c) Gaya hidup.
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi. Hal ini terkait
dengan tersedianya toilet. (A.Aziz, 2008 : 64)
d) Stress psikologis.
Meningkatnya stress dapat meningkatkan frekuensi keinginan berkemih. Hal ini karena
meningkatnya sensitivitas untuk keinginan berkemih dan jumlah urine yang diproduksi.
(A.Aziz, 2008 : 64)
e) Tingkat aktivitas.
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinaria yang baik untuk fungsi sphincter.
Kemampuan tonus otot didapatkan dengan beraktivitas. Hilangnya tonus otot vesika urinaria
dapat menyebabkan kemampuan pengontrolan berkemih menurun. (A.Aziz, 2008 : 64)
f) Tingkat perkembangan.
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga dapat mempengaruhi pola berkemih. Hal
tersebut dapat ditimbulkan pada anak, yang lebih memiliki kesulitan untuk mengontrol buang
air kecil. Namun, kemampuan dalam mengontrol buang air kecil meningkat dengan
bertambahnya usia. (A.Aziz, 2008 : 65)
g) Kondisi penyakit.
Kondisi penyakitt dapat mempeengaruhi produksi urine, seperti diabetes meelitus. (A.Aziz,
2008 : 65)
h) Sosiokultural.
Budaya dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi urine, seperti adanya kultur
masyarakat tertentu yang melarang untuk buang air kecil di tempat tertentu. (A.Aziz, 2008 :
65)
i) Kebiasaan seseorang.
Seseorang yang memiliki kebiasaan berkemih di toilet, biasanya memiliki kesulitan untuk
berkemih dengan melalui urineal/pot urine bila dalam keadaan sakit. (A.Aziz, 2008 : 65)
j) Tonus otot.
Tonus otot yang berperann penting dalam membantu proses berkemih adalah otot kandung
kemih, otot abdomen, dan pelvis. Ketiganya sangat berperan dalam kontraksi sebagai
pengontrolan pengeluaran urine. (A.Aziz, 2008 : 65)
k) Pembedahan.
Pembedahan berefek menurunkan filtrasi glomerulus sebagai dampak dari pemberian obat
anstesi sehingga menyebabkan penurunan jumlah produksi urine. (A.Aziz, 2008 : 65)
l) Pengobatan.
Pemberian tindakan pengobatan dapat berdampak pada terjadinya peningkatan atau
penurunan proses perkemihan. Misalnya pemberian obat diuretic dapat meningkatkan jumlah
urine, sedangkan obat antikolinergik dan anti hipertensi dapat menyebabkan retensi uine.
(A.Aziz, 2008 : 65)
m) Pemeriksaan diagnostik.
Pemeeriksaan diagnostik ini juga dapat mempengaruhi kebutuhan eliminasi urine, khususnya
prosedur-pprosedur yang berhubungan dengan tindakan pemeriksaan saluran kemih seperti
intra venus pyelogram (IVP). Pemeriksaan ini dapat membatasi jumlah asupan sehingga
mengurangi produksi urine. Selain itu tindakan sisteskopi dapat menimbulkan edema local
pada uretra.
(A.Aziz, 2008 : 65)
1.7 Gangguan/Masalah Kebutuhan Eliminasi Urine
a) Retensi urine.
Retensi urine merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih akibat ketidakmampuan
kandung kemih untuk mengosongkan kandung kemih. Hal ini menyebabkan distensia vesika
urinaria atau merupakan keadaan ketika seseorang mengalami pengosongan kandung kemih
yang tidak lengkap. Dalam keadaan distensi vesika urinaria dapat menampung urine
sebanyak 3.000 4.000 ml urine. (A.Aziz, 2008 : 66)
Retensi urine post partum dapat terjadi pada pasien yang mengalami kelahiran normal
sebagai akibat dari peregangan atau trauma dari dasar kandung kemih dengan edema
trigonum. Faktor-faktor predisposisi lainnya dari retensio urine meliputi epidural anestesia,
pada gangguan sementara kontrol saraf kandung kemih , dan trauma traktus genitalis,
khususnya pada hematoma yang besar, dan sectio cesaria. (www.jevuska.com)
Retensi postpartum paling sering terjadi. Setelah terjadi kelahiran pervaginam spontan,
disfungsi kandung kemih terjadi 9-14 % pasien; setelah kelahiran menggunakan forcep,
angka ini meningkat menjadi 38 %. Retensi ini biasanya terjadi akibat dari dissinergis antara
otot detrusor-sphincter dengan relaksasi uretra yang tidak sempurna yang kemudian
menyebabkan nyeri dan edema. Sebaliknya pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung
kemihnya setelah sectio cesaria biasanya akibat dari tidak berkontraksi dan kurang aktifnya
otot detrusor. (www.jevuska.com)
Ketika kandung kemih menjadi sangat mennggembung diperlukan kateterisasi, kateter folley
ditinggal dalam kanndung kemih selama 24 48 jam untuk menjaga kandung kemih tetap
kosong dann memungkinkan kandung kemih menemukan kembali tonus normal dan sensasi.
