Pengantar Fisika Kuantum Sutopopdfpdf PDF
Pengantar Fisika Kuantum Sutopopdfpdf PDF
FISIKA KUANTUM
Oleh
SUTOPO
JURUSAN FISIKA FMIPA UM
PRAKATA
Buku ini utamanya disusun sebagai bahan ajar perkuliahan Pengantar Fisi-
ka Kuantum di program studi Fisika atau Pendidikan Fisika jenjang S-1,
dengan bobot 3 sks. Selain sebagai bahan ajar, buku ini juga dimaksudkan
untuk membantu para pemula yang ingin memahami struktur fisika kuan-
tum secara umum, mulai dari latar belakang sejarah, pokok-pokok metodo-
logi, sampai contoh-contoh aplikasinya.
Atas dasar pemikiran itu maka buku ini disusun untuk memberi ja-
waban yang memadai atas 3 pertanyaan pokok berikut. (1) Mengapa Fisika
Kuantum harus ada? (2) Bagaimana metodologi Fisika Kuantum? dan (3)
Bagaimana metodologi itu diterapkan untuk menganalisis suatu gejala fi-
sika tertentu?
Naskah buku ini mulai disiapkan sejak tahun 1998, dalam bentuk dik-
tat kuliah pada program studi Pendidikan Fisika UM (Universitas Negeri
Malang). Dalam kurun waktu yang cukup panjang itu isi naskah beserta
struktur penyajiannya terus diperbaiki berdasarkan hasil implementasinya
di setiap perkuliahan. Namun demikian penulis masih sangat memerlukan
kritik dan saran dari pembaca, khususnya para dosen Fisika Kuantum di
tanah air. Semoga buku ini bermanfaat.
Untuk dapat memahami dengan baik uraian dalam naskah ini, pem-
baca diharapkan telah memiliki keterampilan matematika yang memadai,
utamanya yang berkitan dengan bilangan kompleks, kalkulus diferensial
dan integral, transformasi Fourier, polinomial Hermite, Polinom Legendre,
dan persamaan diferensial. Selain perangkat matematika tersebut, pembaca
diharapkan juga telah familier dengan beberapa konsep dasar dalam fisika
modern, misalnya: efek fotolistrik, efek compton, pembentukan sinar-X,
dan Asas Ketakpastian Heisenberg. Pemahaman tentang teori gelombang
elektromagnetik (teori Maxwell) juga diperlukan, utamanya untuk mema-
hami uraian dalam Bab 1.
Keseluruhan naskah dalam buku ini dapat dikelompokkan atas 3
bagian pokok, yaitu latar belakang lahirnya fisika kuantum (Bab 1 sampai
Bab 3), pokok-pokok metodologi fisika kuantum (Bab 4 dan Bab 5), dan
contoh aplikasi metodologi untuk kasus-kasus sederhana (Bab 6, Bab 7, dan
Bab 8).
Bagian Latar Belakang menguraikan beberapa eksperimen penting
yang mengantarkan lahirnya fisika kuantum, yaitu Radiasi Benda-Hitam
(Bab 1) dan Efek Fotolistrik (Bab 2), serta Hipotesis de Broglie (Bab 3). Pada
Bab 1 diuraikan tentang: data eksperimen radiasi benda-hitam, penjelasan
klasik dan kegagalannya, serta postulat Planck dan implikasinya. Pada Bab
2 diuraikan: data eksperimen tentang efek fotolistrik, penjelasan klasik dan
kegagalannya, serta postulat Einstein dan implikasinya (yaitu adanya sifat
ganda yang dimiliki radiasi elektromagnetik). Pada Bab 3 diuraikan: hipo-
tesis de Broglie (makna dan implikasinya), sifat-sifat gelombang materi,
wujud gelombang materi, penafsiran Born tentang gelombang materi, dan
pendeduksian asas ketakpastian Heisenberg berdasar penafsiran Born.
Melalui uraian dalam ketiga bab itu diharapkan pembaca tidak saja
memahami mengapa orang perlu membangun teori baru yang kini dikenal
sebagai Fisika Kuantum, atau Mekanika Kuantum, tetapi juga dapat mema-
hami konsep dualisme gelombang-partikel beserta implikasi teoretiknya,
serta perlunya merombak konsep energi (dari bernilai konstinu ke diskret).
Penjabaran asas ketakpastian Heisenberg di akhir Bab 3 dimaksudkan agar
pembaca segera mendapatkan “bukti” teoretik bahwa hipotesis de Broglie
cocok dengan teori yang sudah dikenal pembaca sejak di SLTA, yaitu asas
Ketakpastian Heisenberg.
Bagian kedua menyajikan postulat-postulat yang dipakai sebagai dasar
metodologi fisika kuantum. Bagian ini terdiri atas 2 bab, yaitu Bab 4 dan
Bab 5. Pada Bab 4 diuraikan metodologi dalam hal: pendeskripsian keada-
an sistem, pendeskripsian besaran fisika (operator), dan pendeskipsian pe-
ngukuran (proses, hasil, dan dampaknya pada keadaan sistem). Pada akhir
bab itu dibahas pula penerapan postulat pengukuran untuk mendeduksi
asas ketakpastian Heisenberg. Penjabaran asas ketakpastian Heisenberg di-
ketengahkan kembali untuk memberikan “bukti” teoretis kepada pembaca
akan kekonsistenan postulat-postulat yang telah dikemukakan.
Pada Bab 5 dibahas metode untuk mendapatkan fungsi gelombang
atau untuk menjelaskan bagaimana keadaan sistem berubah terhadap wak-
tu. Perangkat utama untuk itu adalah persamaan Schrödinger. Bagaimana
persamaan tersebut dijabarkan dan seperti apa karakteristiknya diuraikan
secara rinci pada Bab 5 ini.
Pada Bab 5 juga dibahas penerapan persamaan Schrödinger untuk me-
nelaah bagaimana nilai harap suatu besaran fisika berubah terhadap wak-
tu. Contoh besaran yang dibahas dipilih sedemikian rupa hasilnya dapat
dibandingkan dengan rumusan serupa yang ada di Fisika Klasik. Dengan
cara ini diharapkan pembaca segera mendapatkan “bukti” teoretis bahwa
Prakata
vi Prakata
disajikan garis besar isi yang dibahas dalam bab tersebut. Hal ini dimak-
sudkan agar pembaca segera mengetahui apa isi bahasan dalam bab itu.
Setelah bagian “pendahuluan” tersebut, diuraikan secara rinci semua sub
bahasan yang terkandung dalam bab itu. Sebelum perlatihan, pada setiap
bab disajikan rangkuman yang dimaksudkan untuk memudahkan pem-
baca menangkap inti dari uraian yang ada di setiap sub bahasan. Di akhir
bab disajikan perlatihan yang dikemas dalam dua kelompok pertanyaan,
yaitu pertanyaan konsep dan pertanyaan analisis. Butir-butir pertanyaan
pada bagian “pertanyaan konsep” tidak semata-mata dimaksudkan untuk
mengukur tingkat pemahaman pembaca terhadap isi naskah, melainkan
juga untuk merangsang pembaca memikirkan hal-hal lain yang terkait de-
ngan pokok bahasan dalam naskah. Dengan demikian diharapkan pem-
baca dapat menjalin semua pengetahuan yang dimiliki menjadi struktur
kognitif baru yang lebih kompleks dan bermakna. Di pihak lain, butir-butir
pertanyaan dalam bagian “pertanyaan analitis” utamanya dimaksudkan
untuk memandu pembaca memahami uraian naskah secara lebih cermat
dan mendalam, termasuk detail matematis yang digunakan dalam naskah.
Lingkup bahasan yang tercakup dalam naskah ini memang masih
terlalu sempit dibandingkan dengan khasanah fisika kuantum yang begitu
luas. Namun demikian saya berharap agar buku ini merupakan pintu ma-
suk yang tepat untuk mempelajari fisika kuantum. Untuk itu kritik dan
saran sangat kami harapkan, utamanya dari para dosen dan mahasiswa,
demi perbaikan untuk edisi berikutnya.
Buku ini juga menyajikan glosarium yang dimaksudkan untuk mem-
bantu pembaca memahami makna suatu konsep atau istilah penting yang
dibicarakan dalam naskah. Kata-kata kunci dalam glossarium disusun se-
cara alfabetik untuk memudahkan pencarian secara cepat. Glossarium
disajikan setelah Bab 8.
Untuk membantu pembaca menemukan kata-kata kunci yang dipakai
dalam naskah juga disediakan indeks yang ditempatkan di bagian akhir
buku ini. Untuk menemukan penjelasan tentang suatu konsep dari buku
ini, disarankan untuk memadukan informasi dalam Indeks dan Daftar Isi
secara bersamaan.
Agar dapat memahami uraian dalam naskah ini secara baik, ikutilah
saran seperti disajikan dalam gambar berikut.
Baca Rangkuman
Baca Rangkuman
UCAPAN TERIMAKASIH
Prakata
viii Ucapan terimakasih
sungguh sangat bermanfaat, baik dari segi subtansi isi maupun tata tulis.
Terimakasih juga saya sampaikan kepada guru saya Drs. Abdul Aziz, M.S
(Fisika UNESA Surabaya) atas kesediaanya mereview draft buku ini dan
memberikan motivasi kepada saya untuk menyempurnakan naskah buku
ini. Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada saudara Ahmad
Wafir, mantan mahasiswa saya, yang telah memberikan kritik dan koreksi
secara berani, jujur, dan lugas atas naskah awal buku ini. Kritik dan
sarannya telah memaksa saya untuk menyederhanakan cara penyajian dan
menambah penjelasan yang lebih rinci agar naskah ini dapat dipahami oleh
mahasiswa. Kepada yth Drs. Supahar, M.Si, (Fisika UNY Jogyakarta), saya
haturkan beribu terimakasih atas kejeliannya dalam mencermati huruf
demi huruf serta kata demi kata meliputi keseluruhan halaman dalam draf
naskah ini. Atas kejelian beliau inilah saya sangat terbantu dalam me-
ngupayakan keajegan menggunakan istilah dan ketelitian dalam menggu-
nakan lambang-lambang. Kepada yth. Drs. Parlindungan Sinaga, M.Si (Ju-
rusan Fisika UPI Bandung) dan Dr. Muhammad Nurhuda (Fisika Unibraw
Malang) juga saya sampaikan beribu terimakasih atas kesediaannya melu-
angkan waktu untuk mereview buku ini.
Penyempurnaan akhir naskah ini didasarkan pada hasil ujicoba di UM,
UNY, dan UPI. Dalam hal ujicoba ini saya menyampaikan terimakasih
yang dalam kepada yth. Bapak Drs. Supardi, M.Si (Fisika UNY) dan Bapak
Drs. Yayu Rachmat T, M.Si (Fisika UPI) yang telah bersedia mengujico-
bakan naskah awal buku ini di kelas perkuliahan sekaligus memberikan
masukan-masukan yang sangat bermanfaat baik yang didasarkan atas hasil
ujicoba maupun atas temuan pribadi. Ucapan terimakasih juga saya sam-
paikan kepada Bapak Drs. Yudyanto, M.Si (Fisika UM) yang telah bersedia
mengawal revisi akhir naskah ini. Mudah-mudahan amalan beliau-beliau
dicatat oleh Allah yang Maha Bijak menjadi amalan sholeh.
Ucapan terimakasih juga saya haturkan kepada Dekan FMIPA UM
atas kesediaannya menyertakan draf awal buku ini sebagai salah satu draf
buku yang perlu direview oleh dosen-dosen dari UPI dan UNJ dalam rang-
ka kerjasama JICA-IMSTEP. Kepada Direktor Pembinaan Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat, Ditjen Dikti, juga penulis sampaikan teri-
makasih atas fasilitas yang diberikan sehingga penulis mendapatkan tam-
bahan motivasi untuk menyempurnakan draf buku ini.
Prakata iii
Ucapan Terimakasih vii
Daftar Isi ix
Penjelasan lambang matematika xiii
Daftar isi
xii Daftar isi
Rangkumam 205
Perlatihan 207
= “sama dengan”
Menyatakan kesamaan (makna atau nilai) antara pernyataan
di sebelah kiri lambang dengan pernyataan di sebelah kanan
lambang.
Contoh:
F = ma, menyatakan ungkapan “besar dan arah gaya F sama
dengan besar dan arah ma ”
Penjelasan lambang
BAB 1
RADIASI BENDA-HITAM
jutnya lepas ke luar rongga melewati lubang. Karena lubang telah berperi-
laku sebagai benda-hitam, maka radiasi yang melewatinya dapat diguna-
kan sebagai sampel (contoh) radiasi benda-hitam yang ideal. Lebih lanjut,
karena lubang tidak lain merupakan bagian dari rongga, maka radiasi
yang keluar dari lubang tadi juga mewakili radiasi rongga (cavity radiation)
secara keseluruhan.
Ada 3 hal penting yang akan kita bicarakan tentang data eksperimen
radiasi benda-hitam, yaitu: distribusi radiansi spektral (spectral radiancy dis-
tribution), Hukum Pergeseran Wien, dan Hukum Stefan-Boltzmann.
T5
T4
T3
T2
T1
Gambar 1.2 Distribusi spektral radiansi benda-hitam pada temperatur
T5 > T4 > T3 > T2 > T1 . Beda antara dua temperatur yang
berdekatan adalah tetap
RT ( ) c ρT ( ) ,
4
dengan c menyatakan laju cahaya dalam vakum.
Untuk menjelaskan secara teoretis ketiga data eksperimen sebagaima-
na disebutkan di depan, langkah yang paling strategis adalah menja-
barkan rumusan distribusi rapat energi spektral T ( ) . Hal ini disebabkan
karena dua data yang lain, yaitu hukum Wien dan hukum Stefan-
Boltzmann, dapat dijabarkan dari ( ) . Oleh karena itu, kita fokuskan
T
perhatian kita pada penjabaran T ( ) tersebut.
Terjadinya radiasi di dalam rongga dijelaskan sebagai berikut. Kita
asumsikan dinding rongga berupa konduktor. Maka, jika dipanaskan,
elektron-elektron pada dinding rongga akan tereksitasi secara termal se-
hingga berosilasi. Berdasarkan teori Maxwell, osilasi elektron ini meng-
hasilkan radiasi elektromagnet. Radiasi ini akan terkungkung di dalam
rongga dalam bentuk gelombang-gelombang tegak (standing wave). Karena
dinding rongga berupa konduktor maka di dinding rongga terjadi simpul-
simpul gelombang. Uraian lebih rinci tentang terjadinya gelombang tegak
ini disajikan pada bagian tersendiri (lihat bagian 1.5).
Terdapat tak berhingga banyak ragam gelombang tegak (masing-ma-
sing ditandai dengan frekuensi atau panjang gelombangnya) di dalam
rongga. Namun demikian, cacah ragam yang memiliki frekuensi dalam
rentang d tentu jumlahnya terbatas. Untuk memudahkan pembahasan,
penghitungan cacah ragam disajikan pada bagian tersendiri (lihat bagian
1.6). Berikut disajikan hasilnya saja.
Cacah ragam gelombang tegak (di dalam rongga) yang memiliki fre-
kuensi dari sampai d , dilambangi N ( ) d adalah
8πV 2
N (ν)dν ν dν , (1. 3)
c3
dengan V menyatakan volume rongga. Untuk setiap ragam gelombang,
terdapat tak berhingga banyak gelombang yang seragam, dengan energi
yang mungkin berbeda-beda bergantung pada amplitudo medannya.
Gambar 1.3 Kecocokan teori Rayleigh-Jeans dengan data eks-
perimen hanya pada frekuensi rendah
dengan h tetapan Planck yang nilainya sebesar 6,6310 J.s. Subtitusi Per-
samaan (1.6) dan (1.3) ke dalam (1.4) menghasilkan
8 ν 2 hν
ρ T ( ) dν dν . (1.7)
3 exp (h/k BT ) 1
c
Hasil penjabaran Planck ini cocok dengan data eksperimen.
Berikut akan diuraikan secara singkat bagaimana Rayleigh-Jeans dan
Planck menghitung nilai energi rata-rata tiap ragam tersebut.
d / kBT
e d
dT 0
k BT 2
. (1. 9)
/k T
e B d
0
Selanjutnya, karena e / k BT d k BT maka Persamaan (1.9) dapat diu-
0
bah menjadi
d
( k BT )
2 dT k2T2
k BT B k BT . (1. 10)
k BT k BT
Begitulah proses penghitungan energi rata-rata tiap ragam menurut teori
Rayleigh dan Jeans.
Sebagaimana telah dinyatakan di depan, hasil perhitungan ini menye-
babkan rumusan distribusi rapat energi spektral yang dihasilkan tidak co-
cok dengan eksperimen; khususnya pada frekuensi tinggi (daerah ultra
violet). Perlu dicatat bahwa langkah-langkah yang dilakukan Rayleigh dan
Jeans sepenuhnya tidak bertentangan dengan teori yang ada saat itu. Oleh
karena itu, kegagalan Rayleigh-Jeans sekaligus merupakan kegagalan fisi-
ka yang telah dikembangkan sampai saat itu. Peristiwa itu, dalam sejarah
fisika, dikenal sebagai bencana ultraviolet.
e n 1 e e 2 e 3 e 4 .
n
1
dan 1 e e 2 e 3 e 4 .
1 e
diperoleh hubungan
n 1
e (1. 14)
n 1 e
d d 1 e
d
e n
d
1 e
( 1 e )2
. (1. 15)
n
Subtitusi Persamaan (1.15) dan (1.14) ke dalam Persamaan (1.13) diperoleh
kB T
. (1. 16)
e - 1
Karena = hv/kBT, maka
h
. (1. 17)
hν / kBT
e 1
Begitulah cara Planck merumuskan energi rata-rata tiap ragam gelombang
tegak dalam rongga yang bertemperatur T.
