Oleh :
Proses involusi dapat terganggu akibat sisa plasenta maupun infeksi. Kegagalan
plasenta mengalami involusi disebut subinvolusi. Pada multipara biasanya
mengalami kram/nyeri pada rahim yang menyebabkan ketidaknyamanan,
biasanya terjadi diawal masa nifas. Rasa nyeri ini disebut Afterpain. Kegiatan
menyusui dan injeksi oksitosin akan meningkatkan intensitas afterpain.
b. Lokhea
Lokhea adalah ekskresikan cairan rahim selama masa nifas. Lokhea mengandung
darah dan sisa jaringan desidua yang nekrotik dari dalam uterus. Lokhea
mempunyai reaksi basa atau alkalis yang dapat membuat organisme berkembang
lebih cepat dari pada kondisi asam yang ada pada vagina normal. Lokhea
mempunyai bau amis atau anyir seperti darah menstruasi, meskipun tidak terlalu
menyengat dan volumenya berbeda-beda pada setiap wanita. Lokhea yang
berbau tidak sedap menandakan adanya infeksi.
Lokhea mempunyai perubahan karena proses involusi. Lokhea mengalami perubahan
karena proses involusi. Pengeluaran lokhea dapat dibagi menjadi lokhia rubra,
sanguinolenta, serosa dan alba. Perbedaan masing-masing lokhea dapat dilihat seperti
berikut:
Lokhea Waktu Warna Ciri-ciri
Rubra 1-3 hari Merah Berisi darah segar
kehitaman bercampur sel
desidua, verniks
kaseosa, lanugo, sisa
selaput ketuban dan
sisa darah
Sanguinolenta 3-7 hari Putih bercampur Berwarna merah
darah kecoklatan, berisi
sisa darah dan lendir
Serosa 7-14 hari Kekuningan/ Berwarna agak
kecoklatan kuning berisi
leukosit dan robekan
laserasi plasenta
Alba >14 hari Putih Berupa lendir tidak
berwarna
Lokhea rubra yang menetap pada awal periode postpartum menunjukkan adanya
perdarahan postpartum sekunder yang mungkin disebabkan tertinggalnya sisa
atau selaput plasenta. Lokhea serosa atau alba yang berlanjut bisa menandakan
adanya endometritis, terutama jika disertai demam, rasa sakit atau nyeri tekan
pada abdomen. Bila terjadi infeksi, keluar cairan nanah berbau busuk yang
disebut dengan lokhea purulenta. Pengeluaran lokhea yang tidak lancar disebut
dengan lokhea statis.
c. Serviks
Serviks mengalami involusi bersama-sama dengan uterus. Warna serviks sendiri
merah kehitam-hitaman karena penuh pembuluh darah. Konsistensinya lunak,
lembek, kendor, kadang-kadang terdapat laserasi atau perlukaan keci seperti
corong. Karena robekan kecil yang terjadi selama dilatasi, serviks tidak pernah
kembali pada keadaan sebelum hamil.
Hal ini disebabkan korpus uteri berkontraksi, sedangkan serviks tidak
berkontraksi, sehingga perbatasan antara korpus dan serviks uteri berbentuk
cincin. Warna serviks merah kehitam-hitaman karena penuh pembuluh darah.
Segera setelah bayi dilahirkan, tangan pemeriksaan masih dapat dimasukkan 2-3
jari dan setelah 1 minggu hanya 1 jari saja yang dapat masuk. Oleh karena itu
hiperpalpasi dan retraksi serviks, robekan serviks dapat sembuh. Namun
demikian, selesai involusi, ostium eksternum tidak sama waktu sebelum hamil.
Pada umumnya ostium eksternum lebih besar, tetap ada retak –retak dan
robekan-robekan pada pinggirnya, terutama pada pinggir sampingnya.
Serviks yang membuka 10cm selama persalinan, menutup secara bertahap. 2 jari
masih bisa dimasukkan pada 4-6 hari PP. Penampakan Osteum uteri eksternal
tidak akan sama dengan penampakan sebelum hamil. Portio akan tampak seperti
“mulut ikan” dimana ada bibir bawah dan atas. Proses laktasi akan menyebabkan
terhambatnya pembentukan lendir pada serviks.
a. Nafsu makan
Rasa lelah yang amat berat setelah proses persalinan dapat mempengaruhi nafsu
makan ibu. Sebagian ibu tidak merasakan lapar sampai rasa lelah itu hilang.
Adajuga yang merasakan lapar segera setelah persalinan. Sebaiknya setelah
persalinan segera mungkin berikan ibu minuman hangat dan manis untuk
mengembalikan tenaga yang hilang. Secara bertahap berikan makanan yang
bersifat ringan karena alat pencernaan juga perlu waktu memulihkan keadaanya.
b. Motilitas
Secara khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus cerna menetap selama
waktu yang singkat setelah bayi beru lahir. Pada persalinan bedah sesar
kelebihan analgesic dan anastesi bisa memperlambat pengembalian tonus dan
motilitas ke keadaan normal.
c. Pengosongan Usus
Pasca melahirkan, ibu sering mengalami konstipasi. Hal ini disebabkan tonus
otot usus menurun selama proses persalinan dan awal masa nifas, diare sebelum
persalinan, enema sebelum melahirkan, kurang makan, dehidrasi, hemoroid,
ataupun laserasi jalan lahir. Siste, pencernaan pada masa nifas membutuhkan
waktu untuk kembali normal.
Beberapa cara agar ibu dapat buang air besar kembali secara teratur, antara lain
sebagai berikut :
a. Pengaturan diet atau menu makanan yang mengandung serat tinggi.
b. Pemberian cairan yang cukup minimal 8 gelas per hri.
c. Pengetahuan tentang pola eliminasi pasca melahirkan.
d. Pengetahuan tentang perawatan luka jalan hahir.
e. Melakukan mobilisasi.
Bila usaha di atas tidak berhasil dapat dilakuakn pemberian huknah atau obat
yang lain untuk memperlancar buang air besar.
3. Perubahan Sistem Perkemihan
Saluran kemih kembali normal dalam waktu 2 sampai 8 minggu hal tersebut
dipengaruhi atau staus sebelum persalinan, lamanya partus kala II dilalui,
besarnya tekanan kepala yang menekan pada saat persalinan. Kadung kemih pada
masa nifas sangat kurang sensitive dan kapasitasnya bertambah, sehingga
kandung kemih penuh atau sesuadah buang air kecil masih tertinggal urine
residual (normal kurang lebih 15 cc). Sisa urine dan trauma pada kandung kemih
waktu persalinan memudahkan terjadinya infeksi. Urine biasanya berlebihan
(poliuria) antara hari kedua dan kelima. Hal ini disebabkan karena kelebihan
cairan sebagai akibat retensi air dalam kehamilan dan sekarang dikeluarkan.
Kadang-kadang hematoria akibat proses katalitik involusi. Aseptonuria terutama
setelah partus yang sulit dan lama yang disebabkan pemecahan karbohidrat yang
banyak, karana kegiatan otot-otot rahim, dan karena kelaparan. Proteinuria
akibat dari autolysis sel-sel otot.
4. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Otot-otot uterus berkontraksi segera setelah persalianan. Pembuluh-pembuluh
darah yang berada di antara anyaman otot-otot uterus akan terjepit proses ini
akan mengehntikan perdarahan setelah plasenta dilahirkan.
Ligament-ligament, diafragma pelvis, serta fasia yang meregang pada waktu
persalinan, secara berangsur-angsur menjadi ciut dan pulih kembali sehingga tak
jarang uterus jatuh ke belakang dan menjadi retrofleksi kerana ligementum
rotundum menjadi kendur. Tidak jarang pula wanita mengeluh “kandungnya
turun” setelah melahirka karena ligament, fasia, jaringan penunjang alat gentalia
menjadi kendur. Stabilitas secara sempurna terjadi pada 6-8 minggu setelah
persalinan.
Sebagai akibat putusnya serat-serat plastic kulit dan distensi yang berlangsung
lama akibat besarnya uterus pada waktu hamil, dinding abdomen masih agak
lunak dan kendur untuk sementara waktu. Untuk memulihkan kembial jaringan-
jaringan penunjang alat genetalia serta otot-otot dinding perut dan dasar panggul,
dianjurkan untuk melakukan latihan tertentu atau senam nifas.
a. Otot dan sendi
Setelah melahirkan ibu mengeluh lelah dan nyeri otot khususnya pada bahu,
leher, dan lengan. Dimana hal ini dapat diatasi melalui pemijatan ringan dan
hangat yang dapat meningkatkan sirkulasi darah dan memberikan rasa nyaman
dan rileks. Hormon relaksin akan menurun sehingga ligamen pada dasar panggul
akan kembali ke kondisi semula. Hal ini akan mengakibatkan nyeri pada otot
paha dan sendi yang mengganggu gerakan, adapun hal yang dapat dilakukan
yaitu body mekanik untuk cegah low back pain dan trauma sendi.
b. Dinding abdomen
Selama kehamilan dinding abdomen meregang untuk menyesuaikan dengan
prtumbuhan janin sehingga tonus otot berkurang. Otot longitudinal pada
abdomen juga terpisah saat kehamilan, pemisahan ini dapat diukur dengan jari.
Untuk mengembalikan kekuatan otot ini dapat dilakukan dengan melakukan sit
up biasanya akan kembali normal setelah 6 minggu post partum.
5. Perubahan Tanda-Tanda Vital
Pemeriksaan tanda-tanda vital adalah suatu proses pengukuran tanda-tandafungsi
vital tubuh yang dilakukan oleh tenaga medis untuk mendeteksi adanya
perubahan system tubuh. Pada masa nifas perubahan yang sering terjadi adalah
sebagai berikut.
a. Suhu tubuh
Setelah persalinan, dalam 24 jam pertama ibu akan mengalami sedikit
peningkatan suhu tubuh sebagai respons tubuh terhadap proses persalinan,
terutama dehidrasi akibat pengeluaran darah dan cairan saat persalinan.
Peningkatan suhu ini umumnya terjadi hanya sesaat. Jika peningkatan suhu tubuh
menetap mungkin menandakan infeksi (Coad dan Dustall,2006)
b. Nadi
Denyut nadi normal pada orang dewasa 60-80 x / menit. Pada saat proses
persalinan denyut nadi akan mengalami peningkatan. Denyut nadi yang melebihi
100x/menit, harus waspada kemungkinan infeksi atau perdarahan postpartum.
c. Tekanan darah
Tekanan darah normal untuk systole berkisar 110-140mmHg dan untuk diastole
60-80 mmHg. Setelah persalinan, tekanan darah dapat sedikit lebih rendah
dibandingkan pada saat hamil karena terjadinya perdarahan pada proses
persalinan. Bila tekanan darah mengalami peningkatan lebih dari 30mmHg pada
systole atau lebih dari 15 mmHg pada diastole perlu dicurigai timbulnya
hipertensi dan preeklamsia postpartum.
d. Pernafasan
Pada ibu postpartum pada umunya pernafasan menjadi lambat atau kembali
normal seperti saat sebelum seperti saat sebelum hamil pada bulan keenam
setelah persalinan. Hal ini karena ibu dalam kondisi pemulihan atau dalam
kondisi istirahat (Maryunani,2009). Bila nadi, suhu tidak normal, pernafasn juga
akan mengikutinya, kecuali apabila ada gangguan khusus pada saluran
pernafasan. Bila pada masa nifas pernafasan menjadi lebih cepat, kemungkinan
ada tanda-tanda syok.
B , B , dan D
2 12
3) Kerokan endometrium
Metritis akut biasanya terdapat pada abortus septic atau infeksi postpartum.
Penyakit ini tidak berdiri sendiri, akan tetapi merupakan bagian dari infeksi yang
lebih luas. Pada wanita dengan endometrium yang meradang (endometritis) dapat
menimbulkan metritis akut. Pada penyakit ini myometrium menunjukkan reaksi
radang berupa pembengkakan dan infiltrasi sel-sel radang. Perluasan dapat terjadi
lewat jalan limfe atau lewat trombofeblitis dan kadang – kadang dapat menjadi
abses.
Metritis kronik adalah diagnosis yang dahulu banyak dibuat atas dasar
menometrogia dengan uterus lebih besar dari biasa, sakit pinggang dan leukorea.
Akan tetapi pembesaran uterus pada seorang multipara umumnya disebabkan oleh
pertembahan jaringan ikat akibat kelamin. Bila pengobatan terlambat atau
kurangadekuat dapat menjadi abses pelvik, peritonitis, syok septik, dyspareunia,
thrombosis vena yang dalam, emboli pulmonal, infeksi pelvik yang menahun,
penyumbatan tuba dan infertilitas.
b. Gejala klinik metritis adalah :
1) Demam menggigil
Demam merupakan gejala klinik terpenting untuk mendiagnosis metritis, dan
suhu tubuh berkisar 380C – 390C. Demam disertai menggigil yang harus diwaspadai
sebagai tanda adanya bakteremia yang bisa terjadi pada 10%-20% kasus. Demam
biasanya timbul pada hari ke-3 disertai nadi cepat.
2) Nyeri perut bawah
Penderita mengeluhkan nyeri bagian abdomen yang pada pemeriksaan bimanual
teraba agak membesar, nyeri dan lembek.
3) Lokhia berbau
Lokhia yang berbau menyengat sering menyertai timbulnya metritis, tetapi
bukan merupakan tanda pasti.
4) Perdarahan pervaginam
5) Syok
c. Penatalaksanaan
1) Berikan antibiotika sampai dengan 48 jam bebas demam :
a) Ampisilin 2 g IV setiap 6 jam
b) Ditambah gentamisin 5 mg/kgBB IV tiap 24 jam
c) Ditambah metronidazol 500 mg IV tiap 8 jam
2) Jika masih demam 72 jam setelah terapi, kaji ulang diagnosis dan tatalaksana
3) Cegah dehidrasi. Berikan minum atau infuse cairan kristaloid
4) Pertimbangkan pemberian vaksin tetanus toksoid (TT) bila ibu dicurigai
terpapar tetanus (misalnya ibu memasukkan jamu-jamuan ke dalam vaginanya)
5) Jika diduga ada sisa plasenta, lakukan eksplorasi digital dan keluarkan bekuan
serta sisa kotiledon. Gunakan forsep ovum atau karet tumpul besar bila perlu
6) Jika tidak ada kemajuan dan ada peritonitis lakukan laparotomi dan drainase
abnomen bila terdapat pus
7) Jika uterus terinfeksi dan nekrotik, lakukan histerektomi subtotal
8) Lakukan pemeriksaan penunjang
9) Pemeriksaan darah perifer lengkap termasuk hitung jenis leukosit
a) Golongan darah ABO dan jenis Rh
b) Gula darah sewaktu (GDS)
c) Analisis urin
d) Kultur (cairan vagina, darah, dan urin sesuai indikasi)
e) Ultrasonografi (USG) untuk menyingkirkan kemungkinan adanya sisa
plasenta dalam rongga uterus atau massa intra abdomen-pelvik
10) Periksa suhu pada grafik (pengukuran suhu setiap 4 jam) yang digantungkan
pada tempat tidur pasien
11) Periksa kondisi umum : tanda vital, nyeri perut dan cairan pervaginam setiap 4
jam
12) Lakukan tindak lanjut jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit per 48 jam.
Terima, catat dan tindak lanjuti hasil kultur. Perbolehkan pasien pulang jika
suhu <37,50C selama minimal 48 jam dan hasil pemeriksaan leukosit
<11.000/mm3.
2. Peritonitis
a. Definisi
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi
rongga abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu bentuk penyakit
akut, dan merupakan kasus bedah darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun umum,
melalui proses infeksi akibat perforasi usus, misalnya pada ruptur appendiks atau
divertikulum kolon, maupun non infeksi, misalnya akibat keluarnya asam lambung
pada perforasi gaster, keluarnya asam empedu pada perforasi kandung empedu.
Kelainan dari peritoneum dapat disebabkan oleh bermacam hal, antara lain:
1) Perdarahan, misalnya pada ruptur lien, ruptur hepatoma, kehamilan ektopik
terganggu
2) Asites, yaitu adanya timbunan cairan dalam rongga peritoneal sebab obstruksi
vena porta pada sirosis hati, malignitas.
3) Adhesi, yaitu adanya perlekatan yang dapat disebabkan oleh corpus alienum,
misalnya kain kassa yang tertinggal saat operasi, perforasi, radang, trauma
4) Radang, yaitu pada peritonitis
b. Peritonitis diklasifikasikan menjadi:
1) Menurut agens
a) Peritonitis kimia, misalnya peritonitis yang disebabkan karena asam
lambung, cairan empedu, cairan pankreas yang masuk ke rongga abdomen
akibat perforasi.
b) Peritonitis septik, merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya
karena ada perforasi usus, sehingga kuman-kuman usus dapat sampai ke
peritonium dan menimbulkan peradangan.
2) Menurut sumber kuman
a) Peritonitis primer
Merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal dari penyebaran
secara hematogen, bakteri gram negatif ( E.coli, klebsiella pneumonia,
pseudomonas, proteus) , bakteri gram positif (streptococcus pneumonia,
staphylococcus).
b) Peritonitis skunder
Oleh karena kebocoran traktus gastrointestinal, enzim pancreas dan benda
asing, misalnya peritoneal dialisis.
c) Petitonitis tersier
Biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD), dan pada pasien imunokompromise. Organisme penyebab
biasanya organisme yang hidup dikulit, yaitu coagulase negative. Gejala klinis
peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri dapat dirasakan terus-
menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat ataupun tersebar di
seluruh abdomen. Dan makin hebat nyerinya dirasakan saat penderita bergerak.
Gejala lainnya meliputi:
(1) Demam : Temperatur lebih dari 380C, pada kondisi sepsis berat dapat
hipotermia
(2) Mual dan muntah : akibat adanya kelainan patologis organ visera atau
akibat iritasi peritoneum
(3) Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma
mengakibatkan kesulitan bernafas. Dehidrasi dapat terjadi akibat
ketiga hal diatas, yang didahului dengan hipovolemik intravaskular.
Dalam keadaan lanjut dapat terjadi hipotensi, penurunan output urin
dan syok.
(4) Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak
terdengar bising usus
(5) Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi akibat
kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai
respon/antisipasi terhadap penekanan pada dinding abdomen ataupun
involunter sebagai respon terhadap iritasi peritoneum
(6) Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
(7) Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi
(8) Tidak dapat BAB/buang angin.
Apabila abses telah terbentuk, nanah harus dikeluarkan. Jika jumlah nanah
masih sedikit, mengeluarkan nanah dapat dengan cara aspirasi yang dilakukan
dengan anestesi lokal serta dipandu oleh USG payudara. Cara ini dapat dilakukan
tanpa harus menginap di Rumah Sakit (Rawat Jalan). Namun jika ditemukan nanah
dalam jumlah banyak, pengeluaran nanah harus dilakukan dengan cara insisi
(penyayatan) sehingga nanah yang terperangkap dapat dikeluarkan, tindakan ini
dilakukan dengan anestesi umum. Pemberian antibiotik akan diberikan oleh dokter
untuk mencegah infeksi lanjutan dari abses. Selain itu, akan disarankan untuk
berhenti menyusui terlebih dahulu pada payudara yang terkena abses untuk
memulihkan payudara yang sakit ke kondisi semula.
Pencegahan dapat sederhana dilakukan oleh para ibu dengan cara memakai
teknik yang benar dalam menyusui agar tidak terjadi luka, menyusui secara
bergantian baik kiri maupun kanan agar berguna dalam pengosongan air susu
sehingga tidak terjadi peradangan, menjaga kebersihan dari payudara sendiri, dan
juga mencuci tangan terlebih dahulu sebelum dan sesudah menyusui agar payudara
lebih terjaga kebersihannya saat tidak sadar terkena tangan.
4. Tromboplebitis
a. Definisi
Tromboflebitis merupakan inflamasi permukaan pembuluh darah disertai
pembentukan pembekuan darah. Tomboflebitis cenderung terjadi pada periode pasca
partum pada saat kemampuan penggumpalan darah meningkat akibat peningkatan
fibrinogen; dilatasi vena ekstremitas bagian bawah disebabkan oleh tekanan keopala
janin gelana kehamilan dan persalinan; dan aktifitas pada periode tersebut yang
menyebabkan penimbunan, statis dan membekukan darah pada ekstremitas bagian
bawah (Adele Pillitteri, 2007).
