OLEH:
DARANINDRA DEWI SARASWATI
011913243055
Asuhan Kebidanan pada Post SC atas indikasi Pre Eklampsia Berat (PEB) di Ruang
Al- Aqsha 4 RSU Haji Surabaya, telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing
pada :
Hari :
Tanggal :
Mengetahui,
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu nifas
dengan preeklampsia berat (PEB) dengan menerapkan pola pikir melalui
pendekatan manajemen kebidanan kompetensi bidan di Indonesia
menggunakan SOAP.
1.2.2 Tujuan Khusus
Diharapkan mahasiswa profesi mampu:
1. Menjelaskan konsep dasar nifas dengan preeklampsia berat.
2. Menjelaskan konsep dasar asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan
preeklampsia berat (PEB)
3. Melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan preeklampsia
berat (PEB)
4. Mendokumentasikan asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan
preeklampsia berat (PEB) dalam bentuk SOAP
5. Membahas kasus yang didapat pada pada ibu nifas dengan PEB dengan
konsep dasar teori yang ada
1.3 Manfaat
1. Manfaat bagi penulis
Penulis dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan selama
pendidikan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Masa Nifas
2.1.1 Definisi
Masa nifas (puerperium) dimulai sejak 2 jam setelah lahirnya plasenta
sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelahnya. Puerperium berasal dari kata
puer yang berarti bayi, dan parous berarti melahirkan, jadi puerperium
adalah masa setelah lahirnya bayi sampai kembali pulihnya alat-alat
kandungan seperti pra hamil (Rini et al, 2017).
Masa nifas (puerperium) adalah masa pemulihan kembali, mulai dari
persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti pra hamil.
Lama masa nifas 6-8 minggu (Sofian, 2013).
Masa nifas adalah masa sesudah persalinan dan kelahiran bayi,
plasenta, serta selaput yang diperlukan untuk memulihkan kembali organ
kandungan seperti sebelum hamil dengan waktu kurang lebih 6 minggu
(Walyani&Purwoastuti, 2015).
b. Puerperium Intermediate
Kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang lamanya 6-8
minggu.
c. Remote Puerperium
Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama
jika pada ibu yang selama hamil dan persalinan mengalami
komplikasi.
1) Sistem reproduksi
a. Uterus
Adapun mengenai proses terjadinya involusi dapat digambarkan
sebagai berikut (Medforth, Battersby, Evans, Marsh, & Walker,
2002).
1. Iskemia: otot uterus berkontraksi dan beretraksi, membatasi
aliran darah di dalam uterus.
2. Fagositosis: jaringan elastik dan fibrosa yang sangat banyak
dipecahkan.
3. Autolisis: serabut otot dicerna oleh enzim-enzim proteolitik
(lisosim).
4. Semua produk sisa masuk ke dalam aliran darah dan dikeluarkan
melalui ginjal.
5. Lapisan desidua uterus terkikis dalam pengeluaran darah
pervaginam dan endometrium yang baru mulai terbentuk dari
sekitar 10 hari setelah kelahiran dan selesai pada minggu ke 6
pada akhir masa nifas.
6. Ukuran uterus berkurang dari 15 cm x 11 cm x 7,5 cm menjadi
7,5 cm x 5 cm x 2,5 cm pada minggu keenam.
7. Berat uterus berkurang dari 1000 gram sesaat setelah lahir,
menjadi 60 gram pada minggu ke-6.
8. Kecepatan involusi: terjadi penurunan bertahap sebesar 1
cm/hari. Di hari pertama, uteri berada 12 cm di atas simfisis pubis
dan pada hari ke-7 sekitar 5 cm di atas simfisis pubis. Pada hari
ke-10, uterus hampir tidak dapat dipalpasi atau bahkan tidak
terpalpasi.
9. Involusi akan lebih lambat setelah seksio sesaria.
10. Involusi akan lebih lambat bila terdapat retensi jaringan plasenta
atau bekuan darah terutama jika dikaitkan dengan infeksi.
Segera setelah plasenta lahir, uterus mengalami kontraksi dan retraksi.
Ototnya akan menjadi keras sehingga dapat menutup / menjepit
pembuluh darah besar yang bermuara pada bekas implantasi plasenta.
Proses involusi uterus terjadi secara progressive dan teratur yaitu 1-2
cm setiap hari dari 24 jam pertama post partum sampai akhir minggu
pertama saat tinggi fundus sejajar dengan tulang pubis. Pada minggu
keenam uterus kembali normal seperti keadaan sebelum hamil kurang
lebih 50-60 gram. Uterus secara berangsur-angsur menjadi kecil
(involusi) sehingga akhirnya kembali seperti sebelum hamil.
b. Perineum
Dalam proses persalinan, terkadang dilakukan episiotomi atas
indikasi atau dapat juga terjadi robekan perineum. Luka itu akan di
jahit untuk mengembalikan fungsi perineum. Setelah persalinan
perineum menjadi kendur karena teregang oleh tekanan kepala bayi
yang bergerak maju. Pulihnya otot perineum terjadi sekitar 5-6
minggu post partum dan hal ini akan lebih cepat pulih bila dibantu
dengan latihan atau senam postpartum. Perineum mendapat suplai
darah yang banyak karena adanya laserasi atau luka episiotomi pada
perineum. Luka jahitan dapat sembuh dalam 7 hari tetapi laserasi
yang luas akan bersifat sensitif dan akan terasa sakit untuk beberapa
minggu.
c. Lochea
Lochea adalah cairan sekret yang berasal dari kavum uteri dan
vagina, yang keluar pada saat masa nifas.
Macam-macam lochea :
- Locha Rubra (cruenta)
Berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua,
verniks caseosa, lanugo dan mekonium selama 2 hari pasca
persalinan.
- Lochea Sanguinolenta
Berwarna merah kuning berisi darah dan lendir yang keluar
pada hari ke-3 sampai ke-7 pasca persalinan.
- Lochea Serosa
Berwarna kuning, cairan tidak berdarah lagi pada hari ke-7-14
pasca persalinan.
- Lochea Alba
Cairan putih, setelah 2 minggu.
- Lochia Purulenta
Terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau busuk.
- Lochiostasis
Lochia yang tidak lancar pengeluarannya
d. Serviks, Vulva dan Vagina
Setelah persalinan bentuk serviks agak menganga seperti corong
berwarna merah kehitaman. Konsistensinya lunak, kadang-kadang
terdapat perlukaan-perlukaan kecil. Setelah bayi lahir, tangan masih
bisa masuk rongga rahim. Setelah 2 jam dapat dilalui oleh 2-3 jari
dan setelah 7 hari hanya dapat dilalui 1 jari. Vulva dan vagina
mengalami penekanan serta perenggangan yang sangat besar selama
proses melahirkan bayi, dan dalam beberapa hari pertama sesudah
proses tersebut kedua organ ini tetap berada dalam keadaan kendur.
Setelah 3 minggu postpartum, vulva dan vagina kembali kepada
keadaan tidak hamil dan rugae pada vagina secara berangsur- angsur
akan muncul kembali. Himen tampak sebagai carunculae
mirtyformis, yang khas pada ibu multipara. Ukuran vagina agak
sedikit lebih besar dari sebelum persalinan.
e. Payudara
Lepasnya plasenta dan berkurangnya fungsi korpus luteum,
mengakibatkan estrogen dan progesterone berkurang, prolaktin akan
meningkat dalam darah yang merangsang sel-sel acini untuk
memproduksi ASI. Keadaan payudara pada dua hari pertama post
partum sama dengan keadaan dalam masa kehamilan. Pada hari
ketiga dan keempat buah dada membesar, keras dan nyeri ditandai
dengan sekresi air susu sehingga akan terjadi proses laktasi
(Wahyuningsih, 2018).
f. Peritoneum dan Dinding Abdomen
Ligamentum latum dan rotundum memerlukan waktu yang cukup
lama untuk pulih dari peregangan dan pelonggaran yang terjadi
selama kehamilan. Sebagai akibat dari ruptur serat elastik pada kulit
dan distensi lama pada uterus karena kehamilan, maka dinding
abdomen tetap lunak dan flaksid. Beberapa minggu dibutuhkan oleh
struktur-struktur tersebut untuk kembali menjadi normal. Pemulihan
dibantu oleh latihan. Kecuali untuk striae putih, dinding abdomen
biasanya kembali ke penampilan sebelum hamil. Akan tetapi ketika
otot tetap atonik, dinding abdomen juga tetap melemas. Pemisahan
yang jelas otot-otot rektus (diastasis recti) dapat terjadi
(Cunningham et al., 2013).
2) Sistem perkemihan
Pelvis, ginjal dan ureter yang teregang dan berdilatasi selama
kehamilan kembali normal pada akhir minggu keempat setelah
melahirkan. Pasca persalinan terdapat peningkatan kapasitas kandung
kemih, pembengkakan dan trauma jaringan sekitar uretra yang terjadi
selama proses melahirkan. Untuk postpartum dengan tindakan SC, efek
konduksi anestesi yang menghambat fungsi neural pada kandung
kemih. Distensi yang berlebihan pada kandung kemih dapat
mengakibatkan perdarahan dan kerusakan lebih lanjut. Pengosongan
kandung kemih harus diperhatikan. Kandung kemih biasanya akan
pulih dalam waktu 5-7 hari pasca melahirkan, sedangkan saluran kemih
secara keseluruhan akan pulih dalam waktu 2-8 minggu tergantung
pada keadaan umum ibu atau status ibu sebelum persalinan, lamanya
kala II yang dilalui, besarnya tekanan kepala janin saat intrapartum.
Dinding kandung kencing pada ibu postpartum memperlihatkan adanya
oedem dan hyperemia. Kadang-kadang oedema trigonium,
menimbulkan abstraksi dari uretra sehingga terjadi retensio urine.
Kandung kencing dalam masa nifas kurang sensitif dan kapasitasnya
bertambah, sehingga kandung kencing penuh atau sesudah kencing
masih tertinggal urine residual (normal + 15 cc). Sisa urine dan trauma
pada kandung kencing waktu persalinan memudahkan terjadinya
infeksi. Acetonuri terutama setelah partus yang sulit dan lama yang
disebabkan pemecahan karbohidrat dan lemak untuk menghasilkan
energi, karena kegiatan otot-otot rahim meningkat. Pada masa hamil,
perubahan hormonal yaitu kadar steroid tinggi yang berperan
meningkatkan fungsi ginjal. Begitu sebaliknya, pada pasca melahirkan
kadar steroid menurun sehingga menyebabkan penurunan fungsi ginjal.
Fungsi ginjal kembali normal dalam waktu satu bulan setelah wanita
melahirkan. Urin dalam jumlah yang besar akan dihasilkan dalam
waktu 12 – 36 jam sesudah melahirkan.
Kurang lebih 40% wanita nifas mengalami proteinuria yang
nonpatologis sejak pasca melahirkan sampai 2 hari post partum
proteinuri terjadi akibat dari autolisis sel-sel otot. Dilatasi ureter dan
pyelum normal dalam waktu 2 minggu. Urine biasanya berlebihan
(poliuri) antara hari kedua dan kelima, hal ini disebabkan karena
kelebihan cairan sebagai akibat retensi air dalam kehamilan dan
sekarang dikeluarkan. Kadang-kadang hematuri akibat proses katalitik
involusi. Diuresis yang normal dimulai segera setelah bersalin sampai
hari kelima setelah persalinan. Jumlah urine yang keluar dapat melebihi
3000 ml per harinya. Hal ini diperkirakan merupakan salah satu cara
untuk menghilangkan peningkatan cairan ekstraseluler yang merupakan
bagian normal dari kehamilan. Ureter dan pelvis renalis yang
mengalami distensi akan kembali normal pada 2-8 minggu setelah
persalinan (Cunningham, 2012; Wahyuningsih, 2018). Bila wanita
pasca persalinan tidak dapat berkemih dalam waktu >4 jam pasca
persalinan, mungkin ada masalah dan sebaiknya lakukan kateterisasi.
Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu ≤4 jam,
lakukan upaya-upaya merangsang berkemih dengan proses fisiologis.
Dan bila jumlah residu >200 ml maka kemungkinan ada gangguan
proses urinasinya, sehingga kateter harus tetap terpasang dan dibuka 4
jam kemudian. Bila volume urine ≤200 ml, kateter dibuka dan pasien
diharapkan dapat berkemih seperti biasa (Varney, 2015).
3) Sistem gastrointestinal
Selama persalinan, motilitas lambung berkurang, terutama akibat nyeri,
rasa takut dan obat narkotik. Penurunan tonus sfingter esofagus bawah,
penurunan motilitas lambung dan peningkatan keasaman lambung
menyebabkan perlambatan pengosongan lambung. Tonus dan tekanan
sfingter esofagus bawah kembali normal dalam 6 minggu selama
persalinan. Namun pada masa nifas dini, penurunan tonus otot dan
motilitas saluran cerna dapat menyebabkan relaksasi abdomen,
peningkatan distensi gas dan konstipasi segera setelah melahirkan.
Defekasi pertama biasanya terjadi dalam 2 atau 3 hari setelah persalinan
(Coad, 2006). Beberapa hal yang berkaitan dengan perubahan pada
sistem pencernaan, antara lain:
a. Nafsu Makan
Pasca melahirkan biasanya ibu merasa lapar, karena metabolisme
ibu meningkat saat proses persalinan, sehingga ibu dianjurkan untuk
meningkatkan konsumsi makanan, termasuk mengganti kalori,
energi, darah dan cairan yang telah dikeluarkan selama proses
persalinan. Ibu dapat mengalami peubahan nafsu makan. Pemulihan
nafsu makan diperlukan waktu 3–4 hari sebelum faal usus kembali
normal. Meskipun kadar progesteron menurun setelah melahirkan,
asupan makanan juga mengalami penurunan selama satu atau dua
hari.
b. Motilitas
Secara fisiologi terjadi penurunan tonus dan motilitas otot traktus
pencernaan menetap selama waktu yang singkat beberapa jam
setelah bayi lahir, setelah itu akan kembali seperti keadaan sebelum
hamil. Pada postpartum SC dimungkinkan karena pengaruh
analgesia dan anastesia bisa memperlambat pengembalian tonus dan
motilitas ke keadaan normal.
c. Pengosongan Usus
Pasca melahirkan, ibu sering mengalami konstipasi. Hal ini
disebabkan tonus otot usus menurun selama proses persalinan dan
awal masa pascapartum. Pada keadaan terjadi diare sebelum
persalinan, enema sebelum melahirkan, kurang asupan nutrisi,
dehidrasi, hemoroid ataupun laserasi jalan lahir, meningkatkan
terjadinya konstipasi postpartum. Sistem pencernaan pada masa
nifas membutuhkan waktu beberapa hari untuk kembali normal.
Beberapa cara agar ibu dapat buang air besar kembali teratur, antara
lain pengaturan diit yang mengandung serat buah dan sayur, cairan
yang cukup, serta pemberian informasi tentang perubahan eliminasi
dan penatalaksanaanya pada ibu (Wahyunuingsih, 2018).
4) Sistem hematologi
Kadar hemoglobin kembali ke kadar normal prahamil dalam 4-6
minggu dan jumlah sel darah putih turun ke normal dalam seminggu
setelah persalinan. Jumlah trombosit meningkat pada beberapa hari
pertama setelah persalinan, kemudian turun secara bertahap sampai ke
kadar prahamil. Aktifitas fibrinolitik maksimum segera setelah
persalinan selama beberapa jam sebagai respons terhadap keluarnya
plasenta, yang menghasilkan inhibitor fibrinolitik. Hasil akhir adalah
keadaan hiperkoagulabilitas pada kehamilan meningkat pada masa
nifas awal dan kemudian secara perlahan kembali ke keadaan prahamil
dalam beberapa minggu. Mobilisasi merupakan hal penting untuk
mengoptimalkan aliran balik vena untuk menghindari stasis di dalam
jaringan vaskular sehingga resiko trombosis vena profunda dapat
berkurang (Coad, 2006). Pada hari pertama postpartum, kadar
fibrinogen dan plasma akan sedikit menurun tetapi darah lebih
mengental dengan peningkatan viskositas, dan juga terjadi peningkatan
faktor pembekuan darah serta terjadi Leukositosis dimana jumlah sel
darah putih dapat mencapai 15.000 selama persalinan akan tetap tinggi
dalam beberapa hari pertama dari masa postpartum. Jumlah sel darah
putih tersebut masih bisa naik lagi sampai 25.000-30.000, terutama
pada ibu dengan riwayat persalinan lama (Cunningham, 2012).
5) Sistem kardiovaskular
Perubahan volume darah bergantung pada beberapa faktor, misalnya
kehilangan darah selama melahirkan dan mobilisasi, serta pengeluaran
cairan ekstravaskular (edema fisiologis). Kehilangan darah merupakan
akibat penurunan volume darah total yang cepat, tetapi terbatas. Setelah
itu terjadi perpindahan normal cairan tubuh yang menyebabkan volume
darah menurun dengan lambat. Pada minggu ke-3 dan ke-4 setelah bayi
lahir, volume darah biasanya menurun sampai mencapai volume darah
sebelum hamil. Pada persalinan pervaginam, ibu kehilangan darah
sekitar 300-400 cc. Pada persalinan dengan tindakan SC, maka
kehilangan darah dapat dua kali lipat. Perubahan pada sistem
kardiovaskuler terdiri atas volume darah (blood volume) dan hematokrit
(haemoconcentration). Pada persalinan pervaginam, hematokrit akan
naik sedangkan pada persalinan dengan SC, hematokrit cenderung
stabil dan kembali normal setelah 4-6 minggu postpartum. Tiga
perubahan fisiologi sistem kardiovaskuler pascapartum yang terjadi
pada wanita antara lain sebagai berikut:
a. Hilangnya sirkulasi uteroplasenta yang mengurangi ukuran
pembuluh darah maternal 10-15%.
b. Hilangnya fungsi endokrin placenta yang menghilangkan stimulus
vasodilatasi.
c. Terjadinya mobilisasi air ekstravaskular yang disimpan selama
wanita hamil.
Denyut jantung, volume dan curah jantung meningkat sepanjang masa
hamil. Segera setelah wanita melahirkan, keadaan ini meningkat
bahkan lebih tinggi selama 30-60 menit karena darah yang biasanya
melintasi sirkulasi uteroplacenta tiba-tiba kembali ke sirkulasi
umum/ke sistem vena kava. Nilai ini meningkat pada semua jenis
kelahiran. Curah jantung biasanya tetap naik dalam 24-48 jam
postpartum dan menurun ke nilai sebelum hamil dalam 10 hari
(Cunningham et al., 2012). Frekuensi jantung berubah mengikuti pola
ini. Resistensi vaskuler sistemik mengikuti secara berlawanan. Hal ini
diperkuat oleh mobilisasi cairan ekstrasel. Kehamilan normal
dihubungkan dengan peningkatan cairan ekstraseluler yang cukup
besar, dan diuresis postpartum merupakan kompensasi yang fisiologis
untuk keadaan ini. Ini terjadi teratur antara hari ke-2 dan ke-5 dan
berkaitan dengan hilangnya hipervolemia kehamilan residual. Pada
preeklampsi, baik retensi cairan antepartum maupun diuresis
postpartum dapat sangat meningkat (Cunningham et al., 2012).
Resolusi hipertrofi ventrikel berlangsung lambat. Remodeling vaskular
pada kehamilan menetap selama paling sedikit setahun setelah
persalinan dan diperkuat oleh kehamilan selanjutnya. Karena volume
darah dalam sirkulasi dan curah jantung turun pada masa nifas dan
ventrikel yang hipertrofi lambat mengalami remodelling, isi sekuncup
relatif tetap tinggi. Hal ini berarti kecepatan denyut jantung pada masa
nifas berkurang karena isi sekuncup secara proporsional memberi
kontribusi yang lebih besar terhadap penurunan curah jantung. Dengan
demikian, wanita masa nifas lazim mengalami bradikardia (penurunan
kecepatan denyut jantung menjadi sekitar 60-70 kali per menit).
Peningkatan kecepatan denyut mungkin mengindikasikan anemia berat,
trombosis vena atau infeksi (Coad, 2006).
6) Sistem Muskuloskeletal
Otot-otot uterus berkontraksi segera setelah persalinan. Pembuluh-
pembuluh darah yang berada di antara anyaman otot-otot uterus akan
terjepit. Proses ini akan menghentikan perdarahan setelah placenta
dilahirkan. Ligamen-ligamen, diafragma pelvis, serta fasia yang
meregang pada waktu persalinan, secara berangsur-angsur menjadi
pulih kembali ke ukuran normal. Pada sebagian kecil kasus uterus
menjadi retrofleksi karena ligamentum retundum menjadi kendor.
Tidak jarang pula wanita mengeluh kandungannya turun. Setelah
melahirkan karena ligamen, fasia, dan jaringan penunjang alat genitalia
menjadi kendor. Stabilitasi secara sempurna terjadi pada 6-8 minggu
setelah persalinan. Sebagai akibat putusnya serat-serat kulit dan distensi
yang berlangsung lama akibat besarnya uterus pada waktu hamil,
dinding abdomen masih agak lunak dan kendor untuk sementara waktu.
Untuk memulihkan kembali jaringan-jaringan penunjang alat genitalia,
serta otot-otot dinding perut dan dasar panggul, dianjurkan untuk
melakukan latihan atau senam nifas, bisa dilakukan sejak 2 hari post
partum (Wahyuningsih, 2018).
7) Sistem endokrin
Selama proses kehamilan dan persalinan terdapat perubahan pada
sistem endokrin, terutama pada hormone-hormon yang berperan dalam
proses tersebut, misalnya:
a. Oksitosin
Oksitosin disekresikan dari kelenjar otak bagian belakang. Selama
tahap ketiga persalinan, hormone oksitosin berperan dalam
pelepasan plasenta dan mempertahankan kontraksi, sehingga
mencegah terjadinya perdarahan. Isapan bayi dapat merangsang
produksi ASI dan sekresi oksitosin. Hal tersebut membantu uterus
kembali ke bentuk normal seperti pra hamil.
b. Prolaktin
Menurunnya kadar esterogen menimbulkan terangsangnya kelenjar
pituitary bagian belakang untuk mengeluarkan prolaktin, hormone
ini berperan dalam pembesaran payudara untuk merangsang
produksi susu. Pada wanita yang menyusui bayinya, kadar prolaktin
tetap tinggi dan pada permulaan ada rangsangan folikel dalam
ovarium yang ditekan. Pada wanita yang tidak menyusui bayinya
tingkat sirkulasi prolaktin menurun dalam 14-21 hari setelah
persalinan, sehingga merangsang kelenjar bawah depan otak yang
mengontrol ovarium kearah permulaan pola produksi esterogen dan
progesterone yang normal, pertumbuhan folikel, ovulasi dan
menstruasi.
c. Esterogen dan progesteron
Selama hamil volume darah normal meningkat walaupun
mekanismenya secara penuh belum dimengerti. Diperkirakan bahwa
tingkat esterogen yang tinggi memperbesar hormone antidiuretik
yang meningkatkan volume darah. Di samping itu, progesteron
mempengaruhi otot halus yang mengurangi perangsangan dan
peningkatan pembuluh darah. Hal ini sangat mempengaruhi saluran
kemih, ginjal, usus, diding vena, dasar panggul, perineum, vulva dan
vagina (Wahyuningsih, 2018).
8) Perubahan tanda-tanda vital
a. Suhu
Suhu tubuh wanita inpartu tidak lebih dari 37,20C. Sesudah partus
dapat naik kurang lebih 0,2-0,50C dari keadaan normal, namun tidak
akan melebihi 380C. Perubahan suhu tubuh ini hanya terjadi
beberapa jam setelah persalinan, setelah ibu istirahat dan mendapat
asupan nutrisi serta minum yang cukup, maka suhu tubuh akan
kembali normal. Bila suhu lebih dari 380C, mungkin terjadi infeksi
pada klien.
b. Nadi dan pernapasan
Nadi berkisar antara 60-80 denyutan per menit setelah partus, dan
dapat terjadi bradikardi. Bila terdapat takikardi dan suhu tubuh tidak
panas mungkin ada perdarahan berlebihan atau ada vitium kordis
pada penderita. Perubahan nadi yang menunjukkan frekuensi
bradikardi (100 kali permenit) menunjukkan adanya tanda shock
atau perdarahan. Pada masa nifas umumnya denyut nadi labil
dibandingkan dengan suhu tubuh, sedangkan pernapasan akan
sedikit meningkat setelah partus kemudian kembali seperti keadaan
semula.
Frekuensi pernapasan relatif tidak mengalami perubahan pada masa
postpartum, berkisar pada frekuensi pernapasan orang dewasa 12-16
kali permenit.
c. Tekanan darah
Setelah kelahiran bayi, harus dilakukan pengukuran tekanan darah.
Jika ibu tidak memiliki riwayat morbiditas terkait hipertensi,
superimposed hipertensi serta preeklampsi/eklampsi, maka biasanya
tekanan darah akan kembali pada kisaran normal dalam waktu 24
jam setelah persalinan. Pada beberapa kasus ditemukan keadaan
hipertensi post partum dan akan menghilang dengan sendirinya
apabila tidak terdapat penyakit-penyakit lain yang menyertainya
dalam ½ bulan tanpa pengobatan (Wahyuningsih, 2018).
2.2.3 Patofisiologi
Kegagalan migrasi trofoblas interstitial sel dan endothelial trofoblast ke dalam arterioli miometrium
Preeklampsia/
HELLP sindrom
Eklampsia
Kematian maternal:
Sembuh baik ANC Terminasi hamil:
Dekompensasiokordis
teratur Persalinan
Impending eklampsia Acute vascular accident
berencana
Fetal distress Kegagalan organ vital
Solusioplasenta Perdarahan
Kriteria Eden IUGR-asfiksia
Biofisikprofil fetal buruk
2.2.4 Faktor risiko
Faktor risiko yang berkaitan dengan preeklampsia antara lain :
1) Usia ibu yang ekstrim yaitu terlalu muda atau terlalu tua
Wanita yang hamil pada usia ekstrim yaitu < 20 tahun atau > 35 tahun
memiliki risiko 4,43 kali lebih tinggi untuk mengalami preeklampsia
dibandingkan dengan wanita yang hamil pada usia reproduksi 20 – 35 tahun
(Denantika, Serudji and Revilla, 2015). Pada usia < 20 tahun, ukuran uterus
belum mencapai ukuran yang normal untuk kehamilan, sehingga kemungkinan
terjadinya gangguan dalam kehamilan seperti preeklampsia menjadi lebih besar.
Faktor lain karena invasi trofoblas yang tidak sempurna dan kegagalan
remodelling arteri spiralis yang terkait dengan patofisiologi terjadinya
preeklampsia serta bagaimana ibu bereaksi (Kumari, Dash and Singh, 2016).
Pada usia > 35 tahun tahun terjadi proses degeneratif yang mengakibatkan
perubahan sruktural dan fungsional yang terjadi pada pembuluh darah perifer
yang bertanggung jawab terhadap perubahan tekanan darah, sehingga lebih
rentan mengalami preeklampsia (Denantika, Serudji and Revilla, 2015).
2) Nuliparitas
Nuliparitas adalah seorang ibu yang belum pernah melahirkan bayi untuk
pertama kali (Prawirohardjo, 2010). Penelitian Denantika (2015) menyebutkan
nuliparitas meningkatkan kejadian preeklampsia 2,2 kali lebih besar daripada
multiparitas. Secara teori, nuliparitas lebih berisiko untuk mengalami
preeklampsia daripada multiparitas karena preeklampsia biasanya timbul
pada wanita yang pertama kali terpapar vilus korion. Hal ini terjadi karena pada
wanita tersebut mekanisme imunologik pembentukan blocking antibody yang
dilakukan oleh HLA-G (Human Leukocyte Antigen G) terhadap antigen plasenta
belum terbentuk secara sempurna, sehingga proses implantasi trofoblas ke
jaringan desidual ibu menjadi terganggu. Nuliparitas juga rentan mengalami
stres dalam menghadapi persalinan yang akan menstimulasi tubuh untuk
mengeluarkan kortisol. Efek kortisol adalah meningkatkan respon simpatis,
sehingga curah jantung dan tekanan darah juga akan meningkat (Cunningham et
al, 2012). .
3) Obesitas
Obesitas adalah peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan skeletal
dan fisik akibat akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh (Wafiyatunisa, 2016).
Sedangkan WHO menjelaskan bahwa obesitas merupakan penimbunan lemak
yang berlebihan di seluruh jaringan tubuh secara merata yang dapat
menyebabkan gangguan kesehatan dan menimbulkan berbagai penyakit seperti
diabetes, tekanan darah tinggi, serangan jantung yang dapat menyebabkan
kematian. Kriteria yang paling sering digunakan untuk menentukan status gizi
seseorang adalah Indeks Masa Tubuh (IMT), IMT <18,5 dikategorikan
underweight (kurang berat badan), IMT 18,6-24,9 dikategorikan normal, dan
IMT >30 dikategorikan obesitas. Wanita dengan obesitas sebelum kehamilan
memiliki risiko 4 kali lipat mengalami preeklampsia dibandingkan dengan
wanita dengan IMT normal. Faktor-faktor seperti inflamasi, resistensi insulin,
dislipidemia, stres oksidatif, serta diet berhubungan dengan peningkatan kadar
ADMA. ADMA adalah suatu inhibitor endogen dari Nitrit oxide sintase (NOS)
yang akan meningkat pada wanita obesitas dan akan mempengaruhi terjadinya
preeklampsia. Oleh sebab itu perlu diperhatikan dalam perencanaan kehamilan
atau prakonsepsi tentang pengaturan makanan seperti diet tinggi protein, dan
rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak
berlebihan karena terbukti bahwa obesitas dapat mempengaruhi terjadinya
preeklampsia (Wafiyatunisa, 2016).
4) Riwayat preeklampsia sebelumnya
Wanita yang mengalami preeklampsia pada kehamilan sebelumnya mempunyai
risiko 8,4 kali lebih tinggi (7,1-9,9: CI 95%) pada kehamilan berikutnya (Bartsch
et al., 2016)
5) Penyakit komplikasi maternal
Penyakit komplikasi maternal yang dapat meningkatkan kejadian preeklampsia
antara lain diabetes gestasional sebesar 3,7 kali, hipertensi kronis 5,1 kali, gagal
ginjal kronis 1,8 kali, SLE 2,5 kali CI 95% (Bartsch et al., 2016). Hal ini dapat
terjadi juga jika terdapat massa plasenta yang besar seperti pada ondisi
hiperplasentosis, hidrops fetalis dan kehamilan multiple.
2.2.5 Klasifikasi
Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi
ante, intra, dan postpartum. Gambaran klinis pada penderita preeklampsia sangat
bervariasi pada masing-masing individu, adanya keterlibatan banyak organ
berpotensi meningkatkan gejala klinis yang lebih berat. Beberapa pemeriksaan
yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa preeklampsia antara lain
pemeriksaan klinis, biofisik, dan biokimia. Pemeriksaan tersebut antara lain:
1) Tekanan Darah
Rekomendasi POGI untuk pengukuran tekanan darah antara lain pemeriksaan
dilakukan pada pasien dalam keadaan tenang, tensimeter yang digunakan
dianjurkan memakai tensimeter air raksa yang sudah dikalibrasi. Pasien
diperiksa dalam posisi duduk dengan manset ukuran yang sesuai dipasang sesuai
level jantung. Pengukuran tekanan darah diastolik berdasarkan bunyi korotkoff
V. Hipertensi didiagnosa apabila dalam dua kali pengukuran dengan selang 15
menit terdapat kenaikan tekanan sistolik >30 mmHg atau ≥140 mmHg, dan
tekanan diastolik terdapat kenaikan >15 mmHg atau ≥ 90 mmHg.
2) Kenaikan berat badan/ Indeks Masa Tubuh (IMT)
Kenaikan berat badan pada penderita preeklampsia adalah kenaikan berat badan
berlebih yang terjadi secara singkat sebagai manifestasi adanya edema. IMT >
35 pada kunjungan trimester I meningkatkan risiko preeklampsia.
3) Pemeriksaan sistem vaskular
(1) Tes Tidur Miring (TTM) atau Roll Over Test (ROT)
Pemeriksaan ini dilakukan pada saat usia kehamilan 28-32 minggu dengan
cara mengukur tekanan darah pasien dengan posisi tidur miring kiri, lalu
hasil dicatat. Pengukuran selanjutnya dilakukan dalam posisi pasien tidur
terlentang dan hasil dicatat. ROT dianggap positif jika perbandingan selisih
tekanan darah diastolik pada posisi miring dan terlentang ≥ 15 mmHg.
(2) Infus angiotensin II
Tes ini dilakukan pada usia kehamilan 28-32 minggu, dengan memberikan
infus angiotension II < 8 ng/kgbb/menit jika terjadi kenaikan tekanan
diastolik 20 mmHg maka dapat terjadi preeklampsia. Tes ini tidak praktis
dari segi biaya, waktu dan proses yang rumit.
(3) Tes latihan isometrik (isometric exercise test)
Tes ini dilakukan dengan cara pasien berbaring ke sisi lateral kiri, diukur
tekanan darah lalu pasien memijit bola karet tensimeter yang dipasang di
lengan lain sampai kontraksi maksimal untuk 30 detik dalam waktu 3 menit.
Hasil dinyatakan positif jika didaptkan kenaikan tekanan diastolik > 20
mmHg.
(4) Pemeriksaan biokimia
Biomarker atau petanda preeklampsia dapat membantu deteksi dini dan
pencegahan serta penatalaksanaan yang tepat. Biomarker yang cukup
penting pada preeklampsia yang terkait dengan iskemia plasenta dan
disfungsi endotel adalah faktor angiogenik yang terdiri dari pro-angiogenik
dan anti-angiogenik. Protein anti-angiogenik seperti soluble FMS-like
tirosinkinase-1 (sFlt-1) dan soluble Endoglin (sEng) yang diproduksi secara
berlebihan dalam sirkulasi maternal ikut bertanggungjawab terhadap
timbulnya preeklampsia. Faktor pro-angiogenik meliputi Vascular
Endotelial Growth Factor (VEGF), Placental Growth Factor (PIGF), dan
Transforming Growth Factor-β1 (TGFβ-1) (Lindheimer and Romero, 2007;
Mikat et al., 2012). Ketidakseimbangan antara faktor-faktor angiogenik
seperti meningkatnya kadar sFlt-1 dan sEng dan kadar PIGF, VEGF serta
TGFβ-1 yang rendah menjadi penyebab terjadinya disfungsi endotel pada
preeklampsia (Eiland, Nzerue and Faulkner, 2012).
Pemeriksaan biokimia menggunakan marker ini membutuhkan biaya tinggi,
di Indonesia menggunakan pemeriksaan kadar asam urat, kadar kalsium,
dan kadar HCG (Human Chorionic Gonadotrophin) dengan biaya yang
relatif terjangkau. Konsentrasi asam urat > 350 umol/L merupakan petanda
preeklampsia berat. Kadar asam urat mulai meningkat 6 minggu sebelum
preeklampsia menjadi berat. Kadar kalsium dideteksi dengan pemeriksaan
teraradioimunologik, pada usia kehamilan 24-34 minggu apabila didapatkan
mikroalbuminuria dan hipokalasuria merupakan petanda dari preeklampsia.
Kadar HCG pada penderita preeklampsia mengalami peningkatan. Pada
trimester I jika didapatkan kadar HCG > 2 kali lipat kadar rata-rata dapat
meningkatkan 1,7 kali kejadian preeklampsia.
(5) Pemeriksaaan hematologi
Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan kadar haemoglobin dan hematokrit
serta kadar trombosit dan fibronectin. Kadar Hemoglobin rendah < 7gr/dL
dapat meningkatkan kejadian preeklampsia sebesar 8,2 % atau meningkat
3,6 kali dibanding ibu hamil yang memiliki kadar Hb normal dan 3,3% pada
kejadian eklamsia (Ali et al., 2011). Namun masih terdapat beberapa
perbedaan pendapat dalam menentukan kadar Hb sebagai petanda
preeklampsia. Kadar hematokrit yang meningkat mempengaruhi kejadian
preeklampsia, terjadi karena adanya hemokonsentrasi akibat volume plasma
yang menurun karena vasospasme.
Kadar trombosit akan mengalami penurunan sebelum tekanan darah
meningkat pada preeklampsia. Kelainan hemostatis yang sering pada
preeklampsia adalah peningkatan kadar faktor pembekuan VIII dan
penurunan kadar anti thrombin III. Peningkatan kadar fibronectin juga
ditemukan dalam preeklampsia, saat terjadi kerusakan endotel vascular,
maka fibronektin akan dilepaskan ke dalam sirkulasi maternal.
(6) Pemeriksaan USG Doppler
Pada pemeriksaan USG Doppler untuk penderita preklamsia didapatkan
gambaran kelainan gelombang arteri umbilikalis yaitu gelombang diastolik
yang rendah, hilang atau terbalik. Sebagian besar ditemukan adanya
penurunan aliran darah arteri uterine dan arteri umbilikalis.
Pemeriksaan skrining preeklampsia selain menggunakan biomarker dan
USG Doppler Velocimetry masih belum dapat direkomendasikan secara
rutin, sampai metode skrining tersebut terbukti meningkatkan luaran
kehamilan (POGI, 2016).
Diagnosis preeklampsia ditegakkan saat usia kehamilan ≥ 20
minggu, ditandai dengan adanya hipertensi dan adanya gangguan organ.
Proteinuria tidak direkomendasikan untuk diagnosa preeklampsia akan
tetapi adanya protein dalam urin ditemukan pada 75% kasus preeklampsia
(Brown et al., 2018), apabila tidak didapatkan proteinuria, maka salah satu
atau lebih tanda dan gejala sebagai berikut dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosa preeklampsia, antara lain :
1) Kadar trombosit < 100.000/mikroliter
2) Disfungsi organ maternal, pada ginjal ditandai dengan peningkatan
kadar serum kreatinin > 1.1 mg/dL, pada hepar peningkatan fungsi hati
lebih dari dua kali lipat, serta adanya keluhan nyeri epigastrium
3) Edema paru
4) Gangguan neorologis seperti nyeri kepala, stroke, dan gangguan
penglihatan
5) Gangguan sirkulasi uteroplasenta seperti pertumbuhan janin terhambat,
oligohidramnion, atau didapatkan adanya ARDV (absent or reserved
end diastolic velocity) (ACOG, 2013; Brown et al., 2018).
ISSHP sudah tidak merekomendasikan klasifikasi preeklampsia
menjadi ringan, karena setiap preeklampsia merupakan kondisi berbahaya
dan mengakibatkan tingginya morbiditas dan morbiditas maternal dalam
waktu singkat (ACOG, 2013; Brown et al., 2018). Beberapa gejala klinis
yang menunjukkan adanya pemberatan atau preeklampsia berat dapat
dilihat dari salah satu atau beberapa kriteria gejala dan kondisi seperti di
bawah ini :
1) Hipertensi : tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan diastolik ≥ 110
mmHg pada dua kali pemeriksaan menggunakan lengan yang sama
berjarak 15 menit
2) Trombositopeni : trombosit < 100.000/microliter
3) Disfungsi organ maternal, pada ginjal ditandai dengan peningkatan
kadar serum kreatinin > 1.1 mg/dL, pada hepar peningkatan fungsi hati
lebih dari dua kali lipat, serta adanya keluhan nyeri epigastrium
4) Gangguan neorologis seperti nyeri kepala, stroke, dan gangguan
penglihatan
5) Gangguan sirkulasi uteroplasenta seperti pertumbuhan janin terhambat,
oligohidramnion, atau didapatkan adanya ARDV (absent or reserved
end diastolic velocity) (ACOG, 2013; POGI, 2016).
Berdasarkan usia kehamilan terjadinya preeklampsia dapat
diklasifikasikan menjadi preeklampsia tipe dini (early onset preeclamcia)
dan preeklampsia tipe lambat (late onset preeclamcia).
1) Preeklampsia tipe dini
Preeklampsia tipe dini terjadi pada saat usia kehamilan < 34 minggu
sebagai akibat dari plasentasi yang tidak sempurna dan kegagalan
remodeling arteri spiralis, sehingga menimbulkan stress oksidatif pada
sinsiotrofoblas. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan janin terhambat.
2) Preeklampsia tipe lambat
Preeklampsia tipe lambat terjadi sekitar 80% dari seluruh kasus
preeklampsia pada usia kehamilan > 34 minggu, penyebab bukan
berasal dari faktor plasenta. Beberapa gambaran khas pada
preeklampsia tipe lambat adalah sebagai berikut :
(1) Tidak ditemukan adanya pertumbuhan janin terhambat
(2) Pada USG Doppler tampak gambaran arteri spiralis normal dan
tidak ada perubahan aliran darah di arteri umbilikalis
(3) Peningkatan risiko pada ibu yang memiliki komplikasi penyakit
maternal seperti diabetes mellitus, gemelli, anemia atau tinggal di
dataran tinggi
2.2.7 Penatalaksanaan
Perawatan dan pengobatan preeklampsia mencakup pencegahan
kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif
terhadap penyulit organ yang terlibat.
1. Pemberian obat anti kejang
a. MgSO4 (Magnesium sulfat)
Obat antikonvulsan pada preeklampsia yang sampai saat ini masih
menjadi pilihan pertama baik di dunia maupun di Indonesia adalah
magnesium sulfat (MgSO47H2O). Magnesium sulfat menghambat
atau menurunkan kadar asteilkolin pada rangsangan neuron dengan
menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular
membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium
sulfat, magnesium akan berkompetisi dengan kalsium sehingga aliran
rangsangan tidak terjadi (terjadi inhibisi kompetitif antara ion kalsium
dan magnesium).
2. Pemberian antihipertensi
Obat antihipertensi mulai diberikan pada preeklampsia berat dengan
tekanan darah ≥160/100 mm Hg. Obat hipertensi yang dapat digunakan
pada kasus preeklampsia adalah hidralazin, labetalol, nifedipin, dan
sodium nitroprusside. Di Indonesia, karena tidak tersedia hidralazin dan
labetalol IV, obat antihipertensi yang menjadi lini pertama adalah
nifedipin.
Dosis awal nifedipin adalah 10-20 mg per oral, diulangi setiap 30 menit
bila perlu (maksimal 120 mg dalam 24 jam). Nifedipin tidak boleh
diberikan secara sublingual karena efek vasodilatasi yang sangat cepat.
Untuk obat antihipertensi lini kedua jika tidak tersedia nifedipin, dapat
juga digantikan dengan labetalol oral atau sodium nitroprusside IV. Dosis
inisial labetalol oral adalah 10 mg. Jika setelah 10 menit respon tidak
membaik, dapat diberikan lagi labetalol 20 mg.
Untuk sodium nitroprusside IV, dosis yang dipakai adalah 0.25
μg/kg/menit (infus) kemudian dapat ditingkatkan menjadi 0.25 μg/kg/5
menit (WHO, 2011; Ross, 2016).
Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian
antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik ≥ 180 mmHg dan atau
tekanan sistolik ≥110 mmHg. Jenis antihipertensi yang dapat digunakan:
2.2.8 Komplikasi
1. Penyulit ibu
a. Komplikasi pada sistem saraf pusat meliputi perdarahan intrakranial,
trombosis vena sentral, hipertensi ensefalopati, edema serebri, edema
retina, macular atau retina detachment dan kebutaan korteks.
b. Gastrointestinal-hepatik: subskapular hematoma hepar, rupture kapsul
hepar.
c. Ginjal: gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut.
d. Hematologic: DIC, trombositopenia dan hematoma luka operasi.
e. Kardiopulmonar: edema paru kardiogenik atau nonkardiogenik, depresi
atau arrest pernapasan, cardiac arrest, iskemia miokardium.
f. Lain-lain: asites, edema laring, hipertensi yang tidak terkendalikan
2. Penyulit janin
Penyulit yang dapat terjadi pada janin ialah intrauterine fetal growth
restriction, solusio plasenta, prematuritas, sindroma distress napas,
kematian janin intrauterine, kematian neonatal intraventrikular, necrotizing,
sepsis, cerebral palsy (Saifuddin, 2009).
2.4 Konsep Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas dengan PEB
1. Data Subjektif
a. Identitas
- Umur
Wanita yang hamil pada usia ekstrim yaitu < 20 tahun atau > 35 tahun
memiliki risiko 4,43 kali lebih tinggi untuk mengalami preeklampsia
dibandingkan dengan wanita yang hamil pada usia reproduksi 20 – 35
tahun (Denantika, Serudji and Revilla, 2015). Pada usia < 20 tahun,
ukuran uterus belum mencapai ukuran yang normal untuk kehamilan,
sehingga kemungkinan terjadinya gangguan dalam kehamilan seperti
preeklampsia menjadi lebih besar. Faktor lain karena invasi trofoblas yang
tidak sempurna dan kegagalan remodelling arteri spiralis yang terkait
dengan patofisiologi terjadinya preeklampsia serta bagaimana ibu
bereaksi (Kumari, Dash and Singh, 2016). Pada usia > 35 tahun tahun
terjadi proses degeneratif yang mengakibatkan perubahan sruktural dan
fungsional yang terjadi pada pembuluh darah perifer yang bertanggung
jawab terhadap perubahan tekanan darah, sehingga lebih rentan
mengalami preeklampsia (Denantika, Serudji and Revilla, 2015).
- Pendidikan
Faktor resiko meningkat pada masyarakat dengan status ekonomi rendah
dan pendidikan yang rendah (Cunningham, 2012).
- Pekerjaan
Pekerjaan yang terlalu berat akan meningkatkan stress, oedema yang
menyebabkan preeklampsia. Penetuan aktifitas ibu sehari hari, untuk
menilai dan memperkirakan kebutuhan kalori ibu agar diit untuk
pengelolaan gizi dapat terlaksana dengan tepat (Cunningham,2012).
b. Keluhan Utama : Keluhan yang mungkin di rasakan pada ibu nifas dengan
Preeklampsia Berat : tekanan darah meningkat (hipertensi), pusing, nyeri
epigastrium, oligouria, sakit kepala menyeluruh dan menetap, vertigo,
malaise, gangguan serebral atau penglihatan, pembengkakan terutama
pada kaki, merasa cepat lelah, serta nyeri otot atau persendian, edema paru
atau sianosis dan kejang, (Wahyuningsih, 2018).
c. Riwayat Obstetri
- Pada primigravida mempunyai faktor resiko yang lebih tinggi
mengalami preeklamsia, hal ini terkait dengan lama pajangan sperma
(Fraser,2009).
- Nuliparitas lebih berisiko untuk mengalami preeklampsia daripada
multiparitas karena preeklampsia biasanya timbul pada wanita
yang pertama kali terpapar vilus korion. Hal ini terjadi karena pada
wanita tersebut mekanisme imunologik pembentukan blocking
antibody yang dilakukan oleh HLA-G (Human Leukocyte Antigen G)
terhadap antigen plasenta belum terbentuk secara sempurna, sehingga
proses implantasi trofoblas ke jaringan desidual ibu menjadi terganggu.
Nuliparitas juga rentan mengalami stres dalam menghadapi persalinan
yang akan menstimulasi tubuh untuk mengeluarkan kortisol. Efek
kortisol adalah meningkatkan respon simpatis, sehingga curah jantung
dan tekanan darah juga akan meningkat (Cunningham et al, 2012). .
- Ibu multipara (multipaternitas) yang kemudian menikah lagi
mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan
jika dibandingkan dengan suami yang sebelumnya (Angsar, Dikman
2009).
d. Riwayat Kesehatan Ibu
Wanita yang mengalami preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
mempunyai risiko 8,4 kali lebih tinggi (7,1-9,9: CI 95%) pada kehamilan
berikutnya (Bartsch et al., 2016). Penyakit komplikasi maternal yang
dapat meningkatkan kejadian preeklampsia antara lain diabetes
gestasional sebesar 3,7 kali, hipertensi kronis 5,1 kali, gagal ginjal kronis
1,8 kali, SLE 2,5 kali CI 95% (Bartsch et al., 2016). Hal ini dapat terjadi
juga jika terdapat massa plasenta yang besar seperti pada kondisi
hiperplasentosis, hidrops fetalis dan kehamilan multipel.
e. Riwayat kesehatan Keluarga
Kejadian preeklampsia erat kaitannya dengan hubungan kerabat. Angka
kejadian tertinggi ditemukan pada anak perempuan dengan ibu
preeklampsia, selain itu seorang wanita yang pasangannya pernah menjadi
ayah dari kehamilan preeklampsia berisiko terjadi preeklampsia, dengan
kata lain faktor paternal juga ikut berperan. Faktor keturunan yang
diwariskan dari garis maternal lebih kuat 2,2 kali daripada garis paternal
(Lisowska, Pietrucha and Sakowicz, 2018). Mengkaji riwayat penyakit
menurun seperti diabetes, hipertensi, dan gemeli (kehamilan kembar) pada
keluarga.
f. Pola Hidup Sehari – hari
- Nutrisi : Konsumsi makanan dan minuman yang mengandung vitamin C
dan vitamin E merupakan sistem pertahanan antioksidan. Antioksidan
dapat mencegah kerusakan endotel sehingga produksi tromboksan
(vasokonstriktor kuat) tidak meningkat. Pola nutrisi yang baik pada
preeklampsia berat adalah diet tinggi protein rendah lemak, karbohidrat.
Hal ini bertujuan untuk melindungi fungsi ginjal dan mencegah
peningkatan tekanan darah. Defisit kalsium pada diet perempuan hamil
mengakibatkan risiko terjadinya preeklampsia dan eklampsia
(Wiknjosastro, 2010). Hendaknya diet ditambah dengan suplemen yang
mengandung minyak ikan yang kayak dengan asam lemak tidak jenuh
misal omega-3 PUFA, antioksidan (vitamin C, E, β Karoten, CoQ10, N-
Asetilsistein, asam lipoik) dan elemen logam berat (zink, magnesium,
kalsium) ( Angsar, Dikman. 2009). Batasan pemberian cairan maksimal
1000 cc/hari menghindari risiko ALO.
- Eliminasi : Pada hipertensi terjadi kelainan fungsional maupun anatomi
ginjal. Pada PEB terjadi oligouria <500cc urine/24jam (Winkjosastro,
2014).
- Istirahat : Istirahat baring yang cukup dapat mengurangi
kemungkinan/insiden hipertensi dalam kehamilan (Dewi,2012).
Kurangnya istirahat akan memperburuk hipertensi (Sarwono, 2008).
- Aktivitas : Aktivitas berat dan stessor yang tinggi meningkatkan
terjadinya hipertensi
g. Data Psikososial Spiritual
Perkawinan : perkawinan yang keberapa, umur saat kawin untuk
mengetahui apakah ibu kawin untuk pertama kali dalam usia reproduksi
(20-35 tahun) dimana jika ibu kawin pertama kali pada usia +/- 18 tahun
atau +/-35 tahun merupakan usia yang ekstrim yang merupakan faktor
predisposisi yang dapat menimbulkan preeklampsia pada ibu (Fraser
2009; Cunningham 2013). Kebiasaan yang dilakukan ibu dapat
berpengaruh pada kondisi bayinya, yaitu merokok atau radikal bebas
dianggap toksin yang menyebabkan iskemia plasenta sehingga
meningkatkan resiko terjadinya preeklamsi (Cunningham, 2012).
Periode masa nifas merupakan waktu dimana ibu mengalami stress pasca
persalinan, terutama pada ibu primipara. Periode ini diekspresikan oleh
Reva Rubin yang terjadi pada 3 tahap berikut :
- Taking in period
Terjadi pada 1-2 hari setelah persalinan. Ibu masih pasif dan sangat
bergantung pada orang lain, fokus perhatian terhadap tubuhnya, ibu
lebih mengingat pengalaman melahirkan dan persalinan yang dialami,
serta kebutuhan tidur dan nafsu makan meningkat.
- Taking hold period
Berlangsung 3-4 hari postpartum. Ibu lebih berkonsentrasi pada
kemampuannya dalam menerima tanggung jawab sepenuhnya terhadap
perawatan bayi. Pada masa ini ibu menjadi sangat sensitive, sehingga
membutuhkan bimbingan dan dorongan perawat untuk mengatasi
kritikan yang dialami ibu.
- Letting go period
Dialami setelah ibu dan bayi tiba di rumah. Ibu secara penuh menerima
tanggung jawab sebagai “seorang ibu” dan menyadari atau merasa
kebutuhan bayi sangat bergantung pada dirinya.
2. Data Objektif
a. Kesadaran : composmentis, apatis, somnolent, sopor, koma
Tergantung derajat preeklamsi semakin berat semakin jelek keadaan
umum serta kesadarannya.
b. TTV :
- Tekanan Darah (TD) :
PEB : ≥ 160/110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun sampai masa
nifas
- Suhu : Perubahan suhu tubuh ini hanya terjadi beberapa jam setelah
persalinan, setelah ibu istirahat dan mendapat asupan nutrisi serta minum
yang cukup, maka suhu tubuh akan kembali normal. Bila suhu lebih dari
380C, mungkin terjadi infeksi pada klien.
- Berat Badan
Wanita dengan obesitas sebelum kehamilan memiliki risiko 4 kali lipat
mengalami preeklampsia dibandingkan dengan wanita dengan IMT
normal. Faktor-faktor seperti inflamasi, resistensi insulin, dislipidemia,
stres oksidatif, serta diet berhubungan dengan peningkatan kadar ADMA.
ADMA adalah suatu inhibitor endogen dari Nitrit oxide sintase (NOS)
yang akan meningkat pada wanita obesitas dan akan mempengaruhi
terjadinya preeklampsia. Pemeriksaan fisik
- Wajah : oedem pada wajah merupakan indikasi preeklamsi
- Mata : oedema palpebra, pandangan pada kasus preeklampsia
berat biasa terjadi gangguan visus
- Payudara : colostrum sudah keluar
- Abdomen : terdapat luka bekas sc / operasi, kontraksi uterus keras,
Pada PEB kadang di dapatkan nyeri epigastrium.
- Genetalia : jumlah perdarahan, jenis lochea, lochea berbau dan
purulenta menandakan adanya infeksi
- Ekstremitas : terdapat edema ekstremitas, reflek patella untuk menilai
syarat pemberian MgSO4
c. Pemeriksaan Penunjang
- Tes laboratorium :
Pemeriksaan Darah Lengkap (trombositopenia sebagai tanda HELLP
sindrom), leukositosis menandakan infeksi nifas, dan Hb turun
menandakan anemia
Pemeriksaan faal ginjal, hepar, faal hemostasis, kadar Gula darah
Protein Urine: melihat kadar protein dalam urine, hal ini perlu dilakukan
untuk menilai fungsi ginjal
3. Analisis Data
Diagnosa : PAPAH Post Partum SC atas indikasi PEB hari ke-
Masalah : pusing, nyeri epigastrium
4. Perencanaan tindakan
a) Menjelaskan hasil pemeriksaan dan kondisi masa nifas pada ibu dan
keluarga
R/: ibu dan keluarga mengetahui tentang keadaan masa nifasnya
sehingga dapat menentukan tindakan yang tepat untuk menjaga
kesehatan diri ibu. Berbagai resiko yang bisa terjadi selama mengalami
preeklampsia berat sehingga diperlukan observasi ketat untuk
memonitor kondisi ibu.
b) Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital dan keluhan subjektif
R/: Keadaan umum dan tanda-tanda vital merupakan indikator
perubahan fisiologi tubuh, keluhan subjektif ibu seperti nyeri kepala
hebat, nyeri epigastrium, dan gangguan visus merupakan tanda
impending eklampsia
c) Observasi TFU, kontraksi, dan pengeluaran lochea
R/: penilaian TFU, kontraksi uterus dan lochea untuk menilai proses
involusi
d) Observasi ketat balance cairan
R/: risiko cairan berlebih akan menyebabkan edema paru
e) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi dan pemeriksaan
yang lebih lengkap.
R/: Kolaborasi dengan berbagai bidang dilakukan untuk mencegah dan
mengatasi kegawatdaruratan yang terjadi.
f) Menginformasikan kepada ibu dan keluarga tentang tanda-tanda
bahaya masa nifas, perawatan payudara, personal hygiene, kontrasepsi,
tanda-tanda hipoglikemia, hiperglikemia, dan tanda-tanda persalinan.
R/: ibu dan keluarga mengetahui tentang KIE yang diberikan untuk
lebih memberdayakan ibu sebagai women centered care
g) Melibatkan keluarga untuk memberikan dukungan psikologis ibu
R/: Dukungan psikologis diperlukan untuk menghindari masalah
psikologis postpartum, dan proses laktasi.
h) Melakukan perawatan luka operasi sesuai standar operasional prosedur
R/: perawatan luka dilakukan dengan memperhatikan teknik septik dan
aseptik untuk mencegah terjadinya infeksi luka operasi
i) Pencegahan dan tatalaksana kejang
Bila terjadi kejang, perhatikan jalan nafas, pernapasan (oksigen) dan
sirkulasi (cairan)
R/: Penatalaksanaan kejang harus memperhatikan airway, breathing,
dan circulation
Berikan MgSO4 untuk penatalaksanaan awal dan rumatan
R/: MgSO4 sebagai obat antikejang lini pertama untuk preeklampsia
berat maupun eklampsia.
j) Kolaborasi dengan Spesialis Anestesi untuk melakukan intubasi jika
terjadi kejang berulang dan segera kirim ibu ke ruang ICU (bila
tersedia) yang sudah siap dengan fasilitas ventilator
R/: perawatan intensif diperlukan pada kondisi gawat darurat dan
mengancam nyawa
4. Implementasi
Pelaksanaan tindakan dalam asuhan kebidanan dilaksanakan berdasarkan
rencana tindakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang
diharapkan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Dalam
pelaksanaan ini bidan melakukan secara kolaborasi dengan tenaga
kesehatan yang lain.
5. Evaluasi
Menilai tentang efektivitas tindakan yang telah diberikan serta
mengadakan penyesuaian kembali pada langkah sebelumnya pada setiap
aspek dari proses manajemen yang tidak efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Baha M., Sibai MD. 2011. Etiology and management of postpartum hypertension-
preeclampsia. AJOG. doi:10.1016.j.ajog.201109002.
Bahiyatun, 2009. Buku Ajar Kebidanan Asuhan Nifas Normal. Jakarta : EGC
Baston, H. & Hall, J. (2011). Midwifery Essential Postnatal, Volume 4. United
Kingdom.
Boyle, Maureen. 2009. “Pemulihan Luka”. Jakarta : EGC.
Coad, Jane, Dunstall dan Melvyn. 2007. Anatomi & Fisiologi Untuk Bidan. Jakarta:
EGC
Cunningham, F. Gary, Kenneth J. Leveno, James M. Alexander. Steven L. Bloom,
Brian M. Casey, Jodi S. Dashe. 2014. Obstetri Williams Edisi 23. Alih
bahasa, Brahm U. Pendit, editor bahasa Indonesia, Rudi Setia. Jakarta:
EGC.
Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Hauth, J.C., Rouse, D.J., & Spong,
C.Y. (2012). Obstetri Williams. Volume 1. New York: McGraw-Hill
Education.
Dewi, V.N.L. dan Tri S. 2011. Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas. Jakarta: Salemba
Medika
Fadlun, & Feryanto, A. (2011). Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta: Salemba
Medika
Fraser, D.M. & Cooper, M.A. (2009). Myles Buku Ajar Bidan (Edisi 14). Jakarta:
EGC.
Garcia, J. & Marchant, S. (2000). The Potential of Postnatal Care. London: Bailliere
Tindall.
Holmes D dan Baker P. 2011. Buku Ajar Ilmu Kebidanan. Jakarta: EGC.
Kemenkes RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan Edisi Pertama. Jakarta: Kemenkes RI.
Khidri FF. 2019. Various presentations of preeclampsia at tertiary care hospital of
Sidh: A cross-sectional study. Current Hypertension Reviews. 15(0) pp. 1-7. doi
10.2174/1573402115666191009120640
King, T.L., Brucker, M.C., Kriebs, J.M., Fahey,J.O., Gregor, C.L., & Varney, H.
(2015). Varney’s Midwifery, Fifth Edition. United States of America: Jones
& Bartlett Learning Books, LLC, An Ascend Learning Company, Alih
Bahasa oleh EGC Jakarta.
Manuaba, Ida Ayu Chandranita, 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan Dan
KB Untuk Pendidikan Bidan Edisi 2. Jakarta : EGC
Maryunani, Anik. Asuhan pada Ibu Dalam Masa Nifas (Post Partum).
Jakarta:EGC; 2009.
Medforth, J., Battersby, S., Evans, M., Marsh, B., & Walker, A. (2006). Oxford
Handbook of Midwifery. English: Oxford University Press.