Apakah rumusan tadi telah memenuhi harapan Planck, yaitu: pada
frekuensi rendah bernilai kBT dan pada frekuensi tinggi bernilai nol? Perta-
nyaan itu dapat dijawab dengan mengamati nilai limit pada
dan pada 0. Kedua nilai limit tersebut dapat dihitung dengan kaidah
L’Hospital sebagai berikut.
h h
lim lim lim k BT
hν / k BT
ν0 ν0 e 1 ν 0 h/k BT e hν / k BT
dan
h h k BT
lim lim lim 0.
hν / kBT hν / kBT
ν ν e 1 ν h /k BT e
Jelaslah bahwa rumusan nilai energi rata-rata tiap ragam gelombang tadi
telah memenuhi harapan Planck, yaitu: pada frekuensi rendah bernilai kBT
dan pada frekuensi tinggi bernilai nol.
Akhirnya, dengan memasukkan Persamaan (1.17) ke dalam Persama-
an (1.4) diperoleh rapat energi persatuan volume rongga pada temperatur
T yang dihasilkan oleh ragam gelombang yang berfrekuensi antara dan
dv sebagai berikut.
8π hν
ρ T ν dν ν2 dν . (1. 18)
3 hν / k BT
c e 1
maks
6 h
5 h
4 h Gambar 1. 4 Diagram tingkat energi entitas
fisis yang tunduk pada postu-
3 h lat Planck. Kiri: deskripsi fisi-
2 h ka klasik: terdistribusi secara
kontinu. Kanan: menurut pos-
h tulat Planck: terdistribusi se-
0 0 cara diskret.
Pada gambar tadi, setiap energi yang mungkin dimiliki entitas dilukis-
kan sebagai garis-garis mendatar. Jarak antara suatu garis tertentu terha-
dap garis energi nol sebanding dengan energi total entitas pada keadaan
itu. Menurut fisika klasik, entitas tadi dapat memiliki sebarang energi se-
hingga diagram tingkat energinya terdiri atas sederetan garis yang saling
berimpit (berupa spektrum kontinu). Sebaliknya, berdasarkan postulat
Planck, energi total entitas tersebut harus merupakan salah satu dari 0, h ,
2h, 3h, dst. Hal ini ditunjukkan oleh himpunan garis-garis diskret dalam
diagram tingkat energi. Energi entitas yang tunduk pada postulat Planck
dikatakan terkuantumkan. Keadaan di mana entitas memiliki energi
tertentu yang diijinkan disebut keadaan kuantum, dan bilangan bulat n
disebut bilangan kuantum.
Pertanyaan logis yang segera timbul adalah bagaimana kita menjelas-
kan gejala sehari-hari yang menunjukkan bahwa energi osilator harmonis
dapat bernilai sebarang? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita
terapkan postulat Planck pada entitas fisis yang sudah dirumuskan secara
baik oleh fisika klasik. Sebagai contoh, kita ambil gerak osilasi teredam
lemah pada bandul sederhana.
Analisis
1 g 1 9,8
Frekuensi bandul () = = 1,6 Hz.
2 2 0,1
Simpangan bandul berubah terhadap waktu secara:
(t) = 0 e t cos (2t), dengan
menyatakan tetapan redaman.
h
Karena bandul mengalami redaman, maka energi total bandul
tidak kekal, melainkan berubah terhadap waktu dari nilai mak-
simum sampai nol.
Energi maksimum bandul sama dengan energi potensial mula-
mula, yaitu mg (1 cos 0 ) 5 10 6 J .
Menurut fisika klasik, energi bandul akan terus berkurang secara
kontinu seiring dengan berkurangnya amplitudo osilasi.
Analisis berdasarkan postulat Planck dapat diuraikan sebagai
berikut. Energi yang mungkin dimiliki bandul adalah sederetan
nilai dari nol sampai 510 J yang secara berurutan berbeda sebe-
sar h = 6,63410 J.s 1,6 s1 10 J. Jika dibandingkan
dengan energi maksimum bandul diperoleh nilai / 10 . Ber-
arti untuk mengamati terjadinya pengkuantuman energi itu kita
harus mampu mengukur energi sampai ketelitian 10 . Tampak-
nya hal ini tidak mungkin kita lakukan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa penerapan postulat Planck pada
1 2 E( r , t )
2 E( r , t ) 0, (1. 21)
c 2 t 2
O L
Y
yaitu merupakan perkalian fungsi letak E(r) dengan fungsi waktu e -it .
Untuk memaksa Persamaan (1.23) sebagai penyelesaian Persamaan (1.21),
2E 2 2Ey 2 2E 2
i x
E x j E y k z
E z 0 , (1. 25)
x 2 c2 2
c2 z 2 c2
y
dengan i , j , dan k berturutan menyatakan vektor satuan pada arah sum-
bu X, Y, dan Z; dan Ex, Ey, dan Ez berturutan menyatakan besarnya kom-
ponen medan E pada arah sumbu X, Y, dan Z. Perlu dicatat bahwa ketiga
komponen ini pada umumnya merupakan fungsi x, y, dan z.
Persamaan (1.25) menunjukkan bahwa ruas kiri persamaan itu meru-
pakan suatu vektor yang nilai (modulus)-nya nol. Karena vektor nol harus
memiliki komponen nol, maka semua faktor yang ditulis dalam tanda ku-
rung tersebut harus bernilai nol. Dengan demikian, Persamaan (1.25)
dapat dinyatakan sebagai sistem persamaan
2 Ex 2
Ex 0 , (1. 26a)
x 2 c2
2 Ey 2
Ey 0 , (1.26b)
y 2 c2
2 Ez 2
Ez 0 . (1.26c)
z 2 c2
Ketiga persamaan tersebut memiliki bentuk yang sama sehingga ben-
tuk penyelesaian umumnya juga sama. Oleh karena itu, untuk
menghemat ruang, cukup salah satu yang kita selesaikan secara rinci.
Misal, kita ambil untuk Ex. Penyelesaian untuk Ex(x,y,z) dapat dinyatakan
sebagai perkalian fungsi F(x), G(y), dan H(z), yaitu:
1 d 2 F 1 d 2G 1 d 2 H
k 2 , (1.28)
F dx 2 G dy 2 H dz 2
dengan k ( /c).
Setiap suku di ruas kiri Persamaan (1.28) merupakan fungsi satu vari-
abel, dan variabel tersebut berbeda untuk suku yang berbeda. Ini
membawa konsekuensi bahwa agar Persamaan (1.28) tersebut berlaku
untuk semua x, y, dan z, maka masing-masing suku harus merupakan
konstanta yang jika dijumlahkan harus menghasilkan –k. Selanjutnya
masing-masing konstanta itu secara berturutan kita lambangi: kx , ky,
dan kz. Dengan demikian, Persamaan (1.28) kita urai lagi menjadi sistem
persamaan:
d 2F
k x2 F (1.29a)
dx 2
d 2G
k 2y G (1.29.b)
2
dy
d 2H
k z2 H (1.29.c)
dz 2
dengan kx + ky + kz = k2. Penyelesaian umum ketiga persamaan itu meru-
pakan kombinasi linear dari fungsi sinus dan cosinus. Sebagai contoh, F(x)
merupakan kombinasi linear sin(kxx) dan cos(kxx).
Berdasarkan syarat batas sebagaimana diuraikan di depan, Ex harus
bernilai nol di y = 0 dan y = L, serta di z = 0 dan z = L. Jadi sistem Persama-
an (1.29) harus memenuhi syarat batas: G(0) = G(L) = 0, dan H(0) = H(L) =
0. Dengan syarat batas seperti itu maka penyelesaian Persamaan (1.29b)
adalah:
G(y) = sin (ky y), dengan ky = m/L ; m = 0, 1, 2, … (1.30)
Ruas kiri Persamaan (1.37) dijamin nol untuk semua x, y, dan z jika:
A2kx + B2 ky + C2 kz = 0 dan A1 = B1 = C1 = 0. Selanjutnya, tetapan yang tidak
nol, yaitu A2, B2, dan C2, agar tampak jelas arti fisisnya, masing-masing
dilambangi E0x, E0y, dan E0z. Subtitusi nilai semua tetapan itu ke dalam
Persamaan (1.33) sampai (1.35) diperoleh penyelesaian akhir untuk
masing-masing komponen medan listrik di dalam rongga sebagai berikut.
Ex(x,y,z) = Eox cos(kx x) sin(ky y) sin (kz z) ,
Ey(x,y,z) = Eoy sin (kx x) cos(ky y) sin(kz z) , (1.38)
Ez(x,y,z) = Eoz sin (kx x) sin(ky y) cos(kz z) ,
dengan
kx = /L , = 0, 1, 2 ……
ky = m/L , m = 0, 1, 2 …… (1.39)
kz = n /L , n = 0, 1, 2 ……
Selanjutnya, persyaratan A2kx + B2ky + C2kz = 0 dapat diungkapkan
sebagai berikut.
E0x kx + E0y ky + E0z kz = 0, (1.40 )
atau
E0(r).k = 0 (1.41)
Pada bagian ini diuraikan salah satu cara untuk menghitung cacah ra-
gam gelombang di dalam rongga yang memiliki frekuensi dalam interval
d di sekitar tertentu (frekuensinya bernilai dari sampai d ). Dari
Persamaan (1.39) dapat disimpulkan bahwa ragam gelombang tegak yang
diizinkan di dalam rongga harus memiliki vektor gelombang yang nilai
(modulus)-nya sebesar
k mn 2 m2 n2 . (1.42)
L
.
m
Gambar 1.7 Gambaran kisi dua dimensi yang
dibentuk oleh ujung-ujung “vek-
tor ”. Segi empat kecil menun-
jukkan sel satuan. Jarak antar-
+ d
nilai dan m adalah (c/2L), se-
hingga luas sel satuan itu adalah
(c/2L) 2.
Untuk memahami prosedur ini, marilah kita terapkan dulu pada ka-
sus dua dimensi. Dalam gambaran 2 dimensi, ujung-ujung “vektor ”
membentuk kisi 2 dimensi seperti ditunjukkan pada Gambar 1.7
Jika kita abaikan arah polarisasinya, cacah ragam gelombang yang
berfrekuensi dari sampai d sama dengan cacah titik kisi dalam
luasan yang dibatasi oleh dua lingkaran yang masing-masing berjejari
dan d .
Cacah titik kisi dalam lingkaran yang berjari-jari adalah
1
πν 2
π ν 2 L2
N
luasan lingkaran dalam kuadran pertama
4 .
(1.45)
luas sel satuan 2 2
c /( 4 L ) c2
Perhatikan bahwa kita hanya mengambil luasan dalam kuadran pertama
karena nilai dan m semuanya positif.
Jika Persamaan (1.45) kita derivatifkan ke maka diperoleh
dN ( ν ) 2 πν L2
N ( ν ) dν dν dν . (1.46)
dν c2
Persamaan (1.46) menyatakan cacah ragam gelombang yang berfre-
kuensi antara sampai d tanpa memperhatikan polarisasinya. Cacah
ragam selengkapnya, yaitu setelah memperhatikan polarisasinya, adalah
dua kali nilai itu.
Sekarang kita gunakan prosedur tadi untuk tiga dimensi. Dalam gam-
baran 3 dimensi, sel satuan berbentuk kubus dengan rusuk c/2L sehingga
c3 c3
volume sel satuan dalam kisi ini sebesar 2 L 3 8 V , dengan V menyata-
kan volume rongga.
Cacah ragam gelombang tegak yang berfrekuensi kurang dari sama
dengan cacah titik kisi dalam oktan pertama volume bola yang jari-jarinya
. Batasan pada oktan pertama berasal dari kenyataan bahwa nilai ,m,
dan n harus merupakan bilangan positif atau nol. Cacah titik kisi ini
sebesar
volume bola pada oktan pertama
N .
volume sel satuan
Karena volume oktan pertama adalah (1/8)(4/3)3, dan volume sel satuan
sebesar c3/(8V) maka
1 4
8 3
πν 3 π ν3 V
N 43 . (1.47)
3
c / 8V c3
Jika Persamaan (1.47) diderivatifkan ke diperoleh cacah ragam ge-
lombang tegak yang berfrekuensi antara dan d tanpa memperhati-
kan polarisasinya, yaitu
dN 4π 2 V
N (v )dν dν dν . (1.48)
dν c3
Cacah total ragam gelombang yang telah dibedakan pula arah pola-
risasinya adalah dua kali dari yang dinyatakan pada Persamaan (1.48),
yaitu
8π ν 2 V
N (v )dv 2 N (v )dv dν . (1.49)
c3
Demikianlah salah satu cara untuk menghitung cacah ragam gelom-
bang tegak yang berfrekuensi antara dan d dalam suatu rongga
yang volumenya V. Meskipun penjabaran tadi didasarkan asumsi bahwa
rongga berbentuk kubus, hasilnya tidak memuat informasi tentang bentuk
geometris rongga. Dengan demikian rumusan yang diperoleh tadi berlaku
untuk semua bentuk rongga.
RANGKUMAN
8 πV 2
N ( )dν ν dν .
c3
Menghitung energi rata-rata tiap ragam gelombang tegak. Hasil
yang didapat ternyata bergantung pada faham kita tentang energi.
Pandangan klasik yang menyatakan bahwa energi bersifat malar,
seperti yang dipakai oleh Rayleigh-Jeans, menghasilkan nilai
= kBT, (Teori Rayleigh-Jeans)
8 k BT
ρ T ( ) dν ν 2 dν , (Teori Rayleigh-Jeans).
3
c
Hasil perhitungan Planck adalah:
8π hν
ρ T ( ) d ν2 dν , (Teori Planck)
3 exp ( hν / k BT ) 1
c
PERLATIHAN
Pertanyaan Konsep
14. Pada saat-saat awal diberi catudaya, elemen sterika listrik tidak ber-
pijar meskipun terasa sekali ia memancarkan panas ke sekitarnya. Me-
ngapa hanya panas yang pertama-tama dipancarkan? Mengapa setelah
beberapa saat elemen tersebut berpijar? Mengapa warna pijarannya
berubah dari merah ke kuning?
15. Pengontrolan temperatur tungku suhu tinggi biasanya menggunakan
sensor cahaya (warna). Bagaimana warna dapat digunakan sebagai
indikator temperatur?
Pertanyaan Analisis
1. Pada frekuensi rendah, rumusan energi rata-rata yang dihasilkan
Planck sama dengan yang dihasilkan Rayleigh-Jeans. Berikan kriteria
rendah tersebut. (Petunjuk: ekspansikan exp(h/kBT) dalam deret pang-
kat dari (h/kBT), kemudian dalam kondisi bagaimana Anda dapat
mendekati nilai energi rata-rata menurut teori Planck sebesar kBT?).
2. Ujilah kebenaran jawaban Anda tersebut secara numerik dengan me-
ngisi tabel berikut. Andaikan temperatur rongga 1000 K. Pada kolom
keempat, isikan apakah energi rata-rata tiap ragam (kolom 2) lebih
dari, hampir sama, kurang dari, atau sangat kecil dibandingkan nilai
kBT (kolom 3).
Frekuensi ragam Energi rata-rata kBT Keterangan
10 6 Hz ................ 1,3810 J
10 8 Hz ................ 1,3810 J
10 10 Hz ................ 1,3810 J
10 11 Hz ................ 1,3810 20 J
10 12 Hz ................ 1,3810 20 J
10 13 Hz ................ 1,3810 20 J
10 14 Hz ................ 1,3810 J
210 14 Hz ................ 1,3810 J
310 14 Hz ................ 1,3810 J
410 14 Hz ................ 1,3810 J
510 14 Hz ................
1,3810 J
610 14 Hz ................
1,3810 20 J
710 14 Hz ................
1,3810 20 J
810 14 Hz ................
1,3810 J
910 14 Hz ................
................ 1,3810 20 J
10 15 Hz 1,3810 J
10 16 Hz ................
1,3810 J
0 3
π ν0 V
4
13. Tunjukkan bahwa N ( ) d 3
. Dengan kata lain, buktikan
0 c3
kebenaran argumen yang menghubungkan Persamaan (1.47) dan
(1.48)
c
14. Berdasarkan hubungan RT ( ) ρT ( ) , tunjukkan bahwa penurunan
4
nilai maks dapat diperoleh baik dari RT ( ) maupun ρT ( ) (artinya,
fungsi distribusi manapun yang kita pakai hasilnya sama).
8 πV 2
15. Secara matematika, persamaan N ( )dν ν dν identik dengan per-
c3
8 πV
samaan N ( ) 3 ν 2 . Apakah arti fisik persamaan terakhir ini? Apa-
c
kah ia menyatakan cacah ragam gelombang yang berfrekuensi ?
[Petunjuk: (1) ingat besaran atau faktor yang digunakan untuk mem-
bedakan suatu ragam dengan ragam lainnya, (2) bandingkan persa-
maan terakhir itu dengan Persamaan (1.47)]
16.
