Anda di halaman 1dari 33

SATUAN ACARA RONDE KEBIDANAN

ASUHAN KEBIDANAN PADA NY I USIA 43 TAHUN POST SC


DENGAN PEB DAN MOW DIRUANG DEWI KUNTI
RSUD K.M.R.T WONGSONEGORO

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Praktek


Manajeman Pelayanan Kebidanan Komprehensif

DISUSUN OLEH :

1. Nur Azizah P1337424820155


2. Tanisa Uliana P1337424820143
3. Ayu Lestari P1337424820153
4. Nurul Leilia Darojat P1337424820161
5. Deka Mona Setiawati P1337424820192

PROGRAM STUDI PROFESI BIDAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
2020/2021
SATUAN ACARA RONDE KEBIDANAN
Rencana aplikasi ronde kebidanan pada Ny I usia 43 tahun P4A0 post SC dengan
Pre-Eklamsia Berat, HHD, PPCM dan MOW (Metode Operasi Wanita), di ruang
dewi kunti RSUD K.R.M.T Wongsonegoro-Kota semarang
Topik : Ny I usia 43 tahun P4A0 post SC dengan Pre-Eklamsia Berat
HHD, PPCM dan MOW (Metode Operasi Wanita)
Sasaran : Ny. I
Waktu : 30 menit
Hari/Tgl : Rabu/ 3 Februari 2021
I. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah dilakukan ronde kebidanan diharapkan masalah-masalah
pasien dapat teratasi
2. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan ronde kebidanan diharapkan :
a. Tim Kebidanan dapat menggali masalah-masalah klien yang
belum teratasi
b. Mampu mengemukakan alasan ilmiah terhadap masalah pasien
c. Mampu merumuskan intervensi kebidanan yang tepat masalah
pasien
d. Mampu mendemonstrasikan tindakan yang tepat yang
berhubungan dengan masalah pasien
e. Mampu mengadakan justifikasi terhadap rencana dan tindakan
kebidanan yang telah dilakukan
II. Sasaran
Pasien Ny I usia 43 tahun P4A0 post SC dengan Pre-Eklamsia Berat,
HHD, PPCM dan MOW (Metode Operasi Wanita)
III. Materi
1. Laporan pendahuluan Pre-Eklamisia Berat
2. Asuhan kebidanan pasien dengan Pre-Eklamisia Berat
3. Masalah-masalah yang muncul pada pasien dengan Pre-Eklamsia
IV. Metode
1. Diskusi
V. Media
1. Sarana Diskusi
2. Materi yang disampaikan secara lisan
VI. Kegiatan Ronde Kebidanan

NO TAHAP WAKTU PJ
1. Pra-Ronde: Rabu, 3 Kepala Ruang
1. Menentukan kasus dan topik Februari 2021
2. Menentukan tim ronde kebidanan
3. Informed Consent
4. Membuat Pra planning
5. Diskusi
6. Mencari sumber literature
2. Ronde Rabu, 3 Ketua Tim
1. Salam pembuka Februari 2021 bersama bidan
2. Memperkenalkan tim ronde pelaksana
3. Menyampaikan identitas dan
masalah pasien
4. Diskusi dengan rekan sejawat
tentang kondisi pasien dan
penatalksanaan yang akan
diberikan
5. Penatalaksanaan sesuai hasil
diskusi, yaitu
a. Pemberian penkes tentang
diit rendah garam
b. Mengajari ibu mengurangi
kecemasan dengan relaksasi
6. Evidence based practice/Praktik
berbasis bukti (EBP) 
a. Rendam kaki
b. Pijat refleksi pada kaki
3. Post Ronde : Rabu, 3 Pebimbing
Evaluasi Pelaksanaan Ronde Februari 2021 Klinik (Ibu
1. Pasien dan keluarga kooperatif Tita Sari
dan antusias mengikuti ronde Purwaningru
kebidanan m, S.tr.Keb)
2. Pasien dan keluarga dapat dan
menjelaskan kembali tujuan dan mahasiswa
isi penkes yang diberikan

VII. Kriteria Evaluasi


1. Struktur
a. Ronde kebidanan dilaksanakan di ruang Dewi Kunti
b. Peserta ronde kebidanan hadir ditempat pelaksanaan ronde
kebidanan
c. Persiapan dilakukan sebelumnya
2. Proses
a. Peserta mengikuti kegiatan dari awal hingga akhir
b. Seluruh peserta berperan aktif dalam kegiatan ronde sesuai
tugas yang telah ditentukan
3. Hasil
a. Pasien puas dengan hasil kegiatan
b. Bidan dapat :
1) Menumbuhkan cara berpikir yang kritis dan sistematis
2) Meningkatkan kemampuan menentukan diagnosis
kebidanan
3) Menumbuhkan pemikiran tentang tindakan kebidanan yang
berorientasi pada masalah pasien
VIII. Pengorganisasian
1. Kepala Ruang : Nurul Leilia Darojat
2. Kepala Tim :
a. Tim 1 : Ayu Lestari
b. Tim 2 : Nur Azizah
3. Bidan Pelaksana :
a. Tim 1 : Tanisa Uliana
b. Tim 2 : Deka Mona Setiawati
MATERI

