapular hematoma hepar, rupture kapsul
hepar.
c. Ginjal: gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut.
d. Hematologic: DIC, trombositopenia dan hematoma luka operasi.
e. Kardiopulmonar: edema paru kardiogenik atau nonkardiogenik, depresi
atau arrest pernapasan, cardiac arrest, iskemia miokardium.
f. Lain-lain: asites, edema laring, hipertensi yang tidak terkendalikan
2. Penyulit janin
Penyulit yang dapat terjadi pada janin ialah intrauterine fetal growth
restriction, solusio plasenta, prematuritas, sindroma distress napas,
kematian janin intrauterine, kematian neonatal intraventrikular, necrotizing,
sepsis, cerebral palsy (Saifuddin, 2009).
2.4 Konsep Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas dengan PEB
1. Data Subjektif
a. Identitas
- Umur
Wanita yang hamil pada usia ekstrim yaitu < 20 tahun atau > 35 tahun
memiliki risiko 4,43 kali lebih tinggi untuk mengalami preeklampsia
dibandingkan dengan wanita yang hamil pada usia reproduksi 20 – 35
tahun (Denantika, Serudji and Revilla, 2015). Pada usia < 20 tahun,
ukuran uterus belum mencapai ukuran yang normal untuk kehamilan,
sehingga kemungkinan terjadinya gangguan dalam kehamilan seperti
preeklampsia menjadi lebih besar. Faktor lain karena invasi trofoblas yang
tidak sempurna dan kegagalan remodelling arteri spiralis yang terkait
dengan patofisiologi terjadinya preeklampsia serta bagaimana ibu
bereaksi (Kumari, Dash and Singh, 2016). Pada usia > 35 tahun tahun
terjadi proses degeneratif yang mengakibatkan perubahan sruktural dan
fungsional yang terjadi pada pembuluh darah perifer yang bertanggung
jawab terhadap perubahan tekanan darah, sehingga lebih rentan
mengalami preeklampsia (Denantika, Serudji and Revilla, 2015).
- Pendidikan
Faktor resiko meningkat pada masyarakat dengan status ekonomi rendah
dan pendidikan yang rendah (Cunningham, 2012).
- Pekerjaan
Pekerjaan yang terlalu berat akan meningkatkan stress, oedema yang
menyebabkan preeklampsia. Penetuan aktifitas ibu sehari hari, untuk
menilai dan memperkirakan kebutuhan kalori ibu agar diit untuk
pengelolaan gizi dapat terlaksana dengan tepat (Cunningham,2012).
b. Keluhan Utama : Keluhan yang mungkin di rasakan pada ibu nifas dengan
Preeklampsia Berat : tekanan darah meningkat (hipertensi), pusing, nyeri
epigastrium, oligouria, sakit kepala menyeluruh dan menetap, vertigo,
malaise, gangguan serebral atau penglihatan, pembengkakan terutama
pada kaki, merasa cepat lelah, serta nyeri otot atau persendian, edema paru
atau sianosis dan kejang, (Wahyuningsih, 2018).
c. Riwayat Obstetri
- Pada primigravida mempunyai faktor resiko yang lebih tinggi
mengalami preeklamsia, hal ini terkait dengan lama pajangan sperma
(Fraser,2009).
- Nuliparitas lebih berisiko untuk mengalami preeklampsia daripada
multiparitas karena preeklampsia biasanya timbul pada wanita
yang pertama kali terpapar vilus korion. Hal ini terjadi karena pada
wanita tersebut mekanisme imunologik pembentukan blocking
antibody yang dilakukan oleh HLA-G (Human Leukocyte Antigen G)
terhadap antigen plasenta belum terbentuk secara sempurna, sehingga
proses implantasi trofoblas ke jaringan desidual ibu menjadi terganggu.
Nuliparitas juga rentan mengalami stres dalam menghadapi persalinan
yang akan menstimulasi tubuh untuk mengeluarkan kortisol. Efek
kortisol adalah meningkatkan respon simpatis, sehingga curah jantung
dan tekanan darah juga akan meningkat (Cunningham et al, 2012). .
