Anda di halaman 1dari 207

GAMBARAN PELAKSANAAN

PELAYANAN FARMASI KLINIK DI RUMAH SAKIT X


TAHUN 2017

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Gelar Sarjana Kesehatan


Masyarakat (S.K.M.)

Oleh:
Erika Hidayanti
1112101000069

MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017

i
LEMBAR PERSETUJUAN

ii
iii
iv
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
Skripsi, Februari 2017
Erika Hidayanti, NIM: 1112101000069
GAMBARAN PELAKSANAAN PELAYANAN FARMASI KLINIK DI
RUMAH SAKIT X TAHUN 2017

xii + 193 halaman, 11 tabel, 2 bagan, 6 lampiran

ABSTRAK

Standar pelayanan farmasi klinik di rumah sakit menentukan kualitas


pelayanan dan menjaga keselamatan pasien. Standar pelayanan farmasi klinik
rumah sakit di Indonesia mengacu pada standar nasional seperti SPM dan PMK.
Di Indonesia standar mengacu pada PMK nomor 58 tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif dan


kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam,
observasi, dan telaah dokumen terkait kegiatan farmasi klinik di RS X
berdasarkan pada PMK nomor 58 tahun 2014. Informan pada penelitian ini adalah
apoteker dan asisten apoteker yang terlibat kegiatan pelayanan farmasi klinik.
Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan mengambil sampel resep sebanyak 295
resep untuk dianalisis kelengkapannya.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pelayanan farmasi klinik di RS X


terdiri dari pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan
obat, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat, pemantauan terapi obat,
monitoring efek samping obat, dan dispensing sediaan steril. Sedangkan yang
belum dilakukan adalah, konseling, visite, evaluasi penggunaan obat, dan
pemantauan kadar obat dalam darah. Dari 11 kegiatan RS X hanya melaksanakan
7 kegiatan saja. Kesalahan dalam kegiatan farmasi klinik di RS X yang sering
terjadi adalah pada saat pembacaan resep oleh tenaga kefarmasian karena tak
terbaca atau tak jelasnya tulisan dokter.

Maka dari itu RS X disarankan untuk berupaya membuat standar untuk


rumah sakit sesuai dengan kemampuannya, lalu untuk mengurangi kesalahan
pembacaan resep maka disarankan RS X untuk menggunakan sistem electronic
prescribing. Selain itu, dibuat aturan atau SOP yang jelas untuk petugas
kefarmasian agar tidak terjadi kesalahpahaman antar-petugas.

Kata Kunci: Pelayanan farmasi klinik, medication error, pengkajian resep


Daftar Bacaan: 64 (1994-2016)

iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
HEALTH CARE MANAGEMENT DEPARTMENT
Undergraduate Thesis, February 2017
Erika Hidayanti, NIM: 1112101000069
DESCRIPTION OF IMPLEMENTATION OF CLINICAL
PHARMACY IN X HOSPITAL, 2017
xii+193 pages, 11 tables, 2 charts, 6 attachments

ABSTRACT

Standard of clinical pharmacy services in hospitals are determine the


quality of service and maintain patient safety. Standard of clinical pharmacy
services in hospital in Indonesia based on national regulations such as SPM and
PMK. For clinical pharmacy services the standard refers to PMK number 58 in
2014 about Standards of Pharmaceutical Services at the Hospital.

This research use qualitative and quantitative approach. The qualitative


approach is done by in-depth interviews, observation, and documents study
related to clinical pharmacy activities in X Hospital based on the PMK number 58
in 2014. The informant in this study is a pharmacist and assistant pharmacists who
involved in clinical pharmacy service activities. Quantitative approaches is done
prescription samples analyzed of 295 recipes.

Based on the results, clinical pharmacy services in X Hospitals consists of


assessment and prescription services, search history of drug use, medication
reconciliation, drug information services, monitoring drug therapy, monitoring of
drug side effects, and dispensing sterile preparations. But this hospital not apllied
the counseling, visite, drug use evaluation, and monitoring of drug levels in blood.
From 11 activities, X Hospital only applied 7 activities. Errors event in clinical
pharmacy activities in X Hospital that often occurs when reading prescriptions by
pharmacy officers because of illegible recipes from the doctor.

Thus, X Hospital advisable to make its own policy or standar about


clinical pharmacy based on its own capability, and to reduce precribing errors in
X Hospital, it is advisable to use electronic prescribing systems. In addition, X
hospital also should make a clear rules for pharmacy officers to avoid
misunderstandings between them.

Keywords: clinical pharmacy services, medication errors, assessment recipe

Reading List: 64 (1994-2016)

v
RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI

Nama lengkap : Erika Hidayanti

Jenis kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Bandung, 2 Agustus 1994

Agama : Islam

Alamat tinggal : Jln. SD Inpres No.1001 Cireunde – Ciputat,

Tangerang Selatan

No. Hp/telpon : 087882387507

E-mail : erikahidayanti@gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 2000-2006 : SDN Citrasari Lembang – Bandung


2. 2006-2009 : SMPN 1 Lembang – Bandung
3. 2009-2012 : SMAN 1 Bandung
4. 2012- 2017 : Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Jakarta

PENGALAMAN ORGANISASI

1. Ketua Biro Humaas dan Media PAMI Nasional 2016-2017


2. Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut 2016
3. Pemimpin Litbang Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut 2015
4. Wakil Ketua (Pergerakan Anggota Muda IAKMI) PAMI Jakarta Raya
2014-2015
5. Pemimpin Redaksi Himpunan Jurnalis Independen SMAN 1 Bandung
2010-2012
6. Redaksi Satu Gen SMAN 1 Bandung 2010-2011
7. Redaksi Majalah 357 SMPN 1 Lembang 2008-2009
8. Saung Sastra Lembang 2009-2010

vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya kepada kita
semua sehingga saya dapat menyusun skripsi yang berjudul ―Gambaran
Pelaksanaan Standar Pelayan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X Tahun 2017‖.
Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk kelulusan untuk
mendapat gelar Sarjana Kesehatan Mayarakat (S.K.M.).

Sungguh Maha Sempurna itu adalah Allah SWT, kekurangan dan


kekhilafan terdapat pada penulis maka dari pada itu penulis menyadari bahwa
laporan ini tidak lebih dari ketidak sempurnaan. Kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan untuk kokohnya skripsi ini. Ucapan terimakasih
penulis tuturkan secara ikhlas dan penuh dengan kerendahan hati atas
terselasaikannya skripsi ini kepada :

1. Ibu, Bapak, Mas Erlangga, Tante Nana, Eyang Uti, dan seluruh
keluarga besar yang telah membantu kelancaran saya dalam
menyelesaikan skripsi ini mulai dari bantuan finansial hingga
semangat dan doa yang tiada henti
2. Ibu Fase Badriah, Ph.D selaku pembimbing I dan Ibu Lilis Muchlisoh,
SKM, MKM selaku pembimbing II yang selalu siap memberikan
bimbingan dan pengarahan membangun dalam proses pembuatan
skripsi ini.
3. Bapak Dr. Farid Hamzens, M.Si selaku pembimbing akademik penulis.
4. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Ibu Ida Yuliarsih, Apt. selaku pembimbing lapangan di RS X yang
memberikan banyak pengalaman dan kesempatan bagi penulis. Serta

vii
seluruh petugas kefarmasian RS X yang sudah membantu berjalan
lancarnya proses pengambilan data.
7. Dr. Risnita, Dr. Fitriyanti, dan seluruh petugas di Manajemen Risiko
yang membantu saya saat proses magang dan berbagi cerita di rumah
sakit serta tentang skripsi saya. Tak lupa, bagian Diklat RS X yang
membantu perizinan saya dalam melakukan penelitian di RS X.
8. Sahabat-sahabat saya sejak hampir 10 tahun, Delia, Dwi, Olga, Yosan,
Syauqina, dan Refy yang meski jauh tapi selalu memberi semangat dan
tempat berbagi segala cerita.
9. Sahabat-sahabat saya semasa kuliah Paramita, Nova, Farras, Dwi,
Arina, dan Atthina, juga Halida, Vira, Tantri, Ayu Fita, Nuril, Ica, dan
seluruh keluarga besar MPK 2012 dan Kesmas 2012 yang tak bisa
disebutkan satu per satu.
10. Tempat segala curahan suka dan duka yang menemani perjalanan
skripsi ini mulai dari penulisan, studi pendahuluan, hingga hasil,
Singgih A. Dani.
11. Sahabat-sahabat seperjuangan di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)
Institut, Maulia, Nur Hamidah, Syah Rizal, dan Thohirin yang sudah
susah senang bersama. Tak lupa seluruh Pengurus LPM Institut 2016,
yang membantu saya menyelesaikan tugas sebagai Pemimpin Umum
LPM Institut 2016 dan seluruh Keluarga Besar Institut (KBI).
12. Teman berbagi cerita yang sabar jadi pelampiasan cerita sedih dan
mengesalkan, sekaligus yang selalu mau diajak jalan-jalan, Fathra.
13. Teman-teman seperjuangan di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) UIN
Jakarta, PAMI Jakarta Raya, dan PAMI Nasional yang selalu kritis dan
kreatif.
14. Semua pihak yang membantu kelancaran skripsi ini yang tak bisa saya
sebut satu persatu.

Jakarta, Februari 2017


Erika Hidayanti

viii
DAFTAR ISI

PERNYATAAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii


LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................ iv
ABSTRACT ..............................................................................................v
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................ vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ............................................................................................ ix
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xiv
BAB I ..............................................................................................1
PENDAHULUAN ..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 7
1.3 Pertanyaan Penelitian ............................................................................... 8
1.4 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 9
1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................... 9
1.4.2 Tujuan khusus ................................................................................... 9
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................. 10
1.5.1 Bagi Rumah Sakit ........................................................................... 10
1.5.2 Bagi Peneliti .................................................................................... 11
1.5.3 Bagi Institusi ................................................................................... 11
1.6 Ruang Lingkup ....................................................................................... 11
BAB II ............................................................................................12
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................12
2.1 Pelayanan Farmasi Klinik Rumah Sakit ...................................................... 12
2.1.1 Pengkajian dan pelayanan Resep .................................................... 13
2.1.2 Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat.......................................... 17
2.1.3 Rekonsiliasi Obat ............................................................................ 19
2.1.4 Pelayanan Informasi Obat (PIO) ..................................................... 22
2.1.5 Konseling ........................................................................................ 25
2.1.6 Visite ............................................................................................... 28

ix
2.1.7 Pemantauan Terapi Obat (PTO) ...................................................... 32
2.1.8 Monitoring Efek Samping Obat (MESO) ....................................... 34
2.1.9 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) .................................................. 35
2.1.10 Dispensing Sediaan Steril ............................................................... 35
2.1.11 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).............................. 36
2.2 Medication Error ......................................................................................... 37
2.3 Pencegahan Medication Error .................................................................... 41
2.4 Kerangka Teori ....................................................................................... 42
BAB III ............................................................................................44
KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH ..................................................44
3.1 Kerangka Pikir ........................................................................................ 44
3.2 Definisi Istilah ........................................................................................ 46
BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................................58
4.1 Desain Penelitian .................................................................................... 58
4.1.1 Substansi Kualitatif ......................................................................... 58
4.1.2 Variabel Kuantitatif ......................................................................... 59
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 59
4.3 Informan Penelitian ................................................................................ 59
4.4 Populasi dan Sampel .............................................................................. 60
4.5 Instrumen Penelitian ............................................................................... 61
4.6 Sumber Data ........................................................................................... 61
4.7 Pengumpulan Data ................................................................................. 62
4.7.1 Pengumpulan Data Kuaitatif ........................................................... 62
4.7.2 Pengumpulan Data Kuantitatif ........................................................ 62
4.8 Pengolahan Data ..................................................................................... 63
4.8.1 Pengolahan Data Kualitatif ............................................................. 63
4.8.2 Pengolahan Data Kuantitatif ........................................................... 64
4.9 Analisis Data .......................................................................................... 65
4.9.1 Analisis Data Kualitatif ................................................................... 65
4.9.2 Analisis Data Kuantitatif ................................................................. 65
4.10 Triangulasi Data ..................................................................................... 66
BAB V ............................................................................................68

x
HASIL PENELITIAN ............................................................................................68
5.1 Gambaran Umum Rumah Sakit X.......................................................... 68
5.1.1 Gambaran Sumber Daya Manusia Farmasi di Rumah Sakit X ....... 69
5.1.2 Gambaran Sarana Prasarana Farmasi di Rumah Sakit X ................ 72
5.1.3 Gambaran Kebijakan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X .
75
5.2 Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X .. 76
5.2.1 Gambaran Pengkajiaan dan Pelayanan Resep di RS X ................... 77
5.2.2 Gambaran Rekonsiliasi Obat di RS X............................................. 89
5.2.3 Gambaran Pelayanan Informasi Obat di RS X ............................... 92
5.2.4 Gambaran Konseling di RS X ......................................................... 96
5.2.5 Gambaran Visite di RS X ................................................................ 97
5.2.6 Gambaran Pemantauan Terapi Obat di RS X ................................. 98
5.2.7 Gambaran Monitoring Efek Samping Obat (MESO) di RS X ...... 100
5.2.8 Gambaran Dispensing Sedian Steril di RS X................................ 101
5.3 Gambaran Pencapaian Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah
Sakit X ............................................................................................................. 105
BAB VI ..........................................................................................107
PEMBAHASAN ..........................................................................................107
6.1 Keterbatasan Penelitian ........................................................................ 107
6.2 Analisis Input Pelayanan Farmasi Klinik ............................................. 107
6.3 Analisis Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X .... 108
6.3.1 Analisis Pengkajiaan dan Pelayanan Resep di RS X .................... 109
6.3.2 Analisis Rekonsiliasi Obat di RS X .............................................. 117
6.3.3 Analisis Pelayanan Informasi Obat di RS X ................................. 119
6.3.4 Analisis Konseling di RS X .......................................................... 122
6.3.5 Analisis Visite di RS X ................................................................. 124
6.3.6 Analisis Pemantauan Terapi Obat di RS X ................................... 127
6.3.7 Analisis Monitoring Efek Samping Obat (MESO) di RS X ......... 128
6.3.8 Analisis Dispensing Sediaan Steril di RS X ................................. 129
6.4 Analisis Pencapaian Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik .............. 130
BAB VII ..........................................................................................134
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................134

xi
7.1 Simpulan ............................................................................................... 134
7.1 Saran ..................................................................................................... 136
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................138
LAMPIRAN.........................................................................................................144

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Istilah ...................................................................................... 46


Tabel 4.1 Informan Penelitian ...............................................................................46
Tabel 4.2 Validitas Data ........................................................................................ 66
Tabel 5.1 Ketenagakerjaan ....................................................................................54
Tabel 5.2 Ketenagakerjaan Famasi ....................................................................... 70
Tabel 5.3 Sarana dan Prasarana ............................................................................ 72
Tabel 5.4 Kelengkapan Administrasi Resep RS X ............................................... 85
Tabel 5.5 Kelengkapan Farmasetik Resep RS X .................................................. 86
Tabel 5.6 Kelengkapan Persyaratan Klinis Resep RS X ...................................... 87
Tabel 5.7 Sarana Prasarana Dispensing Sediaan Steril ....................................... 103

xiii
DAFTAR SINGKATAN

ACCP : American College of Clinical Pharmacy

ASHP : American Society of Health-System Pharmacists

Binfar : Bina Farmasi

BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan

BPOM : Badan Pengawas Obat dan Makananan

CDC : Centers for Disease Control and Prevention

EPO : Evaluasi Penggunaan Obat

IGD : Instalasi Gawat Darurat

Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan

KIE : Komunikasi, Informasi, Edukasi

MCNZ : Medical Council of New Zealand

MESO : Monitoring Efek Samping Obat

Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan

PIO : Pelayanan Informasi Obat

PMK : Peraturan Menteri Kesehatan

PTO : Pemantauan Terapi Obat

ROTD : Reakdi Obat yang Tidak Dikehendaki

SMF : Sekolah Menegah Farmasi

TTK : Tenaga Teknis Kefarmasian

UDD : Unit Dose Dispensing

xiv
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Farmasi klinik merupakan perluasan peran profesi petugas farmasi

yang tidak hanya berorientasi kepada obat namun juga kepada pasien dan

bertujuan untuk meningkatkan kualitas terapi obat. Aktifitas farmasi klinik

terpusat kepada pasien, bekerjasama dan berkolaborasi antar profesi

dengan dokter dan perawat dalam tim pelayanan kesehatan (Hepler,

2004;Miller, 1981) dalam Restriyani (2016).

Farmasi klinik bertujuan mengidentifikasi, mencegah, dan

menyelesaikan masalah terkait obat. Tuntutan masyarakat terkait

pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit mengharuskan adanya perluasan

dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented)

menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented)

dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) (Prayitno,

2003).

Pelayanan farmasi klinik pun terbukti efektif dalam menangani terapi

pada pasien. Selain itu, pelayanan tersebut juga efektif untuk mengurangi

biaya pelayanan kesehatan dan meningkatkan kualitas pelayanan

kesehatan. Hal itu terutama diperoleh dengan melakukan pemantauan

resep dan pelaporan efek samping obat. Pelayanan ini terbukti dapat

menurunkan angka kematian di rumah sakit secara signifikan (Ikawati,

2010).

1
Beberapa studi menggambarkan sikap dokter terhadap peran

farmasi klinik. Di Sudan, dokter menjadi tidak nyaman dengan adanya

apoteker yang merekomendasikan peresepan obat untuk pasien meskipun

jenis pengobatan tersebut untuk penyakit minor. Sedangkan, di Jordan

terdapat 63% dokter mengharapkan apoteker untuk mengajari pasien

mereka mengenai keamanan dan ketepatan penggunaan obat. Di samping

itu, sebagian dokter menyetujui bahwa apoteker selalu dapat diandalkan

sebagai sumber informasi obat (Abu-Garbieh, et al., 2010).

Namun, sebanyak 48,2% dokter-dokter di Kuwait tetap kurang

nyaman dalam menyusun resep pasien bersama dengan apoteker. Di Libya

dan United Arab Emirates (UAE) diketahui sedikit sekali interaksi antara

dokter dan apoteker. Berdasarkan temuan dari salah satu penelitian

menunjukkan hampir 70- 60% dokter di Libya dan UAE berturut-turut

jarang atau tidak pernah melakukan diskusi dengan apoteker mengenai

terapi obat yang diperolah pasien. Selanjutnya terlihat kurangnya

kepercayaan dokter terhadap apoteker dalam memonitor tekanan darah dan

menyediakan terapi pengganti (Abu-Garbieh, et al., 2010).

Di sisi lain, pada farmasi klinik, apoteker didefinisikan terlibat dalam

merawat pasien pada semua fase perawatan kesehatan. Mereka harus

memiliki pengetahuan yang mendalam tentang obat yang terintegrasi

dengan pemahaman yang mendasar dari biomedis, farmasi, kehidupan

sosial, dan ilmu klinis. Apoteker klinis berpedoman pada bukti terapi, ilmu

2
berkembang, teknologi terbaru, dan prinsip-prinsip hukum, etika, sosial,

budaya, ekonomi, serta profesional yang relevan (ACCP, 2008)

Di Indonesia, Berdasarkan PMK No.58 tahun 2014 tentang Standar

Pelayanan Farmasi Rumah Sakit, pelayanan farmasi klinik merupakan

pelayanan langsung yang diberikan apoteker kepada pasien dalam rangka

meningkatkan efek terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek

samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety)

sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin

Pelayanan farmasi klinik yang harus diselenggarakan menurut

PMK No.58 Tahun 2014 di antaranya adalah pengkajian dan pelayanan

resep, penelusuran riwayat obat, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi

obat, konseling, visite, pematauan terapi obat, monitoring efek samping

obat, evaluasi penggunaan obat, dan dispening sediaan steril.

Penelitian di beberapa RS di Yogyakarta dan sekitarnya

menujukkan bahwa rata-rata rumah sakit melaksanakan standar pelayanan

farmasi klinik sebesar 74,5%. Beberapa rumah sakit yang termasuk dalam

penelitian ini yang berpengaruh terhadap penyebab tidak terlaksananya

pelayanan farmasi klinik adalah kurangnya tenaga kerja, terutama tenaga

kerja yang berkompeten untuk melakukan kegiatan farmasi klinik.

Kurangnya sarana dan prasaran juga sangat berpengaruh terhadap

pelaksanaan pelayanan 44 farmasi klinik, contohnya dispensing sediaan

steril dan pemantuan kadar obat dalam darah (Indah dan Utami, 2016).

3
Studi yang berbeda menunjukan tentang pelayanan resep yang

termasuk dalam kegiatan farmasi klinik di RS Y di yang masih terdapat

kesalahan. Pada tahap prescibring potensi kesalahan terjadi karena tulisan

resep tidak terbaca 0,3%, nama obat berupa singkatan 12%, tidak ada dosis

pemberian 39%, tidak ada jumlah pemberian 18%, tidak ada aturan pakai

34%, tidak menuliskan satuan dosis 59%, tidak ada bentuk sediaan 84%,

tidak ada rute pemberian 49%, tidak ada tanggal permintaan resep 16%,

tidak lengkap identitas pasien (tidak ada nomor rekam medik 62%, usia

87%, berat badan 88%, tinggi badan 88%, jenis kelamin pasien 76%, dan

no kamar pasien 77%). Selain itu pada tahap transcribing potensi

kesalahan terjadi karena tidak ada dosis pemberian obat 89%, tidak ada

rute pemberian 21%, tidak ada bentuk sediaan 14%. Lalu, pada tahap

penyiapan (dispensing) kesalahan terjadi karena pemberian etiket yang

tidak lengkap 61% (Susanti, 2013).

Ada pun penelitian lain terkait standar pelayanan farmasi adalah

salah satunya rekonsiliasi obat. Penelitian yang dilakukan Eko Setiawan,

dkk, di Dinas Kesehatan Jawa Timur, pada tahun 2015 menunjukkan

bahwa kecenderungan petugas termasuk apoteker mau terlibat dalam

proses rekonsiliasi. Mereka pun menganggap penting proses rekonsiliasi

obat ini (Setiawan, et al. 2015).

Studi lain menunjukan kegiatan visite pada farmasi klinik berhasil

menurunkan angka kesalahan pengobatan. Kegiatan pendampingan

apoteker saat visite dokter efektif menurunkan 86% tingkat kesalahan

4
peresepan yang ditemukan (11,31%). Jumlah rekomendasi yang diberikan

oleh apoteker berpengaruh signifikan terhadap jumlah kesalahan peresepan

di ruang perawatan intensif (Turnodihardjo, Hakim, dan

Kartikawatiningsi, 2016).

Studi ini selaras dengan sebuah studi di Massachusetts General

Hospital, Boston, yang mengatakan partisipasi farmasis dalam kunjungan

ke bangsal perawatan ICU dapat mengurangi hingga 60% kejadian efek

samping obat yang disebabkan oleh kesalahan dalam perintah pengobatan

(Ikawati, 2010).

Seperti yang disebutkan dalam PMK 58 tahun 2014, kegiatan

farmasi klinik dilakukan untuk meningkatkan jaminan keselamatan pasien.

Berdasarkan Laporan Peta Nasional Insiden Keselamatan Pasien

(Konggres PERSI Sep 2007), kesalahan dalam pemberian obat menduduki

peringkat pertama (24.8%) dari 10 besar insiden yang dilaporkan. Jika

disimak lebih lanjut, dalam proses penggunaan obat yang meliputi

peresepan (prescibing), membaca resep (transcribing), penyiapan

(dispensing) dan administrasi (administration), penyiapan (dispensing)

menduduki peringkat pertama (Depkes, 2008).

Sedangkan berdasarkan Kepmenkes No.129 Tahun 2008 tetang

Standar Pelayanan Minimal (SPM) di Rumah Sakit salah satu indikator

SPM adalah tidak adanya kesalahan pemberian obat dengan standar yang

harus dicapai sebesar 100%. Kesalahan pemberian obat itu meliputi salah

5
dalam memberikan jenis obat, salah dosis, salah jumlah, hingga salah

orang atau pasien. Standar pelayanan farmasi lainnya pun diatur dalam

SPM, seperti kepuasan pelanggan dengan standar ≥ 80%, penulisan sesuai

formalium 100%, waktu tunggu pelayanan obat jadi ≤30%, dan waktu

tunggu pelayanan obat racikan ≤60%.

Penyebab terjadinya kesalahan obat (medication error) di

antaranya karena informasi mengenai pasien yang tidak jelas, misalnya

tidak ada riwayat alergi yang diinformasikan. Lalu, tidak mendapat

penjelasan mengenai obat seperti apa cara pakai, frekuensi pemakaian, dan

lain sebaginya. Kemudian komunikasi yang buruk dalam peresepa seperti

dalam membaca resep, menulis resep, dan resep tidak terbaca. Setelah itu,

salah menuliskan etiket/label pada obat serta suasana lingkungan kerja

yang tidak nyaman dan kondusif (Badriah, 2015).

Sedangkan studi lain terhadap beberapa penelitian dan litelatur

mengenai faktor penyebab kesalahan obat (medication error) di antaranya

lingkungan pekerjaan perawat yang kurang mendukung, tingkat jabatan

perawat, usia pasien yang sudah tua, rekonsiliasi obat pra-masuk rumah

sakit, kurangnya pengetahuan tentang obat-obatan (dosis, mendeteksi

interaksi obat), pengkajian yang kurang lengkap tentang riwayat alergi dan

kurangnya pemantauan klinis terhadap pasien (Muladi, 2012).

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin mengetahui

gambaran pelaksanaan standar pelayanan farmasi klinik di RS X. Standar

6
pelayanan farmasi klinik diterapkan dengan tujuan untuk meningkatkan

keselamatan pasien.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan studi litelatur yang dilakukan standar pelayan farmasi

klinik di rumah sakit menentukan kualitas pelayanan. Sehingga seharusnys

diterapkan dengan sebaik mungkin oleh rumah sakit demi menjaga

kualitas dan keselamatan pasien.

. Standar pelayanan farmasi di rumah sakit tentu harus mengacu

pada standar nasional seperti SPM dan PMK. Namun, pada kenyataannya

pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Indah dan Utami, 2016 dari 4

rumah sakit yang diteliti di Yogyakarta belum ada satu pun rumah sakit

yang mampu menerapkan seluruh kegiatan farmasi klinik sesuai PMK

No.58 Tahun 2014.

Di RS X sendiri penelitian dan evaluasi terkait pelayanan farmasi

klinik belum pernah dilakukan. Di samping itu, laporan kesalahan pengobatan

masih terjadi di RS X. Selain itu, menurut hasil wawancara belum sepenuhnya

kegiatan pelayanan farmasi klinik pada PMK No.58 Tahun 2014 dapat

dilakukan. Di antaranya yang belum dilakukan adalah konseling dan visite

bersama.

Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap pelayanan farmasi

klinik di RS X berdasarkan PMK nomor 58 tahun 2014 tentang standar

pelayanan farmasi di rumah sakit.

7
1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran SDM pada pelayanan farmasi klinik di

RS X

2. Bagaimana gambaran sarana dan prasarana pada pelayanan

farmasi klinik di RS X

3. Bagaimana gambaran kebijakan pada pelayanan farmasi klinik

di RS X

4. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan pelayanan resep pada

pelayanan farmasi kilinik di RS X?

5. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan rekonsiliasi obat

pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?

6. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan Pelayanan Informasi

Obat (PIO) pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?

7. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan konseling pada

pelayanan farmasi kilinik di RS X?

8. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan visite pada

pelayanan farmasi kilinik di RS X?

9. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan Pemantauan Terapi

Obat (PTO) pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?

10. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan Monitoring Efek

Samping Obat (MESO) pada pelayanan farmasi kilinik di RS

X?

8
11. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan Evaluasi Penggunaan

Obat (EPO) pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?

12. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan dispensing sediaan

steril pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?

13. Bagaimana gambaran pencapaian pelaksanaan pelayanan

farmasi klinik di RS X?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya gambaran pelaksanaan standar pelayanan farmasi

klinik di RS X sesuai dengan PMK No. 58 Tahun 2014.

1.4.2 Tujuan khusus

1. Diketahuinya gambaran SDM pada pelayanan farmasi klinik di

RS X

2. Diketahuinya gambaran sarana dan prasarana pada pelayanan

farmasi klinik di RS X

3. Diketahuinya gambaran kebijakan pada pelayanan farmasi

klinik di RS X

4. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan pelayanan resep

pada pelayanan farmasi klinik di RS X

5. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan rekonsiliasi obat

pada pelayanan farmasi klinik di RS X

9
6. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan Pelayanan

Informasi Obat (PIO) pada pelayanan farmasi klinik di RS X

7. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan konseling pada

pelayanan farmasi klinik di RS X

8. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan visite pada

pelayanan farmasi klinik di RS X

9. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan Pemantauan Terapi

Obat (PTO) pada pelayanan farmasi klinik di RS X

10. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan Monitoring Efek

Samping Obat (MESO) pada pelayanan farmasi klinik di RS X

11. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan Evaluasi

Penggunaan Obat (EPO) pada pelayanan farmasi klinik di RS X

12. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan dispensing sediaan

steril pada pelayanan farmasi klinik di RS X

13. Diketahuinya gambaran pencapaian pelaksanaan pelayanan

farmasi klinik di RS X

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Rumah Sakit

Dapat menjadi tambahan salah satu referensi bagi rumah sakit

untuk melakukan upaya peningkatan pelayanan farmasi klinik.

10
1.5.2 Bagi Peneliti

Dapat mengaplikasikan teori pelayanan pelaksanaan standar

farmasi klinis yang telah dipelajari ke kondisi sebenarnya.

1.5.3 Bagi Institusi

Hasil penelitian dapat dijadikan referensi yang dapat diteliti

lebih lanjut. Serta dapat dijadikan informasi dan dokumentasi

di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran

pelaksanaan standar pada pelayanan farmasi klinis di Rumah Sakit

X tahun 2017 yang akan diteliti oleh mahasiswa Kesehatan

Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

pada bulan Juli 2016-Januari 2017. Penelitian ini dilakukan untuk

di ketahuinya pelaksanaan standar pelayanan farmasi klinik di RS

X. Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu penelitian deskriptif

dengan menggunakan desain studi kasus dan metode pendekatan

sistem. Penelitian ini merupakan penelitian yang akan

mengeskplorasi permasalahan mengenai gambaran pelaksanaan

standar pada pelayanan farmasi di rumah sakit. Sumber data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan data primer

yang diperoleh dari wawancara, observasi, dan telaah dokumen.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelayanan Farmasi Klinik Rumah Sakit

Farmasi klinik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem

pelayanan kefarmasian di rumah sakit yang berorientasi pada pelayanan pasien.

Farmasi klinik bertujuan mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah

terkait obat. Tuntutan masyarakat terkait pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit

mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada

produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien

(patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)

(Prayitno, 2003).

Farmasi klinik merupakan perluasan peran profesi petugas farmasi yang

tidak hanya berorientasi kepada obat namun juga kepada pasien dan bertujuan

untuk meningkatkan kualitas terapi obat. Aktifitas farmasi klinik terpusat kepada

pasien, bekerjasama dan berkolaborasi antar profesi dengan dokter dan perawat

dalam tim pelayanan kesehatan (Hepler, 2004;Miller, 1981) dalam (Restriyani,

2016).