(www.jevuska.com)
Tanda klinis retensi :
Ketidaknyamanan daerah pubis.
Distensi vesika urinaria.
Ketidaksanggupan untuk berkemih.
Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urine (25-50 ml).
Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya.
Meningkatnya keresahan dan keinginan berkemih.
Adanya urine sebanyak 3.000- 4.000 ml dalam kandung kemih.
Penyebab :
Operasi pada daerah abdomen bawah, pelvis, vesika urinaria.
Trauma sumsum tulang belakang.
Tekanan uretra yang tinggi karena otot detrusor yang lemah.
Sphincter yang kuat.
Sumbatan (striktur uretra dan pembesaran kelenjar prostat).
(A.Aziz, 2008 : 66)
b) Inkontinensia urine.
Inkontinensia urine merupakan ketidakmampuan otot sphincter eksternal sementara atau
menetap untuk menetap unttuk mengontrol ekskresi urine. Secara umum penyebab dari
inkontinensia urine adalah: proses penuaan (aging process), pembesaran kelenjar prostat,
serta penurunan kesadaran, serta penggunaan obat narkotik. (A.Aziz, 2008 : 66)
c) Enuresis.
Enuresis merupakan menahan kemih (mengompol) yang diakibatkan tidak mampu
mengontrol sphincter eksterna. Biasanya enurisis terjadi pada anak atau orang jompo.
Umumnya enurisis terjadi pada malam hari.
Faktor penyebab enurisis :
a. Kapasitas vesika urinaria lebih besar dari normal.
b. Anak-anak yang tidurnya bersuara dari tanda-tanda dari indikasi keinginan berkemih tidak
diketahui. Hal itu mengakibatkan terlambatnya bangun tidur untuk untuk ke kamar mandi.
c. Vesika urinaria peka rangsang, dan seterusnya, tidak dapat menampung urine dalam
jumlah besar.
d. Suasana emosional yang tidak menyenangkan di rumah.
e. Orang tua yang mempunyai pendapat bahwa anaknya akan mengatasi kebiasaannya tanpa
dibantu dengan mendidiknya.
f. Infeksi saluran kemih, perubahan fisik, atau neurologis sistem perkemihan.
g. Makanan yang banyak mengandung garam mineral.
h. Anak yang takut jalan gelap untuk ke kamar mandi.
(A.Aziz, 2008 : 67)
Frekuensi.
Frekuensi merupakan banyaknya jumlah berkemih dalm sehari. Peningkatan frekuensi
berkemih dikarenakan meningkatnya jumlah cairan yang masuk. Frekuensi yang tinggi ttanpa
suatu tekanan asupan cairan dapat disebabkan sistisis. Frekuensi tinggi dapat ditemukan juga
pada keadaan stress/hamil. (A.Aziz, 2008 : 67)
Urgensi.
Urgensi adalah perasaan seseorang yang takut mengalami inkontinensia jika tidak berkemih.
Pada umumnya anak kecil memiliki kemampuan yang buruk dalm mengontrol sphincter
eksternal. Biasanya perasaan ingin segera berkemih terjadi pada anak karena kurangnya
kemampuan pengontrolan pada sphincter. (A.Aziz, 2008 : 67)
Disuria.
Disuria adalah rasa sakit dan kesulitan dalam berkemih. Hal ini sering ditemukan pada
penyakit infeksi saluran kemih, trauma, dan striktur uretra. (A.Aziz, 2008:67)
Poliuria.
Poliuria merupakan produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, tanpa adanya
peningkatan asupan cairan. Biasanya, ditemukan pada penyakit diabetes dan GGK. (A.Aziz,
2008 : 67)
Urinari Supresi.
Urinaria supresi adalah berhentinya produksi urie secara mendadak. Secara normal, urine
diproduksi oleh ginjal pada kecepatan 60 120 ml/jam secara terus menerus. (A.Aziz, 2008 :
67)
b) Diet.
Diet, pola, atau jenis makanan yang dikonsumsi dapat mepengaruhi proses defekasi.
Makanan yang memiliki kandungan serat tinggi dapat membantu proses percepatan defekasi.
(A.Aziz, 2008 :75)
c) Asupan cairan.
Pemasukan cairan yang kurang di dalam tubuh membuat defekasi menjadi keras. Oleh karena
proses absorbs air yang kurang menyebabkan proses defekasi sulit. (A.Aziz, 2008 : 75)
d) Aktivitas.
Aktivitas dapat mempengaruhi proses defekasi karena melalui aktivitas tonus otot abdomen,
pelvis, diafragma, dapat membantu kelancaran proses defekasi. Hal ini kemudian membuat
proses gerakan peristaltik pada daerah kolon dapat bertambah baik. (A.Aziz, 2008 : 75)
e) Pengobatan.