A. Kardiomiopati Peripartum
1. Pengertian
Kardiomiopati peripartum (PPCM) adalah penyebab langka kardiomiopati
yang terjadi selama akhir kehamilan atau periode awal pascapartum. Kondisi
ini dapat mengancam jiwa dan ditandai dengan disfungsi ventrikel kiri yang
signifikan dan gagal jantung.
PPCM bukanlah entitas yang didefinisikan secara tepat. Pada tahun 2010,
European Society of Cardiology menggambarkan PPCM sebagai
kardiomiopati idiopatik dengan karakteristik sebagai berikut:
a. Perkembangan gagal jantung menjelang akhir kehamilan atau pada
periode pascapartum.
b. Tidak adanya penyebab gagal jantung lain yang dapat diidentifikasi.
c. Disfungsi sistolik ventrikel kiri dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri
(LV) hampir selalu kurang dari 45 persen. LV mungkin melebar atau
tidak.
2. Etiologi
Penyebab di balik PPCM masih belum jelas. Hubungan dengan
eklamsia dan hipertensi selama kehamilan telah ditemukan. Namun,
mekanisme yang mendasarinya masih belum jelas. Faktor risiko PPCM
adalah keturunan Afrika, usia, gangguan hipertensi terkait kehamilan,
multiparitas, kehamilan multipel, obesitas, hipertensi kronis, dan
penggunaan tokolitik dalam waktu lama. Beberapa penelitian telah
mengusulkan berbagai mekanisme hipotetis terkait dengan pengembangan
PPCM. Ini akan dijelaskan di bagian patofisiologi.
3. Epidemiologi
Insiden PPCM tidak pasti, mungkin karena kesalahan diagnosis
identitas ini. Meskipun demikian, informasi yang tersedia dari berbagai
penelitian menunjukkan bahwa PPCM bervariasi secara geografis. Di
Amerika Serikat, insiden dilaporkan serendah 1 kasus per 4.000 kelahiran
hidup dibandingkan dengan insiden yang lebih tinggi di Nigeria yaitu 1
kasus dalam setiap 100 kelahiran hidup.
Wanita yang lebih tua dari 25 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun
ditemukan lebih mungkin untuk mengembangkan PPCM. Faktor penting
lain yang terkait dengan keberadaan PPCM termasuk gangguan hipertensi
yang berhubungan dengan kehamilan, adanya anemia, dan keturunan
Afrika.
Di sisi lain, wanita Hispanik adalah etnis dengan kejadian PCCM
paling sedikit.
4. Patofisiologi
Etiologi di balik PPCM masih belum jelas tetapi kemungkinan
multifaktorial. Dalam literatur, faktor potensial yang dapat berkontribusi
pada etiologi PPCM telah dievaluasi.
Perubahan hemodinamik yang signifikan terjadi selama kehamilan.
Terjadi peningkatan preload akibat peningkatan massa sel darah merah dan
volume darah. Ini juga meningkatkan curah jantung sebesar 20% hingga
30% karena peningkatan denyut jantung dan volume stroke sebesar 15%
hingga 25%. Semua perubahan ini terjadi selama trimester pertama dan
kedua, saat pasien dengan penyakit jantung struktural akan mengalami
gejala. Dibandingkan dengan PPCM, gejala ini berkembang selama
peripartum. Untuk alasan ini, tidak jelas bahwa tekanan hemodinamik
adalah alasan utama PPCM
Etiologi lain seperti miokarditis telah dihipotesiskan karena adanya
genom virus dalam biopsi pasien PPCM seperti echovirus, Coxsackie, dan
parvovirus B19. Terdapat perbedaan di antara penelitian lain, dan untuk
alasan ini, spesifisitas temuan ini buruk, dan diperlukan penelitian lebih
lanjut.
Studi telah meningkatkan pemahaman kami tentang etiologi
PPCM sebagai peran lingkungan hormonal beracun yang muncul pada
akhir kehamilan dan hubungan dengan faktor genetik yang dapat
berkontribusi pada perkembangan PPCM.
Perubahan hormonal yang signifikan terjadi pada akhir kehamilan.
Kadar prolaktin meningkat selama akhir kehamilan dan pada tahap nifas.
Beberapa analis telah mempelajari pengaruh metabolisme prolaktin pada
model tikus PPCM. Salah satu model ini memiliki ekspresi knockout
STAT3; enzim ditemukan di miokardium pasien gagal jantung stadium
akhir akibat PPCM. Enzim ini melindungi jantung dari spesies oksigen
reaktif yang, ketika meningkat, dihasilkan oleh mekanisme yang tidak
diketahui sekresi peptidase yang dikenal sebagai cathepsin D yang
membelah prolaktin menjadi fragmen prolaktin N-terminal 16 kDA
angiostatik yang mendorong apoptosis dalam sel endotel dan kardiomiosit
apoptosis.
Faktor genetik juga terlibat dalam etiologi PPCM. Bukti adanya
kelompok famili dengan PPCM telah diamati, dan kemungkinan ekspresi
gen dengan lingkungan toksik selama akhir kehamilan akibat stres
oksidatif dapat meningkatkan kerentanan PPCM. Beberapa penelitian
telah mengidentifikasi mutasi pada beberapa pasien dengan PPCM.
Keadaan pro-inflamasi mungkin berperan dalam perkembangan
PPCM. Peningkatan kadar sitokin seperti TNF-alpha dan interleukin-6
telah ditemukan pada pasien PPCM dan gagal jantung.
Perhatian terhadap respons autoimun sebagai kemungkinan
penyebab PPCM telah dijelaskan, terutama karena tingginya tingkat
antibodi terhadap jaringan jantung tertentu dapat menjadi penyebab
miokarditis autoimun sebagai etiologi di balik PPCM. Bukti yang
mendukung teori ini didasarkan pada teori lain yang menjelaskan
perubahan sistem kekebalan ibu selama kehamilan (imunosupresi) yang
menyebabkan tubuh ibu terpapar antigen dari janin yang dapat
menyebabkan timbulnya respons imun setelah kehamilan ketika sistem
kekebalan pulih. .
5. Histopatologi
Pada spesimen jantung yang ditemukan pada otopsi wanita dengan
riwayat PPCM, tampak pucat, lebih berat dan melebar. Pada jantung
dengan disfungsi jantung, variabel kehadiran mural trombi telah
ditemukan. Di dalam jantung, katup terlihat normal dan pembuluh koroner
hampir selalu pulih kecuali jika diketahui ada riwayat iskemia. Efusi
perikard kadang-kadang ditemukan. Dalam pandangan mikroskopis
jantung, bukti edema interstitial dan pembengkakan sel, fibrosis, dan
hipertrofi sering ditemukan di miokardium dengan area kumpulan
eosinofil yang melimpah.
Peningkatan jumlah glikogen dan mitokondria umumnya
ditemukan dalam sel miokard yang dievaluasi dengan mikroskop elektron.
6. Sejarah dan Fisik
PPCM akan muncul setelah 36 minggu kehamilan, dan sebagian
besar kasus terlihat pada bulan pertama setelah melahirkan. Presentasi
sebelumnya dapat terjadi pada pasien dengan komorbiditas jantung yang
mendasari seperti kardiomiopati katup atau iskemik.
Presentasi PPCM dapat bervariasi tergantung pada derajat penyakit
pada saat presentasi. Gejala yang berhubungan dengan gagal jantung dan
berhubungan dengan kehamilan adalah dispnea nokturnal paroksismal,
edema pedal, ortopnea, dan dispnea saat beraktivitas. Gejala lainnya
termasuk batuk kering, jantung berdebar, lingkar perut bertambah, kepala
terasa ringan, dan nyeri dada.
Temuan dalam pemeriksaan fisik seperti distensi vena jugularis,
impuls apikal yang tergeser, bunyi jantung ketiga, dan murmur regurgitasi
mitral sering ditemukan.
7. Evaluasi
Diagnosis PPCM memerlukan indeks kecurigaan yang tinggi
berdasarkan tiga kriteria klinis karena gejalanya mirip dengan gejala yang
terkait dengan perubahan fisiopatologis akibat kehamilan. PPCM adalah
diagnosis eksklusi, dan penyelidikan terperinci diperlukan untuk
menyingkirkan penyebab kardiomiopati lain yang lebih umum.
a. Evaluasi awal terdiri dari kerja darah rutin untuk mengevaluasi
penyebab lain dari gejala tersebut seperti anemia, kelainan elektrolit,
kondisi endokrin seperti disfungsi tiroid, dan disfungsi ginjal atau hati.
Peningkatan peptida natriuretik otak (BNP) umumnya ditemukan
meningkat pada pasien gagal jantung dan pasien PPCM.
b. Radiografi dada dapat menjadi bagian dari evaluasi awal,
menunjukkan kardiomegali dan / atau edema paru. Temuan ini tidak
spesifik untuk PPCM tetapi menunjukkan gagal jantung.
c. Pemeriksaan kardiovaskular seperti elektrokardiogram dan
ekokardiogram adalah bagian dari evaluasi awal.
d. Temuan elektrokardiografik bisa jadi tidak spesifik. Temuan umum
adalah takikardia sinus, takikardia supraventrikular (termasuk fibrilasi
atrium atau flutter), dan kadang takikardia ventrikel. Segmen ST dan
kelainan gelombang T telah dilaporkan tetapi tidak spesifik.
Pelebaran ruang dengan elektrokardiogram juga dapat terjadi.
Terlepas dari temuan nonspesifik ini, perpanjangan QRS lebih dari
120 milidetik terkait dengan peningkatan mortalitas pada pasien
dengan PPCM. Ekokardiografi adalah studi utama untuk
mengevaluasi anatomi dan fungsionalitas jantung pada pasien suspek
PPCM. Evaluasi fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) adalah kunci
untuk menyingkirkan PPCM, karena bagian dari kriteria tersebut
mensyaratkan LVEF kurang dari 45%. Ekokardiografi juga
mengevaluasi penyebab lain gagal jantung seperti penyakit katup
jantung atau kelainan struktural lainnya. Dapat ditemukan pelebaran
ventrikel dan atrium, dan trombus ventrikel kiri atau trombosis atrium
dapat ditemukan.
Pengujian kardiovaskular lebih lanjut dapat dilakukan dengan MRI
jantung; modalitas ini dapat membantu mendiagnosis penyebab gagal
jantung lain yang tidak terkait dengan PPCM dan dapat menentukan
volume bilik dan fungsi ventrikel dengan cara yang lebih tepat daripada
ekokardiografi. Peran lebih lanjut dari MRI jantung di PPCM harus
ditentukan.
Kateterisasi jantung hanya untuk pasien tertentu. Kateterisasi
jantung kiri diindikasikan pada pasien dengan kecurigaan kardiomiopati
iskemik. Kateterisasi jantung kanan lebih jarang digunakan untuk evaluasi
PPCM. Parameter ekokardiografi untuk tekanan ruang dapat digunakan
pada awalnya, dan jika penilaian lebih lanjut diperlukan atau penyakit
pasien parah dan pengukuran yang lebih akurat diperlukan, kateterisasi
jantung kanan dapat membantu mengatasi situasi ini.
Biopsi Endomyocardial tidak dianjurkan dan kebanyakan
digunakan untuk mengevaluasi penyakit infiltratif yang dapat
menyebabkan gagal jantung. Saat ini, ada tes khusus untuk diagnosis
PPCM.
8. Perawatan / Manajemen
Penatalaksanaan medis awal PPCM mirip dengan penyebab gagal
jantung lainnya dengan perhatian khusus pada bagaimana kondisi tersebut
dapat mempengaruhi kehamilan. Pertimbangan terapeutik tambahan untuk
populasi ini mungkin termasuk manajemen aritmia, terapi antikoagulasi,
dukungan mekanis, dan terapi investigasi.
Sebagai bagian dari tujuan pengobatan pasien PPCM, optimalisasi
status preload atau volume dilakukan melalui diuresis yang tepat dan
menjaga keseimbangan volume intra dan ekstravaskuler. Pembatasan
cairan sangat penting untuk mencapai tujuan ini. Prepartum PCCM
memiliki pertimbangan khusus untuk pengobatan karena efek samping
obat yang mungkin melewati plasenta dan mempengaruhi janin. Sebagai
contoh, penggunaan diuretik selama kehamilan harus dilakukan dengan
hati-hati dan dalam dosis yang sangat rendah karena dapat mengganggu
perfusi plasenta dan berpotensi membahayakan janin. Baik
hydrochlorothiazide dan furosemide aman selama kehamilan dan
menyusui, dengan pemantauan ketat untuk diuresis dan pada dosis rendah.
Data yang ada tentang diuretik hemat kalium untuk PPCM tidak
mencukupi selama kehamilan.
Penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE) dan penghambat
reseptor angiotensin II (ARB) dikontraindikasikan selama kehamilan
karena efek teratogenik yang diketahui jika diberikan selama kehamilan.
Kedua obat ini dapat digunakan setelah melahirkan, tetapi menyusui
merupakan kontraindikasi.
Beta-blocker dapat digunakan dengan hati-hati selama kehamilan
(agen selektif beta-1 lebih disukai) dan dikontraindikasikan selama
menyusui karena ini diekskresikan dalam ASI. Carvedilol adalah beta-
blocker gabungan dengan efek alpha-blockade tambahan yang
memungkinkan penurunan afterload dan efektif dalam pengobatan PPCM.
Hydralazine, vasodilator, aman selama kehamilan. Tetes
nitrogliserin dapat digunakan untuk mengelola beban lanjutan dalam
kondisi akut. Nitroprusside dikontraindikasikan selama kehamilan karena
kekhawatiran akan toksisitas sianida.
Pada pasien yang sangat sakit dengan ketidakstabilan
hemodinamik, penggunaan inotropik mungkin diperlukan. Penggunaan
inotropik seperti dobutamin, dopamin, dan milrinone dibatasi untuk situasi
kritis ini dengan pemantauan ketat dan dengan menghentikan pengobatan
dengan cepat jika memungkinkan.
Digoxin adalah obat lain yang dapat digunakan untuk pengobatan
PPCM. Aman selama kehamilan dan dapat digunakan bila efek ionotropik
dan kronotropik diperlukan, terutama dalam kondisi fibrilasi atrium yang
tidak terkontrol.
Terapi antikoagulasi pada pasien dengan PPCM masih
kontroversial. Sebagai rekomendasi umum, pasien dengan PPCM tanpa
trombus ventrikel kiri atau fibrilasi atrium sebaiknya tidak diberikan
antikoagulasi. Pasien dengan PPCM dan fibrilasi atrium dan / atau
trombus ventrikel kiri harus diberi antikoagulan sesuai dengan pedoman
antikoagulasi dan trimester kehamilan.
Keputusan mengenai penggunaan implantable cardioverter
defibrillator (ICD) dan terapi sinkronisasi ulang jantung pada pasien
PPCM harus mempertimbangkan riwayat alami penyakit ini, termasuk
potensi pemulihan fungsi ventrikel.
Penggunaan dukungan peredaran darah mekanik telah dijelaskan
pada pasien dengan PPCM fulminan. Penempatan alat bantu ventrikel kiri