Berdasarkan PMK No.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Farmasi

Rumah Sakit, pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang

diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan

meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan

12
keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life)

terjamin. Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi:

1. Pengkajian dan Pelayanan Resep;

2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat;

3. Rekonsiliasi Obat;

4. Pelayanan Informasi Obat (PIO);

5. Konseling;

6. Visite;

7. Pemantauan Terapi Obat (PTO);

8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);

9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);

10. Dispensing Sediaan Steril; Dan

11. Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah (PKOD)

2.1.1 Pengkajian dan pelayanan Resep

Dalam PMK No. 58 tahun 2014, pelayanan resep dimulai dari penerimaan,

pemeriksaan ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan,

penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep

dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat (medication

error).

Kegiatan ini untuk menganalisa adanya masalah terkait obat, bila

ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis

13
resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan

administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien

rawat inap maupun rawat jalan.

Persyaratan administrasi meliputi:

a. nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan pasien;

b. nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter;

c. tanggal Resep; dan

d. ruangan/unit asal Resep.

Persyaratan farmasetik meliputi:

a. nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan;

b. dosis dan jumlah obat;

c. stabilitas yaitu derajat degradasi suatu obat dipandangdari segi

kimia. Stabilitas obat dapat diketahui dari ada tidaknyapenurunan

kadar selama penyimpanan; dan

d. aturan dan cara penggunaan.

Persyaratan klinis meliputi:

a. ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat;

b. duplikasi pengobatan;

c. alergi dan Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki (ROTD);

d. kontraindikasi; dan

e. interaksi obat.

14
Penulisan resep sendiri memiliki standar yang berbeda di setiap

negara. Namun, yang terpenting resep yang ditulis harus jelas. Beberapa

resep masih ditulis dalam bahasa latin dibeberapa negara, meski bahasa

lokal lebih banyak ditemukan. Setidaknya dalam resep memuat informasi

ini maka kemungkinan kecil terjadi kesalahan (WHO, 1994):

a. Nama dan alamat prescriber, dengan nomor telepon (jika mungkin)

Hal ini biasanya pra-dicetak pada formulir. Jika apoteker memiliki

pertanyaan tentang resep ia dapat dengan mudah menghubungi prescriber

tersebut.

b. Tanggal resep

Di banyak negara validitas resep tidak memiliki batas waktu, tetapi

di beberapa negara apoteker tidak memberikan obat resep lebih dari tiga

sampai enam bulan. Maka tanggal resep penting untuk mengetahui

vaiditas obat yang disediakan itu sendiri.

c. Nama dan kekuatan obat

R/ (tidak Rx) berasal dari Resep (Latin untuk 'mengambil'). Setelah

R/ harus ditulis nama obat dan kekuatan. Sangat dianjurkan untuk

menggunakan nama generik obat. Hal ini menandakan penulis resep tdak

cenderung pada salah satu merk obat yang bisa saja mahal bagi pasien.

Namun, jika ada alasan khusus untuk meresepkan merek khusus, nama

dagang dapat dituliskan dalam resep.

15
Kekuatan obat menunjukkan berapa miligram kandungan obat

dalam setiap tablet, supositoria, atau mililiter cairan. Singkatan yang

diterima secara internasional harus digunakan: g untuk gram, ml untuk

mililiter. Cobalah untuk menghindari desimal dan, jika perlu, menulis

kata-kata penuh untuk menghindari kesalahpahaman. Misalnya, menulis

Levotiroksin 50 mikrogram, bukan 0.050 miligram atau 50 ug. Dalam

resep untuk obat yang diawasi atau yang berpotensi disalahgunakan lebih

aman untuk menulis kekuatan dan jumlah total dalam kata-kata, untuk

mencegah terjadinya penyalahgunaan. Instruksi penggunaan harus jelas

dan dosis harian maksimum disebutkan. Gunakan tinta tak terhapuskan.

d. Bentuk sediaan dan jumlah total

Hanya menggunakan singkatan standar yang akan diketahui

apoteker.

e. Informasi untuk label paket

S singkatan Signa (Latin untuk 'menulis'). Semua informasi berikut

S atau kata 'Label' harus disalin oleh apoteker ke label paket. Termasuk

berapa banyak obat yang harus diambil, seberapa sering, dan setiap

instruksi dan peringatan tertentu. Semuanya harus diberikan dalam bahasa

awam. Jangan gunakan singkatan atau pernyataan seperti 'seperti

sebelumnya' atau 'seperti yang diarahkan'.

f. Inisial atau tanda tangan prescriber

g. Nama dan alamat pasien; usia (untuk anak-anak dan orang tua)

16
2.1.2 Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat

Dalam PMK No.58 Tahun 2014, penelusuran riwayat penggunaan obat

merupakan proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh obat/sediaan

farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat

diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan obat

pasien. Adapun tahapan penelusuran riwayat penggunaan obat sebagai berikut:

a. Membandingkan riwayat penggunaan obat dengan data rekam

medik/pencatatan penggunaan obat untuk mengetahui perbedaan

informasi penggunaan obat;

b. Melakukan verifikasi riwayat penggunaan obat yang diberikan oleh

tenaga kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika

diperlukan;

c. Mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang Tidak

Dikehendaki (ROTD);

d. Mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi obat;

e. Melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan

obat;

f. Melakukan penilaian rasionalitas obat yang diresepkan;

g. Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap obat yang

digunakan;

h. Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan obat;

i. Melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan obat;

17
j. Memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap obat dan alat bantu

kepatuhan minum obat (concordance aids);

k. Mendokumentasikan obat yang digunakan pasien sendiri tanpa

sepengetahuan dokter; dan

l. Mengidentifikasi terapi lain, misalnya suplemen dan pengobatan

Informasi yang harus didapatkan menurut PMK No.58 Tahun 2014 dalam

penelusuran riwayat penggunaan obat di antaranya adalah nama obat (termasuk

obat non resep), dosis, bentuk sediaan, frekuensi penggunaan, indikasi dan lama

penggunaan obat; reaksi obat yang tidak dikehendaki termasuk riwayat alergi; dan

kepatuhan terhadap regimen penggunaan obat (jumlah obat yang tersisa).

Riwayat penggunaan obat adalah hal yang penting dalam mencegah

kesalahan peresepan serta pengurangan risiko untuk pasien. Di samping itu,

riwayat penggunaan obat yang akurat juga berguna untuk mendeteksi hubungan

terapi obat atau perubahan tanda-tanda klinis yang mungkin akibat dari

penggunaan obat. Riwayat penggunaan obat uang baik harus mencakup semua

obat yang sedang dan telah diresepkan pada pasien, reaksi obat sebelumnya

termasuk kemungkinan reaksi hipersensitif, dan obat-obat yang tak menggunakan

resep, termasuk pengobatan herbal atau alternatif, serta kepatuhan terhadap terapi

(FitzGerald, 2009).

Bagian penting dari riwayat penggunaan obat sering tidak lengkap dan

tidak akurat. Penelitian menunjukan hal ini merupakan salah satu kebiasaan yang

terjadi di dunia. Apoteker bisa memainkan peran penting pada pencegahan

18
kesalahan ini dengan terlibat dalam memperoleh riwayat penggunaan obat setelah

adanya perpindahan pasien (FitzGerald, 2009).

Riwayat penggunaan obat yang hati-hati merupakan hal penting. Hal ini

dilakukan untuk menilai penyebab dari efek obat. Karena bisa berisi keterangan

alergi pasien sebelumnya (Ritter, et al, 2008).

2.1.3 Rekonsiliasi Obat

Rekonsiliasi obat merupakan suatu proses yang menjamin informasi

terkait penggunaan obat yang akurat dan komprehensif dikomunikasikan secara

konsisten setiap kali terjadi perpindahan pemberian layanan kesehatan seorang

pasien. Pengertian rekonsiliasi obat tersebut menyiratkan beberapa elemen

penting yang mendasari keberhasilan implementasi program tersebut, yaitu: 1)

proses rekonsiliasi obat merupakan proses formal; 2) proses rekonsiliasi obat

merupakan proses dengan pendekatan multisiplin; 3) penyedia layanan kesehatan

harus dapat bekerja sama dengan pasien dan keluarga pasien/penjaga pasien.

Proses perpindahan pemberian layanan kesehatan dapat terjadi pada setting

berikut: 1) saat pasien Masuk Rumah Sakit (MRS); 2) pasien mengalami

perpindahan antar bangsal atau unit layanan dalam suatu instansi rumah sakit

yang sama (misalnya dari bangsal rawat inap menuju intensive care unit); 3)

perpindahan dari suatu instansi rumah sakit menuju: rumah, layanan kesehatan

primer (antara lain: puskesmas, praktek pribadi dokter yang bekerja sama dengan

apotek, atau klinik), atau rumah sakit lain (Setiawan, et al, 2015).

19
Dalam PMK No.58 Tahun 2014 rekonsiliasi obat merupakan proses

membandingkan instruksi pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien.

Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication

error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat.

Kesalahan obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari

satu rumah sakit ke rumah sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien

yang keluar dari rumah sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya.

Tujuan dilakukannya rekonsiliasi obat adalah:

a. Memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan

pasien;

b. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya

instruksi dokter; dan

c. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi

dokter.

Sedangkan setelah itu diatur pula tahap proses rekonsiliasi obat yang

terdiri dari pengumpulan data, komparasi, melakukan konfirmasi kepada dokter

apabila terjadi kesalahan, dan komunikasi. Berikut penjelasan masing-masing

tahap:

a. Pengumpulan data

Mencatat data dan memverifikasi obat yang sedang dan akan

digunakan pasien, meliputi nama obat, dosis, frekuensi, rute, obat mulai

diberikan, diganti, dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta efek

20
samping obat yang pernah terjadi. khusus untuk data alergi dan efek samping

obat, dicatat tanggal kejadian, obat yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi

dan efek samping, efek yang terjadi, dan tingkat keparahan.

Data riwayat penggunaan obat didapatkan dari pasien, keluarga pasien,

daftar obat pasien, obat yang ada pada pasien, dan rekam medik/medication

chart. Data obat yang dapat digunakan tidak lebih dari 3 (tiga) bulan

sebelumnya. Semua obat yang digunakan oleh pasien baik Resep maupun obat

bebas termasuk herbal harus dilakukan proses rekonsiliasi.

b. Komparasi

Petugas kesehatan membandingkan data obat yang pernah, sedang dan

akan digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan adalah bilamana

ditemukan ketidakcocokan/perbedaan diantara data-data tersebut.

Ketidakcocokan dapat pula terjadi bila ada obat yang hilang, berbeda,

ditambahkan atau diganti tanpa ada penjelasan yang didokumentasikan pada

rekam medik pasien. Ketidakcocokan ini dapat bersifat disengaja (intentional)

oleh dokter pada saat penulisan Resep maupun tidak disengaja (unintentional)

dimana dokter tidak tahu adanya perbedaan pada saat menuliskan Resep.

c. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan

ketidaksesuaian dokumentasi.

Bila ada ketidaksesuaian, maka dokter harus dihubungi kurang dari 24

jam. Hal lain yang harus dilakukan oleh Apoteker adalah menentukan bahwa

adanya perbedaan tersebut disengaja atau tidak disengaja;

21
mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan, atau pengganti; dan

memberikan tanda tangan, tanggal, dan waktu dilakukannya rekonsilliasi

obat.

d. Komunikasi

Melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau keluarga pasien atau

perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker bertanggung

jawab terhadap informasi obat yang diberikan.

2.1.4 Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Rata-rata, 50% pasien tak menggunakan obat yang diresepkan dengan benar,

meminumnya tidak teratur, atau tidak sama sekali. Alasan yang paling umum

adalah karena gejala telah berhenti, efek samping yang terjadi, obat tidak

dianggap efektif, atau jadwal dosis rumit bagi pasien, terutama orang tua. Tidak

patuhnya pasien terhadap pengobatan mungkin tidak memiliki konsekuensi serius

bagi sebagian obat, namun pada sebagin lainnya, obat menjadi tidak efektif atau

beracun jika digunakan tidak teratur (WHO, 1994).

Kepatuhan pasien terhadap pengobatan dapat ditingkatkan dengan tiga cara

yaitu, pemilihan terapi obat yang baik. menciptakan hubungan dokter-pasien yang

baik, atau meluangkan waktu untuk memberikan informasi yang diperlukan,

seperti petunjuk dan peringatan. Terapi obat yang baik terdiri dari sedikitnya obat

yang diresepkan, dengan tindakan cepat, sedikit efek samping sesedikit mungkin,

dalam bentuk sediaan yang tepat, jadwal dosis sederhana (satu atau dua kali

sehari), dan durasi pengobatan sesingkat mungkin (WHO, 1994).

22
Pelayanan Informasi Obat (PIO) adalah salah satu untuk mengurangi

ketidapatuhan tersebut. Pasien membutuhkan informasi, petunjuk dan peringatan

agar mereka memiliki pengetahuan untuk menerima dan mengikuti pengobatan

serta mendapat keterampilan yang diperlukan untuk menggunkaa obat dengan

tepat. Dalam beberapa studi, kurang dari 60% pasien telah memahami bagaimana

menggunakan obat yang mereka terima. Informasi harus diberikan yang jelas,

menggunakan bahasa umum dan meminta pasien untuk mengulang kata-kata yang

diucapkan petugas oleh dirinya sendiri terkait beberapa informasi inti, untuk

memastikan bahwa infromasi terlah dipahami (WHO, 1994).

Dalam memberikan infromasi terkait obat apoteker harus memberikan

informasi obat untuk pasien yang akurat dan komprehensif . Infromasi terrapi obat

juga diinformasikan untuk profesional kesehatan, pasien, dan perawat pasien yang

sesuai. Tanggapan terhadap permintaan informasi obat umum dan pasien-spesifik

harus disediakan secara akurat dan tepat waktu oleh apoteker, dan harus ada

penilaian untuk memastikan kualitas tanggapan yang diberikan (ASHP, 2013).

Apoteker juga harus menginformasikan pada staf dan penyedia layanan

kesehatan rumah sakit tentang penggunaan obat secara berkelanjutan melalui

publikasi yang tepat, presentasi, dan program terterntu. Apoteker harus

memastikan penyebaran informasi produk obat secara tepat waktu (misalnya,

ingat pemberitahuan, perubahan pelabelan, dan perubahan ketersediaan produk).

Infromasi pun dapat diberikan dengan komunikasi elektronik (misalnya, situs

web, newsletter email, intranet posting), cara ini lebih efektif dan lebih mudah

diakses (ASHP, 2013).

23
Menurut PMK No. 58 Tahun 2014 PIO merupakan kegiatan penyediaan dan

pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias,

terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, apoteker,

perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar Rumah

Sakit. PIO bertujuan untuk:

a. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan

di lingkungan rumah sakit dan pihak lain di luar rumah sakit;

b. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan

dengan obat/sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai,

terutama bagi tim farmasi dan terapi;

c. Menunjang penggunaan obat yang rasional.

Kegiatan PIO berupa penyediaan dan pemberian informasi obat yang

bersifat aktif atau pasif. Pelayanan bersifat aktif apabila apoteker pelayanan

informasi obat memberikan informasi obat dengan tidak menunggu pertanyaan

melainkan secara aktif memberikan informasi obat, misalnya penerbitan buletin,

brosur, leaflet, seminar dan sebagainya. Pelayanan bersifat pasif apabila apoteker

pelayanan informasi obat mernberikan informasi obat sebagai jawaban atas

pertanyaan yang diterima (Dirjen Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan, 2006).

Sedangkan dalam PMK No.58 Tahun 2014 kegiatan tersebut, meliputi :

a. Menjawab pertanyaan;

b. Menerbitkan buletin, leaflet, poster, newsletter;

24
c. Menyediakan informasi bagi tim farmasi dan terapi sehubungan dengan

penyusunan formularium rumah sakit;

d. Bersama dengan tim Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)

melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap;

e. Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga

kesehatan lainnya; dan

f. Melakukan penelitian.

2.1.5 Konseling

Konseling berasal dari kata counsel yang artinya memberikan saran,

melakukan diskusi dan pertukaran pendapat. Konseling adalah suatu kegiatan

bertemu dan berdiskusinya seseorang yang membutuhkan (klien) dan

seseorang yang memberikan (konselor) dukungan dan dorongan sedemikian

rupa sehingga klien memperoleh keyakinan akan kemampuannya dalam

pemecahan masalah. Konseling pasien merupakan bagian tidak terpisahkan

dan elemen kunci dari pelayanan kefarmasian, karena Apoteker sekarang ini

tidak hanya melakukan kegiatan compounding dan dispensing saja, tetapi juga

harus berinteraksi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya dimana

dijelaskan dalam konsep Pharmaceutical Care. Dapat disimpulkan bahwa

pelayanan konseling pasien adalah suatu pelayanan farmasi yang mempunyai

tanggung jawab etikal serta medikasi legal untuk memberikan informasi dan

edukasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan obat (Dirjen Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2007).

25
Apoteker harus berpartisipasi dalam konseling pasien. Apoteker harus

membantu untuk memastikan bahwa semua pasien diberikan informasi yang

memadai tentang obat yang mereka terima untuk membantu pasien

berpartisipasi dalam keputusan perawatan kesehatan mereka sendiri dan

mendorong kepatuhan terhadap pengobatan. Kegiatan konseling pasien harus

dikoordinasikan dengan keperawatan, medis, dan staf klinis lainnya yang

diperlukan. Materi terkait obat yang dikembangkan oleh layanan lain dan

departemen serta sumber komersial harus ditinjau oleh staf farmasi (ASHP,

2013).

Konseling obat dalam PMK No.58 Tahun 2014 adalah suatu aktivitas

pemberian nasihat atau saran terkait terapi obat dari apoteker (konselor)

kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan

maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif

apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian

konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga

terhadap apoteker.

Pemberian konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil

terapi, meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan

meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan

penggunaan obat bagi pasien (patient safety).

Secara khusus konseling obat ditujukan untuk:

a. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dan pasien;

26
b. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien;

c. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obat;

d. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan

obat dengan penyakitnya;

e. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan;

f. Mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat;

g. Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam

hal terapi;

h. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan

i. Membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan obat sehingga

dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu

pengobatan pasien.

Dalam PMK No.58 Tahun 2014 pun diatur mengenai kriteria pasien

yang harus diberikan konseling, di antaranya adalah pasien kondisi khusus

(pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil dan menyusui), pasien

dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi, dan lain-

lain), pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus

(penggunaan kortiksteroid dengan tappering down/off), pasien yang

menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, phenytoin), pasien

yang menggunakan banyak obat (polifarmasi).

27
2.1.6 Visite

Visite dalam PMK No. 58 Tahun 2014 merupakan kegiatan kunjungan ke

pasien rawat inap yang dilakukan apoteker secara mandiri atau bersama tim

tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan

mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan ROTD, meningkatkan

terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien

serta profesional kesehatan lainnya.

Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar rumah sakit

baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program rumah sakit yang

biasa disebut dengan Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care).

Sebelum melakukan kegiatan visite apoteker harus mempersiapkan diri dengan

mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi obat

dari rekam medik atau sumber lain.

Kegiatan visite dapat dilakukan oleh apoteker secara mandiri atau

kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan situasi dan kondisi.

Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing (lihat tabel) yang

perlu diperhatikan dalam melakukan kegiatan visite dan menetapkan rekomendasi

(Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011).

Dalam pelaksanaan visite kolaborasi banyak kendala yang dialami

petugas. Beberapa studi menggambarkan sikap dokter terhadap peran farmasi

klinik khususnya pendampingan apoteker. Di Sudan, dokter menjadi tidak

nyaman dengan adanya apoteker yang merekomendasikan peresepan obat untuk

28
pasien meskipun jenis pengobatan tersebut untuk penyakit minor. Sedangkan, di

Jordan terdapat 63% dokter mengharapkan apoteker untuk mengajari pasien

mereka mengenai keamanan dan ketepatan penggunaan obat. Di samping itu,

sebagian dokter menyetujui bahwa apoteker selalu dapat diandalkan sebagai

sumber informasi obat (Abu-Garbieh, et al., 2010).

a. Visite Mandiri

Pada kegiatan visite mandiri, apoteker harus memperkenalkan diri kepada

pasien dan keluarganya agar timbul kepercayaan mereka terhadap profesi apoteker

sehingga mereka dapat bersikap terbuka dan kooperatif. Apoteker berkomunikasi

efektif secara aktif untuk menggali permasalahan pasien terkait penggunaan obat

(lihat informasi penggunaan obat di atas). Respon dapat berupa keluhan yang

disampaikan oleh pasien, misalnya: rasa nyeri menetap/bertambah, sulit buang air

besar; atau adanya keluhan baru, misalnya: gatal-gatal, mual, pusing. Apoteker

harus melakukan kajian untuk memastikan apakah keluhan tersebut terkait dengan

penggunaan obat yang telah diberitahukan sebelumnya, misalnya urin berwarna

merah karena penggunaan rifampisin; mual karena penggunaan siprofloksasin

atau metformin (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011).

Setelah bertemu dengan pasien berdasarkan informasi penggunaan yang

diperoleh, apoteker dapat (i) menetapkan status masalah (aktual atau potensial),

dan (ii) mengidentifikasi adanya masalah baru. Pada visite mandiri, rekomendasi

lebih ditujukan kepada pasien dengan tujuan untuk meningkatkan kepatuhan

penggunaan obat dalam hal aturan pakai, cara pakai, dan hal-hal yang harus

29
diperhatikan selama menggunakan obat. Rekomendasi kepada pasien yang

dilakukan oleh apoteker dapat berupa konseling, edukasi, dan pendampingan cara

penggunaan obat. (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011)

Setelah pelaksanaan visite mandiri, apoteker dapat menyampaikan

rekomendasi kepada perawat tentang jadwal dan cara pemberian obat, misalnya:

obat diberikan pada waktu yang telah ditentukan (interval waktu pemberian yang

sama), pemberian obat sebelum/sesudah makan, selang waktu pemberian obat

untuk mencegah terjadinya interaksi, kecepatan infus, jenis pelarut yang

digunakan, stabilitas dan ketercampuran obat suntik. Rekomendasi kepada

perawat yang dilakukan oleh apoteker dapat berupa konseling, edukasi, dan

pendampingan cara penyiapan obat. Rekomendasi yang diberikan harus

berdasarkan pada bukti terbaik, terpercaya dan terkini agar diperoleh hasil terapi

yang optimal. Rekomendasi kepada apoteker lain dapat dilakukan dalam proses

penyiapan obat, misalnya: kalkulasi dan penyesuaian dosis, pengaturan jalur dan

laju infus. Rekomendasi kepada dokter yang merawat yang dilakukan oleh

apoteker dapat berupa diskusi pembahasan masalah dan kesepakatan keputusan

terapi. Apoteker juga harus memantau pelaksanaan rekomendasi kepada pasien,

perawat, atau dokter. Jika rekomendasi belum dilaksanakan maka apoteker harus

menelusuri penyebab tidak dilaksanakannya rekomendasi dan mengupayakan

penyelesaian masalah. (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011).

30
b. Visite Kolaborasi

Pada kegiatan visite bersama dengan tenaga kesehatan lain, perkenalan

anggota tim kepada pasien dan keluarganya dilakukan oleh ketua tim visite. Pada

saat mengunjungi pasien, dokter yang merawat akan memaparkan perkembangan

kondisi klinis pasien berdasarkan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan

wawancara dengan pasien; hal ini dapat dimanfaatkan apoteker untuk

memperbarui data pasien yang telah diperoleh sebelumnya atau mengkaji ulang

permasalahan baru yang timbul karena perubahan terapi. Apoteker harus

berpartisipasi aktif dalam menggali latar belakang permasalahan terkait

penggunaan obat (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011)

Sebelum memberikan rekomendasi, apoteker berdiskusi dengan anggota

tim secara aktif untuk saling mengklarifikasi, mengkonfirmasi, dan melengkapi

informasi penggunaan obat, Pada visite tim, rekomendasi lebih ditujukan kepada

dokter yang merawat dengan tujuan untuk meningkatkan hasil terapi, khususnya

dalam pemilihan terapi obat, misalnya pemilihan jenis dan rejimen antibiotika

untuk terapi demam tifoid, waktu penggantian antibiotika injeksi menjadi

antibiotika oral, lama penggunaan antibiotika sesuai pedoman terapi yang berlaku.

Rekomendasi yang diberikan harus berdasarkan informasi dari pasien,

pengalaman klinis (kepakaran) dokter dan bukti terbaik yang dapat diperoleh.

Rekomendasi tersebut merupakan kesepakatan penggunaan obat yang terbaik agar

diperoleh hasil terapi yang optimal. Pemberian rekomendasi kepada dokter yang

merawat dikomunikasikan secara efektif, misalnya: saran tertentu yang bersifat

31
sensitif (dapat menimbulkan kesalahpahaman) diberikan secara pribadi (tidak di

depan pasien/perawat (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011).

Setelah rekomendasi disetujui dokter yang merawat untuk

diimplementasikan, apoteker harus memantau pelaksanaan rekomendasi

perubahan terapi pada rekam medik dan catatan pemberian obat. Jika rekomendasi

belum dilaksanakan maka apoteker harus menelusuri penyebabnya dan

mengupayakan penyelesaian masalah (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan,

2011).

2.1.7 Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Pemantauan Terapi Obat (PTO) dalam PMK No.58 Tahun 2014

merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat

yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan

efektivitas terapi dan meminimalkan risiko ROTD. Pasien yang mendapatkan

terapi obat mempunyai risiko mengalami masalah terkait obat. Kompleksitas

penyakit dan penggunaan obat, serta respons pasien yang sangat individual

meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal tersebut menyebabkan

perlunya dilakukan PTO dalam praktek profesi untuk mengoptimalkan efek terapi

dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.

Hasil meta-analisis yang dilakukan di Amerika Serikat pada pasien rawat

inap didapatkan hasil angka kejadian ROTD yang serius sebanyak 6,7% dan

ROTD yang fatal sebanyak 0,32%. Sementara penelitian yang dilakukan di rumah

sakit di Perancis menunjukkan : masalah terkait obat yang sering muncul antara

32
lain: pemberian obat yang kontraindikasi dengan kondisi pasien (21,3%), cara

pemberian yang tidak tepat (20,6%), pemberian dosis yang sub terapeutik

(19,2%), dan interaksi obat (12,6%).1 Data dari penelitian yang dilakukan di satu

rumah sakit di Indonesia menunjukkan 78,2% pasien geriatri selama menjalani

rawat inap mengalami masalah terkait obat. Beberapa masalah yang ditemukan

dalam praktek apoteker komunitas di Amerika Serikat, antara lain: efek samping

obat, interaksi obat, penggunaan obat yang tidak tepat.3 Sementara di Indonesia,

data yang dipublikasikan tentang praktek apoteker di komunitas masih terbatas

(Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009).

Keberadaan apoteker memiliki peran yang penting dalam mencegah

munculnya masalah terkait obat. Apoteker sebagai bagian dari tim pelayanan

kesehatan memiliki peran penting dalam PTO. Pengetahuan penunjangdalam

melakukan PTO adalah patofisiologi penyakit; farmakoterapi; serta interpretasi

hasil pemeriksaan fisik, laboratorium dan diagnostik. Selain itu, diperlukan

keterampilan berkomunikasi, kemampuan membina hubungan interpersonal, dan

menganalisis masalah. Proses PTO merupakan proses yang komprehensif mulai

dari seleksi pasien, pengumpulan data pasien, identifikasi masalah terkait obat,

rekomendasi terapi, rencana pemantauan sampai dengan tindak lanjut. Proses

tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan sampai tujuan terapi tercapai

(Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009).

Kegiatan dalam PTO menurut PMK No.58 Tahun 2014 meliputi:

33
a. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi,

Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);

b. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat; dan

c. Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat.

2.1.8 Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan

setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim

yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek

Samping obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja

farmakologi.

Monitoring efek samping obat yang benar adalah dicatat pada lembar

MESO yang kemudian akan ditandatangani oleh dokter, kemudian akan

dikirimkan secara ke pusat MESO Indonesia, yaitu Badan Pengawas Obat dan

Makanan (BPOM) di Jakarta (Purwantiastuti, 2015).

Pengawalan dan pemantauan aspek keamanan obat pascapemasaran

dilakukan untuk mengetahui efektifitas (efectiveness) dan keamanan penggunaan

obat pada kondisi kehidupan nyata atau praktik klinik yang sebenarnya. Banyak

bukti menunjukkan bahwa sebenarnya Efek Samping Obat (ESO) dapat dicegah,

dengan pengetahuan yang bertambah, yang diperoleh dari kegiatan pemantauan

aspek keamanan obat pasca pemasaran (atau yang sekarang lebih dikenal dengan

istilah Farmakovigilans. Sehingga, kegiatan ini menjadi salah satu komponen

34
penting dalam sistem regulasi obat, praktik klinik dan kesehatan masyarakat

secara umum.

2.1.9 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)

Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) dalam PMK No. 58 Tahun 2014 merupakan

program evaluasi penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara

kualitatif dan kuantitatif.

Tujuan EPO yaitu:

j. Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat;

k. Membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu;

l. Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan obat; dan

h. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat.

2.1.10 Dispensing Sediaan Steril

Pencampuran sediaan steril harus dilakukan secara terpusat di instalasi

farmasi rumah sakit untuk menghindari infeksi nosokomial dan terjadinya

kesalahan pemberian obat. Pencampuran sediaan steril merupakan rangkaian

perubahan bentuk obat dari kondisi semula menjadi produk baru dengan proses

pelarutan atau penambahan bahan lain yang dilakukan secara aseptis oleh

apoteker di sarana pelayanan kesehatan (ASHP, 1985) dalam (Dirjen Bina

Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009).

Aseptis berarti bebas mikroorganisme. Teknik aseptis didefinisikan

sebagai prosedur kerja yang meminimalisir kontaminan mikroorganisme dan

35
dapat mengurangi risiko paparan terhadap petugas. Kontaminan kemungkinan

terbawa ke dalam daerah aseptis dari alat kesehatan, sediaan obat, atau petugas

jadi penting untuk mengontrol faktor-faktor ini selama proses pengerjaan produk

aseptis.. Pencampuran sediaan steril harus memperhatikan perlindungan produk

dari kontaminasi mikroorganisme; sedangkan untuk penanganan sediaan

sitostatika selain kontaminasi juga memperhatikan perlindungan terhadap petugas,

produk dan lingkungan (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009).

Sedangkan menurut PMK No. 58 Tahun 2014 dispensing sediaan steril

harus dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan teknik aseptik untuk

menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat

berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.

Dispensing sediaan steril dalam PMK No.58 Tahun 2014 bertujuan:

a. Menjamin agar pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang

dibutuhkan;

b. Menjamin sterilitas dan stabilitas produk;

c. Melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan

d. Menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.

2.1.11 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)

Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil

pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena

indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter. Kegiatan

PKOD meliputi:

36
a. Melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan PKOD

b. Mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan PKOD

c. Menganalisis hasil pemeriksaan kadar

2.2 Medication Error

Kesalahan obat (medication error) adalah setiap kejadian yang

sebenarnya dapat dicegah yang dapat menyebabkan atau membawa kepada

penggunaan obat yang tidak layak atau membahayakan pasien, ketika obat

dalam kontrol petugas kesehatan, pasien, atau konsumen (NCCMERP)

(Cahyono, 2008).

