AKUNTANSI
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
Akhmad Riduwan*)
ABSTRAK
Di samping Pajak Penghasilan (PPh) -- yang sudah pasti dikenakan pada setiap peru-
sahaan yang menjalankan kegiatan di Indonesia -- dalam keadaan tertentu, perusahaan,
seba-gai Pengusaha Kena Pajak, juga dapat dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Undang-undang yang mengatur
tentang PPN dan PPnBM ini adalah UU No.11 Tahun 1994 yang lebih dikenal dengan
sebutan UU PPN 1995.
Tulisan ini akan membahas tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Lingkup pembahasan tidak mencakup
substansi PPN dan PPnBM secara lengkap, karena pembahasan lebih ditekankan pada
pencatatan transaksi-transaksi yang berhubungan dengan PPN dan PPnBM tersebut,
seperti pencatatan PPN Masukan, PPN Keluaran, Penjualan Retur, Pembelian Retur,
Penyetoran PPN dan PPnBM dalam masa pajak maupun pada akhir masa pajak, serta
masalah lainnya yang relevan.
Kata-kata kunci : Barang/Jasa Kena Pajak, PPN Masukan, PPN Keluaran, PPN Lebih
Bayar, PPN Kurang Bayar, Pajak Penjualan atas Barang Mewah
1. KEWAJIBAN PEMBUKUAN
Pencatatan transaksi yang berhubungan dengan PPN dan PPnBM, bagi Pengusaha Kena
Pajak (PKP), hukumnya adalah wajib, sebagaimana dinyatakan dan diatur dalam pasal 6
UU PPN 1995. Pada catatan dalam pembukuan itu harus dicantumkan secara terpisah dan
jelas, antara lain : (a) jumlah harga perolehan atau nilai impor; (b) jumlah harga jual atau
nilai pengganti; (c) nama barang dan satuannya; (d) jumlah harga jual bukan Barang
Kena Pajak; (e) jumlah nilai ekspor; dan (f) jumlah harga jual yang dikenakan PPN.
Pencatatan transaksi dan administrasi yang baik atas PPN dan PPnBM akan
bermanfa-at (memberikan kemudahan) bagi perusahaan dalam hal : (a) menentukan dasar
penge-naan PPN; (b) pengisian dan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) PPN, baik
*) Drs. Akhmad Riduwan, Ak., adalah dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya
Akuntansi PPN dan PPnBM (Akhmad Riduwan) 1
SPT Ma-sa maupun SPT Tahunan; (c) penyusunan laporan-laporan perpajakan yang
diperlukan perusahaan; dan (d) membantu memperlancar pelaksanaan pemeriksaan
pajak.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas penjualan/penyerahan
Barang atau Jasa Kena Pajak (BKP/JKP). Secara umum, PPN dihitung sebagai berikut :
Tarip PPN adalah 10%. Sementara itu, tarip PPN untuk barang yang diekspor adalah 0%.
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk PPN adalah harga jual, dan dalam keadaan atau hal-
hal tertentu, DPP dapat berbeda dengan harga jual. Jadi, apabila harga jual suatu barang/
jasa adalah Rp 100.000, maka PPN serta jumlah yang dibebankan kepada pembeli
adalah:
Seringkali harga jual yang tercantum dalam faktur sudah termasuk unsur PPN. Misalnya,
sebuah perusahaan menjual Barang Kena Pajak dengan harga Rp 110.000. Dalam harga
tersebut sudah termasuk PPN. Jadi, jumlah tersebut sama dengan jumlah yang
dibebankan kepada pembeli. Kalau demikian, maka PPN dan jumlah penjualan dihitung
sebagai berikut:
2 Ekuitas Vol.1 No.1 Juni 1997 : 1-15
PPN yang timbul pada saat penjualan barang/jasa kena pajak, mempunyai sebutan yang
berbeda, tergantung dari sisi/pihak mana PPN tersebut dilihat. Dilihat dari sisi pembeli,
PPN yang timbul dari pembelian barang kena pajak atau pada saat diterimanya jasa kena
pajak itu disebut PPN Masukan, atau ada pula yang menyebutnya sebagai PPN dibayar
di muka. Sedangkan dilihat dari sisi penjual, PPN yang timbul pada saat penjualan/
penyerahan barang/jasa kena pajak disebut dengan PPN Keluaran, atau ada pula yang
menyebutnya sebagai PPN yang masih harus disetor. Dalam artikel ini, secara
konsisten akan digunakan istilah PPN Masukan dan PPN Keluaran.
