Anda di halaman 1dari 55

BUKU PETUNJUK PRAKTIKUM

TME 345
PRAKTIKUM MEKANIKA TEKNIK

Nama :
NIM :
Kelompok :

Laboratorium Mekanika Eksperimental


Program Studi Teknik Mesin
Fakultas Teknik
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Jakarta
2020
Kata Pengantar

Buku Petunjuk Praktikum Mekanika Teknik ini disusun sebagai landasan/panduan


praktikum mata kuliah TME 345 – Praktikum Mekanika Teknik, pada Program Studi S1
Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Unika Atma Jaya, guna memberikan penjelasan mengenai
fenomena dasar yang terjadi pada struktur.
Buku Petunjuk Praktikum memberikan gambaran singkat mengenai tujuan praktikum,
teori dasar dan prosedur praktikum yang akan dilakukan. Praktikan diharapkan dapat
memahami praktikum yang akan dilakukan setelah membaca buku petunjuk praktikum.
Penulis menyadari bahwa Buku Petunjuk Praktikum Mekanika Teknik ini masih
belum dapat dikatakan sempurna guna memperoleh hasil yang maksimal. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang bersifat membangun diterima dengan baik guna menyempurnakan buku
ini. Akhir kata, penulis berharap Buku Petunjuk Praktikum Mekanika Teknik ini dapat
bermanfaat sesuai dengan tujuannya.

Tangerang, 4 Februari 2020

Disusun oleh : Disahkan oleh :

Gabriel Sutantyo Sheila Tobing, S.T., M.Eng., Ph.D.


Koordinator Asisten Kepala Laboratorium
Lab. Mekanika Ekperimental Lab. Mekanika Ekperimental

Diketahui oleh :

Harjadi Gunawan, S.T., M.Eng.


Kepala Program Studi S1 Teknik Mesin

i
Daftar Isi

Kata Pengantar ............................................................................................................................ i


Daftar Isi .....................................................................................................................................ii
Daftar Nama Asisten .................................................................................................................iii
Tata Tertib Laboratorium .......................................................................................................... iv
MODUL 1 DASAR PENGUKURAN REGANGAN ................................................................ 1
MODUL 2 PERCOBAAN DEFLEKSI PADA BATANG KANTILEVER ............................. 8
MODUL 3 UJI TEKUK PADA STRUKTUR KOLOM ......................................................... 12
MODUL 4 PENGUJIAN BENDING PADA BATANG PROFIL PENAMPANG T ............ 16
MODUL 5 PENGUJIAN PUNTIR PADA POROS PEJAL .................................................. 19
MODUL 6 PERCOBAAN GETARAN BEBAS DAN PAKSA SATU DERAJAT
KEBEBASAN .......................................................................................................................... 22
MODUL 7 PERCOBAAN BEJANA TEKAN SILINDER BERDINDING TIPIS ................ 30
MODUL 8 UJI FATIGUE ........................................................................................................ 38
MODUL 9 WIND TUNNEL ..................................................................................................... 42

ii
Daftar Nama Asisten
Laboratorium Mekanika Eksperimental
Semester Genap 2019/2020

James Suthedjo (2016 – 041 – 014)


Glaudius Alexander V. (2016 – 041 – 024)
Cyrillus Raditya Adi P. (2016 – 041 – 027)
Triandhy Kadari (2016 – 041 – 047)
Moses Sitanggang (2017 – 0451 – 0005)
Kenneth Verdian (2017 – 0451 – 0031)
Gabriel Sutantyo (2017 – 0451 – 0045)
Leonardy Wijaya (2017 – 0451 – 0048)

iii
TATA TERTIB LABORATORIUM
PRODI TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK
UNIKA ATMA JAYA
A. Kehadiran Praktikum

1. Praktikum dilakukan pada waktu yang telah ditentukan dan praktikan Wajib hadir tepat
pada waktunya.
2. Praktikan yang terlambat lebih dari 10 menit dianggap tidak hadir, dan mendapatkan
nilai nol pada Modul tersebut, meskipun praktikan tetap diizinkan untuk mengikuti
praktikum terjadwal.
3. Praktikan wajib memakai:
a. Pakaian yang rapi (kemeja) dan jas laboratorium
b. Menggunakan sepatu tertutup
c. Bagi praktikan pria: rambut pendek dan rapi
d. Bagi praktikan wanita berambut panjang: ikat rapi
4. Praktikan wajib mengisi daftar hadir.
5. Praktikan yang berhalangan hadir karena sakit/izin, wajib mengurus surat keterangan
dokter/izin melalui Sekretariat Prodi Teknik Mesin, untuk dapat diberikan praktikum
pengganti. Waktu praktikum pengganti akan ditentukan kemudian. Jika ternyata surat
keterangan dokter/izin tersebut tidak benar maka praktikum terjadwal dinyatakan
Gagal dan mendapat nilai 0 untuk modul yang bersangkutan.
6. Surat izin karena sakit dan Formulir izin diberikan selambatnya seminggu setelah
ketidakhadiran praktikan, jika melebihi batas yang ditentukan maka dianggap tidak
mengikuti praktikum terjadwal.
7. Surat izin yang bukan dikarenakan sakit dan Formulir izin diberikan selambatnya
seminggu sebelum ketidakhadiran praktikan, jika melebihi batas yang ditentukan maka
dianggap tidak mengikuti praktikum terjadwal.
8. Praktikan yang tidak mengikuti praktikum sebanyak 2 kali atau tidak mengumpulkan
laporan sebanyak 2 kali dinyatakan gagal untuk keseluruhan praktikum pada semester
tersebut (nilai E).

iv
B. Selama Praktikum

1. Selama praktikum berlangsung, praktikan wajib:


a. Memakai kemeja dan jas laboratorium.
b. Membawa modul praktikum, lembar data dan grafik untuk modul tertentu.
c. Mentaati petunjuk asisten.
d. Mengisi lembar Berita Acara Praktikum.
e. Menjaga kebersihan ruang laboratorium dan alat yang digunakan dan
membersihkannya kembali setelah praktikum selesai.
f. Menjaga ketertiban selama praktikum berlangsung.
g. Mematikan atau mengatur telepon selular pada posisi diam (silent) selama
praktikum berlangsung.
h. Melengkapi lembar data dan tanda tangan asisten setelah praktikum selesai.
2. Sebelum praktikum dimulai, peralatan yang digunakan harus sudah lengkap, tidak
dipekenankan pinjam-meminjam alat selama praktikum berlangsung.
3. Sebelum praktikum berlangsung akan dilakukan pre-test modul dalam bentuk lisan atau
tertulis selama 30 menit.
4. Praktikan yang tidak lulus pre-test (nilai pre-test < 65) tidak diizinkan mengikuti
praktikum terjadwal Modul tersebut.
5. Praktikan yang tidak lulus pre-test diizinkan mengulang pre-test dan praktikumnya
hanya 1x dan maksimal 1 Modul selama jadwal praktikum pengganti.
6. Pada saat praktikum berlangsung, praktikan tidak diizinkan meninggalkan ruangan
tanpa seizin asisten yang bersangkutan.
7. Praktikan bertanggung jawab penuh terhadap peralatan yang digunakan. Jika terjadi
kerusakan selama praktikum berlangsung, maka praktikan wajib mengganti dengan alat
yang sama atau senilai alat yang rusak tersebut.
8. Praktikan harus menunjukkan semua peralatan yang digunakan setelah selesai
praktikum kepada asisten yang bersangkutan untuk diperiksa.
9. Data percobaan (laporan sementara setelah praktikum) harus diparaf dan dicap oleh
asisten sebagai tanda validasi data.

v
C. Laporan Praktikum

1. Laporan praktikum diketik menggunakan komputer dengan jarak 1½ spasi, jenis


huruf Times New Roman, ukuran huruf 12, pada kertas A4. Halaman Judul dibuat
mengikuti format yang telah ditentukan.
2. Format laporan diketik dengan ukuran margin sesuai dengan standar Microsoft Word,
menggunakan bingkai. Bagian Cover tidak perlu menggunakan bingkai.
3. Format laporan :
I. TUJUAN
II. TEORI DASAR
III. PERALATAN PERCOBAAN
IV. PROSEDUR PERCOBAAN
V. TUGAS DAN PERTANYAAN
VI. LEMBAR DATA, PERHITUNGAN DAN ANALISIS
VII. SIMPULAN
VIII. DAFTAR PUSTAKA
IX. LAMPIRAN (bila ada)
3 cm

4 cm 3 cm

3 cm
4. Apabila praktikan melakukan tindak kecurangan dalam pembuatan laporan, maka
akan dianggap bahwa praktikan tersebut tidak mengikuti praktikum atau tidak
mengumpulkan laporan.
5. Apabila praktikan melakukan tindak kecurangan 1 kali, mencontek laporan, maka
laporan tersebut dinyatakan NOL untuk modul yang bersangkutan. Apabila
ditemukan kecurangan sebanyak 2 kali, maka praktikan akan dianggap GAGAL, baik
yang melakukan kecurangan maupun yang memberi contekan (nilai akhir E).
Pengumuman pelanggaran akan diberitahukan langsung pada saat praktikum
berlangsung, setelah pengumpulan laporan.

vi
6. Laporan praktikum dikumpulkan dalam bentuk softcopy (format PDF) dan Wajib
dikirim ke email Lab (email:lab.mekanikaeksperimental.uaj@gmail.com) paling
lambat satu minggu setelah praktikum. Laporan praktikum dikumpulkan dengan
format: Modul_Nama_NIM. Contoh: Modul 1_Subagyo_2018041036. Untuk
Laporan dan Lembar Data (Asli dan Valid) Wajib dikumpulkan selain berupa
softcopy, juga wajib dikumpulkan berupa hardcopy paling lambat satu minggu
setelah praktikum.
7. Keterlambatan pengumpulan Laporan akan dikenakan sanksi pengurangan nilai
laporan:
Telat (hari) Pengurangan Nilai
1 hari 10 %
2 hari 15 %
3 hari 20 %

