Efek obat tradisional tidak muncul dalam sekejap, tidak secepat efek obat kimia. Efek
ini muncul dalam jangka waktu lama karena jumlah zat aktif di dalamnya lebih sedikit
daripada jumlah zat aktif di dalam obat kimia. Banyak orang beranggapan bahwa obat
tradisional tidak memiliki efek samping. Anggapan ini salah. Kadang kala, obat tradisional
mengandung zat yang dalam dosis tertentu tidak berbahaya, tetapi ketika dosis itu
meningkat, efek samping yang tidak menyenangkan akan muncul. Jadi, penggunaan obat
tradisional yang sembarangan dapat membahayakan tubuh. Menambah dosis sembarangan
dapat membahayakan tubuh pasien. Oleh karena itu, dalam hal ini kesabaran sangat
dibutuhkan.
Sumber bahan baku jamu bahan baku yang digunakan adalah bagian-bagian tanaan
yang berkhasiat obat, baik berupa akar, daun, rimpang, kulit kayu, buah, dan bunga. Bahan-
bahan tersebut digunakan dalam bentuk segar atau dalam bentuk kering atau simplisia.
Adapun beberapa bahan yang sering digunakan dalam obat tradisional atau jamu antara lain
Rimpang kunyit, rimpang temulawak, rimpang temu hitam, daun sambiloto, buah mahkota
dewa, kayu secang, kunyit, dan temulawak.
Bentuk-bentuk jamu yaitu bentuk bubuk, rajangan atau godogan, pil, kapsul, kaplet,
pilis, tapel, parem, maupun cair.
Jamu dalam bentuk rajangan atau godogan tidak banyak disediakan oleh produsen.
Padahal, bentuk jamu seperti ini bebas dari ketentuan pendaftaran Departemen Kesehatan.
Beberapa produsen yang menyediakan jamu rajangan mengemasnya dalam kantung plastik
atau kotak plastik transparan dengan menyertakan label yang berisi informasi komposisi
simplisia. Simplisia kering dalam jamu rajangan merupakan bahan masih utuh, tetapi sudah
dirajang (diiris tipis-tipis), sehingga jenis simplisianya mudah dikenali. Penyediaan jamu
seperti ini jumlahnya sangat terbatas karena tidak tahan lama. Menurut peracik, dalam
waktu 2–3 bulan biasanya akan keluar kutu atau berjamur. Lagi pula, minat masyarakat
terhadap jamu rajangan sangat rendah. Alasannya, konsumen enggan untuk mengolah atau
merebusnya sendiri. jamu serbuk yang diseduh merupakan jenis jamu yang paling disukai.
Aroma jamu seduhan dari serbuk, terasa lebih tajam dibandingkan dengan jamu lainnya.
Sebagian besar konsumen menyatakan bahwa aroma jamu serbuk ramuan madura lebih
terasa khasiatnya dibandingkan dengan jamu jenis lainnya. Penyediaan serbuk juga tidak
menjadi masalah. Bahan jamu yang akan dibentuk menjadi serbuk diracik terlebih dahulu
sesuai dengan resep. Selanjutnya disangrai secara bertahap masing-masing bahan atau
secara bersama- sama, kecuali bahan yang berbentuk daun. Cara menyangrai juga mengikuti
cara tradisional, yaitu selain bahan jamu, dimasukkan pula daun kelapa ke dalam
penggorengan. Daun kelapa digunakan sebagai indikator cukup tidaknya bahan disangrai.
Jika daun kelapa sudah cukup kering, berarti bahan jamu sudah siap untuk diangkat dari
penggorengan. Produsen yang memiliki mesin penggilingan biasanya menggiling bahan
menjadi serbuk menggunakan mesin penggiling. Masih ada produsen yang memilih
menghaluskan bahan baku dengan cara menumbuk menggunakan lesung dan alu. Serbuk
jamu kemudian disaring dengan alat penyaring tepung (ayakan). Selanjutnya serbuk bahan
baku ini disimpan dalam tong-tong plastik atau wadah kaleng. Jika dibutuhkan untuk
pembuatan jamu, bahan serbuk ini diramu dengan bahan lain.
Apabila tidak terdapat petunjuk pemakaian pada kemasan, biasanya obat diminum
sebelum makan kecuali obat tersebut merangsang lambung maka diminum setelah makan.
Pada penyakit kronis diminum sesuai jadwal secara teratur. Rebusan obat bisa diminum
sesering mungkin sesuai kebutuhan atau diminum sebagai pengganti teh.
DAFTAR PUSTAKA
Kusuma Ika, 2017, “Pakai Mascara Dan Jadilah Pasien Yang Cerdas”, Gadjah Mada University
Press : Yogyakarta.
Herwin, dkk, 2016, “Kajian Etnofarmasi Etnik Bungkudi Kecamatan Bungku Tengah
Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah”, Fakultas MIPA, Univeritas
Tadulako : Palu.
Murdijati, G., dkk. 2019, “Jamu”, Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
Sunan Buwono P, 2004, “Jamu Jawa”, Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton : Surakarta.
Yusuf islami, dkk, 2016, “ Studi Etnofarmasi Suku Kaili Moma Di Kecamatan Kulawi,
Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah”, Fakultas MIPA, Universitas Tadulako :
Palu.