Kejadian kesalahan obat (medication error) merupakan salah satu

ukuran pencapaian keselamatan pasien. Medicaton error dapat terjadi pada

tahap peresepan (precribing), penyiapan (dispensing), dan pemberian obat

(drug administrastion) . Kesalahan pada salah satu tahap dapat

menimbulkan kesalahan pada tahap selanjutnya. Kejadian kesalahan obat

(medication error) terkait dengan praktisi, produk obat, prosedur,

lingkungan atau sistem yang melibatkan peresepan (prescibing) ,

penyiapan (dispensing), dan administrasi (administration) (Tajuddin, et

al. 2012)

Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan

No.1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di

apotek, kesalahan obat (medication error) adalah kejadiaan yang

merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga

37
kesehatan yang sebenarnya dapat dicegah. Kesalahan pengobatan biasa

terjadi di rumah sakit dan kesalahan dapat terjadi pada setiap tahap dari

peresepan (dokter) melalui dispensing (apoteker atau staf dispensing)

untuk administrasi (keperawatan atau pasien sendiri) (Depkes, 2006).

Leape, et. Al (1995) mengidentifikasi penyebab kesalahan antara

lain 1) Kurangnya diseminasi pengetahuan, terutama para dokter yang

merupakan 22 % penyebab kesalahan, 2) Tidak cukupnya informasi, 14%

dari kesalahan mengenai pasien seperti halnya data uji laboratorium, 3)

Sebanyak 10% kesalahan dosis yang kemungkinan disebabkan oleh tidak

diikutinya SOP pengobatan, 4) 9% Lupa, 5) 9% kesalahan dalam

membaca resep seperti tulisan tidak terbaca, interprestasi perintah dalam

resep, dan singkatan dalam resep, 6) Salah mengerti perintah lisan, 7)

Pelabelan dan kemasan, 8) Stok dan penyimpanan obat yang tidak baik,

9) Masalah dengan standard an distribusi, 10) Assesment alat penyampai

obat yang tidak baik saat membeli dan penggunaan, 11) Stress di

lingkungan kerja, dan 12) Ketidaktahuan pasien.

Ada pun menurut Kepmenkes tahun 2004 tentang standa

pelayanan kefarmasian di apotek faktor-faktor lain yang berkontribusi

pada kesalahan obat (medication error) antara lain:

1. Komunikasi atau kegagalan berkomunikasi

Hal ini merupakan suber utama terjadinya kesalahan. Institusi pelayanan

kesehatan harus menghilangkan hambatan komunikai antar petugas

38
kesehatan dan membuat SOP bagiaman resep/penerimaan obat dan

informasi obat lainnya dikomunikasikan. Komunikasi baik antar apoteker

maupun dengan petugas kesehatan lainnya perlu dilakukan dengan jelas

untuk menghindari penafsiran ganda atau ketidaklengkapan informasi

dengan berbicara perlahan dan jelas. Perlu dibuat daftarsingkatan dan

penulisan dosis yang berisiko menimbulkan kesalahan untuk diwaspadai.

2. Kondisi lingkungan

Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan kondisi

linngkungan, area disepensing harus didesain dengan tepat dan sesuai

dengan alur kerja, untuk menurunkan kelelahan dengan pencahayaan

yang cukup dan temperatur yang nyaman. Selain itu, area kerja harus

bersih dan teratur untuk mencegah terjadinya keslaahan. Obat untuk

setiap pasien perlu disiapkan dalam nampan terpisah.

3. Gangguan/interupsi saat bekerja

Gangguan/interupsi harus seminimum mungkin dengan mengurangi

interupsi baik langsung maupun melalui telepon.

4. Beban kerja

Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup penting untuk

mengurangi stres dan beban kerja berlebihan sehingga dapat menurunkan

kesalahan.

5. Edukasi staf

39
Meskipun edukasi staf merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam

menurunkan insiden/kesalahan,tetapi mereka dapat memainkan peran

penting ketika dilibatka dalam sistem menurunkan insiden/kesalahan.

Sedangkan menurut American Hospital Association, kesalahan

obat (medication error) antara lain dapat terjadi pada situasi berikut:

1. Informasi pasien yang tidak lengkap, misalnya tidak ada informasi

tentang riwayat alergi dan penggunaan obat sebelumnya.

2. Tidak diberikan informasi obat yang layak, misalnya cara minum atau

menggunakan obat, frekuensi dan lama pemberian hingga peringatan jika

timbul efek samping.

3. Kesalahan komunikasi dalam peresepan, misalnya interpretasi apoteker

yang keliru dalam membaca resep dokter, kesalahan membaca nama obat

yang relatif mirip dengan obat lainnya, kesalahan membaca desimal,

pembacaan unit dosis hingga singkatan peresepan yang tidak jelas.

4. Pelabelan kemasan obat yang tidak jelas sehingga berisiko dibaca keliru

oleh pasien.

5. Faktor-faktor lingkungan, seperti ruang apotek/ruang obat yang tidak

terang, hingga suasana tempat kerja yang tidak nyaman yang dapat

mengakibatkan timbulnya medication error.

40
2.3 Pencegahan Medication Error

Dalam Pedoman Tanggung Jawab Apoteker terhadap Keselamatan Pasien,

maka upaya pencegahan kesalahan obat (medication error) adalah sebagai berikut

(Depkes, 2008):

1. Mendorong fungsi dan pembatasan (forcing function& constraints): suatu

upaya mendesain sistem yang mendorong seseorang melakukan hal yang

baik, contoh : sediaan potasium klorida siap pakai dalam konsentrasi 10%

Nacl 0.9%, karena sediaandi pasar dalam konsentrasi 20% (>10%) yang

mengakibatkan fatal (henti jantung dan nekrosis pada tempat injeksi)

2. Otomasi dan komputer (Computerized Prescribing Order Entry):

membuat statis/robotisasi pekerjaan berulang yang sudah pasti dengan

dukungan teknologi, contoh : komputerisasi proses penulisan resep oleh

dokter diikuti dengan ‖/tanda peringatan‖ jika di luar standar (ada penanda

otomatis ketika digoxin ditulis 0.5g)

3. Standard dan protokol, standarisasi prosedur: menetapkan standar

berdasarkan bukti ilmiah dan standarisasi prosedur (menetapkan standar

pelaporan insiden dengan prosedur baku). Kontribusi apoteker dalam

Panitia Farmasi dan Terapi serta pemenuhan sertifikasi/akreditasi

pelayanan memegang peranan penting.

4. Sistem daftar tilik dan cek ulang: alat kontrol berupa daftar tilik dan

penetapan cek ulang setiap langkah kritis dalam pelayanan. Untuk

mendukung efektifitas sistem ini diperlukan pemetaan analisis titik kritis

dalam sistem.

41
5. Peraturan dan Kebijakan : untuk mendukung keamanan proses manajemen

obat pasien. contoh : semua resep rawat inap harus melalui supervisi

apoteker

6. Pendidikan dan Informasi: penyediaan informasi setiap saat tentang obat,

pengobatan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan tentang prosedur untuk

meningkatkan kompetensi dan mendukung kesulitan pengambilan

7. keputusan saat memerlukan informasi

8. Lebih hati-hati dan waspada:membangun lingkungan kondusif untuk

mencegah kesalahan, contoh : baca sekali lagi nama pasien sebelum

menyerahkan.

2.4 Kerangka Teori

Berdasarkan seluruh teori yang telah dipaparkan maka dapat disusun

kerangka teori yang menjelaskan mengenai sistem keselamatan pasien pada

pelayanan farmasi klinik di rumah sakit. Pada penelitian ini unsur sistem yang

digunakan tiga yaitu input, proses dan output.

Input, proses, dan output yang dalam pelayanan farmasi klinik di sini

sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit yang mengacu pada PMK No.58

Tahun 2014 tentang standar pelayanan farmasi rumah sakit. Input terdiri dari

SDM, sarana dan prasarana, serta kebijakan. Proses terdiri dari pengkajian dan

pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat,

pelayanan informasi obat, konseling, visite,pemantauan terapi obat, monitoring

efek samping obat, evaluasi penggunaan obat, dispensing sediaan steril, dan

42
pemantauan kadar obat dalam darah. Sedangkan ouput adalah terlaksananya

pelayanan farmasi klinik sesuai dengan PMK No.58 Tahun 2014. Maka skema

kerangka teorinya adalah sebagai berikut:

Bagan 2.1 Kerangka Teori

INPUT: PROSES OUTPUT :


1. SDM Standar
2. Sarana dan Prasarana Pelayanan farmasi klinik di pencapaian
pelayanan farmasi
3. Kebijakan/SOP rumah sakit
klinik sesuai
1. Pengkajian dan dengan PMK 58
Pelayanan resep tahun 2014:
2. Penelusuran riwayat 1. Jumlah
penggunaan obat pelayanan
3. Rekonsiliasi obat dilaksanakan
4. Pelayanan informasi obat 100%
5. Konseling 2. Tidak adanya
6. visite kejadian
7. Pemantauan terapi obat kesalahan
8. Monitoring efek samping pemberian
obat obat 100%
9. Evaluasi penggunaan
obat
10. Dispensing sediaan steril
11. Pemantauan kadar obat
dalam darah

Sumber: (PMK No. 58 Tahun 2014, Kepmenkes 129 Tahun 2008)

43
BAB III

KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH

3.1 Kerangka Pikir

Berdasarkan kerangka teori sebelumnya maka kerangka konsep yang

digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bagan 3.1 Kerangka Pikir

INPUT: PROSES OUTPUT :


1. SDM Pelayanan pelayanan farmasi Standar
2. Sarana dan Prasarana pencapaian
klinik di rumah sakit
pelayanan
3. Kebijakan/SOP 1. Pengkajian dan Pelayanan farmasi klinik
resep sesuai dengan
PMK 58 tahun
2. Rekonsiliasi obat
2014:
3. Pelayanan informasi obat
1. Jumlah
4. Konseling pelayanan
5. visite farmasi
klinik yang
6. Pemantauan terapi obat
dilaksanakan
7. Monitoring efek samping 2. Jumlah
obat kejadian
kesalahan
8. Evaluasi penggunaan obat pemberian
9. Dispensing sediaan steril obat 100%

Pada penelitian ini digunakan pendekatan sistem melalui input,

proses, dan output untuk mengetahui gambaran secara utuh pelaksanaan

pelayanannya. Pada penelitian ini unsur sistem yang paling

44
menggambarkan fokus penelitian yaitu pada proses. Proses yang dalam

pelayanan farmasi klinik di RS X mengadopsi PMK No.58 Tahun 2014

tentang standar pelayanan farmasi rumah sakit. Proses tersebut terdiri dari

pengkajian dan pelayanan resep, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi

obat, konseling, visite,pemantauan terapi obat, monitoring efek samping

obat, evaluasi penggunaan obat, dan dispensing sediaan steril. Untuk

variabel penelusuran penggunaan obat tidak diteliti karena harus

melibatkan proses yang panjang dengan mengkaji rekam medis pasien

yang rahasia dan tidak bisa diteliti sembarang orang, serta pemantauan

kadar obat dalam darah pun tidak diteliti karena harus melibatkan proses

pemeriksaan darah yang panjang serta bantuan dan izin dari tenaga medis.

45
3.2 Definisi Istilah

Tabel 3.1 Definisi Istilah

Infroman
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Utama Pendukung
1. Informasi mengenai
jumlah tenaga kefarmasian
di RS X
Apoteker dan tenaga Pedoman 2. Informasi mengenai latar
Wawancara Petugas bagian
kefarmasian yang wawancara, Kepala belakang petugas
SDM mendalam pengelola
memiliki kemampuan pedoman bagian pelayanan farmasi di RS X
dan tealaah sumber daya
dan pengetahuan tentang telaah farmasi 3. Informasi mengenai
dokumen bagian farmasi
pelayanan farmasi dokumen standar dan kebijakan
sebagai aopteker atau
petugas kefarmasian
lainnya di RS X

46
Infroman
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Utama Pendukung
1. Informasi mengenai sarana
dan prasarana standar
Fasilitas dan ruang yang kefarmasian di RS X
memadai dalam hal 2. Infrormasi mengenai
Pedoman
kualitas dan kuantitas perawatan sarana dan
wawancara,
yang dapat menunjang Wawancara Petugas prasarana kefarmasian di RS
Sarana dan ceklis
fungsi dan proses mendalam, Kepala pengelola X
Prasarana observasi,
pelayanan kefarmasian, observasi, bagian sarana dan 3. Informasi mengenai
dan
menjamin lingkungan dan telaah farmasi prasarana kelengkapan sarana dan
pedoman
kerja yang aman untuk dokumen farmasi prasarana kefarmasian di RS
telaah
petugas, dan X
dokumen
memudahkan sistem 4. Informasi mengenai
komunikasi rumah sakit kesesuaian penggunaan
sarana dan prasarana
kefarmasian di RS X

47
Infroman
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Utama Pendukung
1. Informasi mengenai
peraturan atau kebijakan
standar kefarmasian yag
digunakan rumah sakit di RS
Pedoman X
Kebijaka atau aturan
Wawancara wawancara, 2. Informasi mengenai
yang digunakan rumah Kepala
mendalam, dan Petugas teknis pelaksanaan kebijakan atau
Kebijakan/SOP sakit untuk menjalankan bagian
dan telaah pedoman farmasi peraturan yang telah dibuat
kegiatan pelayanan farmasi
dokumen telaah di RS X
farmasi klinik
dokumen 3. Informasi mengenai
kesesuaian kebiajakan atau
peraturan rumah sakit
dengan perundang undangan
di RS X
Pelayanan resep dimulai Wawancara Pedoman 1. Petugas 1. Informasi mengenai
Pengkajian dan
dari penerimaan, mendalam, wawancara, Kepala farmasi kelengkapan administrasi
Pelayanan
pemeriksaan observasi, observasi, bagian penerima resep di RS X
resep
ketersediaan, pengkajian dan telaah dan farmasi resep 2. Informasi mengenai
resep, penyiapan sediaan dokumen pedoman 2. Petugas persyaratan farmasetik

48
Infroman
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Utama Pendukung
farmasi, alat kesehatan telaah peracik resep di RS X
dan bahan medis habis dokumen obat 3. Informasi mengenai
pakai termasuk persyaratan klinis resep di
peracikan obat, RS X
pemeriksaan,
penyerahan disertai
pemberian informasi
Proses membandingkan
1. Informasi mengenai
instruksi pengobatan
keakuratan obat yang
dengan obat yang telah
digunakan pasien di RS X
didapat pasien.
Pedoman 1. Apoteker 2. Informasi mengenai
Pencegahan terjadinya Wawancara
Rekonsiliasi wawancara, Kepala petugas ketidasesuaian obat akibat
kesalahan obat mendalam
obat dan bagian distribusi tak terdokumentasinya
(medication error) yaitu dan
pedoman farmasi obat instruksi dokter di RS X
obat tidak diberikan, observasi
observasi 3. Informasi mengenai
duplikasi, kesalahan
ketidasesuaian pemberian
dosis atau interaksi obat,
obat akibat tak terbacanya
terutama pada
instruksi dokter di RS X
pemindahan pasien

49
Infroman
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Utama Pendukung
antarrumah sakit, antar
ruang perawatan, serta
pada pasien yang keluar
dari rumah sakit ke
layanan kesehatan
primer dan sebaliknya.
1. Informasi mengenai
kegiatan penyediaan dan
sediaan informasi tentang
pemberian informasi,
obat kepada pasien dan
rekomendasi obat yang
tenaga kesehatan di
independen, akurat,
Pedoman Apoteker lingkungan RS dan pihak
tidak bias, terkini dan Wawancara
Pelayanan wawancara Kepala yang lain luar RS di RS X
komprehensif yang mendalam
informasi obat dan bagian bertugas 2. Infromasi mengenai
dilakukan oleh apoteker dan
pedoman farmasi memberikan sediaan informasi untuk
kepada dokter, apoteker, observasi
observasi PIO membuat kebijakan yang
perawat, profesi
berhubungan dengan
kesehatan lainnya serta
obat di RS X
pasien dan pihak lain di
3. Informasi mengenai
luar rumah sakit
penggunaan obat yag

50
Infroman
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Utama Pendukung
rasional di RS X

1. Informasi mengenai jenis


konseling yang
dilakukan RS di RS X
Aktivitas pemberian
Pedoman 2. Informasi mengenai
nasihat atau saran terkait Wawancara Kepala Apoteker yang
wawancara komunikasi antar
Konseling terapi obat dari mendalam bagian bertugas
dan apoteker dan pasien di
Apoteker (konselor) dan farmasi sebagai
pedoman RS X
kepada pasien dan/atau observasi konselor
observasi 3. Informasi mengenai
keluarganya.
teknik konseling
apoteker dengan pasien
di RS X

51
Infroman
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Utama Pendukung
Kegiatan kunjungan ke 1. Informasi mengenai
pasien rawat inap yang jenis visite yang ada di
dilakukan apoteker RS di RS X
secara mandiri atau 2. Informasi mengenai
bersama tim tenaga jadwal visite apoteker di
kesehatan untuk RS X
1. Kepala
mengamati kondisi 3. Informasi mengenai cara
bagian Apoteker
klinis pasien secara Pedoman dan teknik visite yang
Wawancara farmasi yang
langsung, dan mengkaji wawancara meliputi kegiatan
Visite mendalam 2. Kepala bertugas
masalah terkait obat, dan mengamati kondisi
dan seksi sebagai
memantau terapi obat pedoman klinis pasien, mengkaji
observasi pelayana visitor
dan reaksi obat yang observasi masalah terkait obat,
n
tidak dikehendaki, memantau terapi obat
farmasi
meningkatkan terapi dan reaksi obat yang
obat yang rasional, dan tidak dikehendaki,
menyajikan informasi meningkatkan terapi
obat kepada dokter, obat yang rasional, dan
pasien serta profesional menyajikan informasi
kesehatan lainnya. obat kepada dokter,

52
Infroman
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Utama Pendukung
pasien serta profesional
kesehatan lainnya. di RS
X

1. Informasi mengenai
pengkajian pemilihan
Obat, dosis, cara
pemberian Obat,
Pedoman 1. Kepala respons terapi, Reaksi
Proses yang mencakup Wawancara wawancara, bagian Obat yang Tidak
Pemantauan kegiatan untuk mendalam, observasi, farmasi Apoteker yang Dikehendaki (ROTD);
terapi obat memastikan terapi obat observasi, dan 2. Kepala bertugas di RS X
yang aman, efektif dan dan telaah pedoman seksi sebagai PTO 2. Informasi mengenai
rasional bagi pasien. dokumen telaah pelayana pemberian rekomendasi
dokumen n farmasi penyelesaian masalah
terkait obat di RS X
3. Informasi mengenai
pemantauan efektivitas
dan efek samping terapi

53
Infroman
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Utama Pendukung
obat di RS X

1. Informasi mengenai efek


samping obat yang
ditemukan sedini
mungkin terutama untuk
Kegiatan pemantauan 1. Kepala
yang berat, tak dikenal
setiap respon terhadap Pedoman bagian
dan jarang terjadi v
Monitoring obat yang tidak Wawancara wawancara, farmasi
2. Informasi mengenai
efek samping dikehendaki, yang mendalam, observasi, 2. Kepala Apoteker yang
frekuensi dan insidensi
obat terjadi pada dosis lazim observasi, dan seksi bertugas
efek samping obat yang
yang digunakan pada dan telaah pedoman pelayana sebagai MESO
sudah dikenal dan baru
manusia untuk tujuan dokumen telaah n
saja ditemukan di RS X
profilaksis, diagnosa dan dokumen farmasi
3. Informasi mengenai
terapi.
faktor yang mungkin
dapat
menimbulkan/mempenga
ruhi angka kejadian dan

54
Infroman
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Utama Pendukung
hebatnya efek samping
obat di RS X
4. Informasi mengenai
usaha untuk
meminimalkan risiko
kejadian reaksi obat yang
tak dikehendaki di RS X
5. Informasi mengenai
pencegahan terulangnya
kejadian reaksi obat yang
tak dikehendaki di RS X
1. Informasi mengenai
Program evaluasi Pedoman gambaran saat ini atas
Evaluasi penggunaan Obat yang Wawancara wawancara, pola penggunaan obat di
Kepala Kepala sesksi
penggunaan terstruktur dan mendalam, dan RS X
bagian pelayanan
obat berkesinambungan dan telaah pedoman 2. Informasi mengenai pola
farmasi farmasi
secara kualitatif dan dokumen telaah penggunaan obat pada
kuantitatif. dokumen periode waktu tertentu di
RS X

55
Infroman
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Utama Pendukung
3. Informasi mengenai
masukan atau saran yang
sudah terjad untuk
perbaikan penggunaan
obat di RS X
4. Informasi mengenai
penilaian pengaruh
intervensi atas pola
penggunaan obat di RS
X
1. Informasi mengenai
Kegiatan menjamin
jaminan pasien menerima
sterilitas dan stabilitas
obat sesuai dosis yang
produk dan melindungi Wawancara Pedoman
Kepala Apoteker dibutuhkan di RS X
Dispensing petugas dari paparan zat mendalam, wawancara,
urusan petugas 2. Informasi mengenai
sediaan steril berbahaya serta dan dan
sterilisasi dispensing jaminan sterilitas dan
menghindari terjadinya observasi observasi
stabilitas produk di RS X
kesalahan pemberian
3. Informasi mengenai
obat
perlndungan petugas dari

56
Infroman
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Utama Pendukung
paparan zat berbahaya di
RS X
4. Informasi mengenai
pencegahan terjadinya
kesalahan pemberian
obat di RS X
1. Informasi mengenai
jumlah kegiatan farmasi
klinik dilaksanakan di
RS X
Kegiatan yang 2. Informasi mengenai
Pencapaian Kepala Staf
pelayanan farmasi klinik Pedoman jumlah kegiatan farmasi
pelayanan Wawancara bagian keselamatan
yang telah dilaksanakan wawancara klinik yang belum
farmasi klinik farmasi pasien
di rumah sakit dilaksanakan di RS X
3. Informasi mengenai ada
tidaknya kesalahan
pengobatan yang terjadi
di RS X

57
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatitf dan

kuantitatif. Pendekatan ini dipilih karena sesuai dengan pengertiannya yaitu secara

khusus berfungsi untuk menggali dan memahami makna yang berasal dari

individu dan kelompok terkait masalah sosial ataupun individu.

Model analisis penyebab masalah yang digunakan adalah pendekatan

sistem karena pada penelitian ini akan dieksplorasi permasalahan mengenai

gambaran kegiatan pelayanan farmasi klinik di RS X . Penelitian ini dibatasi oleh

waktu dan tempat serta individu yang diteliti. Yaitu akan diteliti pada Juni 2016-

Januari 2017 di Rumah Sakit X.

4.1.1 Substansi Kualitatif

Pada penelitian ini substansi yang diteliti secara kualitatif adalah

pada input (SDM, srana dan prasarana, dan kebijakan), proses pelayanan

farmasi klinik seperti pengkajian dan pelayanan resep, rekonsiliasi obat,

Pelayanan Informasi Obat (PIO), visite, konseling, Evaluasi Penggunaan

Obat (EPO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO), dan dispensing

sediaan streril diteliti serta laporan kejadian kesalahan pengobatan

58
4.1.2 Variabel Kuantitatif

Pada penelitian ini variabel kelengkapan resep diteliti secara

kuantitatif, Dilakukan untuk mengetahuin presentase jumlah kelengkapan

persyaratan resep sesuai PMK No. 58 Tahun 2014

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada Juli 2016- Januari 2017 di Rumah Sakit

X.

4.3 Informan Penelitian

Informan pada penelitian ada sebanyak 7 orang ini terdiri dari kepala bagian

farmasi, kepala urusan rawat inap, koordinator rawat jalan, apoteker, asisten

apoteker, dan staf khusus patient safety. Metode pemilihan informan yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik purposive sampling.

Purposive sampling merupakan teknik pemilihan sampel yang ditentukan oleh

peneliti berdasarkan pengetahuan yang dimiliki terkait judul penelitian atau

berdasarkan situasi masalah yang sedang difokuskan untuk diteliti (Lapau, 2013).

Oleh karena itu, informan yang telah disebukan sebelumnya diharapkan

memenuhi karakteristik sebagai berikut :

1. Apoteker yang terlibat dalam proses pelayanan farmasi klinik di RS X

2. Asisten apoteker yang terlibat dalam proses farmasi klinik di RS X

59
Tabel 4.1
Informan Penelitian

Pendidikan Lama
Usia Jabatan
Terakhir Bekerja
33 tahun S1 Profesi 9 tahun Manajer Farmasi
27 tahun S1 Profesi 4 tahun Kepala Urusan Rawat
Inap
27 tahun SMK 8 tahun Asisten Apoteker
26 tahun S1 Profesi 2,5 tahun Apoteker
34 tahun D3 11 tahun Koordinator Outlet
Rawat Jalan
23 tahun D3 3 tahun Asisten Apoteker
49 tahun S1 Profesi 15 tahun Staf Khusus Patient
Safety

4.4 Populasi dan Sampel

Sebelum melakukan penelitian terhadap resep, peneliti melakukan

observasi selama 1 hari terkait pengkajian dan pelayanan resep, pada 10

Januari 2017. Dari hasil observasi tersebut didapatkan sejumlah resep per

hari di RS X adalah 884 resep. Selanjutnya penentuan penelitian

kuantitatif dilakukan dengan menggunakan rumus jumlah sampel untuk

estimasi rata-rata pada samppel acak (Lapau, 2013). Rumus yang

digunakan adalah perhitungan simple random sampling:

60
N (Populasi) = 884

P (Proporsi) = 0,5

d (Absolute precision) = 0,05

€ ( Relative presicision) = 0,1

Maka di dapatkan hasil perhitungan sampel sebanyak 268

ditambah sampel cadangan 10% menjadi 295 sampel resep.

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian kualitatif yang digunakan pada penelitian ini yaitu

pedoman wawancara sebagai acuan dalam melakukan wawancara mendalam.

Instrumen penelitian lainnya yang juga digunakan dalam pengumpulan data yaitu

ceklis observasi dan pedoman telaah dokumen. Peneliti juga menggunakan alat

bantu dalam mengumpulkan data seperti perekam suara dan alat tulis. Sedangkan,

standar yang digunakan sebagai acuan pembuatan instrumen ini berdasarkan PMK

No.58 tahun 2014.

Sedangkan instrumen penelitian kuantitatif yang digunakan pada

penelitian ini adalah lembar observasi kelengkapan resep (terlampir). Lembar

observasi dibuat berdasarkan standar syarat kelengkapan resep yang ada pada

PMK No. 58 Tahun 2014.

4.6 Sumber Data

Pada penelitian ini akan digunakan dua jenis sumber data untuk

mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Kedua jenis sumber data tersebut terdiri

dari :

61
1. Data primer merupakan data yang didapatkan langsung oleh peneliti

dari objek penelitiannya. Data primer didapatkan dari hasil melakukan

wawancara mendalam dan observasi di lapangan. Serta hasil dari

pengambilan sampel resep.

2. Data sekunder merupakan data yang tidak didapatkan secara langsung

oleh peneliti tetapi sudah ada dan merupakan data milik rumah sakit.

Bentuk dari data ini adalah dokumen-dokumen yang mendukung.

4.7 Pengumpulan Data

4.7.1 Pengumpulan Data Kuaitatif

Metode pengumpulan data kualitatif yang dilakukan pada

penelitian ini adalah wawancara mendalam, observasi, dan telaah

dokumen. Wawancara dilakukan pada informan untuk mengetahui secara

jelas dan lengkap sistem keselamatan pasien pada pelayanan farmasi klinik

di RS X. Data yang dikumpulkan berupa gambaran pelaksanaan standar

pada pelayanan farmasi klinik di RS X mulai dari input, proses, hingga

output.

4.7.2 Pengumpulan Data Kuantitatif

Sedangkan data kuantitatif dikumpulkan dengan cara menganalisis

sampel resep yang diambil. Sampel resep yang diambil diamati dan

dianalisis kesesuaian kelengkapan syarat resep seperti pada PMK No.58

Tahun 2014.

62
4.8 Pengolahan Data

4.8.1 Pengolahan Data Kualitatif

Sebelum dianalisis data kualitatif harus melewati beberapa macam

pengolahan seperti data mentah dari lapangan perlu dikembangankan dan diketik,

rekaman wawancara harus ditranskrip dan dikoreksi, dan foto-foto harus

didokumentasikan (Miles, Huberman and Saldana, 2014).

Dalam penelitian ini data kualitatif diolah dengan tiga tahap yaitu reduksi

data, penyajian data, dan menyimpulkan/verifikasi (Miles, Huberman and

Saldana 2014). Ada pun penjabarannya sebagai berikut:

1. Kondensasi Data

Kondensasi data sebenarnya adalah proses yang sama dengan reduksi

data, hanya istilahnya dignati agar peneliti tidak kehilangan sesuatu

data prosesnya (Miles, Huberman and Saldana, 2014). Pada penelitian

ini yaitu proses pemilihan dan pemusatan perhatian pada

penyederhanaan data mentah yang didapatkan di lapangan oleh

peneliti. Data mentah yang didapatkan dari hasil wawancara, observasi

maupun telaah dokumen akan pilih dan digolongkan sesuai kerangka

konsep yaitu menjadi hasil untuk output, proses, dan input. Data yang

tidak berhubungan dengan pelayanan farmasi klinik di RS X maka

dibuang dan dipisahkan.

2. Penyajian Data

Langkah selanjutnya adalah data yang sesuai kerangka konsep

penelitian, selanjutnya akan dijadikan uraian singkat dan disajikan

63
kedalam sebuah matriks. Matriks akan dibuat berdasarkan pertanyaan

penelitian. Data yang dapat menjawab pertanyaan penelitian akan

diuraikan berdasarkan metode pengumpulan data baik itu informan

kunci, informan pendukung, hasil observasi maupun hasil telaah

dokumen.

3. Menarikan Kesimpulan/Verifikasi

Pada tahapan ini peneliti akan menarik kesimpulan dari matriks yang

telah dibuat. Kesimpulan akan dibuat dengan cara meninjau kembali

gagasan yang sudah didapat dengan pemikiran ulang serta tinjauan

ulang pada catatan di lapangan. Gagasan kemudian ditinjau ulang dan

dinarasikan.. Pada tahap ini data yang dikumpulkan peneliti telah lebih

rapi dan terkategori.

4.8.2 Pengolahan Data Kuantitatif

Sedangkan untuk data kuantitaif dilakukan pengolahn dengan cara

berikut:

1. Peneliti melakukan pengkodingan data. Setiap sampel resep diberi

nomor dan untuk persyaratan kelengkapan resep yang diperiksa pun

diberi kode tersendiri.

2. Dilakukan penyuntingan data. Data yang sudah dikoding sebelumnya

kemudian dilihat lagi kesesuaiannya. Apakah semua resep telah

diperiksa semua kelengkapannya atau tidak, apakah ada yang terlewat

atau tidak

64
3. Setelah itu dilakukan entry data ke perangkat lunak SPSS untuk

nantinya dilakukan analisis univariat yang akan menggambarkan

distribusi frekuensi kelengkapan resep di RS X.