8. Maksimum keterlambatan pengumpulan Laporan adalah tiga hari, dengan


konsekuensi pengurangan nilai sesuai dengan tata tertib No. C-7. Jika keterlambatan
lebih dari 3 hari, maka praktikan dianggap tidak mengumpulkan Laporan, dan nilai
Modul tersebut = NOL. Dan sesuai dengan tata tertib No. A-8 bahwa praktikan yang
tidak mengumpulkan laporan sebanyak 2 kali dinyatakan gagal untuk keseluruhan
praktikum pada semester tersebut (nilai E).
9. Bila praktikan merasa tidak puas dengan nilai Laporan, dapat menghubungi
Koordinator Asisten untuk mengajukan protes paling lambat tiga hari terhitung sejak
nilai diumumkan. Bila Koordinator Asisten berhalangan, protes dapat diajukan
langsung kepada Kepala Laboratorium.
10. Lembar data wajib dilampirkan pada hardcopy laporan. Keterlambatan pengumpulan
lembar data akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan keterlambatan
pengumpulan laporan sesuai dengan tata tertib No. C-7 dan No. C-8.
D. Bobot Penilaian Praktikum

1. Bobot Penilaian Nilai Akhir Praktikum:

Dinilai Bobot Penilaian


Laporan 70%
UTS + UAS 30%

2. Sesuai dengan Capaian Pembelajaran mata kuliah Praktikum yang lebih difokuskan
pada kegiatan praktik/unjuk kerja, maka di dalam bobot penilaian Laporan, UTS dan

vii
UAS harus terdapat nilai praktik/unjuk kerja. Bobot nilai praktik/unjuk kerja ini harus
lebih besar atau minimal sama dengan bobot nilai teori atau tes/kompetensi tertulis
(misal: pre-test tertulis, penulisan Laporan, UTS/UAS tertulis).
3. Detail bobot penilaian Laporan, UTS dan UAS dapat dibuat oleh masing-masing
Laboratorium dengan tetap mengindahkan Tata Tertib No.D-1 dan D-2, dan tidak
bertentangan dengan peraturan umum yang dibuat oleh Prodi Teknik Mesin.
Detail Bobot nilai Praktikum TME 345 adalah sebagai berikut:

Detail Bobot Nilai Praktikum TME 345 Praktikum Mekanika Teknik


Detail Total
Dinilai Keterangan
Bobot Bobot
Laporan:
Modul 1 – Dasar Pengukuran Regangan 5%  Tujuan, Peralatan dan
Modul 2 – Percobaan Defleksi Pada Batang ProsedurPercobaan : 5%
7%
Kantilever
Modul 3 – Uji Tekuk Pada Struktur Kolom 7%  Teori Dasar : 5%
Modul 4 – Pengujian Bending pada Batang  Lembar Data dan Perhitungan : 20%
7%
Profil Penampang T
 Tugasdan Pertanyaan : 10%
Modul 5 – Pengujian Puntir Pada Poros
8% 70%
Pejal  Analisis : 30%
Modul 6 – Percobaan Getaran Bebas Dan  Simpulan : 15%
9%
Paksa Satu Derajat Kebebasan
Modul 7 – Percobaan Bejana Tekan Silinder  Daftar Pustaka dan Lampiran : 5%
9%
Berdinding Tipis  Pre-test: 5%
Modul 8 – Uji Fatigue 9%  Praktik/Unjuk kerja/Keaktifan : 5%

Modul 9 – Wind Tunnel 9%

UTS Tertulis 15%

UAS Praktik  Teknik Presentasi : 30%


 Penguasaan Materi : 40%
15%
 Kerapihan : 10%
 Penggunaan Alat : 20%
Total 100%

viii
RUBRIK PENILAIAN UAS PRAKTIK

Kriteria Nilai Indikator


Praktikan kurang/tidak memahami materi yang dipresentasikan
Kurang 20 - 54
dan kurang/tidak mampu mengoperasikan alat uji.
Praktikan mampu menjelaskan materi, namun dalam hal
penyampaiannya kurang/tidak sistematis, praktikan kurang
Cukup 55 - 64 mampu dalam menjawab pertanyaan yang diberikan terkait
dengan materi yang diujikan, praktikan melewatkan beberapa
langkah dalam mengoperasikan alat uji.
Praktikan mampu menjelaskan materi yang dipresentasikan,
praktikan mampu menjawab sebagian dari pertanyaan yang
Baik 65 - 79
diberikan setelah presentasi, praktikan menguasai penggunaan alat
namun tidak dirapihkan kembali setelah menggunakannya.
Praktikan dapat menjelaskan materi dengan sistematis dan runtut,
praktikan mampu menjawab pertanyaan berkaitan dengan materi
Sangat Baik 80 -100 yang diberikan setelah presentasi, praktikan menguasai
penggunaan alat dan merapihkannya kembali setelah
menggunakannya.

Tangerang, 5 Februari 2020


Sekertaris Program Studi Teknik Mesin

Marten Darmawan, S.T., Ph.D.

ix
MODUL 1
DASAR PENGUKURAN REGANGAN

I. TUJUAN
 Mengetahui penggunaan strain gauge pada sistem uji tarik, sistem torsi dan sistem
bending.
 Membandingkan hasil regangan secara teoretis dengan hasil eksperimental pada
setiap pengujian.

II. TEORI DASAR


Pengukuran regangan dilakukan dengan meletakkan suatu sensor yang
dinamakan strain gauge pada struktur yang akan diuji. Strain gauge adalah bagian yang
sangat penting dari sebuah load cell, dengan fungsi untuk mendeteksi besarnya
perubahan dimensi panjang yang disebabkan oleh suatu elemen gaya. Strain gauge
banyak digunakan dalam pengukuran presisi gaya, berat, tekanan, torsi, dan
perpindahan serta mekanis lainnya. Strain gauge menghasilkan perubahan nilai tahanan
yang proporsional dengan perubahan panjang, sehingga digunakan untuk mengukur
regangan yang dapat terjadi pada suatu material.
Strain gauge dapat digunakan dengan cara menempelkannya pada permukaan
material. Contoh strain gauge dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Strain Gauge [1]

Sistem elektrikal akan berubah saat terjadi deformasi, sehingga regangan dapat
diukur melalui cara ini. Strain gauge mengukur regangan dengan cara mengukur
perubahan tegangan listrik yang terjadi akibat deformasi.

a. Hukum Hooke
Pada hampir semua logam, di tahap sangat awal dari uji tarik, hubungan
antara beban atau gaya yang diberikan berbanding lurus dengan perubahan panjang

1
bahan tersebut. Ini disebut daerah linier atau linear zone. Di daerah ini, kurva
pertambahan panjang terhadap beban mengikuti aturan Hooke yaitu rasio tegangan
(stress) dan regangan (strain) adalah konstan.

Gambar 1.2 Deformasi Elastis dan Plastis [2]


Tegangan (stress) adalah reaksi dari suatu benda ketika benda tersebut diberi
beban (gaya). Tegangan dapat terjadi karena adanya gaya pada suatu benda, yang
besarnya sama dengan gaya yang diberikan, namun berbeda arahnya. Secara
matematis, tegangan didefinisikan dengan besarnya gaya yang diberikan dibagi
dengan luas penampang di mana gaya tersebut diberikan. Terdapat berbagai jenis
tegangan seperti tegangan tarik, tegangan tekan, dan tegangan geser. Tegangan tarik
biasanya ditulis dengan simbol σ dan tegangan geser biasanya ditulis dengan simbol
τ.
Regangan adalah besarnya deformasi akibat beban (gaya) atau tegangan
(stress). Secara matematis, regangan didefinisikan yang sebagai perbandingan
perubahan panjang terhadap panjang awal pada benda yang diberi beban (gaya).
Regangan tidak memiliki satuan karena regangan merupakan sebuah perbandingan.
Rumus tegangan ditunjukkan pada Persamaan 1.1 dan rumus regangan ditunjukkan
pada Persamaan 1.2.
L0 /
x
z

Gambar 1.3 Regangan [3]

σ=𝐹 (1.1)
𝐹
A = x.z

2
F = Gaya tarikan (N)
A = Luas penampang (m2)
x = Panjang (m)
z = Lebar (m)
𝐹
ε𝐹 =
𝐹0 (1.2)
ΔL = Pertambahan panjang (m)
L0 = Panjang awal benda (m)
Tegangan didefinisikan dengan besarnya modulus elastisitas dikali dengan
regangan. Definisi tersebut sesuai dengan Hukum Hooke yang ditunjukkan pada
Persamaan 1.3.
σ=εE (1.3)
ε = Regangan
E = Modulus Elastisitas (N/m2)
σ = Tegangan (Pa)

Pada pengujian puntir, gaya yang timbul pada penampang merupakan gaya
yang tegak lurus dengan sumbu dari suatu benda tersebut, sehingga muncul tegangan
dan regangan geser pada setiap posisi benda yang diuji. Tegangan dan regangan
geser dapat diketahui dengan menggunakan Persamaan 1.4 dan Persamaan 1.5.
𝐹𝐹
τ= (1.4)
2
𝐹
(1.5)
𝐹
γ=
𝐹
T adalah torsi yang diberikan pada benda, nilainya dapat ditentukan
menggunakan Persamaan 1.6.
T = F.L (1.6)
τ = Tegangan geser puntir (Pa)
T = Torsi (Nm)
D = Diameter (m)
J = Momen inersia polar (m4)
F = Gaya (N)
L = Panjang lengan beban (m)
G = Modulus geser (N/m2)
3
γ = Regangan geser
Hubungan antara regangan geser dengan regangan dapat dihitung dengan
menggunakan Persamaan 1.7.
ε=𝐹 (1.7)
2
Pada pengujian bending, spesimen mengalami gaya tekan dan tarik pada
permukaan yang berbeda dari pusat massa benda tersebut, dapat dicari nilai dari
tegangan tarik atau tekan yang terjadi dapat menggunakan Persamaan 1.8, dan
regangan dapat ditemukan dengan menggunakan Persamaan 1.3.
𝐹.𝐹
σ= (1.8)
𝐹𝐹

Rumus momen inersia (Iz) diberikan di Persamaan 1.9.