Trombofleblitis femoralis adalah suatu tromboflebitis yang mengenai satu atau
kedua vena femoralis. Hal ini disebabkan oleh adanya trombosis atau embosis yang
disebabkan karena adanya perubahan atau kerusakan pada intima pembuluh darah,
perubahan pada susunan darah, laju
Pelviotromboflebitis adalah tromboflebitis yang mengenai vena-vena dinding
uterus dan ligamentum latum, yaitu vena ovarika, vena uterina dan vena
hipogastrika. Vena yang paling sering terkena adalah vena ovarika dektra karena
infeksi pada tempat implantasi plasenta terletak di bagian atas uterus. Perluasan
infeksi dari vena ovarika sinistra ialah ke vena renalis, sedang perluasan infeksi dari
vena ovarika dekstra ialah ke vena kava inferior. Perluasan infeksi dari vena uterina
ialah ke vena iliaka komunis. (Buku Acuan Pelayanan Obstetri dan Neonatal
Emergensi Dasar, hal. 7-5)
Faktor penyebab terjadinya trombofeblitis, yaitu:
1) Pasca bedah, perluasan infeksi endometrium.
2) Mempunyai varises pada vena
Pada vena yang sebelumnya terdapat venaektasia atau varises, maka terdapatnya
turbulensi darah pada kantong-kantong vena di sekitar klep (katup) vena
merangsang terjadinya thrombosis yang dalam waktu lama dapat menimbulkan
reaksi radang pada vena.
3) BB ibu termasuk kategori obesitas, IMT > 30,00
4) Berusia lebih dari 35 tahun
5) Pernah mengalami trauma pada pembuluh darah vena : Misalnya pada
pemberian obat yang iritan secara intravena.
6) Adanya malignitas (karsinoma), yang terjadi pada salah satu segmen vena.
7) Memiliki riwayat penyakit tromboflebitis dalam keluarga, Pernah memiliki
riwayat penyakit hiperkoagulopati atau trombofili, Pernah mengalami riwayat
adnexitis atau endometriosis, Ibu pernah memiliki riwayat pembedahan
obstetric, Ibu memiliki riwayat tirah baring / imobilisasi dalam jangka waktu
lama
5. Simpisiolisis
Simfisiolisis adalah kondisi yang jarang terjadi berupa pemisahan atau
pemutusan kedua tulang pelvis pada area simfisis pubis. Beberapa literature
menyebutkan juga simfisiolisis sebagai symphysis pubis diastasis danseparated
symphysis pubis. Simfisiolisis merupakan peregangan simfisis pubis secara
berlebihan. Simfisis pubis adalah sendi penghubung 2 tulang pubis. Simfisiolisis
disebabkan karena faktor hormonal dan faktor biomekanik.
Gejala simfisiolisis dapat terjadi sejak awal kehamilan dan sampai akhir periode
postpartum. Simfisiolisis awalnya asimtomatik pada pasien dan kemudian muncul
berbagai keluhan mulai dari nyeri supra-pubis hingga ketidakmampuan untuk
menanggung berat badan dan ketidakmampuan untuk buang air kecil. Pasien hampir
selalu merasakan sakit parah yang menjalar ke paha dan kaki sehingga menyulitkan
pasien untuk berdiri atau berjalan, 72 melaporkan kesulitan seksual dan 53%
memiliki eksaserbasi nyeri pada saat ovulasi bulanan. Pada palpasi dapat dirasakan
simfisis pubis terpisah disertai edema atau hematom jaringan lunak. Pada vaginal
toucher pemisahan simfisis pubis teraba dan kadang-kadang disertai laserasi vagina.
Untuk mengetahui simfisiolisis dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan
fisik, dan penunjang bila perlu dnegan USG, rontgen, dan MRI. Setelah diagnosis
simfisiolisis ditegakkan, maka dokter akan memberikan penanganan disesuaikan
dengan kondisi pasien :
a. Terapi konservatif: bedrest, pemasangan pelvic belt (mungkin ini yang Anda
sebut sebagai spalek), dan pemberian obat-obatan antinyeri. Dengan terapi
konservatif, umumnya perbaikan akan tercapai dalam waktu 6-8 minggu,
namun rasa nyeri masih bisa dirasakan sampai 8 bulan
b. Operasi pemasangan ORIF (open reduction internal fixation) / pemasangan pen:
dilakukan operasi jika simfisiolisis berat, gagal tersambung kembali, atau jika
terapi konservatif gagal. Dalam kasus Anda, kemungkinan pemeriksaan dokter
menunjukkan hal ini.
c. Fisioterapi: membantu memulihkan kondisi agar bisa beraktivitas normal
kembali
DAFTAR PUSTAKA
Mochtar R, 2012. Sinopsis Obstetric Fisiologi dan Patologi jilid 1.Jakarta : Penerbit
buku kedokteran EGC