- Ibu multipara (multipaternitas) yang kemudian menikah lagi
mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan
jika dibandingkan dengan suami yang sebelumnya (Angsar, Dikman
2009).
d. Riwayat Kesehatan Ibu
Wanita yang mengalami preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
mempunyai risiko 8,4 kali lebih tinggi (7,1-9,9: CI 95%) pada kehamilan
berikutnya (Bartsch et al., 2016). Penyakit komplikasi maternal yang
dapat meningkatkan kejadian preeklampsia antara lain diabetes
gestasional sebesar 3,7 kali, hipertensi kronis 5,1 kali, gagal ginjal kronis
1,8 kali, SLE 2,5 kali CI 95% (Bartsch et al., 2016). Hal ini dapat terjadi
juga jika terdapat massa plasenta yang besar seperti pada kondisi
hiperplasentosis, hidrops fetalis dan kehamilan multipel.
e. Riwayat kesehatan Keluarga
Kejadian preeklampsia erat kaitannya dengan hubungan kerabat. Angka
kejadian tertinggi ditemukan pada anak perempuan dengan ibu
preeklampsia, selain itu seorang wanita yang pasangannya pernah menjadi
ayah dari kehamilan preeklampsia berisiko terjadi preeklampsia, dengan
kata lain faktor paternal juga ikut berperan. Faktor keturunan yang
diwariskan dari garis maternal lebih kuat 2,2 kali daripada garis paternal
(Lisowska, Pietrucha and Sakowicz, 2018). Mengkaji riwayat penyakit
menurun seperti diabetes, hipertensi, dan gemeli (kehamilan kembar) pada
keluarga.
f. Pola Hidup Sehari – hari
- Nutrisi : Konsumsi makanan dan minuman yang mengandung vitamin C
dan vitamin E merupakan sistem pertahanan antioksidan. Antioksidan
dapat mencegah kerusakan endotel sehingga produksi tromboksan
(vasokonstriktor kuat) tidak meningkat. Pola nutrisi yang baik pada
preeklampsia berat adalah diet tinggi protein rendah lemak, karbohidrat.
Hal ini bertujuan untuk melindungi fungsi ginjal dan mencegah
peningkatan tekanan darah. Defisit kalsium pada diet perempuan hamil
mengakibatkan risiko terjadinya preeklampsia dan eklampsia
(Wiknjosastro, 2010). Hendaknya diet ditambah dengan suplemen yang
mengandung minyak ikan yang kayak dengan asam lemak tidak jenuh
misal omega-3 PUFA, antioksidan (vitamin C, E, β Karoten, CoQ10, N-
Asetilsistein, asam lipoik) dan elemen logam berat (zink, magnesium,
kalsium) ( Angsar, Dikman. 2009). Batasan pemberian cairan maksimal
1000 cc/hari menghindari risiko ALO.
- Eliminasi : Pada hipertensi terjadi kelainan fungsional maupun anatomi
ginjal. Pada PEB terjadi oligouria <500cc urine/24jam (Winkjosastro,
2014).
- Istirahat : Istirahat baring yang cukup dapat mengurangi
kemungkinan/insiden hipertensi dalam kehamilan (Dewi,2012).
Kurangnya istirahat akan memperburuk hipertensi (Sarwono, 2008).
- Aktivitas : Aktivitas berat dan stessor yang tinggi meningkatkan
terjadinya hipertensi
g. Data Psikososial Spiritual
Perkawinan : perkawinan yang keberapa, umur saat kawin untuk
mengetahui apakah ibu kawin untuk pertama kali dalam usia reproduksi
(20-35 tahun) dimana jika ibu kawin pertama kali pada usia +/- 18 tahun
atau +/-35 tahun merupakan usia yang ekstrim yang merupakan faktor
predisposisi yang dapat menimbulkan preeklampsia pada ibu (Fraser
2009; Cunningham 2013). Kebiasaan yang dilakukan ibu dapat
berpengaruh pada kondisi bayinya, yaitu merokok atau radikal bebas
dianggap toksin yang menyebabkan iskemia plasenta sehingga
meningkatkan resiko terjadinya preeklamsi (Cunningham, 2012).
Periode masa nifas merupakan waktu dimana ibu mengalami stress pasca
persalinan, terutama pada ibu primipara. Periode ini diekspresikan oleh
Reva Rubin yang terjadi pada 3 tahap berikut :
- Taking in period
Terjadi pada 1-2 hari setelah persalinan. Ibu masih pasif dan sangat
bergantung pada orang lain, fokus perhatian terhadap tubuhnya, ibu
lebih mengingat pengalaman melahirkan dan persalinan yang dialami,
serta kebutuhan tidur dan nafsu makan meningkat.
- Taking hold period
Berlangsung 3-4 hari postpartum. Ibu lebih berkonsentrasi pada
kemampuannya dalam menerima tanggung jawab sepenuhnya terhadap
perawatan bayi. Pada masa ini ibu menjadi sangat sensitive, sehingga
membutuhkan bimbingan dan dorongan perawat untuk mengatasi
kritikan yang dialami ibu.
- Letting go period
Dialami setelah ibu dan bayi tiba di rumah. Ibu secara penuh menerima
tanggung jawab sebagai “seorang ibu” dan menyadari atau merasa
kebutuhan bayi sangat bergantung pada dirinya.