𝐹.ℎ3
Iz= (1.9)
12

b. Rasio Poisson (υ)


Arah regangan aksial

Arah regangan
lateral

Gambar 1.4 Rasio Poisson [3]

Pada Gambar 1.4. dapat dilihat bahwa rasio regangan melintang suatu
material terhadap regangan memanjang (menurut arah gaya yang diberikan). Rasio
regangan tersebut disebut Rasio Poisson. Rasio Poisson adalah perbandingan
regangan arah lateral (tegak lurus gaya) dengan arah aksial (sejajar gaya) dari
pemberian gaya. Rasio Poisson ditemukan oleh Simeon Poisson, seorang
matematikawan asal Perancis. Secara matematis, Rasio Poisson ditulis dengan rumus
yang sesuai dengan Persamaan 1.10.

𝐹𝐹
υ=− (1.10)
𝐹𝐹

υ = Rasio poisson
εx = Regangan arah lateral

4
εy = Regangan arah aksial
Untuk kebanyakan logam, regangan yang searah dengan tegangannya, tiga
kali lebih besar dan polaritas berlawanan dengan regangan yang diukur pada sudut
yang benar untuk penerapan tegangan, sehingga besar rasio Poisson untuk logam
umumnya 0,3.

III. PERALATAN PERCOBAAN


a. Uji Tarik
1. 1 unit strain gauge display
2. 4 Bridge Completion Resisitors
3. Connector Lead Assy
4. Spesimen baja, tembaga, kuningan dan aluminium (lebar 10,06 mm x tebal 2,02
mm)
5. Gantungan pemberat 500 g
6. Pemberat terdiri dari 0,5 kg, 1 kg, 2 kg, dan 5 kg

b. Uji torsi
1. 1 unit strain gauge display
2. 4 Bridge Completion Resisitors
3. Connector Lead Ass
4. Lengan torsi
5. Gantungan pemberat
6. 50 buah pemberat 10 g

c. Uji bending
1. 1 unit strain gauge display
2. 4 Bridge Completion Resisitors
3. Connector Lead Ass
4. Batang Kantilever
5. Gantungan Pemberat
6. 50 buah pemberat 10 g

5
IV. PROSEDUR PERCOBAAN
*Pada percobaan ini praktikan dilarang menyentuh sensor pada alat percobaan!
a. Uji Tarik
1. Rangkai kabel penghubung secara full bridge dengan posisi kabel biru berlawanan
dengan kabel kuning dan kabel hijau berlawanan dengan kabel merah. Setting
nilai active arm ke N dan gauge factor ke 2,11.
2. Kemudian pasang benda uji yang diinginkan (baja, tembaga, aluminium, dan
kuningan) ke alat uji, lalu setting strain gauge display pada titik nol ketika sudah
stabil.
3. Pasang beban sebesar 1 kg. Setelah itu, catat besar regangan dan tegangan yang
tercatat.
4. Lakukan eksperimen tersebut dengan menambahkan beban sebesar 1 kg sampai
dengan total maksimal beban sebesar 10 kg.
5. Bila sudah, lakukan prosedur 2-4 dengan bahan benda uji yang lain.

b. Uji torsi
1. Rangkai kabel penghubung secara full bridge dengan posisi kabel merah
berlawanan dengan kabel hijau dan kabel biru berlawanan dengan kabel kuning.
Setting nilai active arm sebesar 4 dan gauge factor sebesar 2,05.
2. Kemudian ketika sudah stabil, alat di-setting pada titik nol.
3. Pasang beban sebesar 50 g. Setelah itu, catat besar regangan dan tegangan yang
tercatat.
4. Lakukan eksperimen tersebut dengan menambahkan beban sebesar 50 g sampai
dengan total maksimal beban sebesar 500 g.

c. Uji bending
1. Rangkai kabel penghubung secara full bridge dengan posisi kabel merah
berlawanan dengan kabel biru dan kabel kuning berlawanan dengan kabel hijau.
Setting nilai active arm sebesar 4 dan gauge factor sebesar 2,16.
2. Kemudian ketika sudah stabil, alat di-setting titik nol.
3. Pasang beban sebesar 50 g. Setelah itu, catat besar regangan dan tegangan yang
tercatat.

6
4. Lakukan eksperimen tersebut dengan menambahkan beban sebesar 50 g sampai
dengan total maksimal beban sebesar 500 g.

V. DAFTAR PUSTAKA
[1] Keil, S., (2017). Technology and Practical Use of Strain Gages. Ernst & Sohn:
Berlin.
[2] Callister, W.D., (2001). Fundamentals of Materials. John Wiley & Sons: New
York.
[3] Clifford, M., (2009). Introduction to Mechanical Engineering. Hodder Education:
London.

7
MODUL 2
PERCOBAAN DEFLEKSI PADA BATANG KANTILEVER

I. TUJUAN
 Menentukan besar defleksi yang dihasilkan pada batang kantilever.
 Membandingkan hasil defleksi pada setiap material.
 Membandingkan hasil defleksi perhitungan secara teoretis dengan hasil eksperimen.

II. TEORI DASAR


Defleksi adalah Suatu fenomena terjadinya perpindahan dari posisi awal ke
posisi akhir setelah pembebanan P yang tegak lurus dengan batang. Pada Gambar 2.1.
dapat dilihat fenomena terjadinya defleksi.

Gambar 2.1 Defleksi pada Batang [1]

Pada percobaan kali ini, jenis tumpuan yang akan digunakan adalah tumpuan
jepit dengan batang kantilever seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.2. Batang
kantilever adalah batang yang salah satu ujungnya dijepit dan pada ujung lainnya adalah
ujung bebas (tanpa ada tumpuan).

Gambar 2.2 Contoh Batang Kantilever [1]

Dalam menentukan defleksi pada batang, maka digunakanlah metode


superposisi. Metode superposisi adalah metode untuk menentukan defleksi total dengan

8
cara memisahkan semua gaya yang diberikan pada batang. Setelah dipisahkan, defleksi
yang dihasilkan oleh masing-masing gaya dihitung satu per satu. Defleksi total dari
batang tersebut adalah jumlah dari defleksi masing-masing gaya. Metode ini cocok
digunakan untuk menghitung defleksi pada batang dengan banyak pembebanan.
Persamaan-persamaan yang dihasilkan dari metode superposisi dinyatakan pada
Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Persamaan Superposisi dalam Menentukan Defleksi [1]

Rumus yang digunakan untuk menghitung defleksi dan momen inersia pada
penampang batang ditunjukkan pada Persamaan 2.1 dan Persamaan 2.2.
FL3
  (2.1)
3EI
𝛿 = Defleksi pada batang (m)
F = Gaya beban (N)
L = Panjang batang (m)
E = Modulus elastisitas (N/m2)

9
bh3
I z  (2.2)
12
I = Momen inersia batang (m4)
b = Lebar batang (m)
h = Tebal batang (m)

III. PERALATAN PERCOBAAN


1. 1 buah load cell
2. 1 buah digital deflection indicators
3. Penyangga kantilever
4. Batang baja, kuningan, aluminium

IV. PROSEDUR PERCOBAAN


1. Posisikan penyangga kantilever dan load cell pada jarak yang ditentukan sesuai
dengan tabel pada lembar data.
2. Pastikan pin penyangga pada load cell dilepaskan. Aturlah posisi ujung pisau pada
masing-masing load cell ke posisi paling bawah.
3. Letakkan batang yang ingin diuji pada penyangga kantilever lalu pasanglah digital
deflection indicators pada bagian atas batang dengan mensejajarkan ujung pisau
dengan load cell seperti pada Gambar 2.4. Setelah itu atur ulang angka awal pada alat
pengukuran menjadi 0.
4. Setelah itu ulangi percobaan dengan material yang sama dengan jarak yang berbeda
sesuai dengan tabel percobaan.

Gambar 2.4 Ilustrasi Pemasangan Alat Percobaan [2]

10
V. DAFTAR PUSTAKA
[1] Beer, F. P., Johnston, E. R. & DeWolf, J. T., (2015). Mechanics of Materials. Edisi
7. McGraw-Hill Education: New York.
[2] , (2011). Beam Apparatus. TecQuipment: Nottingham.

11
MODUL 3
UJI TEKUK PADA STRUKTUR KOLOM

I. TUJUAN
 Menunjukkan terjadinya fenomena tekuk yang terjadi pada struktur berbentuk kolom
dengan jenis tumpuan dan material yang berbeda.
 Mencari nilai gaya tekuk dengan rumus Euler.

II. TEORI DASAR


Struktur kolom (column) merupakan sebuah batang tekan dengan ketebalan yang
lebih tipis, apabila dibandingkan dengan panjangnya. Struktur kolom akan mengalami
kerusakan akibat adanya gaya tekuk atau buckling apabila beban yang diberikan
melebihi batas aman beban yang dapat diterima oleh struktur kolom (batang) tersebut.
Gambar 3.1 menunjukkan terjadinya fenomena tekuk pada suatu struktur kolom.

(a) (b) (c)


Gambar 3.1 Fenomena Tekuk yang Terjadi pada Struktur Kolom: (a) Batang dengan
beban gaya P, (b) Gaya tekuk pada kolom, (c) Diagram benda bebas pada penampang
batang [1].

Apabila gaya P yang bekerja pada suatu kolom relatif kecil, maka kolom pada
Gambar 3.1 akan stabil dalam arah aksial (sejajar dengan sumbu batang). Hal ini berarti
bahwa jika ujung B didorong ke samping oleh suatu gaya lateral (gaya tegak lurus
terhadap sumbu batang), maka batang akan kembali ke bentuk semula atau dengan kata
lain batang akan lurus kembali setelah gaya lateral dihilangkan. Sebaliknya, jika gaya

12
tekan P diperbesar sampai suatu nilai tertentu, maka batang dapat menjadi stabil netral.
Keadaan stabil netral yaitu keadaan dimana pada saat batang didorong kesalah satu arah,
maka batang akan tetap berada pada posisi tersebut walaupun gaya lateral telah
dihilangkan. Fenomena tersebut dinyatakan sebagai kejadian tekuk atau buckling.
Sedangkan gaya yang menyebabkan tepat terjadinya peristiwa tekuk disebut beban atau
gaya kritis, Pcr.
Dengan demikian beban kritis adalah batas gaya aksial tekan yang dapat diterima
oleh suatu struktur kolom agar tidak terjadi fenomena tekuk pada kolom. Beberapa
keadaan yang menyatakan perbandingan antara besar gaya tekan yang bekerja P
terhadap besar beban kritis Pcr, sebagai berikut:
 Jika P<Pcr, maka batang dikatakan stabil, yaitu jika ujung batang B didorong ke
samping lalu dilepaskan, maka batang akan kembali ke posisi semula.
 Jika P = Pcr, maka batang disebut dalam keadaan stabil netral, artinya jika ujung
batang B didorong dengan gaya lateral yang relatif kecil, maka kedudukan batang
akan tetap pada posisi tersebut walaupun gaya lateral tadi dihilangkan.
 Jika P>Pcr, maka batang dikatakan dalam keadaan labil, artinya jika ujung bebas
batang B didorong sedikit ke samping maka lendutan akan bertambah terus sehingga
menjadi sangat besar.
Besarnya beban kritis untuk beberapa macam tumpuan dapat dianalisis secara
matematis seperti contoh di atas sehingga dihasilkan rumus Euler untuk beberapa
macam tumpuan seperti Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Jenis-Jenis Tumpuan [2]

13
Pcr = Beban kritis (N)
E = Modulus Young (N/m2)
I = Momen inersia (m4)
L = Panjang batang (m)
Le = Panjang efektif batang (m)
Panjang efektif adalah panjang batang yang mengalami lendutan atau mengalami
peristiwa buckling

III. PERALATAN PERCOBAAN


1. GUNT WP 120
2. Batang spesimen
3. Dial gauge

Gambar 3.2 GUNT WP 120 [3]

IV. PROSEDUR PERCOBAAN


Pada praktikum kali ini dilakukan 3 jenis percobaan tekuk yaitu percobaan uji
tekuk tumpuan jepit-jepit, tumpuan jepit-engsel, dan tumpuan engsel-engsel dengan
material yang berbeda-beda.
1. Pastikan posisi selongsong sesuai dengan panjang batang spesimen dengan memutar
spindle pada alat uji.
2. Pasang batang spesimen pada alat uji.
3. Pastikan batang spesimen terpasang pada tumpuan dengan baik.
4. Pasang dial gauge pada batang spesimen sesuai dengan jarak yang telah ditentukan
berdasarkan jenis batangnya.
5. Kalibrasikan dial gauge agar hasil pengukuran defleksi akurat.

14
6. Berikan pembebanan secara perlahan dengan memutar spindle hingga terjadi
tekukan pada batang spesimen. Pengukuran besar defleksi yang diakibatkan oleh
tekukan dan besar gaya yang menyebabkan defleksi tersebut dilihat dengan
menggunakan dial gauge.
7. Perhatikan dan catat data-data yang ditunjukkan oleh instrumen pengukuran (besar
defleksi benda uji, tekanan yang ditunjukkan oleh pressure gauge).
8. Hentikan pemberian pembebanan apabila pengukuran angka pada pressure gauge
dalam keadaan tetap (tidak berubah atau setelah pressure gauge memperlihatkan
angka tertinggi dan kemudian turun kembali).
9. Lepaskan benda uji setelah selesai mendapatkan data pengujian dengan memutar
spindle dan membuka tumpuan.
10. Lakukan pengujian lainnya dengan tumpuan yang berbeda dan panjang dan material
yang berbeda pula.

V. DAFTAR PUSTAKA
[1] Beer, F. P., Johnston, E. R. & DeWolf, J. T., (2015). Mechanics of Materials. Edisi
7. McGraw-Hill Education: New York.
[2] Gere, J.M., (2009). Mechanics of Materials. Edisi 7. Cengage Learning: Canada.
[3] -. (2011). Buckling Behaviour of Bars. Gunt: Hamburg.

15
MODUL 4
PENGUJIAN BENDING PADA BATANG PROFIL PENAMPANG T

I. TUJUAN
 Mengetahui tegangan akibat momen lentur pada pada batang profil T.
 Mengetahui persamaan momen inersia pada batang profil T.

II. TEORI DASAR


Pada pengujian kekuatan lentur dan kekerasan dilakukan dengan pemberian
beban lateral (tegak lurus sumbu batang) pada material sehingga secara bersamaan mulai
terbentuk tegangan tarik, tekan, dan geser. Beban tersebut akan maksimum pada
permukaan spesimen, serta bernilai nol pada sumbu batangnya. Secara umum pengujian
dilakukan dengan menggunakan dua tipe pembebanan, yakni: 3 point bending dan 4
point bending. Berikut ini merupakan skema pengujian keduanya beserta diagram gaya
geser serta momen lenturnya seperti yang tercantum pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Contoh Diagram Gaya Geser dan Diagram Momen Lentur [1]

Saat material diberi beban pada daerah elastis, maka akan timbul tegangan pada
penampang melintang sebagai akibat dari momen lentur.

a) Momen Lentur
Momen lentur adalah gaya yang bekerja pada benda yang menyebabkan
lenturan terhadap benda. Pada batang kantilever, akan terjadi momen lentur apabila
batang tersebut diberi gaya pada jarak tertentu seperti yang ditunjukkan Gambar 4.2.

16
Gambar 4.2 Batang Kantilver Diberi Gaya [2]

Tegangan Akibat Momen Lentur


Tegangan ini diakibatkan karena adanya momen pada batang sehingga terjadi
defleksi, maka dari itu tegangan ini dapat dinamakan tegangan lentur. Rumus dari
tegangan ini dinyatakan pada Persamaan 4.1.
M .y
σ= (4.1)
Iz
σ = Tegangan lentur (Pa)
M = Momen lentur (Nm)
y = Jarak pusat massa ke permukaan terluar (m)
Iz = Momen inersia penampang (m4)

b) Momen Inersia
Rumus momen inersia pada batang seperti pada Gambar 4.3 dapat diperoleh
menggunakan teorema sumbu sejajar seperti pada Persamaan 4.2.
Iz = Iz1 + Iz2
Iz = (IG1 + A1 d12) + (IG2 + A2 d22) (4.2)

Gambar 4.3 Penampang pada Batang [2]

IG1 = Momen inersia luasan 1 (m4)


A1 = Luas penampang luasan 1 (m2)
d1 = Jarak pusat massa luasan 1 ke pusat massa keseluruhan benda (m)
IG2 = Momen inersia luasan 2 (m4)

17
A2 = Luas penampang luasan 2 (m2)
d2 = Jarak pusat massa luasan 2 ke pusat massa keseluruhan benda (m)

III. PERALATAN PERCOBAAN


1. TecQuipment STR 4
2. Kaliper
3. Penggaris
4. Strain gauge

IV. PROSEDUR PERCOBAAN


1. Kalibrasikan load cell agar nilai F-nya menjadi 0 dan pastikan penyangga load cell
pada saat F = 0 batang penyangganya mudah longgar.
2. Kemudian lakukan pengukuran regangan pada 9 titik dengan mengatur gauge factor
pada 9 titik yang telah ditentukan.

V. DAFTAR PUSTAKA
[1] Craig, Jr., R.R., (2000). Mechanics of Materials. Edisi 2, John Wiley & Sons: New
York.
[2] Gere, J.M., and Timoshenko, S.P., (1984). Mechanics of Materials, Edisi 3, PWS-
Kent Publishing Company: Boston.

18
MODUL 5
PENGUJIAN PUNTIR PADA POROS PEJAL

I. TUJUAN
 Menentukan tegangan geser maksimum pada suatu material.
 Membandingkan nilai tegangan geser secara eksperimen dan secara teoretis serta
pengaruhnya terhadap sifat mekanik material.
 Mengetahui besar sudut puntir yang dihasilkan pada setiap material.
 Menentukan nilai modulus geser pada setiap material secara eksperimen dan secara
teoretis.

II. TEORI DASAR


Puntiran merupakan suatu pembebanan yang penting. Sebagai contoh, kekuatan
puntir menjadi permasalahan pada poros-poros, karena elemen deformasi plastik secara
teori adalah slip (geseran) pada bidang slip. Deformasi puntiran tidak menunjukkan
tegangan uniform pada potongan lintang seperti halnya pada deformasi lenturan. Untuk
mendapat deformasi puntiran dengan tegangan yang uniform perlu dipergunakan batang
uji berupa silinder tipis.
Patahan karena puntiran dari bahan getas terlihat pada arah kekuatan tarik, yaitu
pada 45° terhadap sumber puntiran, sedangkan bagi bahan yang liat patahan terjadi pada
sudut tegak lurus terhadap sumbu puntiran setelah gaya pada arah sumbu terjadi dengan
deformasi yang besar, dari bentuk patahan tersebut sangat mudah menentukan keuletan
dan kegetasan.
Fenomena puntiran pada suatu poros terjadi akibat adanya tegangan geser yang
terjadi secara tegak lurus terhadap sumbu bidang material [1]. Kondisi tegangan geser
dapat terjadi melalui geseran secara langsung (direct shear) dan tegangan puntir
(torsional stress). Fenomena geseran secara langsung dapat dilihat pada saat kita
menancapkan paku ke balok kayu. Pada setiap permukaan di kayu yang bersinggungan
langsung dengan paku akan mengalami geseran secara langsung. Sedangkan fenomena
tegangan puntiran dapat terjadi apabila suatu spesimen mengalami momen torsi. Respon
yang diterima setiap material terhadap tegangan geser berbeda.
Uji puntir pada suatu spesimen dilakukan untuk menentukan elastisitas suatu
material. Spesimen yang digunakan pada pengujian puntir adalah batang dengan

19
penampang lingkaran karena bentuk penampang ini sederhana dan mudah diukur.
Spesimen tersebut hanya dikenai beban puntiran pada salah satu ujungnya karena dua
pembebanan akan memberikan ketidakkonstanan sudut puntir yang diperoleh dari
pengukuran.

Gambar 5.1 Skema Puntiran pada Poros [1]


Tegangan geser dan regangan geser untuk batang dapat ditentukan dengan Persamaan 5.1
dan Persamaan 5.2.
T .r
τ= (5.1)
J
T = Torsi (Nm)
r = Jari-jari batang (m)
J = Momen inersia polar (m4)
 .r
𝐹= (5.2)
L
γ = Regangan geser
θ = Sudut puntir (radian)
L = Panjang batang (m)
Sedangkan momen inersia polar (J) silinder adalah:

J= .D4 (5.3)
32
D = Diameter batang (m)
J = Momen inersia polar (m4)

20
Pengukuran yang dilakukan pada uji puntir adalah momen puntir dan sudut
puntir. Pengukuran ini kemudian dikonversikan menjadi sebuah grafik momen puntir
terhadap sudut puntir (dalam radian).
Dari Persamaan 5.1 dan Persamaan 5.2, nilai modulus geser (G) pada sebuah
material dapat ditentukan menggunakan Persamaan 5.4.

G  (5.4)

Kemudian dari Persamaan 5.4 dapat dijabarkan menjadi Persamaan 5.5.
32.T .r.L
G (5.5)
 ..D 4

III. PERALATAN PERCOBAAN


1. Amplifier
2. WP 500 Torsion Tester
3. Spesimen (baja, kuningan, dan aluminium)

IV. PROSEDUR PERCOBAAN


1. Nyalakan amplifier, kemudian lakukan warm up amplifier selama 30 menit, kemudian
buka software G.U.N.T.
2. Tekan tombot T pada amplifier untuk mengkalibrasikan nilai menjadi 0.
3. Kendorkan tuas penjepit untuk menyesuaikan spesimen.
4. Masukkan spesimen kedalam socket dan atur ketinggian socket agar spesimen dapat
dengan pas dimasukkan ke dalam socket. Kemudian kencangkan tuas penjepit lagi.
5. Kalibrasi ulang lagi pada amplifier agar nilai menjadi 0 dan atur nilai 0 pada dial gauge.
6. Putar kemudinya searah dengan jarum jam dan mula-mula putar sudut sebesar 1,5o,
berikutnya sebesar 3o, dan 6o.
7. Kemudian tekan tombol record pada amplifier untuk mengukur nilai torsi dan sudut
puntir.
8. Ketika puntiran sudah mencapai sudut 20o, tekan tombol continuous measurement dan
putar spesimen tersebut sampai terjadi patahan.

V. DAFTAR PUSTAKA
[1] Craig, Jr., R.R., (2000). Mechanics of Materials. Edisi 2, John Wiley & Sons: New
York.

21
MODUL 6
PERCOBAAN GETARAN BEBAS DAN PAKSA SATU DERAJAT
KEBEBASAN

I. TUJUAN
 Memahami prinsip getaran bebas suatu sistem.
 Membandingkan nilai frekuensi natural secara teoritik dan secara eksperimental.
 Memahami fenomena resonansi dan pengaruhnya terhadap suatu benda kerja.
 Mengamati fenomena resonansi dengan variasi koefisien redaman yang berbeda-
beda.
 Memahami hubungan antara amplitudo dan frekuensi eksitasi yang dipengaruhi oleh
variasi koefisien redaman yang berbeda-beda.

II. TEORI DASAR


Getaran adalah peristiwa gerak bolak-balik sebuah benda terhadap suatu titik
kesetimbangan. Pada umumnya getaran merupakan energi yang terbuang dan pada
beberapa kasus tidak diinginkan, misalnya pada mesin-mesin di mana getaran
menghasilkan kebisingan, rusaknya komponen dan timbulnya gaya-gaya dan gerakan
yang tidak diinginkan terhadap objek. Untuk menghilangkan efek yang timbul pada
getaran dapat dilakukan dengan membuat studi lengkap dari persamaan gerakan sistem.
Mula-mula sistem diasumsikan dalam keadaan ideal dan disederhanakan menjadi
beberapa bagian yang terdiri dari massa, pegas, dan peredam yang masing-masing
menyatakan benda kerja, elastisitas dan gesekan dari sistem. Kemudian, persamaan
gerak akan menyatakan perpindahan sebagai fungsi dari waktu atau akan memberikan
jarak antara tiap posisi sesaat pada massa selama gerakannya dan posisi seimbang.
Besaran penting dari sistem getaran, yaitu frekuensi alami yang dapat diperoleh dari
persamaan gerak.
Jenis-jenis getaran
a. Berdasarkan jenis gangguan dari luar (stimulus)
 Getaran Bebas
Getaran bebas adalah getaran yang terjadi akibat adanya pemberian gaya atau
simpangan di awal.

22
 Getaran Paksa
Getaran paksa adalah getaran yang terjadi akibat adanya pemberian gaya dari luar
secara terus-menerus.

b. Berdasarkan derajat kebebasannya


 Getaran satu derajat kebebasan/SDOF (Single Degree of Freedom)
 Getaran dua derajat kebebasan/TDOF (Two Degree of Freedom)
 Getaran banyak derajat kebebasan/MDOF (Multi Degree of Freedom)

Derajat kebebasan adalah jumlah koordinat bebas yang diperlukan untuk


menyatakan gerak secara bolak-balik. Aspek lain yang dapat mempengaruhi pada sistem
getaran adalah redaman di dalam sistem getaran diperlukan untuk membatasi besar
amplitudo osilasi pada saat terjadi resonansi.

Getaran dengan Redaman


Besar koefisien redaman viskos c pada suatu sistem getaran dapat ditentukan
dengan cara mengukur laju peluruhan osilasi pegas yang disebut sebagai pengurangan
logaritmik. Pengurangan logaritmik δ didefinisikan sebagai besar logaritma natural (ln)
dari rasio dua amplitudo x1/x2 yang berurutan, seperti ditunjukkan pada Gambar 6.1.

Gambar 6.1 Laju Perubahan Osilasi Teredam [1]


Pengurangan logaritmik (𝛿) berdasarkan amplitudo getaran dirumuskan oleh
Persamaan 6.1 sebagai berikut :
𝐹1
𝐹 = ln (6.1)
𝐹2

Sehingga koefisien redamannya (𝛿) dapat dihitung sebagai berikut :


δ2
ζ= √ (6.2)
4𝐹2 + δ2

23
δ = Pengurangan logaritmik
ζ = Koefisien redaman
x1 = Amplitudo 1
x2 = Amplitudo 2

Getaran Bebas pada Beam


Getaran yang terjadi pada beam merupakan getaran benda kaku, dimana pada
getaran benda kaku tersebut, variabel yang menjadi salah satu pertimbangan utama
adalah rotasi. Jadi prinsip-prinsip mengenai dinamika rotasi memainkan aturan penting
dalam menjabarkan persamaan gerak. Pelaksanaan tentang ukuran perpindahan dimulai
dari posisi kesetimbangan statis yang sedikit lebih dari posisi pegas tanpa defleksi. Hal
ini dilakukan agar menyederhanakan formulasi untuk sistem linier karena gaya-gaya
dan momen-momen yang saling berlawanan dan sama besar yang terkait pada posisi
kesetimbangan statis dan ketika dibawa ke dalam analisis akan saling meniadakan.

Gambar 6.2 Getaran Bebas pada Beam [2]

Jika pada beam seperti pada Gambar 6.2 ditarik sedikit dari posisi
kesetimbangannya, maka persamaan kesetimbangan momennya dapat dihitung dengan
rumus :

∑ 𝐹𝐹 = 0 (6.3)
𝐹𝐹 . 𝐹̈ + 𝐹𝐹 .𝐹 = 0 (6.4)
𝐹 . 𝐹2
. 𝐹̈ + 𝐹 . 𝐹 .𝐹 . 𝐹 = 0 (6.5)
3
2
𝐹̈ + 3 . 𝐹 . 𝐹 . 𝐹 = 0 (6.5)
𝐹 . 𝐹2

24
Dari persamaan gerak harmonik tersebut kita dapat menentukan frekuensi
natural dari beam yaitu :
2 3 . 𝐹 . 𝐹2
𝐹𝐹 = 𝐹 . 𝐹2
(6.6)

1 3 . 𝐹 . 𝐹2
𝐹𝐹 = .√ (6.7)
2. 𝐹 . 𝐹2
𝐹

Jika pada beam terdapat redaman seperti Gambar 6.3, maka terdapat dua
frekuensi yaitu frekuensi natural dan frekuensi natural teredam. Frekuensi natural akan
selalu tetap dan frekuensi natural teredam besarnya bergantung pada frekuensi natural
dan koefisien redamannya.

