Anda di halaman 1dari 164

Modul Praktikum

2018
Modul Praktikum
Manajemen
Kebencanaan

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. rer.nat Muh Aris Marfai, S.Si., M.Sc.
Dr. Dyah Rahmawati Hizbaron, M.T.
M. Ngainul Malawani, S.Si, M.Sc.

DEPARTEMEN GEOGRAFI LINGKUNGAN


FAKULTAS GEOGRAFI 1
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2018
Modul Praktikum

BUKU PETUNJUK
PRAKTIKUM MANAJEMEN KEBENCANAAN

No. Dokumen FGE / DOK / 010.1


Tanggal Terbit
No. Revisi
Jumlah Halaman 100
Disahkan Oleh Kaprodi

FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018

2
Modul Praktikum

KATA PENGANTAR
Buku petunjuk praktikum ini disusun sebagai petunjuk praktikum
Manajemen Kebencanaan. Pelaksanaan praktikum ini dilakukan di
Laboratorium Geomorfologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana, Departemen
Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Praktikum
Manajemen bencana dimaksudkan untuk mengenalkan mahasiswa dengan
konsep dan istilah dalam kebencanaan, prinsip-prinsip dalam manajemen
kebencanaan, penaksiran dan pemetaan kerawanan, bahaya, kerentanan,
kapasitas dan risiko bencana dengan berbagai tipe bencana serta strategi
Pengurangan Risiko Bencana (PRB) melalui pembuatan rencana mitigasi,
rencana kontijensi dan rencana penanggulangan bencana. Semoga petunjuk
praktikum ini dapat digunakan sebagai mana mestinya dan menebar banyak
manfaat.

Penyusun

3
Modul Praktikum

DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ..................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... 3
DAFTAR ISI ................................................................................................................... 4
PERATURAN PRAKTIKUM MANAJEMEN KEBENCANAAN ...................................... 5
FORMAT LAPORAN PRAK MANAJEMEN KEBENCANAAN…………………...…... .7
MODUL 1. PENGENALAN MANAJEMEN BENCANA…............................................ 9
ACARA 1. PENGENALAN MANAJEMEN BENCANA … ......................................... ..10
MODUL 2. PENAKSIRAN BAHAYA DAN KERAWANAN … .............................. ...23
ACARA 1-3. PENAKSIRAN BAHAYA DAN KERAWANAN … ............................... ...24
SESI 1. PENGENALAN SOFTWARE ILWIS … ....................................................... ...30
SESI 2. PEMETAAN BERBAGAI TIPE KERAWANAN BENCANA … .................... ...40
SESI 3. PEMODELAN BANJIR ROB DENGAN ILWIS … ....................................... ...75
SESI 4. PEMODELAN BANJIR DENGAN AHP DAN SMCE … ............................... ...79
SESI 4. PEMODELAN LONGSOR DENGAN WEIGHT OF EVIDENCE … ...............105
MODUL 3. PENAKSIRAN KERENTANAN DAN KAPASITAS ..............................114
ACARA 1. PENAKSIRAN KERENTANAN BENCANA… ..........................................115
ACARA 2. PENAKSIRAN KAPASITAS MASYARAKAT ............................................124
MODUL 4. PENAKSIRAN RISIKO DAN STRATEGI PRB … ...............................132
ACARA 1. PENAKSIRAN RISIKO MULTI SKENARIO…..........................................133
ACARA 2. RENCANA MITIGASI DAN KONTIJENSI BENCANA… ..........................141
ACARA 3. RENCANA PENANGGULANGAN BENCANA (RPB)…………………… …....153

4
Modul Praktikum

PERATURAN PRAKTIKUM MANAJEMEN KEBENCANAAN

1. Praktikum dimulai tanggal 2 September 2018


2. Praktikum dimulai tepat waktu.
3. Praktikan yang terlambat 15 menit dari waktu dimulai, dianggap inhal
4. Praktikan yang terlambat maka dikurangi nilai kedisiplinanya.
5. Setiap praktikan wajib membawa alat tulis sendiri.
6. Laporan praktikum WAJIB dikumpulkan SEBELUM JADWAL
PRAKTIKUM sebagai syarat mengikuti praktikum acara selanjutnya.
7. Tidak ada perbaikan laporan setelah laporan praktikum dikumpulkan.
8. Laporan praktikum harus tulis tangan dan wajib mengikuti format yang
diberikan oleh asisten.
9. Praktikan yang telat mengumpulkan laporan TIDAK diberi nilai.
10. Kesamaan isi laporan individu antar praktikan mengakibatkan nilai
praktikan hangus.
11. Pelaksanaan praktikum pada jadwal ujian Mid/akhir ditiadakan.
12. Jadwal praktikum diganti pada hari lain apabila jatuh pada hari Libur
Nasional dan ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama.
13. Penilaian praktikum diambil dari pretest atau tugas, laporan praktikum,
kegiatan praktikum, responsi dan lapangan.
14. Inhal diberikan bila :
o Sakit/ opname dan disertai surat keterangan dari dokter / rumah
sakit
o Musibah (kematian kerabat) dan harus disertakan surat keterangan
dari keluarga
o Mengikuti kegiatan akademik lain dan harus disertakan surat
keterangan dari Fakultas ( Dekan / Wakil Dekan)
15. Guna pelaksanaan inhal, praktikan wajib membuat surat permohonan
inhal yang disetujui dan ditandatangani oleh Dosen Pengampu
Praktikum dan Koordinator Asisten Praktikum Manajemen
Kebencanaan.

5
Modul Praktikum

16. Setiap praktikan maksimal inhal sebanyak 2 x (dua kali) dan mengikuti
prosedur inhal. Apabila lebih dari 2 x (dua kali), praktikan harus
membuat surat pengunduran diri praktikum.
17. Tidak ada biaya administrasi yang dikenakan untuk inhal
18. Setiap praktikan yang melakukan plagiat atau curang dinyatakan gagal
dan mendapatkan nilai E.
19. Peraturan yang belum disebutkan sebelumnya ditentukan kemudian.

Penilaian Komponen Penilaian


A : 90 – 100 Responsi : 40 %
A- : 85 – 89.99 Laporan Praktikum : 30 %
A/B : 80 – 84.99 Pre Test atau Tugas : 10 %
B+ : 75 – 79.99 Kegiatan Praktikum : 20 %
B : 70 – 74.99
B- : 65 – 69.99
B/C : 60 – 64.99
C+ : 55 – 59.99
C : 50 – 54.99
C- : 45 – 49.99
C/D : 40 – 44.99
D+ : 35 – 39.99
D : 30 – 34.99
E : 0 – 29.99
Mengetahui Dosen Pengampu Praktikum
Manajemen Kebencanaan

ttd

M. Ngainul Malawani, S.Si., M.Sc.

6
Modul Praktikum

FORMAT LAPORAN PRAKTIKUM MANAJEMEN KEBENCANAAN

1. PENDAHULUAN
Pendahuluan judul, tujuan dan manfaatnya. Permasalahan memuat penjelasan
mengenai alasan-alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu
dipandang menarik, penting dan perlu.
a. Judul
b. Tujuan

2. CARA KERJA
Metode penelitian mengandung uraian tentang bahan atau materi penelitian, alat, jalan
penelitian, variabel dan data yang akan dikumpulkan dan hasil analisis.
a. Alat dan Bahan (5)
b. Teknis Penelitian (Diagram Alir) (10)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Menyajikan hasil kajian, akurasi yang dapat dicapai, signifikansi langkah maupun
pengetahuan, fenomena, maupun informasi yang dapat diberitahukan kepada khalayak.
Analisis yang rinci dan mengkerucut sangatlah bermanfaat bagi peneliti lain. Hasil dapat
disajikan dalam bentuk tabel, grafik, foto/gambar atau bentuk lain.
a. Hasil Penelitian (30)
b. Pembahasan (30)

4. PENUTUP (5)
Penutup berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan pernyataan singkat dan
tepat yang dijabarkan dari hasil penelitian dan bersifat menjawab tujuan. Kesimpulan dapat
disajikan dalam bentuk poin. Saran berisi rekomendasi peneliti untuk kemajuan topik
penelitian kedepan.
a. Kesimpulan
b. Saran

7
Modul Praktikum

MODUL 1
PENGENALAN MANAJEMEN BENCANA

8
Modul Praktikum

ACARA I
PENGENALAN MANAJEMEN BENCANA

I. TUJUAN
1. Mahasiswa memahami konsep, arti penting dan istilah dalam manajemen
kebencanaan,
2. Mahasiswa memahami produk hukum manajemen kebencanaan di
Indonesia
3. Mahasiswa mampu memanfaatkan portal geospasial kebencanaan.

II. ALAT DAN BAHAN


1. Komputer
2. Alat tulis
3. Buku sumber

III. DASAR TEORI


A. Konsep Kebencanaan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di antara 3
lempeng tektonik yang sangat aktif yaitu Eurasia, Pasifik dan Indo-Australia.
Aktifitas lempeng tersebut mengakibatkan negara Indonesia kaya akan
bahan tambang dan mineral (minyak bumi, besi, emas, batubara, dsb). Di
samping menguntungkan, aktifitas lempeng tersebut juga potensial menjadi
sumber bencana yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Bencana tersebut
kemungkinan datang dengan tanpa isyarat apapun sebelumnya, sehingga
perlu dilakukan tindakan pencegahan untuk mengurangi dampak yang
diakibatkan dari suatu bencana.
Bencana muncul ketika bahaya bertemu dengan situasi-situasi yang
rentan. Bahaya-bahaya alam, seperti misalnya kebakaran, banjir, gempa
bumi dan kekeringan, adalah bagian dari siklus alam. Pada saat bahaya-
bahaya tersebut memberikan dampak pada masyarakat yang rentan, baik itu
berupa gempa bumi yang menghancurkan bangunan-bangunan, atau
kekeringan yang mematikan hasil bumi, masyarakat tersebut bisa saja
9
Modul Praktikum

menghadapii suatu situasi yang sangat parah sehingga memerlukan bantuan


yang bersifat emergensi dan bantuan untuk menyelamatkan kehidupan dan
melindungi lingkungan.

Kejadian/ Kehidupan dan


peristiwa/ Mengancam/ penghidupan
rangkaian mengganggu masyarakat
peristiwa

BENCANA

Gambar 1.1. Konsep Siklus Kebencanaan

Bencana dapat dikatakan sebagai suatu gangguan serius dari fungsi


masyarakat, yang menyebabkan kerugian-kerugian lingkungan lingkungan,
material dan manusia yang luas dan melebihi kemampuan dari masyarakat
yang terlanda bencana untuk bisa mengatasi dengan hanya menggunakan
sumber dayanya sendiri Gambar 1.1.
Bencana dapat dikategorikan menjadai 3 jenis yaitu :
1. Bencana Alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
soklin tropis, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, frost dan cuaca
ekstrem.

10
Modul Praktikum

2. Bencana non Alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana Sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan
teror.

B. Konsep Mitigasi Bencana


Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU RI
24/2007 ps. 1). Mitigasi bencana adalah istilah yang digunakan untuk
menunjuk pada semua tindakan untuk mengurangi dampak dari satu
bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk
kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan risiko jangka panjang.
Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan
tindakan-tindakan untuk mengurangi risiko-risiko yang terkait dengan
bahaya-bahaya karena ulah manusia dan bahaya alam yang sudah
diketahui, dan proses perencanaan untuk respon yang efektif terhadap
bencana yang akan terjadi. Tindakan-tindakan pengurangan risiko
bencana jangka panjang dimaksudkan untuk meminimalisir akibat-
akibat yang merugikan dari suatu bencana dengan menghilangkan
kerentanan yang jika tidak dilakukan, akan mengakibatkan bahaya yang
lebih serius. Tindakan-tindakan ini secara langsung akan mengurangi
potensi dampak dari suatu bahaya sebelum bahaya itu menyerang.
Mitigasi bencana merupakan salah satu elemen dalam kerangka
manajemen kebencanaan (Gambar 1.2).

11
Modul Praktikum

Pencegahan Penjinakan
(Prevention) (Mitigation)

Rekonstruksi
(Pembangunan/ Kesiapsiagaan
Development) (Preparedness)
termasuk
peringatan dini

Rehabilitasi
(Pemulihan/ Kejadian
Recovery) Bencana

Tanggap darurat
(response), perto
longan (relief)

Gambar 1.2. Fase-Fase Dalam Manajemen Kebencanaan


Konsep Manajemen Bencana Spiral menurut GRC (German Red Cross)

Model manajemen kebencanan yang mulai dikembangkan lagi


berupa manajemen kebencanaan dengan bentuk spiral tidak lagi
berbentuk lingkungan dengan fase yang akan terus berjalan. Manajemen
kebencanaan dengan bentuk spiral salahsatunya telah diterapkan oleh
palang merah Jerman (German Red Cross/GRC) pada tahun 2013.
Konsep manajemen kebencanaan spiral ini tidak jauh berbeda dengan
konsep yang sebelumnya. Terdapat fase-fase yang sama dengan konsep
manajemen kebencanaan terdahulu yaitu fase kejadian bencana, tanggap
darurat, rehabilitasi, rekonstruksi, pencegahan, mitigasi, dan
kesiapsiagaan bencana. Fase yang berbeda hanya pada penilaian risiko
dan pengurangan kerentanan bencana. Hal ini menjadikan dalam konsep
manajemen bencana spiral tidak lagi berulang terus menerus tetapi

12
Modul Praktikum

bencana dapat dikurangi kerugiannya jika terjadi kembali, seperti yang


telah digambarkan pada Gambar 1.3.

Gambar 1.3. Fase-fase dalam Manajemen Bencana Spiral


Mitigasi bencana dapat dibedakan menjadi dua macam (Gambar 1.4)
yaitu :
1. Mitigasi Struktural
a. Alami
b.Buatan
2. Mitigasi Nonstruktural
a. Pendidikan dan pelatihan
b.Penyuluhan atau sosialisasi
c. Penataan ruang dan relokasi
Kegiatan mitigasi di indonesia dapat dilakukan melalui (UU RI No. 24
Tahun 2007, pasal 47 ayat 2) yaitu:
a. pelaksanaan penataan tata ruang;
b. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata
bangunan;
c. penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara
konvensional maupun modern;

13
Modul Praktikum

ALAMI:
Konservasi hutan mangrove,
Mitigasi hutan pantai, terumbu karang,
struktural gumuk pasir.
(Pembangunan
fisik)

BUATAN:
Pembangunan rumah aman
gempa, tanggul, pemecah
gelombang, rumah panggung,
dll.
Mitigasi

Pendidikan dan pelatihan


Mitigasi
nonstruktural
(Penyadaran & Penyuluhan/sosialisasi
peningkatan
kemampuan
masyarakat
Penataan ruang & relokasi

Gambar 1.4. Klasifikasi Mitigasi Bencana di Indonesia

Bagian paling kritis dari pelaksanaan mitigasi bencana adalah


pemahaman penuh akan sifat bencana. Dalam setiap negara dan setiap
daerah, tipe-tipe bahaya yang dihadapi pastilah berbeda-beda. Beberapa
negara rentan terhadap banjir, yang lain mempunyai sejarah-sejarah
tentang kerusakan badai tropis, dan yang lain dikenal sebagai daerah
gempa bumi. Kebanyakan negara rentan terhadap beberapa kombinasi
dari berbagai bahaya dan semua menghadapi kemungkinan bencana
teknologi sebagai akibat kemajuan pembangunan industri. Pengaruh dari
bahaya-bahaya yang mungkin muncul dan kerusakan yang mungkin
diakibatkan tergantung pada apa yang ada di daerah itu seperti orang-
orangnya, rumah-rumahnya, sumber daya kehidupan dan infrastuktur
yang dimiliki oleh negara atau daerah tertentu (element at risk). Untuk
lokasi atau negara tertentu, penting untuk mengetahui tipe-tipe bahaya
yang mungkin ditemui.

14
Modul Praktikum

C. Manajemen Kebencanaan di Indonesia


Pemerintah Indonesia berperan penting dalam membangun sistem
penanggulangan bencana di tanah air. Pembentukan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPBP) merupakan salah satu bagian dari sistem
yang telah berproses dari waktu ke waktu. Lembaga kebencanaan telah
hadir sejak kemerdekaan dideklarasikan pada tahun 1945 dan
perkembangan lembaga penyelenggara penanggulangan bencana dapat
terbagi berdasarkan periode waktu sebagai berikut (sumber BNPB).
 1945 - 1966
Pemerintah Indonesia membentuk Badan Penolong Keluarga Korban
Perang (BPKKP) pada 20 Agustus 1945 yang berfokus pada kondisi situasi
perang paska kemerdekaan Indonesia untuk menolong para korban perang
dan keluarga korban semasa perang kemerdekaan.
 1966 - 1967
Pemerintah membentuk Badan Pertimbangan Penanggulangan Bencana
Alam Pusat (BP2BAP) melalui Keputusan Presiden Nomor 256 Tahun 1966
di bawah Kementrian Sosial. Aktivitas BP2BAP berperan pada
penanggulangan tanggap darurat dan bantuan korban bencana. Paradigma
penanggulangan bencana berkembang tidak hanya berfokus pada bencana
yang disebabkan manusia tetapi juga bencana alam.
 1967 - 1979
Frekuensi kejadian bencana alam terus meningkat sehingga pada tahun
1967 Presidium Kabinet mengeluarkan Keputusan Nomor
14/U/KEP/I/1967 yang bertujuan untuk membentuk Tim Koordinasi
Nasional Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA).
 1979 - 1990
Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA)
ditingkatkan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana
Alam (Bakornas PBA) yang diketuai oleh Menkokesra dan dibentuk dengan
Keputusan Presiden Nomor 28 tahun 1979. Aktivitas manajemen bencana
mencakup pada tahap pencegahan, penanganan darurat, dan rehabilitasi.

15
Modul Praktikum

Sebagai penjabaran operasional dari Keputusan Presiden tersebut, Menteri


Dalam Negeri dengan instruksi Nomor 27 tahun 1979 membentuk Satuan
Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana Alam (Satkorlak PBA)
untuk setiap provinsi.
 1990 - 2000
Bencana tidak hanya disebabkan karena alam tetapi juga non alam serta
sosial. Bencana non alam seperti kecelakaan transportasi, kegagalan
teknologi, dan konflik sosial mewarnai pemikiran penanggulangan bencana
pada periode ini. Hal tersebut yang melatarbelakangi penyempurnaan
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam menjadi Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB). Melalui
Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1990, lingkup tugas dari Bakornas PB
diperluas dan tidak hanya berfokus pada bencana alam tetapi juga non alam
dan sosial. Hal ini ditegaskan kembali dengan Keputusan Presiden Nomor
106 Tahun 1999. Penanggulangan bencana memerlukan penanganan lintas
sektor, lintas pelaku, dan lintas disiplin yang terkoordinasi.
 2000 - 2005
Indonesia mengalami krisis multidimensi sebelum periode ini. Bencana
sosial yang terjadi di beberapa tempat kemudian memunculkan
permasalahan baru. Permasalahan tersebut membutuhkan penanganan
khusus karena terkait dengan pengungsian. Oleh karena itu, Bakornas PB
kemudian dikembangkan menjadi Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP).
Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun
2001 yang kemudian diperbaharui dengan Keputusan Presiden Nomor 111
Tahun 2001.
 2005 - 2008
Tragedi gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya
pada tahun 2004 telah mendorong perhatian serius Pemerintah Indonesia
dan dunia internasional dalam manajemen penanggulangan bencana.
Menindaklanjuti situasi saat itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan

16
Modul Praktikum

Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi


Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB). Badan ini memiliki fungsi
koordinasi yang didukung oleh pelaksana harian sebagai unsur pelaksana
penanggulanagn bencana. Sejalan dengan itu, pendekatan paradigma
pengurangan resiko bencana menjadi perhatian utama.
 2008
Dalam merespon sistem penanggulangan bencana saat itu, Pemerintah
Indonesia sangat serius membangun legalisasi, lembaga, maupun budgeting.
Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan
Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB). BNPB terdiri atas kepala, unsur pengarah penanggulangan
bencana, dan unsur pelaksana penanggulangan bencana. BNPB memiliki
fungsi pengkoordinasian pelaksanaan kegiataan penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu, dan menyeluruh. Pada tahap lebih lanjut juga
dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang tersebar di
berbagai daerah di Indonesia guna implementasi Pengurangan Risiko
Bencana (PRB).
Kehadiran BNPB turut mengubah paradigma kebencanaan di Indonesia
dari masa ke masa. Sebelum tahun 1990-an penanganan bencana cenderung
reaktif saat terjadi bencana (disaster respon based), paradigma berubah ke
arah mitigasi bencana memasuki tahun 1990-an saat pembentukan
Bakornas-PB. Memasuki tahun 2000-an paradigma pengelolaan menjadi
pengelolaan bencana integratif dan sejak didirikannya BNPB tahun 2008
maka paradigma pengelolaan bencana Indonesia saat ini berbasis
Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang melibatkan partisipasi aktif
masyarakat serta menekankan aksi PRB pada seluruh komponen siklus
bencana baik pada tahap pra, saat dan paska bencana.

17
Modul Praktikum

BNPB telah mengeluarkan produk spasial inovasi layanan publik untuk


manajamen bencana di Indonesia, diantaranya;
 DIBI (Data dan Informasi Bencana Indonesia) yang berisikan data
statistik sejarah kejadian bencana dari tahun 1815 hingga
sekarang sudah terintegrasi dengan data kependudukan dan peta
dasar. DIBI dikembangkan sejak 2010 dibantu UNDP dan telah
mendapat penghargaan dari UNDP sebagai sistem database
bencana terbaik di Asia. DIBI saat ini menjadi rujukan dan contoh
bagi banyak negara-negara dalam pengembangan database
bencana (situs http://dibi.bnpb.go.id/dibi/).
 Geospasial BNPB yang berisikan lebih dari 2.500 lembar peta
bencana yang dapat diunduh free accsess oleh publik. Portal
Geospasial BNPB menyediakan peta dasar, petak tematik, UAV
hingga rencana nasional terkait kebencanaan di Indonesia (situs
http://geospasial.bnpb.go.id/). Saat ini Geospasial BNPB telah
dilengkapi dengan sistem webGIS dengan beberapa layanan,
antara lain;
1) InaRISK (Portal hasil kajian risiko yang menggunakan
arcgis server sebagai data services yang menggambarkan
cakupan wilayah ancaman bencana, populasi terdampak,
potensi kerugian fisik (Rp.), potensi kerugian ekonomi
(Rp.) dan potensi kerusakan lingkungan (ha) dan
terintegrasi dengan realisasi pelaksanaan kegiatan
Pengurangan Risiko Bencana sebagai tool monitoring

18
Modul Praktikum

penurunan indeks risiko bencana. InaRISK menunjukkan


bahaya, kerentanan, kapasitas dan risiko di tingkat provinsi
dan kabupaten)
2) InaWARE (Indonesian All-hazard Warnings, Analysis, and
Risk Evaluation untuk mengakses kejadian bencana yang
terjadi dalam skala internasional, regional, dan nasional
secara otomatis serta berbagi informasi antara semua
pelaku penanggulangan bencana dan sebagai alat bantu
pendukung dalam pengambilan keputusan)
3) InaSAFE Realtime (Laporan perhitungan dampak
gempabumi, banjir dan abu gunungapi yang mendekati
realtime setelah terjadi di wilayah Indonesia)
4) InaMHEWS (Indonesian Multihazard Early Warning System
untuk kombinasi prediksi cuaca)
5) Pantauan Bencana (Pantauan terkini kejadian bencana di
seluruh Indonesia, menggambarkan kejadian bencana
terkini hingga 30 hari yang lalu)

IV. KEGIATAN PRAKTIKUM

1. Carilah definisi dan padanan kata dalam Bahasa Indonesia mengenai


istilah hazard, vulnerability, coping capacity, resilience, element at risk,
risk dan disaster (masing-masing 3 disertai referensinya).
2. Berikan review singkat dua produk hukum (Undang-undang dan
peraturan) berkaitan dengan manajemen kebencanaan tingkat nasional.
3. Tentukan secara kelompok satu daerah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa
yang dikaji selama praktikum Manajemen Kebencanaan. Buatlah
summary mengenai lokasi kajian, jenis bencana dan satu bencana
prioritas berdasarkan pencarian di InaRISK /IRBI dan didukung sumber
data kebencanaan Indonesia lainnya.
4. Penentuan bencana prioritas dianalisis dengan mengkombinasikan dua
aspek. Aspek yang pertama adalah tingkat risiko bencana, yang dianalisa

19
Modul Praktikum

dan dikategorikan dengan menggunakan jumlah populasi dan jumlah


bangunan yang berada di dalam wilayah dengan risiko bencana tinggi
(untuk tiap jenis bencana). Aspek yang kedua adalah kecenderungan
risiko bencana, yang dianalisa dengan melihat data sejarah bencana yang
diperoleh dari data BPBD Kabupaten/Kota, DIBI (BNPB), atau sumber
data lainnya. Sajikan matriks seperti contoh sebagai hasil praktikum.

Gambar 1.5. Langkah penentuan bencana prioritas

V. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 2007 nomor 66, Jakarta.

Sudibyakto, A. 2011. Manajemen Bencana Di Indonesia Ke Mana?. Gadjah


Mada University Press. Yogyakarta.
German Red Cross . 2013. International Disaster Risk Reduction and Climate
Change Adaptation at the German Red Cross. Brlin:GRC.