2. Data Objektif
a. Kesadaran : composmentis, apatis, somnolent, sopor, koma
Tergantung derajat preeklamsi semakin berat semakin jelek keadaan
umum serta kesadarannya.
b. TTV :
- Tekanan Darah (TD) :
PEB : ≥ 160/110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun sampai masa
nifas
- Suhu : Perubahan suhu tubuh ini hanya terjadi beberapa jam setelah
persalinan, setelah ibu istirahat dan mendapat asupan nutrisi serta minum
yang cukup, maka suhu tubuh akan kembali normal. Bila suhu lebih dari
380C, mungkin terjadi infeksi pada klien.
- Berat Badan
Wanita dengan obesitas sebelum kehamilan memiliki risiko 4 kali lipat
mengalami preeklampsia dibandingkan dengan wanita dengan IMT
normal. Faktor-faktor seperti inflamasi, resistensi insulin, dislipidemia,
stres oksidatif, serta diet berhubungan dengan peningkatan kadar ADMA.
ADMA adalah suatu inhibitor endogen dari Nitrit oxide sintase (NOS)
yang akan meningkat pada wanita obesitas dan akan mempengaruhi
terjadinya preeklampsia. Pemeriksaan fisik
- Wajah : oedem pada wajah merupakan indikasi preeklamsi
- Mata : oedema palpebra, pandangan pada kasus preeklampsia
berat biasa terjadi gangguan visus
- Payudara : colostrum sudah keluar
- Abdomen : terdapat luka bekas sc / operasi, kontraksi uterus keras,
Pada PEB kadang di dapatkan nyeri epigastrium.
- Genetalia : jumlah perdarahan, jenis lochea, lochea berbau dan
purulenta menandakan adanya infeksi
- Ekstremitas : terdapat edema ekstremitas, reflek patella untuk menilai
syarat pemberian MgSO4

c. Pemeriksaan Penunjang
- Tes laboratorium :
Pemeriksaan Darah Lengkap (trombositopenia sebagai tanda HELLP
sindrom), leukositosis menandakan infeksi nifas, dan Hb turun
menandakan anemia
Pemeriksaan faal ginjal, hepar, faal hemostasis, kadar Gula darah
Protein Urine: melihat kadar protein dalam urine, hal ini perlu dilakukan
untuk menilai fungsi ginjal

3. Analisis Data
Diagnosa : PAPAH Post Partum SC atas indikasi PEB hari ke-
Masalah : pusing, nyeri epigastrium
4. Perencanaan tindakan
a) Menjelaskan hasil pemeriksaan dan kondisi masa nifas pada ibu dan
keluarga
R/: ibu dan keluarga mengetahui tentang keadaan masa nifasnya
sehingga dapat menentukan tindakan yang tepat untuk menjaga
kesehatan diri ibu. Berbagai resiko yang bisa terjadi selama mengalami
preeklampsia berat sehingga diperlukan observasi ketat untuk
memonitor kondisi ibu.
b) Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital dan keluhan subjektif
R/: Keadaan umum dan tanda-tanda vital merupakan indikator
perubahan fisiologi tubuh, keluhan subjektif ibu seperti nyeri kepala
hebat, nyeri epigastrium, dan gangguan visus merupakan tanda
impending eklampsia
c) Observasi TFU, kontraksi, dan pengeluaran lochea
R/: penilaian TFU, kontraksi uterus dan lochea untuk menilai proses
involusi
d) Observasi ketat balance cairan
R/: risiko cairan berlebih akan menyebabkan edema paru
e) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi dan pemeriksaan
yang lebih lengkap.
R/: Kolaborasi dengan berbagai bidang dilakukan untuk mencegah dan
mengatasi kegawatdaruratan yang terjadi.
f) Menginformasikan kepada ibu dan keluarga tentang tanda-tanda
bahaya masa nifas, perawatan payudara, personal hygiene, kontrasepsi,
tanda-tanda hipoglikemia, hiperglikemia, dan tanda-tanda persalinan.