Bagi penjual, PPN yang dipungut dari pembeli (PPN Keluaran) bukan merupakan suatu
hak atau pendapatan, karena PPN Keluaran tersebut harus disetor ke kas negara. Dalam
hal ini, pihak penjual hanyalah sebagai pemungut pajak, yang mempunyai kewajiban
untuk menyetorkan pajak yang dipungut tersebut ke kas negara.
Secara administratif, PPN dipungut dengan menggunakan bukti yang disebut Faktur
Pajak. Setiap perusahaan (sebagai Pengusaha Kena Pajak) diwajibkan membuat faktur
pajak, selambat-lambatnya pada akhir bulan berikut setelah bulan terjadinya transaksi
atau saat penerimaan uang, mana yang lebih dulu.
Telah disebutkan di atas, bahwa PPN Keluaran adalah PPN yang dipungut pada saat pen-
jualan/penyerahan barang atau jasa kena pajak. Penjualan barang/jasa dapat dilakukan
se-cara tunai maupun secara kredit.
Penjualan Tunai
Apabila penjualan barang/jasa dilakukan secara tunai, maka perusahaan harus segera me-
nerbitkan faktur pajak, karena pembeli yang membayar tunai pada umumnya akan kebe-
ratan (tidak bersedia) untuk menerima faktur pajak yang tertunda. Bagi perusahaan
(penju-al), faktur pajak merupakan dasar pencatatan PPN Keluaran yang dipungut.
Contoh 1 :
Pada tanggal 1 Juli 1999, PT Karimata menjual secara tunai Barang Kena Pajak seharga
Rp 5.390.000 (setelah dikurangi potongan harga), ditambah PPN 10%. Transaksi tersebut
akan dicatat oleh perusahaan sebagai berikut :
Kas Rp 5.929.000
Penjualan Rp 5.390.000
PPN Keluaran 539.000
Akuntansi PPN dan PPnBM (Akhmad Riduwan) 3
Penjualan Kredit
Masalah yang timbul dalam pencatatan PPN Keluaran, apabila perusahaan menjual
barang atau jasa secara kredit, adalah kemungkinan adanya perbedaan antara saat
penyerahan barang/jasa dengan saat pembuatan faktur pajak. Seperti diketahui, bahwa
faktur pajak da-pat dibuat pada akhir bulan berikut setelah bulan terjadinya transaksi
penyerahan barang/ jasa. Dilihat dari sisi perpajakan, karena faktur pajak belum
diterbitkan, meskipun barang/jasa telah diserahkan, PPN belum terutang sehingga belum
perlu dicatat. Tetapi di sisi lain, ditinjau dari prinsip akuntansi, saat penyerahan
barang/jasa merupakan salah satu saat pengakuan pendapatan atau pelepasan aktiva.
Pencatatan PPN Keluaran seharusnya mempertimbangkan kedua hal tersebut.
Contoh 2 :
Pada tanggal 1 Juli 1999, PT Karimata menjual secara kredit Barang Kena Pajak seharga
Rp 5.390.000 (setelah dikurangi potongan harga), ditambah PPN 10%. Barang telah dise-
rahkan pada tanggal tersebut, tetapi faktur pajak belum dibuat. Transaksi tersebut akan
dicatat oleh perusahaan sebagai berikut :
Jika pada tanggal 1 Agustus 1999 faktur pajak dibuat dan diserahkan kepada pembeli,
ma-ka perusahaan harus melakukan pencatatan berikut :
Retur Penjualan
Barang yang diterima kembali dari pembeli (karena rusak atau sebab-sebab lain),
merupa-kan suatu pembatalan dan pengurangan jumlah penjualan. Oleh karena itu, PPN
atas barang tersebut menjadi tidak terutang. Dengan kata lain, retur penjualan akan
mengurangi PPN Keluaran. Retur penjualan dapat terjadi pada saat faktur pajak belum
dibuat, atau setelah faktur pajak dibuat.
