Anda di halaman 1dari 9

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Pengertian SSOP


SSOP (Sanitation Standard Operating Prosedured) adalah Prosedur Pelaksanaan Sanitasi
Standar yang harus dipenuhi oleh suatu UPI (Unit Pengolahan Ikan) untuk mencegah terjadinya
kontaminasi terhadap produk yang diolah. Tujuannya adalah untuk memastikan mutu produk dan
menjamin tingkat dasar pengendalian keamanan pangan, serta meminimalisir kontaminasi.
Menurut Thaheer (2005), sanitasi dilakukan sebagai usaha mencegah penyakit dari
konsumsi pangan yang diproduksi dengan cara menghilangkan atau mengendalikan faktor-faktor
didalam pengolahan pangan yang berperan dalam pemindahan bahaya sejak penerimaan bahan
baku, pengolahan, pengemasan dan penggudangan produk sampai produk akhir didistribusikan.
Menurut Arief (2008), penerapan SSOP di suatu perusahaan memiliki fungsi yang sangat penting
diantaranya adalah :
1. Memperlancar tugas petugas/pegawai atau tim di unit kerja.
2. Sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan.
3. Mengetahui dengan jelas hambatan – hambatannya dan mudah dilacak.
4. Mengarahkan petugas atau pegawai untuk sama-sama disiplin dalam bekerja.
5. Sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan rutin.

2.2 Penerapan SSOP


NSHATE (1999) mengelompokkan prinsip-prinsip sanitasi untuk diterapkan dalam SPO
Sanitasi menjadi 8 Kunci persyaratan Sanitasi, yaitu :

1. Keamanan Air dan Es


Menurut Susiwi (2009) air merupakan komponen penting dlm industri pangan yaitu
sebagai bagian dari komposisi, untuk mencuci produk, membuat es/glazing, mencuci
peralatan, untuk minum dan sebagainya. Karena itu dijaga agar tidak ada hubungan silang
antara air bersih dan air tidak bersih (pipa saluran air harus teridentifikasi dengan jelas).
Menurut Purnawijayanti (2001), air yang digunakan pada unit pengolahan ikan yaitu
air yang memenuhi standart air minum. Syarat-syarat air yang dapat diminum antara lain:
1. Bebas dari bakteri berbahaya serta bebas dari ketidakmurnian kimiawi
2. Bersih dan jernih
3. Tidak berwarna dan tidak berbau
4. Tidak mengandung bahan penyebab keruh
5. Konstruksi dan desain pipa air dapat mencegah kontaminasi
6. Bak penampung  air agar terbuat dari bahan yang tidak korosi dan tidak mengandung
bahan kimia beracun
7. Pipa saluran air bersih jangan diletakkan berdampingan dengan pipa pembuangan
limbah cair atau saluran pembuangan limbah cair

Es yang digunakan di UPI  sebaiknya dibuat dari air yang telah  memenuhi persyaratan
air minum  dan disimpan pada ruang penyimpanan yang bersih, suhu dingin dan terhindar dari
cemaran bakteri phatogen, jamur, potongan-potongan kayu, dll. Air dan es di uji mutunya di
Laboratorium minimal 3 bulan sekali. Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), berdasarkan
bentuknya es dibagi menjadi 5 bentuk yaitu:
1. Es balok (Block ice), berupa balok berukuran 12-60 kg perbalok. sebelum dipakai, es
balok terlebih dahulu harus dipecah.
2. Es Tabung (tube ice), berupa tabung kecil-kecil yang siap untuk dipakai.
3. Es keping tebal (plate ice), berupa lempengan besar dan tebal (8-15 mm), kemudian
dipecahkan menjadi potongan kecil (diameter kurang dari 5 cm).
4. Es keping tipis (flake ice), berupa lempengan-lempengan tipis, (tebal 5 mm, diameter
±3 cm).
5. Es halus (slush ice), berupa butiran halus (diameter ±2 mm) dan lembek, dan
umumnya sedikut berair. Mesin yang digunakan untuk membuat es ini pada umumnya
kecil dan dipakai oleh pabrik pengolahan ikan untuk memproduksi es dalam jumlah
kecil untuk mengawetkan ikan dilingkungan pabrik. Dalam penggunaan es harus
ditangani dan disimpan di tempat yang bersih agar terhindar dari penularan dan
kontaminasi dari luar.

A. Monitoring keamanan air :


a) Air PAM : bukti pembayaran dari PAM, fotokopi hasil analisa air dari PAM. Bila ragu
disarankan untuk dianalisa tambahan dari lab penguji terakreditasi.
b) Air sumur : dilakukan sebelum usaha bisnis dimulai. Pengujian kualitas air dari lab.
penguji pangan yang terakreditasi
c) Air laut: harus dilakukan lebih sering dari air PAM/sumur; dengan inspeksi secara
visual/organoleptik.
B. Tindakan Koreksi :
 Harus segera lakukan tindakan koreksi bila terjadi atau ditemukan adanya
penyimpangan. Misal : dengan penyetopan saluran, stop proses produksi untuk
sementara; tarik produk yang terkena
C. Rekaman :
a. Dilakukan pada setiap monitoring, serta bila terjadi tindakan koreksi
b. Bentuk rekaman : rekaman monitoring periodik, rekaman periodik inspeksi plumbing,
rekaman monitoring sanitasi harian
2. Kondisi dan kebersihan permukaan yg kontak dengan bahan pangan
Menurut Thaheer (2005), semua peralatan dan pakaian kerja yang berkontak langsung
dengan produk terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, dari bahan tidak beracun serta
dirancang sesuai dengan penggunaannya. Selain itu semua permukaan kerja, peralatan, dan
perkakas yang digunakan di tempat penanganan dan yang kontak dengan produk harus terbuat
dari bahan yang tidak mengandung zat beracun, bau, atau rasa, tidak menyerap, tahan karat,
mampu menekan efek pencucian berulang – ulang.
A. Monitoring :
a) Kondisi permukaan yang kontak dengan pangan : dilakukan dengan inspeksi visual
terhadap permukaan
b) Kebersihan dan sanitasi permukaan yang kontak dengan pangan : apakah terpelihara
c) Tipe dan konsentrasi bahan sanitasi : dengan test strips/kits. Verifikasi dilakukan
dengan pengujian mikrobial permukaan secara berkala
d) Kebersihan sarung tangan dan pakaian pekerja. : apakah dalam kondisi baik
B. Tindakan koreksi :
a) Bila terjadi konsentrasi sanitiser bervariasi setiap hari maka harus memperbaiki / ganti
peralatan dan melatih operator
b) Observasi pertemuan dua meja, bila terisi rontokan produk maka pisahkan agar mudah
dibersihkan
c) Bila meja kerja menunjukkan tanda korosi maka perbaiki / ganti meja yang tidak
korosi
C. Rekaman :
a. Dilakukan pada setiap monitoring dan bila terjadi koreksi
b. Bentuk rekaman : monitoring periodik, rekaman monitoring sanitasi harian / bulanan