R/: ibu dan keluarga mengetahui tentang KIE yang diberikan untuk
lebih memberdayakan ibu sebagai women centered care
g) Melibatkan keluarga untuk memberikan dukungan psikologis ibu
R/: Dukungan psikologis diperlukan untuk menghindari masalah
psikologis postpartum, dan proses laktasi.
h) Melakukan perawatan luka operasi sesuai standar operasional prosedur
R/: perawatan luka dilakukan dengan memperhatikan teknik septik dan
aseptik untuk mencegah terjadinya infeksi luka operasi
i) Pencegahan dan tatalaksana kejang
Bila terjadi kejang, perhatikan jalan nafas, pernapasan (oksigen) dan
sirkulasi (cairan)
R/: Penatalaksanaan kejang harus memperhatikan airway, breathing,
dan circulation
Berikan MgSO4 untuk penatalaksanaan awal dan rumatan
R/: MgSO4 sebagai obat antikejang lini pertama untuk preeklampsia
berat maupun eklampsia.
j) Kolaborasi dengan Spesialis Anestesi untuk melakukan intubasi jika
terjadi kejang berulang dan segera kirim ibu ke ruang ICU (bila
tersedia) yang sudah siap dengan fasilitas ventilator
R/: perawatan intensif diperlukan pada kondisi gawat darurat dan
mengancam nyawa

4. Implementasi
Pelaksanaan tindakan dalam asuhan kebidanan dilaksanakan berdasarkan
rencana tindakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang
diharapkan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Dalam
pelaksanaan ini bidan melakukan secara kolaborasi dengan tenaga
kesehatan yang lain.

5. Evaluasi
Menilai tentang efektivitas tindakan yang telah diberikan serta
mengadakan penyesuaian kembali pada langkah sebelumnya pada setiap
aspek dari proses manajemen yang tidak efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Baha M., Sibai MD. 2011. Etiology and management of postpartum hypertension-
preeclampsia. AJOG. doi:10.1016.j.ajog.201109002.
Bahiyatun, 2009. Buku Ajar Kebidanan Asuhan Nifas Normal. Jakarta : EGC
Baston, H. & Hall, J. (2011). Midwifery Essential Postnatal, Volume 4. United
Kingdom.
Boyle, Maureen. 2009. “Pemulihan Luka”. Jakarta : EGC.
Coad, Jane, Dunstall dan Melvyn. 2007. Anatomi & Fisiologi Untuk Bidan. Jakarta:
EGC
Cunningham, F. Gary, Kenneth J. Leveno, James M. Alexander. Steven L. Bloom,
Brian M. Casey, Jodi S. Dashe. 2014. Obstetri Williams Edisi 23. Alih
bahasa, Brahm U. Pendit, editor bahasa Indonesia, Rudi Setia. Jakarta:
EGC.
Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Hauth, J.C., Rouse, D.J., & Spong,
C.Y. (2012). Obstetri Williams. Volume 1. New York: McGraw-Hill
Education.
Dewi, V.N.L. dan Tri S. 2011. Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas. Jakarta: Salemba
Medika
Fadlun, & Feryanto, A. (2011). Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta: Salemba
Medika
Fraser, D.M. & Cooper, M.A. (2009). Myles Buku Ajar Bidan (Edisi 14). Jakarta:
EGC.
Garcia, J. & Marchant, S. (2000). The Potential of Postnatal Care. London: Bailliere
Tindall.
Holmes D dan Baker P. 2011. Buku Ajar Ilmu Kebidanan. Jakarta: EGC.
Kemenkes RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan Edisi Pertama. Jakarta: Kemenkes RI.
Khidri FF. 2019. Various presentations of preeclampsia at tertiary care hospital of
Sidh: A cross-sectional study. Current Hypertension Reviews. 15(0) pp. 1-7. doi
10.2174/1573402115666191009120640
King, T.L., Brucker, M.C., Kriebs, J.M., Fahey,J.O., Gregor, C.L., & Varney, H.
(2015). Varney’s Midwifery, Fifth Edition. United States of America: Jones
& Bartlett Learning Books, LLC, An Ascend Learning Company, Alih
Bahasa oleh EGC Jakarta.
Manuaba, Ida Ayu Chandranita, 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan Dan
KB Untuk Pendidikan Bidan Edisi 2. Jakarta : EGC
Maryunani, Anik. Asuhan pada Ibu Dalam Masa Nifas (Post Partum).
Jakarta:EGC; 2009.
Medforth, J., Battersby, S., Evans, M., Marsh, B., & Walker, A. (2006). Oxford
Handbook of Midwifery. English: Oxford University Press.

Mirzanie H dan Kurniawati D .2009. Obgynacea (obstetri dan ginekologi).


Yogyakarta: Tosca Enterprise.
Mochtar, Rustam Prof, Dr, MPH. 2011. Sinopsis Obstetri Fisiologi Patologi.
Jakarta : EGC.
Nugroho, Taufan. 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Rini S., Feti K. 2017. Panduan Asuhan Nifas dan Evidence Base Practice. Edisi 1
Cetakan ke-2. Yogyakarta: Deepublish
Sulistyawati, Ari. 2009. “Asuhan Kebidan pada Masa Nifas”. Jakarta : Salemba
Medika. Saleha, Sitti. 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta :
Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai