Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS KESELAMATAN DAN KESEHATAN

KERJA PADA BENGKEL LAS


Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Statistik dan
Kinerja K3

AKHMAD KHOERUL RIZAL


17020017

PROGRAM STUDI FIRE AND SAFETY


AKADEMI MINYAK DAN GAS BALONGAN
INDRAMAYU
2019
1. Pendahuluan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja
tidak hanya diterapkan dalam industri. Tetapi dalam praktek di semua
pekerjaan yang memilki resiko harus menerapkan K3, termasuk didalam
bengkel las. Resiko kegagalan (risk of failures) akan selalu ada pada suatu
aktifitas pekerjaan yang disebabkan perencanaan yang kurang sempurna,
pelaksanaan yang kurang cermat, maupun akibat yang tidak disengaja.
Salah satu resiko pekerjaan yang dapat terjadi adalah adanya kecelakaan
kerja. Kecelakaan kerja (work accident) akan mengakibatkan adanya efek
kerugian (loss) seberapapun jumlahnya. Oleh karena itu sedapat mungkin
kecelakaan kerja harus dicegah, apabila memungkinan dapat dihilangkan,
atau setidaktidaknya dikurangi dampaknya.
International Labour Organization (ILO), sebagai salah satu badan
PBB menyebutkan fakta seputar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
bahwa di dunia sebanyak 337 juta kecelakaan kerja terjadi setiap tahunya
yang mengakibatkan sekitar 2,3 juta pekerja kehilangan nyawa. Sementara
itu data PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) memperlihatkan
bahwa sekitar 0,7% pekerja Indonesia mengalami kecelakaan kerja yang
mengakibatkan kerugian nasional di negara Indonesia mencapai nilai Rp. 50
triliun. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Hanif Dhakiri menyebutkan
bahwa dalam sehari terdapat delapan orang meninggal dunia yang
diakibatkan kecelakaan kerja di indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan upaya untuk melakukan
pencegahan meningkatnya angka kecelakaan kerja. Upaya yang dilakukan
dalam mengurangi dampak tersebut melalui pendidikan dan latihan kepada
calon tenaga kerja. Pemerintah sendiri ikut andil dalam menerapkan usaha-
usaha pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja di Indonesia. Usaha
penerapan pedoman kesehatan dan keselamatan kerja di Indonesia salah
satunya didasarkan pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 5 Tahun 1996
tentang Sistem Manjemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan PP RI No.
50 tahun 2012 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (SMK3). Peraturan Pemerintah ini mengandung 22 pasal dan terdiri
dari 3 bab. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 5 Tahun 1996 membahas
tentang tujuan, penerapan, penetapan kebijakan SMK3, Perencanaan
SMK3, pelaksanaan rencana SMK3, pemantauan evaluasi SMK3,
peninjauan dan peningkatan kinerja SMK3, serta penilaian yang dilakukan
untuk mengevaluasi. .
Urusan K3 tidak hanya sekedar pemasangan spanduk, poster, atau
semboyan. Lebih jauh dari itu K3 harus menjadi nafas setiap pekerja yang
berada di tempat kerja. Kuncinya adalah kesadaran akan adanya resiko
bahaya dan perilaku yang merupakan kebiasaan untuk bekerja secara sehat
dan selamat. Kebiasaan bekerja seperti inilah yang sering terlupakan oleh
praktikan ketika di bengkel. Untuk itu, kesadaran bekerja secara selamat dan
sehat hendaknya sudah menjadi kebiasaan.
Alasan efisiensi kerja sering kali menyebabkan terjadi kelalaian
terhadap bahaya yang mengancam, misalnya penggunaan alat yang rusak
yang dapat menimbulkan bahaya atau kecelakaan kerja. Selain itu,
keterbatasan biaya juga sering menjadi alasan penggunaan peralatan yang
terkesan apa adanya. Upaya optimalisasi memang diperlukan tetapi harus
memenuhi syarat keselamatan dan kesehatan kerja. Banyak pihak yang
kurang menyadari bahwa biaya yang terjadi akibat adanya suatu kecelakaan
kerja dapat jauh lebih besar dari pada pencegahannya. Besarnya biaya untuk
rehabilitasi kecelakaan dan penyakit akibat kerja harus ditekan salah
satunya dengan upaya pencegahan maupun pengendalian.
Hubungan K3 dengan akibat yang dapat ditimbulkan dapat
diidentifikasi sesuai potensi bahaya yang ada. Potensi bahaya merupakan
sesuatu yang berpotensi dapat menyebabkan terjadinya kerugian,
kerusakan, cedera, sakit, kecelakaan, atau bahkan dapat menyebabkan
kematian yang berhubungan dengan proses dan sistem kerja. Soehatman
(2009) menjelaskan identifikasi bahaya merupakan suatu teknik
komprehensif untuk mengetahui potensi bahaya dari suatu bahan, alat, atau
sistem. Bahaya dapat diketahui dengan berbagai cara dan dari berbagai
sumber antara lain dari peristiwa atau kecelakaan yang terjadi, pemeriksaan
ke tempat kerja, melakukan wawancara dengan pekerja di lokasi kerja,
informasi dari pabrik atau asosiasi industri, data keselamatan bahan
(material safety data sheet) dan lainnya.
ada 9 jenis resiko bahaya dari pekerjaan yang terdapat di bengkel
antara lain:
(1). Penanganan bahan,
(2). Penggunaan alat-alat tangan,
(3). Perlindungan mesin,
(4) Desain tempat kerja,
(5). Pencahayaan,
(6). Cuaca Kerja,
(7). Pengendalian bahaya bising, getaran dan listrik,
(8). Fasilitas Pekerja,
(9). Organisasi Kerja.
Pada dasarnya sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
perlu direncanakan sebaik mungkin. Perencanaan tersebut hendaknya
disusun berdasar keadaan nyata yang ada di tempat kerja. Keadaan
lingkungan bengkel maupun peralatan harus diketahui dengan jelas untuk
mengetahui potensi bahaya yang dapat ditimbulkan. Apabila pelaksanaan
telah sesuai dengan yang telah direncanakan, potensi kecelakaan diharapkan
akan dapat dikurangi dan bahkan dihilangkan. Tahapan dari sistem
manajemen K3 yang selanjutnya harus dilakukan adalah evaluasi. Proses ini
hendaknya terus dilakukan secara bertahap dan terus menerus baik tiap
semester maupun tiap tahun. Dari tahap evaluasi ini diharapkan dapat
mengetahui kekurangan dari pelaksanaan sehingga dapat disusun
perencanaan yang lebih baik.
2. Hasil Pengamatan Lapangan
Pengamatan kali ini dilakukan di bengkel las kecamatan
indramayu kota indramayu. Pengamatan ini dilakukan secara deskriptif dan
wawancara secara terbuka dengan pemilik bengkel las. Penelitian ini tidak
memberikan perlakuan terhadap apa yang diteliti tetapi hanya sebatas
mendeskripsikan secara detail terhadap apa yang ditemukan dalam
pengambilan data. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan observasi dan wawancara.Observasi dilakukan secara
langsung pada tanggal 8 juli 2019 di bengkel las daerah indramayu .
Menurut pemaparan pemilik bengkel tersebut sudah berdiri sejak
tahun 2007, dan melayani berbagai pesanan , termasuk pagar,teralis, kanopi
dll. Di bengkel tersebut terdapat 3 karyawan. Satu sebagai pengelas, satu
sebagai tukang pemotong besi, dan satu sebagai tukang cat.
Kondisi dalam bengkel dari aspek keselamatan dan kesehatan
menurut pengamat kurang, dikarenakan penataan dan penempatan barang
masih belum ditata secara rapih dan benar. Selain itu kondisi dari bangunan
termasuk tidak sesuai dengan standar keselamatan dan kesehatan.
Gambar 1
Kondisi Bengkel Las

Seperti kondisi gambar 1 terlihat bahwa bentuk bangunan kurang


memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan kerja. Terlihat dimana
instalasi listrik tidak rapih dan bisa mengakibatkan bahaya bagi pekerja itu
sendiri. Kurangnya pengetahuan tentang K3 bagi pemilik bengkel menjadi
sorotan utama dalam permasalahan ini. Mereka tidak tahu tentang tata letak
yang baik agar pekerja tetap aman. Selain instalasi listrik terdapat juga
bahaya dimana atap hanya di topang oleh beberapa kayu dan diatasnya
terdapat barang yang jika kayu itu keropos maka akan menyebabkan
kecelakaan bagi pekerja.
Bahaya lain yang terlihat adalah banyaknya barang yang berserakan
dilantai yang bisa mengakibatkan pekerja tersandung dan terganggu
mobilitas dalam bekerja. Seharusnya pemilik bisa memikirkan hal ini
dikarenakan jika tempat kerja nyaman dan aman maka pekerja melakukan
pekerjaanya lebih baik . House keeping yang kurang baik juga dapat
meningkatkan resiko kebakaran . dikarenakan banyaknya bahan mudah
terbakar yang ditaruh tidak pada tempatnya.
Berikut beberapa keuntungan menerapkan standar ‘good housekeeping’:

 Mengurangi bahkan menghilangkan potensi bahaya atau apa saja yang


menjadi penyebab umum terjadinya kecelakaan, seperti terpeleset,
tersandung, dan terjatuh serta kebakaran dan ledakan.
 Mengurangi kemungkinan kontaminasi bahan berbahaya di area kerja
penyebab timbulnya masalah kesehatan, seperti menghirup debu atau uap.
 Meningkatkan produktivitas kerja. Dengan penataan material dan peralatan
kerja yang baik, karyawan pun bisa bekerja lebih efektif dan efisien.
 Membuat area kerja jadi rapi, nyaman, dan menyenangkan. Barang-barang
yang tertata baik dan bersih tidak lagi menghambat pergerakan para
karyawan dan kecelakaan kerja pun dapat diminimalkan.
Gambar 2

House Keeping yang buruk


Housekeeping yang buruk dapat menyebabkan:
 Tersandung objek
 Terbentur objek
 Tertimpa objek yang jatuh
 Terpeleset pada lantai yang berminyak, basah atau kotor
 Tertusuk bagian objek yang menyolok
 Teriris atau luka ditangan dan tubuh akibat bagian tajam benda seperti paku,
kawat atau logam.

Selain kurangnya pengetahuan dari sang pemilik, buruknya House


keeping juga dikarenakan kesadaran sang pemilik, salah satu alasan pemilik
tidak menerapkan house keeping yang baik adalah menekan biaya, karena
menurut mereka butuh biaya yang lebih untuk melakukanya, padahal jika
melihat dari resiko yang akan di terima ,seperti kebakaran, pekerja luka,
maka biaya tersebut akan melebihi biaya dari perawatan house keeping itu
sendiri.
House keeping yang buruk menjadikan tempat bekerja tidak
nyaman, seperti debu yang masuk ke tempat kerja yang menyebabkan
mengganggu para pekerja.

Selain house keeping, pengamat juga melakukan wawancara dengan


pemilik bengkel tersebut, menurut yang bersangkutan kecelakaan pada
bengkel miliknya sering kali terjadi, dari kecelakaan yang hanya
menimbulkan luka ringan sampai kecelakaan yang harus membutuhkan
penolongan medis.
Pada tahun 2017 terjadi kecelakaan yang mengakibatkan satu pekerja
harus dilarikan kerumah sakit dikarenakan kakinya terkena serpihan dari gerinda
yang mengakibatkan luka pada kaki dan terputusnya urat yang ada di kaki.

Gambar 3
Alat pemotong besi

Kecelakaan ringan lain yang sering terjadi adalah dari bunga las
yang mengenai kaki atau tangan si pekerja , dan serpihan dari alat gerinda.
Tidak memakai alat pelindung diri adalah salah satu penyebab dari
kecelakaan itu bisa terjadi. Para pekerja tidak diberika APD yang sesuai
dengan pekerjaanya ,mereka hanya diberikan kacamata untuk pengelasan.
Masalah biaya lagi dan lagi menjadi alasan tidak adanya APD
tersebut, sang pemilik menjawab harga APD sangatlahm mahal ketika
ditanya kenapa APD tidak ada pada bengkel miliknya tersebut. Padahal
APD adalah sesuatu yang vital yang harus ada pada pekerja. Apalagi di
bengkel banyak sekali bahaya bahaya fisik yang bisa mengakibatkan
pekerja mengalami kecelakaan.

Gambar 3
Pekerja las bekerja tanpa alat pengaman
Seperti gambar 3 diatas, pekerja hanya memakai pakaian standar.
Tidak memakai sepatu safety, sarung tangan,bahkan kacamata safety.
Kurangnya kesadaran dalam keselamatan kerja adalah salah satu faktor dari
hal diatas bisa terjadi. Menyepelehkan sesuatu menjadi hal yang biasa
terjadi di masyarakat kita, mereka menganggap hal tersebut sudah menjadi
kebiasaan dan tidak takut akan resiko yang akan diterima.
Alat pelindung diri pada saat pengelasan beserta fungsinya
 Pakaian kerja las atau apron
Pakaian kerja las adalah pakaian yang dapat melindungi seluruh bagian
tubuh dari panas dan percikan las. Selain itu terdapat Apron sebagai
tambahan, apron dada dan apron lengan ini terbuat dari bahan kulit. Karena
jika dari kain biasa maka pakaian akan lubang, hal ini disebabkan tingginya
temperatur percikan las.
 Sarung tangan
Welding gloves atau sarung tangan las adalah sarung tangan yang memang
khusus dibuat untuk proses pekerjaan las, bahan sarung tangan las terbuat
dari kulit atau bahan sejenis asbes dengan kelenturan yang baik. Welding
gloves berfungsi untuk melindungi kedua tangan dari percikan las atau
spater dan panas material yang dihasilkan dari proses pengelasan.
 Safety shoes
Sepatu las adalah sepatu yang terbuat dari kulit dan bagian depan sepatu
terdapat sebuah plat baja yang berfungsi untuk melindungi kaki dari
kejatuhan bendan yang berat dan benda yang tajam. Selain itu karena
bersifat isolator, sepatu ini juga melindungi dari bahaya sengatan listrik.
 Face shield
Helm las adalah alat yang mempunyai fungsi melindungi bagian wajah dari
percikan las, panas pengelasan dan sinar las ke bagian mata. Topeng las ini
terbuat dari bahan plastik yang tahan panas, selain itu terdapat tiga kaca
(bening, hitam, bening) yang berfungsi untuk melindungi mata dari bahaya
sinar tampak dan ultraviolet saat melakukan pekerjaan pengelasan.
 Masker las
Masker berfungsi sebagai alat perlindung pernafasan dari bahaya asap las,
karena asap las berbeda dengan asap biasa. Asap las ini merupakan hasil
pembakaran dari bahan kimia untuk perlindungan lasan dan juga
pembakaran atau pelelehan dari material lasan. Oleh karena itu asap las ini
hampir seperti serbuk bersih dan sangat membahayakan alat pernafasan
kita.

Kurangnya fasilitas K3 pada bengkel juga menjadi perhatian


pengamat. Tidak ada nya kotak first aid menjadi permasalahan ,
dikarenakan kotak first aid adalah menjadi penolong pertama ketika
terjadinya kecelakaan pada pekerja. Seharusnya kotak first aid adalah
barang wajib yang harus ada pada bengkel bengkel . selain kotak first aid
pada bengkel las lebih baik terdapat alat pemadam api ringan atau APAR.
Dikarenakan pada pekerjaan ini terdapat banyak resiko yang dapat
menyebabkan kebakaran. Maka dari itu apar sangat penting untuk
pencegahan ketika terjadinya kebakaran.

Jam kerja merupakan salah satu faktor terjadinya kecelakaan, jika


pekerja melakukan pekerjaanya melebihi standar yang telah ditentukan akan
menggangu fokus dan stamina pada pekerja, hal ini akan mengakibatkan
meningkatnya resiko kecelakaan. Pada bengkel las ini mereka sadar tentang
jam kerja aman. Mereka tidak bekerja melebihi batas standar , dikarenakan
pada sore bengkel las tersebut sudah tutup. Itu menjadi hal yang baik karena
resiko kecelakaan bisa dikurangi.
Prosedur pekerjaan pada bengkel las masih kurang baik dikarenakan
mereka masih menyepelehkan tentang keselamatan dan kesehatan bekerja.
Tidak memakai APD salah satunya. Selain itu mereka memburu waktu agar
waktu bekerja cepat selesai yang berimbas ketidak fokusan pada bekerja dan
meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan. Tetapi penempatan pekerjaan
mereka sudah lumayan bagus dikarenakan satu orang memegang satu
pekerjaan , jadi mereka bisa fokus ke kerjaan mereka masing masing .
Pengamat mengambil kesimpulan bahwa masyarakat umum belum
terlalu peka akan pentingnya keselamatan dan kesehatan dalam bekerja,
mereka lebih memilih bekerja secara cepat tanpa memikirkan bahaya atau
resiko yang akan mereka dapatkan jika bekerja tidak menerapkan K3.
Kurangnya kesadaran tentang arti keselamatan dan kesehatan bekerja akan
berdampak pada meningkatnya jumlah kecelakaan kerja. Sosialisasi akan
pentingnya K3 pada pekerjaan pekerjaan kecil merupakan solusi yang tepat
agar hal hal yang tidak baik seperti diatas tidak terjadi lagi.
DAFTAR PUSTAKA
______. 1996. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 05/MEN/1996 Tentang Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Kementerian Tenaga Kerja
Republik Indonesia

______. 2012. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2012 Tentang
Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Kementerian
Sekretariat Negara Republik Indonesia

Miftachul Afifah. 2015. PENERAPAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) DI


BENGKEL PROGRAM KEAHLIAN TEKNIK BANGUNAN SMK NEGERI 1 MAGELANG.JURNAL.
UNY

Nur Hidayat, Indah Wahyuni. 2016. KAJIAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
BENGKEL DI JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN FAKULTAS TEKNIK
UNY. JURNAL.UNY

https://www.pengelasan.net/ 8 JULI 2019

http://www.katigautama.com 8 JULI 2019

Anda mungkin juga menyukai