(LVAD) bisa menjadi jembatan untuk transplantasi atau pemulihan.
Pengobatan eksperimental seperti pentoxifylline, bromocriptine,
IVIG, dan imunosupresi masih dalam penyelidikan, dan rekomendasi
nonspesifik ada untuk obat ini.
9. Perbedaan diagnosa
PPCM adalah diagnosis eksklusi. Evaluasi penyebab gagal
jantung lainnya diperlukan. Penyakit katup jantung sebelum kehamilan
atau kardiomiopati yang sudah ada sebelumnya dapat mengalami
dekompensasi dengan perubahan hemodinamik yang berhubungan dengan
kehamilan, dan manifestasi lebih lanjut dapat dilihat pada kehamilan
selanjutnya.
10. Prognosa
Pemulihan biasanya terjadi tiga sampai enam bulan pascapartum
tetapi baru terjadi sampai 48 bulan setelah melahirkan.
a. Faktor Prognosis Yang Baik
Beberapa faktor yang berhubungan dengan prognosis yang baik,
antara lain:
1) Dimensi diastolik LV kecil (kurang dari 5,5 cm)
2) LVEF lebih besar dari 30% sampai 35% dan fraksinasi
pemendekan lebih dari 20% pada saat diagnosis.
3) Tidak adanya elevasi troponin.
4) Tidak adanya trombus LV.
5) Etnis Amerika non-Afrika
b. Faktor Prognosis Buruk
Faktor-faktor berikut mungkin menunjukkan prognosis yang buruk:
1) QRS lebih dari 120 milidetik
2) Diagnosis terlambat
3) Kelas NYHA tinggi
4) Multiparitas
5) Keturunan Afrika
Kekambuhan PPCM pada kehamilan berikutnya meningkat, dan
pasien harus dinasehati agar tidak hamil lebih lanjut dan dipantau secara
ketat.
11. Komplikasi
a. Komplikasi ibu
1) Tromboemboli
2) Aritmia
3) Gagal jantung progresif
4) Salah diagnosis sebagai pre-eklamsia
b. Komplikasi janin
Gawat janin akibat hipoksia
12. Konsultasi
a. Ahli anestesi
b. Internis
c. Dokter kandungan resiko tinggi
d. Ahli Perinatologi
13. Pencegahan dan Pendidikan Pasien
Pasien harus dididik tentang potensi efek samping selama
kehamilan. Kebanyakan pasien menyalahkan dokter saat kardiomiopati
muncul tanpa sepengetahuan sebelumnya.
14. Meningkatkan Hasil Tim Perawatan Kesehatan
Kardiomiopati peripartum adalah kelainan langka namun sangat
serius. Prognosis keseluruhan tergantung pada fraksi ejeksi. Sekitar 50-
70% pasien mengalami perbaikan fungsi ventrikel dan gejala secara
bertahap dalam 6 bulan. Namun, kejadian emboli membawa kematian
sebesar 30%. Untuk wanita yang bertahan hidup, kehamilan kedua tidak
boleh dilakukan jika fraksi ejeksi rendah. Sebelum kehamilan kedua,
wanita harus dilatih secara menyeluruh dengan tes echo atau stress test.
Bahkan pasien dengan pemulihan total harus diperingatkan bahwa
kondisinya bisa kambuh lagi. Waktu persalinan dan manajemen
membutuhkan pendekatan interprofesional dan individualisasi pasien.
(Tingkat V)
Peran perawat kebidanan sangat penting. Pasien-pasien ini
membutuhkan pendidikan yang menyeluruh tentang subjek tersebut
sehingga mereka memiliki harapan yang realistis. Kebanyakan pasien
tidak pernah menganggap bahwa kehamilan akan terpengaruh secara
negatif, dan ketika kardiomiopati terjadi, pasien dan atau keluarga
biasanya menyalahkan penyedia layanan kesehatan karena kurangnya
informasi.
Selama bertahun-tahun, banyak pedoman telah tersedia tentang
diagnosis dan manajemen kardiomiopati peripartum. Oleh karena itu,
semua petugas kesehatan yang merawat pasien ini harus mendapat
informasi yang baik tentang pengobatannya. (Tingkat V)
15. Hasil
Wanita dengan sedikit penurunan fraksi ejeksi cenderung memiliki
prognosis yang baik, tetapi mereka dengan fraksi ejeksi yang buruk
memiliki risiko kematian yang tinggi. Selain itu, setiap wanita yang
membutuhkan alat bantu cenderung mengalami efek samping dan
kelangsungan hidup yang rendah. Transplantasi jantung tidak selalu
menjadi pilihan karena kurangnya donor. Dalam banyak kasus, wanita
hamil dapat bertahan hidup, namun janin tidak. Mengingat statistik yang
tidak wajar ini, semua petugas layanan kesehatan harus mendidik pasien
dan keluarganya tentang gangguan tersebut dan akibatnya. (tingkat III).
B. Hubungan PEB dengan Kardiomiopati
Preeklampsi adalah penyakit yang dijumpai pada kehamilan diatas 20
minggu yang ditandai dengan adanya hipertensi, proteinuri atau trombositopeni
jika tidak dijumpai adanya poteinuri. Dikatakan preeklampsi berat jika sudah
terjadi komplikasi lanjut dari preeklampsi seperti edema paru, infark miokard,
stroke, gagal ginjal, koagulopati, dan cedera retina. Preeklampsi terjadi karena
kegagalan remodeling arteri spiralis pada plasenta sehingga terjadi iskemik pada
plasenta yang memicu lepasnya mediator inflamasi sehingga terjadi peningkatan
permeabilitas dan vasokontriksi yang menyeluruh.
Vasokonstriksi yang menyeluruh ini juga terjadi di jantung menyebabkan
iskemik pada miokard, selain itu afterload yang meningkat dapat menyebabkan
hipertropi ventrikel kiri dan terjadi disfungsi ventrikel kiri. Edema paru pada
preeklampsi sebagian besar disebabkan karena kebocoran plasma. Namun dapat
juga terjadi karenan kombinasi antara kebocoran plasma dan bendungan cairan
karena adanya disfungsi ventrikel kiri.
Kardiomiopati adalah gangguan pada jantung yang dikarakteristikan
dengan disfungsi miokard dimana tidak dijumpai penyakit jantung lain yang
mendasari2 . Berdasarkan morfologi dan hemodinamik kardiomiopati dibagi
menjadi empat tipe, yaitu : dilatasi, restriksi, hipertropi, dan obliterasi2 . Seperti
yang telah tertulis di pendahuluan, kardiomiopati yang sering pada kehamilan
adalah PPCM. Kardiomiopati peripartum dapat terjadi di trimester akhir
kehamilan atau 1-5 minggu pasca kelahiran
Etiologi dari PPCM tidak begitu jelas beberapa faktor yang diduga
menjadi penyebab PPCM adalah inflamasi (miokarditis, sitokin), infesi virus,
autoimun, respon hemodinamik abnormal selama kehamilan, stres oksidatif yang
memicu terjadinya kerusakan sel endotel dan apoptosis sel vaskuler.
Faktor risiko terjadinya PPCM adalah obesitas, malnutrisi, kehamilan usia tua,
multipara, hipertensi gestaional, preeklampsi, merokok, riwayat keluarga
(genetik). Menurut cunningham dkk stres oksidatif yang berkontribusi atau
merupakan stimulan preeklampsi merupakan konsep kunci terjadinya
kardiomiopati. Kriteria penegakkan diagnosa PPCM sendiri ada empat, yaitu : 1)
gagal jantung terjadi pada kehamilan trimester akhir atau 1-5 bulan setelah
melairkan 2) tidak dijumpai dasar penyakit yang menjadi penyebab gagal jantung
3) tidak dijumpai tanda dan gejala gagal jantung di trimester pertama dan kedua 4)
fraksi ejeksi ventrikel kiri < 45% pada tabel dibawah ini :
Tanda dan gejala preeklampsi dan peripartum kardiomiopati :
DAFTAR PUSTAKA

Rodriguez, Momin S. (2020). Peripartum Cardiomyopathy. Diakses dari :


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482185/
Suryani, S. (2014). Induksi Pada pasien Dengan Kardiomiopati dan Edema Paru.
Diakses dari : http://Fmipa.umri.ac.id pada tanggal 2 Februari 2021
ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU NIFAS DAN MENYUSUI
PATOLOGIS PADA NY. I USIA 43 TAHUN P4 A0 POST SC DAN MOW
ATAS INDIKASI PEB, PPCM, HHD POST PARTUM HARI KE 4
DI RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO

A. PENGKAJIAN
Tanggal : 01-02-2021
Jam : 09.10 WIB
Tempat : Ruang Dewi Kunti
Biodata :
1. Nama Ibu : Ny. I 1. Nama Suami : Tn. A

2. Umur : 43 tahun 2. Umur : 38 tahun

3. Suku bangsa : Jawa Indonesia 3. Suku bangsa : Jawa Indonesia

4. Agama : Islam 4. Agama : Islam

5. Pendidikan : SMP 5. Pendidikan : SMA

6. Pekerjaan : IRT 6. Pekerjaan : Buruh

7. Alamat : Tembalang, 7. Alamat : Tembalang,


Sikluwung Sikluwung
Asri Asri

8. No Hp : 08313444902

B. DATA SUBYEKTIF
1. Alasan Datang
Ibu mengatakan melahirka tanggal 29 Januari 2021, pada tanggal 1
Februari Ibu menyatakan masih merasakan sesak, akan tetapi dadanya
sudah terasa longgar tidak merasakan pusing, karena mengalami drop pada
hari ketiga.
2. Keluhan Utama
Ibu mengatakan merasa mulas pada perut bagian bawah.
3. Riwayat Obstetri:
a. Riwayat Haid:
Menarch :13 tahun Siklus :28 hari
Lamanya :7 hr Nyeri haid : Tidak
Warna darah : Merah Leukhorea : Ya, jika mens
Banyaknya : ganti pembalut 3-4 kali/hari, penuh
b. Riwayat Persalinan dan Nifas yang lalu
Persalinan Nifas Keadaan anak
Tahun sekarang
UK Asi
Jenis Penolong JK/BB Penyulit IMD Penyulit
Eksklusif
1996 9 bln Spontan Bidan P/2500 Hipertensi/Oedema - - √ Sehat
2003 9 bln Spontan Rumah P/2750 Hipertensi/Oedema - - √ Sehat
9 bln Perdarahan
2017 SC Dokter P/3300 Hipertensi/Oedema - √ Sehat
& Anemia
9 bln Hipertensi,
Hipertensi/Oedema/ Oedema
2021 SC Dokter P/3100 - √ Sehat
SC Paru,
Anemia
c. Riwayat Persalinan Sekarang
Paritas : P4 Abortus : A0
Tempat Persalinan : Rumah Sakit Ditolong oleh : dr.SpOG
Jenis Persalinan : SC
Penyulit : Hipertensi, Oedema, Riwayat SC
Keadaan plasenta : Lengkap/ Normal
Keadaan tali pusat : Baik
Keadaan bayi : Sehat Jenis Kelamin: P
Tanggal lahir : 28-01-2021 Apgar Score: 5-7-8
BB: 30950 gr, PB: 49 cm, LK: 32 cm, LD: 33 cm
4. Riwayat Kesehatan
a. Penyakit/kondisi yang pernah atau sedang diderita : Ibu mengatakan
hipertensi sejak kehamilannya, tidak menderita Asma, Diabetes,
Ginjal, Jantung, dan riwayat penyakit menular (HIV, TBC, Hepatitis).
b. Riwayat penyakit dalam Keluarga (menular maupun keturunan) : Ibu
mengatakan mempunyai riwayat penyakit menurun dalam keluarganya
yaitu Hipertensi, dan Diabetes, tidak mempunyai riwayat penyakit
menular seperti (HIV, TBC, Hepatitis)
5. Riwayat KB: Pernah/Tidak Pernah
Ibu mengatakan KB Suntik 3 bulan setelah melahirkan anak ketiga selama
2 tahun. Alasan berhenti : Lupa tidak suntik ulang
KB saat ini : KB MOW
6. Pola Pemenuhan Kebutuhan Sehari-hari
a. Pola Nutrisi
1) Makan
 Frekuensi makan pokok : 3 x perhari
 Komposisi :
 Nasi
 Lauk
 Sayuran
 Buah
 Pantangan :tidak ada
Alasan -
2) Minum
Jumlah 2 botol aqua 600 ml, air putih
Pantangan : tidak minum susu
b. Pola Eliminasi
1) Buang Air Kecil
 Frekuensi perhari : 500 cc
 Keluhan/masalah : tak ada, DC positif
2) Buang Air Besar
 Frekuensi perhari : -
 Keluhan/masalah : Ibu belum BAB
c. Pola Persnoal Hygiene
Pakaian : Ibu ganti baju setiap pagi sore
Gosok Gigi : 2x sehari
Pampers : 3x/hari
d. Pola Istirahat/ Tidur
 Ibu tidur disaat bayi tidur, tetapi masih belum nyaman karena
masih sesak nafas.
 Keluhan/masalah : Sesak nafas
e. Aktivitas Fisik dan Olahraga
 Ibu sudah bisa miring kanan & kiri, duduk dan berdiri.
f. Kebiasaan yang Merugikan Kesehatan
 Merokok : tidak
 Minuman beralkohol : tidak
 Obat-obatan : tidak
 Jamu : tidak
 Sex bebas : tidak
g. Pola Menyusui : Ibu sudah mulai menyusui bayinya setelah
persalinan dan kolostrum sudah keluar. Ibu menyusui secara
bergantian antara payudara kanan dan kiri.
h. Riwayat Psikososial Spiritual
a) Riwayat Perkawinan