4.9 Analisis Data


4.9.1 Analisis Data Kualitatif

Metode analisis data kualitatif yang digunakan adalah content

analysis atau analisis isi. Dalam analisis ini menggunakan teknik mencari

dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari wawancara,

catatan lapangan hasil telaah dokumen, dan observasi. Sehingga dapat

lebih mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang

lain (Sugiyono, 2008). Analisis data ini dilakukan dengan langkah sebagai

berikut:

1. Menyusun hasil telaah dokumen

2. Menyusun hasil wawancara dan observasi

3. Mengkategorikan hasil wawnacara ke dalam matriks

waawancara

4. Menarik kesimpulan dari matriks wawancara

5. Menganalisa kesimpulan dari matriks wawancara dan

membandingkan dengan teori yang ada

4.9.2 Analisis Data Kuantitatif

Sedangkan teknik analisis data kuantitatif yang dilakukan adalah

analisis univariat atau analisis deskriptif. Analisis univariat bertujuan

untuk menjelaskan atau medeskripsiskan karakteristik setiap variabel

65
penelitian. Dalam analisis ini umumnya hanya menghasilkan distibusi

freskuaensi dan presentase dari tiap variabel penelitian (Notoatmodjo,

2010). Maka dalam penelitian ini dihasilkan data distribusi frekuensi dan

presetanse dari masing-masing syarat kelengkapan resep di RS X. Data

ini kemudian menjadi gambaran atau deskripsi kelengkapan resep di RS

X yang termasuk dalam kegiatan pengkajian dan pelayanan resep.

4.10 Triangulasi Data

Untuk mendapatkan data yang akurat, peneliti melakukan triangulasi.

Triangulasi adalah pengecekan data dari berbagai sumber informasi (informan)

dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Ada tiga tipe triangulasi, yaitu

triangulasi sumber, triangulasi metode, dan triangulasi data. Dalam penelitian ini

hanya menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi metode.

Triangluasi sumber yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan

menwawancarai tiga informan kunci yang memiliki jabatan berbeda, namun

ketiganya masih berhubungan dengaan variabel yang diteliti. Sedangkan

triangulasi metode dilakukan dengan membandingkan data hasil wawnacara,

observasi, dan telaah dokumen yang dilakukan oleh peneliti.

Tabel 4.2 Validitas Data

Triangulasi Metode Triangulasi Sumber


Variabel Wawancara Observasi Telaah Informan Informan
Dokumen Utama pendukung
SDM √ - √ √ √

Sarana dan √ √ √ √ √
Prasarana

66
Triangulasi Metode Triangulasi Sumber
Variabel Wawancara Observasi Telaah Informan Informan
Dokumen Utama pendukung

Kebijakan/SOP √ - √ √ -
Pengkajian dan √ √ √ √ √
Pelayanan
resep

Rekonsiliasi √ √ - √ √
obat

Pelayanan √ √ - √ √
informasi obat

Konseling √ √ - √ √

Visite √ √ - √ √

Pemantauan √ √ √ √ √
terapi obat

Monitoring √ √ √ √ √
efek samping
obat
Evaluasi √ √ √ √ √
penggunaan
obat

Dispensing √ √ - √ √
sediaan steril
Pencapaian √ - √ √ √
pelayanan
farmasi klinik

67
BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Rumah Sakit X

RS X merupakan salah satu rumah sakit swasta dengan tipe B di Jakarta.

RS X memberikan pelayanan mulai dari pelayanan gawat darurat, rawat jalan,

rawat inap, pemeriksaan penunjang, layanan kesehatan promotif, konsultasi,

klub kesehatan dan bimbingan kerohanian.

Seiring dengan perkembangannya, saat ini RS X telah memiliki Akreditasi

16 bidang pelayanan, lulus sertifikasi ISO 9001:2008 dan lulus sertifikasi

akreditasi KARS dengan tingkat paripurna.

Tabel 5.1 Ketenagakerjaan RS X

No Jenis Ketenagaan Jumlah


1 Tenaga Medis 118
2 Tenaga Keperawatan 294
3 Kefarmasian 63
4 Kesehatan Masyarakat 3
5 Gizi 4
6 Keteknisan Medis 41
5 Doktoral 7
6 Sarjana 25
7 Sarjana Muda 19
8 SMU Sederajat dan 249
Dibawahnya
Total 823

68
5.1.1 Gambaran Sumber Daya Manusia Farmasi di Rumah Sakit X

Alur penempatan pegawai di bagian farmasi RS X dimulai dari

proses rekuitment yang mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 51

tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, kemudian setelah masuk

dilakukan orientasi. Orientasi pertama itu tiga bulan untuk pelayanan dasar

farmasi setelah tiga bulan sudah bisa pelayanan dasar farmasi, seperti

menerima resep dan membaca resep di pindahtugaskan ke posisi yang

berbeda lagi, misalnya melaksanakan UDD di rawat inap.

Pemindahtugasan ini dilakukan berdasarkan kebutuhan, ada yang 6 bulan

ada yang satu tahun.

“Kita sesuai kebutuhan melakukan rolling tapi ada yang 6 bulan

ada yang satu tahun pokonknya per tahun pasti ada roling tapi

juga mempertimbbangkan kebutuhan dan keahlian petugas,” INF

Lalu, untuk penempatan posisi khusus harus mendapatkan

pelatiahn terllebih dahulu, misalnya untuk pencampuran obat suntik.

Petugas yang ditugaskan harus pelatihan terlebih dahulu.

Berikut daftar ketenagakerjaan bagian farmasi di RS X yang

didapatkan dari Bagian Sumber Daya Insani (SDI):

69
Tabel 5.2 Ketenagakerjaan Famasi

No Jabatan Jumlah
1 TTK/SMF 29
2 SMK Farmasi 17
3 Akademi Farmasi 9
4 S-1 Farmasi 1
5 Apoteker 7
Total 63

Tenaga di farmasi RS X kemudian tersebar dalam beberapa sub

unit pelayanan, yaitu sebagai berikut:

1. Outlet 1 pelayanan

Outlet ini buka selama 24 jam terbagi dalam tiga shift (jam

07:30 – 14.30/pagi, jam 14.00-21.00/sore, dan jam 21.00-

07.30/malam). Outlet 1 melayani resep rawat inap maupun

rawat jalan baik resep tunai maupun jaminan. Tenaga terdiri

dari apoteker, tenaga teknis kefarmasian, serta dibantu juru

racik.

2. Outlet Eksekutif

Outlet ini buka dibagi dalam dua shift (jam 07:30 – 14.30/pagi,

jam 14.00-21.00/sore). Outlet ini melayani resep rawat jalan

non-BPJS. Tenaga terdiri dari apoteker, tenaga teknis

kefarmasian, serta dibantu juru racik

3. Outlet Rawat Inap

Outlet ini buka dibagi dalam dua shift (jam 07:30 – 14.30/pagi,

jam 14.00-21.00/sore). Outlet ini melayani resep UDD dan

70
sediaan harian cairan dan kebutuhan alat kesehatan untuk rawat

inap. Tenaga terdiri dari apoteker, tenaga teknis kefarmasian,

serta dibantu juru racik

4. Depo IGD

Depo ini buka selama 24 jam terbagi dalam tiga shift (jam

07:30 – 14.30/pagi, jam 14.00-21.00/sore, dan jam 21.00-

07.30/malam). Depo ini khusus melayani pasien IGD baik tunai

maupun jaminan. Depo IGD selain melayani resep juga

melayani pemakaian obat dan alkes yang diperlukan pasien

untuk tindakan IGD. Dengan kondisi UGD saat ini kebutuhan

tenaga TTK di Depo IGD datu orang per shift.

5. Depo OK

Depo OK buka selama 24 jam terbagi dalam tiga shift (jam

07:30 – 14.30/pagi, jam 14.00-21.00/sore, dan jam 21.00-

07.30/malam). Depo ini khusus melayani pasien OK dan ICU.

Dengan kondisi saat ini kebutuhan tenaga TTK d Depo OK

satu orang per shift dan satu orang koordinator per shift.

Terkait pelatihan dan pendidikan lanjut bagi tenaga kefarmasian

RS X baru melakukan beberapa pelatihan yang sekiranya dibutuhkan

seperti pencampuran obat suntik dan pengetahuan untuk setiap obat baru.

Belum ada beasiswa bagi tenaga kerja untuk melanjutkan pendidikan ke

jenjang yang lebih tinggi.

71
―Kalau dari rumah sakit sejauh ini ngga ya, paling dr internal

farmasi itu kaya sharing knowlegde, secara berkala temen temen

dilakukan refresh ilmu, baik dari internal maupun ekternal,

misalnya penggunaan obat baru gmn cara penggunaaannya,” INF

“Paling kalo dari rumah sakit itu KIE, pelatihan untuk obat baru,”

RJ 2

SDM di RS X masih dirasakan kurang, terutama untuk apoteker.

Selain itu cara petugas yang bekerja secara mobile juga dapat

menimbulkan risiko kesalahan lebih tinggi. Petugas kefarmasian pasa

menajalankan tugas sehari-harinya lebih baik fokus terhadap pekerjaan

tertentu saja.

5.1.2 Gambaran Sarana Prasarana Farmasi di Rumah Sakit X

Berdasarakan hasil observasi maka diketahui bahwa sarana dan


prasarana yang ada di pelayanan farmasi klinik RS X adalah sebagai
berikut:
Tabel 5.3 Sarana dan Prasarana

No Sarana dan Prasarana Ada Tidak Ada


1 Ruangan
1. Ruang kantor/administrasi √
2. Ruang penyimpanana √
sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan
medis habis pakai
3. Ruang distribusi sediaan √
farmasi
4. Ruang √

72
No Sarana dan Prasarana Ada Tidak Ada
konsultasi/konseling obat
5. Ruang PIO √
6. Ruang produksi √
7. Ruang Aseptic Dispensing √
8. Laboratorium Farmasi √
9. Ruang tunggu pasien √
10. Ruang penyimpaan √
dokumen
11. Tempat penyimpanan obat √
di ruang perawatan
12. Fasilitas toilet, kamar √
mandi untuk staf
2 Peralatan
13. Peralatan penyimpanan √
14. Peralatan peracikan √
15. Peralatan pembuatan obat √
16. Peralatan kantor √
17. Lemari penyimpanan √
khusus narkotika
18. Lemari pendingin √
19. Pendingin ruangan untuk √
ruang termolabil
20. Penerangan, saran air, √
ventilasi, dan sistem
pembuangan limbah
21. Alarm √
22. Peralatan sistem √
komputerisasi
23. Peralatan produksi √
3 Peralatan Aseptic Dispensing
24. Biological safety √
cabinet/vertical laminar air
flow cabinet
25. Horizontal laminar air √
flow cabinet
26. Pass-box dengan pintu √
berganda
27. Barometer √
28. Termometer √
29. Wireless intercom √
4 Peralatan Pendistribusian √
5 Peralatan Konsultasi √
6 Peralatan Ruang Informasi √
Obat

73
No Sarana dan Prasarana Ada Tidak Ada
7 Peralatan Ruang Arsip √

RS X belum mempunyai laboratorium farmasi, ruang konseling,

serta ruang PIO tersendiri. Sedangkan, untuk ruang produksi saat ini

sedang direnovasi sehingga tidak dapat digunakan secara maksimal dan

tak boleh dimasuki oleh sembarang orang dan tidak bisa dilakukan

observasi.

Untuk ruang aseptik dispensing, RS X juga belum memenuhi kelas

100.000. Namun, LAF yang dimiliki sudah kelas 100 dengan perangkat

pendukung lainnya yang juga sesuai.

“Belum ruang bersih tapi dengan LAF kelas 100 sudah terpenuhi

syaratnya,” INF 1

Sistem komputerisasi di RS X juga belum termasuk ke dalam

eleltronik prescribing. Semua resep masih manual dari tulisan tangan

dokter. Sistem informasi hanya berupa untuk menentukan harga dan

melihat stok persediaan serta perencanaan pembeliaan sediaan farmasi.

Selain sistem komputerisasi yang belum sampai dengan tahap

peresepan. Di RS X pun masih beum terdapat ruang khusus PIO dan

konseling sehingga membuat kedua kegiatan tersebut sulit dilakukan.

74
5.1.3 Gambaran Kebijakan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah
Sakit X

Standar pelayanan farmasi klinik di RS X, berdasarkan hasil

wawancara dan telaah dokumen mengacu pada buku pedoman kebijakan

dan pembuatan perencanaan serta buku pedoman pelayanan farmasi.

Buku pedoman pelayanan farmasi klinik pun masih dari PMK No58 tahun

2014, sehingga harusnnya disesuaikan dengan kemampuan rumah sakit

Selain itu, terdapat 96 SPO di RS X yang menyangkut dengan

pelayanan farmasi. Namun, berdasarkan hasil wawancara masih ada

petugas yang tak patuh dengan SPO yang dijalankan. Pihak RS pun belum

melakukan evaluasi terkait peraturan yang berlaku di RS.

Berdasarkan hasil wawancara dengan dua informan, keduanya

menyatakan masih ada pelanggaran peraturan atau SOP terkait pelayanan

farmasi klinik.

“Masih ada beberapa pelanggaran SOP oleh petugas,” INF 1

“Ada saja petugas yang melanggar,” RN 1

Kebijakan yag menjadi standar rumah sakit terkait pelayanan

farmasi klinik masih mengadopsi PMK No.58 Tahun 2014. Rumah sakit

disarankan untuk membuat standar yang masih mengacu pada PMK No.

58 Tahun 2014, namun disesuaikan dengan kemampuan rumah sakit.

75
5.2 Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X

Proses pelaksanaan pelayanan farmasi klinik di RS X sendiri terdiri dari

pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat,

rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat, pemantauan terapi obat, monitoring

efek samping obat, dan dispensing sediaan steril. Semua pelayanan ini mengacu

pada PMK No.58 tahun 2014.

Pelayanan farmasi klinik yang belum dilakukan oleh RS X adalah visite,

konseling, dan evaluasi penggunaan obat. Menurut Kepala Bagian Farmasi RS X

konseling tersebut belum dapat dilaksanakan maksimal karena kurangnya SDM

apoteker di RS X.

Sedangkan menurut informan lain konseling dan visite di rumah sakit

belum bisa dilakukan karena belum ada juga kerjasama antar dokter, perawat,

apoteker, dan tenaga lainnya.

Evaluasi penggunaan obat secara keseluruhan dan berkala juga belum

dilakukan karena pekerjaan lain yang lebih banyak dan lebih penting. Evaluasi

obat hanya jika ada obat yang menimbulkan efek samping dan pencatatan terkait

pembelian dan pengadaan. Sedangakan informasi tentang siklus penggunaan obat

memang belum dilaksanakan rumah sakit. Dana yang dialokasikan khusus untuk

kegiatan penelitian tersebut juga memang belum ada dari pihak rumah sakit.

Informasi lain mengenai proses pelayanan farmasi klinik di RS X

dilakukan juga melalui wawancara mendalam, observasi, dan telaah dokumen.

76
Penggalian informasi ini dilakukan pada 4 Januari 2017-13 Januari 2017. Berikut

hasil dari penelitian terhadap pelaksanaanya:

5.2.1 Gambaran Pengkajiaan dan Pelayanan Resep di RS X

Berdasarkan hasil observasi dan telaah dokumen pengkajian dan

pelayanan resep di RS X dibagi menjadi dua yaitu pelayanan rawat inap

dan pelayanan rawat jalan. Masing-masing dari pelayanan tersebut

memiliki apotik atau depo obat masing-masing.

Secara umum syarat dalam pengkajian dan pelayanan resep di RS

X meliputi:

1. Persyaratan Administrasi

a. Nama, umur, dan berat badan pasien

b. Nama, no.izin, alamat, dan paraf dokter

c. Tanggal resep

d. Ruangan atau poliklinik asal

e. SJP, protokol terap (jika perlu) untuk pasien askes

f. Nota kredit untuk pasien jaminan/asuransi

g. Pengantar berobat atau nota kredit untuk pasien

karyawan RS X

2. Persyaratan farmasetik

a. Bentuk dan kekuatan sediaan

b. Dosis, jumlah obat, dan lama pemakaian obat

c. Stabilitas dan inkompabilitas

77
d. Aturan, cara, dan teknik penggunaan

3. Persyaratan klinis

a. Ketepatan dosis dan penggunaan obat

b. Duplikasi pengobatan

c. Alergi, interaksi, dan efek samping obat

d. Kontraindikasi

e. Kondisi khusus lainnya

Sedangkan untuk alur proses pelayanan resep akan diulas satu per

satu sebagai berikut:

1. Pelayanan di Rawat Inap

Proses pelayanan resep panat unit rawat inap telah

menggunakan sistem Unit Dose Dispensing (UDD) kecuali untuk di

ruang perawatan anak dan perawatan kebidanan. Hal ini dikarenakan

pada dua ruangan tersebut banyak resep berupa obat racikan dan

injeksi sehingga agak repot jika menggunakan sistem UDD.

―Kalau untuk kedua ruangan itu ya kami masih kerepotan

kalau UDD karena banyak obat racikan, lagi pula waktu

pasien pulangnya lebih cepat dari ruangan lain biasanya,‖

INF 1

“Iya semua sudah UDD, florstock di ruangan hanya untuk

obat-obat emergency. Kaya ini semua dikasih obat per hari

untuk pasien terus untuk cairan juga begitu dari ruangan

78
kasih kebutuhan kita berapa cairan atau alat kesehatan yang

dibutuhkan hari itu,” AP

Proses UDD dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian

(TTK). Setiap TTK dalam setiap shift sudah diberi tanggung jawab

ruangan masing-masing. Pada awalnya, resep diterima oleh petugas

dari setiap ruangan, kemudian dibaca dan dilakukan entry. Jika, obat

yang diberikan lebih dari lima jenis obat maka dilakukan pengecekan

interaksi obat oleh apoteker. Setelah itu obat dikemas dan disiapkan.

Obat dikemas menggunakan plastik klip warna-warni. Setiap warna

menunjukan waku minum obat yang berbeda. Di antaranya warna

merah untuk diminum pagi hari, warna hijau ntuk siang, warna putih

untuk siang di bawah pukul 18.00 WIB sebelum makan dan setelah

makan, lalu yang terakhir warna biru untuk diminum di atas pukul

18.00 WIB.

Selain di entry untuk tagihan dan dokumentasi. Resep juga

ditulis oleh TTK pada file khusus. File tersebut tersedia untuk

masing-masing pasien. Setelah semua proses tersebut selesai,

kemudian dilakukan pengcekan oleh apoteker. Barulah obat diantar

ke ruangan oleh petugas UDD. Petugas yang menyiapkan dan

mengantar obat seharusnya berbeda agar dapat ada pengecekan

silang antar petugas. Namun, berdasarkan hasil observasi ada

ruangan yang disiapkan dan diantarkan oleh petugas yang sama. Hal

79
ini disebabkan banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan TTK dan

apoteker saat itu.

“Jadi yang mengantar dan menyiapkan itu berbeda agar

bisa saling cek,” INF 1

―Iya, di sini memang sudah ada tugasnya masing-masing

untuk UDD, tapi semuanya juga saling membantu kalau

ada temannya yang sedang kerepotan,‖ AP

“Kalau semua sudah dicek kita langsung antar ke ruangan,

ya di sini kerjanya mobile pokoknya kalau yang lagi kosong

saling bantu, tapi yang paling utama selesaika dulu

pekerjaan UDD ke ruangannya, baru bantu yang lain,” RN

Setelah itu petugas ke ruangan sambil membawa obat dan

file riwayat obat pasien. Di ruangan petugas UDD kemudian

mencocokan catatan mereka dengan catatan perawat atau disebut

form implementasi keperawatan dan penggunaan obat pasien.

Selain itu, petugas UDD juga menulis permintaan perawat terkait

obat yang ada di dalam file perawat. Ia juga mengecek apakah ada

obat yang harus ditambah dan dihentikan sesuai perintah dokter.

Petugas UDD akan melakukan konfirmasi kepada perawat

jika ada catatan yang berbeda. Berdasarkan hasil observasi,

komunikasi petugas UDD dan perawat berjalan dengan baik.

80
Mereka dapat bekerjasama ketika sedang dilakukan proses UDD.

TTK dengan aktif menanyakan hal yang terlihat tak jelas dalam

catatan perawat. Selesai mengecek, petugas UDD kemudian

menyimpan obat-obat itu di dalam kotak obat pasien yang sudah

tersedia di ruangan. Kotak tersebut sudah diberi label nama

masing-masing pasien, sehingga nantinya perawat tinggal

mengambil obat dari kotak tersebut dan memberikannya pada

pasien.

Sembari menyimpan obat, petugas juga melakukan

pemeriksaan apakah ada obat yang tersisa atau tidak, jika ada,

petugas akan mengambil obat yang tersisa itu. Obat sisa biasanya

merupakan obat pasien yang sudah pulang dan tak terapinya telah

dihentikan oleh dokter.

“Petugas UDD nanti yang akan melakukan serahan obat ke

ruangan, sekaian cek terapi obatnya dari file perawat sama

file dari farmasi dicocokan” INF i

“Petugas juga nanti mengecek apakah ada obat sisa atau

tambahan dari file yang ada di perawat,” AP

“Iya kaya gini saya cocokan, kalau obat sisa biasanya itu

pasiennya sudah pulang atau beli sendiri nanti disimpan di

sini oleh perawat,” RN 2

81
Proses UDD ini dibagi menjadi pagi dan sore. Hal ini

dikarenakan kurangnya petugas sehingga untuk menyiasatinya

proses UDD dibagi dua. Pada pagi hari UDD dilakukan di ruangan

kelas 1 dan 2 untuk laki-laki dan perempuan, lalu ruangan kelas 3

untuk perempuan. Sedangkan, UDD sore dilakukan untuk ruang

kelas 3 laki-laki, ruang utama, dan ruang VIP.

Sedangkan untuk obat berupa cairan, biasanya dilakukan

amprahan oleh perawat. Amprahan artinya perawat mencatat

kebutuhan cairn setiap pasien lalu diminta ke bagian farmasi untuk

disiapkan setiap harinya. Cairan kemudian akan diantar oleh

petugas UDD.

Berdasarkan hasil observasi dalam proses peresepan,

petugas mengaku sering menerima resep yang tidak lengkap dan

tidak jelas. Bila hal ini terjadi, maka petugas akan bertanya kepada

sesama temannya, jika tidak ada yang tahu baru dilakukan

kofirmasi kembali kepada dokter yang menulis resep.

‖Ya, setiap hari ada aja resep gak jelas, kita lakukan

langsung konfimasi ke dokter yang bersangkutan, kadang

kendalanya juga suka ada miskom sama petugas di

ruangan‖ AP

“Biasanya sih saya ngeceknya tanya dulu sama teman,

kalau gak ada yang tahu juga langsung telfon dokter,” RN

82
“Langsung konfirmasi dengan dokter, tapi kadang bisa

terkendala oleh perangkat yang tak berfungsi, misalnya

telfon yang tak berfungsi sehingga dokter tak bisa

dihubungi,” INF 1

2. Pelayanan di Rawat Jalan

Pelayanan resep di rawat jalan menerapkan sistem individual

prescribing. Resep dibawa ke farmasi oleh pasien kemudian diterima

petugas, setelah itu dilakukan billing lalu dilakukan assement

terhadap kelengkapan resep kalau tidak ada kendala langsung

dilakukan billing diminta persetujuan terhadap pasien terkait harga.

Jika pasien memiliki jaminan atau asuransi minta persetujuan pada

penjamin terkait obat yang ada di luar jaminan atau yang harganya

mahal. Jika, sudah dikonfirmasi langsung diberikan untuk dibayar ke

kasir atau langsung diterima jika semuanya ditanggung oleh

penjamin.

Setelah itu, resep akan diterima oleh petugas yang berada di

dalam outlet. Ia akan membaca resep dan mengecek kembali

kelengkapan resep. Setelah itu resep dibagi dua alur, yang langsung

kemas dan yang melalui racikan. Standar yang diterapkan dari pasien

memberikan resep sampai menerima obat di RS X adalah 20 menit.

“Harus maksimal 20 menit agar pasien tak emnunggu terlalu

lama, namun kadang kendalanya kalau resep tak jelas harus

dilakukan konfirmasi ulang kepada dokter,” RJ 1

83
“Pokoknya dalam 20 menit obat harus diserahkan ke pasien,

paling yang lama itu waktu diserahkan, kadang ada pasien

yang harus dipanggil berulang kali kalau sedang ramai,” RJ

Setelah selesai disiapkan dan diperiksa oleh apoteker, obat

kemudian diberikan kepada pasien. Pada proses pemberian obat

dilakukan pula penjelasan terkait dosis dan penggunaan obat. Pada

proses penyerahan diusahakan dilakukan oleh apoteker, namun,

berdasarkan hasil observasi di RS X jika sedang ramai, penyerahan

dan pemberian informasi obat juga bisa dilakukan oleh TTK demi

mengefisienkan waktu.

Sedangkan, rata-rata kegiatan paling padat dan banyak

dilakukan adalah saat penyerahan obat. TTK atau apoteker juga

memanggil pasien manual tanpa pengeras suara sehingga terkadang

ada pasien yang harus dipanggil berulang kali karena berisik dan

suara memanggil tidak jelas.

3. Kelengkapan resep

Kelengkapan resep di RS X dilihat dari sample yang

diambil sebanyak 295 resep. Sebelumnya penulis telah melakukan

observasi terhadap pengkajian dan pelayanan resep. Kemudian

menentukan sample dari resep yang diterima pada 10 Januari 2017.

Berikut gambaran secara umum kelengkapan resep di RS X

84
Tabel 3.4 Kelengkapan Administrasi Resep RS X
Kelengkapan
Persyaratan administrasi
Jumlah Presentase
1. Nama pasien 294 99.66%
2. Umur pasien 199 67.46%
3. Jenis kelamin 287 97.29%
4. Berat badan 70 23.73%
5. Tinggi badan 76 25.94%
6. Nama dokter 254 86.10%
7. Nomor izin 230 77.97%
8. Alamat 295 100%
9. Paraf dokter 186 67.80 %
10. Tanggal resep 210 71.19 %
11. Ruang/unit asal 199 67.46%
resep
Rata-rata 71.33%

Dari hasil analisis pada 295 sample resep maka didapatkan

hasil seperti di atas. Secara umum persyaratan adimistrasi resep di

RS X sudah cukup. Untuk alamat semuanya terdapat alamat karena

yang dianalisis adalah resep dalam RS X sehingga alamat sudah

ada dalam form resep. Dari 295 sampel hanya ada satu sampel

yang nama pasiennya tertulis ―pasien‖ sehingga resep ini dihitung

tak memiliki nama pasien. Jenis kelamin dalam resep ditulis oleh

dokter dengan keterangan ―Ny‖, ―Nn‖, atau ―Tn‖. Rata-rata yang

tak memiliki keterangan itu adalah pasien anak-anak. Sedangkan

untuk nama dokter dan nomor izin dokter biasanya tertera dari

stempel yang diberikan dokter pada resep.

85
Keterangan tinggi badan dan berat badan pasien paling

rendah yaitu 25,94% dan 23,73%. Berdasarkan hasil analisis resep

yang menggunakan keterangan tinggi badan dan berat badan hanya

untuk pasien anak-anak.

Selain itu jumlah resep yang lengkap memuat umur pasien

hanya 67,46%, paraf dokter 67,80%, tanggal resep 71,19%, dan

asal ruangan juga hanya menunjukan 67,46%. Dari hasil analisis

resep yang memuat umur pasien hanya pada pasien dengan umur

tua dan anak-anak. Sedangkan tanggal resep dan asal ruangan

banyak yang luput dan tidak diisi terutama pada resep rawat jalan.

Tabel 5.5 Kelengkapan Farmasetik Resep RS X


Persyaratan Farmasetik Jumlah Presentase
1. Nama obat 295 100%
2. Bentuk obat 266 90.17%
3. Kekuatan sediaan 265 89.83%
4. Dosis 293 99.32%
5. Stabilitas - -
6. Jumlah obat 292 98.98%
7. Aturan dan cara 256 86.78%
penggunaan
Rata-rata 81%

Sedangkan untuk persyaratan farmasetik resep sudah baik

karena kelengkapan rata-rata di atas 80% meski yang diharapkan

adalah 100%. Dokter di RS X kebanyakan sudah menulis dengan

lengkap terkait terapi yang harus diberikan kepada pasien. Semua

86
dokter telah menulis nama obat, terlepas dari jelas atau tidaknya

tulisan. Sedangkan, pada persyaratan bentuk obat sirup, tablet, atau

puyer lengkap sebesar 90.17%, kekuatan sediaan 89,83%, dosis

hanya ada dua obat yang taj tertera sehingga kelengkapannya

99,32%, jumlah obat 98,98%, dan aturan serta cara penggunaan

hanya sebesar 87,78%, sebenarnya dalam semua resep sudah ada

persyaratan tersebut hanya terkadang dokter luput menuliskannya

pada beberapa jenis obat, misalnya di dalam resep ada 5 jenis obat,

lalu ada satu obat yang tak tertulis aturan atau cara penggunaannya.

Sedangkan untuk stabilitas obat memang tidak dibubuhkan

dalam resep. Stabilitas obat sudah menjadi hal yang umum dan

diketahui oleh dokter dan apoteker RS X. Masing-masing apoteker

RS X telah memiliki catatan tersendiri terkait stabilitas obat.

Tabel 5.6 Kelengkapan Persyaratan Klinis Resep RS X

Persyaratan klinis Jumlah Presentase


1. Indikasi 139 47.12%
2. Duplikasi pengobatan - -
3. Kontraindikasi - -
4. Waktu penggunaan 289 97.97%
5. Alergi dan Reaksi 80 27.12%
Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD)
Rata-rata 34.44%

Berdasarkan sampel yang diambil kelengkapan persyaratan

klinis pada resep di RS X masih kurang. Pencantuman reaksi alergi

87
hanya sebesar 27.12%, padahal sudah ada kolom dalam form resep

yang harus diisi oleh dokter terkait ada atau tidaknya alergi pada

pasien. Sedangkan untuk indikasi hanya sebesar 47,12%. Hanya

waktu penggunaan yang jumlahnya di atas 90% yakni 97.97%.

Sedangkan untuk duplikasi pengobatan diberikan

keterangan oleh apoteker ketika terjadi duplikasi obat sehingga

nantinya resep akan dikaji lagi dan dikonfirmasi ulang kepada

dokter. Lalu, keterangan indikasi dan kontraindikasi sebenarnya

dijelaskan oleh apoteker saat melakukan penyerahan obat. Pada

form resep juga telah terdapat daftar keterangan atau informasi obat

apa saja yang sudah diberikan dan diterima pasien termasuk

indikasi dan kontraindikasi obat. Namun, masih ada daftar

keterangan yang tidak diisi tetapi ditandatangan oleh pasien,

sehingga hal ini bias dan sulit diukur apakah benar pasien sudah

mendapatkan informasi terkait obat atau tidak.

Berdasarkan hasil wawancara apoteker dan petugas TTK

memberi keterangan bahwa mereka selalu memberikan informasi

terkait obat yang digunakan kepada pasien baik rawat jalan maupun

rawat inap.

“Petugas wajib memberikan keterangan terkait obat saat

penyerahan obat pada pasien,” INF 1

“Kalau untuk informasi obat kita beritahu cara penggunaan,

waktunya, dosisnya, indikasi, kontraindikasinya juga,” AP

88
“Setelah dikemas dan akan diserahkan pasien pasti diberi

dulu penjelasan terkait obat termasuk indikasi dan

kontraindikasinya juga,” RJ 1

Secara umum berdasakan hasil observasi pengkajian dan

pelayanan resep di RS X baik di rawat inap maupun rawat jalan

petugasnya mengaku bahwa sering kesulitan dalam membaca resep

dokter. Banyak resep yang tidak jelas penulisannya. Meski lengkap

tetapi tidak jelas instruksinya.

“Setiap hari ada aja yang kurang jelas kalau resep,” RJ 2

“Ada sih pasti yang tidak jelas, ya kita langsung telfon

dokternya atau perawatnya juga kan nyatet,” RN 2

Permasalahan yang terjadi pada proses pengkajian dan pelayana

resep adalah selalu ditemukan resep yang tak terbaca dengan jelas.

Selain itu, pada persyaratan administrsi resep pun tak ada satu pun

resep yang lengkap sesuai dengan sayarat yang ada pada PMK no.

58 tahun 2014.

5.2.2 Gambaran Rekonsiliasi Obat di RS X

Proses rekonsiliasi obat di RS X dilakukan dengan

membandingkan instruksi pengobatan dari dokter dan obat yang

telah didapat pasien oleh apoteker. Biasanya kegiatan ini dlakukan

saat proses UDD bagi pasien rawat inap dan sebelum penyerahan

obat kepada pasien bagi pasien rawat jalan.

89
Berdasarkan hasil observasi untuk pasien rawat inap apoteker

dan TTK akan mencocokan catatan dari resep yang diterima dalam

file pasien dengan catatan yang ditulis perawat. Hal ini juga

dilakukan kepada semua pasien, termasuk pasien yang pindah

ruangan dan pasien baru dari klinik atau rumah sakit lain.

“Kita selalu mencocokan dengan file pada perawat dan

rekam medis pasien ya, jadi kalau pasien baru juga kita pasti

lihat di rekam medis pasiennya, kalau catatan dokter itu gak

lengkap biasanya perawat lebih lengkap. Yang sulit memang

kalau pasien baru dateng belum ada dokter

penanggungjawabnya kita belum tahu rincian lengkap terapi

sebelumnya, tapi kalau sudah ada dokter penanggungjawab

itu nanti langsung dilengkapi catatan kita,” INF 1

―Kalau untuk penggunaan obat kan ada catatannya di rekam

medis ya, dan kita juga punya catatan terapi sendiri untuk

pasien, jadi kalau pindah ruangan ya tinggal dicocokan saja

catatannya,‖ AP

Apoteker juga akan mencatat jika ada alergi obat atau

reaksi dari efek samping obat. Hal itu kemudian akan dicatat dan

dilaporkan kepada kepala bagian farmasi nantinya. Namun, catatan

harian itu belum dikomentasikan dan direkap berkala. Catatan

masih berupa laporan harian yang dikumpulkan apoteker.

90
“Untuk catatan laporan ada, tapi gak berkala ya pokoknya

kalau ada kejadian dilaporkan per hati per kejadian,

biasanya langsung ditangani kok,” INF 1

―Kadang ada juuga sih alergi yang tidak kita ketahui dari

pasien, tapi itu jarang. Karena kami masih kesulitan kalau

mendeteksi alergi obat. Paling setelah ada alergi tentu kami

menyarankan ke dokter untuk distop atau diganti terapinya,‖

AP

Berdasarkkan hasil observasi, apoteker dibantu TTK juga

melakukan komparasi catatan jika ada ketidakcocokan data

penggunaan obat yang sedang dan akan digunakan, maka akan

dikonfirmasi ke dokter atau perawat terlebih dahulu. Berdasarkan

hasil observasi TTK langsung menanyakan begitu ada

ketidakcocokan kepada perawat. Saat itu, tidak dilakukan

konfirmasi ke dokter karena dianggap hanya kesalahan penulisan

dan perawat sudah tahu kebenerannya.

“Nanti kalau tidak cocok catatan kita dengan perawat atau

dokter ya langsung konfirmasi,” AP

“Iya, kalau tidak cocok kami konfirmasi, kan perawat juga

mencatat jadi ke perawat dulu, kalau memang ada yang

janggal baru ditanya ke dokter yang bersangkutan,” RN 2

Sedangkan, jika ada perubahan terapi obat maka hal tersebut akan

dijelaskan oleh apoteker bila perlu. Selain pasien, jika ada keluarga

91
pasien yang mendampingi maka keluarganya juga akan diberi

pengetahuan tentang obat tersebut.

“Kalau ada perubahan terapi, obat bawaan yang

diteruskan atau dihentikan pasti diberitahukan ke pasien,”

INF 1

―Kesulitannya kalau ada pasien yang susah diajak ngobrol

terus keluarganya tidak ada,‖ AP

Secara umum proses rekonsiliasi obat di RS X sudah berjalan baik

yaitu dengan membandingkan setiap catatan riwayat penggunaan

obat pasien. Namun, keseulitan yang sering ditemukan apoteker

adalah ketika catatan rekam medis tidak lengkap dan belum ada

dokter penanggungjawab untuk pasien yang baru saja masuk atau

dipindah dari rumah sakit lain.

5.2.3 Gambaran Pelayanan Informasi Obat di RS X

Kegiatan Pelayanan Informasi Obat (PIO) yang dilakukan di

RS X meliputi menjawab setiap pertanyaan pasien terkait obat,

pemberian informasi obat pada pasien pulang untuk rawat inap,

penjelasan informasi obat pada pasien rawat jalan saat peyerahan

obat, pembuatan leaflet, dan pembuatan buku saku fomalium.

Berdasarkan hasil wawancara bagian farmasi RS X selalu

memberikan jawaban terkait obat yang ditanyakan oleh pasien, baik

rawat jalan maupun rawat inap.

92
“Kalau ada pasien atau keluarga pasien yang bertanya terkait

obat atau penggunaannya, biasanya perawat di ruangan akan

mengontak kami, lalu dari sini apoteker akan ke ruangan

untuk memberikan penjelasan,” RN 1

“Setiap pasien diberi penjelasan tentang obat saat melakukan

penyerahan, jika memang ada yang ingin ditanyakan di luar

itu kami juga akan menjawab,” RJ 1

“Kalau yang sudah di rumah ingin bertanya juga bisa melalui

telepon langsung menghubungi kami,” INF 1

Sedangkan media informasi tentang obat yang ada di RS X

baru berupa leaflet saja. Belum ada terbitan berupa buletin, poster,

maupun newsletter. Biasanya leaflet tersebut ditaruh di outlet-outlet

farmasi. Berdasarkan hasil observasi, penyediaan informasi ini baru

disediakan di depo farmasi rawat jalan 1 atau utama. Namun, pada

hari berikutnya ketika diadakan lagi observasi leaflet tersebut habis

dan kosong tak terisi lagi di outlet.

“Kami taruh di depo-depo farmasi, baru leaflet saja, yang lain

gak punya,” INF 1

“Baru ada di outlet depan (outlet 1), karena depo yang ini

kan baru jadi belum ada tempat untuk menyimpannya” RJ 1

Informasi obat di RS X juga terseda bagi tim farmasi dan

terapi. RS X menerbitkan formalium yang diperbaharui selama 2

93
tahun sekali. Dalam formalium tersebut tercantum semua jenis obat

yang ada dan dipaki oleh RS X. Jika ada tambahan maka akan

dibuat lagi lembar tambahan pelengkap formalium.

“Kalau untuk apoteker, TTK, itu kami ada formalium yang

dibuat dua tahun sekali,” INF 1

“Kita diberi formalium kalau terkait dengan obat yang

digunakan utuk terapi pada pasien,” RJ 1

“Terkait obat masing-masing apoteker memegang

formaliumnya,” AP

Di RS X ada pula kegiatan PIO yang dilakukan rutin yaitu

pemberian informasi kepada pasien rawat inap yang akan pulang.

Berdasarkan hasil observasi bagian depo farmasi rawat inap akan

dihubungi oleh perawat di ruangan jika akan ada pasien pulang.

Setelah menerima laporan tersebut, apoteker yang sedang bertugas

kemudia menyiapkan berkas pasien tersebut dan melihat riwayat

terapi obatnya. Apoteker kemudian menyiapkan obat-obat yang

harus dibawa oleh pasien. Selain itu, apoteker juga menuliskan

informasi terkait obat yang digunakan pasien di rumah pada formulir

PIO.

Jika sudah selesai disiapkan maka apoteker akan ke ruangan

sebelum pasien pulang. Apoteker langsung menjelaskan kepada

94
pasien terkait obat yang harus digunakan di rumah. Tak hanya pada

pasein, apoteker juga memberikan informasi kepada keluarga pasien.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, apoteker dapat

menyampaikan dengan baik terkait terapi obat yang diberikan.

Namun, berdasarkan hasil wawancara apoteker mengaku kendala

yang dialami selama PIO adalah jika pasien tidak bisa diajak bicara

dan sulit mengerti.

“Kalau informasi pasti diberikan tapi kami kadang kesulitan

kalau pasien sulit diajak bicara, biasanya nunggu

keluarganya,” RN 1

“Pasien kan beda-beda ya, susah kalau dia ga bisa diajak

bicara kita ga tau dia paham apa ngga, tapi kalau ada

keluarganya yang paham ya gak apa apa,” AP

Secara umum PIO yang dilakukan di RS X belum maksimal hal ini

dikarenakan waktu PIO yang hanya dilakukan pada saat pasien akan

pulang dan penyerahan obat yang waktunya terbatas. Pasien yang

mengantre mengambil obat biasanya banyak, sehingga PIO di rawat jalan

hanya bisa dilakukan sebentar. Selain itu, ruang PIO yang belum tersedia

juga belum adanya PIO berkala yang dilakukan bersama seluruh tenaga

kesehatan.

Apoteker juga sering menemukan kendala PIO ketika pasien di

rawat inap tidak didampingi oleh keluarganya dan sulit diajak bicara. Hal

95
ini yang menyebabkan sulit mengukur kepahaman pasien dengan keadaan

seperti itu.

5.2.4 Gambaran Konseling di RS X

Konseling obat merupakan aktivitas pemberian nasihat atau

saran terkait terapi obat dari apoteker kepada pasien. Berdasarkan

hasil wawancara di RS X konseling belum dilakukan secara rutin.

Konseling hanya akan dilakukan jika ada permintaan dari pasien atau

tenaga medis lain.

RS X sebenarnya memiliki pasien-pasien kondisi khusus

seperti gangguan ginjal dan ibu hamil serta menyusui. RS X juga

memiliki klinik diabetes yang bisa mendapat konseling. Namun,

konseling khusus bagi pasien-pasien ini pun hanya dilakukan jika

ada permintaan. Hal ini dikarenakan SDM dan sarana yang belum

cukup memadai.

“Kalau konseling kuta belum ada ya, baru by request saja,”

INF 1

“Konseling, di sini gak dilakukan sih,” RN 1

Konseling di RS X belum dilakukan. Hal ini dikarenakan

kekurangan SDM dan ruangan yang tak tersedia. Apoteker hanya akan

memberikan konseling bila dipanggil ke ruangan. Padahal, di RS X

memiliki pasien dengan obat jangka waktu panjang dan kompleks

96
sehingga akan lebih baik penggunaan obatnya jika didampingi dengan

konseling.

5.2.5 Gambaran Visite di RS X

Visite merupakan kegiatan kujungan ke pasien rawat inap

oleh apoteker mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan. Di RS X

kegiatan visite belum ada jadwal rutin, hanya saja setiap apoteker

diberi tanggung jawab satu ruangan untuk setiap hari memeriksa

kondisi terapi obat pasien. Namun, visite secara keseluruhan untuk

informasi obat ke pasien, dokter, serta profesional kesehatan lainnya

belum dilakukan. Visite kerjasama dengan tim tenaga kesehatan juga

belum dilakukan karena belum adanya kerjasama antar seluruh

tenaga kesehatan.

“Setiap apoteker ada tanggung jawab ruangannya, dia yang

mantau tapi kalau visite per pasien atau dengan tenaga

kesehatan lain belum ada,” INF 1

\“Visite sih kita belum ada ya, belum maksimal lah,” RN 1

“Jadi ya paling memang jika ada yang membutuhkan

informasi terkait obat kami siap di sini atau nanti dipanggil

ke ruangan. Karena memang belum ada pematauan atau vist

bersama dengan dokter, perawat atau gizi, belum ada.

Sisanya apoteker memberikan informasi obat pada pasien

97
pulang dan pemantauan sekali sehari, sesuai ruangan yang

sudah dibagi,‖ AP

Visite juga belum dilakukan di RS X. Apoteker memang

memiliki tanggung jawab ruangan. Namun, visite sendiri belum

dilakukan maksimal. Apalagi visite bersama tenaga kesehatan lain

tidak bisa dilakukan karena SDM yang kurang dan waktu antar-

petugas yang juga akan sulit untuk disamakan.

5.2.6 Gambaran Pemantauan Terapi Obat di RS X

Pemantauan terapi obat yang dilakukan RS X yaitu berupa

kegiatan kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif

dan rasional bagi pasien. PTO biasanya dilakukan apoteker dengan

melihat riwayat atau catatan terapi obat pasien dan resep yang

diberikan dokter. Apoteker biasanya memantau dan memeriksa

pasien yang diberi obat lima jenis atau lebih.

“Jadi kan sistem informasi kita belum bisa secara otomatis

kalau diketik obat ini dan ini akan muncul reaksi ini,

makanya hanya untuk obat di atas 5 item aja, kalau

semuanya kan repot makan waktu juga, sedangkan resep

yang datang aja sehari bisa 800 ,” INF 1

“Kalau pemantauan biasanya apoteker ngecek di resep ada

yang aneh atau nggak, kan tahu tuh kalau ada yang aneh

atau gak wajar,” RN 1

98
“Biasanya apoteker nanti melihat resep dan cacatan terapi

pasien, terus juga kan apoteker tau kira-kira ini dosisnya

wajar apa ngga, kalau ga wajar ya kita kontak dokternya,”

AP

Kegiatan pemantauan juga dilakukan pada perubahan efek

suatu obat karena obat lain atau interaksi obat. Kegiatan ini

dilakukan oleh apoteker dengan melakukan telusur pustaka obat

pasien melalui www.medscape.com dan www.drugs.com atau

buku-buku litelatur lain. Jadi, ketika apoteker menemukan

kecurigaan terhadap obat yang diberikan akan dicek terlebih

dahulu. Jika ditemukan adanya interaksi berbahaya maka apoteker

akan menghubungi dokter untuk melakukan tindakan berupa terapi

dohentikan, terapi ditunda, atau dosis dikurangi.

“Kita juga biasanya nanya perawat atau dokter kalau

misalnya ini benar interaksi atau bukan dicek bareng,” INF 1

“Kalau dikira ada yang mencurigakan dan tidak wajar dari

catatan resep atau catatan di file pasien maka dicek dulu ke

www.medscape.com dan www.dugs.com,” RN 1

“Dicek di litelatur gimana interkasi obatnya ada interaksi ga,

kalau ada diberitahukan ke dokternya langsung via telfon,”

AP

99
PTO di RS X terutama dilakukan hanya untuk pasien dengan terapi

lima obat atau lebih. Secara umum, PTO konsep ini sudah dilakukan

RS X, kecurigaan adanya efek samping juga akan langsung

dianalisis. Namun, untuk evaluasi efektifitas penggunaan satu terapi

belum pernah dilakukan pemantauan atau penelitiannya.

5.2.7 Gambaran Monitoring Efek Samping Obat (MESO) di RS X

Berdasarkan hasil wawancara, kegiatan monitoring efek

samping obat di RS X baru dilakukan ketika ada efek samping obat

terjadi pada pasien. Idetifikasi biasanya dilakukan jika apoteker atau

tenaga kesehatan lain menemukan kemungkinana efek samping obat.

Analisis kemudian dilakukan apoteker dan ditelusuri apakah benar

hal yang terjadi pada pasien ituu efek samping obat atau bukan.

Jika terbukti itu merupakan efek samping obat, maka

apoteker akan mengkomunikasikan pada dokter untuk melakukan

tindakan yaitu menghentikan permanen atau menghentikan

sementara terapi obat yang diberikan.

Meski begitu, RS X tetap secara rutin setiap bulan

melaporkan MESO ke Badan Pengawas Obat dan Makanan

(BPOM). Dalam laporannya RS X menlaporkan setiap kejadian yang

dicurigai sebagai efek samping, baik efek samping yang belum

diketahui hubungan sebabnya maupun yang sudah pasti.

Berdasarkan hasil observasi laporan MESO RS X mengikuti daftar

atau aturan dari BPOM tentang MESO oleh tenaga kesehatan.

100
”Kalau evaluasi berkala kita ga ada ya, lagi pula jarang, jadi

kalau ada kejadian saja petugas langsung menulis laporan

lalu kita analisis dan segera diberi tindakan yang tepat untuk

pasien, tapi setiap bulan kita lapor ke BPOM dan ke Sudin ya

itu terkait efek samping obat yang ada dan laporan obat

psikotropik dan narkotik,” INF 1

“Kalau monitoring efek samping obat ya oeh apoteker tadi

kalau menemukan kecurigaan misalnya ada yang alergi, nanti

diperiksa obatnya apa, terus bener ga itu efek samping obat,”

RN 1

“Jarang sih ada efek samping, jadi kalau terjadi ya kita

langsung laporkan analisis lalu beritahu ke dokter, biasanya

paling kalau ada juga alergi obat saja,” AP

Permasalahan pada MESO di RS X adalah belum dilakukan

secara aktif. Sehingga laporan efek samping obat hanya dibuat ketika

ada laporan atau kejadian. Seharusnya bisa ada monitoring aktif

terkait efek samping obat yang mungkin terjadi pada pasien.

5.2.8 Gambaran Dispensing Sedian Steril di RS X

Berdasarkan hasil wawancara dispensing sediaan steril di RS

X dilakukan dengan teknik aseptik di ruangan khusus untuk

menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas

dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan

101
pemberian obat. RS X telah mempunyai ruangan khusus untuk

kegiatan ini.

Kegiatan yang dilakukan untuk pencampuran obat suntik.

Hal ini disebabkan di RS X tak memiliki pasien kanker dengan

kebutuhan obat campur khusus.

Berdasarkan hasil observasi, belum banyak kegiatan di

ruangan dispensing sediaan steril. Hal ini dikarenakan di ruangan

tersebut memang tidak ada petugas khusus yang menjaga, petugas

yang akan mencampur obat suntik atau menyiapkan obat steril

lainnya dari outlet rawat inap baru akan pindah ke ruangan tersebut

ketika ada kegiatan pencampuran obat.

Berdasarkan hasil observasi, petugas melakukan

pencampuran dengan dosis yang telah diukur sebelumya. Cairan

dicampur perlahan dan selalu dilakukan swab dengan tisu steril

sebelum dan setelah pencampuran pada tempat cairan. Jika

pencampuran harus melalui biological safety cabinet, maka petugas

harus memakai APD lengkap yakni sarung tangan, masker, dan

pakaian steril.

Sebelum masuk ruang pencampuran, petugas akan melalui

ruang antara untuk ganti baju dan melakukan pembersihan diri

melalui HEPA Filter. Petugas masuk melalui pintu dengan pegangan

stainless steel sedangkan obatnya masuk ke dalam pass box. Setelah

102
masuk petugas mengambil cairan dari dalam pass box dan

melakukan pencampuran.

“Kalau mau melakukan pencampuran obat suntik, baru

petugas akan naik ke ruangan atas dan melakukan kegiatan,

karena untuk petugas khusus kami kekurangan tenaga,” RN

“Pencampuran obat suntik kami lakukan semua di ruang

steril di atas, sudah ada LAF juga,” AP

“Kalau campur obat suntuk ya harus di ruang steril kita juga

pakai sarung tangan dan masker, kalau dilakukan di sini

(outlet) itu salah,” RN 2

Berdasarkan hasil observasi ditemukan masih adanya

petugas yang melakukan pencampuran obat suntik di ruang outlet

rawat inap. Petugas yang melakukan pencampuran tersebut juga

tidak mengenakan APD seperti sarung tangan dan masker.

Berdasarkan hasil observasi, berikut merupakan daftar

sarana dan prasarana yang ada di ruang dispensing sediaan steril.

Tabel 5.7 Sarana Prasara Dispensing Sediaan Steril

No Syarat Ketersediaan Keterangan


Ada Tidak
ada
1 Ruang bersih kelas 10.000 √ Diganti dengan LAF
kelas 100
2 Ruang penyimpanan kelas 100.000 √

103
No Syarat Ketersediaan Keterangan
Ada Tidak
ada
3 Ruang antara kelas 100.000 √
4 Ruang ganti pakaian kelas 100.000 √
5 Lantai datar dan halus tanpa √
sambungan, keras, serta resisten
terhadap zat kimia
6 Dinding rata dan halus, keras, serta √
resiste terhadap zat kimia
7 Sudt-sudut permukaan langit-langit √
dengan dinding dibuat melengkung
dengan radius 20 – 30 mm
8 Colokan listrik datar dengan √
permukaan dan kedap air serta dapat
dibersihkan
9 Penerangan, saluran, dan kabel √
dibuat di atas plafon
10 Rangka pintu terbuat dari stainles √
stell
11 Aliran udara menuju ruang bersih, √
ruang peniapa, ruang ganti pakaian,
dan ruang antara harus melalui
HEPA filter dan memenuhi syarat
kelas 10.000
12 Tekanan udara ruang bersih adalah √ Ada alat pengukur
15 pascal lebih rendah dari ruang tekanan udara
lainnnya
13 Suhu udara di ruangan bersih dan √ Ada alat pengukur
steril dipelihara pada suhu 16-25 C suhu dan pengecekan
oleh apoteker
14 Kelembaban relatif 45-55% √ Ada alat pengukur
kelembaban ruangan

104
Di RS X dalam kegiatan dispensing sediaan steril masih ditemukan

petugas yang mencampur oat suntik tidak pada ruangannya. Hal ini bisa berisiko

baik untuk petugas maupun pasien. Selain itu, RS X memang belum melakuakn

kegiatan dispensing sediaan steril lain karena tak ada pasien dengan obat

kebutuhan khusus seperti kanker. Ruang dispensing RS X sudah tersedia dan

dilengkap dengan LAF kelas 100 yang memenuhi standar dan pengecekan setiap

tahunnya.

5.3 Gambaran Pencapaian Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di


Rumah Sakit X

Dari 11 kegiatan pelayanan farmasi klinik, RS X hanya melaksanakan 7

kegiatan saja. Pelayanan farmasi klinik di RS X yang dilaksanakan terdiri dari

pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat,

rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat, pemantauan terapi obat, monitoring

efek samping obat, dan dispensing sediaan steril. Sedangkan yang belum

dilakukan adalah, konseling, visite, evaluasi penggunaan obat, dan pemantauan

kadar obat dalam darah.

Di sisi lain, berdasarkan hasil telaah dokumen dan wawancara, pelaporan

kesalahan kejadian obat dari tahun 2015 ke 2016 mengalami penurunan. Namun,

pada 2016 laporan yang masuk hanya sampai dengan bulan September sedangkan

Oktober, November, dan Desember tidak ada laporan yang masuk.

105
Berdasarkan hasil wawancara dengan lima informasn semuanya

menyatakan potensi kesalahan kejadian obat masih terjadi, namun pasti langsung

ditangani. Hal ini biasanya karena kesalahan saat entry atau membaca resep.

“Biasanya resep ada saja yang tidak jelas, kalau begitu kita langsung

konfirmasi ke dokternya,” RN 1

“Ada aja, sulit dihindati tapi kita langsung perbaiki kok,” MA

“Ada saja kalau resep yang tidak jelas atau tidak lengkap sih, itu

kadang yang bikin salah-salah,” RN 2

―Kadang kalau begitu kita ketahui salah langsung entry ulang dan

diperbaiki, jadi tidak ke pasien salahnya,‖ RJ 2

―Memang masih ada kesalahan di lapangan, kami sedang terus

mencari akar masalahnya,‖ PS

Pelaporan kesalahan obat masih terjadi di RS X. Meski begitu RS X telah

melakukan analisis dan investigasi untuk menurunkan angka kejadian kesalahan

obat yang terjadi. Karena di rumah sakit memang sulit untuk mendapat angka

kejadian kesalahan obat yang nihil.

106
BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Pada saat penelitian ini dilakukan ditemukan keterbatasan peneliti

dalam melakukan penggalian informasi dan pencarian data. Di antaranya:

1. Peneliti tidak bisa melakukan observasi atau telaah dokumen rekam

medis sehingga tidak dapat mengamati variabel penelusuran riwayat

obat.

2. Keterbatasan waktu informan dalam memberikan informasi karena

waktu pekerjaan informan yang padat terutama pada apoteker dan

asisten apoteker di rawat jalan.

6.2 Analisis Input Pelayanan Farmasi Klinik

Pada umumnya untuk meningkatkan suatu pelayanan ada dua cara

yaitu dengan meningkatkan mutu dan kuantittas sumber daya, tenaga, biaya,

peralatan, perlengkapan, dan material yang diperlukan dengan menggunakan

teknologi atau dengan kata lain meningatkan input atau struktur serta

memperbaiki metode atau penerapan yang dipergunakan dalam kegiatan

pelayanan, hal ini memperbaiki proses pelayanan organisasi kesehatan

(Wijono dan Wijaya, 2012).

Input yang ada di RS X memang masih kurang terutama dalam

penerapan teknologi. Peresepan masih manual dan belum terkomputerisasi.

Sistem komputer baru ada pada billing harga dan cek persediaan serta

107
perencanaan pembelian. Hal ini membuat banyak resep tak jelas dan tak

terbaca oleh petugas. Hal lain yang belum mendukung adalah laboratorium

khusus farmasi yang belum tersedia.

Padahal penggunaan teknologi elektronik atau electronic prescribing

telah banyak disarankan digunakan di rumah sakit untuk menurunkan angka

kejadian keslaahan obat. Menurut American Family Physician tenaga

kesehatan harus dapat menggunakan perangkat lunak untuk mengatasi

kesalahn yang terjadi termasuk electronic prescribing dan pencarian litelatur

di internet secara internasional (Pollock, Bazaldua dan Dobbie, 2007).

Selain itu, jumlah apoteker di RS X hanya 7 orang. Tentu ini sangat

sedikit jika dibandingkan dengan resep yang masuk per hari bisa mencapai

800 hingga 900 resep. Total tenaga kefarmasian pun hanya 63 dengan

semuanya dibagi menjadi beberapa shift dan depo sehingga sulit untuk

memaksimalkan berbagai pekerjaan yang khusus.

SPO terkait farmasi klinik juga telah dimiliki RS X dan sudah ada 96

SPO. Namun, belum ada proses evaluasi penjalanan SPO tersebut karena di

lapangan pun masih ada petugas yang melanggar. Seharusnya RS X

melakukan evaluasi kefektifan peraturan yang diterapkan agar tidak ada

kejadian berulang terkait kesalahan obat.

6.3 Analisis Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X

Proses pelayanan farmasi klinik berdasarkan PMK No.58 tahun 2014

tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit, pelayanan farmasi klinik

108
di rumah sakit terdiri dari pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran

riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat,

konseling, visite, pemantauan terapi obat, monitoring efek samping obat,

evaluasi penggunaan obat, dispensing sediaan steril, dan pemantauan

kadar obat dalam darah. Namun yang dilaksanakan di RS X baru meliputi

pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat,

rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat, pemantauan terapi obat,

monitoring efek samping obat, dan dispensing sediaan steril.

Kegiatan pelayanan farmasi klinik yang belum dilakukan RS X adalah

konseling, visite, evaluasi penggunaan obat dan pemantauan kadar obat

dalam darah. Konseling belum dilakukan saat ini karena di RS X masih

kekurangan SDM. SDM yang ada sudah habis untuk pelayanan dan

pengkajian resep. Sedangkan untuk petugas konseling khusus belum ada.

Namun, RS X tetap terbuka dengan segala pertanyaan dari pasien.

6.3.1 Analisis Pengkajiaan dan Pelayanan Resep di RS X

Pengkajian dan pelayanan resep adalah hal yang paling pertama

yang harus dilakukan oleh apoteker dalam melakukan penerimaan resep

dari dokter. Pengkajian dan pelayanan resep dilakukan untuk mencegah

terjadinya kelalaian pencantuman informasi, penulisan resep yang buruk

dan penulisan resep yang tidak baik (Arhayani, 2007).

Berdasarkan PMK No.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan

Farmasi Rumah Sakit, pengkajian dan pelayanan resep meliputi seleksi

109
persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis.

Di RS X persyaratan administrasi sudah kurang terutama pada penulisan

berat badan dan tinggi badan pasien, sedangkan untuk persyaratan

farmasetik baik, dan untuk persyaratan klinis masih kurang terutama

terkait informasi alergi obat.

Sedikit berbeda dengan PMK No. 58, persyaratan kelengkapan resep

dari WHO lebih sederhana. Berikut perbandingan syarat dari PMK No.58

dan WHO:

Tabel 6.1 Syarat Resep PMK No.58 dan WHO

Persyaratan Resep
PMK No. 58 Tahun 2014 WHO (1994)
1. Nama pasien 1. Nama pasien
2. Umur pasien 2. Umur pasien
3. Jenis kelamin 3. Alamat pasien
4. Berat badan 4. Tanggal resep
5. Tinggi badan 5. Nama dokter
6. Nama dokter 6. Alamat dokter
7. Nomor izin 7. Telepon dokter
8. Alamat 8. Paraf dokter atau inisial
9. Paraf dokter 9. Nama generik obat
10. Tanggal resep 10. Kekuatan sediaan
11. Ruang/unit asal resep 11. Dosis
12. Nama obat 12. Jumlah obat
13. Bentuk obat 13. Aturan pakai
14. Kekuatan sediaan 14. Peringatan
15. Dosis
16. Jumlah obat
17. Stabilitas
18. Aturan dan cara
penggunaan
19. Ketepatan indikasi,
dosis, dan waktu
penggunaan obat
20. Duplikasi pengobatan
21. ROTD

110
Persyaratan Resep
PMK No. 58 Tahun 2014 WHO (1994)
22. Kontraindikasi
23. Interaksi obat

Berikut pembahasan untuk masing-masing kelengkapan persyaratan

pada resep:

1. Kelengkapan Persyaratan Administrasi

Dari hasil analisis pada 295 sampel resep maka didapatkan

secara umum persyaratan adimistrasi resep di RS X sudah cukup.

Ada 96 resep yang tak memilki keterangan jenis kelamin, rata-rata

yang tak memiliki keterangan itu adalah pasien anak-anak. Peada

penelitian sebelumnya yang dilakukan di RS Fatmawati pada tahun

2013 juga ditemukan banyak yang tidak mencatumkan jenis kelamin

pasien yaitu sebanyak 249 resep dari 325 resep yang dianalisis atau

sekitar 96% (Susanti, 2015).

Keterangan tinggi badan dan berat badan pasien paling

rendah yaitu 25,94% dan 23,73%. Berdasarkan hasil analisis resep

yang menggunakan keterangan tinggi badan dan berat badan hanya

untuk pasien anak-anak. Hal ini juga sama dengan penelitian

sebelumnya yang menyebutkan tidak adanya keterangan berat badan

dan tinggi badan pasien pada 287 resep dari 325 resep yang diteliti

atau sekitar 88% (Susanti, 2015). Berdasarkan PMK No.58 Tahun

2014 memang tidak disebutkan secara jelas keterangan tinggi badan

dan berat badan digunakan untuk ketentuan pasien seperti apa.

111
Namun, berdasarkan saran WHO pada Guidliness to Good

Prescribing tidak disebutkan adanya berat badan dan tinggi badan

pasien pasien pada resep. Sedangkan menurut Medical Council of

New Zeland (MCNZ) keadaan disik pasien seperti berat badan dan

tinggi badan harus dicantumkan dalam resep untuk menghindari

kesalahan terapi (MCNZ, 2016).

Selain itu jumlah resep yang lengkap memuat umur pasien

hanya 67,46%. Dari hasil analisis resep yang memuat umur pasien

hanya pada pasien dengan umur tua dan anak-anak. Informasi terkait

umur memang menjadi standar dari PMK No.58 Tahun 2014 dan di

RS X sendiri, namun sebenarnya berdasarkan saran WHO pada

Guidliness to Good Prescribing, umur dicantumkan hanya terutama

bagi pasien anak-anak dan orang tua.

Menurut Guidelines for Good Prescribing in Primary Care

yang dikeluarkan oleh Lancashire Medicines Management Group di

Inggris keterangan umur, berat badan, dan tinggi pasien penting

dicantumkan memang hanya untuk pasien anak-anak karena

berhubungan dengan perhitungan dosis dan terapi (Davey, 2016)

Sedangkan tanggal resep dan asal ruangan banyak yang luput

dan tidak diisi terutama pada resep rawat jalan. Jumlah yang tidak

ada tanggal resep yaitu 85 resep dan yang tidak ada asal ruangan ada

96 resep. Berdasarkan penelitian sebelumnya di RS Fatmawati dari

325 resep ada 52 resep yang tak memiliki tanggap peresepan

112
(Susanti, 2013). Padahal menurut Guidelines for Good Prescribing in

Primary Care tanggal resep harus ditulis secara lengkap agar jelas

kapan dan dari mana datangnya resep jika diperiksa kemudian hari.

(Davey, 2016).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Harjono dan Nuraini

Farida (1999) dalam Rahmawati (2002) menunjukkan adanya

berbagai penyimpangan dalam hal penulisan resep, misalnya

penulisan resep yang tidak lengkap (resep tanpa tanggal, tanpa paraf

dokter, tidak mencantumkan permintaan bentuk sediaan) serta

penulisan resep yang tidak jelas maupun sukar dibaca baik

menyangkut nama, kekuatan dan jumlah obat, bentuk, sediaan

maupun aturan pakai.

Menurut Michelle R. Colien kegagalan komunikasi dan salah

interpretasi antara petugas kesehatan merupakan salah satu faktor

penyebab timbulnya kesalahan obat (medication error) yang bisa

berakibat fatal bagi penderita (Cohen, 2007).

Hal ini juga dikemukan WHO, komunikasi antar penulis dan

pembaca resep haruslah baik. Jika ada yang tak jelas maka pembaca

resep wajib melakukan konfirmasi pada penulis resep, inilah

mengapa nama, alama, dan nomor telepon penulis resep menjadi

penting, agar petugas dapat melakukan konfirmasi dengan mudah.

Dalam kasus RS X asal ruangan juga menjadi salah satu

unsur penting dalam melakukan konfirmasi. Seharusnya RS X dapat

113
melakukan konfirmasi dengan mudah jika ada ketidakjelasan dengan

menelepon nomor ruangan atau langsung pada dokter. Di RS X pun

kode nomor telepon dokter sudah diatur dengan mudah dan

semuanya tersambung ke pusat informasi sehingga harusnya RS X

melakukan konfirmasi dengan mudah.

2. Kelengkapan Persyaratan Farmasetik

Sedangkan untuk persyaratan farmasetik resep sudah baik

karena kelengkapan rata-rata di atas 80% meski yang diharapkan

adalah 100%. Dokter di RS X kebanyakan sudah menulis dengan

lengkap terkait terapi yang harus diberikan kepada pasien. Semua

dokter telah menulis nama obat, terlepas dari jelas atau tidaknya

tulisan. Sedangkan, pada persyaratan bentuk obat sirup, tablet, atau

puyer lengkap sebesar 90.17%, kekuatan sediaan 89,83%, dosis

hanya ada dua obat yang taj tertera sehingga kelengkapannya

99,32%, jumlah obat 98,98%, dan aturan serta cara penggunaan

hanya sebesar 87,78%.

Tidak adanya bentuk sediaan obat ini merugikan pasien

karena pemilihan bentuk sedian disesuaikan dengan kondisi tubuh

pasien. Selain itu konsentrasi atau kekuatan obat yangtak tercantum

juga bisa berbahaya karena berpengaruh pada hasil terapi yang akan

dijalani, jika konsentrasi obat lebih kecil dari kebutuhan maka terapi

yang dijalani tidak tercapai, namun jika dosis obat yang diberikan

114
lebih tinggi maka sangat berbahaya bahkan bisa menimbulkan

kematian karena kesalahan pemberian (Susanti, 2013).

Sedangkan menurut WHO kekuatan obat menunjukkan

berapa miligram setiap tablet, supositoria, atau mililiter cairan harus

mengandung zat tertentu. Singkatan yang diterima secara

internasional adalah g untuk gram, ml untuk mililiter. Penulisan

angka desimal harus dihindari, jika perlu, menulis kata-kata penuh

untuk menghindari kesalahpahaman. Misalnya, menulis Levotiroksin

50 mikrogram, bukan 0.050 miligram atau 50 ug. Tulisan tangan

resep yang buruk dapat menyebabkan kesalahan (WHO, 1994).

Sedangkan untuk stabilitas obat memang tidak banyak diteliti

pada penelitian kelengkapan resep sebelumnya. Dalam buku panduan

WHO pun tak disebutkan adanya stabilitas obat dalam resep, namun

perlu diketahui oleh apoteker dan dokter demi memberikan terapi

yang tepat untuk pasien.

3. Kelengkapan Persyaratan Klinis

Berdasarkan sample yang diambil kelengkapan persyaratan klinis

pada resep di RS X masih kurang. Hanya waktu penggunaan yang

jumlahnya di atas 90% yakni 97.97%. Sedangkan untuk indikasi hanya

sebesar 47,12%. Begitu juga untuk reaksi alergi hanya sebesar 27.12%,

padahal sudah ada kolom dalam form resep yang harus diisi oleh dokter

terkait ada atau tidaknya alergi pada pasien.

115
Pertimbangan klinis dalam resep di antaranya adanya alergi, efek

samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain)/

Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada

dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif

seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan

(Hartini dan Sulasmono, 2007) dalam (Apriliani, 2010).

Persyaratan klinis yang menjadi pertimbangan tentang indikasi,

kontraindikasi, dan waktu penggunaan memang tak disebutkan secara

tegas harus ada dalam resep namun secara tegas harus diketahui oleh

pasien . Hal ini dikarenakan banyak pula pasien yang tak patuh

menjalankan terapi jika tak diberi peringatan terkait persyaratan klinis

tersebut, kebanyak terjadi pada pasien dengan keluhan tidak begitu serius

(WHO, 1994).

Kejadian kesalahan obat bisa terjadi pada tahap peresepan.

Medicaton error dapat terjadi pada tahap peresepan (precribing),

penyiapan (dispensing), dan pemberian obat (drug administrastion).

Kesalahan pada salah satu tahap dapat menimbulkan kesalahan pada

tahap selanjutnya. Kejadian kesalahan obat (medication error) terkait

dengan praktisi, produk obat, prosedur, lingkungan atau sistem yang

melibatkan peresepan (prescibing), penyiapan (dispensing), dan

administrasi (administration) (Tajuddin, et al. 2012).

Kesalahan meresepkan dan kesalahan resep merupakan masalah

utama di antara kesalahan pengobatan. Proses peresepan ini terjadi baik

116
di rumah sakit umum maupun di rumah sakit khusus, meski pun

kesalahan jarang terjadi fatal namun dapat mempengaruhi keselamatan

pasien dan kualitas kesehatan (Velo, 2009).

Kebanyakan yang sulit dilakukan dan sering keliru adalah

pembacaan resep. Petugas mengaku sering menerima resep tidak jelas.

Seharusnya ketika tidak jelas petugas langsung mengkonfirmasi ulang

pada dokter, namun berdasarkan hasil observasi banyak ditemukan

bahwa petugas hanya mengkonfirmasi dengan sesama petugas saja.

Selain itu, di outlet rawat inap dan rawat jalan semua petugas

TTK dan apoteker setiap harinya tidak memiliki pekerjaan yang tetap.

Semunya bergantiaan ssecara acak dan tidak ada yang fokus dengan satu

pekerjaan misalnya hanya mengemas obat, hanya melakukan entry resep.

Hal ini menyebabkan tempat di outlet rawat inap tak sesuai alur kerja.

6.3.2 Analisis Rekonsiliasi Obat di RS X

Pada penelitian sebelumnya pelaksanaan rekonsiliasi obat di

beberapa rumah sakit hampir sama dengan pelaksanaan penelusuran riwayat

penggunaan obat. Tujuan dari Rekonsiliasi obat adalah memastikan

informasi yang akurat tentang obat, mengidentifikasi ketidaksesuaian

informasi obat dari dokter. Tercatat dua rumah sakit yang diteliti melakukan

rekosnsiliasi obat telah sesuai dengan teori yang ada, yaitu dengan cara

menanyakan kepada pasien, apakah pasien membawa obat dari rumah

kemudian membandingkan dengan pengobatan di rumah sakit. Jika pasien

117
membawa obat dari rumah, maka obat-obatan tersebut diperiksa

kelayakannya, apakah telah sesuai dengan penyakit yang diderita pasien.

Jika terjadi ketidaksesuain maka Apoteker akan menghubungi dokter yang

menangani pasien tersebut. Sedangkan satu rumah sakit lainnya belum

melakuakan kegiatan ini dikarenakan kurangnya jumlah tenaga kerja yang

ada di rumah sakit (Indah dan Utami, 2016).

Berdasarkan Permenkes RI No.58 tahun 2014 rekonsiliasi obat

dilakukan dengan cara pengumpulan data, komparasi dan konfirmasi

informasi dari dokter. Sama halnya dengan penelitian sebelumya di RS X

pun proses rekonsiliasi obat hampir sama dengan penelusuran riwayat obat.

Proses rekonsiliasi obat di RS X dilakukan dengan membandingkan

instruksi pengobatan dari dokter dengan obat yang telah didapat pasien oleh

apoteker. Biasanya kegiatan ini dlakukan saat proses UDD dilakukan untuk

pasien rawat inap dan sebelum penyerahan obat kepada pasien untuk rawat

jalan.

Proses rekonsiliasi sudah berjalan sesuai standar yaitu dengan

pengumpulan data dari rekam medis, dokter penanggung jawab, serta

komunikasi langsung dengan pasien. Lalu semua data itu dikomparasikan.

Komunikasi yang dilakukan apoteker dengan tenaga kesehatan lain pun

sudah baik. Seperti yang ada pada PMK No.58 Tahun 2014, apoteker segera

melakukan konfirmasi jika ada yang tidak jelas pada proses komparasi data.

Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatkan bahwa

apoteker cenderung mau melakukan rekonsiliasi obat. Apoteker mau bekerja

118
melakukan rekonsiliasi obat sesuai dengan aturan yang ada (Setiawan, et al.

2015)

Rekonsiliasi di RS X pun sudah berjalan cukup baik. Semua catatan

pasien didokumentasikan dan dicocokan, sehingga mudah ketika terjadi

pertukaran ruangan dan pertukaran RS.

6.3.3 Analisis Pelayanan Informasi Obat di RS X

Kegiatan Pelayanan Informasi Obat (PIO) menurut PMK No.58

Tahun 2014 adalah kegiatan yang meliputi tanya jawab mengenai

informasi obat tidak hanya kepada pasien tetapi terhadap tenaga kesehatan

lainnya, menerbitkan bulletin, melakukan penelitian, memberikan

pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kerja kefarmasian ataupun tenaga

kesehatan lainnya.

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah

dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini sekurang-

kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka

waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus

dihindari selama terapi (Dirjen Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan,

2006).

Kepatuhan pasien terhadap pengobatan dapat ditingkatkan dengan

tiga cara yaitu, pemilihan terapi obat yang baik. menciptakan hubungan

dokter-pasien yang baik, atau meluangkan waktu untuk memberikan

119
informasi yang diperlukan, seperti petunjuk dan peringatan. Terapi obat

yang baik terdiri dari sedikitnya obat yang diresepkan, dengan tindakan

cepat, sedikit efek samping sesedikit mungkin, dalam bentuk sediaan yang

tepat, jadwal dosis sederhana (satu atau dua kali sehari), dan durasi

pengobatan sesingkat mungkin (WHO, 1994).

Kegiatan Pelayanan Informasi Obat (PIO) yang dilakukan di RS X

meliputi menjawab setiap pertanyaan pasien terkait obat, pemberian

informasi obat pada pasien pulang untuk rawat inap, penjelasan informasi

obat pada pasien rawat jalan saat peyerahan obat, pembuatan leaflet, dan

pembuatan buku saku fomalium.

Namun, RS X belum sepenuhnya melaksanakan PIO untuk tenaga

kesehatannya. Informasi obat di RS X hanya diberikan lewat formularium

dan beberapa tambahan dari kemasan obat. Apoteker belum secara berkala

melakukan PIO kepada tenaga kesehatan lain seperti perawat dan dokter.

Ruang lingkup penelitian dan memberikan pendidikan berkelanjutan bagi

tenaganya dalam PIO yang seharusnya dilakukan untuk menambah

informasi pun belum dilakukan oleh RS X. Pengetahuan tenaga kesehatan

hanya dilakukan jika RS X membutuhkan orang untuk dikirim ke sebuah

pelatihan tertentu untuk menguasai suatu skill.

Hal itu tak sesuai dengan kegiatan PIO yang seharusnya pada PMK

No. 58 Tahun 2014 serta ruang lingkup PIO pada Pedoman Informasi Obat

di Rumah Sakit yang telah terbit tahun 2006.

120
Pada penelitian sebelumnya beberapa rumah skait melakukan PIO

dengan beberapa cara, yang pertama yaitu pelayanan informasi obat yang

diberikan kepada pasien seperti KIE, yang kedua pelaksanaan informasi

kesehatan bagi masyarakat seperti penyulahan kepada masyarakat, di mana

apoteker terlibat dalam kegiatan penyuluhan (Indah dan Utami, 2016)

PIO di dua rumah sakit yang diteliti di lakukan pada saat penyerahan

obat kepada pasien, seperti cara penggunaan obat, lama penggunaan obat

serta penyimpanan obat. Dari keempat rumah sakit yang termasuk

kedalam penelitian, yang medekati dengan teori yang ada hanya satu

rumah sakit. Hal ini rata-rata disebabkan karena kurangnya SDM dalam

melakukan PIO (Indah dan Utami 2016). Begitu juga di RS X tidak

memiliki petugas PIO khusus serta sarana PIO seperti ruangan khusus pun

tidak ada.

Selama dilakukan PIO pada pasein di RS X komunikasi apoteker di

ruang rawat inap sudah cukup baik. Apoteker menjalesakan secara rinci

semua hal terkait obat kepada pasien. Pasien juga diberi lembar informasi

obat yang bisa dibaca ulang di rumah. Sedangkan untuk rawat jalan waktu

pemberitahuan tentang obat hanya sebentar, apalagi ketika sedang antri.

Pasien tidak sempat bertanya dan petugas menjadi terburu-buru

memberikan penjelasan. Hal ini karena yang melakukan PIO adalah

petugas yang menyerahkan obat kepada pasien.

121
PIO yang efektif pada pasien dapat mengurangi ketidapatuhan pasien

dalam menggunakan obat. Pasien membutuhkan informasi, petunjuk dan

peringatan agar mereka memiliki pengetahuan untuk menerima dan

mengikuti pengobatan serta mendapat keterampilan yang diperlukan untuk

menggunkaa obat dengan tepat. Dalam beberapa studi, kurang dari 60%

pasien telah memahami bagaimana menggunakan obat yang mereka

terima. Informasi harus diberikan yang jelas, menggunakan bahasa umum

dan meminta pasien untuk mengulang kata-kata yang diucapkan petugas

oleh dirinya sendiri terkait beberapa informasi inti, untuk memastikan

bahwa infromasi terlah dipahami (WHO, 1994).

6.3.4 Analisis Konseling di RS X

Konseling pada PMK No. 58 Tahun 2014 obat adalah suatu aktivitas

pemberian nasihat atau saran terkait terapi obat dari apoteker (konselor)

kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan

maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas

inisitatif apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya.

Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien

dan/atau keluarga terhadap Apoteker. Pemberian konseling obat bertujuan

untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi obat yang

tidak dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang

pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan Obat bagi pasien

(patient safety).

122
Secara khusus konseling juga dapat mengurangi jumlah pasien yang

tidak patuh dalam terapi obat. Rata-rata, 50% pasien tidak menggunakan

obat yang diresepkan dengan benar, membawa meminumnya secara tidak

teratur, atau tidak sama sekali. Alasan yang paling umum adalah karena

gejala telah berhenti, efek samping yang terjadi, obat dianggap tidak

efektif, atau jadwal dosis rumit bagi pasien, terutama orang tua. Pasien

yang tidak patuh terhadap pengobatan mungkin tidak memiliki

konsekuensi serius. Misalnya, dosis teratur thiazide masih memberikan

hasil yang sama, sebagai obat memiliki paruh panjang dan kurva dosis-

respons yang datar. Tetapi obat dengan waktu paruh pendek (misalnya

fenytoin) atau margin terapeutik yang sempit (misalnya teofilin) dapat

menjadi tidak efektif atau beracun jika diminum secara tidak teratur

(WHO, 1994).

Namun, sayangnya konseling belum dilakukan dengan maksimal di

RS X hal ini disebabkan SDM yang kurang. Apoteker di RS X tak cukup

untuk memenuhi tugas jika harus ada konseling rutin. Maka, konseling

dilakukan hanya berdasarkan permintaan. Sedangkan, permintaan dari

pasien sendiri jarang terjadi karena pasien banyak yang tak mengetahui

akan harus adanya konseling dengan apoteker terkait terapi obat yang

sedang digunakan.

Pada penelitian sebelumnya dari 4 rumah sakit yang diteiti 3 di

antarnya melakukan konseling dengan cara apoteker memberikan

penejelasan bagaimana cara penggunaan obat. Apoteker memberikan

123
konsultasi kepada pasien dan didokumentasikan pada buku konsultasi

obat, tanpa blanko tertulis dari pasien. Sesuai PMK No.58 Tahun 2014

hasil konseling sebaiknya didokumentasikan pada buku konsultasi obat

agar tidak terjadi kesalahan pada pengobatan berikutnya. Konseling di

satu rumah lainnya belum dilakukan secara baik, konseling yang dilakukan

hanya memberikan informasi singkat mengenai cara penggunaan obat,

efek samping obat dan fungsi dari obat itu sendir dikarenakan jumlah dari

tenaga kerja di rumah sakit yang masih kurang. (Indah dan Utami 2016).

Kegiatan konseling memang seharusnya penting dilakukan terutama

untuk pasien dnegan penggunaaan obat berkelanjutan dan jangka panjang,

Hal ini tercantum pada PMK No.58 Tahun 2014. Konseling juga penting

untuk mengurangi angka risiko kesalahan pengobatan (WHO, 2014) dan (

(ASHP 2013). Hal ini disebabkan karena konseling dapat meningkatn

kepatuhan pasien dalam penggunaan obat (Muliawan, 2008).

6.3.5 Analisis Visite di RS X

Berdasarkan PMK No.58 Tahun 2014 visite merupakan kegiatan

kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan apoteker secara mandiri

atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien

secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat

dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD), meningkatkan terapi

obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien

serta profesional kesehatan lainnya.

124
Namun, di RS X visite belum dilakukan maksimal karena apoteker

baru mengunjungi ruangan sehari sekali tapa rutin memberi konsultasi

atau memantau per pasien langsung hanya dari catatan perawat.

Berdasarkan penelitian sebelumnya di Rumah sakit PKU Muhammadiyah

Yogyakarta visite hanya dilakukan di beberapa bangsal saja, belum

kesemua bangsal. Rumah sakit PKU Muhammadiya Gamping visite hanya

dilakukan pada pasien rawat inap yang membutuhkan perhatian khusus,

untuk memantau terapi penggunaan obat serta efek samping dari obat yang

diguanakan contohnya penggunaan antibiotik. Kegiatan masih sebatas

pemantauan terapi obat, sampai dengan menentukan obat yang sesuai

untuk pasien, dan hanya sekedar memberikan saran kepada pasien

mengenai obat yang sesuai untuk pasien (Indah dan Utami 2016).

Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar rumah

sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program Rumah

Sakit yang biasa disebut dengan Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home

Pharmacy Care). Sebelum melakukan kegiatan visite apoteker harus

mempersiapkan diri dengan mengumpulkan informasi mengenai kondisi

pasien dan memeriksa terapi obat dari rekam medik atau sumber lain.

Dari hasil penelitian lain pun menunjukkan bahwa kesalahan

peresepan di ruang perawatan intensif masih banyak ditemukan sebelum

dilakukan pendampingan oleh apoteker saat visite dokter (78,89%).

Kegiatan pendampingan apoteker saat visite dokter efektif menurunkan

125
86% tingkat kesalahan peresepan yang ditemukan (11,31%). Jumlah

rekomendasi yang diberikan oleh apoteker berpengaruh signifikan

terhadap jumlah kesalahan peresepan di ruang perawatan intensif

(Turnodihardjo, Hakim, dan Kartikawatiningsi, 2016).

Visite apoteker bersama tenaga kesehatan lain sebenarnya sudah

menjadi kewajiban dalam kegiatan farmasi klinik. Namun, memang masih

banyak tenaga kesehatan yang tak bisa bekerjasama di lapangan, sehingga

kegiatan ini tak tercipta.

Beberapa studi menggambarkan sikap dokter terhadap peran

farmasi klinik khususnya pendampingan apoteker. Di Sudan, dokter

menjadi tidak nyaman dengan adanya apoteker yang merekomendasikan

peresepan obat untuk pasien meskipun jenis pengobatan tersebut untuk

penyakit minor. Sedangkan, di Jordan terdapat 63% dokter mengharapkan

apoteker untuk mengajari pasien mereka mengenai keamanan dan

ketepatan penggunaan obat. Di samping itu, sebagian dokter menyetujui

bahwa apoteker selalu dapat diandalkan sebagai sumber informasi obat

(Abu-Garbieh, et al., 2010).

Kegiatan ini memang tak dapat dilakukan RS X karena kurangnya

SDM. Namun, seharusnya RS X mampu menciptakan kerjasama antar

petugas kesehatan untuk melakukan kegiatan ini. Setidaknya, perlu ada

apoteker dan beberapa tenaga kesehatan lain yang rutin mengecek keadaan

126
terapi obat pasien terutama untuk pasien dengan obat jangka panjang dan

kompleks.

6.3.6 Analisis Pemantauan Terapi Obat di RS X

Pemantauan terapi obat merupakan salah satu kegiatan farmasi

klinik yang sudah banyak dilakukan di beberapa rumah sakit, hanya saja

pelaksanaan ini belum dilakukan secara sempurna dan belum sesuai

dengan aturan yang ada. Tatalaksana pemantauan terapi obat di Rumah

Sakit yang baik dan benar adalah dimulai dari seleksi pasien,

pengumpulan data pasien, identifikasi masalah terkait obat, rekomendasi

terapi dan rencana pemantauan (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan

2009).

Apoteker biasanya memantau dan memeriksa pasien yang diberi

obat lima jenis atau lebih. Namun pemantauan baru berupa vek interaksi

obat. Itu pun jika obat yang diberikan banyak, hal ini dikarenakan tak

cukup waktu untuk mengecek semua interaksi dalam resep.

Hal yang sama dilakukan pada penelitian sebelumnya yang

menyebutkan dari 4 rumah sakit kegiatan PTO hanya dilakukan pada

pasien tertentu dengan kebutuhan obat khusus seperti TB. Sedangkan

untuk keseluruhan pasien belum dilakukan (Dirjen Bina Farmasi dan Alat

Kesehatan, 2009). Sedangkan menurut PMK No.58 Tahun 2014,

pemantauan adalah termasuk kegiatan memantau efektivitas terapi yang

diberikan kepada pasien. Hal ini belum dilakukan maksimal dan berkala

127
secara khusus. Pemantauan terapi obat juga penting dilakukan untuk

melihat efektifitas obat yang diberikan.

Melakukan pemantauan terapi dapat mengurangi risiko tejadinya

kesalahan terapi (ASHP, 2013). Hal ini tentu akkan efktif menurunkan

angkat kejadian kesalahan obat bila PTO dapat dilakukan secara

komperhensif.

6.3.7 Analisis Monitoring Efek Samping Obat (MESO) di RS X

Monitoring efek samping obat yang benar adalah dicatat pada

lembar MESO yang kemudian akan ditandatangani oleh dokter, kemudian

akan dikirimkan secara ke pusat MESO Indonesia, yaitu Badan Pengawas

Obat dan Makanan (BPOM) di Jakarta (Indah dan Utami, 2016).

Sedangkan kegiatan monitoring efek samping obat di RS X baru

dilakukan ketika ada efek samping obat terjadi pada pasien. Idetifikasi

biasanya dilakukan jika apoteker atau tenaga kesehatan lain menemukan

kemungkinana efek samping obat. Analisis kemudian dilakukan apoteker

dan ditelusuri apakah benar hal yang terjadi pada pasien itu efek samping

obat atau bukan.

Jika terbukti itu merupakan efek samping obat, maka apoteker akan

mengkomunikasikan pada dokter untuk melakukan tindakan yaitu

menghentikan permanen atau menghentikan sementara terapi obat yang

diberikan.

128
Padahal, banyak bukti menunjukkan bahwa sebenarnya efek

samping obat (ESO) dapat dicegah, dengan pengetahuan yang bertambah,

yang diperoleh dari kegiatan pemantauan aspek keamanan obat pasca

pemasaran (atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah

farmakovigilans. Sehingga, kegiatan ini menjadi salah satu komponen

penting dalam sistem regulasi obat, praktik klinik dan kesehatan masyarakat

secara umum (BPOM RI, 2012)

Seharusnya rumah sakit melakukan kegiatan ini untuk dapat

mencegah sedini mungkin kemungkinan efek samping obat yang

ditimbulkan. Hal ini pun lebih baik dievaluasi berkala sehingga laporan

untuk BPOM nantinya akan lebih lengkap dan akurat.

6.3.8 Analisis Dispensing Sediaan Steril di RS X

Pencampuran sediaan steril merupakan rangkaian perubahan bentuk

obat dari kondisi semula menjadi produk baru dengan proses pelarutan atau

penambahan bahan lain yang dilakukan secara aseptis oleh apoteker di

sarana pelayanan kesehatan (ASHP, 1985) dalam (Dirjen Bina Farmasi dan

Alat Kesehatan, 2009).

Aseptis berarti bebas mikroorganisme. Teknik aseptis didefinisikan

sebagai prosedur kerja yang meminimalisir kontaminan mikroorganisme

dan dapat mengurangi risiko paparan terhadap petugas. Kontaminan

kemungkinan terbawa ke dalam daerah aseptis dari alat kesehatan, sediaan

obat, atau petugas jadi penting untuk mengontrol faktor-faktor ini selama

129
proses pengerjaan produk aseptis (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan

2009).

Ruang dispensing sediaan steril memang sudah tersedia di RS X

namun pemakaianya belum maksimal. Kendalanya ada pada petugas yang

kurang untuk berjaga di sana. Selain itu, masih ada petugas yang mencampu

obat suntik di dalam outlet rawat inap tidak di dalam ruang yang tersedia.

Padahal pencampuran sediaan steril harus memperhatikan

perlindungan produk dari kontaminasi mikroorganisme; sedangkan untuk

penanganan sediaan sitostatika selain kontaminasi juga memperhatikan

perlindungan terhadap petugas, produk dan lingkungan (Dirjen Bina

Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009).

RS X pun telah memiliki SPO tersendiri terkait pencampuran obat

suntik. Sosialisasi dan pemberitahuan SPO juga sudah dilakukan. Namun,

masih ada petugas yang bandel karena ruang dispensing sediaan steril dan

depo rawat inap cukup jauh sehingga petugas yang terburu-buru waktu

mengambil jalan pintas. Hal ini sebenarnya sangat berbahaya jika dilakukan

terus menerus dan banyak petugas karena bisa menimbulkan infeksi

nosokomial. Harus ada supervisor tersendiri terkait dispensing sediaan steril

ini.

6.4 Analisis Pencapaian Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik

Berdasarkan PMK No.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan

Farmasi Rumah Sakit, pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan

langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan

130
outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena

Obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup

pasien (quality of life) terjamin. Maka kejadian kesalahan obat menurut

Kepmenkes no. 129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM)

tidak boleh terjadi.

Di RS X laporan kejadian kesalahan obat memang masih ada, baik

untuk kejadian yang sudah terjadi ataupun potensi kejadian. Hal ini,

dilaporkan oleh petugas pada petugas keselamatan pasien. Rata-rata yang

laporan yang masuk adalah tak terbacanya resep dengan jelas. Berdasarkan

PMK No.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit,

pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan

apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan

meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan

keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of

life) terjamin. Maka kejadian kesalahan obat menurut Kepmenkes no. 129

tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) tidak boleh terjadi.

Sedangkan kegiatan pelayanan farmasi klinik yang belum dilakukan

RS X adalah konseling, visite, evaluasi penggunaan obat dan pemantauan

kadar obat dalam darah. Konseling belum dilakukan saat ini karena di RS X

masih kekurangan SDM. SDM yang ada sudah habis untuk pelayanan dan

pengkajian resep. Sedangkan untuk petugas konseling khusus belum ada.

Namun, RS X tetap terbuka dengan segala pertanyaan dari pasien.

131
Padahal, keberhasilan suatu pengobatan tidak hanya dipengaruhi oleh

kualitas pelayanan, tetapi dipengaruhi pula oleh perilaku pasien

(Muliawan,2008). Salah satu upaya untuk meningkatkan kepatuhan pasien

adalah dengan cara konseling (Depkes RI, 2008). Menurut PMK No.58 tahun

2014 tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit, pun konseling perlu

dilakukan terutama bagi pasien denga kondisi khusus, pasien dengan

pengobatan jangka panjang, pasien yang menggunakan obat khusus serta

yang memakai banyak obat. Hal ini juga seharusnya sebagai salah satu usaha

dalam mencegah reaksi obat yang tidak diinginkan.

Visite juga belum diilakukan karena di RS X belum ada kerjasama

antar apoteker dan berbagai tenaga medis lain untuk melakukan penyuluhan

terkait obat kepada pasien. SDM di RS X juga kembali menjadi hambatan

untuk dilaksanakannya visite, karena saat ini apoteker hanya berfokus pad

apemberian informasi obat pada pasien. Meski begitu, sebenarnya setiap

apoteker sudah diberi tanggung jawab satu ruangan untuk dilakukan

pengecekan setiap ahri sekali untuk mencegah terjadinya efek samping obat

dan mencatat apakah terjadi interaksi atau efek samping pada terapi yang

diberikan. Visite memang pelayanan yag paling jarang dilakukan oleh rumah

sakit, dikarenakan kurangnya tenaga kerja yang berkompeten untuk melakukan

kegiatan ini di rumah sakit. Visite dapat dilakukan secara mandiri oleh apoteker

atau dilakukan secara tim dengan tenaga kesehatan lain (Kemenkes RI,2011).

RS X juga belum melakukan evaluasi penggunaan obat secara

keseluruhan, baerdasarkan hasil wawancara evaluasi penggunaan obat pernah

132
dilakukan hanya untuk obat-obat tertentu dan dilakukan biasanya oleh

mahasiswa yang sedang melakukan penelitian. Padahal menurut kemenkes

melakukan evaluasi penggunaan obat adalah untuk memastikan penggunaan obat

secara rasional pada pasien, terutama penggunaan antibiotik (Siregar,2014).

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian sebelumnya yang juga menyebutkan

evaluasi penggunaan obat belum dilakukan (Restriyani, 2016).

Pemantauan kadar obat dalam darah juga belum dilakukan di RS X

karena belum memiliki alat yang menunjang untuk melakukan kegiatan ini.

Padahal, pentingnya melakukan pemantauan kadar obat dalam darah adalah

untuk memastikan pemberian obat yang optimal berdasarkan konsentrasi

target, sehingga dengan demikian penyesuaian dosis dapat dilakukan

(Usman,2007).

133
BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka didapatkan simpulan

bahwa RS X belum sepenuhnya menjalankan semua kegiatan farmasi

klinis yang terdapat pada PMK No.58 Tahun 2014 tentang Standar

Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Ada pun rinciannya berdasarkan

pendekatan sistem sebagai berikut:

1. Pada pelayanan farmasi klinis di RS X yang menjadi kendala

dalam input adalah SDM yang kurang memadai yaitu total jumlah

tenaga kefarmasian hanya 63 dengan jumlah apoteker 7 orang

sedangkan resep yang masuk per hari bisa 800-900 resep. Selain

itu, pada sarana RS X juga belum menerapkan sistem electronic

prescribing dalam meminimalisir kesalahan peresepan. Sedangkan

kebijakan di RS X sudah ada 96 SOP, namun masih ada beberapa

pelanggaran karena kurangnya monitoring.

2. Berdasarkan proses maka gambaran pelayanan farmasi klinis di RS

X adalah sebagai berikut:

a. Pada proses pengkajian dan pelayanan resep masih banyak

ditemukan resep yang tidak lengkap baik secara administrasi,

farmasetik, maupun klinis. Kelengkapan persyaratan

administrasi mencapai 71.33%, kelengkapan persyaratan

134
farmasetik 81%, dan kelengkapan persyaratan klinis 34.44% .

Permasalahan banyak terjadi saat pembacaan resep yang tidak

jelas dan tidak lengkap.

b. Kegiatan rekonsiliasi obat di RS X sudah berjalan dengan baik.

Apoteker selalu mencocokan dengan catatan pperawat dan

rekam medis pasien mengenai terapi obat.

c. Kegiatan Pelayanan Informasi Obat (PIO) di RS X baru sebatas

pada saat penyerahan obat kepada pasien rawat jalan dan rawat

inap pada saat pasien akan pulang. Media PIO ynag digunakan

baru leafleat. Sedangkan untuk informasi obat bagi pegawai

dibuat formalium RS X. Pada pemberian PIO sering kurang

maksimal saat penyerahan di rawat jalan karena waktu yang

singkat dan pasien yang banyak.

d. Kegiatan Pemantauan Terapi Obat (PTO) di RS X sudah

dilakukan namun baru dilakukan pada pasien dengan terapi

lebih dari lima obat. Karena jika dilakukan semua SDM yang

ada tidak cukup.

e. Kegiatan Monitoring Efek Samping Obat (MESO) telah

dilakukan namun tidak berkala, baru bersifat responsif jika ada

kejadian. RS X belum proaktif melakukan MESO jika belum

ada kejadian pasien yang terkena efek samping obat.

f. Kegiatan dispensing sediaan steril di RS X hanya berupa

pencampuran obat suntik karena di RS X tidak memiliki alat

135
yang memadai untuk pencampuran obat khusus lainnya.

Ditemukan juga, masih ada pegawai yang melakukan

pencampuran steril tidak di ruang steril, sehingga ini

membahayakan.

3. Dari 11 kegiatan pelayanan farmasi klinik, RS X melaksanakan 7

kegiatan. Pelayanan farmasi klinik di RS X yang dilaksanakan

terdiri dari pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat

penggunaan obat, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat,

pemantauan terapi obat, monitoring efek samping obat, dan

dispensing sediaan steril. Sedangkan yang belum dilakukan adalah,

konseling, visite, evaluasi penggunaan obat, dan pemantauan kadar

obat dalam darah.

7.1 Saran

1. Bagi Rumah Sakit

a. Melakukan upaya pemenuhan seluruh kegiatan farmasi

klinik sesuai PMK No. 58 tahun 2014. Dengan membuat

standar berupa petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan

sesuai dengan kemampuan rumah sakit.

b. Dikembangkannya kerjasama antar tenaga kesehatan

dengan membuat form yang harus diisi semua tenaga

kesehatan untuk memantau efektifitas terapi obat pasien

yang nantinya bisa dibaca baik oleh apoteker, dokter, dan

perawat.

136
c. Menyiapkan SDM untuk konseling dan PIO secara khusus

untuk pasien.

d. Dikembangkannya metode electronic prescribing untuk

mengurangi kesalahan pembacaan resep

e. Mengganti sistem pekerjaan yang awalnya TTK dan

apoteker mobile setiap harinya menjadi memiliki pekerjaan

tetap setiap harinya dan dilakukan rolling bisa dalam

seminggu sekali.

2. Bagi Penelitian Selanjutnya

a. Dilakukan penelitian lebih mendalam terkait hubungan

beban kerja apoteker di RS X dengan kemampuan dalam

melaksanakan semua kegiatan farmasi klinis sesuai dengan

PMK No.58 Tahun 2014

b. Dilakukan penelitian terkait analisis kebijakan PMK No. 58

Tahun 2014 di beberapa rumah sakit.

137
DAFTAR PUSTAKA

Abu-Ghrabieh, Eman, Fahmy, Sahar, et al. 2010. ―Attitudes and Perceptions of


Healthcare Providers and Medical Students Toward Clinical Pharmacy
Services in United Arab Emirates,‖ Tropical Journal of Pharmaceutical
Research. 421-430

Aditama, T.Y.2002. Manajemen Administrasi Rumah Sakit (ed kedua). Jakarta:


Penerbit Universitas Indonesia.
American Collage of Clinical Pharmacy (ACCP). 2008. The Definition of Cliical
Pharmacy. Pharmacoteraphy. Vol.28. No.6
American Pharmaceutical Association.1995. Apha Princple of Practice for
Pharmaceutical Care. Washington DC : American Pharmaceutical
Association.

American Hospital Asociation. 2016. Improving Medication Safety. 12 Agustus.


http://www.aha.org/advocacy-issues/tools-resources/advisory/96-
06/991207-quality-adv.shtml.
ASHP. 2013. ―ASHP Guidelines: Minimum Standard for Pharmacies in
Hospitals.‖ In Practice Settings: Guidliness, 519-528. America: ASHP.
Arhayani. 2007. Perencanaan dan Penyiapan Pelayanan Konseling Obat Serta
Pengkajian Resep Bagi Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Imanuel
Bandung. http//www.ITBcentralibrary.ac.id . (diakses pada 5 Januari
2017)
Apriliani, Sandy Ria. 2010. Studi Kelengkapan Resep Obat Untuk Pasien Anak
di Apotek Wilayah Kecamatan Kartasura Bulan Oktober - Desember
2008. Surakarta: UMS
Aslam, M., Tan, C. K., Prayitno, A. 2003. Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy),
Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta:
Elex Media Komputindo.
Badriah, Fase. 2015. Pengungkapan Kesalahan Medis: Disclossing Medical Error
fo Patient Safety Culture. Jakarta: UIN PRESS.
Bayang, Andi Thenry, Syahrir Pasinringi, and Sangkala. 2013. FAKTOR
PENYEBAB MEDICATION ERROR DI RSUD ANWAR MAKKATUTU
KABUPATEN BANTAENG. Makasar: FKM UNHAS.

138
BPOM. 2012. Pedoman Montoring Efek Samping Obat (MESO) Bagi Tenaga
Kesehatan. Jakarta: BPOM
Cahyono, Suharjo B. 2008. Membangun Budaya Keselamatan Pasien dalam
Praktik Kedokteran. Yogyakarta: Kanisisus.
CDC. 2016. CDC Guideline for Prescribing Opioids for Chronic Pain —
United States: CDC
Cohen, Michael. R. 2007. Medication Errors. Washington DC: American
Pharmacist Association
Colpaert, Kristen, Barbara Claus, Annemie Somers, Koenraad Vandewoude,
Hugo Robays, and Johan Decruyenaere. 2006. ―Impact of computerized
physician order entry on medication prescription errors in the intensive
care unit: a controlled cross-sectional trial.‖ Pubmed Central.
Cousins, David. 2011. Root Cuse Analysis In Context of WHO International
Calssification fo Patient Safety. UK: WHO.
Cousins, David, David Gerrett, and Bruce Warner. 2011. ―A review of medication
incidents reported to the National Reporting and Learning System in
England and Wales over 6 years (2005-2010).‖ British Journal of Clinical
Pharmacology 597-604.
David C. Classen, Roger Raesar, et all. 2011. ―Global Trigger Tool‖ shows That
Adverse Events in Hospitals Maybey Ten Times Greater Than Previously
Measured.‖ Heath Affairs 581-589.
Depkes RI. 2008. Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Keselamatan Pasein.
Jakarta: Depkes.
Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan. 2009. Pedoman Dasar Teknik Aseptis.
Jakarta: Depkes RI.
—. 2009. Pedoman Pemantauan Terapi Obat. Jakarta: Depkes RI.
—. 2011. Pedoman Vistie Apoteker. Jakarta: Kemenkes RI.
Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2007. Pedoman Konseling. Jakarta:
Depkes RI.
Dirjen Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan. 2006. Pedoman Pelayanan
Informasi Obat di Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI.
Elfiansih, Satifah, Qurotul Aini, and Sabtanti Harimurti. 2014. STUDI KASUS
MEDICATION ERRORS DI RUANG RAWAT INAP RSI Ngk. Yogyakarta:
UMY.

139
Ekowati, Heny, Adi P., Tunggul, Trisnowati, & Rahardjo, Budi. 2006. Pengaruh
visitasi farmasis terhadap potensi interaksi obat pada pasien lanjut usia
rawat inap di Bangsal Dahlia RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo.
Majalah Farmasi Indonesia, Vol. 17. No.4
Elfiansih, S., Aini, Q., & Harimurti, S. 2014. STUDI KASUS MEDICATION
ERRORS DI RUANG RAWAT INAP RSI Ngk. Yogyakarta: UMY.

FitzGerald, Richard J. 2009. ―Medication errors: the importance of an accurate


drug history.‖ Bristish of Journal Clinical Pharmacology 671-675.
Hidayat, Zaenuri S., Pirwonunggroho, Tunggul Adi, & Vera, Vitis Vini. 2014.

Analisis Persepsi dan Harapan Dokter Terhadap Peran Apoteker di


RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Suplemen Majalah
Kedokteran Andalah. Vol.37. No.1

Ikawati, Zullies. 2010. Farmaski Klinis Terbukti Tingkatkan Hasil Terapi pada

Pasien. (http://www.ugm.ac.id/id/berita/2133-
farmasi.klinis.terbukti.efektif.tingkatkan.hasil.terapi.pada.pasien diakses
pada 13 Januari 2017)

Indah, Wanti Nur, and Pinasti Utami. 2016. Profil Penerapan Farmasi Klinik di
Rumah Sakit Amal Usaha Milik Muhammadiyah di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yogyakarta: UMY.
Iskandar, Heru, Halimi Maksum, and Nafsah. 2014. ―Faktor Penyebab Penurunan
Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien Rumah Sakit.‖ Jurnal Kedokteran
Brawijaya, Vol. 28 Suplemen No. 1.
Keputusan Menteri Kesehatan No.129 tahun 2008 Tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit
Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027 tahun 2004 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit(KKP-RS). 2008. Pedoman Pelaporan
Insiden Keselamatan Pasien (IKP). Jakarta: Persi.

Kroening, Helen L., Bronwyn Kerr, James Bruce, and Iain Yardley. 2015.
―Patient Complaints as Predictors of PAtient Safety Incidents.‖ Patient
Experience Journal 94-1001.

140
Lapau, Buchari. 2013. Metode Penelitian Kesehatan: Metode Ilmiah Penulisan
Skripsi, Tesis dan Disertasi. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Medical Council of New Zealand (MCNZ). 2016. Good Prescribing Pratice.
New Zealand: MCNZ
Muliawan, B. T. 2008. Pelayanan Konseling Akann Meningkatkan Kepatuhan
Pasien pada Terapi Obat.
http://www.binfar.depkes.go.id/def_menu.ph.(diakses pada 9 Januari
2017).

Miles, Mathews B., A. Michael Huberman, and Johnny Saldana. 2014.


Qualitative Data Analysis: A Method Sourcebook. London: SAGE
Publication.
Muladi, Amik. 2012. ―Faktor – Faktor Penyebab Medication Errors.‖ Akademi
Keperawatan Tujuhbelas Karanganyar.
Mulyana, Sri Dede. 2013. Analisis Penyebab Insiden Keselamatan Pasien Oleh
Perawat di Unit Rwat Inap Rumah Sakit X Jakarta. Depok: UI.
Mustikawati, Yully Harta. 2011. Analisis Determinan Kejadian Nyaris Cedera
dan kejadian Tidak Diharapkan di Unit Perawatan Rumah Sakit Pondok
Indah Jakarta. Depok: UI.
National Coordinating Council for Medication Error Repoting and Prevention.
2016. Medication Error. 2 Agustus. http://www.nccmerp.org/about-
medication-errors.
Notoatmodjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Oncology Times. 2014. Study: Hospital Medical Errors Reduced by 30 Percent
with Improved Patient Handoffs. oncology-times.com.
Peraturan Menteri Kesehatan No.58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit
Phillips, David P, Nicholas Christenfeld, and Laura M Glynn. 1998. ―Increase in
US medication-error deaths between 1983 and 1993.‖ The Lancet 643-
644.
Rahmawati, Fita dan Oetari, R.A.2002.Kajian Penulisan Resep: Tijauan Aspek
Legalitas dan Kelengkapan Resep di Apotek-Apotek Kotamadya
Yogyakarta. Yoyakarta: Majalah Farmasi Indonesia
Restriyani, Mustika, dan Maziyyah, Nurul. 2016. Persepsi Dokter Dan Perawat

141
Tentang Peran Apoteker Dalam Pelayanan Farmasi Klinik Di Rumah
Sakit Pku Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta: UMY
Ritter, James M, Lionel D Lewis, Timothy GK Mant, and Albert Ferro. 2008. A
Textbook of Clinical Pharmacology and Therapeutics, Fifth Edition.
London: Hodder Arnold.
Setiawan, Eko, Sylvi Irawati Irawati, Bobby Presley, and Susilo. 2015. ―Persepsi
dan Kecenderungan Keterlibatan Apoteker di Apotek pada Proses
Rekonsiliasi Obat.‖ Jurnal Sains Farmasi & Klinis 91-98.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif Dan R&D). Bandung : Alfabeta.
Sulistianti, Lany Aprili. 2015. Korelasi Budaya Keselamtan Pasien dengan
Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis Oleh Tenaga Kesehatan Sebagai
Upaya Peningkatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit X
dan Rumah Sakit Y Tahun 2015. Jakarta: UIN Jakarta.
Siregar, C.J.P., dan Kumolosari, E. (2006). Farmai Klinik Teori dan Penerapan,
Jakarta: EGC.
Susanti, Ika. 2013. Identifikasi Medication Error Pada Fase Prescribing,
Trascribing, dan Dispensing di RSUP Fatmawati Periode 2013. Jakarta:
UIN Jakarta.
Tajuddin, Rusmi Sari, Indrianty Sudirman, Maidin, and Alimin. 2012. ―FAKTOR
PENYEBAB MEDICATION ERROR DI INSTALASI RAWAT
DARURAT.‖ Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan 182-187.
Teixeira, Thalyta Cardoso Alux, and Silvia Helena De Bortoli Cassieani. 2010.
Root cause analysis: evaluation of medication errors at a university
hospital. Portugal: Rev Esc Enferm USP.
Turnodihardjo, Marlina A., Hakin, Lukman, Katikawatiningsih, Dewi. 2016.
"Pengaruh Pendampingan Apoteker Saat Visite Dokter terhadap
Kesalahan Peresepan di Ruang Perawatan Intensif." Jurnal Farmasi Klinis
Indonesia. 160-168
Utarini, Adi, and Hanevi Djasri. 2012. ―Keselamatan Pasien dan Mutu Pelayanan
Kesehatan: Menuju ke Mana?‖ Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
159-160.
Velo, Giampaolo, and Pietro Minuz. 2009. ―Medication errors: Prescribing faults
and prescription errors.‖ British Journal of Clinical Pharmacology
67(6):624-8.

142
WHO. 1994. Guide to Good Prescribing - A Practical Manual. Retrieved from
WHO:
http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jwhozip23e/5.4.html#Jwhozip23e.5
.4
—. 2008. Learning From Error. Switzerland: WHO.
—. 2014. Reporting and Learning SystemsFor Medication Error: The Role of
Pharmacovigilance Centres. Geneva: WHO Press.
— .2014. 10 Fact About Patient Safety. Retrieved from WHO:
http://www.who.int/features/factfiles/patient_safety/patient_safety_facts/e
n/index1.html

143
LAMPIRAN

144
Lampiran I

Frequency Table

Nama

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Lengkap 1 .3 .3 .3

Lengkap 294 99.7 99.7 100.0

Total 295 100.0 100.0

Umur

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Lengkap 96 32.5 32.5 32.5

Lengkap 199 67.5 67.5 100.0

Total 295 100.0 100.0

JK

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Lengkap 8 2.7 2.7 2.7

Lengkap 287 97.3 97.3 100.0

Total 295 100.0 100.0

BB

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Lengkap 225 76.3 76.3 76.3

145
Lengkap 70 23.7 23.7 100.0

Total 295 100.0 100.0

TB

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Lengkap 219 74.2 74.2 74.2

Lengkap 76 25.8 25.8 100.0

Total 295 100.0 100.0

ND

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Lengkap 41 13.9 13.9 13.9

Lengkap 254 86.1 86.1 100.0

Total 295 100.0 100.0

Izin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Lengkap 65 22.0 22.0 22.0

Lengkap 230 78.0 78.0 100.0

Total 295 100.0 100.0

Alamat

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

146
Alamat

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Lengkap 295 100.0 100.0 100.0

PD

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Lengkap 111 37.6 37.6 37.6

Lengkap 184 62.4 62.4 100.0

Total 295 100.0 100.0

TGL

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Lengkap 84 28.5 28.5 28.5

Lengkap 211 71.5 71.5 100.0

Total 295 100.0 100.0

Asal

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Lengkap 95 32.2 32.2 32.2

Lengkap 200 67.8 67.8 100.0

Total 295 100.0 100.0

N_obat

147
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Lengkap 295 100.0 100.0 100.0

Bentuk

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Lengkap 29 9.8 9.8 9.8

Lengkap 266 90.2 90.2 100.0

Total 295 100.0 100.0

Kekuatan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid -1 1 .3 .3 .3

Tidak Lengkap 28 9.5 9.5 9.8

Lengkap 266 90.2 90.2 100.0

Total 295 100.0 100.0

Dosis

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Lengkap 2 .7 .7 .7

Lengkap 293 99.3 99.3 100.0

Total 295 100.0 100.0

Jumlah

148
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Lengkap 3 1.0 1.0 1.0

Lengkap 292 99.0 99.0 100.0

Total 295 100.0 100.0

Aturan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Lengkap 39 13.2 13.2 13.2

Lengkap 256 86.8 86.8 100.0

Total 295 100.0 100.0

Indikasi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Lengkap 156 52.9 52.9 52.9

Lengkap 139 47.1 47.1 100.0

Total 295 100.0 100.0

Waktu

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Lengkap 6 2.0 2.0 2.0

Lengkap 289 98.0 98.0 100.0

Total 295 100.0 100.0

149
Alergi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Lengkap 215 72.9 72.9 72.9

Lengkap 80 27.1 27.1 100.0

Total 295 100.0 100.0

150
Lampiran II
Matriks Wawancara, Observasi, Telaah Dokumen

Tabel 5.2 Matriks Wawancara, Observasi, dan Telaah Dokumen

Pertanyaan INF 1 RN 1 Observasi Telaah dokumen Kesimpulan


INPUT
Sumber Daya Manusia
Bagaimana Sesuai dengan Sesuai dengan Melalui Setiap petugas
proses/alur dokumen dokumen rekuitment resmi farmasi di RS X
penempatan dari rumah sakit dtempatkan
pegawai pada lalu dilakukan melalui
bagian farmasi? traning pelayanan serangkaian
dasar pertama tahap pelatihan
selama satu bulan dasar dan
setelah itu baru khusus bagi
rolling petugas-petugas
penempatan khusus. Rolling
selama 6 bulan pegawai
atau satu tahun. diadakan 6
Untuk petugas- bulan atau satu
petugas khusus tahun sekali
ditempatkan sesuai

152
Pertanyaan INF 1 RN 1 Observasi Telaah dokumen Kesimpulan
sesuai kebutuhan kebutuhan
rumah sakit dan rumah sakit.
mereka yang
sudah memiliki
sertifikasi
pelatihan
Bagaimana Di bagi dua Semuanya mobile Penempatan
pembagian menjadi bagian dan saling pegawai
tugasnya? manajerial dan membantu. berdasarkan
teknis dan salaing kemampuan dan
membantu. pengalaman.
Tidak ada
pembagian tugas
khusus di depo
atau aoutlet
untuk terima
resep, racik,
kemas, dan
serah obat,
semuanya
mobile dan
saling
membantu.
Standar apa yang Peraturan Peraturan Peraturan Peraturan
digunakan rumah Pemerintah (PP) Pemerintah (PP) Pemerintah (PP) Pemerintah (PP)

153
Pertanyaan INF 1 RN 1 Observasi Telaah dokumen Kesimpulan
sakit untuk No. 51 tahun 2009 No. 51 tahun 2009 No. 51 tahun No. 51 tahun
menerima pegawai tentang Pekerjaan tentang Pekerjaan 2009 tentang 2009 tentang
pada bagian Kefarmasian Kefarmasian Pekerjaan Pekerjaan
farmasi? Kefarmasian Kefarmasian
Bagaimana usaha Pelatihan dan sesi Pelatihan dan sesi Pengembangan
yang dilakukan sharing knowlegde. sharing knowlegde. pengetahuan
dalam SDM baru rrutin
mengembangkan dilakukan
SDM yang ada internal bagian
pada bagian farmasi,
farmasi? harusnya rumah
sakit melakukan
berbagai
tindakan
pengembangan
keahlian rutin.
Apakah ada Pendidikan lanjut Pendidikan lanjut Tidak ada
pendidikan dan tidak ada, pelatihan tidak ada, pelatihan bantuan
pelatihan lanjutan ada. ada. pendidikan
bagi para pegawai? lanjut dari
rumah sakit.
Pelatihan
dilakukan
internal bagian
farmasi dan

154
Pertanyaan INF 1 RN 1 Observasi Telaah dokumen Kesimpulan
beberapa
pelatihan terkait
obat baru serta
pelatiah ke luar
rumah sakit jika
dibutuhkan.
Sarana dan Prasarana
Bagaimana cara Semua alat dicek, Dicek setiap hari, Dilakukan
perawatan sarana kebutuhan alat-alat yang rusak diganti, pengecekan
dan prasarana pada khusus dilakukan dan dilakukan rutin untuk
pelayanan farmasi? kalibrasi setahun kalibrasi. setiap alat
sekali farmasi.
Bagaimana Sudah cukup Sudah cukup. (terlampir) Sarana dan
kesesuaian sarana prasana yang
dan prasarana yang ada di RS X
ada dengan sudah
kebutuhan rumah memenuhi
sakit? syarat pelayan
dasar namun
masih banyak
yang harus
ditambah jika
ingin sesuai
dengan PMK
no.58 tahun

155
Pertanyaan INF 1 RN 1 Observasi Telaah dokumen Kesimpulan
2014 seperti
laboratorium
farmasi,
kelengkapan
dispensing
sediaan steril,
ruang khusus
PIO dan
konseling, serta
alat untuk
PKOD
Bagaimana cara Dicek rutin ada Sesuai kebutuhan, Peremajaan
peremajaan sarana yang setiap hari, kalau tidak layak dilakukan sesuai
dan prasarana yang sebulan sekali, segera diganti. dengan
ada? setahun sekali, kebutuhan dan
kalau sudah tak hasil dari cek
layak diganti. petugas.
Bagaimana Sistem informasi Sistem informasi Belum ada Teknologi
penggunaan rumah sakit mulai rumah sakit mulai electronic informasi sudah
teknologi informasi dari tahap dari tahap prescribing. dimulai sejak
dan komunikasi perencanaa, perencanaa, tahap
pada pelayanan pembelian, hingga pembelian, hingga perencanaan,
farmasi? pengeluaran pengeluaran pembelian,
barang. Etiket juga barang. Etiket juga hingga
dicetak. dicetak. penggunaan.

156
Pertanyaan INF 1 RN 1 Observasi Telaah dokumen Kesimpulan
Namun, tidak
ada sistem
peresepan
elektronik
Kebijakan/SOP
Adakah Ada Ada Ada, tetrapi tidak SOP di RS X
kebijakan/SOP dijalankan sudah cukup
tersendiri di rumah dengan baik dan banyak karena
sakit bagi tidak dilakukan ada 96 SOP,
pelayanan farmasi evaluasi. namun SOP ini
klinik? hanya dibuat
untuk tuntutan
akreditasi dan
kurang dijalnkan
serta
dimonitoring
pelaksanaannya
Apa yang menjadi Buku pedoman - Kebijakan
dasar pembuatan pelayanan farmasi dibuat
kebijakan tersebut? rumah sakit dan berdasarkan
buku perencanaan pada peraturan
kebijakan farmasi perundang
rumah sakit undangan serta
peraturan
lainnya yang

157
Pertanyaan INF 1 RN 1 Observasi Telaah dokumen Kesimpulan
mendukung.
Bagaimana Banyak Masih banyak Banyak petugas
kesesuaian SOP pelanggaran pelanggaran. yang lalai
dan pelaksanaan menjalankan
teknis menurut SOP seperti
Anda selama ini? melakukan
pencampuran
obat suntik tidak
pada ruang steril
Apakah yang Kepatuhan petugas Kebiasaan petugas Petugas tidak Petugas perlu
paling menjadi yang seringkali untuk patuh masih patuh SOP, dikontrol terus
kendala dalam lupa SOP sehingga harus diterapkan misalnya agar patuh pada
pelaksanaan SOP pelayanan tak pencampuran SOP. Misalnya
pelayanan farmasi sesuai. obat suntik masih dengan
klinik? ada yang di mengadakan
ruangan biasa evaluasi
mendadak dan
evaluasi rutin
petugas selama
satu bulan sekali

158
Pertanyaan INF 1 AP RN2 RJ2 Observasi Kesimpulan
PROSES
Pengkajian dan Pelayanan Resep
Bagaimana alur Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Resep Resep yang
pengecekan memang seharusnya
kelengkapan dicek dicek oleh
administrasi petugas, petugas
resep? namun yang
terkadang berbeda-
petugas beda
untuk terkadang
menerima hanya oleh
obat sampai satu petugas
dengan serah karena
obat adalah sedang
orang yang sibuk atau
sama banyak
sehingga resep masuk
hanya dicek sehingga
satu orang. butuh waktu
Ditemukan yang cepat.
juga kotak Perlu ada
ceklis pembagian
pemeriksaan tugas yang
resep yang jelas agar
harusnya di terjadi

159
Pertanyaan INF 1 AP RN2 RJ2 Observasi Kesimpulan
paraf setiap ketertiban
petugas administrasi.
sering kali
kosong.Tidak
ada
pembagian
tugas TTK
yang jelas
karena
semuanya
saling
membantu.
Apa pernah ada Resep jarang Pernah Sering Sering Tidak ada Tidak ada
ketidaklengkapan yang lengkap resep yang resep yang
dalam resep? benar-benar ditulis
lengkap lengkap
sesuai
dengan
PMK 58
Tahun 2014
Berapa Sering Selalu ada Setiap hari ada Setiap hari ada Setiap resep Tidak ada
frekuensinya resep yang
dalam satu ditulis
bulan/satu tahun? lengkap
sesuai

160
Pertanyaan INF 1 AP RN2 RJ2 Observasi Kesimpulan
dengan
PMK 58
Tahun 2014
Biasanya apa Beragam Persyaratan Persyaratan Persyaratan Paling Banyak
yang tidak mulai dari adimnistrasinya adminitrasi, adimnistrasinya banyak ditemukan
lengkap dari tandatangan kalau klinis ditemukan tidak
resep yang dokter, umur, mungkin dosis tidak tercantum
ditemukan? breat badan, tercantum berat badan
sampai alamat berat badan dan tinggi
dan tinggi badan serta
badan serta ceklis reaksi
ceklis reaksi alergi
alergi
Bagaimana cara Konfirmasi Bertanya ke Bertanya ke Bertanya ke Tidak Konfirmasi
mengatasi jika langsung ke teman, senior, teman, senior, teman, senior, langsung ke seharusnya
ada resep yang dokter jika masih tidak jika masih tidak jika masih tidak dokter langsung ke
tidak lengkap jelas ke dokter jelas ke dokter jelas ke dokter dikonfirmasi dokter,
atau tidak jelas langsung langsung langsung tapi bertanya namun, jika
pada masih bisa
apoteker dijawab oleh
senior apoteker
terlebih senior maka
dahulu baru tak
ke dokter dilakukan
konfirmasi

161
Pertanyaan INF 1 AP RN2 RJ2 Observasi Kesimpulan
kejelasan
lagi ke
dokter.

Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RN 2 Observasi Kesimpulan


Rekonsiliasi Obat
Bagaimana Sesuai dengan Sesuai dengan Sesuai dengan Sesuai dengan Petugas farmasi Verifikasi telah
teknik verifikasi observasi observasi observasi observasi selalu mengecek dilakukan
informasi obat informasi atau komprehensif
yang digunakan? terapi obat mulai dari
pasien dan membandingkan
mencocokannya dengan rekam
dengan catatan medis, catatan
perawat perawat, hingga
petugas farmasi
Bagaimana Sesuai dengan Sesuai dengan Sesuai dengan Sesuai dengan Petugas UDD Petugas sudah
teknik komparasi observasi observasi observasi observasi membandingkan menjalankan
yang digunakan catatn metode
petugas untuk kefarmasian pencocokan
membandingkan dengan catatn terapi dengan
data obat pasien? perawat catatn peawat.
sebelum Namun,
melakukan semuanya masih

162
Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RN 2 Observasi Kesimpulan
Rekonsiliasi Obat
penyerahan obat manual dan
belum dilakukan
dnegan sistem
informasi yang
terintegrasi
Bagaimana Sesuai dengan Sesuai dengan Sesuai dengan Sesuai dengan Petugas farmasi Apoteker
proses observasi observasi observasi observasi atau apoteker berkoordinasi
konfirmasi antar kebanyakn dengan dokter
apoteker dan menanyakan dan perawat
dokter bila ada dahulu ke melalui telepon
ketidakjelasan perawat di sudah cukup baik,
resep? ruangan untuk namun
kemudian seharusnya
konfimasi ke konfirmasi
dokter. Kecuali langsung
di rawat jalan, dilakukan ke
sering langsung dokter tanpa
menelepon pihak ketiga
dokter
Bagaimana Sesuai dengan Sesuai dengan Sesuai dengan Sesuai dengan Proses Proses pemastian
proses pemastian observasi observasi observasi observasi pemastian terapi sudah bagus dan
terapi yang dengan dilakukan
diberikan kepada mencocokan komprehentif
pasien ketika data sudah mulai dari rekam

163
Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RN 2 Observasi Kesimpulan
Rekonsiliasi Obat
terjadi dilakukan medis, catatan
pemindahan komprehensif perawat, dan
pasien antar- oleh apoteker petugas farmasi
ruangan atau dan perawat, serta dokter
antar-rumah kerjasam penanggungjawab
sakit? keduanya juga
terlihat baik.
Setiap hari ada
apoteker ke
ruangan untuk
mencocokan
dan memeriksa
catatan dengan
perawat.
Bagaimana Sesuai dengan Sesuai dengan Sesuai dengan Sesuai dengan Melakuakn Apoteker
petugas observasi observasi observasi observasi konfirmasi bekerjasama
memutuskan dengan dokter dengan dokter
tindakan ketika untuk dan perawat
terjadi melakukan untuk melakukan
ketidaksesuaian tidakan terapi tindakan
resep atau obat? yang seharusnya selanjutnya pada
pasien

164
Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RN 2 Observasi Kesimpulan
Rekonsiliasi Obat
Bagaimana Ketika kejadian Ketika kejadian Ketika kejadian Ketika Ketika kejadian Ditulis dalam
petugas langsung langsung langsung kejadian langsung riwayat pasien
menuliskan dilaporkan dilaporkan dilaporkan langsung dilaporkan dan laporan
laporan atau dilaporkan bulanan ke
dokumentasi atas manajer farmasi,
ketidaksesuaian namun setiap
yang terjadi? kejadian langsung
ditulisssaat terjadi

Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan


Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Bagaimana cara Langsung oleh Langsung oleh Langsung oleh Langsung oleh Langsung oleh Pertanyaan
rumah sakit apoteker apoteker apoteker apoteker apoteker pasien
menjawab langsung
pertanyaan pasien dijawab dan
terkait obat atau direspons
terapi yang pihak RS X
digunakan? melalui
apoteker dan
TTK.

