Anda di halaman 1dari 7

UNIVERSITAS AIRLANGGA

FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIDAN
Kampus A Jl. Mayjen Prof. Dr. Moestopo 47 Surabaya 60131 Telp. (031) 5020251, 5030252, 5030253.
Ext. 123 Fax (031) 5022472 website : http://www.fk.unair.ac.id email :imfo@fk.unair.ac.id

LAPORAN REFLEKSI
PROLAPS ORGAN PANGGUL PADA WANITA MENOPAUSE
Oleh : Daranindra Dewi Saraswati

Hari ini, 9 September 2019, adalah hari pertama saya menempuh


Pendidikan Profesi Bidan. Sebanyak empat stase harus saya tempuh, salah satunya
adalah stase kesehatan reproduksi dan ginekologi, yang bertempat di Poli
Kandungan Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya. Setiap harinya, saya menemui
berbagai macam keluhan wanita terkait kesehatan reproduksi mereka. Hingga suatu
hari, saya, partner saya dari institusi lain, dan dokter penanggungjawab ruangan
berkesempatan bertemu dengan seorang ibu berusia 68 tahun ditemani oleh
anaknya, mengeluh merasakan ganjalan pada dubur. Ibu menjelaskan keluhan yang
dialami berawal dari rasa mengganjal pada jalan lahir, dan ketika diraba, terasa
seperti daging menonjol yang tidak dapat dimasukkan kembali. Ibu mengatakan
sempat dilakukan pemasangan ring untuk membantu menahan daging tersebut agar
tidak terus turun, namun seringkali lepas. Sejak lepasnya ring tersebut, ibu
merasakan ganjalan yang dirasakan pada jalan lahirnya semakin memberat dan
sangat tidak nyaman untuk beraktivitas, hingga di tahun 2014, dilakukanlah operasi
pengangkatan rahim. Ibu mengira pengangkatan rahim akan menghentikan
keluhannya, namun ternyata saat ini, ibu mulai merasakan nyeri perut, perasaan
mengganjal di dubur, dan seringkali buang air besar. Ibu merasa cemas jika
kejadian yang telah lalu terulang kembali. Di dalam ruangan, kami berbagi tugas,
dimana kami mempersiapkan alat untuk pemeriksaan ginekologis, sedangkan
dokter memeriksa genitalia ibu untuk menentukan derajat keparahan dari prolapse
organ panggul yang diderita ibu.

Saya mempersilahkan ibu naik ke meja ginekologi dan meminta ibu untuk
melakukan posisi litotomi. Dokter memulai melakukan pemeriksaan ginekologis.
Saya dan partner saya yang baru pertama kali menyaksikan prolaps organ panggul
merasa sedikit kaget karena begitu besar organ yang keluar dari vagina dan bahkan
rektum ibu. Saya membayangkan bagaimana menjadi ibu tersebut, dengan organ
yang harusnya berada di dalam tubuh, menjuntai keluar tubuh. Saya tidak bisa
membayangkan betapa sakit dan tidak nyamannya ibu merasakan hal tersebut
bertahun-tahun. Saya kemudian bertanya-tanya, mengapa bisa ada kasus seperti ini?
Apa penyebab ibu bisa sampai seperti ini? Apakah masih banyak ibu-ibu lain yang
jauh lebih parah dari ini? Selama ini saya hanya melihat dan membaca kasus ini
dari teori saja, namun ternyata ada wanita yang mengalami hal ini, atau bahkan,
jauh lebih banyak di luaran sana. Saya melihat ibu begitu khawatir, begitupun anak
dari ibu tersebut. Dokter yang memeriksa mengatakan kepada kami bahwa ini
prolapse organ panggul jenis sistokel dan rektokel yang sudah derajat III+ dan harus
dilakukan terapi operatif yaitu kolporafi anterior dan posterior, namun sebelumnya
harus dilakukan konsultasi pada dokter urogin dan bedah. Sebelumnya, saya
memang belum begitu mengerti tentang bagaimana pengambilan keputusan
mengenai tatalaksana berbagai macam jenis prolapse uteri, dan apa pertimbangan
dokter dalam menentukan tindakan kolporafi anterior dan posterior, dan mengapa
bukan tindakan yang lain. Tetapi saya bertanya-tanya, jika harus menunggu
konsultasi ke pihak lain, apakah tidak sebaiknya dilakukan pemasangan pesarium
sebagai jalan konservatif terlebih dahulu untuk mengurangi keluhan?

Prolaps organ panggul adalah turunnya organ panggul, termasuk uterus,


kandung kemih, rektum dan atau vagina ke dalam lumen vagina.(Yimphon et al.,
2018). Prolaps organ panggul derajat sedang hingga tinggi memberikan dampak
terhadap kehidupan wanita, seperti adanya gejala tonjolan vagina yang
mengganggu, kesulitan berkemih dan gejala sembelit, disfungsi seksual,
mengurangi kualitas hidup seperti pada perubahan suasana hati, pemenuhan
kebutuhan istirahat, hubungan dengan orang lain dan aktivitas sosial (Bradley,
2018). Prolaps derajat rendah hingga ringan biasanya timbul tanpa gejala dan
kecenderungan penderita tidak mencari pertolongan untuk masalah tersebut atau
lebih memilih terapi konservatif yaitu bukan dengan jalan pembedahan atau operasi
(Bradley, 2018). Prolaps organ pelvik dialami oleh jutaan wanita di seluruh dunia.
Di Amerika Serikat prolaps organ pelvik menjadi alasan ketiga terbanyak untuk
indikasi histerektomi. Lebih dari itu, seorang wanita memiliki resiko 11% untuk
menjalani operasi karena prolaps atau inkontinensia urine, prevalensi prolaps organ
pelvik meningkat seiring pertambahan usia (Cunningham et al eds, 2012). Peneliti
sependapat bahwa etiologi prolaps organ pelvik adalah multifaktoral dan
berkembang secara bertahap sepanjang tahun, dan hubungan antara masing- masing
faktor belum diketahui (Cunningham dkk, 2012). Faktor-faktor yang memengaruhi
kejadian prolaps organ panggul terdiri dari faktor obstetrik yaitu multiparitas,
persalinan pervaginam, persalinan lama, makrosomia, dan persalinan dengan
tindakan. Sedangkan faktor non obstetrik yang memengaruhi prolaps uteri adalah
genetika, usia, ras, menopause, obesitas, peningkatan tekanan intra abdomen, dan
kelainan jaringan ikat (Handa, et. Al., 2012). Penyokong organ pelvis dikelola oleh
interaksi kompleks antara otot dasar panggul, jaringan ikat dasar panggul dan
dinding vagina. Mereka berkerja sama untuk menyokong dan juga merawat fungsi
fisiologis vagina, uretra, kandung kemih dan rectum (Cunningham et al eds., 2012).
Kegagalan penyokong organ panggul disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
kecenderungan genetik, hilangnya penyokong otot lurik dasar panggul, kelemahan
dinding vagina dan hilangnya tautan antara dinding vagina dan otot dasar panggul
dan visera pelvis. Persalinan pervaginam dan proses penuaan adalah dua faktor
resiko terbesar untuk terjadinya prolaps organ panggul (Mant, 1997). Menurut
Kapita Selekta Uroginekologi (2011), stadium prolaps uteri menurut Baden Walker
adalah derajat 0 tidak ada prolaps, derajat 1 uung prolaps turun sampai setengah
introitus, derajat 2 ujung prolaps turun sampai introitus, deraat 3 ujung prolaps
setengahnya sampai di luar vagina, dan derajat 4 ujung prolaps lebih dari
setengahnya ada di luar vagina. Penentuan stadium prolaps uteri dilakukan melalui
pemeriksaan ginekologis dan pemeriksaan penunjang yaitu laboratorium, radiologi,
pap smear/biopsi, dan pemeriksaan IVP (Hunskaar et al., 2013). Pemilihan terapi
tergantung pada tipe dan beratnya gejala, usia dan komorbiditas medis, harapan ke
depan untuk hamil dan atau harapan terhadap fungsi seksual, faktor resiko
kekambuhan (Cunningham et al, 2012). Terapi seharusnya bertujuan untuk
mengurangi gejala, tetapi manfaat harus lebih besar dari resiko. Penatalaksanaan
prolaps uteri terdiri dari tiga cara, yaitu observatif, konservatif, dan operatif
(Junizaf & Santoso, 2013). Tatalaksana observasi direkomendasikan pada wanita
dengan prolapsus derajat rendah (derajat 1 dan derajat 2, khususnya untuk
penurunan yang masih di atas himen). Tatalaksana konservatif merupakan prosedur
non bedah terdiri dari latihan otot dasar panggul dan pemasangan pesarium.
Tatalaksana operatif adalah prosedur bedah terdiri dari ventrofikasi, operasi
manchester, histerektomi vagina, dan kolpektomi. Kolporafi anterior (perbaikan
vagina anterior) untuk reparasi prolaps vagina anterior dan kolporafi posterior
(perbaikan vagina posterior) untuk prolaps vagina posterior. Berbagai macam
teknik operasi untuk reparasi prolaps antara lain yaitu operasi vaginal dan
abdominal (Hunskaar et al., 2013). Operasi vaginal meliputi histerektomi vaginal,
obliterasi atau kolpokleisi parsial (Le Fort), perbaikan vagina anterior dan posterior
(Kolporafi), kuldopasti McCall, operasi Manchester, kolpopeksi sakrospinosus,
reparasi enterokel, reparasi paravaginal dan rekonstruksi perineal. Operasi
abdominal meliputi histerektomi, sakrokolpopeksi, reparasai paravaginal, plikasi
ligamentum sakrouterina, reparasi enterokel, reparasi vagina posterior. Operasi
abdominal dapat dilakukan melalui laparatomi atau laparaskopi (Hunskaar et al.,
2013). Meskipun begitu, pilihan penatalaksaan non-bedah perlu didiskusikan
dengan semua wanita yang mengalami prolapsus (Junizaf & Santoso, 2013).
Meskipun tatalaksana kolporafi anterior dan posterior untuk mengatasi
sistokel dan rectokel ibu sudah tepat, namun sebagai bidan, saya cenderung
memperhatikan apa yang menjadi perasaan ibu tersebut. Ibu datang dengan harapan
agar keluhan yang ia derita dapat berkurang hari itu, namun ia masih harus
dijadwalkan beberapa tahap lagi sebelum dilakukan operasi. Ibu harus kembali
pulang dan datang ke rumah sakit dengan kondisi yang sama, keluhan yang sama.
Jika semua tenaga kesehatan hanya memandang dari segi penyakitnya saja tanpa
melihat kondisi pasien secara holistik, apakah pasien akan merasa puas datang
kepada kita? Saya melihat ibu masih belum memahami apa yang terjadi pada
dirinya dan apa yang harus dia lakukan. Saya kemudian menanyakan di luar
ruangan bagaimana kekhawatiran ibu tentang kondisinya. Saya memberikan
support mental kepada ibu bahwa ibu akan baik-baik saja. Saya mencoba
menguatkan ibu dan memberikan penjelasan untuk tidak terlalu banyak beraktivitas
agar mengurangi gesekan dari organ ibu yang keluar. Saya memberikan konseling
agar ibu memperbanyak makan sayur dan buah sebelum operasi agar tidak
memperberat rektokel yang ia derita. Saya memberikan informasi pada ibu agar
sebisa mungkin menjaga genitalia tetap bersih dan kering agar terhindar dari
infeksi. Saya memberikan penguatan, dukungan, dan atensi agar ibu merasa lebih
dimanusiakan. Setelah pemberian konseling tersebut, hal yang membuat saya
gembira adalah ekspresi wajah ibu yang tidak sebingung di awal kunjungan. Ibu
berubah antusias dan bertanya lebih banyak mengenai penyakitnya. Sebisa
mungkin saya menjelaskan yang saya ketahui. Ibu juga tampak lebih mengerti apa
yang harus dia lakukan dengan penyakit dan keluhan yang dia rasakan. Tidak hanya
ibu yang terlihat lega. Saya sebagai bidan yang mendampingi ibu pun merasakan
aura positif dari percakapan kami.

Berdasarkan pengalaman dan penelitian mengenai topik ini, saya belajar


bahwa baik dokter, bidan, perawat, maupun tenaga kesehatan lain memiliki tujuan
yang sama, yaitu berfokus pada kesembuhan pasien. Hanya saja, mereka memiliki
pendekatan yang berbeda-beda. Sebagai bidan, yang bisa saya lakukan adalah
melihat seorang wanita sebagai sahabat yang harus kami dampingi ketika ia
menderita. Begitupun juga, saya percaya bahwa pasien seharusnya diberikan
kesempatan untuk berdiskusi mengenai pilihan apa saja yang dapat diambil
disesuaikan dengan kebutuhan pasien, sehingga mereka justru merasa dilibatkan,
diberdayakan. Saya berharap sekali di masa yang akan datang pemberian asuhan,
baik asuhan medis, keperawatan, kebidanan, maupun asuhan lain dari lintas profesi
dapat memandang pasien yang datang pada mereka sebagai satu kesatuan yang
utuh, satu tubuh, juga jiwa. Keterkaitan antara psikologis dan jasmani pasien
mungkin tidak terlihat oleh kasat mata, namun nyata adanya. Memandang manusia
secara holistik tidak hanya akan membantu para tenaga kesehatan dalam
memberikan asuhan yang paripurna, namun juga akan bermuara pada kebijakan-
kebijakan kesehatan yang selalu mendahulukan kepentingan kemanusiaan.
Referensi :

Yimphong, T., Temtanakitpaisan, T. and Buppasiri, P. (2018) ‘Discontinuation rate


and adverse events after 1 year of vaginal pessary use in women with pelvic
organ prolapse’. International Urogynecology Journal, pp. 1123–1128. doi:
10.1007/s00192-017-3445-x.
Bradshaw, Cunningham, Halvorson, Hoffman, Schaffer&Schorge. (2012).
Williams Gynecology. 2nd edition. Texas: McGraw-Hill.
Bradley, C. S. (2018) ‘Progress toward understanding pelvic organ prolapse’,
American Journal of Obstetrics and Gynecology. Elsevier Inc., 218(3), pp.
267– 268. doi: 10.1016/j.ajog.2018.01.042.
Brooks, Butel, Carroll, Mietzner&Morse. 2013. Jawetz, Melnick&Adelberg's
Medical Microbiology. 26th edition. New York: Mc Graw-Hill.
Handa VL, Blomquist JL, McDermott KC, Friedman S, Munoz A. Pelvic Floor
Disorders After Childbirth: Effect of Episiotomy, Perineal Laceration, and
Operative Birth. National Institutes of Health Obstet Gynecol; 2012. [cited
2015 Feb 20]; 119(2)
Hay, P. (2014) ‘Bacterial vaginosis’, Medicine (United Kingdom). Elsevier Ltd,
42(7), pp. 359–363. doi: 10.1016/j.mpmed.2014.04.011.
Hoffmann, J. N., Hannah, M, Y., Hedberg, E.C., Jordan, J.A., McClintock, M.K.
(2014) ‘Prevalence of Bacterial Vaginosis and Candida among
Postmenopausal Women in the United States’, The Journals of Gerontology
Series B: Psychological Sciences and Social Sciences, 69(Suppl 2), pp. S205–
S214. doi: 10.1093/geronb/gbu105.
Hunskaar S, Burgio K, Clark A, Lapitain MC, Nelsom R, Sillen U, et al. (2013).
Epidemiology of Urinanry (UI) and Faecal (FI) Incontinence and Pelvic Organ
Prolapse (POP) chapter 5.
Junizaf, Santoso Budi Iman. (2013). Panduan Penatalaksanaan Prolaps Organ
Panggul. Himpunan Uroginekologi-POGI
Meriwether, K. V., Rebecca, G., Rogers, Craig, E., Peterson, S. D., Gutman, R.E.,
Iglesia, C. B. (2015) ‘The effect of hydroxyquinoline-based gel on pessary-
associated bacterial vaginosis: A multicenter randomized controlled trial’,
American Journal of Obstetrics and Gynecology. Elsevier Inc., 213(5), p.
729e1-729e9. doi: 10.1016/j.ajog.2015.04.032.

Anda mungkin juga menyukai