Ibu menyatakan ini merupakan pernikahan kedua bagi ibu dan
suami, usia saat menikah 39 tahun. Usia pernikahan 3 tahun,
merupakan pernikahan yang SAH, hubungan dengan suami baik.
b) Kehamilan ini tidak direncanakan akan tetapi ibu dan keluarga
dapat menerima dan memberikan dukungan terhadap kehamilan
ini.
c) Mekanisme koping Cara mengatasi masalah:
Ibu menyatakan jika mempunyai masalah akan menunggu
emosinya mereda setelah itu mendiskusikannya dengan suami
d) Ibu tinggal serumah dengan : Suami
e) Pengambilan keputusan utama dalam keluarga:
Ibu mengatakan keputusan akan didiskusikan bersama dengan
suami. Akan tetapi jika emergency ibu dapat membuat keputusan
sendiri.
f) Orang terdekat ibu: Suami
g) Yang menemani ibu untuk kunjungan PNC: Suami
h) Adat istiadat yang dilakukan ibu berkaitan dengan nifas ini: Ibu
mengatakan tidak menjalankan adat istiadat yang
berhubungan dengan masa nifas, ibu tidak memiliki pantangan
makan pada masa nifas.
i) Penghasilan perbulan: Cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari
j) Praktek agama yang berhubungan dengan nifas:
Ibu tidak melaksanakan sholat pada masa nifas
k) Keyakinan ibu tentang pelayanan kesehatan:
 Ibu dapat menerima segala bentuk pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh nakes wanita maupun pria;
 Boleh menerima transfusi darah;
 Boleh diperiksa daerah genetalia.
l) Tingkat pengetahuan ibu:
Hal-hal yang sudah diketahui ibu: Cara menyusui yang benar
Hal-hal yang ingin diketahui ibu: Ibu mengatakan ingin
mengetahui tanda bahaya nifas
C. DATA OBYEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Umum:
1) Keadaan umum : baik
2) Kesadaran : composmentis
3) Tekanan Darah : 150/110 mmHg
4) Suhu /T : 36,0 ⁰C
5) Nadi : 97 kali/menit
6) RR : 31 kali/menit
7) BB : 46 Kg
8) TB : 143 cm
b. Status Present
Kepala : simetris, rambut bersih
Muka : tidak pucat, tidak oedem
Mata : simetris, konjuntiva anemis, skelera tidak icterus
Hidung : simetris, tidak ada polip
Mulut : bersih,tidak ada stomatitis
Telinga : pendengaran baik, tidak ada serumen
Leher : tidak ada pemebesaran kelenjar tyroid, tidak ada parotis
Ketiak : tidak ada pembesaran kelenjar limfe
Dada : nafas cepat, ada retraksi dinding dada.
Abdomen : tidak ada massa, tidak kembung
Vulva : terdapat tidak bekas jahitan, REEDA (-).
Punggung : normal, tidak skoliosis
Anus : tak ada hemoroid
Ekstremitas Atas :tidak oedem
Ekstremitas Bawah : tidak oedem
c. Status Obsterti
Muka : tidak ada cloasma, tidak pucat
Mammae : simetris, tidak kemerahan, puting susu menonjol, tidak
terdapat nyeri tekan, tidak terdapat benjolan,ASI
(kolostrum) sudah keluar
Abdomen : TFU 3 jari di bawah pusat, kontraksi keras, teraba
keras, posisi uterus di tengah, kandung kemih
kosong, diastasis musculus recti abdominalis 2 jari, Ada
bekas luka SC
Genetalia : Lokea : Lokhea Sangulenta, PPV : ± 50 cc
Luka Perenium : tidak ada.
2. Pemeriksaan penunjang
HB : 9,8 gr/dl.
D. ANALISA
Diagnosa Kebidanan : Ny.I usia 43 tahun P4A0 Post SC + MOW hari ke 4
a.i. PEB, PPCM,HHD
Masalah : Gagal nafas
Diagnosa Potensial : Saturasi oksigen, posisikan semi fowler.
E. PELAKSANAAN
Tanggal : 01-02-2021 Jam : 09.10 WIB
1. Memberitahu ibu tentang hasil pemeriksaan bahwa kondisi ibu kurang
baik karena tekanan darah ibu masih tinggi
Hasil : Ibu merasa cemas dengan keadaannya
2. Memberikan motivasi kepada ibu untuk tidak cemas dan khawatir
Hasil : Ibu merasa tenang
3. Melakukan pengawasan TTV
Jam 10.30
Hasil : TD : 168/110 mmHg
N : 83x/menit
S : 36,8° C
Rr : 35x/menit
SpO2 : 98 %
4. Melakukan pengawasan PPV
Hasil : jam 09.10
TFU : 3 jari dibawah pusat
Kontraksi : Keras
Vu : Terpasang DC 500 cc
PPV : 50 cc
Lochea : Sangulenta
5. Memberikan O2 sebanyak 5 liter/jam untuk memperlancar sirkulasi
pernapasan
Hasil : O2 terpasang dan ibu merasa nyaman
6. Mengobservasi jumlah urin
Hasil : Urin 500 cc
7. Melakukan pengawasan TTV
Hasil :
Jam 13.00 WIB
TD : 178/111 mmHg
N : 81x/menit
S : 36,9° C
Rr : 32x/menit
8. Advice dokter : Cedocard SP 0,3 ml/jam
9. Mendokumentasikan hasil pemeriksaan dan tindakan.
Hasil: Hasil pemeriksaan dan tindakan telah didokumentasikan.
EVIDENCE BASED PRACTICE