A K
Aksi ................................... 10, 12 Kuantum
bilangan................................ 13
B keadaan ................................ 13
bencana ultraviolet ..................... 9
M
Bencana ultraviolet..................... 9
Benda-hitam Maxwell ............................. 5, 6, 8
contoh terbaik ........................ 2
definisi ................................... 2 P
grafik spektrum .............. 3, 4, 5 pengkuantuman energi... 1, 12, 14,
spektrum ............. 3, 4, 5, 25, 28 26
Boltzmann Planck
tetapan ............................... 7 pengkuantuman energi1, 12, 14,
statistika ............................. 8 26
fungsi distribusi .................. 8 postulat
fungsi distribusi ...................... 8 entitas fisis yang tunduk pada
statistika ................................. 8 ..................................... 13
tetapan ................................... 7 kesepadanan klasik ........... 15
postulat ........... 9, 13, 14, 26, 28
G
postulat, entitas fisis yang
Gelombang tegak ... 6, 7, 8, 11, 12, tunduk pada...................... 13
15, 20, 21, 22, 23, 24, 25 postulat, kesepadanan klasik . 15
cacah ragam teori radiasi benda-hitam... 9, 12
penghitungan .................... 20 tetapan .............. 1, 8, 12, 24, 25
cacah ragam,penghitungan.... 20 Polarisasi.................................. 20
energi rata-rata tiap ragam. 6, 8,
9, 11, 24, 27 R
teori Planck ........................ 7 radiansi spektral ............... 3, 6, 23
energi rata-rata tiap ragam, Radiansi spektral .............. 3, 6, 23
teori Planck ........................ 7 benda-hitam........................ 3, 5
energi tiap ragam definisi.................. 3, 4, 5, 6, 23
teori Planck ........................ 9 radiasi rongga....................... 3, 24
energi tiap ragam, teori Planck 9 Radiasi rongga ................. 3, 5, 24
ragam gelombang ................... 6 Radiasi termal
benda-hitam............................ 2
definisi ................................... 1
spektrum ................................ 2
Rapat energi spektral
definisi ........................... 5, 6, 9
hubungannya dgn radiansi
spektral .............................. 6
teori Rayleigh-Jeans ............... 7
Rayleigh-Jeans, teori
kegagalan ............................... 9
radiasi benda-hitam............. 7, 8
S
Stefan-Boltzmann............. 3, 5, 12
hukum.................................... 5
W
Wien
hukum pergeseran ...3, 4, 12, 27
tetapan ................................... 4
EFEK FOTOLISTRIK
Efek fotolistrik adalah gejala terlepasnya elektron pada logam akibat disinari
cahaya. Ditinjau dari perspektif sejarah, penemuan efek fotolistrik merupakan
salah satu tonggak sejarah kelahiran fisika kuantum. Dalam konteks ini, untuk
merumuskan teori yang cocok dengan eksperimen, sekali lagi orang diha-
dapkan pada suatu situasi di mana faham klasik yang selama puluhan tahun
telah diyakini sebagai faham yang benar terpaksa harus dirombak. Faham yang
dimaksud adalah konsepsi bahwa cahaya sebagai gelombang. Selama faham
ini tidak dirombak, gejala efek fotolistrik tidak dapat dijelaskan secara baik.
Faham baru yang mampu menjelaskan secara teoretis gejala efek fotolistrik
adalah: cahaya sebagai partikel. Namun demikian, munculnya paham baru ini
menimbulkan polemik baru. Penyebabnya adalah bahwa faham cahaya sebagai
gelombang telah dibuktikan kehandalannya dalam menjelaskan sejumlah besar
gejala yang berkaitan dengan cahaya, yaitu yang berkaitan dengan gejala
difraksi, interferensi, dan polarisasi. Sementara itu, gejala yang disebut tadi
tidak dapat dijelaskan berdasarkan faham cahaya sebagai partikel.
Untuk mengatasi itu, para ahli sepakat bahwa cahaya memiliki sifat ganda:
sebagai gelombang dan juga sebagai partikel. Kesepakatan ini pada gilirannya
mengantarkan de Broglie untuk mengajukan hipotesis yang belakangan
menjadi dasar metodologi fisika kuantum.
Dalam perspektif yang demikian itulah maka mempelajari efek fotolistrik
menjadi penting dalam rangka memahami fisika kuantum secara utuh. Oleh
sebab itu, pada bab ini kita akan mempelajari gejala itu secara rinci.
Sistematika pembahasan kita susun sebagai berikut. Bagian pertama, ten-
tang Efek Fotolistrik, membahas pengertian efek fotolistrik. Bagian kedua, ten-
tang Fakta Eksperimen, memaparkan beberapa gejala penting yang berkaitan
dengan efek fotolistrik. Bagian ketiga, tentang Penjelasan Teoretis,
membicarakan penjelasan teoretis berdasarkan kerangka berfikir fisika klasik
(cahaya sebagai gelombang) dan faham baru (cahaya sebagai partikel). Kita
akan melihat bahwa faham fisika klasik tidak dapat menjelaskannya secara
utuh. Di lain pihak, kita akan melihat bahwa teori Einstein, yang didasarkan
pada faham cahaya sebagai partikel, dapat menjelaskannya secara utuh. Bagian
keempat, Sifat Ganda bagi Cahaya, mendiskusikan bagaimana kedua watak
cahaya (sebagai partikel dan sebagai gelombang) itu dipadukan.
G
K A
Potensiometer
Dengan peralatan seperti itu dapat dipelajari beberapa hal, yaitu: (1) gejala
terjadinya efek fotolistrik, (2) pengaruh intensitas dan frekuensi cahaya
terhadap kuat arus fotoelektrik, (3) nilai energi kinetik terbesar yang dimiliki
elektron-foto, dan (4) kebergantungan potensial penghenti terhadap intensitas
cahaya.
Cahaya monokromatis ditembakkan ke pelat K yang potensialnya dibuat
lebih positif terhadap plat A. Ternyata, untuk cahaya dengan frekuensi ter-
tentu, galvanometer G mendeteksi adanya arus listrik. Ini menunjukkan bahwa
elektron-foto yang dipancarkan oleh pelat K mampu mencapai plat A
walaupun plat A memiliki potensial yang lebih negatif daripada pelat K. Ini
juga berarti bahwa ketika terlepas dari pelat K, elektron sudah memiliki energi
kinetik yang cukup besar untuk menembus potensial penghalang yang di-
pasang antara pelat K dan A.
Cacah elektron-foto yang dilepaskan plat K bergantung pada intensitas
cahaya. Tidak ada cara untuk menentukan berapa kecepatan masing-masing
elektron. Dengan demikian, haruslah dipikirkan bahwa masing-masing elek-
tron-foto memiliki energi kinetik yang berbeda-beda. Untuk menghentikan ge-
rakan elektron-foto tercepat (ditunjukkan dengan tidak adanya arus fotoelek-
trik yang melalui G), diperlukan potensial penghalang V tertentu. Beda poten-
sial yang mampu menghentikan gerak elektron-foto tercepat itu disebut poten-
sial penghenti (stopping potential), dilambangi Vs. Jika elektron-foto tercepat
sudah dapat dihentikan oleh potensial penghenti maka elektron-foto lainnya
otomatis juga dihentikan.
Energi kinetik elektron-foto tercepat dapat diketahui dari nilai Vs. Ber-
dasarkan prinsip kekekalan energi dapat disimpulkan bahwa energi kinetik
elektron-foto tercepat sama dengan eVs , dengan e menyatakan muatan elek-
tron, yaitu 1,6 10C. Jika energi kinetik elektron tercepat dilambangi Kmaks ,
maka
Kmaks = e Vs . (2. 1)
menghasilkan efek fotolistrik diperlukan cahaya dengan frekuensi lebih dari 0.
Frekuensi ini selanjutnya disebut frekuensi ambang.
Vs
K Cs Cu
I3
I2
I1
teori klasik, mestinya energi kinetik ini bergantung pada intensitas cahaya.
Sebab, semakin tinggi intensitas cahaya semakin besar energi yang diserap
elektron sehingga energi kinetik elektron juga semakin besar.
Penjelasan Gambar 2.2c (Tidak ada Waktu Tunda Antara Penyinaran Sampai
Terjadinya Arus Fotoelektrik)
Tiadanya waktu tunda untuk melepaskan elektron dengan cahaya yang
intensitasnya sangat lemah jelas tidak dapat diterangkan dengan fisika klasik.
Menurut fisika klasik, jika intensitas cahaya sangat lemah maka diperlukan
waktu yang cukup lama bagi elektron untuk mengumpulkan energi sehingga
dapat melepaskan diri dari ikatannya. Sebagai contoh numerik tentang hal ini,
perhatikan Contoh Soal 2.1 berikut.
bang. Paket-paket energi ini akan tetap terlokalisir (tidak memudar) ketika
bergerak menjauhi sumbernya. Dengan demikian, paket-paket energi ini
berperilaku sebagai partikel: kehadirannya terlokalisir, artinya pada saat ter-
tentu akan menempati ruangan yang sangat terbatas dan tertentu pula.
(Perhatikan Gambar 2.3 berikut).
(a) (b)
Gambar 2.3 Gambaran dua dimensi distribusi energi yang dibawa oleh berkas
cahaya yang dipancarkan dari sumber cahaya titik. Gambar (a):
distribusi energi menurut teori gelombang: energi tersebar secara
kontinu. Gambar (b): distribusi energi menurut teori Einstein: energi
tersebar dalam bentuk paket-paket energi bak-partikel yang disebut
foton.
Selanjutnya, paket energi bakpartikel ini disebut foton. Karena foton selalu
bergerak dengan laju c, maka menurut teori relativitas, massa foton haruslah
nol. Energi tiap foton tergantung pada frekuensinya, yaitu
=h , (2. 3 )
energi dari foton ke elektron ini memiliki sifat sebagai berikut. Jika energi foton
cukup untuk melepas elektron dari ikatannya maka ada peluang bagi foton untuk
memberikan energinya. Tetapi, jika energi foton tidak cukup maka foton tidak mem-
berikan energinya. Jadi, hanya ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu foton
memberikan seluruh energinya, atau sama sekali tidak memberikan energinya
kepada elektron.
Jika energi foton melebihi energi untuk melepaskan elektron dari ikat-
annya maka sisa energi itu akan diubah menjadi energi gerak (energi kinetik)
elektron. Sebaliknya, jika energinya tidak cukup untuk melepaskan elektron,
maka foton tadi tidak akan memberikan energinya kepada elektron yang
bersangkutan.
Bagaimana postulat tersebut menjelaskan semua data eksperimen efek
fotolistrik? Marilah kita lihat satu per satu data pengamatan pada Gambar 2.2
di depan secara berurutan, dari Gambar 2.2a s/d Gambar 2.2d.
Ruas kiri menyatakan energi yang akan diserahkan foton kepada elektron
ketika berbenturan. Jadi ruas kanan adalah energi yang diperoleh elektron
tepat setelah dibentur foton. Energi ini akan digunakan elektron untuk melepas
ikatannya, dan sisanya (jika ada) digunakan sebagai energi gerak. Elektron
yang terikat paling lemah akan terlepas dengan energi kinetik paling besar,
dilambangi Kmaks. Selanjutnya, suku terakhir ruas kanan (hv0) diartikan sebagai
energi yang diperlukan untuk melepaskan elektron yang terikat paling lemah. Jadi
sama dengan energi ikat elektron tersebut. Energi ikat elektron ini sering
disebut sebagai fungsi kerja dan dilambangi . Elektron dapat dilepaskan dari
logam jika energi foton yang membenturnya paling sedikit sama dengan ; jadi
hanya jika hv > hv0. Dengan demikian sangatlah jelas bahwa untuk
melepaskan elektron dari suatu logam tertentu diperlukan cahaya yang
memiliki frekuensi minimal sama dengan frekuensi ambang v0.
Penjelasan Gambar 2.2c (Tidak ada Waktu Tunda Antara Penyinaran Sampai
Terjadinya Arus Fotoelektrik)
Berdasarkan postulat Einstein di atas, maka pelepasan elektron dapat
terjadi tanpa waktu tunda yang berarti; sebab lepas tidaknya elektron itu tidak
ditentukan oleh seberapa banyak jumlah energi yang berhasil dikumpulkan
elektron, melainkan ditentukan oleh berapa besar energi foton yang menumbuk
elektron tadi. Jika energi foton lebih besar daripada energi ikat elektron, maka
elektron akan terlepas dari permukaan logam dan foton yang membentur tadi
lenyap. Sebaliknya, jika energi foton tadi sangat lemah, maka elektron tidak
terlepas dan foton tidak memberikan energinya kepada elektron. Karena
transfer energi dari foton ke elektron menyerupai benturan antara dua partikel,
maka tidak diperlukan adanya waktu tunda.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa efek fotolistrik dapat di-
jelaskan secara memuaskan jika cahaya dipandang sebagai aliran entitas bak-
partikel yang disebut foton. Bukan sebagai bentuk gelombang sebagaimana
dinyatakan dalam fisika klasik.
Partikel cahaya (foton) memiliki energi sebesar = h. Berdasarkan teori
relativitas, foton juga memiliki momentum yang besarnya p = /c = h/c = h/,
dengan = panjang gelombang cahaya.
akibat adanya gerak relatif antara pengamat dan sumber. Perhatikan Contoh
Soal 2.2 berikut ini.
1 v/c
, (2. 5)
1 v/c
Jika A A 0 , A merupakan komponen vektor-4 dalam kerangka
inersial K, maka dalam kerangka inersial lain K yang bergerak de-
ngan kecepatan v terhadap K (untuk penyederhanaan dipilih searah
sumbu X), komponen vektor-4 tersebut adalah
A 0' A 0 Ax ,
Ax Ax A 0 , (2. 6)
Ay A y , Az Az ,
dengan v / c dan 1 2 1/ 2
. Pada persamaan transformasi
itu, A0 menyatakan komponen waktu dan A (Ax, Ay, Az ) merupakan
komponen ruang (dalam sistem Cartesan).
k x γ k x β k 0 ,
atau
ω γω 1 β . (2. 7)
c c c
Dengan menyatakan dan dalam v (seperti didefinisikan di bawah
Persamaan (2.6)) serta mengganti dengan 2 kita dapatkan ru-
musan efek Doppler seperti dinyatakan pada Persamaan (2.5).
Penjabaran efek Doppler berdasarkan cahaya sebagai partikel
p 0' γ p 0 β p x ,
atau
h h h
γ 1 β . (2. 8)
c c c
Dengan menyatakan dan dalam v (seperti didefinisikan di bawah
Persamaan (2.6)) kita dapatkan rumusan efek Doppler seperti dinya-
takan pada Persamaan (2.5).
Berdasarkan kedua analisis tersebut jelaslah bahwa efek Doppler
dapat dijelaskan baik dengan memperlakukan cahaya sebagai ge-
ε = hv , (2. 9)
dan
p = ε/c = h/λ , (2. 10)
dengan ε dan p menyatakan energi dan momentum foton, v dan λ menyatakan
frekuensi dan panjang gelombang cahaya. Persamaan (2.9) dan (2.10) itu sering
disebut sebagai kaitan Planck-Einstein.
Sifat komplementaritas pada cahaya tersebut memberi inspirasi de Broglie
untuk mengajukan hipotesis bahwa partikel material juga dapat memiliki
watak sebagai gelombang. Pemikiran ini pada gilirannya mengantarkan lahir-
nya fisika kuantum. Pembahasan lebih lanjut tentang hipotesis de Broglie akan
dipaparkan pada bab berikutnya.
RANGKUMAN
PERLATIHAN
Pertanyaan Konsep
Pertanyaan Analitis
1. Energi untuk melepaskan satu elektron dari atom Natrium sebesar 2,3 eV.
Apakah natrium memperlihatkan efek fotolistrik jika disinari dengan ca-
haya jingga (λ = 680 nm)?
2. Jika Anda ingin memilih bahan untuk sebuah fotosel yang dapat diope-
rasikan dengan menggunakan cahaya tampak (380 nm < λ < 700 nm),
manakah dari bahan-bahan berikut yang Anda Pilih?
energi ikat elektron 4,7 eV, berapa lama elektron mengumpulkan energi
agar dapat lepas dari permukaan logam itu?
9. Cahaya monokromatis ( = 460 Å) dengan intensitas 10 W/m2 dijatuhkan
pada plat K (pada Gambar 2.1). Jika luas yang tersinari 1 cm2: (a) berapa
cacah foton per detik yang membentur plat K tersebut? (b) jika 0,1% foton
dapat menghasilkan elektron-foto yang mampu mencapai plat A, berapa
cacah elektron-foto yang mencapai pelat A tiap detiknya?
10. Ketika disinari cahaya dengan panjang gelombang , suatu logam dapat
menghasilkan elektron-foto dengan energi kinetik maksimum Ek1. Berapa
energi kinetik maksimum elektron-foto tersebut jika disinari dengan cahaya
berpanjang gelombang 0,5? Berapa maksimum yang dapat
menghasilkan efek fotolistrik untuk logam itu? (Nyatakan jawaban Anda
dalam dan Ek1)
GELOMBANG MATERI
DAN
ASAS KETAKPASTIAN HEISENBERG
Pada Bab 2 kita telah menyimpulkan bahwa cahaya memiliki watak ganda:
yaitu sebagai partikel dan sebagai gelombang. Adanya watak ganda yang dimi-
liki cahaya ini memungkinkan timbulnya dugaan berlakunya hal serupa pada
partikel material, yaitu partikel yang memiliki massa sebagaimana dimak-
sudkan dalam mekanika Newton. Pada Bab 3 ini kita akan membahas perihal
watak bak-gelombang bagi partikel material.
Hal-hal penting yang kita bahas meliputi: hipotesis de Broglie, eksistensi
gelombang materi, ujud gelombang materi, penafsiran Born tentang fungsi
gelombang, dan asas ketakpastian Heisenberg. Dengan pembahasan ini di-
harapkan pembaca mendapatkan persiapan yang cukup untuk mulai masuk ke
dunia fisika kuantum
Fisika klasik mencirikan partikel sebagai entitas fisik yang memiliki massa.
Pencirian ini sekarang tidak lagi benar. Sebab, sebagaimana telah kita bahas
dalam Bab 2, ada partikel yang tidak bermassa, yaitu foton.
Sebelum teori efek fotolistrik berhasil dirumuskan, orang berkeyakinan
bahwa sekali suatu entitas dikenali sebagai gelombang, selamanya ia tetap se-
bagai gelombang. Sebaliknya, sekali suatu entitas dikenali sebagai partikel,
selamanya ia tetap sebagai partikel. Keyakinan itu tidak lagi dapat diperta-
hankan sejak berhasilnya perumusan teoretis efek fotolistrik. Sebagaimana
telah kita pelajari, bahwa cahaya yang semula diyakini sebagai gelombang
ternyata pada saat tertentu juga dapat berperilaku sebagai partikel. Kenyataan
itu mengisyaratkan perlunya meninjau kembali penggolongan secara diko-
tomis “partikel lawan gelombang”. Sebab, tampaknya alam tidak secara tegas
membagi penghuninya ke dalam dua golongan besar itu.
Jika benar bahwa alam tidak terbagi atas partikel dan gelombang, yang
menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah partikel itu sebenarnya hanya-
lah salah satu watak yang sedang ditonjolkan oleh suatu entitas pada saat ter-
tentu saja; artinya, pada saat yang lain sebenarnya ia juga menunjukkan watak
gelombang (tetapi kita tidak mengenalinya)? Untuk foton, pertanyaan ini telah
kita temukan jawabnya; yaitu ya. Bagaimana dengan partikel lainnya?
Pada tahun 1924, Louis de Broglie, seorang filsof Perancis, mengajukan hi-
potetis bahwa watak ganda yang dimiliki cahaya (gelombang elektromagnet pada
umumnya) juga dimiliki oleh partikel material. Artinya, partikel material juga
dapat menunjukkan watak gelombang sebagaimana ditunjukkan oleh foton.
Menurut de Broglie, terhadap setiap partikel yang berenergi E dan bergerak
dengan momentum linear p terdapat gelombang yang diasosiasikan dengan-
nya. Gelombang yang diasosiasikan dengan partikel yang bergerak itu disebut
gelombang materi, atau gelombang de Broglie. Dalam konteks yang demikian
dapat dikatakan bahwa gelombang elektromagnet adalah gelombang de
Broglie yang diasosiasikan dengan foton.
Frekuensi dan panjang gelombang bagi gelombang de Broglie dapat di-
turunkan dengan argumen sebagai berikut. Kita telah mengetahui bahwa
momentum linear dan energi foton berkaitan dengan panjang gelombang dan
frekuensi gelombang elektromagnet menurut kaitan Planck-Einstein: p = h/
dan E = hv. Jika hubungan itu dipostulatkan berlaku untuk sebarang partikel
(tidak hanya foton), maka gelombang de Broglie memiliki panjang gelombang
sebesar = h/p dan frekuensi sebesar v = E/h, dengan p dan E berurutan me-
nyatakan momentum linear dan energi partikel yang diasosiasikan dengan
gelombang de Broglie itu. Dengan demikian, hipotesis de Broglie dapat diung-
menjumpai bidang pantul maka akan dipantulkan pada arah tertentu persis
seperti trayektori bola tenis yang dipantulkan lantai.
Mengingat kecilnya nilai tetapan Planck (pada orde 10) maka panjang
gelombang de Broglie pada umumnya juga sangat pendek. Oleh karena itu
diperlukan apertur yang sangat kecil untuk menyelidiki munculnya watak
gelombang materi tersebut. Apertur terkecil yang dapat dibuat dewasa ini
memiliki ukuran sekitar 1 Å (yaitu jarak rata-rata antarbidang atom pada
kristal).
Marilah kita hitung berapa orde panjang gelombang de Broglie untuk be-
berapa partikel tertentu. Sebelumnya perlu kita ingat bahwa untuk meng-
hasilkan panjang gelombang yang cukup besar maka momentum linear par-
tikel yang bersangkutan haruslah kecil. Jadi, baik massa maupun kecepatannya
harus cukup kecil.
Analisis
6,6 1034 J. s
= = 6,6 10 6 Å.
10- 15
10 3
kg. m/s
Panjang gelombang sependek ini tentu saja masih sangat kecil di-
bandingkan dengan ukuran apertur yang tersedia saat ini. Dengan
demikian tidaklah mungkin untuk mendeteksi gelombang yang
diasosiasikan dengan gerakan partikel debu tersebut.
Perlu dicacat bahwa, meskipun partikel hanya sebesar debu dan bergerak
dengan sangat lambat, ternyata gelombang de Broglie-nya masih terlalu kecil
untuk dapat dideteksi. Untuk partikel makroskopis lainnya, tentu saja panjang
gelombangnya akan lebih kecil lagi. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa aspek gelombang pada gerak partikel makroskopis sangat sulit di-
deteksi, bahkan cenderung tidak mungkin dideteksi. Dengan kata lain, partikel
makroskopis tidak akan menunjukkan watak gelombang.
Analisis:
h h
= =
p 3 m kB T
6,6 10 -34
1,4 Å.
3 1,67 10 - 27 1,38 10 - 23 300
Analisis
h h
= =
p 2 m Ek
6,6 10 34 J s
= 1,2Å .
31
2 9,1 10 kg 100 e V 1,6 10 19 J/ e V
Pada tahun 1927, Davisson dan Germer (di USA) dan P.G. Thomson* (di
Swedia) berhasil menunjukkan watak gelombang pada elektron. Thomson
menunjukkan adanya efek difraksi ketika berkas elektron ditembakkan pada
suatu lapisan tipis. Sedangkan Davisson dan Germer menyelidiki efek difraksi
yang dihasilkan berkas elektron yang ditembakkan pada kristal. Mereka
mendapatkan hadiah Nobel (1937) atas temuannya itu.
Mengamati beberapa contoh perhitungan di atas, juga hasil percobaan
Davisson dan Germer, maka dapat disimpulkan bahwa partikel material benar-
benar dapat menunjukkan watak sebagai gelombang sebagaimana
dihipotesiskan oleh de Broglie.
Cabang fisika yang menelaah cara mendapatkan fungsi gelombang untuk
partikel material dikenal sebagai mekanika gelombang atau mekanika kuan-
tum. Erwin Schrödinger (1926) dan Werner Heisenberg (1925) secara terpisah
berhasil merumuskan cara mendapatkan fungsi gelombang tersebut. Kedua
ahli itu selanjutnya dikenal sebagai pelopor mekanika kuantum. Pada bab
berikutnya akan kita bicarakan secara khusus teori Schrödinger tersebut.
*
P.G. Thomson adalah putra J.J. Thomson, yaitu ahli fisika yang berhasil menemukan
elektron dan mengidentifikasinya sebagai partikel elementer. J.J. Thomson juga
mendapatkan hadiah Nobel (1905) atas temuannya itu.
Untuk sementara kita tidak perlu membicarakan apa arti fisis dari A0
maupun . Yang perlu segera kita amati adalah cepat rambatnya. Kecepatan
gelombang tersebut dapat diketahui sebagai berikut. Ambillah sebarang titik x
yang memiliki fase tertentu: kx t = , jadi x = /k + t /k . Titik x yang
berfase ini bergerak dengan kecepatan v = dx/dt = /k. Kecepatan seperti ini
disebut kecepatan fase. Kecepatan fase merupakan satu-satunya kecepatan
yang dimiliki gelombang monokromatis. Jadi, gelombang tersebut bergerak
dengan kecepatan
v f = ω/k . (3. 4)
Subtitusi Persamaan (3.1) dan (3.2) ke dalam Persamaan (3.4) menghasilan
v f = E/p. (3.5)
Jika kecepatan partikel cukup kecil sehingga kinematika klasik dapat
digunakan, maka E ½ m v ² (Ep dapat diberi nilai nol sebab partikel dalam
keadaan bebas), dan p mv. Dengan subtitusi nilai-nilai ini ke dalam Persa-
maan (3.5) diperoleh kesimpulan bahwa vf = ½v. Jadi kecepatan gelombang
separoh kecepatan partikel. Kenyataan ini akan menimbulkan kesulitan pe-
nafsiran tentang bagaimana gelombang tersebut diasosiasikan dengannya.
Jika kehadiran gelombang tersebut dikaitkan dengan suatu partikel, maka
haruslah memiliki kecepatan yang sama dengan kecepatan partikel. Dengan
pertimbangan ini maka dapatlah disimpulkan bahwa gelombang mo-
nokromatis seperti yang dinyatakan dalam Persamaan (3.3) tadi tidak layak
digunakan sebagai gelombang materi.
Jika kecepatan partikel mendekati kecepatan cahaya c, maka menurut teori
relativitas, E = γmc dan p = γmv, dengan γ (1v2 /c) . Subtitusi nilainilai
ini ke dalam Persamaan (3.5) menghasilkan vf = c /v. Karena laju partikel
material selalu kurang dari laju cahaya dalam vakum c, maka kecepatan
gelombang tadi akan selalu lebih dari c. Ini tentu saja bertentangan dengan asas
relativitas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mengasosiasikan ge-
lombang monokromatis bidang dengan gerakan partikel adalah tidak mungkin.
Gelombang yang serupa dengan yang dilukiskan pada Gambar 3.1 paling
bawah dapat dibentuk dengan memadukan sejumlah besar gelombang
monokromatis yang memiliki bilangan gelombang dan frekuensi yang ber-
beda-beda. Paduan beberapa gelombang monokromatis membentuk pola
gelombang baru yang disebut grup gelombang.
Sebagai contoh, marilah kita padukan dua gelombang monokromatis
1 (x,t) dan 2(x,t) yang masing-masing berbentuk:
1 ( x , t ) = A 0 sin [( k 0 + 12 dk ) x ( 0 + 1
2 dω ) t ] ,
dan
2 ( x , t ) = A 0 sin [(k 0 12 dk ) x ( 0 1
2
dω ) t ] .
sin 4x + sin 6x
d ( E / ) d E d ( p2 / 2m ) p
vg = = = = . (3. 8)
d(p / ) d p dp m
Jika v menyatakan kecepatan partikel maka p = mv, sehingga vg = v. Jadi ke-
cepatan grup sama dengan kecepatan partikel. Dengan demikian dapat di-
simpulkan bahwa gelombang yang diasosiasikan dengan partikel bebas harus-
lah berbentuk grup gelombang. Uraian tadi sekaligus menunjukkan bahwa
agar kecepatan grup sama dengan kecepatan partikel maka hubungan antara E
dan , serta antara k dan p harus memenuhi Persamaan (3.1) dan (3.2).
Sekarang kita simak sekali lagi plot grup gelombang (Persamaan 3.6) pada
Gambar 3.2. Grup gelombang seperti itu tentu saja masih kurang layak untuk
mendeskripsikan partikel karena masih sangat menyebar. Masih menyebarnya
grup gelombang itu disebabkan karena hanya dibentuk oleh dua gelombang
sehingga interferensi konstruktif dengan cepat dapat berulang. Kejadian ini
tidak akan muncul jika grup gelombang tersebut dibentuk oleh perpaduan se-
jumlah besar gelombang monokromatis yang berbeda frekuensi dan bilangan
gelombangnya. Jika ini dilakukan, maka interferensi konstruktif baru terulang
lagi pada jarak yang sangat jauh. Semakin banyak gelombang yang berin-
terferensi semakin jarang pengulangan terjadi. [Ingat bahwa interferensi
konstruktif terjadi jika gelombang-gelombang tersebut semuanya sefase. Aki-
batnya semakin banyak gelombang yang berinterferensi, semakin jarang
semuanya akan sefase].
Gambar 3.3. Pola grup gelombang yang dihasilkan oleh perpaduan beberapa
gelombang monokromatis. Dalam setiap pola, rentangan bilangan
gelombang yang digunakan sama, yaitu dari 2,7 s.d 3,3. Beda
bilangan gelombang berturutan yang dipadu adalah 0,6/(n 1),
dengan n cacah gelombang yang dipadu.
Sejauh ini kita baru membicarakan bentuk gelombang yang layak di-
gunakan untuk mendeskripsikan gerak suatu partikel material. Kita belum
membicarakan misalnya apa yang bergelombang pada gelombang materi
tersebut. Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali pada pen-
deskripsian gelombang dan partikel pada radiasi (cahaya).
Menurut deskripsi gelombang, radiasi dapat digambarkan sebagai entitas
kolektif medan listrik dan medan magnet yang merambat bersama dalam
ruang. Pada medium dielektrik isotropik, medan listriknya merambat dalam
bentuk gelombang bidang E (r , t ) = E 0 exp i(k . r t ) , yang diperoleh dari
penyelesaian persamaan Maxwell. Rata-rata (terhadap waktu) rapat energi
medan per satuan volume pada suatu tempat, dilambangi <we>, adalah
1 1 2
we E.E* E0 . (3. 9)
4 4
Pada deskripsi partikel (foton), rata-rata rapat energi didefinisikan sebagai
hasil kali energi foton ( ω) dengan cacah rata-rata foton tiap satuan volume
(N/V). Jika rata-rata rapat energi foton ini dilambangi <wf), maka
<wf > = (N/V) ω. (3. 10)
Kita harus menggunakan kata rata-rata karena proses pancaran foton dari
sumbernya merupakan proses statistik (acak) sehingga tidak ada cara untuk
memastikan berapa cacah foton yang berada dalam suatu volume pada suatu
saat. Dengan demikian, N/V pada Persamaan (3.10) tersebut dapat diartikan
sebagai rapat peluang mendapatkan foton di suatu titik pada saat tertentu.
Jika kedua rumusan rapat energi di atas kita samakan, kita peroleh hubungan
1 N
w E.E* . (3. 11)
4 V
Jadi |E(r, t)| E.E sebanding dengan N/V. Dengan kata lain, jika E(r, t),
merupakan gelombang yang diasosiasikan dengan foton maka|E(r, t)|, yaitu
kuadrat modulus fungsi gelombang bagi foton, menyatakan peluang men-
dapatkan foton dalam suatu unsur volume di sekitar titik r pada saat t. Dengan
demikian, melalui telaah rapat energi radiasi ini kita telah berhasil memadukan
dualisme gelombang-partikel untuk radiasi.
2
(r , t ) d3 r = N (berhingga ). (3. 14)
( x , t ) = | ( x , t ) | 2 * ( x , t ) ( x , t ) . (3. 15)
Peluang pada saat t partikel berada dalam interval x dan x + dx:
( x , t ) dx = | ( x , t ) | 2 dx * ( x , t ) ( x , t ) dx . (3. 16)
2 sin 2 x ; 0 x a
a a
( x)
0 ; x 0 atau x a
(a) Dapatkan fungsi rapat peluang posisi partikel pada t = 0!
(b) Di mana partikel paling mungkin berada?
(c) Berapa peluang partikel berada di x 0?
(d) Berapa peluang partikel berada di x a?
(e) Berapa peluang partikel berada dalam interval [0,a]?
(f) Berapa peluang partikel berada di x a ?
Analisis
2 sin 2 2 x ; 0 x a
a a
(a) ( x ) * ( x) ( x)
0 ; x 0 atau x a
a 0
( x a ) 0( x ) dx ( x ) dx
a2 2x 0
0 sin 2
dx 0 dx
a a
2 a1 4x 2 a
0 (1 cos ) dx 1 .
a 2 a a 2
Rumusan (3.23) sampai (3.26) didasarkan atas asumsi bahwa fungsi gelombang
~ ~
( p , t ) ternormalkan. Jika ( p , t ) belum ternormalkan, maka persamaan
~
tersebut harus dibagi dengan ( p , t )dp .
Perhatikan bahwa ruas kanan Persamaan (3.26) dan (3.18) adalah sama,
sehingga dari kedua persamaan itu kita peroleh hubungan:
~
* ~ *
( p , t ) ( p , t ) dp ( x , t ) ( x , t ) dx.
Salah satu asas yang dihasilkan fisika kuantum adalah Asas Ketakpastian
Heisenberg. Asas ini menyatakan bahwa pengukuran serempak terhadap
posisi dan momentum linear tidak mungkin dapat dilakukan dengan ketelitian
mutlak. Ketelitian terbaik yang mungkin dicapai adalah xp = ћ/2 dengan x
dan p berurutan menyatakan ketakpastian posisi dan ketakpastian
momentum linear. Asas ketakpastian ini biasanya dinyatakan dengan
ungkapan xp ћ/2.
Pada bagian ini kita akan menelaah munculnya asas tersebut berdasarkan
prinsip penafsiran Born tentang fungsi gelombang sebagaimana telah kita
bicarakan sebelumnya. Melalui cara ini kita juga dapat menguji keswacocokan
(kesesuaian) antara penafsiran Born dan Asas Ketakpastian Heisenberg.
Berdasarkan penafsiran Born, dari fungsi gelombang ( x , t ) dapat didefi-
nisikan fungsi rapat peluang kehadiran (posisi) partikel( x, t ) dan dari fungsi
~
gelombang ( p , t ) dapat didefinisikan fungsi rapat peluang momentum
~ ( p , t ) . Dengan demikian, dari kedua fungsi rapat peluang
linear partikel
tersebut dapat dihitung nilai harap (expectation value) posisi dan momentum
linear beserta ketakpastiannya. Prosedur penghitungannya dilakukan sebagai
berikut.
Dari fungsi rapat peluang posisi, (x ) , dapat dihitung nilai harap posisi,
dilambangi <x>, dan variansi posisi, dilambangi x2 , sebagai berikut.
x x( x) dx , (3. 27)
2x x x 2 ( x ) dx . (3. 28)
x2 x 2 x 2 , (3. 29)
dengan
x 2 x 2 ( x) dx . (3. 30)
x x 2 x 2 , (3. 31)
p p 2 p 2 (3. 32)
dengan
~
p p( p ) dp , (3. 33)
dan
~
p 2 p 2 ( p ) dp , (3. 34)
Analisis
( x ) C e i p0 x / ,
dengan C suatu tetapan kompleks. (Kita tidak menyatakan keter-
gantungan fungsi gelombang terhadap waktu karena kita hanya
berkepentingan dengan posisi dan momentum partikel).
( x ) * ( x ). ( x ) C * C konstan.
x
x C * C dx 0 ,
C * C dx
2
dan x 2 x C * C dx ,
C * C dx
sehingga diperoleh ketakpastian posisi sebesar
x x 2 x 2 .
e -i px / dx
C i p 0 x / C
~( p ) e e
i ( p0 p ) x /
dx C ( p p 0 ).