Contoh 3 :
4 Ekuitas Vol.1 No.1 Juni 1997 : 1-15
Pada tanggal 1 Juli 1999, PT Karimata menjual secara kredit Barang Kena Pajak seharga
Rp 5.390.000 (setelah dikurangi potongan harga) ditambah PPN. Barang telah diserahkan
pada tanggal tersebut, tetapi faktur pajak belum dibuat. Transaksi ini dicatat seperti
dalam contoh 2.
Pada tanggal 20 Juli 1999 (di mana faktur pajak belum dibuat), terjadi retur penjualan
atas barang yang berharga Rp 700.000. Atas transaksi retur penjualan ini, perusahaan
harus mencatat :
Jika pada tanggal 1 Agustus 1999 perusahaan menerbitkan faktur pajak, maka
perusahaan cukup mencantumkan jumlah penjualan setelah dikurangi dengan retur
penjualan. Demiki-an pula PPN-nya. Pada contoh ini, jumlah penjualan dan PPN
Keluaran yang dicantumkan dalam faktur pajak adalah sebagai berikut :
Atas diterbitkannya faktur pajak ini, perusahaan (sebagai penjual) harus mencatat
sebagai berikut :
Apabila retur penjualan terjadi pada tanggal 10 Agustus 1999 (di mana faktur pajak telah
dibuat), maka pencatatan yang harus dilakukan oleh perusahaan adalah :
Pencatatan retur penjualan tersebut di atas dilakukan berdasarkan Nota Retur yang
dibuat oleh pembeli. Nota retur (yang dibuat oleh pembeli) biasanya diperlukan oleh
pihak penjual apabila faktur pajak telah terlanjur diterbitkan dan diserahkan kepada
pembeli.
Akuntansi PPN dan PPnBM (Akhmad Riduwan) 5
Pemberian secara cuma-cuma
Pengambilan barang dari persediaan selain untuk dijual, berdasarkan UU PPN 1995,
dika-tegorikan sebagai penyerahan barang kena pajak. Contoh dalam hal ini misalnya
pe-ngambilan barang untuk pemberian cuma-cuma (hadiah), sampel untuk promosi, dan
pe-makaian/konsumsi sendiri. Dengan demikian, atas pengambilan barang tersebut
dikenakan PPN, karena dianggap sebagai penyerahan barang kena pajak. Tetapi, dalam
hal ini, dasar pengenaan pajaknya adalah harga pokok barang yang bersangkutan (bukan
harga jual).
Contoh 4 :
PT Karimata mengambil barang hasil produksinya untuk dibagikan secara cuma-cuma
ke-pada calon pelanggan sebagai bagian dari kegiatan promosinya. Harga pokok barang
ter-sebut adalah Rp 5.000.000. Atas pemberian cuma-cuma (untuk promosi) ini,
perusahaan harus mencatatnya sebagai berikut :
Saldo kredit rekening “PPN Keluaran” pada akhir periode tertentu, mencerminkan
jumlah PPN yang telah dipungut, terutang, dan harus disetor oleh perusahaan ke kas
nega-ra pada periode tersebut.
PPN Masukan adalah PPN yang dibayar perusahaan pada saat pembelian atau impor ba-
rang kena pajak, atau pada saat perusahaan menerima jasa kena pajak. PPN Masukan
dapat dikategorikan ke dalam : (a) PPN Masukan yang dapat dikreditkan; dan (b) PPN
Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
PPN Masukan Yang Dapat Dikreditkan, adalah PPN Masukan yang dapat diperhi-
tungkan (dikurangkan) dari PPN Keluaran dalam suatu masa pajak. PPN Masukan dapat
dikreditkan terhadap PPN Keluaran apabila PPN Masukan tersebut timbul dari
pembelian/ impor barang atau jasa yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usaha po-kok perusahaan.
6 Ekuitas Vol.1 No.1 Juni 1997 : 1-15
PPN Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan, adalah PPN Masukan yang tidak dapat di-
perhitungkan (dikurangkan) dari PPN Keluaran dalam suatu masa pajak. PPN Masukan
tidak dapat dikreditkan terhadap PPN Keluaran apabila PPN Masukan tersebut timbul
dari pembelian/impor barang atau jasa yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan ke-giatan usaha pokok perusahaan.