165
Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Adakah terbitan Ada Ada Ada Ada Leaflet tak Ada leaflet
mengenai selamanya namun tak
infromasi obat tersedia selau tersedia
yang dibuat terutama di di apotik,
rumah sakit, apotik rawat seharusnya
seperti buletin, jalan eksekutif informasi ini
leaflet, poster, yang terhitung selalu ada
atau newsletter? apotik baru
Bagaimana cara Diberikan Diberikan Diberikan Diberikan Formalium RS menyusun
menyediakan formalium formalium formalium formalium sudah disusun formalium
informasi bagi dengan baik yang
tim farmasi dan dan penuh diperbaharui
terapi terkait warna setiap dua
penyusunan sehingga tahun untuk
formalium? mudah dilihat seluruh
dan dipahami petugas
petugas farmasinya.
Apakah ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada PIO di rawat PO dilakukan
kegiatan inap sudah rutin oleh
penyuluhan bagi tertib apoteker pada
pasien baik rawat dilakukan pasien rawat
inap maupun apoteker. inap yang akan
rawat jalan Apoteker pulang
mengenai obat menulis lembar danrawat jalan

166
Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
Pelayanan Informasi Obat (PIO)
atau terapi yang PIO yang saat
ada di rumah isinya obat mengambil
sakit? yang obat.
dibutuhkan
pasien, dosis,
cara pakai,
sampai dengan
efek
sampungnya.
Di rawat jalan
PIO diberikan
pada pasien
secara lisan
saja saat
penyerahan
obat.
Apakah ada Belum ada kalau Belum ada kalau Belum ada kalau Belum ada Belum ada
pendidikan dari RS dari RS dari RS kalau dari RS kalau dari RS
berkelanjutan
bagi tenaga
farmasi di rumah
sakit?

167
Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Apakah ada Belum pernah Belum pernah Belum ada Belum pernah - Belum pernah
penelitian yang dilakukan
dilakukan rumah penelitian oleh
sakit terkait mahasiswa
farmasi klinik
atau obat?
Apakah kendala Antrean panjang Pasien sulit diajak Pasien sulit Antrean PIO di rawat PIO di RS X
yang dirasakan bicara diajak bicara panjang inap yang baru pada
oleh pihak dilakukan saat pasien pulang
farmasi terkait pasien akan dan
PIO? pulang selalu penyerahan
dilakukan oleh obat untuk
apoteker, pasien rawat
kebanyakan jalan, belum
pasien hanya ada
diam dan penyuluhan
mendengarkan. khusus atau
Sedangkan di PIO untk
rawat jalan tenaga
PIO dilakukan kesehatan. PIO
agak terburu- yang dilakukan
buru karena pun sulit
banyak pasien diukur
yang apoteker ketika

168
Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
Pelayanan Informasi Obat (PIO)
mengantre pasien hanya
sehingga hanya diam saja. Di
seputar dosis rawat inap
dan cara pasien yang
penggunaan, dulit diajak
pasien pun bicara juga
sulit bertanya akan sulit
bila apotik diberi
sedang ramai. penjelasan
sedangkan di
rawat jalan
penumpukan
pasien
menyebabkan
PIO tidak
berjalan baik
dan
semestinya.
Konseling
Apakah ada Belum ada Belum ada Belum ada Belum ada RS X tidak RS X belum
konseling terkait memiliki ruang melakukan
terapi obat yang konseling dan konseling.
diberikan rumah petugas khusus Seharusnya
sakit kepada konseling

169
Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
Pelayanan Informasi Obat (PIO)
pasien? konseling dilakukan
terutama untuk
pasien dengan
pengobatan
janga panjang
serta obat-obat
khusus

Pertanyaan INF1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan


Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Bagaimana cara Melakukan cek Melakukan Melakukan cek Melakukan Apoteker RS X baru
pengkajian reaksi obat cek reaksi obat reaksi obat cek reaksi melakukan cek melakukan
pemilihan obat, kepada resep kepada resep kepada resep obat kepada terhadap pengkajian dan
dosis, cara yang memiliki yang memiliki yang memiliki resep yang kemungkinan pengcekan pada
pemberian obat, lima jenis obat lima jenis obat lima jenis obat memiliki lima reaksi obat pada pasien dengan
respons terapi, atau lebih atau lebih atau lebih jenis obat atau pasien yang terapi obat lima
Reaksi Obat yang sekaligus sekaligus sekaligus lebih menggunakan jenis sekaligus
Tidak Dikehendaki sekaligus lima jenis obat atau lebih. Hal ini
(ROTD) ? atau lebih karena SDM
sekaligus, di apoteker yang
situ apoteker kurang sehingga
akan mengecek tak cukup waktu

170
Pertanyaan INF1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
dosisi, cara untuk mengecek
penggunaan, dan memantau
dan kandungan semuanya
obatnya apakah
bisa
menimbulkan
reaksi atau tidak
Bagaimana cara Koordinasi Koordinasi Koordinasi Koordinasi Setelah apoteker Pemebrian
pemberian dengan dokter dengan dokter dengan dokter dengan RS X rekomendasi
rekomendasi untuk untuk untuk dokter untuk melakukan cek terkait masalah
penyelesaian melakukan melakukan melakukan melakukan kebenaran obat dilakukan
masalah terkait obat tidakan terapi tidakan terapi tidakan terapi tidakan terapi adanya reaksi oleh apoteker
? obat dihentikan obat obat dihentikan obat obat setelah itu yang bekerjasama
sementara, dihentikan sementara, dihentikan berbicara pada langsung dengan
dihentikan sementara, dihentikan sementara, dokter untuk dokter, caranya
terapi, atau dihentikan terapi, atau dihentikan melakukan dicek kebenaran
diganti terapi terapi, atau diganti terapi terapi, atau tidakan terapi adanya reaksi
diganti terapi diganti terapi obat dihentikan obat setelah itu
sementara, berbicara pada
dihentikan dokter untuk
terapi, atau melakukan
diganti terapi tidakan terapi
obat dihentikan
sementara,
dihentikan terapi,

171
Pertanyaan INF1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
atau diganti terapi

Bagaimana Belum ada Pencatatan Mengecek resep Pemantauan Apoteker hanya Pemantauan
pemantauan pematauan efek samping oleh apoteker dilakukan melakukan cek efektivitas belum
efektivitas dan efek secara khusus dan efektivitas apoteker jika melalui resep dilakukan
samping terapi obat untuk jenis obat obat dilakukan ada pasien dan catatannya sepenuhnya oleh
yang dilakukan RS? tertentu apa ketika yang diduga dengan catatan RS X, apoteker
efektif memang ada terkena efek perawat, belum baru mengecek
digunakan kejadian efek samping obat terlihat adanya resep dan catatan
pasien atau samping obat pemantauan terapi obat, tapi
tidak. efektivitas belum terlihat
rerapi yang bagaimana
digunakan pada pengukuran
setiap pasien efektivtas terapi
dilakukan
apoteker
Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Bagaimana cara Cek terhadap Cek terhadap Cek terhadap Cek terhadap Baru dengan RS X melakukan
rumah sakit resep yang resep yang resep yang resep yang melakukan cek deteksi reaksi obat
medeteksi adanya memiliki lima memiliki lima memiliki lima memiliki lima terhadap resep baru dengan
kejadian reaksi obat jenis obat jenis obat jenis obat jenis obat yang memiliki melakukan cek
yang tidak sekaligus sekaligus sekaligus sekaligus lima jenis obat terhadap resep
dikehendaki? sekaligus yang memiliki
lima jenis obat
sekaligus

172
Pertanyaan INF1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
Bagaimana cara Melihat di Melihat di Melihat di Melihat di Apoteker Di RS X apoteker
mengidentifikasi catatan rekam catatan rekam catatan rekam catatan rekam melihat catatan melihat catatan
obat-obatan dan medis dan medis dan medis dan medis dan terapi pasien terapi pasien dan
pasien yang catatan terapi catatan terapi catatan terapi catatan terapi dan menganalisisnya
memiliki risiko menganalisisnya dengan resep yang
tinggi mengalami dengan resep diberikan
efek samping obat? yang diberikan
Bagaimana teknik Dilakukan Laporan saja Laporan saja Ketika ada - Laporan terkait
evaluasi laporan laporan jika jika ada jika ada laporan efek efek samping obat
efek samping obat terjadi efek kejadian efek kejadian efek samping baru dilakukan
yang digunakan? samping, jika samping samping langsung saat kejadian
berulang ditindaklanjuti karena petugas
dilakukan farmasi
kajian terhadap menganggap
obatnya kejadian itu jarang
terjadi
Bagaimana cara Hanya laporan Hanya laporan Hanya laporan Hanya - Tidak ada diskusi
bagian farmasi dan saat kejadian saat kejadian saat kejadian laporan saat hanya berupa
terapi dalam pada manajer pada manajer pada manajer kejadian pada laporan yang
mendiskusikan dan direkap sebulan direkap direkap sebulan manajer dikumpulkan dan
mendokumentasikan sekali sebulan sekali sekali direkap nanti diolah dan
efek samping obat? sebulan sekali direkap per bulan
untuk dilaporkan
kembali ke
BPOM dan Suku

173
Pertanyaan INF1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
Dinas Kesehatan
Bagaimana laporan Dibuat sesuai Dari ruangan Dari ruangan Dari ruangan - Dari ruangan
yang dibuat terkait dengan standar dicatat dan dicatat dan dicatat dan dicatat dan
efek samping obat dari BPOM dilaporkan dilaporkan dilaporkan dilaporkan setiap
yang ditemukan? sebulan sekali setiap ada setiap ada setiap ada ada kejadian ke
kejadian ke kejadian ke kejadian ke manajer lalu baru
manajer manajer manajer dibuat lapoan
untuk BPOM

Pertanyaan INF1 AP RN 1 RN 2 Observasi Kesimpulan


Dispensing Sediaan Steril
Bagaimana proses Hanya Hanya Hanya Hanya Belum banyak Pencampuran
pencampuran obat pencampuran pencampuran pencampuran pencampuran terlihat kegiatan seharusnya
steril yang sesuai obat suntik. obat suntik. obat suntik. obat suntik. di ruang dilakukanpetugas
dengan kebutuhan Sesuai dokumen Sesuai dokumen Sesuai dokumen Sesuai dispensing yang akan
pasien? dokumen karena tidak ada melakukan
petugas yag pencampuran
berjaga, petugas harus ke ruangan
farmasi baru ke khusus dispensing
ruangan sediaan streril
dispensing menggunakan
ketika akan APD dan baru
mencampur obat melakukan proses

174
Pertanyaan INF1 AP RN 1 RN 2 Observasi Kesimpulan
suntik, selain itu pencampuran di
masih ditemukan dalam ruangan.
juga petugas
yang melakukan Pencampuran
proses disesuaikan
dispensing di dengan
outlet permintaan dari
ruangan yang
sudah mengukur
kebutuhan pasien
setiap harinya.
Namun, masih
ditemukan
petugas yang
melakukan
pencampuran di
outlet karena
alasan jarak ruang
dispensing yang
jauh
Bagaimana cara Dilakukan Dilakukan Dilakukan Dilakukan Semua petugas Semua petugas
petugas mengemas secara steril secara steril secara steril secara steril melakukan swab sudah melakukan
obat? steril saat swab steril saat
mengemas baik mengemas baik
petugas di ruang petugas di ruang
dispensing dispensing

175
Pertanyaan INF1 AP RN 1 RN 2 Observasi Kesimpulan
maupun di outlet maupun di outlet
Bagaimana cara Ada tempat Ada tempat Ada tempat Ada tempat Ada tempat Sudah ada tempat
petugas sampah khusus sampah khusus sampah khusus sampah sampah khusus sampah khusus
membuang limbah untuk limbah untuk limbah untuk limbah khusus untuk untuk limbah untuk limbah
obat? medis medis medis limbah medis medis
medis
Apa saja Alat Sarung tangan, Sarung tangan, Sarung tangan, Sarung Sarung tangan, Sarung tangan,
Pelindung Diri masker, dan baju masker, dan masker, dan tangan, masker, dan baju masker, dan baju
(APD) yang steril baju steril baju steril masker, dan steril steril
digunakan petugas baju steril
dispensing?
Apa kendala atau Kelalaian Kelalaian Tidak ada Jarak - Petugas menjadi
masalah yang petugas yang tak petugas yang petugas khusus ruangan lalai dan abai
mungkin menjalankan tak menjalankan yang standby di yang jauh dengan SOP
dihadapai dalam dispensing dispensing ruangan membuat karena tidak ada
dispensing sediaan sediaan steril sediaan steril sehingga petugas petugas khusus
steril selama ini? sesuai SOP sesuai SOP petugas mesti kerepotan sehingga petugas
bolak-balik yang ada merasa
kerepotan

176
Lampiran III

INFORM CONCERN

Gambaran Pelaksanaan Standar Pelayanan Farmasi Klinik


di Rumah Sakit X Tahun 2016
Assalamu’alaikum wr. wb.
Saya Erika Hidayanti, mahasiswa semester 9 Peminatan Manajemen
Pelayanan Kesehatan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan
penelitian sebagai tugas akhir yang berjudul Gambaran Pelaksanaan Standar
Pelayanan Farmasi Klinikdi Rumah Sakit X Tahun 2017.
Dengan ini peneliti memohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini untuk menjadi informan yang memberikan
keterangan secara luas, bebas, mendalam, benar dan jujur. Hasil informasi dan
keterangan yang diberikan nantinya akan dijadikan bahan masukan untuk
pelayanan standar farmasi klinik dan sistem pencegahan kejadian medication
error di rumah sakit. Peneliti juga memohon untuk merekam pembicaraan selama
proses wawancara berlangsung dan peneliti akan menjamin kerahasiaan isi
informasi yang diberikan dan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian.
Terima kasih atas perhatian dan bantuan Bapak/Ibu/Saudara/I yang telah
bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.
Wassalamu’alaikum Wr Wb

Peneliti,

Erika Hidayanti

177
IDENTITAS INFORMAN

Nama Informan :
No. Telepon :
Jenis Kelamin :
Umur :
Pendidikan :
Jabatan/Pekerjaan :
Lama Kerja :
Hari/Tanggal Wawancara :
Dengan ini saya bersedia untuk menjadi informan dalam penelitian yang berjudul
Gambaran Pelaksanaan Standar Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit
Islam X Tahun 2017

Jakarta, __________2016

(……………………………….)

178
Tata Cara Wawancara
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2. Menanyakan kesediaan untuk menjadi informan dengan meminta tanda tangan
pada persetujuan menjadi informan
3. Menanyakan nama informan
4. Meminta izin untuk merekam pembicaraan selama wawancara sedang
berlangsung
5. Memberikan pertanyaan dasar seperti umur, jabatan/pekerjaan, pendidikan
terakhir dan lama kerja
6. Mengajukan pertanyaan utama sesuai dengan pedoman wawancara
7. Mengucapkan terima kasih pada informan yang sudah berpartisipasi
8. Pemberian cindramata

Pedoman Wawancara

1. Sumber Daya Manusia (SDM)

Informan: Kepala Bagian Farmasi dan Petugas Bagian Pengelola


SDM Farmasi

1. Berapa jumlah tenaga kerja yang ada pada pelayanan farmasi?


2. Bagaimana proses/alur penempatan pegawai pada bagian farmasi?
3. Bagaimana pembagian tugasnya?
4. Standar apa yang digunakan rumah sakit untuk menerima pegawai
pada bagian farmasi?
5. Bagaimana usaha yang dilakukan dalam mengembangkan SDM
yang ada pada bagian farmasi?
6. Apakah ada pendidikan dan pelatihan lanjutan bagi para pegawai?
2. Sarana dan Prasarana

179
Informan: Kepala Bagian Farmasi dan Petugas Pengelola Sarana
Prasarana Farmasi
1. Apa saja sarana dan prasarana pelayanan farmasi yang dimiliki
rumah sakit?
2. Bagaimana cara perawatan saran dan prasarana pada pelayanan
farmasi?
3. Bagaimana kesesuaian sarana dan prasarana yang ada dnegan
kebutuhan rumah sakit?
4. Bagaimana cara peremajaan sarana dan prasarana yang ada?
5. Bagaimana penggunaan teknologi informasi dan komunikasi pada
pelayanan farmasi?
3. Kebijakan/SOP
Informan: Kepala Bagian Farmasi
1. Adakah kebijakan/SOP tersendiri di rumah sakit bagi
pelayanan farmasi klinik?
2. Apa yang menjadi dasar pembuatan kebijakan tersebut?
3. Bagaimana kesesuaian SOP dan pelaksanaan teknis menurut
Anda selama ini?
4. Apakah yang paling menjadi kendala dalam pelaksanaan SOP
pelayanan farmasi klinik?

4. Pengkajian dan Pelayanan Resep


Informan: Kepala Bagian Farmasi
1. Bagaimana alur pengecekan kelengkapan administrasi resep?
2. Apa pernah ada ketidaklengkapan dalam resep?
3. Berapa frekuensinya dalam satu bulan/satu tahun?
4. Biasanya apa yang tidak lengkap dari resep yang ditemukan?
5. Bagaimana cara mengatasi jika ada resep yang tidak lengkap
atau tidak jelas?

Informan: Petugas farmasi penerima resep dan Petugas peracik obat

180
1. Bagaimana cara petugas memastikan resep yang diterima sudah
lengkap dan jelas?
2. Apakah pernah menerima resep yang tidak lengkap/tidak jelas?
Berepa frekuensinya?
3. Bagaimana cara mengatasi resep yang tidak lengkap atau tidak
jelas?
4. Bagaimana cara petugas menjaga ketepatan obat hingga stabilitas
obat?

5. Rekosiliasi Obat
Informan: Kepala Bagian Farmasi
a. Bagaimana teknik verifikasi informasi obat yang digunakan?
b. Bagaimana teknik komparasi yang digunakan petugas untuk
membandingkan data obat pasien?
c. Bagaimana proses konfirmasi antar apoteker dan dokter bila ada
ketidakjelasan resep?
d. Bagaimana proses pemastian terapi yang diberikan kepada pasien
ketika terjadi pemindahan pasien antar-ruangan atau antar-rumah
sakit?
e. Bagaimana cara komunikasi petugas dengan pasien?

Informan: Apoteker petugas distribusi obat

1. Bagaimana komunikasi yang dilakukan petugas dengan pasien saat


memberikan obat?
2. Bagaimana cara petugas mengkonfirmasi ketidakjelasan atau
ketidaksesuaian dokumen resep atau obat?
3. Bagaimana cara petugas menentukan adanya perbedaan
dokumentasi rsep atau obat yang berbeda itu disengaja atau tidak
disengaja?

181
4. Bagaimana petugas memutuskan tindakan ketika terjadi
ketidaksesuaian resep atau obat?
5. Bagaimana petugas menuliskan laporan atau dokumentasi atas
ketidaksesuaian yang terjadi?

6. Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Informan: Kepala Bagian Farmasi dan Apoteker yang bertugas
dalam PIO
1. Bagaimana cara rumah sakit menjawab pertanyaan pasien terkait
obat atau terapi yang digunakan?
2. Adakah terbitan mengenai infromasi obat yang dibuat rumah sakit,
seperti buletin, leaflet, poster, atau newsletter?
3. Bagaimana cara menyediakan informasi bagi tim farmasi dan
terapi terkait penyusunan formalium?
4. Apakah ada kegiatan penyuluhan bagi pasien baik rawat inap
maupun rawat jalan mengenai obat atau terapi yang ada di rumah
sakit?
5. Apakah ada pendidikan berkelanjutan bagi tenaga farmasi di rumah
sakit?
6. Apakah ada penelitian yang dilakukan rumah sakit terkait farmasi
klinik atau obat?
7. Apakah kendala yang dirasakan oleh pihak farmasi terkait PIO?

7. Konseling
Informan: Kepala Bagian Farmasi dan Konselor
1. Apakah ada konseling terkait terapi obat yang diberikan rumah
sakit kepada pasien?
2. Siapa yang biasanya melakukan konseling?
3. Teknik apa yang digunakan dalam konseling?

182
4. Bagaimana komunikasi antar pasien dan apoteker yang biasanya
terjadi?
5. Bagaimana cara petugas mengidentifikasi pemahaman pasien
setelah konseling?
6. Bagaimana cara petugas mengeksplorasi masalah obat yang
dirasakan oleh pasien?
7. Bagaimana cara petugas memberikan penjelasan terhadap masalah
yang biasanya terjadi?
8. Apa saja kendala yang ada dalam koseling terapi obat di rumah
sakit?

8. Visite
Informan: Kepala Bagian Farmasi, Kepala Seksi Pelayanan
Farmasi, APoteker yang bertugas sebagai visitor
1. Apakah ada visite yang dilakukan oleh apoteker di rumah sakit?
2. Bagaimana teknik visite yang dilakukan?
3. Bagaimana pembagian jadwal dan petugasnya?
4. Apa saja yang dilakukan saat visite oleh petugas?

9. Pemantauan Terapi Obat (PTO)


Informan: Kepala Bagian Farmasi dan Apoteker
1. Bagimana pengkajian pemilihan Obat, dosis, cara pemberian Obat,
respons terapi, Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) di
RS X?
2. Bagaimana cara pemberian rekomendasi penyelesaian masalah
terkait obat di RS X?
3. Bagaimana pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat
yang dilakukan RS?
10.Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

183
Informan: Kepala Bagian Farmasi dan Kepala Sesksi Pelayanan
Farmasi
1. Bagaimana cara rumah sakit medeteksi adanya kejadian reaksi obat
yang tidak dikehendaki?
2. Bagaimana cara mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang
memiliki risiko tinggi mengalami efek samping obat?
3. Bagaimana evaluasi laporan efek samping obat yang digunakan?
4. Bagaimana cara bagian farmasi dan terapi dalam mendiskusikan
dan mendokumentasikan efek samping obat?
5. Bagaimana laporan yang dibuat terkait efek samping obat yang
ditemukan?

Informan: Apoteke yang bertugas dalam MESO

1. Bagaimana cara petugas mengidentifikasi reaksi obat yang tak


dikendanki sedini mungkin?
2. Bagaimana cara petugas mengidentifikasi obat-obatan dan pasien
yang memiliki risiko tinggi mengalami efek samping obat?
3. Bagaimana cara petugas melaporkan kejadian efek smaping obat
yang ditemukan?

11.Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)


Informan: Kepala Bagian Farmasi dan Kepala Seksi Pelayanan
Farmasi
1. Bagaimana teknik EPO yang digunakan?
2. Bagaimana gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat?
3. Bagaimana perbandingan pola penggunaan obat pada periode ini?
4. Bagaimana masukan atau saran yang terjadi selama evaluasi
dilakukan?
5. Bagaimana penilaian pengaruh intevensi atas pola penggunaan
obat?

184
12.Dispensing sediaan steril
Informan: Kepala Urusan Sterilisasi dan Apoteker petugas
dispensing
1. Bagaimana cara petugas memastikan jaminan dosis yang sesuai
untuk pasien?
2. Bagaimana proses pencampran obat steril yang sesuai dengan
kebutuhan pasien?
3. Bagaimana cara petugas melakukan penyiapan nutrisi parental?
4. Bagaimana petugas melakuakn perhitungan dosis yang akurat?
5. Bagaimana cara petugas melakukann pelarutan serta pencampuran
untuk obat kanker
6. Bagaimana cara petugas mengemas obat?
7. Bagaimana cara petugas membuang limbah obat?
8. Apa saja Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan petugas
dispensing?
9. Apa kendala atau masalah yang mungkin dihadapai dalam
dispensing sediaan steril selama ini?

185
Lampiran IV

Pedoman Observasi

1. Sarana dan Prasarana

No Sarana dan Prasarana Ada Tidak Ada Keterangan


1 Ruangan
- Ruang
kantor/administrasi
- Ruang penyimpanana
sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan
medis habis pakai
- Ruang distribusi sediaan
farmasi
- Ruang
konsultasi/konseling
obat
- Ruang PIO
- Ruang produksi
- Ruang Aseptic
Dispensing
- Laboratorium Farmasi
- Ruang tunggu pasien
- Ruang penyimpaan
dokumen
- Tempat penyimpanan
obat di ruang perawatan
- Fasilitas toilet, kamar

186
mandi untuk staf
2 Peralatan
- Peralatan penyimpanan
- Peralatan peracikan
- Peralatan pembuatan
obat
- Peralatan kantor
- Lemari penyimpanan
khusus narkotika
- Lemari pendingin
- Pendingin ruangan
untuk ruang termolabil
- Penerangan, saran air,
ventilasi, dan sistem
pembuangan limbah
- Alarm
- Peralatan sistem
komputerisasi
- Peralatan produksi
3 Peralatan Aseptic
Dispensing
- Biological safety
cabinet/vertical laminar
air flow cabinet
- Horizontal laminar air
flow cabinet
- Pass-box dengan pintu
berganda
- Barometer
- Termometer

187
- Wireless intercom
4 Peralatan Pendistribusian
5 Peralatan Konsultasi
6 Peralatan Ruang Informasi
Obat
7 Peralatan Ruang Arsip

1.1 Ruang Produksi


No Syarat Kesesuaian
Ya Tidak
1 Lokasi jauh dari pencemaran lingkungan
2 Terdapat saran perlindungan dari cuaca, banjir, rembesan air,
binatang dan serangga
3 Rancang bangun sesuai dengan alur kerja dan alur orang
4 Pengendalian lingkungan terhadap udara, permukaan langit-
langut, barang masuk, dan petugas yang di dalam
5 Luas ruangan minimal 2 kali daerah kerja dengan jarak tiap
peralatan 2,5 m
6 Di luar ruang produksi ada fasilitas untuk lalu lintas petugas
dan barang
7 Ruang terpisah antar obat jadi dan bahan baku
8 Ruang terpisah untuk setiap proses produksi
9 Ruang terpisah untuk produksi obat luar dan obat dalam
10 Permukaan lantai, dinding, langit-langut, dan pintu harus
kedap air, tidak terdapat sambungan, tidak menggunakan
media pertumbuhan mikroba, mudah dibersihkan dan tahan
terhadap pembersih/desinfektan
11 Daerah pengemasan dan oengolahan hindari bahan dari kayu
kecuali dilapisi cat epoxy/enamel
12 Ruang steril dan non steril harus diperhatikan ventilasi

188
ruangan, suhu, kelembaban, intensitas cahaya
1.2 Ruang Aseptic Dispensing
No Syarat Kesesuaian
Ya Tidak
1 Ruang bersih kelas 10.000
2 Ruang penyimpanan kelas 100.000
3 Ruang antara kelas 100.000
4 Ruang ganti pakaian kelas 100.000
5 Lantai datar dan halus tanpa sambungan, keras, serta resiste
terhadap zat kimia
6 Dinding rata dan halus, keras, serta resiste terhadap zat kimia
7 Sudt-sudut permukaan langit-langit dengan dinding dibuat
melengkung dengan radius 20 – 30 mm
8 Colokan listrik datar dengan permukaan dan kedap air serta
dapat dibersihkan
9 Penerangan, saluran, dan kabel dibuat di atas plafon
10 Rangka pintu terbuat dari stainles stell
11 Aliran udara menuju ruang bersih, ruang peniapa, ruang ganti
pakaian, dan ruang antara harus melalui HEPA filter dan
memenuhi syarat kelas 10.000
12 Tekanan udara ruang bersih adalah 15 pascal lebih rendah
dari ruang lainnnya
13 Suhu udara di ruangan bersih dan steril dipelihara pada suhu
16-25 C
14 Kelembaban relatif 45-55%

189
1.3 Laboratorium

No Syarat Kesesuaian
Ya Tidak
1 Lokasi terpisah dari ruang produksi
2 Konstruksi bangunan tahan asam, alkali, zat kimia, dan
pereaksi lain
3 Tata ruang sesuai alur kerja
4 Perlengkapan instalasi air dan listrik
5 Terdapat ruang produksi non steril
6 Terdapat ruang penanganan sediaan sitostatik
7 Terdapat ruang pencampuran/ pelarutan/pengemasan sediaan
yang tidak stabil
8 Terdapat ruang penyimpanan nutrisi parenteral

Pengkajian dan Pelayanan Resep


Persyaratan administrasi Ada Tidak ada Keterangan
- Nama pasien
- Umur pasien
- Jenis kelamin
- Berat badan
- Tinggi badan
- Nama dokter
- Nomor izin
- Alamat
- Paraf dokter
- Tanggal resep
- Ruang/unit asal
resep

190
Persyaratan Farmasetik
- Nama obat
- Bentuk obat
- Kekuatan sediaan
- Dosis
- Jumlah obat
- Stabilitas
- Aturan dan cara
penggunaan
Persyaratan klinis
- Ketepatan indikasi,
dosis, dan waktu
penggunaan obat
- Duplikasi
pengobatan
- ROTD
- Kontraindikasi
- Interaksi obat

191
Lampiran V
Resep WHO

192

Anda mungkin juga menyukai