2 2
Karena fungsi gelombang ~ ( p ) berupa “fungsi” delta Dirac maka
~ ( p ) juga merupakan “fungsi” delta Dirac. Akibatnya, berdasarkan
sifat fungsi delta Dirac, diperoleh <p> = p0 dan <p> = p0. Dengan
demikian diperoleh nilai p = 0.
Analisis
( x ) C * C e -
2 x2
.
Dengan fungsi rapat peluang tersebut diperoleh
2 x2
C * C x e dx
x 2 2
0
C * C e x dx
dan
2 2 x2
x 2 C *C x e
dx ( 3 / 2 ) ( 1 / 2 )
:
1
2 x2 2 3
2 2 2
C * C e dx
1 1
x x 2 x 2 .
2
m ax 2 ((m 1)/2))
0 x e dx .
2 a (m 1)/2
dan
2 2 p2 / 2 2
2 C p e dp ( 3 / 2 ) ( 1 / 2 ) 2 2
p : .
2 p 2 / 2 2 2 ( 1 /( )) 3 2 /( ) 2
C e dp
Analisis
dan
2 2
2 1 b 2 /( 4 a )
e ax cos bx dx e ,
0 2 a
1
d 2 x2
~ ( p ) B 0 e 2 cos ( px / ) dx
dp
d 1 p2 /( 2 2 2 ) 2 2 2
B e C p e p /( 2 )
dp 2 a
dan
2 / 2 2
2 C 2 p 4 e p dp ( 5 / 2 ) ( 3 / 2 ) 3 2 2
p :
p2 / 2 2 2 (1 /( )) 2 /( )3
5
2
C 2 p2 e dp
Tabel 3.1 Nilai xp Untuk Beberapa Fungsi Gelombang Osilator Harmonis
RANGKUMAN
dan
1 - i px / dx .
~ ( p )
( x ) e
2
PERLATIHAN
Pertanyaan Konsep
14. Untuk memasukkan bola bilyard ke dalam lubangnya, kecepatan dan arah
sodokan harus diatur seteliti mungkin. Kritisilah kesahihan asas
ketakpastian Heisenberg berdasarkan kenyataan bahwa jika sodokan kita
tepat maka bola bilyard selalu sukses dimasukkan!
15. Apakah variabel x dalam ungkapan fungsi gelombang ( x, t ) menyata-
kan posisi partikel pada t tertentu?
16. Cermatilah kebenaran pernyataan berikut: “Berdasarkan hipotesis de
Broglie, partikel yang bergerak akan menghasilkan gelombang di sekitar
lintasannya”
17. Benarkah pernyataan: “Nilai fungsi gelombang de Broglie di suatu titik
menyatakan besarnya gangguan yang dihasilkan oleh partikel di titik itu”?
18. Jika sebutir batu dijatuhkan ke kolam yang tenang, maka pada permukaan
kolam akan timbul gelombang air (riak). Apakah pasangan batu dan riak
tersebut sepadan dengan pasangan partikel dan gelombang materi
sebagaimana dihipotesiskan de Broglie?
19. Jelaskan bahwa temuan Davisson dan Germer merupakan salah satu bukti
kebenaran hipotesis de Broglie!
Pertanyaan Analitis
15.
O S
Optika fisik 55 Schrödinger
Optika geometri 55 pelopor mekanika kuantum 58
SI 65, 68
P SI (square integrable), definisi 65
Parseval, teorema 69
T
Partikel vs gelombang 54
Planck-Einstein, kaitan 54 Thomson, J.J 58
Thomson, P.G. 58
R
V
Rapat peluang
momentum linear 69 Varians 70
posisi 65 vektor gelombang 55, 58
Relativitas, asas 59
Ruang momentum 68, 75, 78 Y
Ruang posisi 78 Young 55
POKOK-POKOK METODOLOGI
FISIKA KUANTUM
Melalui pembahasan tiga bab sebelum ini, kita mulai menyadari perlunya
teori baru untuk menjelaskan perilaku entitas fisis yang tidak dapat dipas-
tikan apakah sebagai gelombang atau sebagai partikel. Sebab, teori-teori
yang telah ada (mekanika Newton maupun teori gelombang, baik yang di-
turunkan dari mekanika Newton maupun dari teori Maxwell) masing-ma-
sing hanya dapat digunakan untuk entitas fisis yang dapat dipastikan seba-
gai partikel atau sebagai gelombang. Kita juga telah memiliki suatu kriteria
yang jelas untuk menyatakan apakah suatu entitas fisis dapat digolongkan
ke dalam salah satu golongan (gelombang atau partikel) itu atau tidak. Kri-
teria tersebut adalah panjang gelombang de Broglie. Jika suatu entitas yang
mula-mula kita kenali sebagai partikel ternyata memiliki panjang gelom-
bang de Broglie cukup besar (sekurang-kurangnya dalam orde angstrom)
maka entitas tersebut tidak dapat dipastikan sebagai partikel.
Pada Bab 3 kita juga telah mendiskusikan bahwa hipotesis de Broglie
tidak dapat digunakan untuk mendapatkan fungsi gelombang yang diaso-
siasikan dengan partikel. Berdasarkan kenyataan ini maka timbullah suatu
pertanyaan penting tentang bagaimana cara mendapatkan fungsi gelom-
bang itu. Jika fungsi gelombang telah kita dapatkan, pertanyaan penting
berikutnya adalah bagaimana cara mendapatkan informasi tentang keada-
an partikel berdasarkan fungsi gelombang itu. Jawaban atas pertanyaan
pertama akan kita bahas di Bab 5, sedangkan pertanyaan kedua akan kita
diskusikan pada bab ini.
Pada bab ini akan kita pelajari pokok-pokok metodologi dalam fisika
kuantum, atau mekanika gelombang, yaitu suatu cabang fisika teori yang
menelaah perilaku entitas fisis yang tidak dapat dipastikan apakah sebagai
Sutopo Pengantar Fisika Kuantum 83
84 Pendeskripsian keadaan
Pada bagian akhir Bab 3 kita telah mengkaji makna fungsi gelombang.
Kesimpulan yang kita peroleh adalah: berdasarkan fungsi gelombang ter-
sebut kita dapat mengetahui keberadaan (posisi) partikel dan besarnya mo-
mentum linear yang dimilikinya, meskipun secara probabilistik. Mengingat
semua besaran dinamis yang kita kenal dalam fisika klasik (misalnya ener-
gi kinetik, energi potensial, gaya, momentum sudut, dan sebagainya) selalu
dapat dinyatakan sebagai fungsi momentum linear dan/atau posisi, maka
dapat diharapkan bahwa dari fungsi gelombang tersebut dapat diketahui
berbagai informasi tentang keadaan gerak partikel yang kita bicarakan.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka sangatlah masuk akal untuk
mempostulatkan: keadaan gerak sistem dideskripsikan dengan fungsi ge-
lombang. Pernyataan ini harus pula dimaknai secara berbalikan. Artinya,
sebagai pendeskripsi keadaan maka fungsi gelombang tersebut harus me-
muat semua informasi tentang sistem yang dibicarakan; misalnya: posisi,
momentum linear, energi, momentum sudut, dan besaran-besaran dinamis
lain yang kita perlukan.
Sebagaimana telah kita bahas di Bab 3, fungsi gelombang dapat kita
tampilkan dalam dua cara, yaitu dalam ruang posisi (dilambangi ( x , t ) )
~
atau dalam ruang momentum linear (dilambangi ( p , t ) ). Perlu segera di-
catat bahwa variabel x dalam fungsi gelombang tersebut bukan menyatakan
posisi partikel, melainkan menyatakan sederetan posisi yang mungkin ditem-
pati partikel. Demikian pula dengan variabel p, harus dipahami sebagai se-
deretan nilai momentum linear yang mungkin dimiliki partikel.
Berdasarkan postulat tersebut maka pekerjaan penting dalam fisika
kuantum adalah menemukan fungsi gelombang. Sebab dengan mengeta-
hui fungsi gelombang kita dapat mengetahui semua informasi yang kita
perlukan tentang sistem. Peranan fungsi gelombang ini, jika dianalogikan
dengan fisika klasik, analog dengan peranan trayektori partikel. Dengan
diketahuinya trayektori, yaitu posisi partikel pada sebarang waktu, kita da-
pat mengetahui nilai berbagai besaran fisika yang dimiliki partikel itu pada
setiap saat.
Cara kerja operator posisi bergantung pada ruang penyajian yang kita
gunakan. Dalam ruang posisi, di mana fungsi gelombang berbentuk (r, t ) ,
operasi operator posisi dipostulatkan sebagai berikut.
ˆ ( r , t ) r ( r , t ) ,
R (4. 1)
Xˆ ( r , t ) x ( r , t ) ,
Yˆ ( r , t ) y ( r , t ) , (4. 2)
Zˆ ( r , t ) z ( r , t ) .
Jadi, cara kerja operator komponen vektor posisi dalam ruang posisi adalah
mengalikan fungsi gelombang dengan komponen vektor posisi pada arah
yang bersesuaian.
Bagaimana cara kerja operator posisi di ruang momentum linear? Da-
~
lam ruang momentum linear, fungsi gelombang berbentuk ( p , t ) yang me-
rupakan transformasi Fourier dari ( r , t ). Dengan demikian, operasi opera-
ˆ ~ ( p, t ). Untuk penye-
tor posisi dalam ruang momentum dituliskan secara R
derhanaan, tanpa mengurangi generalisasinya, kita gunakan kasus satu di-
~
mensi sehingga operasi tersebut dapat dituliskan secara Xˆ ( p , t ). Dengan
menggunakan transformasi Fourier, ungkapan yang terakhir ini dapat diu-
bah menjadi
~ 1 i px /
Xˆ ( p , t ) Xˆ e ( x , t ) dx
2
1 i px / ˆ
e X ( x , t ) dx (4. 3)
2
1 i px /
e x ( x , t ) dx .
2
ipx/
Integran dalam integral tersebut dapat diubah menjadi i e (x, t),
p
ipx / ipx /
sebab e ( x , t ) ( i x / ) e ( x , t ). Dengan demikian, Persa-
p
maan (4.3) menjadi
~ 1 ipx /
Xˆ ( p , t ) i e ( x, t ) dx
p 2 (4. 4)
~
i ( p , t ).
p
Ungkapan itu menunjukkan bahwa, dalam ruang momentum, operator po-
sisi berbentuk i .
p
Penjabaran tersebut dapat diperluas ke dalam kasus 3 dimensi. Hasil-
nya: operator yang mewakili komponen vektor posisi dalam ruang mo-
mentum linear masing-masing berbentuk:
Xˆ i
p x
Yˆ i (4. 5)
p y
Zˆ i
p z
atau dalam bentuk vektor:
ˆ i ,
R (4. 6)
p
dan
~
( r , t ) 2 3 /2 e i p.r / ( p , t ) d 3 p , (4. 10)
dengan dr dx dy dz dan dp dpx dpy dpz , maka dengan prosedur yang
sama dengan yang kita gunakan untuk mendapatkan operator posisi da-
lam ruang momentum, kita peroleh hubungan
dengan r (i /x + j /y + k /z). Ini berarti, dalam ruang posisi, ope-
rator momentum linear berbentuk:
Pˆ i r , (4. 12)
Dapatkan operator energi kinetik dalam: (a) ruang posisi, dan (b)
dalam ruang momentum linear.
Analisis
Definisi energi kinetik, yaitu ½ m v, jika dinyatakan dalam fungsi
2
p
momentum (p mv) berbentuk Ek . Dengan demikian, secara
2m
Pˆ 2
umum, operator energi kinetik berbentuk Eˆ k .
2m
2 2 2 2 2 2
Eˆ k 2 2 2 .
2m 2 m x y z
p2
Dalam ruang momentum, mengingat Pˆ p , maka Eˆ k .
2m
Analisis
Definisi momentum sudut L adalah L r p, dengan r menya-
takan vektor posisi dan p momentum linear. Dengan demikian, se-
cara umum, operator yang mewakili momentum sudut adalah
Lˆ R
ˆ Pˆ . Dalam ruang posisi, operator ini berbentuk
Lˆ r i i r .
Lˆ x i z y , Lˆ y i x z , Lˆ z i y x .
y z z x x y
Nanti akan kita lihat bahwa kedua proses tersebut tidak sama.
 . (4. 14)
Pada umumnya Ψ Ψ. Berdasarkan postulat pertama, yaitu fungsi gelom-
bang mendeskripsikan keadaan sistem, dapatlah dipahami bahwa keadaan
tepat setelah pengukuran pada umumnya tidak sama dengan keadaan
tepat sebelum pengukuran.
Perlu dicatat bahwa perbedaan antarfungsi gelombang tidak cukup di-
lihat dari wujud masing-masing fungsi gelombang itu. Dua fungsi gelom-
bang dikatakan berbeda apabila fungsi gelombang pertama tidak dapat
dinyatakan sebagai perkalian fungsi gelombang kedua dengan suatu bi-
langan. Sebagai contoh, ketiga fungsi gelombang berikut ini: 1 e i kx ,
2 e e i kx , dan 3 k e i kx , dengan k dan suatu tetapan, merupakan
fungsi gelombang yang sama; meskipun secara tersurat semuanya berbeda.
Di lain pihak, fungsi 1 A sin (kx) dan 2 A cos ( kx ) merupakan dua fung-
si yang berbeda, sebab tidak ada cara untuk menyatakan 1 2 dengan
berupa tetapan.
rator tersebut. Pada contoh (a) tadi, 1 merupakan fungsi eigen bagi mo-
mentum linear dengan nilai eigen sebesar p0.
Nilai harap
Nilai harap hasil pengukuran besaran A pada saat keadaan sistem di-
nyatakan sebagai fungsi gelombang didefinisikan sebagai berikut.
Dalam ruang posisi satu dimensi didefinisikan sebagai
Aˆ dx ,
*
A
(4. 15)
*
dx
dua cara penghitungan tadi harus menghasilkan nilai yang sama. Pembuk-
tian tentang ini diharapkan dilakukan sendiri oleh pembaca. Lihat bagian
Perlatihan di akhir bab ini.
Jika fungsi gelombang sudah ternormalkan, yaitu integral ke seluruh
ruang dari kuadrat modulusnya bernilai satu, maka penyebut pada kedua
persamaan terakhir tadi bernilai satu. Dengan demikian, jika fungsi gelom-
bang telah ternormalkan, penghitungan nilai harap tadi menjadi
atau
A ~ ~ * Aˆ ~ dp .
Analisis
Fungsi gelombang tersebut belum ternormalkan, sebab
i p0 x /
- * dx A * A- (e
) (e i p0 x / ) dx A * A- dx 1 .
- A * e
i po x /
i ddx Ae i po x / dx
A * A dx
P p0 p0 .
A * A dx A * A dx
-
A * e i po x /
i ddx Ae i po x / dx
A * A dx
P2 ( p 0 )2 ( p 0 )2 .
A * A dx A * A dx
i p x/
Contoh tadi menunjukkan bahwa fungsi gelombang A e 0 menya-
takan keadaan sistem yang memiliki momentum pasti sebesar p0. Kesim-
pulan ini cocok dengan pembahasan Contoh Soal 4.3 a. Berdasarkan ana-
lisis Contoh Soal 4.3 a dan 4.5 ini dapat disimpulkan bahwa keadaan eigen
bagi suatu besaran adalah suatu keadaan di mana nilai besaran tadi bersifat
pasti. Dengan demikian, pada keadaan eigen: (a) hasil ukur pada setiap
pengukuran berulang selalu tetap dan nilainya sama dengan nilai harap-
nya, dan (b) ketakpastian hasil ukur sebesar nol.
Pada bagian ini akan disajikan secara singkat perihal operator dan ope-
rasi-operasi dasar yang melibatkan fungsi gelombang dalam ruang fungsi
kompleks variabel real. Pembahasan singkat ini diharapkan dapat mem-
bantu pembaca memahami berbagai operasi matematika yang diperlukan
dalam fisika kuantum, khususnya yang melibatkan fungsi gelombang dan
operator.
f ( x ), ag ( x ) bh( x ) a f ( x ), g ( x ) b f ( x ), h( x ) (4. 21 a)
4.4.3 Operator
Operator pada dasarnya merupakan perangkat matematika yang digu-
nakan untuk memanipulasi bilangan dan atau fungsi. Jadi penjumlah (+),
pengurang (), dan penderivatif (d/dx) merupakan beberapa contoh ope-
rator.
Operasi operator terhadap suatu fungsi pada umumnya akan mengha-
silkan fungsi baru. Operator yang tidak mengubah suatu fungsi disebut
operator identitas, dilambangi Iˆ . Jadi, terhadap sebarang fungsi f, opera-
tor identitas bersifat
Iˆ f f . (4. 24)
Operator yang berfungsi membuat sebarang fungsi menjadi fungsi nol
disebut operator nol, dilambangi Ô . Jadi, terhadap sebarang fungsi f, ope-
rator nol bersifat
Oˆ f 0 . (4. 25)
Definisi
Perkalian skalar antara fungsi dan  (dalam urutan yang de-
mikian) menghasilkan bilangan kompleks
diubah menjadi
i d * i *
*
d i
* d
Perkalian operator
Perkalian antara dua sebarang operator akan menghasilkan operator
baru. Pada umumnya perkalian operator bersifat tidak komutatif.
4.4.6 Komutator
[ Aˆ , Bˆ ] Aˆ Bˆ Bˆ Aˆ . (4. 32)
Berdasarkan definisi tersebut dapat dibuktikan identitas-identitas berikut.