Uraian-uraian berikut ini menjelaskan tentang prosedur akuntansi untuk PPN Masukan
yang dapat dikreditkan, di mana Barang atau Jasa Kena Pajak yang dibeli/diterima mem-
punyai kaitan langsung dengan usaha pokok perusahaan.
Pembelian Tunai
Apabila perusahaan membeli Barang/Jasa Kena Pajak secara tunai, biasanya segera me-
nerima faktur pajak dari penjual, sehingga perusahaan sudah dapat mencatat PPN yang
dibayarkan.
Contoh 5 :
Pada tanggal 1 Juli 1999 PT Karimata membeli secara tunai Barang Kena Pajak
(misalnya bahan baku) seharga Rp 1.000.000, ditambah PPN. Faktur pembelian dan
faktur pajak telah diterima. Pencatatan transaksi pembelian ini adalah :
Contoh 6 :
Pada tanggal 1 Juli 1999 PT Karimata memperbaiki mesin-mesin produksi. Total biaya
perbaikan yang dibayar adalah Rp 500.000 ditambah PPN. Karena perbaikan mesin
meru-pakan jasa yang berkaitan langsung dengan kegiatan pokok perusahaan, maka PPN-
nya termasuk dalam kategori “PPN yang dapat dikreditkan”. Transaksi tersebut dicatat
sebagai berikut :
Pembelian Kredit
Akuntansi PPN dan PPnBM (Akhmad Riduwan) 7
Masalah yang timbul dalam pencatatan PPN Masukan, pada hakikatnya sama dengan ma-
salah pencatatan PPN Keluaran, terutama apabila perusahaan membeli barang atau jasa
secara kredit. Pembelian secara kredit memungkinkan adanya perbedaan antara saat dite-
rimanya barang/jasa dengan saat diterimanya faktur pajak. Sebab, faktur pajak dapat
dibuat pada akhir bulan berikut setelah bulan terjadinya transaksi penyerahan
barang/jasa. Akibatnya, dari segi perpajakan, pada saat barang/jasa telah diserahkan,
PPN belum terutang sehingga belum perlu dicatat. Tetapi di sisi lain, ditinjau dari segi
prinsip akuntansi, saat penyerahan barang/jasa merupakan salah satu saat pengakuan
biaya atau perolehan aktiva. Pencatatan PPN Masukan seharusnya mempertimbangkan
kedua hal tersebut.
Contoh 7 :
Pada tanggal 1 Juli 1999 PT Karimata membeli secara kredit Barang Kena Pajak
(misalnya bahan baku) seharga Rp 1.000.000, ditambah PPN. Penyerahan barang
dilakukan pada tanggal tersebut, tetapi faktur pajaknya belum diterima. Atas transaksi
ini, perusahaan ha-rus mencatat :
Jika pada tanggal 1 Agustus 1999 faktur pajak telah diterima dari penjual, maka penca-
tatan yang harus dilakukan adalah :
Retur Pembelian
Barang yang dikirimkan kembali kepada penjual (karena rusak atau sebab-sebab lain),
pa-da hakikatnya merupakan pembatalan dan pengurangan jumlah pembelian. Oleh sebab
itu, PPN yang terutang atas barang tersebut juga harus dikurangi. Retur pembelian dapat
ter-jadi pada saat faktur pajak belum dibuat, atau setelah faktur pajak dibuat. Dalam hal
terjadi retur pembelian, perusahaan (sebagai pembeli) harus membuat Nota Retur,
terutama jika pengembalian barang tersebut terjadi setelah faktur pajak diterima dari
penjual.
Contoh 8 :
Pada tanggal 1 Juli 1999 PT Karimata membeli secara kredit Barang Kena Pajak
(misalnya bahan baku) seharga Rp 1.000.000, ditambah PPN. Penyerahan barang
8 Ekuitas Vol.1 No.1 Juni 1997 : 1-15
dilakukan pada tanggal tersebut, tetapi faktur pajaknya belum diterima. Transaksi ini
dicatat seperti dalam contoh 7.