3. Pencegahan Kontaminasi Silang


Kontaminasi silang adalah transfer kontaminan biologi atau kimia terhadap produk
pangan dari bahan baku, personil, atau lingkungan penanganan produk. Kontaminasi silang
sering menyebabkan terjadinya keracunan terutama pada saat bakteri pathogen atau virus
mencemari produk siap konsumsi (read-to-eat). Patogen yang dapat mengkontaminasi
produk akhir dapat bersumber dari personil unit usaha, bahan baku, peraltan dan
perlengkapan, dan lingkungan unit pengolahan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengawasan dan pelaksanaan
penerapan SSOP untuk melakukan pencegahan kontaminasi silang. menurut Susianawati
(2006) adalah sebagai berikut :
1. Pada saat kegiatan karyawan tidak diperbolehkan merokok, meludah, makan dan
minum diruang kerja dan di tempat penyimpanan produk.
2. Supervisor produksi mengawasi kegiatan karyawan dengan frekuensi sebelum
kegiatan dan setiap 4 jam selama proses berlangsung.
3. Sampah dipindahkan dari area proses selama kegiatan produksi berlangsung dengan
frekuensi monitor setiap 4 jam.
4. Lay out dan desain bangunan pabrik di bangun pada kondisi yang baik
A. Monitoring :
a. Pemisahan yg cukup antara aktivitas penanganan dan pengolahan bahan baku dengan
produk jadi
b. Pemisahan yang cukup produk-produk dlm penyimpanan
c. Pembersihan dan sanitasi area, alat penangan dan pengolahan pangan
d. Praktek higiene pekerja, pakaian dan pencucian tangan
e. Praktek pekerja dan peralatan dalam menangani produk
f. Arus pergerakan pekerja dalam pabrik dan unit usaha perlu diatur alirannya baik
B. Tindakan koreksi :
Bila pada monitoring terjadi ketidak sesuaian yang mengakibatkan kontaminasi silang
maka stop aktivitas sampai situasi kembali sesuai; ambil tindakan pencegahan terjadinya
pengulangan; evaluasi keamanan produk, jika perlu disposisi ke produk lain, reproses atau
dibuang bila produk terkontaminasi
C. Rekaman :
a. Dokumentasikan koreksi yg dilakukan
b. Rekaman periodik saat dilakukan monitoring

4. Menjaga Fasilitas Pencuci Tangan, Sanitasi Dan Toilet


Lokasi fasilitas sanitasi dan cuci tangan harus mudah dijangkau oleh pekerja dan tidak
berdekatan dengan area pengolahan. Menurut Thaheer (2005), unit pengolahan harus
dilengkapi toilet yang cukup untuk seluruh karyawan dan dipisahkan antara toilet pria dan
wanita. Toilet harus dilengkapi dengan ventilasi dan dalam kondisi higienis, toilet dan cuci
tangan harus dilengkapi dengan air yang cukup.
Sedangkan menurut Susianawati (2006), toilet dan fasilitasnya harus dilengkapi
dengan pintu yang dapat tertutup secara otomatis, selalu terpelihara dengan baik dan tetap
bersih, disanitasi setiap hari pada akhir operasional. Bak cuci tangan dan fasilitasnya harus
ada air mengalir, sabun pembersih berbentuk cair, desinfektan dan penyediaan
pengering/lap. Toilet harus dilengkapi dengan ventilasi dan dalam kondisi higienis, toilet
dan cuci tangan harus dilengkapi dengan air yang cukup. Perbandingan jumlah toilet dengan
jumlah karyawan adalah sebagai berikut :
a. 1 – 9 karyawan = 1 toilet
b. 10 – 24 karyawan = 2 toilet
c. 25 – 49 karyawan = 3 toilet
d. 50 – 100 karyawan = 5 toilet
e. Diatas 100 pekerja, setiap penambahan 30 karyawan membutuhkan 1 toilet.
A. Monitoring :
Mendorong program pencucian tangan untuk mencegah penyebaran kotoran dan
mikroorganisme patogen pada area penanganan, pengolahan dan produk pangan
B. Koreksi :
a. Perbaiki atau isi bahan perlengkapan toilet dan tempat cuci tangan
b. Buang dan buat larutan baru jika konsentrasi bahan sanitasi salah
c. Observasi catatan tindakan koreksi ketika kondisi sanitasi tidak sesuai
d. Perbaiki toilet yang rusak
C. Rekaman :
Rekaman yang dapat dilakukan untuk menjaga kunci sanitasi : kondisi dan lokasi fasilitas
cuci tangan, toilet; kondisi dan ketersediaan tempat sanitasi tangan, konsentrasi bahan sanitasi
tangan, tindakan koreksi pada kondisi yang tidak sesuai

5. Proteksi Dari Bahan-Bahan Kontaminan


Pemilihan bahan pembersih tergantung dari beberapa faktor yaitu : jenis dan jumlah
cemaran yang akan dibersihkan, sifat bahan permukaan yang akan dibersihkan, misalnya
aluminium, baja tahan karat, karet, plastik atau kayu, sifat fisik senyawa bahan pembersih
(cair atau padat), metode pembersihan, mutu air yang tersedia dan biaya. Bahan yang baik
memiliki syarat – syarat yaitu ekonomis, tidak beracun, tidak korosif, tidak menggumpal dan
tidak berdebu, stabil selama penyimpanan dan mudah larut dengan sempurna (Thaheer, 2005).
Purnawijayanti (2001) menyatakan bahwa, bahan pembersih yang baik memenuhi
persyaratan yaitu ekonomis, tidak beracun, tidak korosif, tidak menggumpal, tidak berdebu,
mudah diukur, bersifat destruktif mikroba yang efektif, sifat membersihkan yang baik, tidak
menimbulkan iritasi, stabil selama penyimpanan dan mudah larut dengan sempurna. Untuk
bahan pembersih yang sering digunakan yaitu pembersih alkali, sabun, asam, dan deterjen.
Terdapat 2 jenis sanitiser yaitu:
a. Sanitiser non kimia dapat mematikan mikroorganisme melalui aktivitas fisik dari
energi yang dimiliki. Contoh sanitizer non kimia yaitu uap, air panas, radiasi.
b. Sanitiser kimia (desinfektan) adalah senyawa kimia yang memiliki kemampuan untuk
membunuh mikroorganisme. Contohnya desinfektan berbahan dasar klorin,
desinfektan berbahan dasar iodin, senyawa amonium kuartener, dan surfaktan anionik
asam. Desinfektan tidak memiliki daya penetrasi sehingga tidak mampu mematikan
mikroorganisme yang terdapat dalam celah-celah, lubang, atau dalam cemaran
mineral.
Senyawa yang banyak digunakan pada industri pengolahan hasil perikanan yaitu
klorin, hipoklorit, gas klorin, trisodium posphat terklorinasi, kloramin, klorin dioksida,
turunan asam isosianurat, diklorosodium metilidantion, quats, iodhopor. Namun yang selama
ini dipakai secara luas yaitu klorin karena keunggulanya yaitu aktivitas spektrumnya luas,
efektif terhadap bakteri gram negatif dan positif serta spora bakteri, harga murah, mudah
didapat dan tidak terpengaruh air sadah. Namun memiliki kekurangan yaitu menyebabkan
korosi (pada pH tinggi). Jumlah klorin yang digunakan tidak boleh terlalu sedikit (tidak
bermanfaat), tidak boleh terlalu banyak (menimbulkan bau tidak sedap).
Penggunaan bahan pembersih dan sanitizer harus mentaati aturan pakai yang
dikeluarkan oleh produsen, serta menghindari usaha melakukan pencampuran berbagai bahan
kimia yang tidak dipahami benar reaksinya. Bahan kimia seharusnya disimpan dalam ruang
terpisah dari ruang penyimpanan produk olahan dan bahan pengemas. Bahan kimia
desinfektan harus dipisah penyimpanannya dengan bahan kimia yang ditambahkan dalam
bahan makanan. Setiap kemasan bahan harus diberi label yang mempunyai identitas jelas.
A. Monitoring :
a. Yang perlu dimonitor : bahan-bahan berpotensi toksin dan air yang tidak saniter.
b. Dilakukan dlm frekuensi cukup, saat dimulai produksi dan setiap 4jam
c. Observasi kondisi dan aktivitas sepanjang hari.
B. Tindakan koreksi :
a. Hilangkan bahan kontaminasi dari permukaan;
b. Perbaiki aliran udara suhu ruang untuk mengurangi kondensasi;
c. Gunakan air pencuci kaki dan roda truk sebelum masuk ruang prosesing;
d. Pelatihan
e. Buang bahan kimia tanpa label dll