1) [ Â , B̂ ] +[ B̂ , Â ] = 0
2) [ Â , Â ] = 0
3) [ Â , B̂ + Ĉ ] = [ Â , B̂ ] + [ Â , Ĉ ]
4) [ Â + B̂ , Ĉ ]= [ Â , Ĉ ] + [ B̂ , Ĉ ]
5) [ Â , B̂ Ĉ ] = [ Â , B̂ ] Ĉ + B̂ [ Â , Ĉ ] (4. 33)
6) [ Â B̂ , Ĉ ] = [ Â , Ĉ ] B̂ + Â [ B̂ , Ĉ ]
7) [ Â , [ B̂ , Ĉ ]] + [ Ĉ , [ Â , B̂ ]]+ [ B̂ , [ Ĉ , Â ] = 0̂
dan momentum. Pada bab itu kita juga menyadari bahwa proses penghi-
tungan secara analitik tidak selalu mudah dilakukan.
Pada bab ini, dengan prosedur lain, kita akan mendeduksi lagi asas ke-
takpastian Heisenberg tersebut. Prosedur yang akan kita lakukan adalah
berdasarkan prinsip pengukuran dalam fisika kuantum, yaitu berdasarkan
Persamaan (4.15) sampai Persamaan (4.18). Penerapan prinsip pengukuran
untuk mendeduksi asas ketakpastian Heisenberg ini juga akan memper-
kokoh keyakinan kita tentang kesahihan prinsip pengukuran tersebut. Beri-
kut akan kita gunakan prosedur itu untuk menghitung xp untuk bebe-
rapa keadaan.
x
-
0,
- ip x / ip x /
- * dx - A * e 0 Ae 0 dx
dan
x 2 -
.
- ip0x / Ae ip0x /dx
- * dx - A * e
Dengan demikian kita peroleh x, berdasarkan Persamaan (4.18), sebesar
2
x x2 x .
2
sin ( nx / a ) ;0 x a
( x) a
0 ; x 0 atau x a
dengan a menyatakan lebar sumur dan n bilangan asli {1, 2, 3, …}. Penja-
baran fungsi gelombang tersebut diuraikan tersendiri di Bab 6.
Karena fungsi gelombang tersebut sudah ternormalkan maka kita
dapat menggunakan Persamaan (4.17) untuk menghitung nilai harap. Jadi
x - ψ* x ψ dx
0 a
- ψ* x ψ dx 0 ψ* x ψ dx a ψ* x ψ dx
0 0
a
2 /a sin (nx / a) x
2 /a sin ( nx/a) dx 0
2
2 a 2 a a
0 x sin 2 (nx/a) dx ,
a a 4 2
2 1 1
dan x 2 - * x 2 dx - x
2
sin 2 (nx / a) dx a 2 2
,
a 3 2 n 2
sehingga diperoleh
2 1 1
x x2 x a 2 2 . (4. 34)
12 2 n
dx a a
0 sin ( 2nx / a ) dx 0 .
d2 2 n 2 2 2 a 2n 2 π 2
p 2 - * 2 2 dx 0 sin
2
( nππ / a ) dx .
dx a2 a a2
1 1 n 2 2 1
x p n . (4. 36)
12 2n 2 2 12 2
x
* x dx A * A x e
dx
0,
2 2
* dx A * A e x dx
dan
2 2 2 x2
x 2 * x dx A * A x e
dx ( 3 / 2 ) ( 1 / 2 )
:
1
2.
2 x2 2 3 /2
2 1 /2
2
* dx A * A e dx
2 2
x x2 x .
2
Penghitungan nilai p
Berdasarkan Persamaan (4.15) diperoleh
d
* i dx dx A * Axe
dx 2 x2
p i 0.
2 x2
* dx A * A e dx
dan
2 d 2
dx 2
* dx 2 2
A * A( 2 2 )( 1 2 x 2 )e x dx
2
p
2 x 2
* dx A * A e dx
2 2 2 x2
( 1 x ) e dx 2 ( 3 /2 ) ( 1 / 2 ) 2 2
2 2 2 2 1 : .
2 x2
dx 2 3 /2 2 1 / 2 2
e
d 2 d d d d d *
- * dx 2
dx - * d dx
*
dx
-
dx
d * -
dx dx
dx .
d * d
x2 2p 2 - ( * x)( x ) dx -
dx .
dx dx
(4. 40)
d
Dengan mendefiniskan f x dan g , maka integral pertama Per-
dx
2 2
samaan (4.38) tidak lain adalah f dan integral keduanya adalah g .
Selanjutnya, berdasarkan ketaksamaan Schwarz f
2
g
2
1
2
( f , g) ( g , f )
2
2
2 2
2 d d *
x p -
( * x ) dx - x dx
4 dx dx
2
2 d d *
2
* x ) x dx .
4 - dx dx
4
Penyelesaian integral di atas dapat dilakukan dengan teknik integral par-
sial (Lihat pertanyaan analisis no 4). Persamaan terakhir di atas identik
dengan
RANGKUMAN
P̂x px
Momentum i
linear x
p = (px, py, pz) py
P̂y i
y
P̂z i pz
z
dengan
* Aˆ dx -~ * Aˆ ~ dp .
2 2
ˆ2
A -
- * dx -~ * ~ dp
PERLATIHAN
Pertanyaan Konsep
1. Dalam fisika klasik, bagaimanakah kedaan sistem dideskripsikan?
2. Mengapa dalam fisika kuantum keadaan sistem disajikan dalam ben-
tuk fungsi gelombang? Tidak dapatkah dideskripsikan dengan menye-
butkan semua nilai besaran fisik yang dimiliki?
3. Berdasarkan peranannya sebagai penyaji keadaan sistem, berikanlah
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh fungsi gelombang! (Petunjuk:
ingatlah bahwa dari fungsi gelombang itu kita dapat mendefinisikan
fungsi rapat peluang, baik untuk posisi maupun untuk momentum li-
near partikel!)
4. Haruskah fungsi gelombang secara lengkap memuat semua informasi
tentang sistem? Apakah informasi itu tampak secara eksplisit dalam
ungkapan matematis fungsi gelombang?
5. Perlukah besaran massa dan waktu dirumuskan operatornya?
6. Dalam perkuliahan fisika dasar kita mengenal 7 besaran pokok, yaitu
massa, waktu, panjang, temperatur, intensitas cahaya, kuat arus listrik,
dan jumlah zat. Mengapa yang diangkat sebagai besaran pokok (fun-
damental) dalam dinamika kuantum adalah posisi dan momentum li-
near? Bukankah momentum linear merupakan besaran turunan?
7. Apakah pandangan dalam fisika kuantum yang menyatakan bahwa
pengukuran pada umumnya mengubah keadaan sistem merupakan pernya-
taan yang mengubah pandangan klasik?
8. Pernyataan: “Mengukur merupakan proses mengerjakan operator terhadap
fungsi gelombang”, dapat dikatakan sebagai mematematiskan proses pe-
ngukuran. Apakah mematematiskan proses pengukuran juga ada di
fisika klasik, walaupun mungkin dalam bentuk yang berbeda?
9. Menurut fisika kuantum, hasil pengukuran bersifat statistik atau pro-
babilistik. Menurut Anda, apakah cara pandang seperti itu dapat
menghasilkan teori yang dapat diuji kebenarannya di laboratorium?
10. Operator yang mewakili besaran fisika harus bersifat Hermitean ka-
rena nilai harap operator Hermitean selalu real. Apakah nilai besaran
fisika itu memang harus real?
Pertanyaan Analisis
1. Tiga fungsi gelombang berikut 1 e i kx , 2 e e i kx , dan 3 k e i kx
dengan k dan suatu tetapan, menyatakan suatu keadaan yang sama.
Ujilah pernyataan itu dengan: (a) menentukan fungsi rapat peluang
posisi partikel, dan (b) menghitung nilai harap momentum linear
partikel.
1
2 x2
2. Hitung tetapan penormalan A pada fungsi gelombang ( x ) A e 2
d
d *
x dx 1 (Petunjuk: lakukan
4. Buktikan bahwa - * x dx
dx
integrasi secara parsial dan ingat bahwa bernilai nol di x serta
- * dx 1 ).
Pˆ 2
5. Buktikan bahwa: a) Xˆ i , b) Xˆ x, dan c) Eˆ k Hermitean!
p x 2m
6. (a). Tunjukkan bahwa: (i) Xˆ Pˆx dan Pˆx Xˆ keduanya tidak Hermitean, te-
tapi (ii) Xˆ Pˆx Pˆx Xˆ bersifat Hermitean. (b) Berdasarkan pertanyaan (a)
tersebut, jelaskan mengapa dalam merumuskan operator yang mewa-
kili p.r kita harus terlebih dahulu mengubah p.r menjadi ½ (p.r + r.p)?
(Petunjuk: (i) ingat bahwa p.r = xpx + ypy + zpz, (ii) kaitkan persoalan ini
dengan postulat tentang pendeskripsian besaran fisika)
7. (a) Rumuskan bentuk eksplisit operator yang mewakili kuadrat mo-
mentum sudut dalam ruang posisi! (b) Rumuskan bentuk eksplisit
operator yang mewakili energi potensial osilator harmonis dalam
ruang: (i) posisi, dan (ii) dalam ruang momentum linear!
8.
Tunjukkan bahwa: a) Xˆ,Pˆx XˆPˆx Pˆx Xˆ i , b) Pˆ 2 , Xˆ 2i Pˆ
9. Apakah pengukuran momentum linear pada osilator harmonis dalam
keadaan dasar akan mengubah keadaan sistem? Bagaimana jika yang
kita ukur posisinya? energi kinetiknya? energi potensialnya?
(i) Aˆ Cˆ Aˆ Aˆ 2 Cˆ ? ˆ [A
(ii) A ˆ , Bˆ ] A
ˆ A
ˆ 2 [A
ˆ , Bˆ ] ?
persamaan nilai eigen. Dalam hal ini, disebut fungsi eigen bagi Â
dengan nilai eigen sebesar a. Berdasarkan peristilahan pada persamaan
nilai eigen tersebut, tunjukkan bahwa jika  dan B̂ saling berkomuta-
si dan merupakan fungsi eigen bagi B̂ dengan nilai eigen b maka
 juga fungsi eigen bagi B̂ dengan nilai eigen b juga.
13. Jika operator A ˆ dan Bˆ memenuhi hubungan Aˆ Bˆ Bˆ Aˆ dengan me-
rupakan sebarang fungsi gelombang, manakah pernyataan-pernyataan
berikut yang benar?
a. Dampak pengukuran serempak besaran A dan B tidak bergantung
pada urutan pengukurannya.
b. Dimungkinkan menghasilkan ketakpastian serempak (A B) = 0
ˆ , Bˆ ] 0 .
c. [ A
14. Manakah pernyataan-pernyataan berikut yang benar perihal pendes-
kripsian pengukuran dalam fisika kuantum?
a. Pengukuran selalu mengubah keadaan sistem.
b. Hasil ukur bersifat probabilistik.
c. Hasil pengukuran suatu besaran di ruang momentum linear ber-
beda dengan hasil pengukuran di ruang posisi.
15. Operasi matematika berikut melibatkan unsur-unsur: fungsi (dilam-
bangi huruf-huruf yunani, operator (dilambangi huruf besar bertopi),
dan bilangan (dilambangi huruf-huruf biasa). Manakah operasi berikut
yang syah?
a. (,) = c b. Aˆ c c. [ Aˆ , Bˆ ] c
definisi 102
A posisi dan momentum 112
Asas ketakpastian Heisenberg
M
berdasar postulat pengukuran
102–3 Maxwell 83
rumusan umum 107 Metodologi Fisika Kuantum 84
B N
Born, Max 102, 106 Newton 83
Nilai eigen
D persamaan 113
de Broglie Nilai harap 95
hipotesis 83
O
F Operator
Fungsi eigen 113 besaran lain, kaedah
Fungsi gelombang pengkuantuman 89
norm 98 energi kinetik 89
perkalian skalar 98 Hermitean 85, 108, 112
Fungsi gelombang, analogi Hermitean
dengan trayektori klasik 84 definisi 100
nilai harap 101
G identitas 99
momentum linear
Gaussan, fungsi 106, 111 dalam ruang momentum 87
Gelombang de Broglie 83 dalam ruang posisi 88
momentum sudut 90
H
nol 99
Heisenberg, W operator-operator kompatibel
asas ketakpastian 84, 102, 103, 102
105, 106, 108, 111 penjumlahan 101
posisi
K dalam ruang momentum 86
kaedah pengkuantuman 89, 109 dalam ruang posisi 86
Komutator Ortogonal 98, 99
antarkomponen momentum Ortonormal 98
sudut 113 osilator harmonis 105, 112
P R
Pendeskripsian keadaan 84 Ruang momentum 84, 86, 87, 88,
Pengukuran 89, 90, 95, 102, 108, 109, 110,
dampak 92 112, 113
deskripsi kuantum 91 Ruang posisi 84, 86, 88, 89, 90,
hasil, probabilistik 95 93, 94, 95, 102, 103, 108, 109,
pengukuran serempak 91 110, 112, 113
proses 91
Persamaan Schrödinger 85 S
Postulat Fisika Kuantum Schrödinger
Pendeskripsian besaran 85 persamaan 85
Pendeskripsian keadaan 84 Schwarz
ketaksamaan 99, 107
SI 100
PERSAMAAN SCHRÖDINGER
Dalam bab 4 kita sudah membahas tiga postulat penting dalam fisika ku-
antum, yaitu postulat tentang pendeskripsian keadaan sistem, postulat ten-
tang pendeskripsian besaran fisika, dan postulat tentang pengukuran be-
serta aspek-aspeknya. Ada satu lagi postulat penting dalam fisika kuantum
yang harus kita pahami, yaitu postulat tentang perubahan keadaan sistem
terhadap waktu.
Selain digunakan untuk mengetahui bagaimana keadaan sistem ber-
ubah terhadap waktu, postulat tersebut juga digunakan untuk mendapat-
kan fungsi gelombang. Sebagaimana disinggung di Bab 4, fungsi gelom-
bang tidak dapat dibangun hanya dengan menggunakan hipotesis de Brog-
lie semata. Untuk mendapatkan fungsi gelombang, Edwin Schrödinger, pa-
da tahun 1926, telah berhasil merumuskan caranya. Sebagai penghormatan
atas karya besarnya itu, formula yang dirumuskan Schrödinger tersebut di-
namai Persamaan Schrödinger.
Dalam bab ini kita akan membahas persamaan Schrödinger tersebut
dan menerapkannya pada kasus-kasus sederhana. Melalui contoh-contoh
penerapan pada kasus yang sederhana itu diharapkan Anda dapat memba-
ngun intuisi Anda tentang perilaku sistem mikroskopis sebagaimana Anda
dapat membangun intuisi Anda tentang perilaku sistem makroskopis
melalui penerapan mekanika Newton dalam berbagai kasus. Untuk me-
nunjukkan terpenuhinya asas kesepadanan teori Schrödinger dan mekani-
ka Newton, pada bab ini juga akan kita bahas bagaimana teori Schrödinger
dihubungkan dengan mekanika Newton tersebut.
Berikut kita bahas bagaimana bentuk persamaan itu dan bagaimana men-
dapatkannya.
Bentuk paling umum suatu persamaan yang penyelesaiannya berupa
suatu fungsi adalah persamaan diferensial. Karena fungsi yang akan diha-
silkan dari persamaan Schrödinger adalah fungsi gelombang (x,t), yang
merupakan fungsi dua variabel, yaitu x dan t, persamaan Schrödinger ha-
rus merupakan persamaan diferensial parsial. Ini merupakan petunjuk u-
mum yang kita miliki untuk mendapatkan persamaan Schrödinger.
Petunjuk yang lebih khusus dapat kita peroleh dari postulat-postulat
fisika kuantum sebagaimana telah kita bahas di Bab 4. Berdasarkan postu-
lat tentang pendeskripsian keadaan sistem, yaitu keadaan sistem dides-
kripsikan sebagai fungsi gelombang (x,t), kita dapatkan petunjuk bahwa
fungsi gelombang (x,t) yang dihasilkan oleh persamaan Schrödinger ha-
rus dapat digunakan untuk mengetahui nilai berbagai besaran fisika yang
dimiliki sistem.
Cara mengetahui nilai besaran fisika adalah dengan melakukan pengu-
kuran. Menurut postulat tentang pengukuran, mengukur adalah menger-
jakan operator (yang mewakili besaran fisika yang diukur) pada fungsi ge-
lombang yang mendeskripsikan keadaan sistem saat pengukuran. Marilah
kita gunakan petunjuk itu dengan menerapkan pada kasus khusus, yaitu
pengukuran energi total bagi sistem konservatif.
Pada sistem konservatif berlaku hukum kekekalan energi, yaitu jumlah
energi kinetik ditambah energi potensial bersifat kekal: artinya tidak ber-
gantung pada waktu maupun posisi. Sebagaimana kita ketahui, hukum
kekekalan energi tersebut telah dapat dijelaskan secara baik oleh fisika kla-
sik. Dengan demikian, sebagai teori yang lebih baru, persamaan Schrödi-
nger harus konsisten dengan hukum kekekalan energi tersebut.
Secara matematis hukum kekekalan energi dapat diungkapkan dengan
rumusan:
p2
V ( x) E . (5. 1)
2m
Suku pertama ruas kiri menyatakan energi kinetik, suku kedua menyata-
kan energi potensial, dan ruas kanan menyatakan suatu tetapan yang bia-
sanya kita sebut sebagai energi total.