Pengobatan dapat mempengaruhi proses defekasi, seperti penggunaan laktansif/antasida yang
terlalu sering. Kedua jenis obat tersebut dapat melunakkan feses dan meningkatkan peristaltik
usus. Penggunaan lama menyebabkan usus besar kehilangan tonus ototnya dan menjadi
kurang responsif terhadap stimulasi yang diberikan oleh laktansif. (A.Aziz, 2008 : 76)
f) Gaya Hidup.
Kebiasaan atau gaya hidup dapat mempengaruhi proses defekasi, hal ini dapat terlihat pada
seseorang yang memiliki gaya hidup sehat/kebiasaan melakukan buang air besar di tempat
yang bersih atau toilet, ketika seseorang tersebut buang air bersih di tempat yang terbuka atau
tempat kotor, maka ia akan mengalami kesulitan dalam proses defekasi. (A.Aziz, 2008 : 76)
g) Penyakit.
Beberapa penyakit dapat mempengaruhi proses defekasi, biasanya penyakit-penyakit tersebut
berhubungan langsung dengan sistem pencernaan, seperti gastroenteritis. (A.Aziz, 2008 : 76)
h) Nyeri.
Adanya nyeri dapat mempengaruhi kemampuan/keinginan untuk defekasi. Seperti nyeri pada
kasus hemorroid dan episiotomi. (A.Aziz, 2008 : 76)
Tanda klinis :
1. Adanya feses yang keras.
2. Defekasi kurang dari 3 kali seminggu.
3. Menurunnya bising usu.
4. Adanya keluhan pada rektum.
5. Nyeri saat mengejan dan defekasi.
6. Adanya perasaan masih ada sisa feses.
Kemungkinan penyebab :
1. Defek persarafan, kelemahan pelvis, immobilitas karena cedera serebrospinalis, CVA, dll
2. Pola defekasi yang tidak teratur.
3. Nyeri saat defekasi karena hemorroid.
4. Menurunnya peristaltik karena stress psikologis.
5. Penggunaan obat seperti antasida, laktansif, atau anstesi.
6. Proses menua (usia lanjut).
(A.Aziz, 2008 : 73)
b) Diare.
Diare merupakan keadaan individu yang mengalami atau beresiko mengalami pengeluaran
feses dalam bentuk cair. Diare sering disertai kejang usus, mungkin ada rasa mual dan
muntah.
Tanda klinis :
1. Adanya pengeluaran feses cair.
2. Frekuensi lebih dari 3 kali sehari.
3. Nyeri/kram abdomen.
4. Bising usus meningkat.
Kemungkinan penyebab :
1. Malabsorbsi atau inflamasi, proses infeksi.
2. Peningkatan peristaltik karena peningkatan metabolisme.
3. Efek tindakan pembedahan usus.
4. Efek penggunaan obat seperti antasida, laktansif, antibiotic, dll.
5. Stress psikologis.
(A.Aziz, 2008 : 74)
c) Inkontinensia Usus.
Inkontinensia usus merupakan keadaan individu yang mengalami perubahan kebiasaan dan
proses ddefekasi normal, hingga mengalami proses pengeluaran feses disadari. Hal ini juga
disebut sebagai inkontinensia alvi.
Tanda klinis:
1. Pengeluaran feses yang tidak dikehendaki.
Kemungkinan penyebab :
1. Gangguan sphincter rektal akibat cidera anis, pembedahan, dll.
2. Distensi rektum berlebih.
3. Kurangnya kontrol sphincter akibat cidera medulla spinalis, CVA, dll.
4. Kerusakan kognitif.
(A.Aziz, 2008 : 74)
d) Kembung.
Kembung merupakan keadaan penuh udara dalam perut karena pengumpulan gas berlebih
dalam usus. (A.Aziz, 2008 : 75)
e) Hemorroid.
Hemorroid merupakan keadaan terjadinya pelebaran vena di daerah anus sebagai akibat
peningkatan tekanan di daerah anus yang dapat disebabkan karena konstipasi, perenggangan
saat defekasi, dll. (A.Aziz, 2008 : 75)
f) Fecal Impaction.
Fecal impaction merupakan massa feses keras dilipatan rektum yang diakibatkan oleh retensi
dan akumulasi materi feses yang berkepanjangan. Penyebab fecal impaction yaitu asupan
kurang, diet rendah serat, dan kelemahan tonus otot. (A.Aziz, 2008 : 75)
Retensi urine
Inkontinensia urine
Enuresis
Perubahan pola eliminasi
- Frekuensi
- Urgensi
- Disuria
- Poliuria
- Urinari Supresi
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, A.Aziz, dkk. 2005. Buku Saku Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : EGC
Hidayat, A.Aziz, dkk. 2008. Keterampilan Dasar Praktek Klinik Untuk Kebidanan Edisi 2.
Jakarta: Salemba Medika
Baradero, M. 2008. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta : EGC
Pearce, E.C. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta : PT Gramedia
Potte, P.A dan Perry. A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan
Praktik. Edisi 4. Jakarta : EGC