6. Pelabelan, Penyimpanan, Dan Penggunaan Bahan Toksin Yang Benar


Label pada produk pangan sangat penting keberadaannya bagi produsen maupun
konsumen, bagi produsen label dapat menjadi media informasi dan daya tarik sehingga
konsumen berminat untuk membeli. Setiap produk akhir yang akan diperdagangkan harus
diberi label dengan betul dan mudah dibaca yang memberikan keterangan untuk memudahkan
konsumen mengerti produk tersebut.
Bahan – bahan pembungkus untuk produk beku harus cukup kuat, tahan perlakuan
fisik, mempunyai permeabilitas yang rendah terhadap uap air, gas dan bau, tidak mudah
ditembus lemak atau minyak, tidak boleh meningkatkan waktu pembekuan, tidak boleh
melekat pada produk dan tidak boleh menulari produk. Karton untuk produk beku harus
cukup kuat, kedap air dan tahan kotor, karton sebaiknya dilapisi lilin, plastik atau vernis baik
pada salah satu atau kedua permukaannya. Master karton untuk pewadahan dalam
perdagangan besar harus ringan dan kuat, harus memberi perlindungan yang baik untuk
produk akhir (Thaheer, 2005)
Tujuan pelabelan dan penyimpanan menurut Susiwi (2009) adalah untuk menjamin
bahwa pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan toksin adalah untuk proteksi produk
dari kontaminasi. Hal yang harus diperhatikan dalam pelabelan wadah untuk kerja harus
menunjukkan :
 Nama bahan/larutan dalam wadah
 Petunjuk penggunaannya
 Penyimpanan seharusnya tempat dan akses terbatas
 Memisahkan bahan food grade dengan non food grade
 Jauhkan dari peralatan dan barang-barang kontak dengan produk
 Penggunaan bahan toksin harus menurut instruksi perusahaan produsen
 Prosedur yang menjamin tidak akan mencemari produk
A. Waktu monitoring : frekuensi yang cukup; direkomendasikan paling tidak sekali sehari;
observasi kondisi dan aktivitas sepanjang hari.
B. Tindakan Koreksi :
Bila terjadi ketidak sesuaian pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan bahan toksin,
maka koreksinya antara lain :
a. pindahkan bahan toksin yg tidak benar penyimpanannya;
b. kembalikan ke pemasok bahan yg tidak diberi label dengan benar;
c. perbaiki label;
d. buang wadah rusak;
e. periksa keamanan produk,
f. diadakan pelatihan
C. Rekaman :
Rekaman kontrol sanitasi periodik; rekaman kontrol sanitasi harian; log informasi harian

7. Pengawasan Kondisi Kesehatan Personil


Karyawan sebagai pelaksana yang melakukan kontak langsung selama proses
produksi sangat menentukan kualitas hygiene hasil produk. Dengan demikian sanitasi dan
hygiene pekerja sangat menentukan sanitasi dan hygiene produk akhir. Semua karyawan
harus mengenakan pakaian kerja, penutup kepala dan penutup mulut saat bekerja, termasuk
sepatu boot khusus. Sedangkan pekerja yang berhubungan dengan kegiatan basah harus
dilengkapi dengan apron yang tahan air (water proof). Pakaian pekerja tidak boleh dikenakan
di luar ruang produksi dan tidak boleh dikenakan dari rumah untuk itu harus disediakan
ruangan ganti bagi para pekerja. Selama bekerja, pekerja tidak boleh menggunakan parfum,
minyak rambut dan perhiasan. Para pekerja harus mengurangi kegiatan memegang anggota
tubuh yang tidak perlu (menggaruk - garuk) dan tidak boleh membawa makanan dan
minuman di ruang produksi. Sebelum memasuki ruang produksi pekerja dengan sepatu
bootnya harus mencelupkan kakinya ke dalam bak pencuci kaki yang diisi desinfektan (klorin
200 ppm) yang dibuat didepan pintu masuk ruang produksi, (Thaher, 2005).
Susiwi (2009) menambahkan bahwa pada saat bekerja kondisi karyawan harus bersih
dan sehat, karena kondisi kesehatannya dapat mengkontaminasi bahan makanan. Kondisi
karyawan yang sakit, luka, dan kondisi tidak sehat lain, dapat menjadi sumber kontaminasi
mikrobiologi. Beberapa tanda kesehatan yang perlu diperhatian antara lain diare, demam,
muntah, penyakit kuning, radang tenggorokan, luka kulit, bisul dan dark urine.
A. Monitoring :
a. Untuk mengontrol kondisi kesehatan yang dapat menyebabkan kontaminasi
mikrobiologi pada pangan, bahan pengemas, dan permukaan kontak dengan pangan.
b. Beberapa tanda kesehatan yang perlu perhatian pada monitoring : diare, demam,
muntah, penyakit kuning, radang tenggorokan, luka kulit, bisul dan dark urine
B. Tindakan Koreksi :
Tindakan yang harus dilakukan oleh manajemen: memulangkan/mengistirahatkan
personil, mencover bagian luka dengan impermeable bandage.
C. Rekaman :
Data kesehatan hasil pemeriksaan kesehatan reguler dan rekaman tindakan koreksi bila
terjadi penyimpangan