Untuk mendapatkan rumusan kuantum bagi hukum kekekalan energi
tersebut, kita ubah Persamaan (5.1) menjadi persamaan operator. Berdasar-
kan postulat pendeskripsian besaran fisika, khususnya yang berkaitan de-
Pˆ 2
V ( Xˆ ) Eˆ . (5.1b)
2m
Dalam ruang posisi, cara kerja operator P̂ dan V ( Xˆ ) sudah kita dapat-
kan di Bab 4, yaitu Pˆ i / x dan V ( Xˆ ) V ( x) . Jika ungkapan ini kita isi-
kan pada Persamaan (5.1b) kemudian masing-masing ruas persamaan ter-
sebut kita kerjakan pada sebarang fungsi gelombang (x,t) kita dapatkan
persamaan
2 2 (x,t)
V( x ) ( x , t ) Eˆ ( x , t ) . (5. 2)
2m x 2
Sejauh ini kita belum mengetahui cara kerja operator Ê terhadap fung-
si (x,t). Oleh sebab itu kita harus menemukan dahulu cara kerja operator
Ê tersebut. Untuk keperluan ini kita gunakan postulat pengukuran, khu-
susnya yang berhubungan dengan dampak pengukuran terhadap keadaan
sistem. Menurut postulat ini, fungsi gelombang tidak berubah akibat peng-
ukuran jika fungsi gelombang tersebut merupakan fungsi eigen bagi be-
saran yang diukur. Marilah kita gunakan postulat itu untuk menemukan
cara kerja operator Ê .
Perhatikan fungsi gelombang ( x , t ) e i ( kx t ). Fungsi gelombang ini
memiliki frekuensi sudut sebesar . Berdasarkan kaitan Planck-Einstein
E (lihat Persamaan 2.5 di Bab 2), dapat disimpulkan bahwa fungsi ge-
lombang tadi mendeskripsikan keadaan partikel yang memiliki energi se-
besar E . Dengan kata lain, fungsi gelombang tadi merupakan fungsi
eigen bagi operator energi Ê dengan nilai eigen E . Dengan demikian
maka fungsi gelombang tadi harus memenuhi persamaan nilai eigen:
Eˆ ( x, t ) ( x, t ) . (5. 3)
2 2 ( x, t ) ( x, t )
V ( x) ( x, t ) i . (5. 4)
2m 2 t
x
Persamaan (5.4) merupakan persamaan diferensial parsial yang jika
diselesaikan akan menghasilkan fungsi gelombang (x,t). Persamaan ini te-
lah memenuhi harapan kita sebagaimana diungkapkan di depan. Namun
masih ada keterbatasan yang dimiliki oleh persamaan itu, yaitu hanya ber-
laku untuk sistem yang energi potensialnya secara eksplisit tidak bergan-
tung pada waktu t. Keterbatasan ini dapat dihilangkan dengan mempostu-
latkan bahwa persamaan tersebut juga berlaku untuk sistem yang energi
potensialnya secara eksplisit bergantung pada waktu. Untuk itu, perubah-
an yang kita lakukan cukup mengubah V(x) menjadi V(x,t). Dengan demi-
kian kita dapatkan persamaan akhir:
2 2 ( x, t ) ( x, t )
V ( x, t ) ( x, t ) i . (5. 5)
2m 2 t
x
Inilah persamaan yang kita cari, yaitu persamaan Schrödinger (dalam satu
dimensi). Dalam 3 dimensi, persamaan Schrödinger tersebut berbentuk
2 2 (r , t )
(r, t ) V (r, t ) (r, t ) i , (5. 6)
2m t
2 2 ( x, t ) 1 ( x, t )
k x 2 ( x, t ) i .
2m 2 2 t
x
2 2 qe ( x, y , z , t )
( x, y, z , t ) ( x, y, z , t ) i .
2m 4 π 2
x y z 2 2 t
2 2 1 ( x, t ) ( x, t )
V ( x, t ) 1 ( x, t ) i 1 ,
2m x2 t
dan
2 2 2 ( x , t ) 2 ( x, t )
V ( x , t ) 2 ( x , t ) i .
2m 2 t
x
Subsitusi kedua persaman terakhir itu ke dalam Persamaan (5.7)
menghasilkan
2
2 3 2
V ( x, t ) 3 i 1 β i
2m x 2 t t
( 1 β2 )
i
t
3
i ,
t
yang menunjukkan bahwa 3 benar-benar merupakan penyele-
saian persamaan Schrödinger untuk sistem yang sama.
2 nπx i E n t / ; x a /2
sin e
( x, t ) a a
0 ; x a/2
dengan n = 1, 2, 3, …, merupakan penyelesaian persamaan Schrö-
dinger bagi partikel bermasa m yang hanya bebas bergerak dalam
interval –a/2 ≤ x ≤ a/2. Tentukan batasan nilai En yang diijinkan!
Analisis
Pernyataan bahwa “partikel hanya dapat bergerak bebas dalam in-
terval a/2 ≤ x ≤ a/2” memiliki arti bahwa partikel tidak mungkin
berada di luar interval itu. Dengan kata lain, peluang mendapat-
kan partikel di luar interval itu sebesar nol. Hal ini hanya dipenuhi
jika fungsi gelombang di luar interval – a/2 ≤ x ≤ a/2 bernilai nol.
Partikel bebas bergerak dalam interval – a/2 ≤ x ≤ a/2 menunjuk-
kan bahwa partikel tidak mengalami gaya apapun dalam interval
itu. Jadi, energi potensialnya konstan. Jika potensial ini dilambangi
V0 maka persamaan Schrödinger dalam interval –a/2 ≤ x ≤ a/2
berbentuk
2 2 ( x, t ) ( x, t )
V 0 ( x, t ) i .
2m x 2 t
2 2 ( x , t ) n2 π 2 2 2 nx iEnt /
2
V0 ( x , t ) 2
V0 sin e
2m x 2 ma a a
n2 π 2 2
2
V0 ( x , t ).
2ma
Subsitusi ke ruas kanan menghasilkan
n 2 π 2 2
En V0 .
2ma 2
Ungkapan ini sekaligus memberikan batasan nilai yang harus
dipenuhi oleh En.
ukuran di sini harus kita artikan sebagai nilai harap (rerata) pengukuran.
Hal ini disebabkan karena hasil pengukuran bersifat probabilistik sehingga
tidak mungkin bagi kita untuk menyelidiki perilaku hasil ukur secara indi-
vidual.
Dengan menggunakan persamaan Schrödinger, kita akan menemukan
jawaban atas pertanyaan tadi. Selanjutnya, untuk penyederhanaan penulis-
an, kita definisikan
2 2
Ĥ V ( x ,t ) . (5. 8 )
2 m x 2
Dengan menggunakan definisi di atas, persamaan Schrödinger dapat ditu-
lis dalam bentuk
Hˆ i , (5. 9)
t
dengan merupakan penyingkatan dari (x,t).
Nilai harap pengukuran besaran A pada saat keadaan sistem dinyata-
kan oleh fungsi gelombang ternormalkan adalah, lihat Persamaan (4.17)
di Bab 4,
d *ˆ
dt
t
*
A dx Aˆ dx . (5. 12)
vatif untuk perkalian dua fungsi atau lebih, integral di ruas kanan Persa-
maan (5.12) dapat diubah menjadi
*
Aˆ
t
*ˆ
A dx
t
Aˆ dx *
t
dx
(5. 13)
* Aˆ dx .
t
Berdasarkan persamaan Schrödinger, derivatif fungsi gelombang pada
suku pertama dan suku terakhir ruas kanan persamaan tersebut masing-
masing dapat diganti dengan ungkapan
*
* 1 ˆ 1 ˆ
t
i
H
i
*
H . (5. 14a)
dan
1 ˆ
H , (5.14b)
t i
Subtitusi Persamaan (5.14) ke dalam Persamaan (5.13) menghasilkan
1 ˆ
A 1
t Aˆ dx i Hˆ Aˆ dx
*
* * ˆH
dx * A ˆ dx.
t i
*
Karena Ĥ Hermitean maka berlaku Hˆ Aˆ dx * Hˆ Aˆ dx (lihat
pertanyaan 12) sehingga persamaan terakhir tadi dapat diubah menjadi
ˆ
t
* Aˆ dx 1 * ˆ ˆ ˆˆ
i
AH HA dx
* A
t
dx . (5. 15)
Suku pertama ruas kanan Persamaan (5.15) menyatakan nilai harap bagi
komutator [ Aˆ , Hˆ ] Aˆ Hˆ Hˆ Aˆ dan suku kedua menyatakan nilai harap
dari Aˆ / t . Dengan demikian, Persamaan (5.15) tadi dapat diubah lagi
menjadi
Aˆ
t
* Aˆ dx
1
i
[ Aˆ , Hˆ ]
Ψ t
. (5. 16)
Ψ
d 1 Aˆ
AΨ [ Aˆ , Hˆ ] . (5. 17)
dt i Ψ t
Ψ
Dapatkan cara nilai harap: (a) posisi x, dan (b) momentum linear p
berubah terhadap waktu!
Analisis
Untuk mengetahui bagaimana nilai harap posisi dan momentum
linear berubah terhadap waktu kita gunakan rumusan umum se-
bagaimana dinyatakan pada Persamaan (5.17). Untuk pertanyaan
(a), kita ganti  dengan X̂ dan untuk pertanyaan (b) kita ganti Â
dengan P̂ . Sekarang kita selesaikan persoalan tadi satu per satu.
(a) Perubahan nilai harap posisi terhadap waktu
Berdasarkan Persamaan (5.17), perubahan nilai harap posisi terha-
dap waktu mengikuti hubungan
d ˆ 1 Xˆ
X [ Xˆ , Hˆ ] . (5. 18)
dt i t
2 2
X̂ , Ĥ X̂ , 2P̂m V( X̂ ) X̂ , 2P̂m X̂ , V(X̂ ) . (5. 19a)
Komutator suku terakhir merupakan operator nol, sebab [ X̂ , X̂ ] 0
sehingga [ X̂ ,V( X̂ )] 0 . Komutator suku pertama dapat diselesaikan
sebagai berikut.
ˆ Pˆ 2 1 ˆ ˆ2 1 ˆ ˆ ˆ i Pˆ
X ,
2m 2 m
X, P
2m
X , P P Pˆ Xˆ , Pˆ m
.
Dengan demikian, Persamaan (5.19a) dapat diubah menjadi
d 1 i P̂ P̂
X̂ . (5. 20)
dt i m m
d 1 P̂
P̂ [ P̂ , Ĥ ] . (5. 21)
dt i t
Marilah kita telaah sejenak Persamaan (5. 20) dan (5.23) di atas. Persa-
ˆ
maan (5.20) dapat diubah menjadi Pˆ m d dXt . Jika setiap operator da-
lam persamaan ini kita ganti dengan besaran fisik yang diwakilinya, kita
dapatkan hubungan p m d dxt . Dalam fisika klasik, momentum linear
didefinisikan sebagai p m ddxt , yang ternyata sangat mirip dengan yang
kita dapatkan tadi.
Sekarang kita perhatikan Persamaan (5.23). Dalam fisika klasik terda-
pat hubungan F dp / dt (Hukum ke-2 Newton) dan untuk gaya konser va-
tif berlaku hubungan F dV / dx . Jadi dalam fisika klasik, khususnya un-
tuk sistem konservatif, berlaku hubungan
dp dV
. (5. 24)
dt dx
Jika kita bandingkan Persamaan (5.23) dan (5.24) maka dapat kita sim-
pulkan bahwa Persamaan (5.23) merupakan pernyataan Hukum ke-2 New-
ton dalam formulasi fisika kuantum.
Telaah tadi menunjukkan kepada kita adanya kesepadanan antara fisi-
ka kuantum dengan fisika klasik. Kesepadanan rumusan kuantum dan ru-
musan klasik tentang Hukum ke-2 Newton ini dikenal sebagai Teorema
Ehrenfest.
d ˆ 1 Hˆ
H [ Hˆ , Hˆ ] . (5. 25)
dt i t
* (r , t ) - i 2 * i
(r, t ) V (r, t ) * (r, t ) . (5. 29b)
t 2m
Subtitusi Persamaan (5.29) ke dalam Persamaan (5.28) menghasilkan
( r , t ) i i
t
2m
* 2 2 *
2m
* * , (5. 30)
dengan menyatakan vektor operator (nabla) yang dalam sistem koordi-
ˆ
nat Cartesan berbentuk i j k .
x y z
Persamaan (5.30) dapat diubah menjadi
( r , t )
J( r , t ) 0 , (5. 31)
t
dengan vektor rapat arus peluang J(r,t) didefinisikan sebagai
J (r, t )
i 2m
* * . (5. 32)
(r , t ) i k A e i (k.r - ωt ) i k (r, t )
sehingga * (r, t ) (r , t ) i k(r, t ) ,
dan * (r, t ) i k A e i ( k.r ωt ) i k * (r, t )
sehingga (r, t ) * (r, t ) i k(r, t ) .
Subtitusi kedua hasil perhitungan ini ke dalam Persamaan (5.32)
menghasilkan
k
J (r, t )
i 2m
* *
i 2m
2 ik(r, t ) (r, t )
m
. (5. 33)
2 d 2 ( x) dF (t )
F (t ) V ( x , t ) F (t ) ( x ) i ( x ) (5. 34)
2m dx 2 dt
2 1 d 2 ( x) 1 dF (t )
V ( x, t ) i (5. 35)
2m ( x ) dx 2 F (t ) dt
Ruas kanan Persamaan (5.35) merupakan fungsi t, sedangkan ruas kiri
merupakan fungsi x dan t. Satu-satunya suku yang memuat x dan t adalah
V(x,t). Ini berarti bahwa pemisahan variabel hanya akan berhasil jika V ha-
nya bergantung pada x saja, atau hanya bergantung pada t saja. Mengingat
x merupakan variabel dinamis fundamental dalam fisika kuantum, kita
pilih yang pertama.
Jika V hanya bergantung pada x maka Persamaan (5.28) dapat dinyata-
kan sebagai berikut.
2 1 d 2 ( x) 1 dF (t )
V ( x) i (5. 36)
2m ( x ) dx 2 F ( t ) dt
Ruas kiri persamaan ini merupakan fungsi x saja, sedangkan ruas kanan-
nya merupakan fungsi t saja. Jadi persamaan tersebut menyatakan kesa-
maan antara suatu fungsi yang hanya bergantung pada x dengan fungsi
lain yang hanya bergantung pada t. Kesamaan semacam itu hanya akan
terpenuhi untuk semua x dan t jika masing-masing ruas berupa suatu te-
tapan, yaitu suatu bilangan yang tidak bergantung pada x maupun t.
Arti fisik dari tetapan tersebut dapat dideduksi sebagai berikut. Suku
kedua di ruas kiri adalah energi potensial. Oleh karena itu, suku-suku lain-
nya, baik yang di ruas kiri maupun yang di ruas kanan, juga harus berdi-
mensikan energi. Lebih lanjut, karena ruas kiri persamaan tersebut menya-
takan jumlah energi kinetik ditambah energi potensial, maka tetapan yang
kita gunakan nanti memiliki arti fisik sebagai energi total, atau hamiltonan,
sistem. Selanjutnya tetapan itu kita lambangi E.
Dengan menggunakan tetapan E tersebut Persamaan (5.36) dapat di-
nyatakan sebagai sistem persamaan diferensial biasa sebagai berikut.
2 1 d 2 ( x )
V ( x) E , (5. 37)
2m ( x ) dx 2
dan
1 dF (t )
i E. (5. 38)
F (t ) dt
2 d 2 ( x)
V ( x ) ( x ) E ( x ) . (5. 40)
2 m dx 2
Persamaan tersebut identik dengan persamaan Schrödinger, bedanya
bahwa persamaan itu tidak bergantung pada t. Oleh karena itu, persamaan
tersebut sering disebut sebagai persamaan Schrödinger bebas waktu (time-
independent Schrödinger equation).
Persamaan (5.40) dapat pula ditulis dalam bentuk
2 d 2
V ( x) ( x) E ( x) (5. 41)
2m dx 2
Faktor dalam kurung di ruas kiri tidak lain menyatakan operator hamil-
tonan sistem, yaitu operator yang mewakili jumlahan energi kinetik (suku
pertama) dan energi potensial (suku kedua). Jika operator itu kita lambangi
Ĥ maka Persamaan (5.41) dapat ditulis menjadi
Ĥ ( x) E ( x) . (5. 42)
Hˆ n( x ) E n n( x) , (5. 43)
dan penyelesaian umum persamaan Schrödinger (Persamaan 5.39) diper-
luas menjadi
( x, t ) c n n ( x, t ) c n n ( x) e i En t / . (5. 45)
n n
Eˆ - * Eˆ dx
π 2 π 2
π x i 2 ma 2 t
2 2 π x i 2 ma 2 t
sin
e i a sin a e dx
a a t
2 π 2 πx 2 π 22 a π 22
i i 2
sin 2 dx
a 2ma a a 2ma 2 2 2ma 2
Eˆ 2 - * Eˆ 2 dx
π 2 π 2
π x i 2 ma 2 t 2
2 2 π x i 2 ma 2 t
sin
a
e i t a sin a e dx
a
2 2 2 2
2 π 22 a π 2 2
2
2 2πma2
πx
sin 2 dx
a 2ma 2
2
a a 2 2 ma
Dari nilai harap energi total dan nilai harap kuadrat energi total
tersebut didapatkan nilai ketakpastian energi total sebagai berikut.
2
ΔE Eˆ 2 Eˆ 0.
π 2 2
Jadi nilai harap energi total pada keadaan itu adalah de-
2ma 2
ngan ketakpastian sebesar nol, Karena ketakpastiannya nol berarti
nilai energi total partikel bersifat pasti. Contoh ini kiranya dapat
memperjelas pernyataan sebelumnya bahwa keadaan stasioner
merupakan keadaan di mana energi partikel bernilai pasti.
5.5.3 Kombinasi linear beberapa fungsi gelombang stasioner
Untuk sebarang nilai n, fungsi gelombang pada Persamaan (5.44) me-
rupakan fungsi gelombang stasioner. Sekarang marilah kita selidiki apakah
kombinasi linear fungsi-fungsi gelombang stasioner tersebut akan meng-
hasilkan fungsi gelombang stasioner pula.