20
Modul Praktikum

Website:
https://bnpb.go.id//home/sejarah
http://dibi.bnpb.go.id/dibi/
http://geospasial.bnpb.go.id/web-gis/
http://inarisk.bnpb.go.id/about
http://pusatkrisis.kemenkes.go.id/

21
Modul Praktikum

MODUL 2
PENAKSIRAN BAHAYA DAN KERAWANAN

22
Modul Praktikum

ACARA I - III
PENAKSIRAN BAHAYA DAN KERAWANAN

I. TUJUAN
1. Mahasiswa mengerti dan memahami konsep bahaya dan kerawanan
2. Mahasiswa mampu melakukan pemetaan bahaya dan kerawanan
3. Mahasiswa mampu membandingkan berbagai model pemetaan bahaya
dan kerawanan
4. Mahasiswa mampu melakukan analisis dampak dan kejadian bencana
berdasarkan pemetaan bahaya dan kerawanan bencana

II. ALAT DAN BAHAN

1. Komputer
2. Data Geospasial
3. Alat tulis
4. Buku sumber

III. DASAR TEORI


A. Konsep Bahaya
Menurut pengertian yang diambil dari United Nations Disaster Relief
Organization (UN-ISDR, 2002), bahaya (hazard) adalah probabilitas dari
kejadian, dengan periode waktu dan lokasi yang spesifik, yang memiliki potensi
untuk menyebabkan kerusakan. Penaksiran bahaya melibatkan analisis
terhadap aspek fisik dari fenomena-fenomena melalui pengumpulan data
historis, interpretasi dari informasi topografis, geologis dan hidrologis untuk
menyediakan estimasi dari probabilitas temporal dan spasial dari kejadian
bencana dan intensitas dari kejadian tersebut (van Westen, 2009 dalam Wiguna,
2012 ). Bahaya merupakan kejadian yang ekstrem yang dapat menyebabkan
risiko dan berpotensial berubah menjadi bencana jika terdapat elemen rentan
yang terpapar bahaya (Dao dan Peduzzi, 2004). Bahaya terdiri dari empat
elemen penting (van Westen, 2009):

23
Modul Praktikum

a. Bahaya diekspresikan sebagai probabilitas atau sesuatu yang mungkin


terjadi pada masa depan. Kapan, dimana, dan bagaimana terjadinya masih
belum dapat dipastikan, namun tetap memungkinkan untuk
mengidentifikasi daerah dimana bahaya dapat terjadi.
b. Probabilitas kejadian bahaya dibatasi pada periode waktu yang spesifik,
biasanya dalam waktu tahunan. Probabilitas tahunan terjadinya bahaya
adalah kemungkinan kejadian tersebut terjadi pada tahun berikutnya. Tanpa
batasan periode waktu, pernyataan tentang probabilitas tersebut akan sia-
sia.
c. Probabilitas kejadian bahaya hanya berlaku pada suatu wilayah tertentu.
Misalnya, gempa bumi terjadi pada daerah patahan, banjir pada dataran
banjir, lahar pada daerah volkanik dan longsor pada tebing terjal.
Karakteristik tertentu dari suatu lokasi menentukan kondisi bahaya yang
dapat terjadi.
d. Kejadian bahaya harus memiliki intensitas atau magnitude tertentu yang
mampu menyebabkan kehilangan ataupun kerugian. Intensitas dapat
diartikan sebagai pelepasan energi oleh suatu kejadian, semisal intensitas
debit banjir atau tenaga yang dikeluarkan ketika terjadi gempa bumi.
Semakin besar energi yang dikeluarkan oleh suatu kejadian, semakin
berpotensial untuk menyebabkan kerusakan.
Studi tentang bahaya disebut penaksiran bahaya (hazard assessment).
Penaksiran bahaya melibatkan analisis terhadap aspek fisik dari fenomena
fenomena melalui pengumpulan data historis, interpretasi informasi topografis,
geomorfologis dan hidrologis. Informasi-informasi tersebut berguna untuk
menyediakan estimasi tentang probabilitas spasial dan temporal, serta
intensitas dari fenomena bahaya tersebut (van Westen, 1999).

B. Konsep Kerawanan
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2007 Tentang Penanggulangan Bencana, Rawan bencana adalah kondisi atau
karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial,

24
Modul Praktikum

budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu
tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai
kesiapan, dan mengurangi kemampuan menanggapi dampak buruk bahaya
tertentu.

Gambar 2.1. Diagram alir pembuatan peta bahaya (sumber:


eis.uow.edu.au)

C. Teknik Pembuatan Peta Bahaya dan Kerawanan


Penaksiran bahaya dan kerawanan dapat dilakukan dengan cara
pembuatan peta bahaya (Hazard map) dan peta kerawanan (Susceptibility
map). Peta bahaya harus memberikan informasi tentang lokasi bahaya aktual
dan potensial, periode ulangan kejadian, dan frekuensi kejadian (Dewitte et al.,
2006). Pembuatan peta bahaya bertujuan untuk memprediksi dimana kejadian
paling mungkin dengan waktu yang telah di prediksikan. Sedangkan peta
kerawanan dapat menyajikan informasi probabilitas dan distribusi spasial
25
Modul Praktikum

kemungkinan lokasi terjadinya bencana. Gambar 2.2 merupakan contoh


diagram alir teknik pembuatan peta bahaya dan kerawanan.

Gambar 2.2. Diagram alir pembuatan peta kerawanan (Sumber: eis.uow.edu.au)

IV. KEGIATAN PRAKTIKUM


Acara II
1. Carilah contoh penelitian dan hasil peta bahaya (2) dan peta kerawanan
(2) berkaitan dengan prioritas bencana yang Anda kaji
2. Jelaskan konsep pembuatan peta-peta yang ditemukan, dalam bentuk
tabel yang meliputi data yang digunakan, metode pembuatan, dan hasil.
Bencana Lokasi Penelitian Parameter Metode dan Hasil
Bahaya
Kerawanan

26
Modul Praktikum

3. Buatlah geodatabase parameter kerawanan dan bahaya untuk bencana


prioritas di Kabupaten/Kota Anda serta jelaskan alasan penggunaan
metode dan paramater yang dipilih dalam tabel
Parameter Teknik Perolehan Pengaruh Parameter
(Alasan)

Acara III
1. Buatlah peta kerawanan bencana prioritas di Kabupaten/Kota Anda
menggunakan teknik pemetaan kerawanan yang telah Anda pelajari.
Anda bebas memilih dan mengembangan model pemetaan kerawanan
(tanpa menggunakan parameter historis bencana).
2. Buatlah tabel tingkat kerawanan bencana dan luas penggunaan lahan
(penamaan standar SNI) terdampak pada setiap tingkat kerawanan.
Landuse K. Tinggi K. Sedang K. Rendah
Lahan Pertanian (ha)
Permukiman (ha)
Hutan Lahan Kering
Sekunder (ha)
……….

Acara IV
1. Buatlah peta bahaya bencana prioritas di Kabupaten/Kota Anda
menggunakan teknik pemetaan bahaya yang telah Anda pelajari. Anda
bebas memilih dan mengembangan model bahaya kerawanan
(menggunakan parameter historis bencana).
2. Jika Kabupaten tersebut telah melalukan pemetaan bencana yang dipilih,
bandingkan hasil pemetaan yang dilakukan oleh Kabupaten pilihan
dengan peta yang dihasilkan.

27
Modul Praktikum

3. Lakukan juga perbandingan hasil pemetaan bahaya dengan peta


kerawanan bencana dan peta bahaya pada portal InaRISK.
V. DAFTAR PUSTAKA
Dao, H., P. Peduzzi. 2004. Global Evaluation of Human Risk and Vulnerability to
Natural Hazards. Enviroinfo vol. I: 435-446.
United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR). 2009
UNISDR Terminology on Disaster Risk Reduction. Geneva: United Nations
International Strategy for Disaster Reduction
Van Westen, C. 1999. Multi Hazard Risk Assessment: Distance Education Course
Guide Book. Enschede: International institute for Geo-Information
Science and Earth Observation.
Wiguna, Putu P.K. 2012. Penaksiran Risiko Banjir Lahar di Daerah Aliran Sungai
(DAS) Gendol dan DAS Opak, Yogyakarta. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada.

28
Modul Praktikum

SESI I
PENGENALAN SOFTWARE ILWIS
The Integrated Land and Water Information System (ILWIS)
merupakan perangkat lunak GIS dan pemrosesan citra (image processing)
yang dikembangkan oleh The International Institute for Geo-Information
Science and Earth Observation (ITC), Enschede, The Netherlands.
Softwarer ILWIS sangat baik untuk mengolah datar raster, salah
satunya dengan keberadaan fungsi SMCE (Spatial Multi Criteria
Evaluation). Langkah penggunaan perangkat lunak ILWIS disajikan
sebagai berikut:
1. Klik icon ILWIS pada desktop
2. Anda akan melihat jendela utama ILWIS yang terdiri atas Title bar,
Menu bar, Standard toolbar, Object selection toolbar, Command line,
Catalog, Status bar dan Operations/Navigator pane dengan Operation-
tree, Operation-list dan Navigator (Gambar 2.3)

Gambar 2.3 Jendela Utama Perangkat Lunak ILWIS

29
Modul Praktikum

3. ILWIS memiliki beberapa file yaitu coordinat system, domain, polygon


map, representation, attribute table, dan raster map.
4. Buka file pada catalog ILWIS. Pastikan data dasar yang diolah memiliki
folder yang sama dengan ILWIS. Data dasar dapat dalam bentuk vector
dengan format .shp maupun raster dengan format .tif atau .bmp.
5. Data tersebut dapat dibuat menggunakan ArcGis. Masukkan dalam
folder tersendiri agar memudahkan saat mengoperasikan di ILWIS
(Gambar 2.4).

Gambar 2.4. Jendela ILWIS

6. Klik navigator cari folder tempat penimpanan data dasar yang telah
dibuatklik folder berisi data dasar
7. Buat koordinat sistem yang akan digunakan dengan cara: klik
FileCreateGeoreference. Isi Georeference Filename dgn nama
sistem koordinat yang digunakan atau nama wilayah agar memudahkan
untuk membedakan dengan wilayah yang lain, misal
“Tulis_UTM_WGS1984” atau “Tulis” atau “UTM_WGS84” bebas.

8. Klik icon pada koordinat system (ini untuk membuat sistem


koordinat baru). Maka akan muncul kotak berikut (Gambar 2.5):

30
Modul Praktikum

Gambar 2.5 Icon Pemilihan Proyeksi Sistem Koordinat.

9. Beri nama koordinat sistem sama dengan nama georeferencing  pilih


CoordSystem ProjectionOK (Gambar 2.6)

(a)

31
Modul Praktikum

(b)
Gambar 2.6. Toolbox untuk Memberi Nama Sistem Koordinat.

10. Pilih “Projection” pilih “UTM” OK. Akan muncul kotak berikut
(Gambar 2.7):

Gambar 2.7. Pengaturan Sistem Koordinat.

Pilih “Ellipsoid”Pilih “WGS 84” OK


Pilih “Datum”Pilih WGS 1984”  OK
Check “Northerm Hemisphere jika beradan di BBU
Uncheck “Northerm Hemisphere jika beradan di BBS
Isikan “Zone” dengan zona UTM misal “49”

32
Modul Praktikum

11. Dijendela ILWIS akan muncul icon georeference (Gambar 2.8)

Gambar 2.8. Tampilan Georeference di Jendela ILWIS.

12. Apabila belum terlihat pada jendela utama, cari file dem pada directory
yang sudah disediakan. Untuk membuka sub directory yang mempunyai
kedudukan pada root directory, klik dua kali pada icon ... pada catalog.
13. Import data vector dilakukan dengan klik File  Import Map dan pilih
file .shp yang akan di import ke dalam ILWIS. Pilih format .shp dan beri
nama output file (Gambar 2.9):

Gambar 2.9. Import data vector

14. Import data vector dilakukan dengan klik File  Import Map dan pilih
file .shp yang akan di import ke dalam ILWIS. Pilih format .shp dan beri
nama output file (Gambar 2.9):
33
Modul Praktikum

Gambar 2.9. Import data vector

15. Akan muncul 3 data ada tambahan berupa data polygon , tabel ,
dan palet .
16. Samakan koordinatnya dengan koordinat yg telah dibuat, yaitu pada
das_landuse klik kanan properties coordinat system diganti
“Tulis_UTM_WGS1984g” atau nama sistem koordinat yang telah dibuat
sebelumnya apply  OK.
17. Selanjutnya memunculkan atribut map nya dengan double klik pada
PLakan muncul tabel atribut dari shp  double klik pada judul
kolom yang akan dimunculkan sebagai legenda peta akan muncul
kotak column properties, dibagian bawah klik create new domain
from strings in column nama domain akan sama dengan judul
kolom yg akan dimunculkan OK (Gambar 2.10):

Gambar 2.10. Cara Membuat Domain Peta PL

34
Modul Praktikum

18. Membuat polygon map dengan klik kanan pada  vector


operation  attribute map. Akan muncul kotak atribut map,
perhatikan pada kolom atrribute, seharusnya berisi nama judul kolom
yang akan dijadikan legenda peta, beri nama pada Output polygon
map, misalnya “tulis_landuse” klik show. Akan muncul peta PL yang
dan warna legenda dapat diubah (Gambar 2.11).

Gambar 2.11. Tampilan Peta PL dari ILWIS

19. Pengolahan di ILWIS seluruhnya menggunakan format raster sehingga


data vector perlu di ekspor ke dalam raster.
20. Membuat peta raster dari format vector dengan cara klik kanan pada
tulis_landusepolygon to rasterpada kolom georeference, klik

beri nama “raster_landuse” (samakan nama dengan sistem


koordinat)Show. Peta raster PL sudah jadi.
21. Apabila data sudah dalam bentuk raster maka proses impor dapat
dilakukan melalui FileImportVia GDAL atau General Raster. Pilih file
dalam format .tif lalu tulis nama output misal “dieng_elevation” atau nama
lain.

35
Modul Praktikum

22. Akan muncul 3 data ada tambahan berupa data raster , sistem

georeferencing , dan sistem koordinat .


23. File raster umumnya membawa sistem koordinat sendiri sehingga
untuk pengolahan harus disamakan salah satu sistem koordinat baik
mengikuti koordinat dan georeferencing file sebelumnya maupun file
raster.
24. Tidak samanya koordinat dan georeferencing menyebabkan data tidak
dapat diolah.
25. Penyamaan koordinat dilakukan dengan klik kanan file raster yang akan
disamakan koordinatnyaImage ProcessingResample (Gambar 2.12):

Gambar 2.12. Resample Data Raster


26. Selanjutnya isi nama output file dan pilih sistem georeferencing yang
diinginkan misal “das_elevation” dan Ok dan akan muncul peta hasil
resample yang sudah sama koordinatnya.
36
Modul Praktikum

27. Hasil peta resampel selanjutnya harus memiliki domain agar data raster
memiliki klasifikasi nilai. Maka klik FileCreateDomain. Isi nama
doimain, check class dan group. Selanjutnya buatlah klasifikasi kelas raster
dengan menentukan nilai upper bound dan nama kelas berdasarkan referensi
yang Anda pelajari (Gambar 2.13):

Gambar 2.13. Penyamaan Sistem Georeferencing


28. Proses selanjutnya adalah slicing yang dilakukan dengan klik kanan file
raster yang akan dibuat kelasImage ProcessingSlicing. Isi nama peta
output dan pilih domain yang telah dibuat sebelumnya (Gambar 2.14):

Gambar 2.14. Slicing Peta Raster


37
Modul Praktikum

29. Setelah slicing maka akan muncul peta raster yang telah memiliki kelas
elevasi (Gambar 2.15):

(a) (b)
Gambar 2.15. Peta (a) Sebelum Slicing, (b) Setelah Slicing
30. Hasil peta raster selanjutnya dapat diolah untuk berbagai pemodelan
dalam ILWIS.

38
Modul Praktikum

SESI II
PEMETAAN BERBAGAI TIPE KERAWANAN BENCANA

A. Kerawanan Bencana Epidemi


Faktor yang paling berpengaruh terhadap tingginya angka DBD (Deman
Berdarah) dan Malaria adalah faktor lingkungan yang meliputi lingkungan fisik,
biologi dan sosial. Dalam penelitian ini dilakukan analisis menggunakan SIG
(Sistem Informasi Geografi) untuk mengetahui hubungan lingkungan dengan
peresebaran kejadian DBD di setiap kecamatan. Metode analisis yang dilakukan
adalah dengan analisis spasial pemetaan kejadian DBD dan Malaria di Kabupaten
Jepara khususnya di Kecamatan Kembang, Jepara dan Kalinyamatan. Dalam
penelitian ini digunakan beberapa variabel penentu untuk mengetahui daerah
yang rawan terhadap terjangkitnya DBD dan Malaria. Variabel tersebut berkaitan
dengan perkembangbiakan dan penyebaran nyamuk Aedes Aegypti sebagai
vector DBD dan nyamuk Anopheles sebagai vector Plasmodium yang
menyebabkan Malaria.
Metode yang dilakukan adalah teknik Ground-check atau observasi
lapangan. Tujuan utama ground-check adalah untuk mendapatkan data baru dari
jajaran dinas dan instansi pemerintah yang bersangkutan di tingkat
kabupaten/kota. Ground-check difokuskan untuk mendapatkan data tambahan
serta validasi data dari Dinas Kesehatan dan Puskesmas terkait angka kejadian
penyakit malaria dan DBD di level kecamatan. Teknik analisis yang digunakan
adalah menggunakan teknik analisis skoring atau pemberian nilai yang dilakukan
terhadap variabel. Teknik analisis lainya adalah analisis buffer dan overlay.
Analisis Buffer dilakukan untuk memperoleh peta jarak sampah terhadap TPS
dan Peta Jaringan Sungai. Overlay dilakukan untuk menumpangsusunkan semua
peta yang telah diberi skor sehingga memperoleh Gambar 2.16 menyajikan alur
pemetaan kerawanan bencana epidemi.

39
Modul Praktikum

Gambar 2.16. Diagram alir pemetaan bencana epidemi

B. Kerawanan Bencana Kekeringan Meteorologis


Kekeringan di suatu wilayah dapat diprediksi dengan cara memetakan
kekeringan meteorologis dengan metode interpolasi nilai kekeringan. Nilai
kekeringan diperoleh melalui perhitungan nilai hujan bulanan menggunakan
software Standardized Precipitation Index (SPI). Proses pengolahan diawali
dengan rekapitulasi data hujan harian menjadi data hujan bulanan. Apabila
terdapat data yang kosong, data diisi menggunakan data TRMM (Tropical Rainfall
Measurment Misson) yang telah terkalibrasi.
Uji konsistensi dilakukan menggunakan kurva massa ganda, sedangkan
uji korelasi dilakukan menggunakan software statistik misalnya Minitab, SPPS
atau MATLAB R2013a (32-bit). Uji konsistensi terhadap data hujan dilakukan
menggunakan Double Mass Curve Method.Prinsip metode tersebut adalah
membandingkan data hujan kumulatif dari stasiun yang diuji terhadap rerata
kumulatif stasiun hujan di sekitarnya. Proses perbandingan tersebut dilakukan
menggunakan grafik dimana stasiun yang diuji diplot pada sumbu Y dan stasiun
penguji diplot pada sumbu X. Data yang ideal memiliki garis konsistensi yang

40
Modul Praktikum

lurus. Apabila data memiliki garis konsistensi yang menyimpang, maka perlu
dikoreksi dengan mempertimbangkan slope penyimpangan.
Uji korelasi menggunakan Persamaan (1):

(1)
Dimana:
R = koefisien korelasi
x= curah hujan tahunan stasiun hujan yang diuji
y= curah hujan tahunan stasiun hujan penguji.
Nilai korelasi yang diperoleh memiliki makna tersendiri seperti tersaji pada
Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Koefisien korelasi
Nilai Korelasi (R) Keterangan
0,00 – 0,199 sangat lemah
0,20 – 0,399 Lemah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 sangat kuat
Sumber: Sugiyono (2007)
Setelah dilakukan pengisian data hujan kosong, uji korelasi, dan uji
konsistensi, maka didapatlah data curah hujan bulanan yang siap olah melalui
software SPI. Nilai SPI digunakan sebagai acuan untuk menentukan kondisi
kekeringan suatu wilayah dengan klasifikasi pada Tabel 2.2. Hasil nilai SPI
dijadikan dasar proses interpolasi menggunakan software ArcMap untuk
menghasilkan peta kekeringan meteorologis.
Tabel 2.2 Nilai SPI dan klasifikasi kekeringan
Nilai SPI Klasifikasi Kekeringan
2,0 Amat sangat basah
1,5 – 1,99 Sangat basah
1,0 – 1,49 Basah
(-0,99) – 0,99 Normal
(-1,0) – (-1,49) Kering
(-1,5) – (-1,99) Sangat kering
(-2) Amat sangat kering
Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (2012); World Meteorological Organization
(2012)

41
Modul Praktikum

Diagram alir penelitian dapat dilihat secara lebih jelas pada Gambar 2.17.

Data Curah Hujan Harian

Data Curah Hujan Bulanan

Pengisian Data Curah Uji Korelasi


Uji Konsistensi
Hujan Kosong

Data Curah Hujan Bulanan Siap Olah

Pengolahan menggunakanSoftware SPI

Nilai SPI

Standar
Klasifikasi
Kekeringan
Klasifikasi
Kekeringan per
Stasiun Hujan

Koordinat Peta RBI


Stasiun Hujan

Pemetaan
Keterangan: Kekeringan
Bahan (Interpolasi dan
Overlay)
Proses
Hasil
Peta Kekeringan
Meteorologis

Gambar 2.17. Diagram Alir Pemetaan Kekeringan Meteorologis

42
Modul Praktikum

C. Kerawanan Bencana Angin Ribut


Pemetaan kerawanan angin ribut dapat dilakukan dengan metode
Spatial Multi Criteria Evaluation (SMCE) guna menggabungkan kriteria bencana
dan mengolah alternatif kerawanan bencana dalam software ILWIS 3.3. Data
yang dibutuhkan untuk membuat peta kerawanan angin ribut merupakan data
berbasis format raster, diantaranya penggunaan lahan, data hidrometeorologis
(suhu, curah hujan, kelembapan udara, angin dan tekanan udara), data
kelerengan (lereng dan arah hadap lereng) dan jumlah kejadian angin ribut.
Data yang diperlukan diperoleh dari pengumpulan langsung di lapangan
dan dari instansi terkait. Teknis pengolahan data menggunakan pembobotan dan
pengklasifikasian menggunakan perangkat lunak geospasia. Alat dan bahan yang
diperlukan dalam penelitian ini:
1. Software ArcGis
2. Software ILWIS
3. Peta RBI wilayah kajian
Data kelerengan yang dipergunakaan dalam penelitian ini meliputi
kemiringan dan arah hadap lereng. Data kelerengan diperoleh dari pengolahan
SRTM atau kontur digital. Pembuatan peta kemiringan lereng dilakukan secara
digital dengan menggunakan software ArcGIS dengan mengolah SRTM/kontur
digital menjadi Digital Elevation Model (DEM). Hasil DEM diolah menjadi raster
kemiringan lereng (slope) dan dikonversi dengan menu reclasify dalam ArcGIS
(Wardhana, 2013). Kelas kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Data arah hadap lereng diperoleh dari pengolahan lanjut data DEM yang
telah dibuat sebelumnya dengan mengubahnya menjadi raster arah hadap
(aspect) dan dikelaskan berdasarkan sudut arah hadap dengan menu reclasify
dalam ArcGIS. Kelas dibagi menjadi 5 kelas, hal ini didasarkan atas pengaruh
sudut datang sinar matahari, yakni datar, utara, timur, selatan dan barat.
Klasifikasi arah hadap lereng dapat dilihat pada Tabel 2.4.

43
Modul Praktikum

Tabel 2.3. Klasifikasi Kemiringan Lereng


Kelas Kategori Kecuraman Lereng (%)
1 Datar 0–8
2 Landai 8 – 15
3 Agak curam 15 – 25
4 Curam 25 – 45
5 Sangat curam > 45
Sumber: Syah, 2013

Tabel 2.4. Klasifikasi Arah Hadap Lereng


Kelas Kategori Arah Hadap Lereng (°)
1 Rata -1 – 0
2 Utara 315 – 45
3 Timur 45 – 135
4 Selatan 135 – 225
5 Barat 225 – 315
Sumber: Amri, 2015

Data penggunaan lahan berupa data spasial (shapefile) dari Peta RBI yang di
update menggunakan citra Google Earth tahun 2015 serta observasi lapangan untuk
dapat membedakan atap permukiman berupa genteng dan seng. Atap permukiman
berupa seng cenderung memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan genteng
sehingga tekanan menjadi rendah dan serta sangat rentan untuk terbawa oleh
kejadian angin ribut. Data penggunaan lahan dibagi menurut klasifikasi SNI, menjadi
8 kelas antara lain badan air, hutan primer, hutan sekunder, perkebunan, pertanian
lahan kering, sawah, semak belukar, tambak dan lahan terbangun.
Data parameter hidrometeorologis merupakan data bulanan yang berasal dari
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Data curah hujan menggunakan data
TRMM. Pembuatan peta suhu, curah hujan, tekanan udara dan kelembaban
menggunakan metode interpolasi geostatistik tension spline. Data arah dan kecapatan
angin serta data kejadian angin ribut digunakan dalam proses analisis dan deskripsi
lebih lanjut. Data arah dan kecepatan angin dapat disajikan dalam bentuk mawar
angin (windrose). Data jumlah kejadian angin ribut diperoleh dari data BNPB, BPBD
atau survey langsung lapangan untuk validasi.

44
Modul Praktikum

Mawar angin merupakan salah satu cara dalam menampilkan data angin.
Mawar angin ditampilkan dalam bentuk grafik yang berisi tentang informasi yang
menunjukkan frekuensi dari arah datang serta kecepatan angin. Pembuatan mawar
angin ini dilakukan dengan menggunakan perangkat WRPLOT view. Data yang telah
didapat dikumpulkan dalam 1 bulan pencatatan, sehingga didapatkan mawar angin
yang merepresentasikan kejadian bulanan. Pembuatan mawar angin dengan
menggunakan aplikasi ini membutuhkan koordinat serta elevasi dari stasiun yang
digunakan. Hasil yang didapatkan merupakan mawar angin dengan periode bulanan
berdasarkan periode data yang digunakan, serta mawar angin dari keseluruhan data
untuk dapat mengetahui keadaan umum daerah penelitian.
Perangkat ILWIS menyediakan fasilitas analitis berupa metode penilaian
berupa multi kriteria yang mampu memberikan kemudahan peneliti melakukan
tabulasi data keruangan dan data atribut bencana angin ribut. Analisis multikriteria
berbasis pendekatan keruangan menggunakan perangkat lunak ILWIS membuka
peluang untuk memanfaatkan berbagai kriteria yang ada untuk dianalisis secara
keruangan menggunakan penyusunan skenario permasalahan, standardisasi data,
pembobotan, dan pembuatan peta (Hizbaron, 2010). Pembobotan dilakukan dengan
metode pairwise (Analytical Hierarcy Process). Diagram alir penelitian dapat dilihat
pada Gambar 2.18.

45
Modul Praktikum

Data Data Data Data Data Data Data Batas


Angin Temperatur Tekanan Kelembapan Kontur Tutupan Kejadian Admin
Udara Udara Lahan Angin istratif
Ribut

Pembuatan Plotting dan Interpolasi Pembuatan Digital Elevation Plotting Plotting


Windrose Model (DEM) dan Reclassify

Mawar Peta Temperatur Peta Peta Peta Peta Arah Peta Peta
Angin Udara Tekanan Kelembapan Kemiringan Hadap Tutupan Kejadian
Udara Udara Lereng Lereng Lahan Angin Ribut

SMCE
(ILWIS)

Peta Kerawanan Angin Ribut

Analisis Lanjutan (Deskripsi)

Keterangan:
Bahan
Gambar 2.18. Diagram alir pemetaan kerawanan angin rib
Proses
Hasil
46
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

D. Kerawanan Bencana Banjir


Informasi yang dibutuhkan untuk membuat indeks kerawanan adalah
kondisi fisik wilayah kajian dan informasi kejadian banjir. Informasi mengenai
kondisi fisik wilayah terdiri dari informasi kemiringan lereng, kerapatan drainase,
penggunaan lahan, buffer sungai, dan kondisi curah hujan serta batas Daerah
Aliran Sungai (DAS). Data informasi mengenai kejadian banjir berupa lokasi
kejadian, jumlah kejadian, luas genangan, lama waktu genangan. Pengumpulan
data dilakukan dengan survei lapangan dan analisis GIS. Teknis pengolahan data
menggunakan pembobotan klasifikasi melalui perangkat lunak ILWIS.
Kriteria kerawanan banjir terdiri atas kerapatan drainase, kemiringan
lereng, buffer sungai, curah hujan, dan penggunaan lahan. Peta penggunaan lahan
diperoleh dari delineasi citra satelit, peta buffer sungai, dan peta kerapatan
drainase diturunkan dari peta topografi sedangkan peta kemiringan lereng
diperoleh dari data DEM SRTM lokasi kajian. Kerapatan drainase sebagai faktor
penentu waktu gerakan air melihat dari hasilnya yang diperoleh dari membagi
panjang aliran sungai dengan luas permukaan (Arianpour dkk., 2015).
Karakteristik kerapatan drainase diperoleh dari Persamaan (1):

(1)
Dimana
D = Kerapatan drainase (km/km²)
L = panjang sungai (km)
A = Luas area DAS/unit analisis (km²)

Karakteristik kemiringan lereng, buffer sungai, penggunaan lahan, dan


curah hujan menggunakan klasifikasi dari Costache (2015) dalam Tabel 2.5 Hasil
pemetaan banjir di overlay dengan peta batas Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk
proses analisis kerawanan banjir. Perangkat ILWIS menyediakan fasilitas analitis
berupa metode SMCE yang mampu memberikan kemudahan peneliti melakukan

47
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

tabulasi data keruangan dan data atribut multi kriteria. Pembobotan dilakukan
dengan metode pairwise (AHP) dan diagram alir penelitian pada Gambar 2.19.

Tabel 2.5. Klasifikasi faktor kerawanan banjir


Skor 1 2 3 4 5
Kemiringan lereng (º) 0–3 3,1 – 7 7,1 -15 15,1 – 25 > 25
Buffer sungai (m) > 200 150,1 – 200 100,1 – 150 50,1 – 100 < 50
Semak Kebun, Sawah irigasi, sawah Gedung,
Penggunaan lahan Hutan belukar, pasir tegalan, tadah hujan, air permukim
darat, air laut rumput tawar, empang an
Curah hujan (mm/bln) >100 100 – 200 200 – 300 300 – 400 > 400
Sumber: Costache, 2015 dengan perubahan

Lokasi kejadian

Kejadian
Grup I & Batas Luas genangan
DAS

Lama genangan

ILWIS Pembobotan dengan


Kriteria
SMCE pairwise
evaluasi
Peta DEM Kemiringan lereng

Data hujan Curah hujan


Grup II Peta Kerawanan Banjir
Buffer sungai

Peta RBI Kerapatan drainase

Penggunaan lahan

Gambar 2.19. Diagram Alir Pemetaan Kerawanan Banjir

48
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

E. Kerawanan Bencana Gempa Bumi


Pemetaan kerawanan gempa bumi menggunakan data primer dan/atau
data sekunder. Data primer dapat dari survei lapangan sedangkan data sekunder
bersumber dari data-data yang sudah ada sebelumnya. Data-data sekunder
merupakan data instansional dan data penelitian yang pernah dilakukan. Data
primer berupa rekapitulasi kejadian gempabumi dan data kerusakan akibat
gempabumi di Kabupaten/Kota yang dipilih.
Selanjutnya pedoman yang digunakan dalam penentuan kerawanan
gempabumi dalam penelitian ini adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.
21 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan
Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Gempabumi. Harapannya pedoman yang
digunakan dapat meminimalkan kerugian yang terjadi akibat gempabumi, baik
korban jiwa maupun materi sehingga dapat dipertahankan konsistensi kesesuaian
antara pelaksanaan pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang kawasan
dimaksud. Data yang dikumpulkan sebagai informasi variabel kerawanan
gempabumi didasarkan pada informasi geologi dan penilaian kestabilan.
Informasi geologi yang digunakan yaitu sifat fisik batuan, kemiringan lereng,
kegempaan, dan struktur geologi.
Penetapan kawasan rawan gempabumi dilakukan dengan menganalisis
sifat, karakteristik, dan kondisi geologi wilayah kajian. Tipe kawasan rawan
gempabumi ditentukan berdasarkan tingkat risiko gempabumi yang dibedakan
menjadi enam tipe kawasan, yakni;
 Tipe A berlokasi jauh dari daerah sesar yang rentan terhadap getaran
gempabumi.
 Tipe B memiliki lebih dari satu faktor yang saling mempengaruhi.
 Tipe C terdapat dua faktor dominan yang menyebabkan kerawanan tinggi.
 Tipe D merupakan akumulasi dua atau tiga faktor yang saling melemahkan.

49
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

 Tipe E merupakan jalur sesar yang dekat dengan episentrum yang


dicerminkan dengan intensitas gempa yang tinggi, serta di beberapa
tempat berada pada potensi landaan tsunami merusak.
 Tipe F berada pada kawasan landaan tsunami sangat merusak dan di
sepanjang zona sesar sangat merusak, serta pada daerah dekat dengan
episentrum dimana intensitas gempa tinggi.

Pemetaan kerawanan gempabumi dilakukan dengan melakukan skoring dan


pembobotan pada beberapa variabel kerawanan gempabumi yang digunakan.
Acuan dasar, teknik skoring, dan pembobotan mengacu pada Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No. 21 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan
Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Gempabumi. Pembobotan
dilakukan dengan bantuan Microsoft Excel agar mempermudah perhitungan
formula. Setelah seluruh variabel dilakukan pembobotan, analisis selanjutnya
dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan bantuan software
ArcGIS. ArcGIS digunakan dalam proses input informasi berupa hasil pembobotan
yang telah dilakukan ke dalam format shapefile. Hasilnya adalah indeks peta
kerawanan gempabumi, kemudian editing dilakukan untuk menghasilkan peta
akhir berupa peta kerawanan gempabumi di Kecamatan Kembang, Jepara, dan
Kalinyamatan. Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing variabel yang
digunakan serta proses pembobotan (Peraturan Menteri PU No.21 Tahun 2007).
Parameter kerawanan gempabumi, diantaranya;
1) Sifat Fisik Batuan
Sifat fisik batuan menggambarkan kondisi kekuatan batuan saat menerima
beban dan tekanan. Semakin kuat batuan menerima beban dan tekanan, maka
akan semakin stabil terhadap kemungkinan longsor dan amblasan, terutama pada
saat terjadi goncangan kawasan rawan gempabumi. Selain itu aspek sifat fisik
batuan dilihat juga dari sisi kekompakkannya, kekerasannya maupun material
pembentuknya. Urutan pertama menunjukkan kelompok batuan yang relatif

50
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

kompak, lebih resisten terhadap gempa dan lebih stabil terhadap kemungkinan
longsoran dan amblasan. Urutan selanjutnya nilai kemampuannya semakin
mengecil yang ditunjukkan dalam Tabel 2.6.

Tabel 2.6. Kelompok batuan


No. Kelompok Batuan
1. Andesit, granit, diorit, metamorf, breksi volkanik, aglomerat, breksi
sedimen, dan konglomerat.
2. Batupasir, tuf kasar, batulanau, arkose, greywacke, dan batugamping.
3. Pasir, lanau, batulumpur, napal, tuf halus, dan serpih.
4. Lempung, lumpur, lempung organic, dan gambut.
Sumber: Permen PU No.21 Tahun 2007.

2) Kemiringan Lereng
Tingkat stabilitas terhadap kemungkinan terjadinya longsoran atau runtuhan
tanah dan batuan saat gempabumi dapat digambarkan dengan kemiringan lereng.
Semakin terjal kemiringan lereng, potensi terjadi gerakan tanah dan batuan
semakin besar meskipun jenis batuan yang menempatinya cukup berpengaruh
untuk tidak terjadinya longsoran. Menurut klasifikasi yang digunakan, kemiringan
lereng antara 0% hingga 15% akan stabil terhadap kemungkinan longsor,
sedangkan di atas 15% potensi untuk terjadi longsor pada saat kawasan rawan
gempa bumi akan semakin besar. Berikut klasifikasi kemiringan lereng yang
digunakan menurut Van Zuidam (1988) dalam Tabel 2.7.
Tabel 2.7. Klasifikasi kemiringan lereng
No. Kemiringan Lereng Keterangan
1. 0°-2° (0%-2%) Datar (almost flat)
2. 2°-4° (2%-7%) Landai (gently sloping)
3. 4°-8° (7%-15%) Miring (sloping)
4. 8°-16° (15%-30%) Agak curam (moderately steep)

51
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

5. 16°-35° (30%-70%) Curam (steep)


6. 35°-55° (70%-140%) Sangat curam (very steep)
7. >55° (>140%) Terjal (extremely steep)
Sumber: Van Zuidam (1988)

3) Kegempaan
Kegempaan merupakan faktor yang menjadi informasi tingkat intensitas gempa.
Berikut Tabel 2.8 menunjukkan Skala Kegempaan serta Tabel 2.9 menunjukkan
Parameter Kekuatan Getaran dan Dampaknya.
Tabel 2.8. Skala kegempaan
No. MMI (Skala Mercalli) α (Anomali Gaya Berat) Skala Richter
1. i, ii, iii, iv, v < 0,05 g <5
2. vi, vii 0,05 g – 0,15 g 5–6
3. viii 0,15 – 0,30 g 6 – 6,5
4. ix, x, xi, xii > 0,30 g > 6,5
Sumber: Permen PU No.21 Tahun 2007.

Tabel 2.9. Parameter kekuatan getaran dan dampaknya


Intensitas
Skala Dampak
(MMI)
I Tidak Terasa
II Terasa hanya oleh orang dalam keadaan istirahat, terutama di
tingkat-tingkat atas bangunan atau di tempat-tepat yang
tinggi
III Terasa di dalam rumah, tetapi banyak yang tidak menyangka
kalau ada gempa bumi, getaran terasa seperti ada truk kecil
lewat
IV Terasa di dalam rumah seperti ada truk berat lewat atau

52
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

terasa ada barang berat yang menabrak dinding rumah.


Barang-barang yang bergantung bergoyang-goyang, jendela
dan pintu berderik, batang pecah-belah pecah, gelas-gelas
gemerincing, dinding, dinding dan rangka rumah berbunyi.
V Dapat dirasakan di luar rumah. Orang tertidur terbangun,
cairan tampak bergerak-gerak dan tumpah sedikit. Barang
perhiasan rumah yang kecil dan tidak stbil bergerak atau
jatuh. Paintu-pintu terbuka tertutup, pigura-pigura dinding
bergerak, lonceng bandul berhenti atau mati atau tidak cocok
jalannya.
VI Terasa oleh semua orang. Banyak orang lari keluar karena
terkejut. Orang sedang berjalan kaki terganggu. Jendel
berderit, gerabah, barang-barang pecah-belah pecah, barang-
barang kecil dan buku jatuh dari raknya, gambar-gambar
jatuh dari dinding, mebel-mebel bergerak atau berputar.
Plester dinding yang lemah pecah-pecah dan pohon-pohon
terlihat bergoyang.
VII Dapat dirasakan orang yang sedang mengemudikan mobil.
Orang yang sedang berjalan kaki sulit untuk berjalan dengan
baik, langit-langit dan bagian-bagian konstruksi bangunan
pada tempat yang tinggi rusak. Tembok yang tidak kuat pecah,
plester tembok dan batu-batu tembok yang tidak terikat kuat
jatuh. Terjadi sedikit pergeseran dan lekukan-lekukan pada
timbunan batu pasir dan batu kerikil.
VIII Mengemudi mobi terganggu. Terjadi kerusakan pada
bangunan-bangunan yang kuat karena bagian-bagin yang
runtuh. Kerusakan terjadi pada tembok-tembok yang dibuat
tahan erhadap etaranetaran horizontal dan beberapa bagian
tembok runtuh. Cerobong asap, monumen-monumen,

53
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

menara-menara, dan tangki air yang berada di atas beputar


atau jatuh. Rangka rumah berpindah dari fondasinya. Dinding-
dinding yang tidak terkait baik akan jatuh atau terlempar.
Ranting-ranting pohon patah dari dahannya. Tanh yang basah
dan lereng yang curam terbelah.
IX Bangunan yang tidak kuat hancur. Bangunan yang kat
mengalami keruskan berat. Fondasi dan rangka bangunan
rusak, pipa dalam tanah putus, tanah merekah. Di daerah
alluvium pasir dan lumpur kelur dari dalam tanah.
X Pada umumnya semua temok, rangka rumah dan fondasi
rusak. Beberapa bangunan dari kayu yang kuat dan jembatan-
jembatan rusak. Kerusakan berat terjadi pada bendungan-
bendungan, tanggul-tanggul dan tambak-tambak. Terjadi
tanah longsor yang besar. Air dalam kolam, sungai dan danau
tumpah/muncrat. Terjadi perpindahan tempat secara
horizontal di daerah pantai dan di daerah-daerah yang
permukaan tanahnya rata. Jalur-jalur kereta api menjadi
sedikit bengkok.
XII Seluruh bangunan rusak. Garis pandang cakrawala terganggu.
Batu-batu dan barangbarang besar berpindah tempat, dan ada
yang terlempar ke udara.
Sumber: Kertapati (1999)

4) Struktur Geologi
Besarnya daerah terdampak getaran tektonik diukur dengan struktur
geologi. Kerumitan struktur geologi yang semakin tinggi di suatu wilayah
menunjukkan wilayah tersebut cenderung sebagai wilayah yang tidak stabil.
Beberapa struktur geologi yang dikenal adalah berupa kekar, lipatan dan patahan
atau sesar. Patahan akan terbentuk dalam suatu zona bukan sebagai satu tarikan

54
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

garis saja. Zona sesar bisa mencapai jarak 100 meter lebih, bergantung kekuatan
gaya dan jenis batuan. Pengkajian zona kerawan bencana digunakan jarak
terhadap zona sesar sebagai acuan kestabilan wilayah. Semakin jauh suatu
wilayah dari zona sesar maka wilayah tersebut akan semakin stabil dan
sebaliknya. Rincian lebih lanjut dijelaskan dalam Tabel 2.10.
Tabel 2.10. Jarak terhadap zona Sesar sebagai acuan kestabilan wilayah

No. Jarak terhadap Zona Sesar Keterangan


1. < 100 meter Zona tidak stabil
2. 100 – 1000 meter Zona kurang stabil
3. > 1000 meter Zona stabil
Sumber: Permen PU No.21 Tahun 2007.

Penentuan Bobot, Nilai Kemampuan, Skoring, dan Penilaian Kestabilan


Wilayah
Penentuan penilaian kestabilan wilayah merupakan proses penentuan
penilaian variabel yang telah ditentukan. Tahap pertama yang dilakukan adalah
penentuan bobot. Pembobotan yang diberikan adalah dari angka 1 hingga 5. Nilai
yang paling kecil bermakna bahwa tingkat kepentingan informasi geologi sangat
tinggi, dengan kata lain informasi geologi tersebut paling diperlukan untuk
mengetahui zonasi bencana alam. Tabel 2.11 menunjukkan pembobotan dalam
zonasi kawasan rawan bencana sebagai berikut.
Tahap selanjutnya adalah pemberian nilai kemampuan dari angka 1
hingga 4. Nilai paling kecil adalah nilai tertinggi suatu wilayah terhadap
kemampuannya untuk stabil terhadap bencana geologi dan sebaliknya. Tabel
2.12. menunjukkan klasifikasi nilai kemampuan terhadap bencana geologi dalam
hal ini gempabumi. Kemudian nilai kemampuan digunakan untuk penentuan
skoring kestabilan wilayah.

55
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Tabel 2.11. Pembobotan zonasi kawasan rawan bencana gempabumi


Pembobotan Klasifikasi
1 Kepentingan sangat tinggi
2 Kepentingan tinggi
3 Kepentingan sedang
4 Kepentingan rendah
5 Kepentingan sangat rendah
Sumber: Permen PU No.21 Tahun 2007.

Tabel 2.12. Nilai kemampuan terhadap bencana gempabumi


Nilai Klasifikasi
Kemampuan
1 Tinggi
2 Sedang
3 Rendah
4 Sangat Rendah
Sumber: Permen PU No.21 Tahun 2007.

Skoring yaitu perkalian antara hasil pembobotan dengan nilai


kemampuan. Hasil perkalian tersebut dijadikan dalam suatu rentang nilai kelas
yang menunjukkan nilai kemampuan lahan dalam mengahadapi bencana alam
gempa bumi. Tingkat kemampuan lahan (land capability ratings) tersebut
disajikan dalam Tabel 2.13 dengan kombinasi antar variabel informasi geologi
dengan penilaian kestabilan wilayah.

Tabel 2.13. Nilai Skor Tingkat Kemampuan Lahan


Klasifikasi Rentang skor
Kestabilan
Stabil 15-30

56
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Kurang Stabil 31-45


Tidak Stabil 46-60
Sumber: Permen PU No.21 Tahun 2007.

Matriks Pembobotan
Matriks dalam kerawanan gempabumi ini dibuat agar memudahkan
dalam mengetahui informasi geologi, kelas informasi, nilai kemampuan, bobot,
dan skor. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam Tabel 2.14. sebagai berikut.

Tabel 2.14. Matriks pembobotan untuk kestabilan wilayah terhadap kawasan


rawan gempabumi komponen (informasi geologi) yang diperhitungkan
No Informasi Kelas Informasi Nilai Bobot Skor
Geologi Kemampuan
1 Geologi (sifat Andesit, granit, diorite, metamorf, 1 3 3
fisik dan breksi volkanik, aglomerat, breksi
keteknikan sedimen, konglomerat
Batuan Batupasir, tufa kasar, batulanau, 2 6
arkose, greywacke, batu gamping
Pasr, lanau, bat lmput, napal, tufa 3 9
halus, serpih
Lempung, lumpur, lempung 4 12
organik, gambut
2 Kemringan Datar-Landai (0-7%) 1 3 3
Lereng Mring-Agak Curam (7-30%) 2 6

57
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Curan-Sanat Curam (30%-140% 3 9


Terjal (>140 %) 4 12
3 Kegempaan MMI α Richter 5
I, II, III, IV, V <0,05 g <5 1 5
VI, VII 0,05-0,15 g 5-6 2 10
VIII 0,15-0,30 g 6-6,5 3 15
IX, X, XI, XIII >0,30 g >6,5 4 20
4. Strukur Jauh dari zona sesar 1 4 4
Geologi Dekat dengan zona sesar (100- 2 8
1000 m dari zoa sesar
Pada zona sesar (<100 dari zona 4 16
sesar)
Sumber: Permen PU No.21 Tahun 2007.

Tipologi Kawasan Rawan Gempabumi


Tipologi kawasan rawan gempabumi menjelaskan kelas informasi dalam
kolom 1, 2, 3, dan 4 pada matriks pembobotan. Kelas informasi diberikan skor
total kemudian disebutkan jenis tipologinya. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat
dalam Tabel 2.15, Tabel 2.16, Tabel 2.17, Tabel 2.18, Tabel 2.19 sebagai
berikut. Setelah dilakukan beberapa tahapan dalam metode kegiatan, selanjutnya
kerawanan gempabumi akan disajikan ke dalam bentuk peta. Selain peta, data
yang sudah diproses akan disajikan dalam gambar, tabel, grafik, dan diagram. Hal
tersebut bertujuan agar hasil yang didapat dapat lebih informatif. Dokumentasi
berupa foto juga diperlukan agar visualisasi keadaan di lapangan lebih nyata.

58
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Tabel 2.15. Tipologi A kawasan rawan gempabumi


Kelas informasi Skor Tipologi Keterangan
1a,2c,3c&4a 31 1a. Andest, granit, diorite, metamorf, bresi
volkanik, aglomerat, beksi edimen, konglomerat
1b,2b,3c84a 31 1b. Batupasir, tufa kasar, batu lanu, arkose,
batugamping
1c,2a,3c&4a 31 1c. Pasir, lanau, batu lumpur,napal, tufa halus,
serpih
1c,2c,3a&4b 31 1d. Empung, lupur, lempung organik, gambut
1b,2d,3b&4a 32 2a. Datar-Landai (7-30%)
1c,2c,3b&4a 32 2c. Curam-sangat curam (30 %-140 %)
1d,2b,3b&4a 32 2d. Terjal (> 140 %)
1a,2b,3b&4a 33 3a. MMI (I,II,IV,V)
1a,2c,3a&4c 33 3b. (MMI(VI,VII)
1a,2d,3b&4b 33 3c. VIII
1b,2a,3d&4a 33 A 3d. IX,X,XI,XIII
1c,2a,3a&4c 33 4a. Jauh dari zona sesar
1c,2b,3b&4b 33 4b. Dekat denan zona sesar (100-1000 m dari zoa
sesar)
1d,2d,3a&4a 33 4c. Pada zona sesar (<100 m dari zona sesar)
1a,2d,3a&4a 34
1a, 2d,3c&4a 34
1b,2c,3c,&4a 34
1d,2a,3c&4a 34
1d,2c,3a&4b 34
1a,2b,3b&4c 35
1a,2c,3b&4b 35
1a,2c,3c&4b 35

59
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

1c,2d3b&4a 35
1d,2c,3b&4a 35
Sumber: Permen PU No.21 Tahun 2007.

Tabel 2.16. Tipologi B kawasan rawan gempabumi


Kelas Informasi Skor Tipologi Keterangan
1a,2c,3d&4a 36 1a. Andesit, granit. Diorite, metamorf, breksi
volkanik, aglomerat, breksi sedimen, konglomerat
1b,2b, 3d&4a 36 1b. Batu pasir, tufa kasar, batu lanau, arkose,
geywacke, batu gamping
1b,2c,3a&4c 36 1c. Pasir, lanau, batu lumpur, napal, tufa halus,
serpih
1b,2d,3b&4b 36 1d. Empung, lumpur, lempung organik, gambut
1c,2a,3d,84a 36 2a. Datar-landai (0-7%)
1d,2a,3a&4c 36 2b. Miring-Agak Curam (7-30 %)
1d,2b,3b&4b 36 2c. Curam-sangat curam (20-140 %
1b,2d,3c&4a 37 2d. Terjal (>140 %)
B
1c,2c,3c&4a 37 3a. MMI (I,I,III1V,V)
1d,2b,3c&4a 37 3b. MMI (VI,VII)
1a,2d,3c&4b 38 3c. VIII
1b,2b,3b&4c 38 3d. (IX, X, XI, XII)
1b,2c,3b&4b 38 4a. Jauh dari zona sesar
1b,2c,3c&4b 38 4b. Dekat dengan zona sesar (100-1000 m dari zona
sesar)
1d,2d,3b&4a 38 4c. Pada zona sesar (< 100 m dari zona sesar)
1a,2d,3d&4a 39
1b,2c,3d,&4a 39
1c,2b,3d&4a 39

60
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

1c,2c,3a&4c 39
1c,2d,3b&4b 39
1d,2a,3d&4a 39
1a,2c,3d&4b 40
1c,2d,3c&4a 40
1d,2c,3c&4a 40
Sumber: Permen PU No.21 Tahun 2007.

Tabel 2.17. Tipologi C kawasan rawan gempabumi


Kelas Skor Tipologi Keterangan
Informasi
1a,2d,3b&4c 41 1a. Andesit,granit,dolorit,metamorf,breksi,volkanik,
aglomerat, breksi sedimen, konglomerat
1b,2d,3c&4b 41 1b. Batu pasir, tufa kasar, batulanu, arkose, greywacke,
batu gamping
1c,2b,3b&4c 41 1c. Pasir, lanu, betu lumpur, napl, tufa halus, serpih
1c,2c,3b&4b 41 1d. Lempung, lumpur, lempung organik, gambut
1c,2c,3c&4b 41 2a. Datar-landai (0-7%)
1b,2d,3d&4a 42 2b. Miring-agak Curam (7-30%)
1c,2c,3d&4a 42 C 2c. Curam-sangat curam (30-140%)
1d,2b,3d&4a 42 2d. Terjal (>140%)
1d,2a,3a&4c 42 3a. MMI (I,II,III,IV,V)
1d,2d,3b&4b 42 3b. MMI(VI,VII)
1a,2c,3b&4c 43 3c. VIII
1a,2c,3c&4c 43 3d. IX,X,XI,XII
1a,2d,3d&4b 43 4a. Jauh dari zona sesar
1b,2c,3d&4b 44 4b. Dekat dengan zona sesar (100-1000 m dari zona
sesar)

61
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

1c,2d,3c&4b 44
1d,2b,3b&4c 44
1d,2c,3b&4b 44
1d,2c,3c&4b 44
1c,2d,3d&4a 45
1d,2c,3d&4a 45
Sumber: Permen PU No.21 Tahun 2007.

Tabel 2.18. Tipologi Dkawasan rawan gempabumi


Kelas Informasi Skor Topologi Keterangan
1a,2d,3c&4c 46 1a. Andesit, grnit, diorite, metamorf, breksi
volkanik, aglomerat, breksi,sedimen,
konglomerat
1b,2c,3b&4c 46 1b. Batu pasir, tufa kasar, batulanu, arkose,
greywacke, batugamping
1b,2c,3c&4c 46 1c. Pasir, lanau, batulumpur, napal, tufa halus,
serpih
1b,2d,3d&4b 46 1d. Lempung,lumpur, lempung organik, gambut
1c,2c,3d&4b 46 2a. Datar-Landai (0-7%)
D
1c,2d,3b&4c 47 2b. Miring-Agak Curam (7-30 %)
1d,2d,3b&4c 47 2c. Curam-Sangat Curam (30-140%)
1a,2c,3d&4c 48 2d. Terjal (>140%)
1d,2d,3d&4a 48 3a. MMI (I,II,III,IV,V)
1b,2d,3c&4c 49 3b. MMI(VI,VII)
1c,2c,3b&4c 49 3c. VIII
1c,2c,3c&4c 49 3d. IX,X,XI,XII
1c,2d,3d&4b 49 4a. Jauh dari zona sesar
1d,2c,3d&4b 49 4b. Dekat dengan zona sesar (100-1000m dari

62
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

zona sesar)
1d,2d,3b&4c 40
Sumber: Permen PU No.21 Tahun 2007.

Tabel 2.19. Tipologi E dan F kawasan rawan gempabumi


Kelas Informasi Skor Tipologi Keterangan
1a,2d,3d&4c 51 1a. Andesit, granit, diorite, metamort, breksi,
vokanik, aglomerat, breksi, sedimen,
konglomerat
1b,2c,3d&4c 51 1b. Batu pasir, tufa kasar, batulanu, arkose,
greywacke, batugamping
1c,2d,3c&4c 52 1c. Pasir, lanu, batu lumpur, napal, tufa, halus,
E serpih
1d,2c,3b&4c 52 1d. Lempung lumpur, lempung organik, gambut
1d,2c,3c&4c 52 2a. Datar-Landai (0-7%)
1d,2d,3d&4b 52 2b. Miring-Agak curam (7-30 %)
1b,2d,3d&4c 54 2c. Curam-Sangat Curam (3-140%)
1c,2c,3d&4c 54 2d. Terjal (>140%)
1d,2d,3c&4c 55 3a. MMI (I,II,III,IV,V)
1c,2d,3d&4c 57 3b. MMI(VI,VII)
1d,2c,3d&4c 57 3c. VIII
1d,2d,3d&4c 60 3d. IX,X,XI,XII
F 4a. Jauh dari zona sesar
4b. Dekat dengan zona sesar (100-1000 m dari
zona sesar)
4c. Pada zona sesar (<100m dari zona sesar)
Sumber: Permen PU No.21 Tahun 2007.

63
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

F. Kerawanan Bencana Tanah Longsor


Penelitian menggunakan data berupa data primer dan data sekunder.
Data primer didapatkan dari adanya survei langsung ke lapangan sedangkan data
sekunder bersumber dari data-data yang sudah ada sebelumnya. Data-data
sekunder didapatkan dari beberapa instansi seperti BNPB (InaRisk, Geospasial
BNPB, DIBI, dsb) atau data BPS. Data primer berupa rekapitulasi kejadian longsor
yang didapatkan jika melakukan survei lapangan. Data sekunder yang
dikumpulkan merupakan beberapa informasi variabel kerawanan longsor yaitu:
data penggunaan lahan, data kemiringan lereng, data litologi permukaan, dan data
morfologi.
Kombinasi beberapa parameter/variabel kerawanan longsor dengan data
rekapitulasi kejadian longsor digunakan untuk membuat pemetaan kerawanan
longsor. Beberapa variabel longsor yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
kemiringan lereng, litologi permukaan, jaringan jalan, jaringan sungai, tanah, dan
penggunaan lahan. Tahap selanjutnya dilakukan pembobotan. Penyajian variabel
dilakukan dalam bentuk vektor dan raster. Metode yang digunakan dalam
pembobotan adalah Analitical Hierarcical Process (AHP) dengan hasil berupa
bobot berkonsisten (Gaprindashvili, 2011). Kemudian analisis spasial dilakukan
dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk melakukan
perencanaan.
Perencanaan yang dilakukan memerlukan perangkat dalam pengambilan
keputusan. Perangkat dalam pengambilan keputusan yang diaplikasikan secara
spasial menggunakan teknologi SIG dan digunakan dalam penelitian ini adalah
Spatial Multi Criteria Evaluation (SMCE). SMCE yaitu analisis secara spasial
dengan adanya beberapa kriteria dengan hasil berupa peta. Peta yang dihasilkan
menyajikan wilayah dengan karakteristik sesuai tujuan pemetaan yang
membantu dalam pengambilan kebijakan. SMCE digunakan sebagai simulasi
rencana sehingga menjadi sangat penting dalam hal perencanaan. Beberapa
wilayah yang berbeda dapat dilakukan analisis untuk pengambilan keputusan.

64
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

SMCE sebagai proses yang mengkombinasikan dan mentransformasikan beberapa


data geografi yang diakan dijadikan hasil. Berikut merupakan Skema SMCE pada
Gambar 2.20 berikut.

Gambar 2.20. Skema Spatial Multi Criteria Evaluation


Sumber: Malczewsky (1999)

Analisis SMCE dalam penelitian ini digunakan untuk penilaian kerawanan


bencana di suatu wilayah dengan beberapa kriteria. Selain itu proses yang
dilakukan juga menggunakan data spasial, preferensi pengambilan keputusan
dengan telaah data non-spasial seperti perundangan, dan analisis data spasial
untuk menghasilkan sebuah keputusan. SMCE dapat secara jelas menguraikan
informasi-informasi yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan.
Terdapat beberapa tahap yang dilakukan dalam SMCE diantaranya adalah
menyusun rumusan masalah, standarisasi nilai dari beberapa parameter yang
diformulasikan dalam kriteria, membuktikan bahwa setiap kriteria penting dalam
pengambilan keputusan, dan prosedur pengumpulan (Alkema dkk., 2014).
Adanya kepekaan dalam analisis dapat memperkuat hasil. Menurut Raaijmakers
(2006) hasil SMCE adalah peta yang menampilkan wilayah kerawanan bencana
dan membantu dalam pengambilan keputusan. Penerapan metode SMCE dalam
penelitian ini dijadikan sebagai model dalam penyusunan peta kerawanan longsor

65
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

di Kecamatan Kembang, Jepara dan Kalinyamatan. Kriteria yang digunakan pada


penelitian ini menyesuaikan karakteristik kerawanan longsor di wilayah kajian.
Selanjutnya dilakukan pengumpulan data sekaligus pembobotan. Proses
pembobotan menitikberatkan kriteria yang paling berpengaruh terhadap
penentuan kerawanan bencana longsor.
Menurut Alkema dkk. (2004) bahwa penyusunan criteria tree dilakukan
dengan menggunakan software ILWIS. Hal tersebut bertujuan untuk dekomposisi
rumusan masalah menjadi beberapa bagian agar lebih mudah dimengerti.
Standarisasi digunakan untuk mengubah nilai-nilai parameter yang digunakan
menjadi skor. Rentang nilai yang digunakan untuk standarisasi antara 0 hingga 1.
Hal tersebut dilakukan karena parameter yang digunakan merupakan unit fisik
dengan nilai yang tidak bisa langsung digabungkan satu dengan yang lainnya.
Fungsi nilai tersebut secara eksplisit adalah untuk memberikan informasi standar
dalam setiap parameter. Gambar 2.21 memperlihatkan bahwa parameter yang
memiliki pengaruh yang besar terhadap kerawanan longsor maka akan
menghasilkan nilai tinggi sedangkan parameter yang memiliki sedikit pengaruh
maka nilainya akan mendekati nilai minimal yaitu 0.

Gambar 2.21 Contoh Grafik Nilai Fungsi


Sumber: Geneletti (2002)

66
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Prioritasisasi diberikan pada kriteria yang paling penting dalam


penentuan kerawanan dalam hal ini longsor. Selanjutnya peta akan
dikombinasikan dalam model yang dipilih. Geneletti (2002) menyatakan
kombinasi peta sebagai tahap agregasi. Hasilnya berupa keputusan yang
dinyatakan dalam peta indeks komposit. Peta indeks komposit dari beberapa
kriteria yang digunakan selanjutnya dilakukan overlay agar menghasilkan peta
kerawanan yang perlu dievaluasi dan divalidasi. Selanjutnya software ArcGIS
digunakan dalam editing peta sehingga dihasilkan peta akhir berupa peta
kerawanan longsor dan akan disajikan ke dalam bentuk peta. Selain peta
penyajian data akan dibuat gambar, tabel, grafik, dan beberapa macam diagram.

G. Kerawanan Bencana Abrasi


Abrasi pantai terjadi karena ketidakseimbangan transportasi sedimen.
Ketidakseimbangan tersebut terjadi karena berbagai hal, baik alami maupun
buatan. Sebab-sebab alami erosi pantai antara lain karena:
1. Sifat dataran pantai yang masih muda dan belum berimbang, dimana
sumber sedimen (source) lebih kecil dari kehilangan sedimen (sink).
2. Perubahan iklim gelombang.
3. Hilangnya perlindungan pantai seperti bakau, terumbu karang dan sand
dune
4. Naiknya paras air.
Kerusakan daerah pantai sendiri dikelompokkan menjadi beberapa jenis, sebagai
berikut:
1. Erosi
a. Perubahan garis pantai
b. Gerusan di kaki bangunan
c. Daerah yang terkena erosi dan pengaruhnya terhadap
daerah lain

67
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

2. Abrasi
a. Abrasi di batuan
b. Abrasi di tembok laut/pelindung pantai
c. Daerah yang terkena abrasi dan pengaruhnya terhadap daerah
sekitarnya.
3. Pendangkalan muara dan sedimentasi
a. Lamanya muara tertutup
b. Persentase pembukaan muara
c. Daerah yang terkena sedimentasi dan pengaruh sedimentasi
4. Kerusakan lingkungan
a. Permukiman
b. Kualitas air laut
c. Terumbu karang
d. Hutan mangrove
e. Bangunan bermasalah

Data /bahan yang diperlukan :


1. Peta RBI atau Citra
2. Lembar questioner
3. Citra perekaman berkala untuk mempermudah melakukan analisi dan
perhitungan

Pemetaan bencana absrasi pantai dilakukan dengen beberapa tahapan,


diantaranya;
1. Menghitung perubahan garis pantai yang terjadi pada selang waktu
tertentu berdasarkan perekaman data citra satelit;
2. Kriteria dari masing-masing tingkat erosi/abrasi perubahan garis pantai :
1. Ringan : <0,5 m/tahun
2. Sedang : 0,5 – 2,0 m/tahun

68
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

3. Berat : 2,0 – 5,0 m/tahun


4. Amat berat : 5,0 – 10,0 m/tahun
5. Amat sangat berat : > 10 m/tahun
Sumber: Kementrian PU
3. Mengindentifikasi dampak perubahan garis pantai dari berbagai sumber
termasuk di dalamnya dari masyarakat setempat jika memungkinkan.
4. Masyarakat merupakan penduduk yang tinggal disekitar pantai dan
mengetahui titik erosi pantai serta dampak kejadian erosi/abrasi
terhadap penghidupan di sekitarnya.

H. Bencana Kebakaran
Bencana kebakaran yang dimaksud berupa kebakaran hutan dan
permukiman maupun industri. Penelitian dilakukan dengan data primer dan/atau
data sekunder. Data primer dapat diperoleh dari masyarakat dengan sistem FGD
untuk menentukan penyebab dari bencana kebakaran. Data sekunder yang
dikumpulkan merupakan beberapa informasi yang terkait kondisi lingkungan
penyebab kebakaran antara tutupan vegetasi, kemiringan lereng, jarak dari jalan
dan jarak dari permukiman. Kepadatan penduduk perlu dipertimbangkan karena
semakin padat suatu lingkungan dapat mencerminkan semakin kecil ruang yang
dapat digunakan untuk beraktivitas tetapi aktivitas yang ada di dalamnya sangat
kompleks. Adanya sejarah kebakaran sangat penting di dalam parameter
penentuan kerawanan bencana kebakaran. Faktor lain yang perlu
dipertimbangkan dalam bencana kebakaran adalah kondisi titik hotspot (titik
panas) yang diperoleh dari ekstrasi data suhu udara citra satelit termal maupun
data BMKG.

69
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Tabel 2.20. Klasifikasi faktor penentu kebakaran


parameter Bobot kelas harkat klasifikasi
tutupan vegetasi 0,15 kerapatan sangat tinggi 5 Sangat Tinggi
kerapatan tinggi 4 Tinggi
kerapatan sedang 3 Sedang
kerapatan agak jarang 2 Rendah
kerapatan jarang 1 Sangat Rendah
kemiringan lereng 0,05 > 35% 5 Sangat Tinggi
25-35% 4 Tinggi
10-25% 3 Sedang
5-10% 2 Rendah
<5% 1 Sangat Rendah
Jarak dari jalan 0,1 <100 m 5 Sangat Tinggi
100-200 4 Tinggi
200-300 3 Sedang
300-400 2 Rendah
> 400 m 1 Sangat Rendah
jarak dari permukiman 0,1 <1000 m 5 Sangat Tinggi
1000 - 2000 m 4 Tinggi
2000 - 3000 m 3 Sedang
3000-4000 m 2 Rendah
>4000 m 1 Sangat Rendah
kepadatan penduduk
0,2 >4000 5 Sangat Tinggi
km2
2500-4000 4 Tinggi
1250-2499 3 Sedang
500-1249 2 Rendah
<500 1 Sangat Rendah

70
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

parameter Bobot kelas harkat klasifikasi


Sejarah Kejadian 0,3 < 1000 5 Sangat Tinggi
1000 – 2000 4 Tinggi
2000 – 3000 3 Sedang
3000 – 4000 2 Rendah
> 4000 1 Sangat Rendah
Sumber : Erten, E., V. Kurgun and N. Musaoglu. 2004 modifikasi.

I. Bencana Konflik Sosial


Pemetaan kerawanan bencana konflik sosial dilakukan dengan data
primer dan/atau data sekunder. Data primer didapatkan dari adanya survei
lapangan maupun FGD dengan masyarakat mengenai penyebab konflik sosial
sedangkan data sekunder bersumber dari data-data yang sudah ada sebelumnya.
Data-data sekunder didapatkan dari beberapa instansi terkait karakteristik
masyarakat, kepadatan penduduk dan stadium umur masyarakat. Semakin muda
stadium masyarakat maka kecenderungan terjadi konflik sosial akan semakin
besar. Pemetaan kerawanan konflik sosial dilakukan pada tingkat administrasi.

Tabel 2.21. Klasifikasi tingkat kemungkinan terjadinya konflik sosial


Parameter Kriteria Harkat Klasifikasi Bobot
kepadatan penduduk
km2 >4000 5 Sangat Tinggi
2500-4000 4 Tinggi
0,3
1250-2499 3 Sedang
500-1249 2 Rendah
<500 1 Sangat Rendah
sejarah konflik >5 5 Sangat Tinggi
4 4 Tinggi 0,5
3 3 Sedang

71
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

2 2 Rendah
1 1 Sangat Rendah
stadium umur penduduk Muda 3 Tinggi
Dewasa 2 sedang 0,2
Tua 1 Rendah

J. DAFTAR PUSTAKA
Alkema D, Boerboom L.G.J., Ferlisi S., dan Cascini L. (2014). Spatial Multi-Criteria
Evaluation. Dalam Van Westen C.J, Jetten, Alkema D, dan Brussel (2014).
Development of the Caribbean Handbook on Disaster Risk Information
Management.Padua: International Conference Analysis and Management of
Chaning Risk of Natural Hazard.
Amri, M. C. 2015. Kejadian Angin Ribut Berdasarkan Unsur Iklim dan Aspek
Lahan di Wilayah Bandung.Laporan Penelitian. Fakultas Geografi Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Arianpour, M. dan Jamali, A. A. (2015). Flood Hazard Zonation using Spasial
Multi-Criteria Evaluation (SMCE) in GIS (Case Study: Omidieh-Khuzestan).
European Online Journal of Natural and Social Science 2015; Vol. 4, No. 1 pp. 39-
49. ISSN 1805-3602.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2012. Analisis Tingkat Kekeringan
dan Kebasahan (Bulan Pebruari, Maret, dan april 2012 Jawa Timur). Malang:
Stasiun Klimatologi Karangploso, Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika.
Costache, R. dan Pravile, R. (2012).The Use of GIS Techniques in the Evaluation if
the Susceptibility of the Floods Genesis the Hydrographical Basin of Basca
Chiojdului River.Annele Universitatii din Oraden, Seria Geografie, tahun 22, No.
2/2012 (Desember), pp. 284-293, article no. 222111-593.
Gaprindashvili G. (2011). Landslide Hazard Assessment in Georgia. The
Netherlands, Enschede: ITC Publication.
Geneletti D. (2002).Ecological evaluation for environmental impact
assessment.Thesis.Netherlands Geographical Studies.
Hizbaron, D. R., Hadmoko, D. S., Samodra, G., Dalimunthe, S.A., Sartohadi, J.
(2010). Tinjauan Kerentanan, Risiko, dan Zonasi Rawan bahaya Rockfall di
Kulonprogo, Yogyakarta. Forum Geografi, Vol. 24, No. 2, Desember 2010: 119 –
136.
Kemenkes, 2010, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009, Pusat Data dan
Informasi, Jakarta.

72
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Raaijmakers R.J.J. (2006). A spatial multi criteria anaysis Methodology for the
development of sustainable flood risk management in the Ebro
Delta.Scriptie.Univerity of Twente Department Water Engineering and
Management.
Republik Indonesia.(2007). Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan
Kawasan Rawan Gempabumi. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
Syah, Mega Wahyu dan Hariyanto, Teguh. 2013. Klasifikasi Kemiringan Lereng
Dengan Menggunakan Pengembangan Sistem Informasi Geografis Sebagai
Evaluasi Kesesuaian Landasan Pemukiman Berdasarkan Undang – Undang
Tata Ruang Dan Metode Fuzzy, Jurnal Teknik POMITS Vol. X No. X. Diunduh
pada http://digilib.its.ac.id/public/ITS-paper-32520-3508100077-Paper.pdf
tanggal 22/01/2015 jam 17.35 WIB.
UNDP, 2006.Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2006-
2009.Jakarta
Van Zuidam R.A. (1988). Annual Photo Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphic Mapping.International Institute for Aerospace Survey and Earth
Science, ITC, Smith Publisher The Hague.
World Health Organization (WHO), 2015, Fact Sheet Dengue and Severe Dengue,
Online, Health Statistic and Information System,
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/, diakses 15
September 2016
Wardhana, Garri Martha Kusuma. 2013. Analisis Hubungan Antara Kedalaman
Tanah Dengan Sudut Lereng Pada Bentuklahan Lereng Bawah Vulkanik Sub
DAS Kodil Provinsi Jawa Tengah. Skripsi Di Fakultas Geografi Universitas
Gadjah Mada.
World Meteorological Organization. 2012. Standardized Precipitation Index User
Guide (WMO-No. 1090). Geneva: World Meteorological Organization.

73
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

SESI III
PEMODELAN KERAWANAN BANJIR ROB

I. BANJIR ROB DAN APLIKASI ILWIS


Banjir pasang laut atau banjir rob adalah fenomena meluapnya air
laut ke daratan akibat proses pasang air laut yang menggenangi lahan atau
kawasan pesisir yang lebih rendah dari permukaan air laut rata – rata (mean
sea level) (Marfai dan Suryanti, 2008). Pada dasarnya genangan banjir laut
pasang dapat terjadi akibat beberapa faktor yaitu pertama tingginya muka
air laut saat laut pasang akibat pengaruh dari gravitasi benda – benda langit
terutama Bulan dan Matahari, kedua yaitu kenaikan muka air laut sebagai
efek dari pemanasan global, ketiga adanya penurunan muka tanah (land
subsidence) di wilayah pesisir akibat penggunaan airtanah yang berlebihan
sehingga berdampak pada genangan banjir pasang air laut menjadi semakin
meluas, dan keempat adanya alih fungsi lahan di sekitar wilayah pesisir guna
berbagai macam kepentingan dan kebijakan Pemerintah Daerah. Hal ini
menyebabkan pemetaan kerawanan banjir rob membutuhkan data yang
lengkap dan membutuhkan pemodelan yang cukup kompleks.
Pemetaan kerawanan banjir rob pada praktikum ini dilakukan
dengan model sederhana berdasarkan data DEM (Digital Elevation Model)
dengan metode aplikasi model neighbourhood operation. Peta kerawanan
banjir rob dihasilkan dengan menggunakan neighbourhood operation yang
diaplikasikan untuk mengetahui/menghitung luasan penjalaran air akibat
banjir rob di daratan. Perhitungan tersebut tanpa mempertimbangkan
mekanisme kejadian kenaikan muka air laut dan karakteristik wilayah
pesisir. Perhitungan iterasi menggunakan nilai DEM digunakan untuk
mengenali piksel tetangga terdekat (Neighbourhood Operation). Piksel
tetangga terdekat akan dikenali sebagai daerah rawan banjir rob
berdasarkan skenario yang digunakan. Pada skenario banjir genangan
setinggi 1 meter, maka proses iterasi akan berhenti pada piksel DEM yang

74
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

bernilai 1 meter lebih tinggi dari ketinggian 0 dpal (di atas permukaan air
laut) yang diidentifikasi sebagai awal genangan banjir rob .
Tujuan dai model neighbourhood operation dalam studi banjir rob
adalah menentukan luasan genangan yang diakibatkan oleh banjir rob pada
daerah tertentu berdasarkan skenario genangan. User dapat menentukan
skenario genangan banjir rob sesuai dengan keinginan (contoh: dari
kejadian historis banjir rob sebelumnya) misalnya 25 cm, 50cm, 75 cm, dan
100 cm. Dengan skenario tersebut akan diketahui jika terjadi genangan
banjir rob x meter maka akan diketahui daerah atau luasan area yang
terkena oleh dampak banjir rob. Sehingga output dari pemodelan dapat
digunakan untuk menentukan lokasi yang rawan terhadap genangan banjir
rob dan perhitungan risiko banjir rob dapat diperkirakan berdasar area yang
tergenang oleh banjir rob.

II. LANGKAH KERJA PEMETAAN KERAWANAN BANJIR ROB


1. Buka file dem pada catalog ILWIS. Apabila belum terlihat pada jendela
utama, cari file dem pada directory yang sudah disediakan. Untuk
membuka sub directory yang mempunyai kedudukan pada root
directory, klik dua kali pada icon ... pada catalog.
2. File dem berisi informasi ketinggian (DEM) yang akan digunakan sebagai
data spasial pemodelan
3. Buka file awal dengan cara klik dua kali pada catalog. File awal
merupakan data spasial garis yang mengindikasikan 0 meter dpal (garis
pantai). Garis ini merupakan titik awal atau sebagai awalan (starting
point) untuk melakukan proses iterasi (Gambar 2.22).
4. Proses iterasi dalam software ILWIS dilakukan dengan menulis script
pada command line yaitu:
Inundation map = MapIterProp(start.mpr, iff(dem>0.60,start,nbmax(start#)))… (1)

75
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Gambar 2.22 Ilustrasi Prosedur Neighbourhood Operatian dan Iterasi


(Marfai, 2009)

Inundation map merupakan peta hasil (peta kerawanan banjir rob


dengan scenario inundasi x centimeter, mapIterProp merupakan script
dalam ILWIS untuk melakukan proses iterasi dengan propagation,
start.mpr merupakan peta yang digunakan sebagai awalan untuk
melakukan proses iterasi, dem merupakan data DEM, 0.60 merupakan
skenario tinggi genangan yang dipilih, and nbmax nilai balik untuk
mengakhiri proses iterasi yang ada pada neighborhood matrix.

76
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Sehingga untuk memodelkan genangan banjir rob dapat dituliskan


pada command line sebagai berikut:

Rob025m=MapIterProp(awal.mpr, iff(elevasi>0.25,awal,nbmax(awal2#)))

Skenario ketinggian genangan dapat diubah sesuai dengan data kejadian


banjir rob sebelumnya atau kemungkinan skenario terburuk yang
mungkin terjadi pada suatu wilayah. Anda dapat membuat zonasi
kerawanan secara relatif berdasarkan contoh skenario genangan 25 cm,
50cm, 75 cm, dan 100 cm.
5. File ILWIS .mpr dapat dieksport ke dalam format Geotiff dengan cara klik
dua kali import/eksport pada operations/navigator pane. Kemudian klik
eksport dan selanjutnya pilih file yang akan di eksport dan tentukan file
directory yang akan digunakan untuk menyimpan.
6. File Geotiff dapat dikonversi ke dalam format .shp dengan menggunakan
software ArcGIS yaitu: aktifkan arctoolbox , kemudian pilih
conversion tools  from raster raster to polygon
7. Lakukan editing data .shp

III. DAFTAR PUSTAKA


Marfai, M. A. ILWIS Exercise Module: Coastal Flood Assessment by Means of
GIS Technology. Fakultas Geografi. UGM.
Marfai MA. (2003) GIS modelling of river and tidal flood hazard on a coastal
urban Area, a case study: Semarang city, Central Java, Indonesia.
M.Sc Thesis ITC, Enschede, The Netherlands
Marfai MA (2006) Neighbourhood operations Analysis on GIS raster Based
and their application for tidal flood mapping, National seminar on
Application of Information technology, 17 June 2006, Yogyakarta
Marfai MA dan King L. (2008a). Coastal flood management in Semarang,
Indonesia. Environmental Geology 55: 1507-1518
Marfai MA dan King, L. (2008b). Tidal inundation mapping under enhanced
land subsidence in Semarang, Central Java Indonesia. Natural
Hazards, 44: 93 - 109.

77
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

SESI IV
PEMODELAN KERAWANAN BANJIR MENGGUNAKAN METODE AHP
(ANALYTHICAL HIERARCHY PROCESS) DAN SMCE (SPASIAL MULTI-
CRITERIA EVALUATION)

I. KERAWANAN BANJIR
Banjir merupakan limpasan air yang melebihi tinggi muka air normal,
sehingga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada
lahan rendah di sisi sungai. Pada umumnya banjir disebabkan oleh curah
hujan yang tinggi di atas normal sehingga sistem pengaliran air yang terdiri
dari sungai dan anak sungai alamiah serta sistem drainase dangkal
penampung banjir buatan yang ada tidak mampu menampung akumulasi air
hujan tersebut sehingga meluap, hal tersebut dijelaskan dalam UU No. 24
Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.
Identifikasi kerawanan (susceptibility) dan bahaya (hazard) banjir
merupakan aspek penting dalam menyusun peta risiko (risk) bencana banjir.
Pendugaan kerawanan (susceptibility) berperan penting dalam penilaian
bahaya (hazard) yang dapat digunakan untuk membangun sistem peringatan
dini dan berkontribusi dalam pengurangan risiko bencana.
Pemetan kerawanan banjir pada praktikum ini menggunakan metode
pembobotan berjenjang tertimbang AHP (Analythical Hierarchy Process) dan
SMCE (Spasial Multi-Criteria Evaluation). Analythical Hierarchy Process
adalah metode pembobotan (heuristic) bersistem matematis. Analytical
Hierarchy Process atau sering disebut dengan AHP, merupakan suatu cara
untuk memecahkan masalah yang komplek, dengan terlebih dahulu
mengklasifikasi berbagai kriteria atau faktor masalah ke dalam susunan
hirarki yang terstruktur dan sistematis (Rai dan Bhushan, 2004). Jadi AHP
merupakan cara memperoleh tujuan utama melalui proses penyusunan
tingkatan hirarki. Penyusunan hirarki ini dilakukan melalui proses analisa.

78
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Wu dkk. (2004) dalam Wacano (2010) menjelaskan bahwa ada tiga


prinsip dalam metode AHP,yaitu:

1. Penguraian masalah ke dalam struktir hierarki

Gambar 2.23. Model dekomposisi masalah dengan struktur hirarki


(Wacano, 2010)
Prioritas tujuan merupakan inti dari permasalahan yang akan dicari
penyelesainya. Gambar 1 menunjukkan Level 1 merupakan parameter yang
mewakili faktor-faktor yang mempengaruhi suatu permasalahan. Level 2
merupakan variabel di dalam parameter yang menjadi bagian penting dalam
memberikan keputusan terhadap masalah utama. Setiap parameter dan
variabel memiliki kontribusi terhadap penentuan tujuan utama. Kontribusi
ini diwujudkan dengan bobot relative (eigenvector).

2. Penentuan nilai perbandingan dari setiap parameter


Pada prinsip ini setiap parameter akan dinilai prioritasnya terhadap
parameter lainya dalam satu level. Nilai ini ditentukan berdasarkan
penilaian subjektif yang diperoleh dari skala perbandingan relatif pada Tabel
2.22 berikut:

79
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Tabel 2.22 Tabel skala rangking dalam AHP


Intensitas Definisi Keterangan
Kedua parameter sama penting dan
1 Sama penting
berpengaruh sama besar
Sedikit lebih Parameter yang satu tiga kali lebih penting
3
penting daripada parameter yang lainnya
Parameter yang satu lebih penting lima kali
5 Lebih penting
daripada yang lainnya
Satu parameter sangat penting daripada
7 Sangat penting parameter lainnya, satu parameter terlihat
lebih dominan dalam prakteknya.
Satu parameter mutlak sangat penting
9 Mutlak penting
daripada parameter lainnya
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan
pertimbangan yang berdekatan, nilai ini
2,4,6,8 Nilai antara
diberikan jika ada dua pertimbanganx di
antara dua pilihan.
Sumber: Saaty dalam Coyle (2004)
3. Perpaduan dari tujuan utama/prioritas
Tabel 2.23. Matriks Perhitungan AHP ordo 3.
P A B C
A 1.00 5.00 0.33
B 0.20 1.00 0.14
C 3.00 7.00 1.00
Σ 4.20 13.00 1.48 Eigenfactor Eigen max (λmax) CI CR
Nrw A 0.24 0.38 0.23 0.28 3.10 0.05 0.08
Nrw B 0.05 0.08 0.10 0.07
Nrw C 0.71 0.54 0.68 0.64
Σ Nrw 1.00 1.00 1.00 1.00
Sumber: Wacano (2010)
Keterangan:
 Σ = jumlah kolom A, B, C
 Nrw A, B, C = (A/ ΣA), (B/ ΣB), (C/ ΣC)
 Eigen factor A, B, C = rata-rata Nrw A, B, C
 Eigen max = Σ (Σ A, B, C * eigenfactor A, B, C)
 n = jumlah parameter

80
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

 CI = (eigen max – n)/ (n-1)


 CR = CI/r.i  CR ≤ 0.1 indicates sufficient
consistency for decision
 r.i = random index

Tabel 2.24. Tabel indeks acak (random index)


n 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
r.i 0 0 0.58 0.9 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49
n 11 12 13 14 15
r.i 1.51 1.48 1.56 1.57 1.59
Sumber: Saaty dalam Coyle (2004)

SMCE (Spatial Multi Criteria Evaluation) menjadi suatu alternatif


metode dalam analisis spasial. Beberapa software SIG seperti ArcGIS, IDRISI
dan ILWIS sudah memasukkan aplikasi MCA (Multi Criteria Analysis)
didalamnya. Software ILWIS termasuk dalam GOSS (GIS Open Source
Software) yang dikembangkan oleh ITC Belanda (Wibowo dan Semedi,
2011). Perangkat lunak ini menyediakan fasilitas analitis berupa metode
penilaian multi kriteria yang mampu memberikan kemudahan pada peneliti
untuk melakukan tabulasi data keruangan dan data atributnya (Hizbaron,
dkk, 2010).
Langkah Pertama dalam SMCE adalah membuat seleksi dari beberapa
alternatif dalam bentuk peta dari suatu wilayah yang nantinya disebut
sebagai kriteria. Kemudian kriteria yang berisi informasi dibuatkan
standarisasi kriteria dan bobot untuk masing‐masing kriteria. Hasil dari
SMCE yang menjadi luaran adalah peta. Peta ini menampilkan wilayah
kesesuaian (beberapa alternatif wilayah) yang sangat membantu dalam
pengambilan kebijakan atau keputusan. (Raaijmakers, 2006).

81
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

II. PEMETAAN KERAWANAN BANJIR DAN LANGKAH KERJA


Langkah kerja dalam pembuatan peta kerawanan banjir menggunakan
metode Spatial Multi Criteria Evaluation dalam ILWIS, dengan langkah
sebagai berikut:

A. Add Data dan Membuat Sistem Koordinat


1. Siapkan data dasar (dalam bentuk shp) yang dibutuhkan untuk membuat
peta kerawanan banjir, seperti:
a. Data penggunaan lahan
b. Data isohyet curah hujan
c. Data bentuklahan
d. Data sungai
e. Data kontur
f. Data kejadian banjir
2. Data tersebut dapat dibuat menggunakan ArcGis. Masukkan dalam folder
tersendiri agar memudahkan saat mengoperasikan di ILWIS
3. Buka jendela ILWIS (Gambar 2.24).

Gambar 2.24. Jendela ILWIS


4. Klik navigator cari folder tempat penimpanan data dasar yang telah
dibuatklik folder berisi data dasar

82
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

5. Buat koordinat sistem yang akan digunakan dengan cara: klik


FileCreateGeoreference. Isi Georeference Filename dgn nama sistem
koordinat yang digunakan atau nama wilayah agar memudahkan untuk
membedakan dengan wilayah yang lain, missal “mayong_utm_wgs84”
atau “Mayong” atau “UTM_WGS84” bebas.

6. Klik icon pada koordinat system (ini untuk membuat sistem koordinat
baru). Maka akan muncul kotak berikut (Gambar 2.25):

Gambar 2.25 Icon Pemilihan Proyeksi Sistem Koordinat.


7. Beri nama koordinat sistem sama dengan nama georeferencing  pilih
CoordSystem ProjectionOK (Gambar 2.26)

Gambar 2.26. Toolbox untuk Memberi Nama Sistem Koordinat.

83
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

8. Pilih “Projection” pilih “UTM” OK. Akan muncul kotak berikut


(Gambar 2.27):

Gambar 2.27. Pengaturan Sistem Koordinat.


Pilih “Ellipsoid”Pilih “WGS 84” OK
Pilih “Datum”Pilih WGS 1984”  OK
Uncheck “Northerm Hemisphere  Isikan “Zone” dengan angka 49
Ini untuk sistem proyeksi UTM, Datum WGS 1984, Zona 49 karena
wilayah Mayong berada di Jepara, Jawa Tengah
9. Dijendela ILWIS akan muncul icon georeference (Gambar 2.28)

Gambar 2.28. Tampilan Georeference di Jendela ILWIS.

84
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

B. Membuat Peta Dasar


a. Penggunaan Lahan
1. Klik Operation listimport map(pilih salah satu shp data dasar
yang akan dibuat peta di ILWIS) missal “Mayong_PL” yaitu data
penggunaan lahan wilayah Mayong, selanjutnya akan muncul nama
file yang dipilih di “Output Filename”, apabila tidak muncul, dapat
diberi nama secara manual sesuai data yang akan ditampilkan Klik
“OK” (Gambar 2.29)

Gambar 2.29. Cara Memasukkan Data Dasar Penggunaan Lahan.


2. Akan muncul 3 data ada tambahan berupa data polygon , tabel ,
dan palet .
3. Samakan koordinatnya dengan koordinat yg telah dibuat, yaitu pada
Mayong_PL klik kanan properties coordinat system diganti
“mayong” atau nama sistem koordinat yang telah dibuat
sebelumnya apply  OK.
4. Selanjutnya memunculkan atribut map nya dengan double klik pada
Mayong_PLakan muncul tabel atribut dari shp  double klik
pada judul kolom yang akan dimunculkan sebagai legenda peta
akan muncul kotak column properties, dibagian bawah klik create

85
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

new domain from strings in column nama domain akan sama


dengan judul kolom yg akan dimunculkan OK (Gambar 2.30)

Gambar 2.30. Cara Membuat Domain Peta PL


5. Membuat polygon map dengan klik kanan pada  vector
operation  attribute map. Akan muncul kotak atribut map,
perhatikan pada kolom atrribute, seharusnya berisi nama judul
kolom yang akan dijadikan legenda peta, beri nama pada Output
polygon map, misalnya “fisik_pl” klik show. Akan muncul peta pl
yang legendanya sudah sesuai (Gambar 2.31).

Gambar 2.31. Tampilan Peta PL dari ILWIS

86
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

6. Membuat peta raster dengan cara klik kanan pada


fisik_blpolygon to rasterpada kolom georeference, klik

beri nama “Mayong” (samakan nama dengan sistem koordinat


agar tidak bingung)Show. Peta raster PL sudah jadi.

a. Membuat Peta Bentuk Lahan


1. Add data bentuklahan (Mayong_BL) seperti cara di atas, dengan cara
import map. Akan muncul data polygon , tabel , dan palet .
Kemudian samakan koordinat.
2. Selanjutnya memunculkan atribut map nya dengan double klik pada
Mayong_BLakan muncul tabel atribut dari shp  double klik pada
judul kolom yang akan dimunculkan sebagai legenda peta (nama_BL)
akan muncul kotak column properties, dibagian bawah klik create new
domain from strings in column nama domain akan sama (nama_BL)
dengan judul kolom yg akan dimunculkan OK (Gambar 2.32).

Gambar 2.32. Cara Membuat Domain Peta BL


3. Membuat polygon map dengan klik kanan pada Mayong_BL vector
operation  attribute map. Akan muncul kotak atribut map, perhatikan

87
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

pada kolom atrribute, seharusnya berisi nama judul kolom yang akan
dijadikan legenda peta, beri nama pada Output polygon map, misalnya
“fisik_bl” klik show. Akan muncul peta bl yang legendanya sudah sesuai
4. Membuat peta raster dengan cara klik kanan pada fisik_blpolygon
to rasterpada kolom georeference, pilih georeference yang telah dibuat
“Mayong”Show. Peta raster BL sudah jadi.

b. Membuat Peta Isohyet Curah Hujan


1. Add data isohyet curah hujan (Mayong_CH) seperti cara di atas, dengan
cara import map. Akan muncul data polygon , tabel , dan palet .
Kemudian samakan koordinat.
2. Selanjutnya memunculkan atribut map nya dengan double klik pada
Mayong_CHakan muncul tabel atribut dari shp  double klik pada
judul kolom yang akan dimunculkan sebagai legenda peta, misalnya
“Klas” akan muncul kotak column properties, dibagian bawah klik
create new domain from strings in column nama domain akan sama
(Klas) dengan judul kolom yg akan dimunculkan OK
3. Membuat polygon map dengan klik kanan pada  vector operation
 attribute map. Akan muncul kotak atribut map, perhatikan pada
kolom atrribute, seharusnya berisi nama judul kolom yang akan
dijadikan legenda peta, beri nama pada Output polygon map, misalnya
“fisik_ch” klik show. Akan muncul peta ch yang legendanya sudah
sesuai (Gambar 2.33).
4. Membuat peta raster dengan cara klik kanan pada fisik_chpolygon
to rasterpada kolom georeference, pilih georeference yang telah dibuat
“Mayong”Show. Peta raster CH sudah jadi.
5. (Caranya sama dengan membuat peta pl dan bl).

88
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Gambar 2.33. Tampilan Peta CH dari ILWIS.

c. Membuat Peta Jumlah Kejadian Banjir per Kecamatan


1. Add data bentuklahan seperti cara di atas, dengan cara import map.
Akan muncul data polygon , tabel , dan palet . Kemudian
samakan koordinat.
2. Selanjutnya memunculkan atribut map nya dengan double klik pada
akan muncul tabel atribut dari shp  double klik pada judul kolom
yang akan dimunculkan sebagai legenda peta, misalnya “Banjir”  akan
muncul kotak column properties, dibagian bawah klik create new
domain from strings in column nama domain akan sama (Banjir)
dengan judul kolom yg akan dimunculkan OK
3. Membuat polygon map dengan klik kanan pada Mayong_Banjir
vector operation  attribute map. Akan muncul kotak atribut map,
perhatikan pada kolom atrribute, seharusnya berisi nama judul kolom
yang akan dijadikan legenda peta, beri nama pada Output polygon map,

89
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

misalnya “histori_banjir” klik show. Akan muncul peta jumlah kejadian


banjir tiap kecamatan yang legendanya sudah sesuai (Gambar 2.34).

Gambar 2.34. Tampilan Peta Histori Kejadian Banjir dalam ILWIS.


4. Membuat peta raster dengan cara klik kanan pada
histori_banjirpolygon to rasterpada kolom georeference, pilih
georeference yang telah dibuat “Mayong”Show. Peta raster jumlah
kejadian banjir per kecamatan sudah jadi.

d. Membuat Peta kemiringan lereng dari data kontur


1. Add data kontur seperti cara di atas, dengan cara import map. Akan
muncul data line , tabel , dan palet . Kemudian samakan
koordinat
2. Klik kanan pada  attribute map beri nama output, misalnya
“dem_mayong” akan muncul peta
3. Klik kanan pada “dem_mayong”  contour interpolationsamakan

georeference (“Mayong)”, bila belum ada klik  (perhatikan nama


90
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

georeference) Show. Tunggu hingga proses pembuatan DEM selesai


(Gambar 2.35).

Gambar 2.35. Tampilan Peta DEM dalam ILWIS.


4. Klik kanan pada data dem_mayong berupa raster  Image
Processingfilter  pada baris filter name pilih “DFDX” beri nama
output name dengan “DX”Show
5. Klik kanan pada data dem_mayong berupa raster  Image
Processingfilter  pada baris filter name pilih “DFDY” beri nama
output name dengan “DY”Show
6. Jika semua proses sudah selesai, kita memiliki 3 peta yaitu
“dem_mayong”, “DX”, dan “DY”.
7. Pada windows script (Gambar 2.36) tuliskan rumus untuk membuat
kemiringan lereng dalam derajat.
Slopedeg_mayong=
RADDEG(ATAN((HYP(DX,DY))/pixsize(dem_mayong)))  EnterShow.

91
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Gambar 2.36. Rumus untuk Membuat Peta Kemiringan Lereng dalam


Derajat.
8. Rumus kemiringan lereng dalam percentase (%),
slopepercent_mayong=((HYP(DX,DY))/pixsize(dem_mayong))*100Ent
erShow.
Note: yang diberi garis bawah adalah nama file yang harus sesuai dengan
file yang telah dibuat, perhatikan huruf capital, karena kesalahan sedikit
sangat berpengaruh.
9. Membuat domain kelas kemiringan lereng. FileCreateDomain
Beri nama domain, missal “kelas_lereng”Centang groupOK. Pada

kotak Domain Group, klik , akan muncul kotak domain item (Gambar
2.37).

Gambar 2.37. Cara Membuat Domain untuk Kemiringan Lereng.


Isikan upper bond untuk batas atas, Name untuk nama, dan code untuk
legenda.
Tabel 2.25. Klasifikasi Kemiringan Lereng
Nama Klasifikasi kemiringan Upper bond Kode
(°)
Datar 0—2 2 0—2
Landai 2—4 4 2—4
Miring 4—8 8 4—8

92
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Agak Curam 8—16 16 8—16


Curam 16—35 35 16—35
Sangat Curam 35—55 55 35—55
Terjal 55—90 (disesuaikan dg 90 55—90
data)

10. Buat raster DEM dengan proses slicing. Klik kanan pada
slopedeg_mayongImage processingSlicingberi nama output
raster, misal “fisik_lereng”pilih domain dengan “kelas_lereng”Show,
akan muncul peta lereng (Gambar 2.38).

Gambar 2.38. Peta Raster Kemiringan Lereng

e. Membuat Peta Buffer Sungai


1. Add data sungai seperti cara di atas, dengan cara import map. Akan
muncul data line , tabel , dan palet . Kemudian samakan
koordinat.
2. Klik kanan sungai_mayongrastersizesegment to
rastersamakan Georeference “dem_mayong”Show. Akan muncul
Peta sungai berbentuk garis-garis (Gambar 2.39).
93
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Gambar 2.39. Peta Raster Sungai dalam Tampilan ILWIS.


3. Klik kanan pada peta raster sungai_mayongrasters
operationdistance calculationberi nama output name sesuai proses,
missal “sungai_distance”Show. Akan muncul peta berikut (Gambar
2.40).

Gambar 2.40. Peta Jarak Sungaidalam Tampilan ILWIS.


4. Buat domain jarak buffer sungai, FileCreateDomainberi nama
domain “kelas_buffersungai”centang GroupOK

94
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

5. Pada kotak Domain Group, klik , akan muncul kotak domain item.
Isikan upper bond untuk batas atas, Name untuk nama, dan Code untuk
legenda (Gambar 2.41).

Gambar 2.41. Kelas Domain untuk Buffer Sungai.


6. Klik kanan pada peta raster sungai_distanceImage
processingSlicingberi nama output, missal “fisik_bf_sungai”, pilih
domain “kelas_buffersungai”Ok. Akan muncul peta (Gambar 2.42).

Gambar 2.42. Peta Buffer Sungai dalam Tampilan ILWIS.

95
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

C. Spatial Multi-Criteria Evaluation (SMCE)


1. Pada windows utama ILWIS, klik operation list Spasial Multi-
Creiteria Evaluationpilih Design of AlternativesOk (Gambar 2.42)

Gambar 2.42. Tampilan Jendela Baru Tools SMCE pada ILWIS.


2. Beri nama pada “New Goal” sesuai tujuan yang akan dilakukan, misalnya

“Parameter Kerawanan” Klik untuk membuat folder, beri nama


folder. Untuk membuat subfolder, klik pada folder yang akan dibuat

subfolder, kemudian klik untuk membuat subfolder, beri nama


subfolder. Isikan Folder sesuai parameter yang digunakan dalam hal ini
“parameter fisik” dan “parameter histori”. Isi sub parameter fisik dan
histori (Gambar 2.43).

Gambar 2.43. Proses Pembuatan Parameter dalam Pohon Kriteria


3. Simpan draft Criteria Tree SMCE dengan cara FileSave AsSimpan
pada folder yang diinginkanberi nama.

96
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

4. Panggil data raster yang telah dibuat, caranya double klik pada kolom
warna pink data yang akan dipanggil, dan pilih datanya (Gambar 2.44).

Gambar 2.44. Tampilan proses penambahan data raster semua parameter


yang sudah disiapkan sebelumnya.
5. Apabila semua sudah terpanggil, beri nama output peta pada <no
filename given>, misalnya Peta Kerawanan Banjir.

97
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

6. Lakukan pembobotan dengan klik symbol Alternative  klik kanan


“Kerawanan Banjir”Weighpilih metode Pairwise (Gambar 2.45).

Gambar 2.45. Tampilan Komparasi Metode Pairwise

Pilih salah satu dari 9 kemungkinan. Misalkan Parameter Fisik sama pentingnya
dengan Parameter Histori, maka pilih “is equally important as”, dalam hal ini
yang kita gunakan adalah Parameter Fisik lebih penting dari Parameter Histori,
sehingga menggunakan “is strongly more important than”  next OK
7. Klik kanan “Parameter Fisik”weighpilih “Direct”OK. Kemudian isikan
nilai eigen Faktor dari Sub Parameter Fisik yang telah dibuat sebelumnya
dengan metode AHP.  OK (Gambar 2.46).

98
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Gambar 2.46. Pembobotan Metode Langsung dari Nilai Hasil AHP Parameter
Fisik.

8. Klik kanan “Penggunaan Lahan”Standardize buat atribut tabel baru, klik ,


buat nama tabel sesuai sub parameternya, misalnya “mayong_pl”OK. Pada
“Attributr between 0 and 1” buat atribut baru juga dengan nama yang sama
“mayong_pl”Apply Weigh Wizard”DirectOK Kemudian isikan nilai eigen
factor Penggunaan Lahan seperti pada tabel di atasOK (Gambar 2.47)

Gambar 4.27. Pembobotan Metode Langsung dari Nilai Hasil AHP Subparameter
PL.
9. Hal yang sama dilakukan pada semua sub parameter fisik.
10. Begitu pula parameter histori, pada sub parameter histori klik kanan “Jumlah

kejadian banjir”standardize buat atribut tabel baru, klik , buat nama


99
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

tabel sesuai sub parameternya, misalnya “mayong_jmlbanjir”OK. Pada


“Attributr between 0 and 1” buat atribut baru juga dengan nama yang sama
“mayong_jmlbanjir”Apply Weigh Wizard”DirectOK Kemudian isikan
nilai eigen factor Penggunaan Lahan seperti pada tabel di atasOK (Gambar
2.48)

Gambar 2.48. Pembobotan Metode Direct Nilai AHP

11. Setelah semua nilai eigen faktor dimasukkan, klik symbol “Generate All Output”

untuk memproses menjadi petaOk


12. Akan muncul peta kerawanan banjir secara garis besar dimana semakin
mendekati angka 1 makan semakin rawan (Gambar 2.49).

Gambar 2.49. Peta Kerawanan Banjir Berdasarkan Nilai Kerawanan.


100
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

13. Langkah selanjutnya adalah membuat legenda klas kerawanan banjir. Untuk
membuat legenda klas kerawanan banjir membutuhkan subjektifitas yang
tinggi, sehingga untuk meminimalisirnya dapat menggunakan grafik distribusi

data. Klik symbol grafik Peta Kerawanan Banjir. Akan muncul grafik
distribusi data. Berdasarkan grafik tersebut buatlah domain klas kerawanan
banjir.
14. Filecreatedomain Isikan domain name “klas_rawan_banjir”centang
groupOK.
15. Buat domain seperti membuat domain yang sebelumnya (Gambar 2.50).

Gambar 2.50. Domain Klasifikasi Klas Rawan Banjir


16. Kemudian klik kanan symbol raster Peta Kerawanan BanjirImage
ProcecingSlicing. Pada Output name, tuliskan nama peta final, missal “Peta
Kerawanan Banjir Mayong”pilih domain “klas_rawan_banjir”Show. Peta
Kerawanan Banjir sudah jadi (Gambar 2.51).

101
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Gambar 2.51. Peta Kerawanan Banjir Kecamatan Mayong

17. Export Peta Kerawanan yang sudah jadi dalam ERDAS GIS dengan ekstensi .gis
untuk di layout menggunakan ArcGIS.

102
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

III. DAFTAR PUSTAKA


Wibowo, A., Semedi, J. M. 2011. Model Spasial dengan SMCE untuk Kawasan
Industri (Studi Kasus di Kota Serang). Jakarta: Globe Volume 13 No. 1 Juni
2011: 50—59.
Raaijmakers, R.J.J. 2006. A Spatial Multi Criteria Analysis Methodology for the
Development of Sustainable Flood Risk Management in the Ebro Delta.
University of Twente Department.
Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana. Lembaran Negara RI Tahun 2007. Jakarta:
Sekretariat Negara.
Rai, K. dan Bhushan, N. 2004. Strategic Decision Making (Analythic Hierarchy
Process). http://www.springer.com/978-1-85233-756-8 diakses 10
November 2016
Wacano, D. 2010. Skripsi. Kajian Kerawanan Longsor Lahan Menggunakan
Metode Analythical Hierarchy Process di DAS Tinalah Kulon Progo.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Coyle, G. 2004. The Analytic Hierarchy Process (AHP) Practical Strategy:Structured
tools and techniques.Open accessmaterial, Glosgow. Persons Education Ltd.
Hizbaron, D. R., Hadmoko, D. S., Samodra, G., Dalimunthe, S. A., Sartohadi, J.
2010. Tinjauan Kerentanan, Risiko dan Zonasi Rawan Bahaya Rockfall di
Kulonprogo, Yogyakarta. Yogyakarta: Forum Geografi, Vol. 24, No. 2,
Desember 2010: 119—136.

103
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

SESI V
PEMODELAN BAHAYA LONGSOR DENGAN WEIGHT OF EVIDENCE

I. BAHAYA LONGSOR
Pemetaan bahaya longsor dapat dilakukan dengan berbagai metode. Metode
yang sering dipakai dalam pemetaan bahaya longsor adalah dengan membuat
skor dan mengoverlaykan faktor yang dianggap sebagai penyebab longsor seperti
lereng, geologi, dan penggunaan lahan yang direpresentasikan oleh peta tematik.
Metode skoring biasnya dilakukan secara subyektif berdasarkan peneliti.
Subyektifitas peneliti sebenarnya dapat diminimalkan dengan mengetahui
hubungan antara faktor penyebab longsor dengan kejadian longsor. Hubungan
antara faktor penyebab longsor dengan kejadian longsor dapat dianalisa secara
sederhana dengan analisa statistic weight of evidence. Penerapan metode weights
of evidence dalam studi longsor dilakukan dengan cara membandingkan antara
kepadatan longsor aktual pada setiap kelas area (faktor/parameter longsor)
dengan kepadatan longsor pada seluruh area kajian (Westen, dkk., 2003; Suzen
dan Doyuran, 2004; Dahal, dkk., 2007; Neuhauser dan Terhorst, 2007). Sehingga
analisa statistic weight of evidence dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
keterkaitan kejadian longsor dengan parameter longsor. Dengan catatan metode
statistic weight of evidence digunakan berdasarkan asumsi bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi longsor tidak terkait satu sama lain (Suzen dan Doyuran,
2004). Metode statistic weight of evidence direpresentasikan berdasarkan
persamaan:
Npix( Si)
ln Wi  ln
Densclas  ln Npix( Ni) (1)
Densmap  Npix(Si)
 Npix( Ni)
Wi : nilai bobot dari setiap kelas faktor/parameter
Wi  : mengindikasikan bahwa faktor prediksi longsor berada pada lokasi
longsor dan nilainya menunjukkan adanya korelasi positif antara
faktor prediksi longsor dengan longsor yang terjadi
104
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Wi  : mengindikasikan bahwa faktor prediksi longsor tidak berada pada


lokasi longsor dan nilainya menunjukkan adanya korelasi negatif
antara faktor prediksi longsor dengan longsor yang terjadi
Densclas : kepadatan longsor setiap kelas faktor
Densmap : kepadatan longsor total
Npix(Si) : jumlah piksel longsor dalam setiap kelas faktor
Npix(Ni) : jumlah seluruh piksel dalam setiap kelas faktor

 Npix(Si) : jumlah total piksel longsor dalam peta

 Npix(Ni) : jumlah total piksel

(Westen, 1997)

II. PEMETAAN BAHAYA LONGSOR DAN LANGKAH KERJA


Analisis statistic weight of evidence dapat dilakukan dengan software Ilwis 3.7
berdasarkan langkah-langkah berikut ini:
A. Crosstab Parameter Longsor dengan Peta Longsor
1. Landslide inventory map (peta kejadian longsor) yang memuat informasi longsor
aktif dan tidak longsor dicrosskan dengan masing-masing parameter longsor.
Dalam hal ini beberapa parameter yang dianggap mempengaruhi longsor adalah
penggunaan lahan, buffer jalan, buffer sungai, lereng, bentuklahan dan ketinggian.
2. Pilih pada main Ilwis menu: Operations, Raster Operation, Cross
3. Pilih peta lereng kayangan sebagai first map dan petalongsor sebagai second
map dan beri nama pada output table “cosslerenglongsor”. Klik show
dan Ok
4. Tabel Crosslerenglongsor merupakan crosstab yang mengindikasikan area
longsor pada setiap kelas lereng yang direpresentasikan dengan NPix (jumlah
piksel) dan luas area.

105
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

B. Penghitungan Densitas (Kepadatan) Longsor


Langkah 1: membuat kolom yang menginformasikan nilai piksel longsor pada setiap
parameter lereng dengan menulis formula:
Npixaktif=iff(petalongsor="Aktif",npix,0)
Kemudian klik Ok

Langkah 2: Hitung jumlah total piksel pada setiap kelas lereng.


Pada table menu: Pilih Columns, Aggregation.
Pilih column: Npix pilih function Sum. Select group by peta lereng
kayangan. Jangan beri tanda centang pada Output Table, tulis Output Column
Nplerengtotal. Klik Ok dengan precision 1.0

Langkah 3: Hitung jumlah piksel longsor pada setiap kelas lereng


Pada table menu: Pilih Columns, Aggregation.
Pilih column: Npixaktif pilih function Sum. Centang group by dan pilih peta
lereng kayangan. Jangan beri tanda centang pada Output Table, tulis Output
Column Nplerengaktif. Klik Ok dengan precision 1.0

Langkah 4: Hitung jumlah seluruh piksel dalam peta


Pada table menu: Pilih Columns, Aggregation.
Pilih column: Npix pilih function Sum. Jangan beri tanda centang pada group
by. Jangan beri tanda centang pada Output Table, tulis Output Column
Npmaptotal. Klik Ok dengan precision 1.0

Langkah 5: Hitung jumlah seluruh piksel longsor pada peta


Pada table menu: Pilih Columns, Aggregation.
Pilih column: Npixaktif pilih function Sum. Jangan beri tanda centang pada
group by. Jangan beri tanda centang pada Output Table, Jangan beri tanda

106
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

centang pada Output Table. Tulis Output Column Npmapaktif. Klik Ok


dengan precision 1.0

Langkah 6: Hitung densitas longsor pada setiap kelas lereng


Tulis Densclas=Nplerengaktif/Nplerengtotal
Pilih precision 0.0001

Langkah 7: Hitung densitas longsor pada seluruh peta


Tulis Densmap=Npmapaktif/Npmaptotal
Pilih precision 0.0001

Gambar 2.52. Langkah-langkah Perhitungan Densitas Longsor

Ulangi prosedur cross-table di atas untuk seluruh parameter yang diyakini sebagai
penyebab longsor (penggunaan lahan, buffer jalan, buffer sungai, bentuklahan dan
ketinggian)

C. Penghitungan nilai weights of evidence (bobot bukti)


Tulis Weight:=ln(Densclas/0.0036)
0.0036 merupakan nilai densitas map (kepadatan longsor pada seluruh wilayah
kajian)
Selamat anda telah dapat mengetahui nilai weight of evidence pada setiap kelas
lereng. Nilai tersebut dapat digunakan untuk membandingkan hubungan antara
parameter longsor dengan kejadian longsor.
107
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

D. Pembuatan Peta Raster Weights of Evidence


Buatlah tabel atribut baru dengan cara: Klik Operation tree, New Table. Beri
nama “weight value” pada Table Name dan Pilih Domain: Kelas Lereng

Buka Tabel “Weight Value”, Kemudian buat kolom baru dengan cara klik
Columns, Add Column. Beri Nama pada Column Name “Weight”, Domain
“value”, Value Range “(-6) hingga (6)”, Precision “0.00001”
Klik Ok
Isikan Kolom weight sesuai dengan kolom “weight” pada tabel
crosslerenglongsor dengan nilai -1.1856 hingga -0.5754.

Buat Peta Raster Weight sesuai dengan atribut pada table weight

Pilih pada main ILWIS menu: Operations, Raster operations, Attribute


map. Pilih raster map peta lereng kayangan. Pilih Table “Weight Value”,
Pilih atribut “Weight”. Dan beri nama output raster map “Petaweightlereng”.
Klik Show lalu Ok.

Setelah Anda melakukan langkah-langkah di atas untuk seluruh parameter yang


dianggap sebagai penyebab longsor, maka nilai dari setiap weights dari setiap kelas
parameter longsor dapat diketahui. Peta bahaya dapat dibuat dengan cara
menambahkan setiap peta weight yang sudah dibuat. Anda tinggal menuliskan script
pada main ILWIS menu sebagai berikut:

Weight=Petaweightlereng+Petaweightpenggunaanlahan+Petaweightb
ufferjalan+Petaweightbuffersungai+Petaweightbentuklahan+Petaw
eightketinggian

108
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

E. Pembuatan Kelas bahaya


Kemudian untuk membuat peta bahaya longsor, anda tinggal mengklaskan
angka weights of evidence sesuai keinginan anda misal dengan formula Sturgess.
Dalam Ilwis cara mengkelaskan peta tersebut adalah sebagai berikut:
Pilih Image Processing pada Operation Tree, kemudian pilih
Slicing. Pada Raster Map, pilih peta yang akan dikelaskan (dalam hal ini peta
Weight, Isikan pada Output Raster Map “Peta Bahaya”. Pada option
Domain, anda harus membuat domain yang baru sebagai input pengkelasan. Pilih
ikon untuk membuat domain baru. Isikan nama domain pada Domain Name: Peta
Bahaya. Beri tanda centang pada option group, kemudian Ok. Klik add item .
Kemudian isikan nilai batas tertinggi (Upper Bound) untuk masing-masing kelas
sesuai dengan perhitungan formula Sturgess yang sudah anda buat dan tulis kelasnya
(contoh: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, sangat rendah). Klik Ok. Ulangi sesuai
dengan kelas yang anda inginkan.

F. Pembobotan Parameter Longsor


Selain dengan langkah di atas, anda juga dapat membuat peta kerawanan
longsor sesuai dengan pembobotan (Ruff, M. dan Czurda, K. 2007). Sebagai contoh
anda dapat menganalisa setiap parameter berdasarkan weights of evidence disertai
dengan analisa kondisi geomorfologi atau analisa literatur untuk menentukan nilai
bobot parameter longsor. Tabel berikut adalah suatu contoh penentuan nilai bobot
berdasarkan pertimbangan nilai weight of evidence, kondisi geomorfologi, studi
literatur, densitas titik, dan densitas area:
Tabel 2.26. Tabel Pembobotan Kelas Lereng
Kelas Faktor Indeks
Longsor Kepadatan Kepadatan Indeks Weight Indeks Faktor
Kemiringan Lereng (titik/km2) (ha/km2) 1 Factor 2 (I1xI2)
45° 2.75 0.22 0.2 -0.4925 0.1
>25° - 45° 3.15 0.43 0.4 0.1777 0.2
>15° - 25° 6.96 0.64 0.6 0.5754 0.5 0.3
>8° - 15 ° 3.46 0.26 0.3 -0.3254 0.15
0° - 8 ° 1.93 0.11 0.1 -1.1856 0.05
109
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Pembuatan peta kerawanan longsor berdasarkan pembobotan di atas dapat


dilakukan sebagai berikut:
Klik dua kali tabel Weight Value. Pada tabel Weight Value klik Columns,
Add Column dan beri nama indeks bobot dan set precision 0.001.
Kemudian isikan indeks bobot sesuai analisa anda (contoh di atas 0.1; 0.2 ;0.3 ;0.15
;0.05) untuk masing-masing kelas.
Kemudian untuk membuat peta raster bobot lereng dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
Pilih pada main ILWIS menu: Operations, Raster operations, Attribute map. Pilih
raster map peta lereng kayangan. Pilih Table “Weight Value”, Pilih atribut
“Indeks Bobot”. Dan beri nama output raster map “Petabobotlereng”. Klik
Show lalu Ok.

Ulangi prosedur di atas untuk seluruh parameter yang diyakini sebagai


penyebab longsor
Kemudian untuk pembuatan peta bahaya longsor sesuai dengan bobot masing-
masing parameter, anda dapat melakukannya sama persis dengan pembuatan peta
bahaya berdasarkan nilai weights of evidence dengan menuliskan script sebagai
berikut:
Bobot=Petabobotlereng+Petabobotpenggunaanlahan+Petabobotbuffe
rjalan+Petabobotbuffersungai+Petabobotbentuklahan+Petabobotke
tinggian
Kemudian anda dapat mengkelaskan sesuai dengan keinginan anda (misal:
sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, sangat rendah). Cara Pengkelasan dapat dilihat
pada sub bab Pembuatan Kelas Bahaya.

Validasi model bahaya longsor


Keakuratan model ILWIS dalam memprediksikan tingkat kerawanan longsor
perlu diuji keberhasilannya. Terdapat tiga cara untuk menguji keberhasilan model
110
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

yaitu cara yang pertama validasi hasil pemodelan dapat dilakukan dengan cara
membandingkan jumlah longsor pada tiap klas longsorlahan yang dihasilkan oleh
model. Validasi tersebut dinamakan dengan succes rate. Weerasinghe et al., (2002)
dan Fowze et al., (2006) menjelaskan bahwa succes rate dapat digunakan untuk
mengukur atau memvalidasi seberapa baik indeks kerawanan longsor dalam
meprediksi longsor. Menurut Samodra (2008), Interpretasi kesuksesan model dapat
dilakukan dengan melihat hubungan antara persentasae kerawanan longsor dengan
jumlah longsor atau dapat dilakukan dengan menghitung luas area grafik di bawah
kurva. Selanjutnya, Dahal (2007) menjelaskan bahwa Succes rate mengindikasikan
persentase seluruh longsor pada setiap kelas dengan nilai tertinggi peta kerawanan
longsor.
Kedua, tingkat keberhasilan model juga dapat diuji dengan melakukan
pengamatan langsung ke lapangan untuk melihat kejadian longsor yang terjadi
berdasarkan model. Namun, hal ini tidak efektif mengingat waktu dan tidak
diketahuinya kapan akan terjadi longsor. (Neausheser dan Terhorst, 2007 dalam
Samodra, 2008). Metode validasi ini merupakan metode yang paling bagus dan
akurat, namun hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena harus menunggu
terjadinya longsor dan tidak tahu kapan longsor selanjutnya akan terjadi.
Ketiga, membandingkan hasil model deterministik-ILWIS dengan model lain
seperti model statistik-heuristik sebagaimana yang telah dilakukan oleh penelitian
terdahulu (Westen, 2004). Perbandingan dua metode ini dilakukan untuk mengetahui
persentase kesesuaian atau kecocokan di setiap klas kerawanan longsor pada daerah
penelitian yang sama dengan perlakukan dua metode yang berbeda. Selain itu, hasil
komparasi dapat dijadikan alasan yang kuat untuk memprediksi longsor yang akan
terjadi di daerah penelitian. Semakin besar persentase kecocokan setiap klas
kerawanan longsor, maka kemungkinan terjadinya longsor di daerah penelitian juga
semakin besar (Pramudianti, 2012).

111
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

IV. DAFTAR PUSTAKA


Dahal, R.K., Hasegawa, S., Nonomura, A., Yamanaka, M., Masuda, T., Nishino, K.
2007. GIS Based Weights-of-Evidence Modeling of Rainfall Induced
Landslides in Small Catchments for Landslide Susceptibility Mapping.
Environ Geol, doi: 10.1007/s00254-007-0818-3

Neuhäuser, B., dan Terhorst, B. 2007. Landslide Susceptibility Assessment Using


“Weights-of-Evidence” Applied to a Study Area at The Jurassic
Escarpment (SW-Germany). Geomorphology 86, hal 12-24. Elsevier.

Ruff, M. dan Czurda, K. 2007. Landslide susceptibility Analysis with a Heuristic


Approach at The Eastern Alps (Voralberg, Austria). Geomorphology, doi:
10.1016/j.geomorph.2006.10.032.

Suzen, M. L. dan Doyuran, V. 2004. Data Driven Bivariate Landslide Susceptibility


Assessment Using GIS: a Method and Application to Asarsuyu
Catchment, Turkey. Engineering Geology 71, hal 303-321.

Westen van, C. J., Rengers. N., Soeters. R. 2003. Use of Geomorphological


Information in Indirect Landslide Susceptibility Assessment. Natural
Hazard 30: 399-419. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.

Westen van, C. J. 1997. Statistical Landslide Hazard Analysis. Dalam: ILWIS


Department, ITC. ILWIS 2.1 for Windows: Applications Guide (Bab 5
hal.73-84). ILWIS Department, ITC. Enschede, The Netherlands.

112
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

MODUL 3
PENAKSIRAN KERENTANAN DAN KAPASITAS

113
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

ACARA I
PENAKSIRAN KERENTANAN BENCANA

I. TUJUAN
1. Mahasiswa memahami konsep dan melakukan pemetaan kerentanan bencana
2. Mahasiswa mampu melakukan analisis kerentanan terhadap bencana prioritas
pada unit analisis tertentu

II. DASAR TEORI


Konsep Kerentanan
Suatu peritiwa dikatakan sebagai bencana ketika peristiwa tersebut
memberikan dampak merugikan bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Untuk
mengetahui bagaimana risiko bencana di suatu wilayah, perlu diketahui aspek
kerawanan dan kerentanan di wilayah tersebut. Kerentanan adalah karakteristik
dan situasi sebuah masyarakat, sistem, atau aset yang membuat mereka mudah
terkena dampak merugikan dari sebuah bahaya atau dampak perubahan iklim
(Diadaptasi dari UNISDR Terminology of Disaster Risk Reduction, 2009 dalam
Oxfam, 2012). Menurut Peraturan Kepala BNPB No. 2 tahun 2012, kerentanan
adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau
menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bencana.
Kerentanan dinilai dari sekumpulan kondisi dan atau suatu akibat keadaan
(faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan) yang berpengaruh buruk terhadap
upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana. Setiap kerentanan
memiliki variabel/indikator tertentu seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1.
1. Kerentanan Fisik
Secara fisik, bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakat berupa daya
tahan menghadapi bahaya tertentu. Misalnya adalah kekuatan bangunan
rumah bagi masyarakat yang berada di daerah rawan gempa, adanya tanggul
pengaman banjir bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dan
sebagainya.

114
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

2. Kerentanan Ekonomi
Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat menentukan
tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Pada umumnya masyarakat
atau daerah yang miskin atau kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya,
karena tidak mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk
melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana.

Gambar 3.1. Bagan Indeks dan Variabel Kerentanan (Sumber: BNPB, 2012)

3. Kerentanan Sosial
Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan
terhadap ancaman bahaya. Dari segi pendidikan, kekurangan pengetahuan
tentang risiko bahaya dan bencana akan mempertinggi tingkat kerentanan,
demikian pula tingkat kesehatan masyarakat yang rendah juga mengakibatkan
rentan menghadapi bahaya.
4. Kerentanan Lingkungan
Lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi kerentanan.
Masyarakat yang tinggal di daerah yang kering dan sulit air akan selalu
terancam bahaya kekeringan. Penduduk yang tinggal di lereng bukit atau
pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor dan sebagainya.
115
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Penaksiran Kerentanan
Penilaian kerentanan adalah proses pengukuran tingkat kerentanan, baik
individual maupun kelompok; laki-laki dan perempuan, kelompok umur maupun
yang berkemampuan khusus. Penilaian dilakukan berdasarkan aspek fisik, sosial
(termasuk kebijakan) dan ekonomi serta lingkungan. Sumber informasi yang
digunakan untuk analisis kerentanan terutama berasal dari laporan BPS
(Provinsi/kabupaten Dalam Angka, PODES, Susenas, dan PDRB) dan informasi
peta dasar (penggunaan lahan, jaringan jalan dan fasilitas umum). Informasi
tabular dari BPS idealnya sampai tingkat desa/kelurahan. Untuk memperoleh
data yang lebih detail dapat dilakukan pengumpulan data primer melalui
wawancara.
Untuk mempermudah penyampaian informasi, penyajian informasi
kerentanan dilakukan dalam bentuk peta. Kerentanan menilai ketidakmampuan
masyarakat dalam menghadapi bencana dengan berbagai parameter berdasarkan
data primer maupun sekunder. Unit analisis yang sebaiknya digunakan dalam
penaksiran kerentanan adalah batas administrasi. Meskipun begitu, dapat pula
digunakan unit analisis batas penggunaan lahan, dengan berbagai pendekatan
untuk menilai variabel-variabel kerentanannya.
Pemiihan parameter dan model perhitungan menjadi penentu nilai
kerentanan. Sebelumnya harus diketahui elemen rentan yang akan diukur dan
disesuaikan dengan tipe bencana yang dikaji. Sebagian besar bencana mengakaji
elemen rentan dengan unit administrasi mengingat variabel banyak difokuskan
pada faktor human at risk, misalnya bangunan, jumlah penduduk, pekerjaan, dsb.
Pemilihan variabel yang tepat sebagai criteria input perlu mempertimbangkan
berbagai aspek mengingat kerentanan tidak dapat dijelaskan hanya oleh satu
kriteria pasti (Hizbaron dkk, 2012).
Penelitian Hizbaron dkk (2012) terkait kerentanan gempabumi menjelaskan
jika faktor kerentanan sangat bervariasi dan memiliki kondisi yang tidak
terstruktur pada satu sistem sehingga diperlukan standardisasi pengolahan
berbagai variabel kerentanan, misalnya menggunaan model SMCE sehingga
116
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

seluruh variabel dapat dinilai dari indeks 0 hingga 1. Pemilihan criteria input juga
harus mempertimbangkan aspek lokal bencana.
Penelitian Pradana dkk (2018) menyebutkan bahwa faktor human at risk
tidak selalu berlaku pada seluruh bencana. Tipikal bencana yang tidak
berdampak langsung ke infrastruktur, kerugian bangunan dan kehilangan jiwa,
misalnya bencana di bidang pertanian (kekeringan, frost, hama) atau bencana
lingkungan lain dapat menggunakan parameter yang disesuaikan dengan elemen
rentannya, misal kerentanan pada komoditas, pada lahan maupun pada manusia
namun terkait dengan kerugian nilai ekonomi. Penjelasan ini memperlihatkan
bahwa tingkat variasi penentuan kerentanan sangat tinggi dan sangat
menyesuaikan kondisi elemen rentan.
Indonesia dalam Peraturan Kepala BNPB No 2 tahun 2012 telah memiliki
standar penyampaian informasi kerentanan, diantaranya:
1. Memenuhi aturan tingkat kedetailan analisis (kedalaman analisis di tingkat
nasional minimal hingga kabupaten/kota, kedalaman analisis di tingkat
provinsi minimal hingga kecamatan, kedalaman analisis di tingkat
kabupaten/kota minimal hingga tingkat kelurahan/desa/kam-pung).
2. Skala peta minimal adalah 1:250.000 untuk provinsi; peta dengan skala
1:50.000 untuk kabupaten/kota di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi;
peta dengan skala 1:25.000 untuk kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Nusa
Tenggara.
3. Mampu menghitung jumlah jiwa terpapar bencana (dalam jiwa).
4. Mampu menghitung nilai kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan
(dalam rupiah).
5. Menggunakan 3 kelas interval tingkat risiko, yaitu tingkat risiko tinggi, sedang
dan rendah.
6. Menggunakan GIS dengan Analisis Grid (1 ha) dalam pemetaan risiko bencana.

117
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Skoring Indeks Kerentanan


Analisis skoring dilakukan terhadap setiap variabel dalam indeks kerentanan.
Setiap variabel diberikan skor yang menunjukkan tingkat kerentanan masing-
masing variabel dalam suatu bencana. Selanjutnya, hasil skoring seluruh variabel
dalam satu indeks kerentanan dijumlahkan (berdasarkan bobot) sehingga
diperoleh tingkat kerentanan sosial, ekonomi, fisik, dan lingkungan. Setiap faktor
kerentanan memiliki sensitivitas masing-masing, yang bervariasi di setiap
bencana dan intensitas bencana. Sensitivitas ini ditutupi secara tidak langsung
melalui pembagian faktor pembobotan. Peraturan Kepala BNPB No 2/2012 lebih
menekankan pada faktor human at risk dengan pperincian sebagai berikut.

1. Kerentanan Sosial
Indeks kerentanan sosial diperoleh dari rata-rata bobot kepadatan penduduk
(60%), kelompok rentan (40%) yang terdiri dari rasio jenis kelamin (10%), rasio
kemiskinan (10%), rasio orang cacat (10%), dan kelompok umur (10%).
Parameter konversi indeks dan persamaannya ditunjukkan di bawah ini
Kerentanan Sosial = (0,6 x skor kepadatan penduduk) + (0,1 x skor jenis kelamin) +
(0,1 x skor kemiskinan) + (0,1 x skor orang cacat) + (0,1 x skor kelompok
umur)
Skoring variabel kerentanan sosial dapat menggunakan aturan berikut (tabel 3.1)
Tabel. 3.1. Variabel Kerentanan Sosial

(Sumber Peraturan Kepala BNPB No. 2, 2012)

118
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

2. Kerentanan Ekonomi
Indikator yang digunakan untuk kerentanan ekonomi adalah luas lahan
produktif dalam rupiah (sawah, perkebunan, lahan pertanian dan tambak) dan
PDRB. Luas lahan produktif dapat diperoleh dari peta guna lahan dan buku
kabupaten atau kecamatan dalam angka dan dikonversi kedalam rupiah,
sedangkan PDRB dapat diperoleh dari laporan sektor atau kabupaten dalam
angka. Bobot indeks kerentanan ekonomi hampir sama untuk semua jenis
ancaman, yaitu sebagai berikut (Tabel 3.2)
Tabel. 3.2. Variabel Kerentanan Ekonomi

(Sumber Peraturan Kepala BNPB No. 2, 2012)


Kerentanan Ekonomi= (0,6 x skor lahan produktif) + (0,4 x skor PDRB)

3. Kerentanan Fisik
Indikator yang digunakan untuk kerentanan fisik adalah kepadatan rumah
(permanen, semipermanen dan non-permanen), ketersediaan bangunan/fasilitas
umum dan ketersediaan fasilitas kritis. Kepadatan rumah diperoleh dengan
membagi area terbangun dengan luas desa dan dikalikan dengan harga satuan
dari masing-masing parameter. Indeks kerentanan fisik hampir sama untuk
semua jenis ancaman, kecuali ancaman kekeringan yang tidak menggunakan
kerentanan fisik. Indeks kerentanan fisik diperoleh dari rata-rata bobot
kepadatan rumah (permanen, semi-permanen dan non-permanen), ketersediaan
bangunan/fasilitas umum dan ketersediaan fasilitas kritis (Tabel 3.3).
Tabel. 3.3. Variabel Kerentanan Fisik

119
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

(Sumber Peraturan Kepala BNPB No. 2, 2012)

Kerentanan Fisik = (0,4 x skor rumah) + (0,3 x skor fasilitas umum) + (0,3 x skor
fasilitas kritis)

4. Kerentanan Lingkungan
Indikator yang digunakan untuk kerentanan lingkungan adalah penutupan
lahan (hutan lindung, hutan alam, hutan bakau/mangrove, rawa dan semak
belukar). Indeks kerentanan fisik berbeda untuk masing-masing jenis ancaman
dan diperoleh dari rata-rata bobot jenis tutupan lahan. Parameter konversi
indeks kerentanan lingkungan digabung melalui faktor-faktor pembobotan yang
ditunjukkan pada persamaan untuk masing-masing jenis ancaman di bawah ini
(Tabel 3.4)
Tabel. 3.4. Variabel Kerentanan Lingkungan

(Sumber Peraturan Kepala BNPB No. 2, 2012)


Kerentanan Lingkungan = (0,4 x skor hutan lindung) + (0,4 x skor hutan alam) +
(0,1 x skor hutan bakau) + (0,1 x skor semak belukar)

120
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

5. Kerentanan Total
Kerentanan bencana secara keseluruhan merupakan hasil dari penjumlahan
skor kerentanan sosial, ekonomi, fisik dan lingkugan, dengan faktor-faktor
pembobotan yang berbeda untuk masing-masing jenis ancaman yang berbeda.
Bobot indeks kerentanan berbeda antar jenis bencana. Gambar 3.2 menunjukkan
masing-masing kerentanan untuk bencana yang sering terjadi di Indonesia.

Gambar 3.2 Rumus Indeks Kerentanan Bencana (Sumber: BNPB, 2016)

Penyajian Informasi Kerentanan secara Spasial


Untuk mempermudah penyampaian informasi tingkat kerentanan setiap
daerah, informasi tersebut disajikan dalam bentuk peta ketentanan. Peta
kerentanan dibuat berdasarkan hasil skoring kerentanan yang telah dijelaskan
sebelumnya. Setiap unit analisis memiliki nilai skor kerentanan tertentu,
selanjutnya dikelaskan menjadi 3 kelas (rendah, sedang, dan tinggi).

III. ALAT DAN BAHAN


1. Software Ms Excel
2. Software ArcGIS
3. Data Ekonomi Kependudukan (Kabupaten Dalam Angka, Kecamatan Dalam
Angka, Monografi Desa, dsb)

121
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

IV. LANGKAH KERJA


1. Identifikasi elemen risiko pada setiap unit analisis kecamatan
2. Identifikasi nilai variabel dalam masing-masing kerentanan (sosial, ekonomi,
fisik, lingkungan) di setiap unit analisis.
3. Berikan skor untuk setiap variabel tersebut berdasarkan Peraturan Kepala
BNPB No. 2 Tahun 2012 seperti yang dijelaskan sebelumnya
4. Jumlahkan seluruh variabel pada setiap kerentanan (sosial, ekonomi, fisik,
lingkungan) berdasarkan bobot masing-masing variabel.
5. Hitung skor kerentanan bencana longsor dengan menjumlahkan skor
kerentanan sosial, ekonomi, fisik, dan lingkungan berdasarkan bobot masing-
masing kerentanan.
6. Kelaskan skor kerentanan bencana menjadi 3 kelas (rendah, sedang, tinggi)
7. Masukkan tingkat kerentanan bencana dalam atribut table setiap unit
administrasi kecamatan dalam Arcmap.

V. KEGIATAN PRAKTIKUM
1. Buatlah peta kerentanan fisik, sosial, ekonomi, lingkungan dan kerentanan
total terhadap bencana prioritas di Kabupaten/Kota Anda pada unit analisis
kecamatan berdasarkan Peraturan Kepala BNPB No. 2 Tahun 2012. Anda
dapat melakukan modifikasi parameter kerentanan menyesuaikan kondisi
wilayah kajian dan alasan yang rasional.
2. Buatlah tabel parameter pada setiap jenis kerentanan.
Kecamatan Kepadatan Skor Kelas Parameter
Penduduk Lainnya..

122
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

3. Lakukan perbandingan hasil pemetaan kerentanan dengan peta kerentanan


pada portal InaRISK.

VI. DAFTAR PUSTAKA


BNPB. 2012. Peraturan Kepala BNPB Nomor 2 tahun 2012. Jakarta: Perum
Percetakan Negara RI.
BNPB. 2016. Risiko Bencana Indonesia. Jakarta: BNPB.
Hizbaron, D.R. Baiquni M. Sartohadi, J. Rijanta, R. 2012. Urban Vulnerability in Bantul
District, Indonesia towards Safer and Sustainable Development. Sustainability
4 2022-2037.
Oxfam. 2012. Analisis Kerentanan dan Kapasitas Partisipasif. Jakarta: Oxfam.
Pradana, A. Rahmanu, Y.A. Prabaningrum, I. Nurafifa, I. Hizbaron, D.R. 2018. Frost
Vulnerability Assessment of Frost Disaster Using Spatial Multi Criteria
Evaluation in Dieng Volcanic Highland. IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science 148 (2018) 012002.

123
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

ACARA II
PENAKSIRAN KAPASITAS MASYARAKAT

I. TUJUAN
1. Mahasiswa memahami konsep indeks kapasitas dan melakukan pemetaan
kapasitas
2. Mahasiswa mampu menganalisis tingkat kapasitas masyarakat dalam menghadapi
bencana tertentu

II. DASAR TEORI


Indeks kapasitas diperoleh berdasarkan tingkat ketahanan daerah pada suatu
waktu. Tingkat ketahanan daerah bernilai sama untuk seluruh kawasan pada suatu
kabupaten/kota yang merupakan lingkup kawasan terendah kajian kapasitas ini. Oleh
karenanya perhitungan tingkat ketahanan daerah dapat dilakukan bersamaan dengan
penyusunan Peta Ancaman Bencana pada daerah yang sama. Indeks kapasitas
diperoleh dengan melaksanakan diskusi terfokus kepada beberapa pelaku
penanggulangan bencana pada suatu daerah. Komponen indeks kapasitas adalah
aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana, peringatan dini dan kajian risiko
bencana, pendidikan kebencanaan, Pengurangan faktor risiko dasar, dan
pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini.

Komponen penilaian kapasitas di dasarkan pada 5 kriteria (Tabel 3.5), yaitu


(1) aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana, berupa undang-undang,
kebijakan, aturan kelembagaan mengenai penanggulangan kebencanaan dan forum
khusus untuk pengurangan risiko bencana. (2) Peringatan dini dan kajian risiko
bencana, meliputi peta kerentanan, peta bahaya, sistem peringatan dini, dokumen dan
arsip mengenai data kebencanaan, dan kajian risiko daerah. (3) Pendidikan
kebencanan, berupa informasi kebencanaan, kurikulum sekolah, sosialisasi, strategi
membangun kesadaran masyarakat tahan bencana.

124
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Tabel 3.5. Bobot variabel penaksiran kerentanan dari Pedoman Umum Penaksiran
Risiko Bencana

Sumber : Pedum Pengkajian Risiko Bencana, 2012

Gambar.3.3 Diagram alir cara kerja penaksiran kapasitas masyarakat

(4) Pengurangan faktor risiko dasar, seperti infrastruktur, perencanaan


pemukiman, rencana kebijana sektoral di bidang ekonomi, dan adaptasi masyarakat.
(5) Pembangunan kesiapsiagaan di seluruh lini, yaitu tersedianya mekanisme tanggap

125
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

darurat bencana, rencana kontijensi bencana dari pemerintah dan masyarakat,


cadangan finansial dan logistik, pertukaran informasi yang relevan.

III. ALAT DAN BAHAN


1. Software Ms Excel
2. ARC GIS
3. Data aturan kelembagaan, fasilitas terkait kebencanaan, dan publikasi kegiatan
terkait penanggulaangan bencana.

IV. LANGKAH KERJA


1. Penaksiran kapasitas masyarakat dilakukan berdasarkan batasan administrasi,
sama dengan penilaian kerentanan yakni pada tingkat kecamatan.
2. Cari dokumen yang berkaitan dengan pengurangan risiko bencana, seperti
rencana PRB, adanya desa tangguh becana, adanya simulasi bencana, adanya
EWS, dll pada setiap kecamatan di Kabupaten/Kota yang Anda pilih
3. Kumpulkan informasi mengani 5 aspek kapasitas bencana. Bisa dari survei,
pengumpulan data melalui internet, atau instansi.
A. Aturan Kelembagaan: organisasi pengurangan risiko bencana, desa tangguh
bencana, desa mandiri, dll.
B. Peringatan dini: EWS atau penelitian bencana
C. Pendidikan Bencana: Simulasi bencana, sosialisasi, dll.
D. Pengurangan Faktor Risiko Dasar: adanya program mitigasi, pembangunan
infrastruktur, dll.
E. Pembangunan Kesiapsiagaan: adanya komunikasi yang terjalin untuk
pengurangan risiko dari idividu, kelompk, sampai pemerintah, struktur sosial
warga, dll.
4. Menilai capaian dari masing-masing aspek (A,B,C,D,E). Capain dinilai dari level 1
sampai level 5 sesuai kriteria pada Gambar 7.1 Penilaian tersebut dilakukan pada
masing-masing desa.
5. Menghitung nilai total capain pada setiap desa.
126
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

6. Mengklasifikasi nilai total capain kedalam kelas tinggi, sedang, rendah dengan
interval sebagai berikut ;
- Kelas Rendah : 5-11,6
- Kelas Sedang : 11,7-18,3
- Kelas Tinggi : 18,4 - 25

V. KEGIATAN PRAKTIKUM
1. Buatlah peta kapasitas masyarakat terhadap bencana prioritas di Kabupaten/Kota
Anda pada unit analisis kecamatan. Anda dapat melakukan modifikasi parameter
kapasitas menyesuaikan kondisi wilayah kajian dan alasan yang rasional.
2. Buatlah tabel parameter kapasitas.

Kecamatan Level II III IV V


Indikator I

3. Lakukan perbandingan hasil pemetaan kapasitas dengan peta kapasitas pada


portal InaRISK, serta kaitkan pembahasan kapasitas dengan pola sosial
masyarakat dan peraturan atau program pemerintah yang ada di lokasi kajian.

Tugas: Prioritas Pengelolaan Bencana Tsunami

Pendahuluan

Manajemen bencana dapat disusun melalaui berbagai tahapan. Dalam tahap


pra-bencana, rencana aksi mitigasi adalah salah satu management plant yang dapat
digunakan. Indonesia memiliki Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana
(RAN PRB) dengan kerangka waktu tiga tahunan. Dalam dokumen tersebut dijelaskan
bahwa RAN-PRB adalah penjabaran Rencana Nasional Penanggulangan Bencana
(Renas PB) yang disusun untuk mendukung perumusan kebijakan dan pengawasan
dalam pelaksanaan kegiatan pengurangan risiko bencana (BAPPENAS dan BNPB,
2012). Dalam skala yang lebih detail, rencana aksi tersebut dapat disusun dengan
127
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

tema bencana tertentu. Untuk menjawab tantangan pengelolaan bencana terutama


tsunami, pendekatan tipologi permukiman dan pesisir digunakan untuk menyusun
rencana aksi bencana tsunami dalam skala yang lebih detail. Pendekatan tersebut
dapat digunakan untuk penyusunan rencana aksi sesuai dengan kerangka pikir pada
Gambar 3.6.

Gambar 3.6. Kerangka Pikir Penelitian

Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa parameter tipologi


pesisir dan permukiman memiliki beberapa parameter didalamnya. Parameter
tersebut dapat menjadi informasi penting mengenai profil wilayah pesisir dalam
skala yang lebih detail. Dalam pelaksaan manajemen bencana berbasis rencana aksi,
informasi profil wilayah pesisir menjadi hal yang sangat penting karena dapat
menentukan aksi yang akan dilakukan. Digram alir penelitian ditunjukkan oleh
Gambar 3.7.

128
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Gambar 3.7. Diagram Alir Penelitian

Penetuan level bahaya, level kerentanan, dan level prioritas disusun


menggunakan matriks. Matriks tersebut menghubungkan dua parameter dan
perbedaan warna menunjukkan tingkatannya pada setiap level. Matriks yang serupa
dapat juga digunakan untuk menentukan tingkat ancaman, tingkat kapasitas, tingkat
kerugian, dan tingkat risiko (BNPB, 2011). Data dan bahan yang dibutuhkan dalam
penelitian ini cukup mudah didapatkan. Data yang menjadi dasar adalah informasi
tipologi pesisir dan permukiman yang dapat diperoleh dari citra satelit.

Cara kerja:

1. Identifikasi mengani karakteristik tipologi pesisir dan tipologi permukaan pada


gambar yang disediakan.
2. Tentukan level bahaya dan level kerentanan dari masing-masing gambar
tersebut.
3. Tentukanlah level prioritas dari masing-masing wilayah yang ada pada gambar.
4. Bahaslah sedikit mengenai efektivitas metode tersebut, bandingkan dengan
metode lain yang berkaitan dengan penentuan prioritas pengelolaan bencana.
(Minimal satu halaman)

129
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

No Citra Satelit Profil Wilayah Pesisir


A Bentuk pantai :
Cekung/teluk
Topografi : Datar
Kepadatan bangunan :
1 Padat
Jenis Permukiman : Kota

Level Bahaya : Tinggi


Level Kerentanan : Sedang
Level Prioritas : 1

B Bentuk pantai :
Topografi :
Kepadatan bangunan :
Jenis Permukiman :
2

Level Bahaya :
Level Kerentanan :
Level Prioritas :

C Bentuk pantai :
Topografi :
Kepadatan bangunan :
Jenis Permukiman :
3

Level Bahaya :
Level Kerentanan :
Level Prioritas :

Bentuk pantai :
D Topografi :
Kepadatan bangunan :
Jenis Permukiman :
4

Level Bahaya :
Level Kerentanan :
Level Prioritas :

130
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

No Citra Satelit Profil Wilayah Pesisir


E
Bentuk pantai :
Topografi :
Kepadatan bangunan :
Jenis Permukiman :
5

Level Bahaya :
Level Kerentanan :
Level Prioritas :

V. DAFTAR PUSTAKA
Anonym.2005. Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the Resilience
of Nation and Communities to Disasters. Report World Conference on
Disaster Reduction 18-22 january 2005. Tokyo : International Strategy
for Disaster Reduction.

BNPB. 2012. Peraturan Kepala BNPB Nomor 2 tahun 2012. Jakarta: Perum
Percetakan Negara RI.

Malawani, M.N. and Mardiatno, D., 2015. Rencana Aksi Mitigasi Bencana
Tsunami Melalui Pendekatan Tipologi Pesisir dan dan Permukiman-
Kasus: Pesisir Jayapura, Prosiding Simposium Nasional Mitigasi
Bencana Tsunami 2015, TDMRC Unsyiah-USAID PEER Cycle 3, Banda
Aceh, 21-22 Desember 2015.

131
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

MODUL 4
PENAKSIRAN RISIKO BENCANA DAN STRATEGI
PENGURANGAN RISIKO BENCANA

132
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

ACARA I
PENAKSIRAN RISIKO BENCANA

I. TUJUAN
1. Mahasiswa mampu memahami konsep risiko bencana dan elemen risiko
serta pembuatan matriks risiko bencana
2. Mahasiswa mampu melakukan pemetaan risiko bencana multiskenario
berdasarkan data bahaya/kerawanan, kerentanan dan kapasitas
3. Mahasiswa mampu menyajikan model risiko kuantitatif dengan
mempertimbangkan nilai elemen risiko

II. DASAR TEORI


Risiko diartikan sebagai probabilitas dari bahaya atau ekspektasi dari
kehilangan-kehilangan (kematian, kerusakan properti) akibat dari interaksi
antara bencana dan kerentanan. Tujuan dari dilakukannya penaksiran risiko
sendiri untuk menentukan sifat dan tingkat risiko dengan menganalisis potensi
bahaya dan mengevaluasi kondisi yang ada kerentanan (UN-ISDR, 2004).
Pengetahuan tentang risiko bencana sangat penting terkait dengan penerapan
suatu mitigasi bencana yang tepat di suatu daerah.
Risiko (R) dapat diartikan sebagai potensi kerugian baik yang berupa
kematian, luka, jiwa terancam kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan
kegiatan ekonomi/kemasyarakatan yang ditimbulkan sebagai akibat dari
bencana (Cardona, 2003). Risiko bencana merupakan produk dari elemen risiko
(A), kerentanan/vulnerability (V), dan bahaya/hazard (H) yang dapat
diekspresikan sebagai berikut (Varnes, 1984):
R=AxVxH (1)
Element at risk atau elemen risiko adalah segala objek, perseorangan,
binatang, aktivitas dan proses yang dapat terkena efek negatif oleh fenomena-
fenomena alam yang berbahaya (hazardous phenomenon) baik secara langsung
maupun tidak langsung. Elemen risiko dihubungkan dengan kerentanan dari
133
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

elemen-elemen pada lokasi yang beragam. Elemen risiko umumnya adalah


populasi, permukiman/infrastruktur, lahan pertanian, sarana umum meliputi
jalan, jembatan dan sarana telekomunikasi (Wiguna, 2011).
Konsep risiko juga dapat diformulasikan sebagai sebagai produk dari
bahaya, kerentanan dan kapasitas penduduk sebagaimana yang disajikan pada
persamaan berikut:

Risiko =
Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah, maka semakin tinggi
risiko daerah tersebut terkena bencana. Demikian juga semakin tinggi
kerentanan masyarakat atau penduduk, maka semakin tinggi pula tingkat
risikonya. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat kemampuan masyarakat, maka
semakin kecil risiko yang dihadapinya (BNPB, 2008).
Kejadian bahaya yang sama bisa menghasilkan penaksiran risiko yang
berbeda akibat perbedaan kerentanan dari elemen risiko. Sebagai contoh,
penaksiran risiko bahaya dari kejadian banjir lahar yang sama terhadap dua
kota yang berbeda mungkin menghasilkan nilai yang berbeda tergantung dari
faktor-faktor yang berkontribusi terhadap nilai kerentanan dan ketahanan
penduduk. Faktor-faktor tersebut meliputi tipe rumah/ bangunan, ada atau
tidaknya rencana mitigasi, status sosial ekonomi, umur, jenis kelamin dan
pendidikan masyarakat (Thomas, 2004).
Salah satu metode dalam penaksiran risiko adalah metode kualitatif.
Metode kualitatif mendeskripsikan risiko dalam tingkatan-tingkatan, seperti
“sangat tinggi”, “tinggi”, “sedang”, “rendah” dan “sangat rendah”. Metode
kualitatif digunakan pada kondisi yang memerlukan penaksiran secara cepat,
tepat dan tanpa mengeluarkan biaya yang mahal. Metode ini menggunakan
pendekatan matching dan scoring yang menekankan pada penaksiran
komponen-komponen risiko secara kuantitatif (van Westen dkk, 2011).
(IUGS Working Group on Landslides, 1997) mengemukakan kerangka penilaian
risiko bencana yaitu:

134
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

1. analisis bahaya/kerawanan (hazard analysis)


2. identifikasi elemen risiko (element at risk)
3. analisis kerentanan (vulnerability)
4. estimasi risiko bencana berdasarkan tingkat kerawanan
Analisis bahaya dapat diwujudkan dengan pemetaan bahaya/kerawanan
bencana seperti pada parkatikum sebelumnya. Analisis bahaya dapat
ditumpangsusunkan dengan peta penggunaan lahan untuk mengestimasi
elemen risiko suatu bencana. Analisis kerentanan dapat diperkirakan
berdasarkan analisis terhadap indikator kerentanan suatu masyarakat ataupun
individu. Kerentanan (vulnerability) dapat diartikan sebagai suatu kondisi
masyarakat, komunitas dan atau individu yang menyebabkan ketidakmampuan
dalam menghadapi bencana (UN/ISDR, 2004). ADPC (2004) membagi
kerentanan dengan beberapa indikatornya menjadi empat yaitu :
1. Kerentanan fisik (physical vulnerability); contoh indikator: umur bangunan,
konstruksi, material, infrastruktur, akses terhadap fasilitas yang menunjang
kehidupan, dsb.
2. Kerentanan social (social vulnerability); contoh indikator: persesepsi
terhadap risiko bencana, gaya hidup, budaya, agama, interaksi sosial, umur,
jenis kelamin, dsb
3. Kerentanan ekonomi (economic vulnerability); contoh indikator: pendapatan,
tabungan, pekerjaan, dsb
4. Kerentanan lingkungan (environmental vulnerability); contoh indikator:
kerusakan yang mengakibatkan kerusakan sumberdaya air, udara, lahan,
flora, fauna, dsb

Analisis risiko secara multi skenario dapat di lakukan dengan metode


SMCE untuk. Hizbaron dkk (2012) menjelaskan bahwa penggunaan SMCE
memiliki beberapa kemudahan terutama dapat mengelola basis data raster
dengan baik, mampu berbagai faktor non-spasial menjadi data spasial dan
memperkenankan pembobotan parameter melalui berbagai macam skenario
135
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

(direct weight, pairwase dan rank order). Penggunaan skenario beragam dapat
mengurangi bias pada hasil pemetaan. Pradana dkk (2018) menambahkan
bahwa skenario beragam mampu mengakomodasi pengambilan keputusan
dalam manajemen risiko bencana untuk berbagai keperluan di masa mendatang.
Pihak berkepentingan mampu mengantisipasi risiko dari kemungkinan terendah
hingga kemungkinan terburuk (worst case) pada berbagai skenario.

III. LANGKAH KERJA


1. Identifikasi elemen risiko berdasarkan tipe penggunaan lahan dan peta
kerawanan bencana yang Anda buat sebelumnya
2. Tentukan elemen risiko (A) berupa luas permukiman terdampak dan lahan
pertanian produktif terdampak. Carilah harga rerata permukiman dan lahan
pertanian/hektar sehingga dapat menjadi elemen risiko (1) dan (2)
3. Cari data sekunder mengenai jumlah penduduk pada tingkat kecamatan
sehingga dapat menjadi elemen risiko (3)
4. Buat desain pemodelan risiko berdasarkan parameter kerawanan/bahaya (H),
kerentanan (V) dan kapasits (C) pada tingkat kecamatan di setiap
Kabupaten/Kota. Seluruh parameter memiliki indeks yang berkisar antara 0-1
5. Penaksiran risiko dilakukan secara multikriteria dengan output beberapa
skenario risiko dengan indeks risiko berkisar antara indeks 0 (rendah) hingga
indeks 1 (tinggi)
6. Penaksiran risiko dapat dilakukan di software yang Anda pilih misalnya ILWIS
maupun ARcGIS
7. Pada software ILWIS Anda dapat melakukan pemodelan risiko menggunakan
SMCE untuk menghasilkan risiko dengan skenario berbeda
8. Pemodelan risiko multi skenario dapat dilakukan berdasarkan metode
weighted, pairwase maupun rank-order dengan nilai yang telah Anda tetapkan
sebelumnya
Contoh pemodelan risiko multiskenario dilakukan dengan memberikan bobot
berbeda pada setiap model risiko (Gambar 4.1 dan Tabel 4.1)
136
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Gambar 4.1 Penyusunan bobot parameter risiko metode pairwase

Tabel 4.1. Contoh Pembobotan Skenario Risiko Bencana


Persentase Pembobotan Multi Skenario Risiko Bencana (%)
Skenario Bahaya Kerentanan Kerentanan Kerentanan Kapasitas
SMCE (H) Fisik (PV) Ekonomi (EV) Sosial (SV) Masyarakat (CC)
I (Equal) 20 20 20 20 20
II (H) 40 15 15 15 15

III (PV) 15 40 15 15 15
IV (EV) 15 15 40 15 15
V (SV) 15 15 15 40 15
VI (CC) 15 15 15 15 40

Keterangan: Merah= Bobot Dominan


9. Klasifikasikan risiko ke dalam kelas tinggi (high risk), sedang (tollerable risk)
dan rendah (adaptable risk)
10. Gunakan fungsi risiko kuantitatif (1) untuk menentukan kehilangan elemen
risiko secara kuantitatif dengan menggunakan indeks risiko pada setiap
skenario dan jumlah elemen risiko (van Westen dkk, 2011)
Risk = (Hazard*Vulnerability/ Capacity )*Amount of Element at Risk
R= Index of Risk*Amount of Elemen at Risk..... (1)
11. Bandingkan perbedaan kerugian pada setiap skenario risiko.

137
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

IV. KEGIATAN PRAKTIKUM


1. Buat matriks antara tingkat kerugian risiko satu skenario (skenario yang
dianggap paling representatif) dan tingkat kapasitas pada daerah penelitian
(Gambar 4.2)

Gambar 4.2 Penyusunan matriks risiko bencana


2. Buatlah Peta Risiko Bencana Multi-Skenario (Lengkap Dengan Informasi
Dasar Lainnya Seperti Sungai, Jalan, Nama Tempat, dsb).
3. Analisis tingkat risiko bencana berdasarkan parameter pengaruh. Bandingkan
tingkat risiko antar skenario dan bandingkan dengan peta risiko di inaRISK.
138
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

4. Buatlah Tabel Kerugian pada Setiap Skenario Risiko ditingkat kecamatan


disertai dengan elemen berisiko:
Luas
Luas
Indeks Kelas Permukiman Kerugian
Kecamatan Permukiman
Risiko Risiko Terdampak (Rp)
(Ha)
(Ha)

Luas Luas
Indeks Kelas Kerugian
Kecamatan Pertanian Pertanian
Risiko Risiko (Rp)
(Ha) (Ha)

Jumlah Penduduk
Indeks Kelas
Kecamatan Penduduk Terdampak
Risiko Risiko
(Jiwa) (Jiwa)

V. DAFTAR PUSTAKA
ADPC. 2004. A Framework for Reducing Risk, in CBDRM Field Practitioners
Handbook. Bangkok, Thailand. Diakses pada September 2009 dari
http://www.adpc.net/PDR-SEA/publications/12Handbk.pdf

Anonym. 2007. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan


Bencana, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2007 nomor 66,
Jakarta.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Peraturan Keapala Badan


Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 tentang
Pedoman Penyusun Rencana Penanggulangan Bencana. Jakarta : Badan
Nasional Penanggulangan Bencana

Cardona, O. D. 2003. The Notion of Disaster Risk: Conceptual Framework for


Integrated Risk Management, IADB/IDEA Program on Indocators for
Disaster Risk Management, Universidad Nacionalde Colombia, Manizales
diakses pada September 2009 dari
http://idea.manizales.unal.edu.co/ProyectosEspeciales/adminIDEA/cent
roDocumentacion/DocDigitales/documentos/01%20Conceptual%20Fra
mework%20IADB-IDEA%20Phase%20I.pdf
139
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

IUGS Working Group on Landslides. 1997. Quantitative Risk Assessment for Slopes
and Landslides – The State of The Art in Cruden, D and Fell, R. (eds).
Landslide Risk Assessment. Balkema, Rotterdam. The Netherlands

Hizbaron, D.R. Baiquni M. Sartohadi, J. Rijanta, R. 2012. Urban Vulnerability in


Bantul District, Indonesia towards Safer and Sustainable Development.
Sustainability 4 2022-2037

Pradana, A. Rahmanu, Y.A. Prabaningrum, I. Nurafifa, I. Hizbaron, D.R. 2018. Frost


Vulnerability Assessment of Frost Disaster Using Spatial Multi Criteria
Evaluation in Dieng Volcanic Highland. IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science 148 (2018) 012002. doi:10.1088/1755-
1315/148/1/012002

Thomas, D. 2004. Natural Hazards Risk Assessment for the State of Colorado.
Colorado: University of Colorado and Health Science Center UN/ISDR
(International Strategy for Disaster Reduction). 2004. Living with Risk: A
Global Review of Disaster Reduction Initiatives. Geneva: UN Publications.

UN/ISDR (International Strategy for Disaster Reduction). 2004. Living with Risk: A
Global Review of Disaster Reduction Initiatives. Geneva: UN Publications.

Van Westen, C., D. Alkema, M.C.J. Damen, N. Kerle, and N.C. Kingma. 2011. Multi
Hazard Risk Assessment: Distance Education Course Guide Book. Enschede:
International institute for Geo-Information Science and Earth
Observation.

Varnes, D.J. (1984). Landslide Hazard Zonation: a Review of Principles and


Practice. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO). Paris.

Wiguna, Putu Perdana. 2012. Penaksiran Risiko Banjir Lahar di Daerah Aliran
Sungai (Das) Gendol dan Das Opak. Thesis.Yogyakarta Fakultas Geografi.
UGM.

140
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

ACARA II
RENCANA MITIGASI DAN KONTIJENSI BENCANA

I. TUJUAN
1. Mahasiswa mampu memahami dan mengidentifikasi kondisi manajemen
kebencanaan yang sudah diterapkan pada suatu wilayah
2. Mahasiswa mampu memberikan usulan rencana mitigasi
3. Mahasiswa mampu memberikan usulan rencana kontijensi

II. DASAR TEORI


Tujuan utama kegiatan manajemen kebencanaan adalah pengurangan
risiko bencana yang dialami oleh masyarakat. Upaya pengurangan risiko bencana
harus dilakukan dengan cara mengurangi pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan
oleh elemen risiko bencana yaitu bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability).
Pengurangan bahaya yang murni bersifat bencana alam seperti kejadian gunung
meletus dan gempabumi merupakan kegiatan yang sulit dilakukan. Sehingga
kegiatan manajemen kebencanaan cenderung lebih banyak kepada upaya
pengurangan terhadap elemen kerentanan (vulnerability). Menurut Coburn dkk,
(2004) ada beberapa tindakan-tindakan rencana mitigasi dilakukan pada jangka
waktu lama saat kejadian bencana belum diketahui secara pasti (long-term) yang
dapat dilakukan dengan tindakan:

A. Mitigasi Struktural
1. Tindakan konstruksi keteknikan
Tindakan konstruksi keteknikan merupakan salah satu tindakan mitigasi
struktural yang dimaksudkan untuk mengurangi tingkat kerentanan yang
umumnya bersifat fisik. Penguatan konstruksi rumah dan pembuatan tanggul
penahan longsor merupakan aplikasi dari tindakan konstruksi keteknikan.
Tindakan mitigasi konstruksi keteknikan banyak diaplikasikan oleh negara

141
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

maju. Tindakan mitigasi konstruksi keteknikan membutuhkan biaya yang


sangat tinggi terutama untuk biaya pembangunan dan perawatan.
2. Perencanaan fisik
Perencanaan fisik ditekankan pada aspek pencanaan wilayah dan penggunaan
lahan. Bencana alam pada umumnya bersifat lokal berdasarkan ciri fisik
bentanglahan yang ada pada suatu daerah. Banjir biasanya terjadi pada
dataran banjir, rawa belakang, dataran aluvial sedangkan tanah longsor biasa
terjadi pada lereng terjal dengan batuan yang rapuh. Kerusakan parah akibat
gempa bumi juga terjadi pada daerah sekitar zona patahan. Keunikan wilayah
tersebut dapat digunakan sebagai masukan dalam perencanaan dan
pengembangan suatu wilayah sehingga kerentanan (vulnerability) dapat
ditekan.

B. Mitigasi Non-Struktural
1. Pembangunan ekonomi
Pembangunan ekonomi masyarakat merupakan salah satu kunci pokok dalam
kegiatan mitigasi bencana. Kondisi ekonomi masyarakat sangat
mempengaruhi kerentanan suatu masyarakat terhadap suatu kejadian
bencana.masyarakat yang mempunyai kelas ekonomi tinggi cenderung lebih
kuat dalam menghadapi kejdian bencana. Selain itu tindakan-tindakan
ekonomi seperti bantuan pemerintah, pinjaman/kredit berbunga rendah,
asuransi, kelonggran pajak, insentif, dan disinsentif juga merupakan hal yang
penting untuk mengurangi tingkat kerentanan suatu masyarakat, komunitas,
dan atau individu.
2. Tindakan yang berhubungan dengan institusi dan manajemen
Terciptanya good governance akan mampu meningkatkan kapabilitas
pemerintah dalam aksi mitigasi bencana. Adanya pelatihan-pelatihan,
kerjasama, keterbukan data antar institusi pemerintah juga merupakan salah
satu elemen penting dalam mitigasi bencana. Penguatan kapabilitas institusi
lokal seperti LSM dan kelompok masyarakat non pemerintahan juga sangat
142
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

penting dilakukan untuk melaksanakan tindakan perlindungan lokal yang


umumnya berasal dari swadaya masyarakat lokal.
3. Tindakan mitigasi berbasis masyarakat
Mitigasi bencana akan berhasil jika dijalankan sepenuhnya oleh masyarakat
sebagai subyek dalam upaya mitigasi bencana. Mitigasi bencana tidak akan
berhasil secara maksimal tanpa adanya kemauan dari masyarakat sendiri.
Kegagalan mitigasi bencana biasanya diawali oleh ketidaksadaran masyarakat
terhadap posisinya yang terancam oleh bahaya. Peningkatan kesadaran akan
suatu bahaya dapat diwujudkan baik melalui pendidikan formal ataupun non-
formal. Kurikulum bencana sudah selayaknya diterapkan untuk wilayah-
wilayah yang rawan terhadap bencana. Selain itu, diseminasi informasi
bencana melalui kegiatan non-formal dalam bentuk dongeng turun temurun,
pementasan cerita rakyat, poster, media TV merupakan hal yang sangat
penting untuk mengingatkan seluruh elemen masyarakat akan pentingnya
sebuah tindakan kesiapsiagaan terhadap bahaya yang mengancam.
Kontinjensi (contingency) adalah suatu keadaan atau situasi yang
diperkirakan segera terjadi, tetapi mungkin juga tidak akan terjadi (Triutomo
dkk, 2011). Sedangkan rencana Kontinjensi merupakan suatu proses
identifikasi dan penyusunan rencana yang didasarkan pada keadaan
kontinjensi atau yang belum tentu tersebut. Suatu rencana kontinjensi
mungkin tidak selalu pemah diaktifkan, jika keadaan yang diperkirakan tidak
terjadi.
Definisi "Rencana Kontinjensi" juga dapat diterjemahakan sebagai
suatu proses perencanaan ke depan, dalam keadaan yang tidak menentu,
dimana skenario dan tujuan disepakati, tindakan teknis dan manajerial
ditetapkan, dan sistem tanggapan dan pengerahan potensi disetujui bersama
untuk mencegah, atau menanggulangi secara lebih baik dalam situasi darurat
atau kritis. Penekanan "Rencana Kontinjensi" pada tahap kesiapsiagaan saat
kejadian bencana sudah dapat diprediksi (short-term). Kesiapsiagaan
bencana yakni "Suatu proses yang mengarah pada kesiapan dan kemampuan
143
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

untuk memperkirakan kejadian bencana sehingga dapat mencegah bencana,


mengurangi dampak, menanggapi secara efektif dan memulihkan diri dari
dampaknya".
Tabel 5.2 Aktivitas dan Rencana yang Digunakan dalam
Siklus Manajemen Risiko

Sumber: Triutomo dkk (2011)

Gambar 4.3 Posisi rencana mitigasi dan kontijensi terhadap siklus bencana
Sumber: Triutomo dkk (2011)

Dari tabel dan gambar di atas dapat dilihat bahwa perencanaan


kontinjensi dilakukan ketika terdapat potensi untuk terjadinya bencanan
atau pada tahap aktivitas kesiapsiagaan. Siklus manajemen risiko tersebut
(termasuk perencanaan kontijensi) selain digunakan dalam pengelolaan
144
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

bencana berbasis kewilayahan, biasanya juga digunakan dalam bidang


militer, bisnis, dan proyek pembangunan infrastruktur.
Perencanaan kontinjensi merupakan salah satu dari berbagai rencana
yang digunakan dalam siklus manajemen risiko. Penyusunan rencana
kontinjensi disusun melalui proses, dan menjadi penting karena disusun oleh
peserta sendiri, sedangkan fasilitator hanya mengarahkan jalannya proses
penyusunan perencanaan kontinjensi. Atas dasar pemahaman tersebut,
rencana kontinjensi hams memenuhi prinsip-prinsip berikut:
a) Rencana kontinjensi merupakan milik daerah yang disusun melalui
proses oleh peserta daerah, sedangkan fasilitator hanya mengarahkan
jalannya proses penyusunan perencanaan kontinjensi.
b) Rencana kontinjensi dibuat berdasarkan:
 Hasil kajian resmi mengenai potensi bencana pada suatu daerah
yang dikeluarkan oleh lembaga berkompeten atau ahli/pakar.
 Prioritas penanggulangan bencana yang dibuat/disusun oleh BPBD
c) Proses penyusunan dilakukan secara bersama dan
terbuka oleh para pemangku kepentingan di daerah dimana
bencana diprediksi dapat terjadi.
d) Berlaku untuk satu jenis ancaman bencana dengan
memperhitungkan permcu beserta kemungkinan bencana turunan
yang akan terjadi (collateral).
e) Skenario kejadian dan skenario dampak, tujuan dan prosedur
disepakati secara bersama, dan memprioritaskan penyelamatan
jiwa manusia.
f) Menetapkan peran setiap pemangku kepentingan berdasarkan
klaster sesuai dengan Sistem Komando Tanggap Darurat.
g) Mencantumkan komponen sumber daya yang realistis.
Lebih ditekankan pengerahan sumberdaya setempat, dan
bukan rencana pembelian barang/jasa atau pembangunan
prasarana/sarana (proyek).
145
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

h) Menyepakati konsensus yang telah dibuat bersama.


i) Dibuat untuk menanggulangi keadaan selama masa tanggap
darurat ditetapkan, dan menjadi dasar penyusunan rencana
operasi tanggap darurat.
j) Selalu dimutakhirkan atau dikaji ulang secara periodik berdasarkan
perubahan komponen risiko, pemuktahiran dapat berupa
deaktivasi maupun perbaikan.
k) Harus ditindak lanjuti dengan:
• Serangkaian aksi (pelatihan/gladi, pengadaan, pengaturan)
• Pengadopsian secara formal
• Monitoring dan evaluasi
• Pemutakhiran (updating) data

Rencana kontinjensi disusun pada tahap pra bencana, selambat-


lambatnya segera setelah muncul tanda-tanda awal akan terjadi bencana atau
adanya peringatan dini (early warning). Beberapa jenis bencana mudah
diketahui tanda-tanda awalnya (misalnya letusan gunung berapi, banjir dan
gerakan tanah) sehingga memudahkan dalam menentukan waktu
penyusunan rencana kontinjensi. Namun untuk kejadian bencana yang
tidak dapat diidentifikasi tanda-tanda awalnya (misalnya gempa
bumi), maka rencana kontinjensi tetap dapat disusun pada situasi tidak
terjadi bencana (situasi normal) dengan menggunakan data kejadian
bencana di masa lalu dan hasil kajian pakar. Rencana kontijensi selesai
apabila:
a) Apabila terjadi bencana, maka rencana kontinjensi berakhir dan menjadi
dasar penyusunan rencana operasi tanggap darurat dengan masukan
hasil kaji cepat bencana.
b) Apabila tidak terjadi bencana, maka rencana kontinjensi akan dikaji
ulang secara berkala untuk pemutakhiran dara sesuai kesepakatan
bersama para pakar dengan memperhitungkan:
146
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

1. Dinamika skala/intensitas bencana (ancaman dapat lebih besar


atau lebih kecil).
2. Perubahan besaran kerentanan yang terdampak bencana
(jumlah penduduk, sarana prasarana, fasilitas umum, ekonomi,
lingkungan)
3. Dinamika kapasitas atau kemampuan sumberdaya yang
dapat dikerahkan.

Penelitian Tatas dkk (2015) yang mengadopsi model rencana


kontijensi Triutomo dkk (2011) menjelaskan bahwa tahapan pembuatan
rencana kontijensi dilakukan secara runtut dengan proses sebagai berikut;
1. Melakukan penilaian bahaya
2. Menentukan skala probabilitas dan dampak. Skala probabilitias
mencerminkan tingkat kemungkinan terjadinya bencana dalam satu
tahun mendatang dan dampak mencerminkan tingkat keterpaparan
serta kerugian yang berpotensi timbul (Tabel 4.3). Dampak meliputi
pengaruh bencana ke aspek manusia, lingkungan, infrastruktur,
ekonomi dan pemerintahan. Penentuan skala dilakukan berdasarkan
hasil observasi, pemodalan penelitian, studi literatur serta FGD dengan
masyarakat.
3. Melakukan pengembangan skenario terhadap bencana prioritas.
Skenario disusun atas dasar:
a. Waktu terjadinya bencana (misalnya: pagi, siang, malam).
b. Durasi/lamanya kejadian (misalnya: 2 jam, 1 hari, 7 hari, 14 hari).
c. Hal-hal lain yang berpengaruh terhadap besar-kecilnya kerugian/
kerusakan, misalnya tingginya genangan air (banjir), tinggi dan jarak
jangkauan ombak ke daratan (tsunami), sebaran luas longsor, dsb.
Skenario dapat diperoleh dari hasil pemetaan risiko multi skenario
dari skenario terbaik (adaptable case) hingga skenario terburuk (worts
case)
147
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Tabel 4.3. Penentuan Skala Probabillitas dan Dampak Kejadian

Sumber: Tatas dkk (2015)


4. Membuat penentapan kebijakan dan strategi. Kebijakan penanganan
tanggap darurat, jika bencana tersebut terjadi, dimaksudkan untuk
memberikan arahan atau pedoman bagi stakeholders maupun sektor-
sektor terkait untuk dapat melaksanakan kegiatan tanggap darurat.
Sedangkan strategi penanganan tanggap darurat bertujuan untuk
melaksanakan kebijakan tersebut dengan efektif dan efisien. Untuk itu
diperlukan pembuatan tugas dan tanggung jawab masingmasing sektor
sesuai dengan sumberdaya dan kompetensi yang dimilikinya.
Misalnya:
 Mengkoordinasikan kegiatan penanganan tanah longsor secara
integratif yang berbasis masyarakat.
 Rehabilitasi dan revitalisasi sarana prasarana terkait dengan
kebutuhan pelayanan minimal.
 Penanganan masalah sosial di tempat evakuasi secara cepat, tepat,
dan terpadu.

148
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

 Pemenuhan pelayanan sosial dasar secara terpadu dan optimal bagi


semua korban.
 Dsb.
5. Melakukan analisis kesenjangan yang terbagi ke dalam beberapa sektor,
diantaranya sektor manajemen dan koordinasi, sektor evakuasi, sektor
logistik (pangan dan non-pangan), sektor kesehatan, sektor perhubungan
dan sarana/prasarana.
 Sektor Manajemen dan Koordinasi berfokus pada peran instansi dan
dilaksanakan pada saat kejadian, misalnya sebelum terjadi longsor
BPBD dan BMKG setempat melakukan pemantauan cuaca dan
kondisi wilayah potensi longsor.
 Sektor Evakuasi berfokus pada rencana penyelamatan dan
perlindungan maupun SAR, misalnya pada saat kejadian, upaya-
upaya yang harus dilakukan, antara lain: Pertolongan dan
perlindungan bagi yang masih hidup.
 Sektor Logistik berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan Pangan dan
Non-Pangan pada saat kejadian.
 Sektor Kesehatan berkaitan dengan penanganan medis pada saat
kejadian, misalnya terlaksananya pelayanan kesehatan bagi
pengungsi serta terlaksananya tindakan medis bagi korban luka.
 Sektor Perhubungan dan Sarana/Prasarana bertugas untuk
melancarkan tim evakuasi untuk melakukan pertolongan gawat
darurat di lokasi kejadian dan melancarkan proses kedatangan alat
berat sebagai peralatan utama evakuasi.

149
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

III. LANGKAH KERJA


1. Identifikasi manajemen kebencanaan yang sudah dilakukan pada daerah
penelitian dan buatlah tabel kegiatan manajemen bencana prioritas yang telah
dilakukan di wilayah kajian mencakup saat fase pencegahan & mitigasi, fase
kesiapsiagaan, fase tanggap darurat dan fase pemulihan.
2. Cari berbagai macam referensi dan kebijakan terkait dengan mitigasi dan
kontijensi di Kabupaten/Kota yang dipilih.
3. Buatlah tabel rencana mitigasi struktural dan non struktural pada setiap kelas
risiko bencana prioritas yang telah Anda buat. Gunakan hanya satu skenario
kelas risiko bencana yang paling representatif. (dapat berupa skenario
terburuk/ worst case). Tentukan setidaknya tiga hingga lima aksi mitigasi pada
setiap kelas risiko.
Kelas Kecamatan Mitigasi Struktural Mitigasi Non-Struktural
Risiko
Rendah
Sedang
Tinggi

4. Buatlah rencana kontijensi untuk bencana yang Anda pilih. Guna memperkaya
pemahaman akan rencana kontijensi diwajibkan untuk membaca “Panduan
Perencanaan Kontijensi Menghadapi Bencana” oleh Triutomo dkk (2011) yang
diterbitkan oleh BNPB maupun penellitian lain yang relevan.
Rencana kontijensi dibuat dengan format sebagai berikut.

150
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Rencana Kontijensi Bencana ___________ Kabupaten/Kota ___________________


Lokasi Bencana:
Skenario Bencana:

Tabel Skala Probabilitas dan Dampak

Dampak
Ancaman Probabilitas
Human Ling Infra Eko Gov
Bencana
X
Ancaman
Lain
Analisis Kesenjangan-Kebijakan dan Strategi Kontijensi
Sektor Kebijakan dan Strategi
Manajemen 1.
dan 2.
Koordinasi dst

Evakuasi
Logistik
Kesehatan
Perhubungan
dan Sarpras

151
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

IV. KEGIATAN PRAKTIKUM


1. Buatlah tabel manajemen bencana prioritas pada setiap fase bencana di
Kabupaten/Kota masing-masing.
2. Buatlah tabel rencana mitigasi bencana prioritas
3. Buat rencana kontijensi bencana prioritas

V. DAFTAR PUSTAKA
Coburn, A.W., Spence, R.J.S., dan Pomonis, A. 2004. Mitigasi Bencana, Modul
Program Pelatihan Manajemen Bencana. Edisi Kedua, United Nations
Development Programme (UNDP).
Tatas. Wiguna, I.P.A, Machsus. Widyastuti, T. D. Rohman, M.A. 2015. Rencana
Kontijensi untuk Tanah Longsor di Desa Kalikuning, Pacitan, Jawa Timur.
Jurnal Aplikasi, hal.27-40, Volume 13, No. 2, Agustus 2015.
Triutomo, S. Widjaja, B. Wisnu. Sugiharto, R. Siswanto B.P. Kristanto, Y. 2011.
Panduan Perencanaan Kontijensi Menghadapi Bencana, Ed. 2. Badan
Nasional Penanggulangan Bencana. ISBN 978-979-18441-3-0. Jakarta.

152
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

ACARA III
RENCANA PENANGGULANGAN BENCANA (PRB)

I. TUJUAN
1. Mahasiswa mampu memberikan usulan program Pengurangan Risiko
Bencana (PRB) dalam bentuk Rencana Penanggulangan Bencana (RPB)
2. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi RPB tehadap kondisi manajemen
kebencanaan yang sudah diterapkan pada suatu wilayah

II. DASAR TEORI


Kajian risiko bencana menjadi landasan untuk memilih strategi yang
dinilai mampu mengurangi risiko bencana. Kajian risiko bencana ini harus
mampu menjadi dasar yang memadai bagi daerah untuk menyusun
kebijakan penanggulangan bencana. Ditingkat masyarakat hasil pengkajian
diharapkan dapat dijadikan dasar yang kuat dalam perencanaan upaya
pengurangan risiko bencana. Untuk mendapatkan nilai risiko bencana
tergantung dari besarnya bahaya dan kerentanan serta kapasitas yang
berinteraksi. Interaksi bahaya, kerentanan, dan kapasitas menjadi dasar
untuk melakukan pengkajian risiko bencana terhadap suatu daerah.
Pengkajian risiko secara holistik dilakukan dengan identifikasi kebijakan
yang telah ada di Kabupaten/ Kota masing-masing maupun dalam tingkat
provinsi. Kebijakan eksisting kemudian digunakan sebagai dasar untuk
mengembangkan kebijakan selanjutnya yang dirumuskan berdasarkan kajian
risiko bencana. Setidaknya terdapat empat komponen kebijakan yang perlu
diidentifikasi, yaitu:

Laboratorium Geomorfologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana 2018


153
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

1. Visi-misi penanggulangan bencana daerah

2. Regulasi penanggulangan bencana daerah

3. Kelembagaan penanggulangan bencana daerah

4. Strategi dan sasaran penanggulangan bencana daerah

Sebagai wujud implementasi UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan


Bencana, khususnya pasal 36, Pemerintah dan Pemerintah Daerah, sesuai
dengan kewenangannya, harus menyusun Rencana Penanggulangan Bencana
(RPB). Penyusunan dikoordinasikan oleh BPBD. Dengan disusunnya RPB,
semua kegiatan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan bencana, dari
pencegahan dan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat hingga pemulihan,
harus mengacu kepada dokumen ini. Dalam tahap implementasi, diharapkan
program/kegiatan yang telah direncanakan ini dapat di masukan ke dalam
rencana strategis dari masing-masing SKPD. (BNPB, 2015).

Pengkajian risiko selanjutnya dilakukan untuk menentukan program dan


fokus prioritas penanggulangan bencana. Bagian ini adalah bagian utama dan
paling penting dalam perencanaan Penanggulangan Bencana. Pertama-tama
kumpulkan semua kegiatan yg terkait RPB pada bencana yang dikaji Setelah
itu, dengan mempertimbangkan kondisi anggaran, kegiatan tersebut dipilih
dan dimasukan ke dalam Rencana Aksi. Fokus ini dapat dibagi menjadi dua
program, yaitu program generik dan program khusus pada setiap fase
Penanggulangan Bencana (PB).

Laboratorium Geomorfologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana 2018


154
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

1. Strategi Generik untuk semua jenis bencana

a. Perkuatan Regulasi dan Kapasitas Kelembagaan

b. Perencanaan Penanggulangan Bencana Terpadu

c. Penelitian, Pendidikan, dan Pelatihan

d. Peningkatan Kapasitas dan Partisipasi Masyarakat

2. Strategi Khusus untuk masing-masing tipe bencana di setiap fase PB

a. Pengurangan Risiko Bencana

Laboratorium Geomorfologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana 2018


155
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

b. Peningkatan Efektifitas Penanganan Darurat Bencana

c. Optimalisasi Pemulihan Dampak Bencana

Didalam penyusunan matrik tersebut (program generic dan program khusus


diperlukan diskusi dengan semua pihak yang menangani kebencanaan dan
dinas-dinas lain guna korrdinasi. Matriks tersebut kemudian disusun dalam
matriks rekapitulasi program dan kegiatan/aksi seperti yang disajikan dalam
Tabel 4.4. Penyusunan PRB membutuhkan kelengkapan data yang baik.
Penyusunan PRB Kabupaten/Kota dan Provinsi membutuhkan data dan
informasi yang berbeda (Tabel 4.5 hingga 4.7). Apabilan rencana kontijensi
disusun menjelang kondisi kegawatdaruratan dan bersifat lebih temporal
dengan cakupan kegiatan spesifik dan hanya untuk satu jenis bencana.
Sementara rencana penanggulangan bencana disusun saat kondisi normal
dengan cakupan kegiatan luas multidimensi dan multisektor. RPB mencakup
seluruh bencana (multibahaya), namun dalam kegiatan ini hanya ditekankan
pada bencana priotas. Rencana lain dalam kebencanaan adalah rencana
operasi yang berlaku spesifik pada saat kejadian bencana terjadi hingga
menjelang pemulihan, serta rencana pemulihan yang disusun paska kegiatan
bencana untuk pembangunan rehabilitasi/rekonsturksi jangka menengah
hingga panjang.

Laboratorium Geomorfologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana 2018


156
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Tabel 4.4. Contoh matrik rekapitulasi kegiatan penanggulangan bencana

Sumber: BNPB (2015)

Tabel 4.5. Kebutuhan Data dan Informasi Umum

Laboratorium Geomorfologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana 2018


157
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Tabel 4.6. Kebutuhan Data dan Informasi PRB Provinsi

Tabel 4.7. Kebutuhan Data dan Informasi PRB Kabupaten/Kota

Sumber: BNPB (2015)


Laboratorium Geomorfologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana 2018
158
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

III. LANGKAH KERJA


1. Susunlah rencana aksi Pengurangan Risiko Bencana (PRB)
2. Susunan PRB dalam suatu kerangka program yang mengedepankan
aspek-aspek penting yang perlu segera ditangani. Upaya tersebut
tersusun di dalam program dan kegiatan yang menjadi prioritas bagi
pengurangan risiko bencana.
3. Tentukan:
Strategi Generik untuk tipe bencana yang dipilih
a. Perkuatan Regulasi dan Kapasitas Kelembagaan

b. Perencanaan Penanggulangan Bencana Terpadu

c. Penelitian, Pendidikan, dan Pelatihan

d. Peningkatan Kapasitas dan Partisipasi Masyarakat

Strategi khusus untuk setiap fase Penanggulangan Bencana


a. Pengurangan Risiko Bencana

Laboratorium Geomorfologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana 2018


159
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

b. Peningkatan Efektifitas Penanganan Darurat Bencana

c. Optimalisasi Pemulihan Dampak Bencana

IV. KEGIATAN PRAKTIKUM


1. Buatlah rancangan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) untuk
bencana prioritas di Kabupaten/Kota masing-masing dengan format
sebagai berikut. Guna memperkaya pemahaman mengenai PRB
diwajibkan untuk membaca “Petunjuk Teknis Penyusunan Rencana
Penanggulangan Bencana Daerah Tingkat Kabupaten/Kota” oleh
BNPB dan JICA.

Rencana Penanggulangan Bencana ___________


Kabupaten/Kota ___________________
Visi:

Misi:

(disesuaikan dengan visi misi BPBD Kabupaten/Kota masing-masing)


Regulasi
(meliputi seluruh produk hukum yang digunakan dalam pembuatan PRB)
Laboratorium Geomorfologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana 2018
160
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Kelembagaan
(meliputi deskripsi fungsi dan peran kelembagaan PB, misalnya BPBD
dibantu beberapa instansi terkait)
Strategi dan Sasaran Penanggulangan Bencana
Strategi Generik Bencana ______________
Perkuatan Regulasi dan Kapasitas Kelembagaan

Perencanaan Penanggulangan Bencana Terpadu

Penelitian, Pendidikan, dan Pelatihan

Peningkatan Kapasitas dan Partisipasi Masyarakat

Strategi Khusus Setiap Fase Penanggulangan Bencana _________


Pengurangan Risiko Bencana

Laboratorium Geomorfologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana 2018


161
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Peningkatan Efektifitas Penanganan Darurat Bencana

Optimalisasi Pemulihan Dampak Bencana

Keterlibatan Institusi
(Mencakup penjelasan peran institusi dalam setiap kegiatan RPB dibuat
dalam bentuk tabel, baik tabel pada strategi generik dan tabel pada
srategi khusus). Acuan instansi dapat melihat referensi di Kab/Kota
masing-masing maupun pada tabel 4.8, stakeholder lain yang tidak ada
dalam daftar dapat pula dilibatkan, misalnya universitas, lembaga
penelitian, NGO, organisasi masyarakat dan sebagainya.

Kegiatan BPBD BLH Dinas PU Bappeda Dinkes dsb


A v v v
B v v v v
C v v v

2. Buatlah matrtik pengurangan risiko bencana seperti pada contoh


Tabel 4.4.
3. Jika Kabupaten terpilih telah mempunyai PRB, bandingkan dengan
yang anda buat.
Laboratorium Geomorfologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana 2018
162
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Tabel 4.8. Contoh Peran dan Fungsi Masing-Masing Instansi

Laboratorium Geomorfologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana 2018


163
Modul Praktikum Manajemen Kebencanaan

Lanjutan Tabel 4.8. Contoh Peran dan Fungsi Masing-Masing Instansi

Sumber: BNPB (2015)

V. DAFTAR PUSTAKA
BNPB. 2015. Petunjuk Teknis Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana
Daerah Tingkat Kabupaten/Kota. Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB).

Laboratorium Geomorfologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana 2018


164

Anda mungkin juga menyukai