A. Rendam Hangat untuk Menurunkan Hipertensi


Hipertensi adalah penyakit kelainan jantung dan pembuluh darah yang
ditandai dengan peningkatan tekanan darah. Hipertensi atau tekanan darah
nggi merupakan keadaan perubahan dimana tekanan darah meningkat secara
kronik. Secara umum, hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala,
dimana tekanan yang abnormal nggi di dalam pembuluh darah arteri (Kholish,
N. 2011).
Hipertensi dapat dioba secara farmakologi dan non farmokologi.
Pengobatan secara farmakologis biasanya menggunakan obat-obatan yang
mempunyai efek samping. Di Indonesia menunjukkan 60% menggunakan
obat-obatan, 30% menggunakan herbal terapy, dan 10% fisika terapy.
Pengobatan secara non farmakologis dapat dilakukan dengan mengubah gaya
hidup yang lebih sehat dan melakukan terapi dengan rendam kaki
menggunakan air hangat yang bisa dilakukan setiap saat. Efek rendam kaki
menggunakan air hangat sama dengan berjalan tanpa menggunakan alas kaki
selama 30 menit (Santoso, 2015).
Sedangkan menurut Farmana (2020) Terapi rendam kaki dengan air
hangat adalah terapi dengan cara merendam kaki hingga batas 10- 15 cm
diatas mata kaki menggunakan air hangat . Secara ilmiah terapi merendam
kaki dengan air hangat dapat memperbaiki mikrosirkulasi pembuluh darah dan
vasodilatasi . Efek dari rendam kaki menggunakan air hangat menghasilkan
energi kalor yang bersifat mendilatasi pembuluh darah dan melancarkan
peredaran darah juga meransang saraf yang ada pada kaki untuk mengaktifkan
saraf parasimpatis, sehingga menyebabkan perubahan tekanan darah.
Prinsip kerja dari terapi ini adalah dengan menggunakan air hangat yang
bersuhu 38-40oC selama 20-30 menit secara konduksi dimana terjadi
perpindahan panas dari air hangat ke tubuh sehingga akan menyebabkan
pelebaran pembuluh darah dan dapat menurunkan ketegangan otot. Terapi
rendam kaki menggunakan air hangat ini memiliki banyak manfaat, namun
pada beberapa kasus menjadi kontra indikasi, yaitu pada kasus penyakit
jantung dengan kondisinya yang parah, orang yang memiliki tekanan darah
rendah, serta penderita diabetes. Karena kulit pasien diabetes akan mudah
rusak walaupun hanya dengan menggunakan air hangat (Damayanti, 2014).
Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Harnani (2017) Terapi rendam kaki
menggunakan air hangat efektif menurunkan tekanan darah pada lanjut usia,
dengan penurunan tekanan darah diastolik. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Farmana (2020) yang mengatakan bahwa terdapat
pengaruh rendam kaki dengan air hangat terhadap tekanan darah pasien
hipertensi di wilayah kerja kelurahan Benjala Petili.
B. Diet Rendah Garam untuk Hipertensi
Garam merupakan bumbu dapur yang pasti digunakan sebagai pemberi
rasa pada makanan, namun akan menjadi masalah bila garam dikonsumsi
dalam jumlah banyak. Diet rendah garam merupakan diet yang dimasak
dengan atau tanpa menggunakan garam namun dengan pembatasan tertentu.
Garam rendah yang digunakan adalah garam natrium. Natrium merupakan
kation utama dalam cairan ekstraselular tubuh yang berfungsi menjaga
keseimbangan cairan. Asupan natrium yang berlebihan dapat menyebabkan
gangguan keseimbangan cairan tubuh sehingga menyebabkan edema atau
asites, dan hipertensi. Tujuan dari diet rendah garam adalah membantu
menurunkan tekanan darah serta mempertahankan tekanan darah menuju
normal.
Pasien dengan tekanan darah yang tinggi diatas normal akan diberi
makanan dengan konsumsi garam yang rendah sesuai tingkat keparahannya.
(Palimbong, Sarlina, Maria Dyah Kurniasari, Rani Refilda Kiha, 2018)
C. Jus Mentimun untuk menurunkan Hipertensi
Sebagai salah satu alternatif pengobatan nonfarmakologis, mentimun
diharapkan dapat menjadi sebuah terobosan baru dalam mengatasi
permasalahan hipertensi. Disamping mengandung zat-zat yang bermanfaat
bagi kesehatan, mentimun juga terbilang jauh lebih murah dan ekonomis jika
dibandingkan dengan biaya pengobatan farmakologis dan mudah diperoleh di
tengah-tengah masyarakat.
Menurut Meilinasari mentimun dapat mengobati hipertensi karena
kandungan mineralnya yaitu potassium, magnesium, dan pospor yang bersifat
diuretik dengan kandungan air yang tinggi sehingga membantu menurunkan
tekanan darah. Potasium umumnya banyak didapati pada beberapa buah dan
sayuran. Buah dan sayuran yang mengandung potasium sangat baik di
konsumsi penderita tekanan darah tinggi (Bangun, 2002). Mentimun terbukti
dapat menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi maka hal ini
disebabkan oleh adanya kandungan potassium, magnesium, dan pospor yang
bersifat diuretik dan kandungan air yang tinggi sehingga membantu
menurunkan tekanan darah (Tukan, Ramdya Akbar, 2018)
D. Pijat Refeleksi untuk menurunkan Darah tinggi
1. Pengertian Massage
Massage atau pijat adalah terapi kesehatan tradisional atau metode
penyembuhan, dengan cara memberikan tekanan kepada tubuh secara
sistematis atau tidak sistematis, menetap atau berpindah tempat dengan
cara memberikan tekanan, atau gerakan dengan alat ataupun tanpa alat
(Widaryanti, R., Riska, H., 2019; 5).
Menurut Cristiani, N., Chichik, N., Ari, A (2019:1) Massage adalah
melakukan tekanan pada tubuh pada jaringan lunak, seperti otot, kulit,
tendon dan ligamen. Sentuhan atau pemijatan dapat mengaktifkan hormon
oksitosin dalam tubuh yang sering disebut dengan “hormone cinta” yang
disekresi oleh kelenjar pituitary dan salah satu cara untuk memunculkan
wellness for body and mind.
a. Faktor Pertimbangan dalam Massage
1) Kontak
Semua gerakan maju mundur dengan tangan masseur harus selalu
menyentuh tubuh klien dan dilakukan secara terstruktur.
2) Tekanan
Tekanan telapak tangan hanya boleh dilakukan ketika gerakan
mengurut kearah jantung dan ketika gerakan balik mengurut harus
dihilangkan.
3) Kecepatan
Frekuensi gerakan mengurut ± 15 kali dalam satu menit (misalnya
dari punggung atas ke punggung bawah hingga otot gluteal) yang
berfungsi untuk menghasilkan relaksasi pada orang yang dipijat.
4) Irama
Irama gerakan yang dilakukan harus rata agar menghasilkan efek
relaksasi pada orang yang dipijat.
5) Kontinuitas
Seluruh bagian tubuh harus dipijat dengan kontinuitas dan rata.
6) Durasi
Luas permukaan yang dipijat mempengaruh durasi massage.
Anjurkan untuk melaksanakan terapi massage adalah 5-15 menit,
akan tetapi dalam durasi 10 menit harus menghasilkan efek
relaksasi yang cukup (misalnya tidur nyenyak di malam hari).
7) Frekuensi
Terapi massage akan lebih efektif apabila dilakukan tiap hari
dengan durasi yang singkat, dibandingkan dilakukan satu kali
sehari (Cristiani, N., Chichik, N., Ari, A, 2019; 2)
b. Beberapa Hal Yang Harus Diperhatikan Dalam Massage
1) Gunakan gerakan yang pelan, merata dan konsisten agar
menghasilkan efek relaksasi.
2) Gunakan rungan yang memudahkan dalam berkomunikasi dan
follow up yang jelas antara terapis dan klien.
3) Posisi tubuh terapis dan klien tepat saat melakukan massage agar
terhindar dari ketegangan otot.
4) Attunement napas dilakukan untuk relaksasi yang lebih dalam
5) Klien diberikan waktu lebih untuk melepas pakain, memposisikan,
menggunakan kamar mandi dan mengatasi masalah kesehatan
lainnya (Widaryanti, R., Riska, H, 2019; 5).
c. Manfaat Massage
1) Meningkatkan relaksasi dan berkolaborasi dengan pengobatan
konvensional.
2) Membantu mengurangi mual, depresi, bengkak, rasa sakit, bahkan
meningkatkan kekebalan tubuh.
3) Membantu mengurangi tingkat kecemasan dan depresi dengan cara
menurunkan kadar kortisol hingga 50% dan meningkatkan
neurotransmiter (Fitria, Ika, A, 2019; 97-98).
4) Pereda nyeri dengan menstimulasi produksi endorfin dan ensefalin
yang alami serta memicu mekanisme gate control.
5) Melancarkan sirkulasi darah pada ibu.
6) Mengurangi tekanan darah secara alami, karena pada dasarnya
tekanan darah berkaitan langsung dengan stress. Sehingga melalui
massage dapat memberikan efek rileks dan mengurangi tekanan
darah.
7) Melancarkan aliran darah di pembuluh darah (Cristiani, N.,
Chichik, N., Ari, A, 2019; 8).
d. Persiapan Massage
1) Terapis harus menanyakan apakah klien bersedia untuk dilakukan
massage pada daerah kaki dengan kontak secara fisik.
2) Perhatikan apakah klien mempunyai alergi terhadap lotion atau oil.
3) Hindari melakukan massage pada daerah yang kemerah-merahan,
kecuali jika kemerahan hilang ketika dilakukan massage.
4) Identifikasi juga faktor-faktor yang menjadi kontraindikasi dalam
melakukan massage seperti fraktur tulang, luka bakar, daerah
kemerahan pada kulit, atau luka terbuka (Cristiani, N., Chichik, N.,
Ari, A, 2019; 10-11).
e. Tahap Persiapan
1) Persiapan alat
a) Kasur, sprei, selimut
b) Perlak
c) Body lation atau baby oil
d) 2 Waslap
e) Ember/Waskom berisi air hangat
f) Sarung tangan
g) Handrubb
2) Persiapan terapis
a) Menyiapkan alat dan mendekatkannya ke pasien
b) Mencuci tangan
c) Memakai sarung tangan
3) Persiapan lingkungan
a) Menutup gorden atau pintu
b) Pastikan privasi pasien terjaga (Cristiani, N., Chichik, N., Ari,
A, 2019;11).
f. Teknik Massage
1) Effleurage (mengusap)
2) V Stroke
3) Leaf stroke
g. Titik yang dapat menurunkan tekanan darah