8. Pengendalian Pest
Disekitar pabrik dan ruang proses tidak boleh ada pest, serangga serta burung dan
binatang peliharaan lainnya. Maka prosedurnya harus dipasang alat perangkap pada tempat –
tempat yang menjadi tempat kemungkinan masuknya tikus, semua celah dan pintu diberi tirai
plastik untuk menghindari masuknya lalat, dipasang insect killer di depan pintu masuk ruang
proses. Untuk mengantisipasi binatang pengganggu maka tutup semua pintu masuk ruang
produksi dengan tirai plastik, tutup semua lubang yang terdapat dalam ruang produksi dengan
kawat nyamuk (Thaheer 2005).
Purwaningsih (1995) menambahkan, bagian pengolahan dan penanganan yang
berhubungan dengan lingkungan luar harus dilengkapi alat untuk mencegah burung, serangga,
tikus dan binatang lainnya. Jalan atau lubang tikus dan serangga harus ditutup dengan screen
(saringan) logam tahan karat. Pembasmian serangga dengan pestisida harus mendapat
persetujuan pemerintah dan penggunaannya harus dalam pengawasan.
Menurut Susiwi (2009), pemberantasan hama pengerat dilakukan dengan menggunakan
jebakan tikus, agar lebih efisien dan aman. Ada beberapa pest yang mungkin membawa
penyakit pada produk atau makanan antara lain :
1. Lalat dan kecoa : mentransfer Salmonella, Streptococcus, C.botulinum, Staphyllococcus,
C.perfringens, Shigella.
2. Binatang pengerat : sumber Salmonella dan parasit
3. Burung : pembawa variasi bakteri patogen Salmonella dan Listeria

A. Monitoring :
a. Tujuan monitoring untuk mengkonfirmasikan bahwa hama (pest) telah dikeluarkan
dari area pengolahan seluas-luasnya dan prosedur diikuti untuk menjegah investasi.
b. Monitoring dilakukan dengan inspeksi visual, tempat persembunyian tikus, alat
perangkap tikus, alat menjaga kebersihan dan memfasilitasi pengawasan.
B. Koreksi :
Misal, setelah gunakan pestisida dan perangkap, lalat kembali masuki ruang pengolahan,
maka tambahkan “air curtain” di atas pintu luar dan pindahkan wadah buangan
C. Rekaman :
Rekaman kontrol sanitasi periodik dan rekaman kontrol sanitasi harian.

Sumber :

Bryan, Frank L., 1995. Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis. Depkes RI Press. Jakarta.

Fardiaz, S., 1996. Aplikasi HACCP dalam Industri Pangan. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Purnawijayanti, Hiasinta, A. 2001.Sanitasi, Hygiene dan Keselamatan Kerjadalam Pengolahan


Makanan. Kanisius. Yogyakarta

Thaheer, H. 2005. Sistem Manajemen HACCP. Bumi Aksara, Jakarta


Sudarmaji. 2005. Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis. Jurnal Kesehatan
Lingkungan. Vol. 1 No. 2.

Anda mungkin juga menyukai