Pada tanggal 20 Juli 1999 (di mana faktur pajak belum dibuat), dilakukan retur
pembelian atas barang yang berharga Rp 200.000. Atas transaksi retur pembelian ini,
perusahaan ha-rus mencatat sebagai berikut :
Jika pada tanggal 1 Agustus 1999 pihak penjual menerbitkan faktur pajak, maka ia cukup
mencantumkan jumlah penjualan setelah dikurangi dengan retur. Demikian pula PPN-
nya. Pada contoh ini, faktur pajak (yang dibuat oleh penjual) akan menunjukkan hal-hal
berikut
Atas diterbitkannya faktur pajak ini, perusahaan (sebagai pembeli) harus mencatat
sebagai berikut :
Apabila retur penjualan terjadi pada tanggal 10 Agustus 1999 (di mana faktur pajak telah
dibuat), maka pencatatan yang harus dilakukan oleh perusahaan adalah :
Saldo debit rekening “PPN Masukan” pada akhir periode tertentu, mencerminkan
jumlah PPN yang telah atau akan dibayar oleh perusahaan pada periode tersebut. Seluruh
PPN Masukan dalam contoh di atas merupakan PPN Masukan yang dapat dikreditkan
(diku-rangkan) terhadap PPN Keluaran.
Akuntansi PPN dan PPnBM (Akhmad Riduwan) 9
6. PPN MASUKAN YANG TIDAK DAPAT DIKREDITKAN
Apabila perusahaan membeli Barang Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan lang-
sung dengan kegiatan usaha pokok, maka atas pembelian tersebut tetap dikenai PPN. Te-
tapi, dalam hal ini, PPN Masukan yang dibayar tersebut tidak dapat dikreditkan (diperhi-
tungkan) terhadap PPN Keluaran dalam suatu masa pajak. Menurut ketentuan UU PPh
(Pajak Penghasilan) 1995, PPN yang tidak dapat dikreditkan harus dikapitalisasikan
seba-gai bagian dari biaya perolehan (cost) dari barang/aktiva yang bersangkutan, atau
dibeban-kan sebagai biaya operasi. Ketentuan ini sesuai dengan prinsip akuntansi.
Contoh 9 :
PT Karimata (sebuah perusahaan industri tekstil) membeli sebuah mobil station wagon
dengan harga Rp 64.000.000 (sudah termasuk PPN). Pembelian mobil ini harus dicatat :
Kendaraan Rp 64.000.000
Kas Rp 64.000.000
Contoh 10 :
PT Karimata (sebuah perusahaan industri tekstil) membeli alat-alat tulis dan
perlengkapan kantor lainnya dengan harga Rp 600.000 ditambah PPN. Transaksi ini
harus dicatat :
Contoh 11 :
PT Karimata (sebuah perusahaan industri tekstil) membayar biaya reparasi kendaraan di-
nas Direktur Keuangan sebesar Rp 500.000 ditambah PPN. Reparasi kendaraan dinas ini
tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan pokok perusahaan, sehingga PPN-
nya tidak dapat dikreditkan. Transaksi tersebut harus dicatat sebagai berikut :
Berdasarkan catatan-catatan akuntansi yang telah dibuat, pada setiap akhir periode terten-
tu dapat diketahui jumlah PPN Masukan dan PPN Keluaran selama periode tersebut.
Seba-gaimana telah disebutkan di muka, bahwa saldo kredit rekening “PPN Keluaran”
menunjukkan jumlah PPN yang telah dipungut oleh perusahaan dalam suatu periode,
10 Ekuitas Vol.1 No.1 Juni 1997 : 1-15
yang harus disetor ke kas negara. Sedangkan saldo debit rekening “PPN Masukan”
menun-jukkan jumlah PPN yang telah dibayar oleh perusahaan selama periode tersebut.
Informasi tentang jumlah PPN Masukan dan PPN Keluaran akan berguna untuk
menentukan berapa jumlah PPN Lebih Bayar atau PPN Kurang Bayar dalam suatu
periode (masa pajak).