h. Jurnal Massage
1) Hartutik, Kanthi (2017) yang berjudul Pengaruh Terapi Pijat
Refleksi Kaki Terhadap Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi
Primer, dengan hasil  ada perbedaan tekanan darah pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol sesudah diberikan perlakuan terapi
pijat refleksi kaki.
2) Ummah, Sinta (2019) yang berjudul Pengaruh Terapi Pijat Refleksi
Kaki Dengan Metode Manual Terhadap Tekanan Darah Pada
Penderita Hipertensi Di Wilayah Karangrejo Timur Wonokromo
Surabaya, dengan hasil terapi pijat refleksi kaki dengan metode
manual berpengaruh menurunkan tekanan darah pada penderita
hipertensi.
3) Lukman, dkk (2020) yang berjudul Pijat Refleksi Berpengaruh
Terhadap Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Di Klinik ATGF 8
Palembang, dengan hasil terjadi penurunan tekanan darah secara
statistik, namun secara substansi tidak bermakna.
DAFTAR PUSTAKA

Harnani, Y . (2017). Terapi Rendam kaki Menggunakan Air Hangat Efektif


Menurunkan Tekanan Darah Pada lanjut Usia. Diakses dari : diakses dari :
http://jurnal.htp.ac.id . diakses tanggal 2 Februari 2021

Farmanan, T P. (2020). Rendam Kaki Dengan Air Hangat Terhadap Tekanan


Darah Pada PAsien Hipertensi. Diakses dari :
http://www.researchgate.net/publication/342210110 diakses tanggal 2
Februari 2021

Kholish, N. (2011). Bebas Hipertensi Seumur Hidup dengan Terapi Herbal. Real
Books: Yogyakarta

Santoso, Agung D. (2015). Pengaruh Terapi Rendam Kaki Air Hangat Terhadap
Penurunan Tekanan Darah pada Lansia Penderita Hipertensi. Ponanak:
Universitas Tanjung Pura

Damayan D, Aniroh U, Priyanto. (2014). Perbedaan Tekanan Darah Sebelum dan


Sesudah Dilakukan Hidroterapi Rendam Hangat pada Penderita Hipertensi.
Semarang: Skes Nhudi Waluyo

Tukan, Ramdya Akbar. 2018. Efektifitas Jus Mentimun Dalam Menurunkan


Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi. Journal of Borneo Holistic Health,
Volume 1 No. 1 Juni 2018 hal 43-50 P ISSN 2621-9530 e ISSN 2621-9514

Palimbong, Sarlina, Maria Dyah Kurniasari, Rani Refilda Kiha. 2018. Keefektifan
Diet Rendah Garam I Pada Makanan Biasa Dan Lunak Terhadap Lama
Kesembuhan Pasien Hipertensi. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 3(1)
2018

Cristiani, N., Chichik, N., Ari, A. 2019. Smart Workbook Mom Kids and Baby.
Semarang: LBN.
Fitria, Ika, A. 2019. Kebidanan Komplementer. Yogyakarta: Pustaka Baru.
Hartutik, Kanthi. 2017. Pengaruh Terapi Pijat Refleksi Kaki Terhadap Tekanan
Darah Pada Penderita Hipertensi Primer. GASTER, Vol 15 No 2.
Lukman, dkk. 2020. Pijat Refleksi Berpengaruh Terhadap Tekanan Darah Pada
Pasien Hipertensi Di Klinik ATGF 8 Palembang. Jurnal Bahana Kesehatan
Masyarakat, Vol 4 No 1.
Ummah, Sinta. 2019. Pengaruh Terapi Pijat Refleksi Kaki Dengan Metode
Manual Terhadap Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi Di Wilayah
Karangrejo Timur Wonokromo Surabaya. Jurnal Ilmu Kesehatan, Vol 7
No 2.
Widaryanti, R., Riska, H. 2019. Terapi Komplementer Pelayanan Kebidanan.
Yogyakarta: Deepublish.

Anda mungkin juga menyukai