Gambar 6.3 Getaran Bebas pada Beam dengan Redaman [2]

Maka frekuensi natural teredam dapat diketahui yaitu :

𝐹𝐹 = 𝐹𝐹 . √1 − 𝐹2 (6.8)
𝐹 .𝐹2
𝐹= (6.9)
2 .𝐹𝐹 .𝐹𝐹

Keterangan :
Mo = Momen di titik O (Nm)
𝐹𝐹 = Momen inersia batang (m4)
𝐹 = Sudut simpangan getaran (o)
Fc = Gaya pegas (N)
a = Jarak tumpuan beam dengan pegas (m)
25
c = Konstanta pegas (N/m)
m = Massa batang (kg)
L = Panjang total batang (m)
ωn = Frekuensi natural angular (Hz)
fn = Frekuensi natural (Hz)
ωd = Frekuensi peredam (Hz)
𝐹 = Derajat redaman
𝐹 = Konstanta redaman (Ns/m)
𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹 = 5 Ns/ m
𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹 = 15 Ns/ m
𝐹 = Jarak tumpuan batang dengan peredam (m)

Getaran Paksa pada Beam


Getaran paksa adalah getaran yang terjadi karena rangsangan gaya luar yang
diberikan terus menerus. Jika rangsangan tersebut berosilasi maka sistem dipaksa untuk
bergetar pada frekuensi eksitasi. Jika beam seperti Gambar 6.4 diberi massa
pengeksitasi pada jarak (b) dari pusat O akan tampak seperti Gambar 6.3. Gaya eksitasi
berupa gaya sentrifugal dari motor yang memutar massa tak seimbang (mc) pada radius
(r) dan fraksi gaya yang memberikan gaya eksitasi pada sistem getaran dapat dihitung
dengan rumus :
F = mc . r . ω2. sin (ω.t) (6.10)

Gambar 6.4 Getaran Paksa pada Beam [2]


Keterangan :
F = Gaya eksitasi (N)
mc = Massa beban eksitasi (kg)
𝐹 = Jari-jari dari lingkaran putaran beban eksitasi (m)
𝐹 = Frekuensi gaya eksitasi (Hz)
t = Waktu (s)

26
Jika frekuensi rangsangan sama dengan salah satu frekuensi natural sistem, maka
akan didapat keadaan resonansi dan akan mengakibatkan getaran yang sangat besar.
Resonansi merupakan peristiwa yang sangat dihindari dalam dunia teknik, karena
apabila terjadi resonansi timbul getaran yang sangat besar sehingga akan mengakibatkan
kerusakan pada komponen tersebut. Oleh karena itu, perhitungan dan pencegahan
fenomena resonansi merupakan tugas penting dalam dunia rekayasa teknik.

III. PERALATAN PERCOBAAN


1. G.U.N.T TM 155
2. Kertas teledestos
3. Spidol
4. Penggaris
5. Stopwatch

IV. PROSEDUR PERCOBAAN


A. Percobaan Getaran Bebas
Percobaan getaran tanpa peredam
1. Aturlah posisi pemasangan batang dan pegas sesuai dengan skema yang
digambarkan pada Gambar 6.5, dimana a merupakan jarak dari tumpuan ke pegas.
2. Pastikan batang sejajar dengan menggunakan waterpass untuk mengetahui
kesejajaran batang.
3. Setelah alat yang akan digunakan untuk percobaan terpasang seperti yang tertera
pada Gambar 6.5, mulailah melakukan percobaan dengan menarik batang dan
dilepaskan hingga mengalami osilasi.

Gambar 6.5 Skema Percobaan Getaran Tanpa Redaman [2]

27
Percobaan getaran dengan redaman
1. Aturlah posisi pemasangan batang dan pegas sesuai dengan skema yang
digambarkan pada Gambar 6.6, dimana a merupakan jarak dari tumpuan ke pegas
dan b adalah jarak tumpuan ke redaman.
2. Pastikan batang sejajar dengan menggunakan waterpass untuk mengetahui
kesejajaran batang.
3. Setelah alat yang akan digunakan untuk percobaan terpasang seperti yang terlihat
pada Gambar 6.6, mulailah melakukan percobaan dengan menarik batang dan
dilepaskan hingga mengalami osilasi dan dicatat dengan menggunakan kertas
teledestos yang digerakkan oleh motor penggerak.

Gambar 6.6 Skema Percobaan Getaran dengan Redaman [2]

B. Percobaan Getaran Paksa

Gambar 6.7 Skema Rangkaian Komponen Percobaan Getaran Paksa [2]


1. Susun rangkaian komponen seperti pada Gambar 6.7.
2. Hidupkan alat dan unbalance exciter akan memberikan getaran pada beam dan
untuk frekuensi eksitasi awal sebesar 2 Hz.

28
3. Lakukan penambahan frekuensi eksitasi sebesar 2 Hz untuk setiap pertambahan
sampai frekuensi eksitasi mencapai 6 Hz, catat perubahan amplitudo yang terjadi
setiap penambahan frekuensi dilakukan.
4. Ketika mencapai 6 Hz, ubah pertambahan frekuensi eksitasi menjadi 1 Hz dan
untuk setiap penambahan catat perubahan amplitudo yang terjadi.
5. Ketika mencapai 8 Hz, ubah pertambahan frekuensi eksitasi menjadi 0,2 Hz – 0,5
Hz dan catat perubahan amplitudo yang terjadi.
6. Ketika besar getaran mulai menurun, ubah pertambahan frekuensi eksitasi menjadi
1 Hz – 2 Hz dan catat perubahan amplitudo yang terjadi.
7. Frekuensi eksitasi terakhir sebesar 20 Hz.
8. Lakukan langkah 2 – 7 untuk kondisi yang berbeda, yaitu adanya redaman dengan
koefisien redaman yang berbeda-beda.

V. DAFTAR PUSTAKA
[1] Thomson, W.T., (1990). Theory of Vibration with Application. Prentice Hall: New
Jersey.
[2] -. (2011). Free and Forced Vibration Apparatus. Gunt: Hamburg.

29
MODUL 7
PERCOBAAN BEJANA TEKAN SILINDER BERDINDING TIPIS

I. TUJUAN
 Membuktikan rumus tegangan dan regangan pada dinding bejana tekan silinder secara
eksperimen dan teoretis.
 Mengukur regangan pada bejana tekan menggunakan strain gauge.
 Menentukan tegangan dan regangan pada silinder terbuka dan silinder tertutup.
 Menentukan hubungan antara perubahan diameter bejana silinder dengan besar
tegangan dan regangan yang terjadi.
 Menentukan tegangan dan regangan utama pada dinding bejana tekan.

II. TEORI DASAR


Bejana tekan merupakan suatu tabung tertutup yang berguna untuk menampung
fluida dengan tekanan dan temperatur tertentu. Syarat utama pada bejana tekan adalah
tidak terdapat kebocoran pada seluruh bagian bejana tersebut. Bejana tekan dapat terdiri
dari bermacam-macam bentuk sebagai berikut:
 Silinder
 Bola
 Elipsoida
Bagian-bagian tersebut disambungkan satu sama lain dengan menggunakan
cincin flens dan alat penyambung lain atau dapat juga dengan cara pengelasan.

a. Tegangan dan Regangan pada Dinding Bejana Tekan Silinder Tipis :


Sebuah bejana tekan berdinding tipis ditempatkan dibawah tekanan internal
(Pi), sebuah tegangan planar dibuat dalam dinding bejana yang meliputi tegangan arah
melingkar σt dan tegangan arah sejajar dengan sumbu bejana σa seperti yang
dicantumkan pada Gambar 7.1.

Gambar 7.1. Skema Arah Tegangan pada Bejana [1]

30
Sebuah bejana dinyatakan sebagai bejana berdinding tipis jika tebal diameter
dalam (d) lebih besar dibandingkan dengan 10 kali tebal dinding (s). Dalam percobaan
ini, untuk diameter rata-rata ditentukan menggunakan Persamaan 7.1.
da +di
d= (7.1)
2
d = Diameter rata-rata pada bejana (mm)
da = Diameter luar (mm)
di = Diameter dalam (mm)
Pada komponen dinding tipis, tegangan dan regangan yang melewati ketebalan
dinding diasumsikan konstan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7.2. Pada
percobaan ini, tegangan pada arah radial diabaikan, sehingga tegangan yang akan
dianalisis merupakan tegangan tangensial dan aksial.

Gambar 7.2 Arah Tegangan pada Dinding Tipis [1]


Tegangan yang dianalisis pada bejana tekan ada 2 jenis yaitu:
a) Tegangan Tangensial / Tegangan Sirkumferensial / Hoop Stress
Tegangan tangensial adalah tegangan yang arahnya tegak lurus terhadap sumbu
bejana. Tegangan tangensial ditunjukkan pada Gambar 7.3.

Gambar 7.3 Tegangan Tangensial [2]


b) Tegangan Aksial / Longitudinal Stress
Tegangan aksial adalah tegangan yang arahnya searah dengan sumbu bejana.
Tegangan aksial ditunjukkan pada Gambar 7.4.

31
Gambar 7.4 Tegangan Aksial / Longitudinal Stress [2]

b. Bejana dengan Kondisi Ujung Terbuka


Tegangan sirkumferensial σt terjadi pada arah yang melingkar. Beban pada
arah aksial adalah 0. Tegangan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan gaya
pada silinder setengah ruas. Beban diberikan oleh tekanan dalam (Pi) yang akan
menghasilkan tegangan sirkumferensial (σt) pada dinding dengan ketebalan tertentu
(s) seperti yang dicantumkan pada Persamaan 7.2.
pi .d.L = 2.σt .s.L (7.2)
Persamaan di atas dapat disederhanakan dengan menghilangkan panjang
bejana (L), sehingga rumus tegangan sirkumferensial (σt) tercantum pada persamaan
7.3.
d
σ=p. (7.3)
t i
2s
c. Bejana dengan Kondisi Ujung Tertutup
Kondisi bejana yang tertutup mengakibatkan terjadi dua tegangan yang
berbeda yaitu tegangan sirkumferensial (σt) dan tegangan aksial (σa). Tegangan aksial
dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 7.4.
d 2.π
pi . =σa .d.π.s (7.4)
4
2
π
Dari persamaan di atas dapat disederhanakan dengan menyederhanakan d
4

yang merupakan luas penampang pada berjana dan d.π.s merupakan cincin area pada
permukaan depan dinding, sehingga tegangan aksial (σa) dihitung dengan Persamaan
7.5. Sedangkan, untuk menghitung tegangan sirkumferensial (σt), persamaan yang
digunakan sama seperti berjana terbuka yang tercantum pada Persamaan 7.3.
d
σa = p i (7.5)
4.s

32
Tegangan sirkumferensial besarnya tepat dua kali dari tegangan aksial. Hal ini
menjelaskan tentang fenomena bejana lebih rentan mengalami kebocoran pada arah
longitudinal. Pada bejana yang di bawah tekanan luar tinggi, tekanan dalam perlu
digantikan dengan tekanan luar yang berlawanan arah seperti pada Persamaan 7.6.
pi = - pa (7.6)
Dalam hal ini, bejana tekan berdinding tipis dibawah tekanan luar memiliki
kegagalan yang disebabkan oleh indentasi dan pada prosesnya, dinding pada bejana
bergantung pada sebuah tegangan tekan yang tiba-tiba dapat mengalami kegagalan.

d. Tegangan Utama & Regangan Utama


Tegangan dan regangan pada sebuah bejana pada umumnya tidak dapat diukur
secara langsung (kecuali fotoelastisitas). Regangan pada permukaan sebagai gantinya
akan diukur dengan menggunakan strain gauge dalam bentuk half-bridge yang
terpasang dalam arah yang berbeda pada permukaan bejana. Untuk bidang dalam 2
dimensi, tegangan tetap berhubungan antara dengan tegangan utama (σ1,2) dan
regangan utama. Menghitung tegangan utama (σ1,2) dapat menggunakan Persamaan
7.7. dan Persamaan 7.8.
𝐹
𝐹1 = 1−ʋ2
(𝐹 + 𝐹. ) (7.7)
1 𝐹2
𝐹
𝐹 = 1−ʋ2
(𝐹 + 𝐹. 𝐹1) (7.8)
2 2
σ = Tegangan utama (Pa)
E = Modulus Young (N/m2)
ε = Regangan utama
υ = Rasio Poisson
Dengan modulus elastistas aluminium (E) sebesar 72.000 N/mm2 dan Poisson’s ratio
(v) sebesar 0,33.

e. Hubungan Transformasional
Arah pada regangan utama tidak dapat diketahui secara langsung, tegangan
utama harus ditentukan terlebih dahulu dari regangan yang terukur dalam beberapa
arah. Menentukan arah transformasi pada tegangan dan regangan merupakan hal yang
rumit. Namun hal tersebut dapat dibantu dengan menggunakan rumus serta diikuti
dengan perhitungan singkat dari Lingkaran Mohr.

33
Untuk transformasi regangan yang berasal dari sebuah sistem sumbu utama
pada beberapa sistem koordinat x,y yang dirotasikan oleh sudut α seperti pada Gambar
7.3, dapat dirumuskan dengan Persamaan 7.9 dan Persamaan 7.10.
𝐹 = 1{ (𝐹 +𝐹 ) + (𝐹 −𝐹 ). cos 2𝐹} (7.9)
𝐹 2 1 2 1 2

𝐹 = (𝐹1+𝐹2) − (𝐹1−𝐹 2). cos 2𝐹}


1{ (7.10)
𝐹 2

Untuk transformasi tegangan seperti pada Gambar 7.4, dapat menggunakan


rumus yang berlaku pada persamaan 7.11 dan persamaan 7.12.
1
𝐹 = {(𝐹 +𝐹 ) + (𝐹 −𝐹 ). cos 2𝐹} (7.11)
𝐹 2 1 2 1 2
1
𝐹 = {(𝐹 +𝐹 ) − (𝐹 −𝐹 ). cos 2𝐹} (7.12)
𝐹 2 1 2 1 2

f. Lingkaran Mohr
Transformasi regangan divisualisasikan melalui perubahan bentuk grafik dari
lingkaran Mohr pada Gambar 7.5. Sudut selipan (γ) terletak di atas regangan ε. Ini
terlihat selipan dan regangan berpindah pada sebuah lingkaran yang berada pada arah
transformasi. Diameter lingkaran akan berubah sesuai dengan besarnya perubahan
antara 2 regangan utama ε1,2.

Gambar 7.5 Skema Lingkaran Mohr pada Regangan [1]

Dari lingkaran Mohr regangan, regangan untuk beberapa arah sudut (α) dapat
dengan cepat diketahui. Tercantum pada sudut rotasi lingkaran Mohr yang digunakan
pada arah yang belawanan dan merangkap.Lingkaran Mohr dapat juga untuk
meletakkan tegangan normal (σ) dan tegangan geser (τ) seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 7.6.

34
Gambar 7.6 Skema Lingkaran Mohr pada Tegangan [1]

g. Menentukan regangan utama


Dalam menentukan regangan utama yang belum diketahui, dilakukan pada 3
regangan yang diukur, masing-masing dengan meletakkan strain gauge pada sudut
setiap 45o. Regangan yang akan diukur (εa, εb, dan εc) dapat dirumuskan sebagai
fungsi dari regangan utama yang belum diketahui dengan Persamaan 7.13, Persamaan
7.14, dan Persamaan 7.15.
𝐹 = 1{ (𝐹 +𝐹 ) + (𝐹 −𝐹 ). cos 2𝐹} (7.13)
𝐹 12 2 1 2

𝐹 = (𝐹1+𝐹2 ) − (𝐹1−𝐹 2). sin 2𝐹}


1{ (7.14)
𝐹 2
𝐹 = (𝐹1+𝐹2 ) − (𝐹1−𝐹 2 ). cos 2𝐹}
1{ (7.15)
𝐹 2

Kemudian berdasarkan hasil dari ketiga persamaan di atas, maka regangan


utama teoritik dan sudut utama (ε1, ε2, dan α) dapat diselesaikan dengan menggunakan
Persamaan 7.16 dan Persamaan 7.17. Setelah itu, tegangan utama yang belum
diketahui dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 7.7 dan Persamaan 7.8
berdasarkan hasil yang diperoleh dari Persamaan 7.16 dan Persamaan 7.17.

𝐹1,2 =
𝐹𝐹+𝐹𝐹
± √2 √(𝐹 − 𝐹 )2 + (𝐹 − 𝐹 )2 (7.16)
2 2 𝐹 𝐹 𝐹 𝐹
1 𝐹𝐹−2𝐹𝐹+
𝐹 = 𝐹𝐹𝐹 tan (7.17)
𝐹𝐹
2 𝐹𝐹−𝐹𝐹

εa = Regangan pada sudut 0 o

εb = Regangan pada sudut 45o


εc = Regangan pada sudut 90o

35
III. PERALATANPERCOBAAN
1. Bejana tekan
2. Amplifier
3. Strain gauge
4. Pompa hidrolik

IV. PROSEDUR PERCOBAAN


Besar tekanan izin pada alat adalah 20 bar! Jangan sampai menaikkan tekanan
melewati batas tekanan izin karena akan menimbulkan bahaya dan merusak alat
praktikum.
1. Buka software G.U.N.T pada komputer dan nyalakan multi channel amplifier.
2. Kondisikan bejana sesuai yang diinginkan apakah ujung terbuka atau tertutup sesuai
prosedur berikut :
a. Silinder terbuka:
1. Longgarkan knop pada tabung minyak hidrolik untuk menurunkan tekanan minyak
sampai manometer menunjukkan 0 bar. Menurunkan tekanan dilakukan dengan
perlahan, jangan terlalu cepat mengendurkan knop tabung minyak hidrolik.
2. Kencangkan knop pada tabung minyak hidrolik.
3. Kemudian pilih keadaan terbuka/open pada software G.U.N.T.
4. Kencangkan knop pada bejana sampai manometer menunjukkan tekanan 1 bar,
kemudian dikembalikan posisi jarum manometer menunjukkan 0 bar.
5. Lakukan tare pada software G.U.N.T untuk kalibrasi sehingga pengambilan data
dapat dilakukan dengan baik.
6. Gunakan pompa hidrolik untuk menaikkan tekanan pada minyak secara bertahap
hingga 20 bar dengan kelipatan 5 bar.
7. Catat data praktikum yang ditampilkan software G.U.N.T pada lembar data.

b. Silinder tertutup:
1. Longgarkan knop pada tabung minyak hidrolik, untuk menurunkan tekanan minyak
hingga manometer menunjukkan 0 bar. Menurunkan tekanan dilakukan dengan
perlahan, jangan terlalu cepat mengendurkan knop tabung minyak hidrolik.
2. Pilih keadaan tertutup/close pada software G.U.N.T.
3. Longgarkan knop pada bejana sampai habis, kemudian putar kembali knop bejana
dengan posisi setengah putaran.

36
4. Kencangkan knop pada tabung minyak hidrolik.
5. Lakukan tare pada software G.U.N.T untuk kalibrasi sehingga pengambilan data
dapat dilakukan dengan baik
6. Gunakan pompa hidrolik untuk menaikkan tekanan pada minyak secara bertahap
hingga 20 bar dengan kelipatan 5 bar.
7. Setelah itu catat data praktikum yang ditampilkan pada software G.U.N.T pada
lembar data.

V. DAFTAR PUSTAKA
[1] ---------. (2011). Stress and Strain Analysis On A Thin-Walled Cylinder. Gunt:
Hamburg.
[2] L,E Brownell. (1979). Process Equipment Vessel Design. Princeton, New Jersey

37
MODUL 8
UJI FATIGUE

I. TUJUAN
 Mengetahui siklus lelah pada setiap material.
 Mengetahui cara penggunaan kurva Wohler pada setiap material.
 Membandingkan sifat lelah pada setiap material.

II. TEORI DASAR


Fatigue secara terminologi adalah kelelahan, sedangkan dalam istilahnya
mempunyai arti kerusakan material yang diakibatkan oleh tegangan berfluktuasi (siklik)
yang besarnya lebih kecil dari tegangan tarik (tensile) maupun tegangan luluh (yield)
material yang diberikan beban konstan. Mekanisme patahan fatigue pada umumnya
diawali dari permukaan bahan material yang lemah, yang kemudian akan merambat ke
bagian tengah dan akhirnya bahan tersebut akan mengalami perpatahan. Perpatahan
tersebut dapat terjadi secara tiba-tiba (catastrophic) tanpa atau dengan sedikit sekali
adanya deformasi plastis.
Bentuk penampang patahan akibat pembebanan dinamik dapat diciri-cirikan
dengan adanya:
a. Retakan awal (crack initiation)
b. Daerah rambatan retak (crack growth)
c. Daerah beban yang berlebihan (overload area)
Uji fatigue terdiri dari dua langkah yaitu memulai retakan dan perambatan retakan
sampai total retak. Mayoritas umur kelelahan terjadi ketika dimulai retakan awal dan
proses perambatan retak. Contoh ini meliputi poros mesin, roda gigi, dan poros sumbu
atau batang berputar. Dalam struktur yang sedemikian, mayoritas umur kelelahan
dihabiskan dengan munculnya suatu pre-existing retakan dan kemudian retak
keseluruhan. Proses fatigue dalam hal ini diuraikan dengan kontrol propagasi.
Pada konstruksi dan elemen mesin yang menerima beban dinamik, tegangan yang
terjadi di dalamnya akan berubah-ubah. Bila besarnya tegangan yang berubah-ubah
tersebut melampaui batas lelah (fatigue life) material maka kostruksi atau elemen mesin
akan rusak pada kurun waktu tertentu. Jenis beban dinamik sinusoidal ditunjukkan pada
Gambar 8.1. sebagai berikut:

38
Gambar 8.1 Jenis Beban Dinamik: (a) Reversed stress, (b) Repeated stress, (c)
Random stress [1]

Tiga faktor utama penyebab terjadinya fatigue pada sebuah material adalah:
a. Tegangan maksimum (S) bernilai tinggi
b. Variasi tegangan
c. Siklus tegangan (N) yang besar
Selain itu juga terdapat banyak variabel lainnya seperti konsentrasi tegangan,
temperatur, pembebanan yang berlebihan, struktur metalurgi, tegangan sisa, dan tegangan
kombinasi.
Untuk mengetahui fatigue limit pada suatu jenis material dapat diketahui dengan
kurva Wohler (S-N), yaitu kurva tegangan (S) terhadap banyaknya siklus yang terjadi (N)
yang ditunjukkan pada Gambar 8.2.

39
Gambar 8.2 Gambar Kurva Wohler [1]

III. PERALATAN PERCOBAAN


1. SM 1090
2. Spesimen (baja, kuningan, aluminium)
3. Kaliper
4. Kunci pas & Kunci L
5. Bearing
6. Amplifier

IV. PROSEDUR PERCOBAAN


1. Pilih spesimen yang tidak memiliki cacat, dengan cara menggulirkan spesimen di
atas permukaan yang rata.
2. Lakukan pengukuran diameter neck atau leher spesimen dan menuliskan detail
ukuran pada tabel lembar data.
3. Geser beban ke posisi paling kiri (posisi tegangan paling rendah atau netral).
4. Matikan unit kontrol dan pindahkan safety guard dari unit utama.
5. Masukkan tommy bar ke lubang pada driveshaft untuk membantu agar driveshaft
tidak berputar ketika mengencangkan atau mengendurkan chuck. Gunakan kunci pas
untuk mengendurkan chuck.
6. Gunakan kunci L untuk melonggarkan baut kecil di atas rangkaian gimbal, perlahan
keluarkan unit dummy atau spesimen yang telah rusak jika sudah selesai melakukan
eksperimen, bersama dengan self-aligning bearing dari rangkaian gimbal.

40
7. Tekan tombol zero pada unit kontrol dan instrumentasi sambil menahan posisi
gimbal sejajar driveshaft.
8. Gunakan kunci pas untuk mengencangkan chuck dan memastikan ujung dari
spesimen berada di ujung self-aligning bearing, jika tidak jarak beban akan salah.
Kemudian kencangkan baut kecil pada gimbal untuk menahan posisi self-aligning
bearing. (jangan terlalu kencang).
9. Pastikan speed control pada unit kontrol dan instrumentasi pada posisi minimum.
10. Pasang safety guard.
11. Pindahkan beban sepanjang load arm dengan memilih beban yang sesuai dengan
material spesimen.
12. Angkat loading armsecara perlahan agar display unit kontrol menunjukkan nilai nol
kemudian menekan tombol start, lalu tingkatkan kecepatan secara perlahan hingga
cycle rate bernilai 60 Hz (+/- 1 Hz).
13. Lepaskan loading arm dan biarkan motor berputar.
14. Ketika spesimen rusak/ patah, catat cycle count.

V. DAFTAR PUSTAKA
[1] Callister, W.D., (2001). Fundamentals of Materials. John Wiley & Sons: New
York.

41
MODUL 9
WIND TUNNEL

I. TUJUAN
 Menentukan koefisien lift dan koefisien drag dari berbagai model uji.
 Mengetahui pengaruh kecepatan terhadap koefisien lift dan koefisien drag.
 Mengetahui pengaruh angle of attack terhadap koefisien lift dan koefisien drag.
 Memahami cara kerja dan penggunaan wind tunnel.

II. TEORI DASAR


Drag & Lift
Drag (gaya hambat) merupakan suatu gaya yang timbul akibat tegangan geser
fluida terhadap permukaan suatu benda yang bergerak dalam fluida [1]. Drag memiliki
arah yang berlawanan dengan arah kecepatan fluida yang melewati benda. Nilai dari
koefisien drag dari suatu benda dapat ditentukan melalui Persamaan 9.1.
𝐹 0,5
𝐹𝐹 = (9.1)
𝐹 𝐹2𝐹

Lift (gaya angkat) merupakan gaya yang dihasilkan akibat adanya perbedaan
kecepatan antara benda dengan fluida. Lift memiliki arah tegak lurus arah kecepatan
fluida yang melewati benda tersebut. Nilai dari koefisien lift dari suatu benda dapat
ditentukan melalui Persamaan 9.2.
𝐹 0,5
𝐹𝐹 = (9.2)
𝐹 𝐹2𝐹
D = Drag (N)
L = Lift (N)
CD = Koefisien drag
CL = Koefisien lift
ρ = Densitas udara (kg/m3)
V = Kecepatan aliran udara (m/s)
A = Luas frontal area (m2)

Dimana nilai A adalah:


𝐹 = 4𝐹𝐹2 (9.3)
𝐹 = 𝐹𝐹𝐹 (9.4)

42
𝐹 = 𝐹ℎ𝐹𝐹𝐹 dari 𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹
𝐹 = 𝐹𝐹𝐹𝐹 dari 𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹

Luas ini disesuaikan dengan model yang diuji, Persamaan 9.3 untuk model uji sphere dan
dimpled sphere,sedangkan Persamaan 9.4 digunakan untuk model uji airfoil

Wind Tunnel
Wind tunnel (terowongan angin) merupakan suatu perangkat eksperimen yang
digunakan untuk mempelajari fenomena aerodinamika. Klasifikasi wind tunnel menurut
kecepatannya berdasarkan bilangan Mach, M, adalah sebagai berikut [2]:
 Subsonic M ≤ 0,3
 Transonic M ≤ 1,3
 Supersonic M≤5
 Hypersonic M>5
Jenis wind tunnel yang akan digunakan dalam percobaan ini adalah AF1300
subsonic wind tunnel yang memiliki kecepatan udara maksimum sebesar 36 m/s.

Settling Contraction
Diffuser Chamber Zone

Fan

Test
Section
Gambar 9.1 Wind Tunnel AF1300 [3]
Cara kerja:
Fan akan berputar menarik udara masuk ke dalam test section melalui contraction
zone dan settling chamber, sehingga model uji dalam test section akan mengalami gaya
aerodinamika. Contraction zone memiliki bentuk menyerupai corong, fungsinya adalah
untuk meningkatkan kecepatan aliran udara yang masuk. Settling chamber dilengkapi

43
dengan struktur honeycomb yang berfungsi untuk mengurangi turbulensi aliran dan
menyeragamkannya sebelum masuk ke dalam test section.

III. PERALATAN PERCOBAAN


1. AF1300 subsonic wind tunnel
2. Model uji dengan diameter frontal area 50 mm:
a. Sphere
b. Dimpled Sphere
c. Hemisphere
d. Flat Plate
e. Streamlined shape
f. Airfoil NACA 0012

Gambar 9.2 Model Uji [3]


IV. PROSEDUR PERCOBAAN
a. Pengaruh Kecepatan
1. Tentukanlah 4 variasi kecepatan.
2. Hitung ketinggian manometer untuk setiap kecepatan yang telah dipilih pada
Langkah 1 dengan cara:

2 × ∆𝐹 × 9,81
𝐹=√
𝐹𝐹𝐹𝐹
𝐹𝐹
V = Kecepatan udara
𝐹P = Tekanan dinamik (mmH2O)
ρudara = Densitas udara
3. Ujilah 3 model uji dengan variasi kecepatan tersebut (wajib: model a (sphere) dan
model b (dimpled sphere)).
4. Ukur drag dan lift dari tiap model uji yang ditentukan, catat pada lembar data.

44
5. Ukur drag dan lift dari dummy stem, catat pada lembar data.

b. Pengaruh Angle of Attack


1. Tentukan 4 variasi angle of attack.
2. Ujilah model airfoil NACA 0012 dengan variasi angle of attack tersebut pada
kecepatan konstan (ditentukan).
3. Ukur drag dan lift dari model uji, catat pada lembar data.

V. TUGAS DAN PERTANYAAN


1. Bandingkan koefisien drag dari model uji sphere dan dimpled sphere! Jelaskan
mengapa demikian!
2. Dari percobaan, model uji manakah yang mengalami gaya hambat terbesar? Jelaskan!
3. Apakah model uji sphere menghasilkan gaya angkat? Jelaskan!
4. Pada α berapakah CL bernilai maksimum? Apakah yang terjadi setelah CL maksimum
suatu airfoil tercapai? Jelaskan!

VI. DAFTAR PUSTAKA


[1] Mises, R., (1959). Theory of Flight. Dover Publication: New York.
[2] [7] Discetti, S., Ianiro, A., (2017). Experimental Aerodynamics. CRC Press:
Florida.
[3] , (2011). Three Dimensional Drag Models. TecQuipment: Nottingham.

45

Anda mungkin juga menyukai