Masa pajak untuk PPN adalah satu bulan. Pada setiap akhir masa pajak, perusahaan
mem-punyai kewajiban untuk mengisi SPT Masa PPN dan menyampaikannya ke Kantor
Pela-yanan Pajak, selambat-lambatnya duapuluh hari setelah akhir masa pajak. Dalam
SPT Ma-sa PPN, antara lain dilaporkan tentang jumlah PPN Kurang Bayar atau PPN
Lebih Bayar dalam masa pajak yang bersangkutan.
Tetapi, untuk tujuan akuntansi, pencatatan PPN Kurang Bayar atau PPN Lebih Bayar
harus dicatat tanpa menunggu selesainya pengisian atau penyampaian SPT Masa PPN
tersebut.
Contoh 12 :
Dianggap bahwa catatan akuntansi PT Karimata pada akhir Januari 1997 menunjukkan
saldo kredit rekening “PPN Keluaran” sebesar Rp 13.000.000, serta saldo debit rekening
“PPN Masukan” sebesar Rp 15.000.000.
Dalam SPT PPN untuk Masa Januari 1997, sesuai catatan akuntansi tadi, akan dilaporkan
mengenai hal-hal berikut :
Pada tanggal 31 Januari 1997 (tanpa menunggu apakah SPT Masa PPN sudah disampai-
kan atau belum), perusahaan harus mencatat PPN Lebih Bayar tersebut sebagai berikut :
Saldo rekening “PPN Lebih Bayar” sebesar Rp 2.000.000 disajikan dalam Neraca pada
kelompok “aktiva lancar”. Apabila PPN Keluaran lebih besar dari PPN Masukan, akan
menimbulkan “PPN Kurang Bayar”, yang harus disajikan dalam Neraca pada kelompok
“kewajiban lancar”.
Akuntansi PPN dan PPnBM (Akhmad Riduwan) 11
8. KOMPENSASI DAN PELUNASAN PPN
Sesuai dengan ketentuan UU PPN 1995, PPN Lebih Bayar dapat dikompensasikan
dengan pajak pada masa berikutnya, atau dapat dimintakan pengembalian (restitusi).
Contoh 13 :
PT Karimata memutuskan untuk mengkompensasikan PPN Lebih Bayar Rp 2.000.000
pa-da masa Januari 1997 dengan pajak pada masa berikutnya. Pada bulan Pebruari 1997,
jumlah PPN Masukan adalah Rp 20.000.000, sedangkan PPN Keluaran Rp 28.000.000.
Dengan demikian, dalam SPT PPN Masa Pebruari 1997, perusahaan akan melaporkan
hal-hal berikut :
Pada tanggal 29 Pebruari 1997 (tanpa menunggu apakah SPT Masa PPN sudah disampai-
kan atau belum), perusahaan harus mencatat PPN Kurang Bayar tersebut sebagai berikut
:
Saldo rekening “PPN Kurang Bayar” sebesar Rp 6.000.000 disajikan dalam Neraca
pada kelompok “kewajiban lancar”.
Pelaporan PPN Kurang Bayar atau PPN Lebih Bayar sebagaimana dijelaskan di atas,
ber-laku sama untuk pelaporan PPN Masukan/Keluaran yang belum difakturkan sampai
dengan akhir masa pajak.
12 Ekuitas Vol.1 No.1 Juni 1997 : 1-15
Jika pada tanggal 10 Maret 1997 perusahaan melunasi/menyetor PPN Kurang Bayar
sebe-sar Rp 6.000.000 tersebut (berdasarkan Surat Setoran Pajak / SSP), maka
pencatatannya adalah :
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan terhadap penyerahan dan
impor barang mewah. Macam dan jenis barang mewah yang dikenakan PPnBM
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Tarip PPnBM adalah serendah-rendahnya 10% dan
setinggi-tingginya 50%. Penerapan tarip PPnBM tersebut ditentukan berdasarkan
Peraturan Pemerintah. Sementara ini, ekspor barang mewah dikenakan tarip 0%.
PPnBM dihitung berdasarkan tarip yang ditetapkan dikalikan dengan Dasar Pengenaan
Pa-jak (DPP). Seperti halnya PPN, DPP untuk PPnBM adalah nilai jual atau nilai impor.
Tetapi, berbeda dengan PPN, PPnBM yang sudah dibayar pada saat perolehan atau impor
barang, tidak dapat dikreditkan terhadap PPN yang dipungut (PPN Keluaran). Khusus
untuk barang mewah yang diekspor, PPnBM yang telah atau pernah dibayar dapat
diminta kembali (restitusi).
PPnBM terutang pada saat penyerahan barang. Dalam hal impor, PPnBM terutang pada
saat dilakukannya impor. Tetapi, apabila pembayaran diterima lebih dulu, sebelum ba-
rangnya diserahkan, PPnBM terutang pada saat diterimanya pembayaran tersebut. Berbe-
da dengan PPN, untuk PPnBM tidak perlu dibuatkan faktur pajak.
Penjualan
Perusahaan yang melakukan penyerahan barang mewah harus memungut PPnBM. Misal-
nya, PT Karimata menjual Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah dengan
tarip pajak 20%. Nilai penjualan adalah Rp 50.000.000. PPN dan PPnBM dihitung
sebagai beri-kut :
Harga jual (nilai penjualan) Rp 50.000.000
PPN 10% x Rp 50.000.000 5.000.000
PPnBM 20% x Rp 50.000.000 10.000.000
Jumlah yang dibebankan pada pembeli Rp 65.000.000
════════════
Akuntansi PPN dan PPnBM (Akhmad Riduwan) 13
Atas transaksi penjualan barang mewah tersebut, pencatatan yang harus dilakukan oleh
perusahaan adalah :
Pembelian
Perusahaan yang melakukan pembelian atau impor barang mewah, dikenai PPnBM. Mis-
alnya, PT Karimata membeli BKP (misalnya bahan baku) yang dikategorikan sebagai ba-
rang mewah dengan tarip 20%. Nilai pembelian adalah Rp 200.000.000.
PPN dan PPnBM dihitung sebagai berikut :
Atas transaksi pembelian barang mewah (bahan baku) tersebut, pencatatan yang harus
dilakukan oleh perusahaan adalah :
Tetapi, apabila bahan baku yang dibeli tadi digunakan untuk memproduksi barang yang
akan diekspor, PPnBM sebesar Rp 40.000.000 yang telah dibayar tadi dapat diminta
kem-bali (restitusi) setelah ekspor dilakukan. Dalam hal demikian, ada baiknya bila
PPnBM dica-tat tersendiri (tidak dikapitalisasikan sebagai biaya perolehan barang/bahan
baku), sehing-ga transaksi pembelian barang mewah tersebut di atas dicatat sebagai
berikut :
14 Ekuitas Vol.1 No.1 Juni 1997 : 1-15
Pembelian (persediaan/aktiva lainnya) Rp 200.000.000
PPN Masukan 20.000.000
PPnBM yang belum direstitusi 40.000.000
Kas (utang dagang) Rp 260.000.000
Pada saat perusahaan memperoleh pembayaran kembali (restitusi) atas PPnBM yang per-
nah dibayarkan, pencatatan yang harus dilakukan adalah :
Kas Rp 40.000.000
PPnBM yang belum direstitusi Rp 40.000.000
Pemungutan PPnBM dalam suatu masa pajak harus dilaporkan ke Kantor Pelayanan
Pajak selambat-lambatnya 20 hari setelah berakhirnya masa pajak. Pelaporan PPnBM
dilakukan dengan membuat Pemberitahuan Penyerahan Barang Mewah. PPnBM yang
dipungut da-lam suatu masa pajak harus disetor ke kas negara selambat-lambatnya 15
hari setelah ma-sa pajak berakhir.
Beams, Floyd A., Advanced Accounting, Sixth Edition, Prentice Hall Inc., Upper Saddle
Ri-ver, New Jersey, 1996.
Fischer, Paul M., William James Taylor dan J. Arthur Leer, Advanced Accounting, Third
Edition, South Western Publishing Co., Cincinnati, Ohio, 1986.
Soemarso SR, Akuntansi Suatu Pengantar, Buku Dua, Edisi 1, Cetakan 1, BP FEUI,
Jakar-ta, 1990.
Akuntansi PPN dan PPnBM (Akhmad Riduwan) 15
16 Ekuitas Vol.1 No.1 Juni 1997 : 1-15