Sebagai contoh, marilah kita kombinasikan dua fungsi gelombang sta-
sioner n(x,t) dan m(x,t) dengan m dan n = 1, 2, 3, yaitu
yang ternyata mirip dengan frekuensi foton yang dipancarkan atau yang
diserap atom ketika ada transisi elektron dari keadaan bertingkat energi Em
ke keadaan bertingkat energi En.
Perhatikan lagi fungsi gelombang hasil kombinasi (Persamaan 5.46)
tersebut. Dalam fungsi gelombang itu terdapat dua macam nilai energi yai-
tu En dan Em. Berarti fungsi gelombang tersebut mendeskripsikan keadaan
partikel yang energinya tidak pasti, apakah En ataukah Em.
Analisis tadi menunjukkan bahwa kombinasi linear dua fungsi gelom-
bang stasioner tidak menghasilkan fungsi gelombang yang stasioner.
f(x) f(x)
X X
Gambar 5.1a Beberapa contoh fungsi yang tidak memenuhi syarat sebagai
fungsi eigen
f(x) f(x)
X X
x1 x2
Gambar 5.1b Beberapa contoh fungsi yang tidak memenuhi syarat sebagai
fungsi eigen
2 d 2 ( x )
0 E ψ ( x) ,
2m dx 2
atau
d 2 ( x) 2mE
k 2 ( x) 0 ; dengan k 2 . (i)
dx 2
2
Penyelesian umum persamaan tersebut adalah
( x ) A sin ( kx ) (ii)
adalah
n 2 π 2 2
E . (iii)
2 ma 2
Jadi energi yang mungkin dimiliki partikel harus memenuhi Per-
samaan (iii) tersebut.
Untuk lebih memahami analisis pada Contoh Soal 5.8 tadi, perhatikan
Gambar 5.2 berikut. Pada gambar tersebut ditunjukkan empat macam nilai
π 2 2
E yang berkisar dari E = E0 sampai E = 4 E0 dengan E 0 . Terlihat bah-
2 ma 2
wa untuk menghasilkan fungsi eigen yang kontinu di mana-mana, nilai E
tidak boleh sebarang. Dalam rentang nilai E tersebut, hanya dua nilai E
yang memenuhi syarat, yaitu E = E0 dan E = 4 E0. Perhatikan bahwa dua ni-
lai E tersebut menghasilkan fungsi yang kontinu di mana-mana, sedangkan
dua nilai E lainnya menghasilkan fungsi yang tidak kontinu di x = a.
(x)
E = E0
E = 1,2 E0
0 a
E = 4E0
E = 1,5 E0
Gambar 5.2 Grafik fungsi (x) yang dihasilkan oleh persamaan Schrödinger
bagi partikel terikat pada potensial sumur tak berhingga untuk 4
macam nilai parameter E. Terlihat bahwa hanya E yang merupa-
kan kelipatan bulat dari E0 yang menghasilkan fungsi yang konti-
nu di mana-mana.
RANGKUMAM
2 2 (r , t )
(r, t ) V (r , t ) (r, t ) i ,
2m t
d 1 Aˆ
A [ Aˆ , Hˆ ]
dt i t
( x, t ) ( x) e i E t / ,
2 d 2 ( x)
V ( x) ( x) E ( x) .
2 m dx 2
9. Persamaan Schrödinger bebas waktu hanya dapat digunakan jika po-
tensial sistem secara eksplisit tidak bergantung pada waktu. Persama-
an ini bukan versi lain dari persamaan Schrödinger, melainkan hanya-
lah suatu persamaan yang diperlukan untuk mendapatkan bagian ru-
ang bagi fungsi gelombang lengkap pada keadaan stasioner.
10. Persamaan Schrödinger bebas waktu disebut juga sebagai persamaan
nilai eigen (eigenvalue equation) bagi hamiltonan sistem, dan dapat ditu-
lis dalam bentuk
Ĥ ( x) E ( x )
2
d2
dengan Hˆ V ( x) . Dalam hal ini, (x) disebut fungsi eigen
2 m dx 2
dan E disebut nilai eigen
11. Fungsi eigen (x) harus memenuhi syarat: (1) (x) dan derivatifnya
terhadap x harus kontinu di mana-mana (di semua x), (2) (x) dan
derivatifnya terhadap x harus berhingga di mana-mana (di semua x),
(3) (x) dan derivatifnya terhadap x harus bernilai tunggal di mana-
mana (di semua x), dan (4) (x) dan derivatifnya harus dapat dinor-
malkan (jadi harus tergolong fungsi SI).
12. Dengan adanya persyaratan yang harus dipenuhi fungsi eigen tersebut
maka nilai E (dalam hal ini menyatakan energi total sistem) tidak boleh
bernilai sebarang.
13. Fungsi gelombang ( x, t ) ( x) e iEt / menghasilkan rapat peluang
posisi yang tidak bergantung pada waktu. Oleh karena itu, fungsi ge-
lombang itu dikatakan sebagai fungsi gelombang stasioner. Keadaan
sistem yang dideskripsikan disebut keadaan stasioner.
14. Pengukuran energi pada fungsi gelombang stasioner menghasilkan ke-
tidakpastian sebesar nol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
keadaan stasioner merupakan keadaan dengan energi pasti.
15. Hasil kombinasi linear beberapa fungsi gelombang stasioner dengan
energi berbeda bukan merupakan fungsi gelombang stasioner.
PERLATIHAN
Pertanyaan konsep
1. Bandingkan struktur persamaan Schrödinger dengan persamaan-per-
samaan gelombang yang Anda kenal dalam fisika klasik. Adakah per-
bedaan atau kesamaannya? Daftar dan deskripsikan perbedaan dan
kesamaan yang Anda temukan itu.
2. Dalam fisika klasik seringkali kita menggunakan fungsi kompleks un-
tuk menyelesaikan persamaan fisika yang berupa persamaan diferen-
sial, misalnya pada persoalan osilator, arus bolak-balik, atau gelom-
bang elektromagnet. Tetapi ketika memaknai fungsi tersebut kita tidak
menggunakannya secara utuh melainkan hanya mengambil bagian
real atau bagian imajinernya saja. Mengapa demikian? Menurut Anda,
apakah cara tersebut juga harus kita gunakan dalam memaknai fungsi
gelombang hasil penyelesaian persamaan Schrödinger?
3. Dapatkah persamaan Schrödinger digunakan untuk partikel immaterial
(partikel tak bermassa) seperti foton misalnya?
4. Dapatkah persamaan Schrödinger digunakan untuk sistem non kon-
servatif? (Petunjuk: Pecahkan dulu pertanyaan “dapatkah Anda men-
definisikan/merumuskan energi potensial bagi sistem non konserva-
tif?”).
5. Apakah persamaan Schrödinger mengakomodasi prinsip superposisi
gelombang seperti halnya persamaan gelombang lainnya?
6. Dalam mekanika Newton, keadaan gerak partikel dapat diketahui dari
trayektorinya (biasanya diwujudkan dalam bentuk fungsi yang me-
nyatakan bagaimana posisi partikel berubah terhadap waktu), dan
trayektori itu didapatkan dengan menyelesaikan hukum ke-2 Newton:
d2 x
F m 2 .
dt
Jadi, untuk mendapatkan trayektori kita harus mengetahui terlebih da-
hulu gaya yang bekerja pada partikel itu. Apakah untuk mengetahui
fungsi gelombang yang diasosiasikan dengan suatu partikel kita juga
harus mengetahui gaya yang bekerja pada partikel itu?
7. Informasi apakah yang nilainya tetap (tidak bergantung pada waktu)
yang terkandung dalam fungsi gelombang stasioner?
8. Kapan Anda diperbolehkan menggunakan persamaan Schrödinger be-
bas waktu?
Pertanyaan Analisis
1. Tuliskan persamaan Schrödinger dalam sistem koordinat (a) bola, (b)
silinder!
2 - i Et /
2. Diketahui fungsi gelombang ( x , t ) A x e x e dengan A suatu
tetapan. (a) Jika fungsi gelombang tersebut merupakan penyelesaian
persamaan Schrödinger, dapatkan potensial partikel yang dideskripsi-
kan oleh fungsi gelombang itu. (b) Adakah hubungan antara E dan ?
3. Selidikilah apakah fungsi gelombang pada soal nomor 2 di atas meme-
nuhi syarat sebagai fungsi gelombang yang menyajikan keadaan suatu
sistem? (Petunjuk: Selidiki apakah fungsi gelombang tersebut kontinu,
bernilai tunggal, dan berhingga di mana-mana)
4. Selidikilah apakah fungsi gelombang pada nomor 2 tersebut mendes-
kripsikan keadaan stasioner?
5. Dengan menggunakan fungsi gelombang pada nomor 2 di atas hitung:
(a) nilai harap posisi partikel, (b) nilai harap momentum linear parti-
kel, dan (c) nilai harap energi total partikel.
6. Selidiki apakah fungsi gelombang pada nomor 2 di atas menyatakan
keadaan sistem konservatif?
7. (a) Tuliskan persamaan Schrödinger untuk partikel yang dipengaruhi
1 1
oleh potensial Lenard-Jones V( r , t ) k 6 12 . (b) Dapatkah Anda
r r
menggunakan persamaan Schrödinger bebas waktu pada kasus itu?
8. Tuliskan persamaan Schrödinger bagi partikel yang dipengaruhi oleh
potensial periodik dengan periode (a + b) jika dalam interval 0 < x < b
potensial tersebut berbentuk
0 ; 0 x a
V(x) .
V0 ; a x b
E L
Ehrenfest, teorema 129 Laplacean 118
Lenard-Jones 147
F
Fisika kuantum N
kesepadanan dengan fisika klasik Newton 115, 128, 129, 143, 144, 146,
129 147
kesepadanan dgn mekanika nilai eigen 135
Newton 147 Nilai harap
fungsi eigen 135 perubahan terhadap waktu 123,
Fungsi eigen 126
persyaratan 139
Fungsi eigen, persyaratan santun 139 O
Fungsi kompleks 120
Operator energi total 117
G Operator Hermitean 148
Operator Laplacean 118
Gelombang stasioner
kombinasi linear 138 P
KEADAAN STASIONER
PARTIKEL DALAM POTENSIAL KOTAK
SATU DIMENSI
Pada Bab 5 telah kita bicarakan persamaan Schrödinger bebas waktu. Kita
telah mendapati bahwa persamaan tersebut sangat berguna untuk menda-
patkan penyelesaian persamaan Schrödinger, khususnya dalam kasus di
mana potensial sistem secara eksplisit tidak bergantung waktu. Dalam bab
itu juga telah kita definisikan apa yang dimaksud dengan keadaan stasio-
ner.
Pada bab ini kita akan berlatih menyelesaikan persamaan Shrödinger
bebas waktu dan menelaah arti fisik dari penyelesaian yang didapatkan
tersebut. Persamaan Schrödinger bebas waktu pada umumnya sulit disele-
saikan secara analitik. Namun untuk potensial yang nilainya konstan, pe-
nyelesaian analitik itu tidak sulit dilakukan. Oleh sebab itu, pada bab ini
kita akan membatasi diri pada potensial semacam itu. Dengan cara ini di-
harapkan Anda mulai akrab dengan teknik penyelesaian persamaan Schrö-
dinger. Setelah Anda akrab dengan persoalan tersebut, pada bab berikut-
nya Anda akan diajak berlatih menyelesaikan persaman Schrödinger yang
potensialnya bukan merupakan konstanta.
lebih lanjut sehingga kita hanya akan membicarakan kasus kedua saja,
yaitu partikel dalam keadaan bergerak lurus beraturan.
Tidak ada partikel yang dalam keadaan bebas di seluruh ruang. Yang
ada adalah ia bebas dalam ruang yang terbatas. Ini berarti bahwa potensial
konstan hanya ada dalam interval ruang tertentu. Potensial yang dalam
interval tertentu berupa suatu konstanta dan dalam interval lainnya berupa
konstanta lain disebut potensial kotak. Jika hanya ada satu kali perubahan
(misal di x < 0 bernilai V0 dan di x > 0 bernilai V1 ) disebut potensial undak.
Jika ada dua kali perubahan disebut potensial tanggul atau potensial sumur,
bergantung apakah plotnya berupa tanggul atau berupa sumur.
Potensial kotak seperti disebutkan tadi sebenarnya tidak ada di alam.
Namun potensial semacam itu merupakan penghampiran yang sangat baik
bagi potensial yang berubah secara mendadak dari suatu konstanta ke kon-
stanta yang lain. Gambar 6.1 berikut memperjelas pernyataan ini. Peng-
hampiran potensial nyata (Gambar 6.1a) menjadi potensial undak (Gambar
6.1b) tidak berdampak besar jika interval jarak di mana potensial berubah
secara mendadak itu sangat kecil.
V(x) V(x)
V1 V1
V0 V0
0 X 0 X
Gambar 6.1a Energi potensial sistem Gambar 6.1b Plot potensial undak
berubah secara mendadak di yang merupakan hampir-
sekitar x = 0 dari V0 ke V1 an potensial pada Gambar
6.1a
d 2 ( x)
k 2 ( x) 0 (6. 1a)
2
dx
2m
dengan k 2 ( E V ) merupakan suatu konstanta positif.
2
atau
d 2 ( x)
2 ( x) 0 (6.1b)
2
dx
2m
dengan 2 (V E ) merupakan suatu konstanta positif.
2
Nilai V dalam k atau di atas harus diisikan sesuai dengan nilai potensial
pada daerah yang diperhatikan. Sebagai misal, menurut Gambar 6.1b, un-
tuk x > 0 maka V = V1, dan untuk x < 0 maka V = V0 .
Persamaan (6.1a) cocok untuk kasus di mana E>V, sedangkan Persa-
maan (6.1b) cocok untuk kasus di mana E<V. Kedua persamaan diferensial
tersebut sangat mudah diselesaikan. Penyelesaian umum Persamaan (6.1a)
adalah
( x ) A e ik x B e - ik x (6. 2a)
atau
( x ) C sin k x D cos k x (6. 2b)
atau
( x ) G sinh x H cosh x (6. 3b)
d 2 ( x ) 2m
( E V0 ) ( x) 0 ; di x 0 , (6. 4a)
2
dx 2
dan
d 2 ( x) 2m
( E V1 ) ( x) 0 ; di x 0 . (6.4b)
2
dx 2
3. Tentukan parameter E. Karena E menyatakan energi total maka nilai E
minimal sama dengan nilai terendah energi potensial sistem. Sebab, ji-
ka E kurang dari nilai itu maka energi kinetik partikel akan negatif di
mana-mana. Negatifnya energi kinetik ini menyebabkan momentum
linear partikel berupa bilangan imajiner. Suatu hal yang melanggar de-
finisi suatu besaran. Hal penting lain yang harus diperhatikan dalam
menentukan parameter E adalah bahwa nilai yang kita isikan nanti ha-
rus mencakup semua nilai yang mungkin dimiliki partikel, yaitu E ≥
Vmin .
Jika perkiraan nilai E telah kita tetapkan, isikan nilai itu pada per-
samaan Schrödinger bebas waktu di setiap interval yang sudah kita
tetapkan sesuai langkah nomor 2. Maka ada dua kemungkinan yang
terjadi, yaitu E < V, atau E > V.
Pada daerah di mana E > V, persamaan Schrödinger bebas waktu-
nya memiliki bentuk yang sama dengan Persamaan (6.1a) dengan pe-
nyelesaian umum seperti dinyatakan pada Persamaan (6.2). Pada dae-
rah di mana E < V, persamaan Schrödinger bebas waktunya memiliki
bentuk yang sama dengan Persamaan (6.1b) dengan penyelesaian
umum seperti dinyatakan pada Persamaan (6.3).
4. Hilangkan komponen fungsi gelombang yang dapat bernilai tak ber-
hingga dengan cara memberi nol pada koefisien (tetapan) yang terkait.
5. Gunakan syarat kontinuitas (x) dan d (x)/dx di setiap titik di mana
energi potensial diskontinu. Maka kita akan mendapatkan (x) yang
berlaku di semua x.
Sekarang marilah kita gunakan prosedur tersebut untuk menelaah pe-
rilaku partikel yang plot energi potensialnnya berbentuk kotak. Kita mulai
dengan potensial yang paling sederhana, yaitu potensial undak, kemudian
secara bertahap kita lanjutkan untuk potensial yang lebih rumit.
V0
E
I II
0 X
Gambar 6.2 Plot potensial undak V(x) dan energi total E terhadap x
2mE
I ( x ) A1 e ik x A2 e ik x , k , (6. 5)
2
dan penyelesaian umum persamaan Schrödinger bebas waktu di daerah II
berbentuk
2m
II ( x) B1 e x B2 e x , (V0 E ) . (6. 6)
2
hubungan
A2 k i B2 2k
, dan . (6. 8)
A1 k i A 1 k i
Dengan demikian penyelesaian akhir persamaan Schrödinger bebas waktu
sistem ini adalah
ikx k i
A1 e e ikx , x 0
k i
( x) (6. 9)
A 2 k x
e , x0
1 k i
(x)
V0
0 X
Gambar 6.3 Plot komponen real fungsi eigen (x) bagi partikel berenergi
E < V0 yang bergerak di bawah pengaruh potensial undak
yang tingginya V0.
kecil peluangnya. Untuk x > 1/, peluang tersebut menjadi sangat kecil
(kurang dari 1 / e dari nilai maksimumnya). Selanjutnya, nilai x=1/ dise-
but jarak penembusan (skin depth) dan dilambangi x. Dengan mengganti
sebagaimana didefinisikan di Persamaan (6.6) diperoleh hubungan antara
besarnya jarak penembusan dengan energi partikel sebagai berikut.
x . (6. 10)
2m(V0 E )
Menurut persamaan itu, semakin besar energi partikel semakin besar jarak
penembusannya. Suatu prediksi yang sangat logis.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah partikel dapat berada di daerah
terlarang itu untuk selamanya? Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan
menghitung terlebih dahulu peluang partikel dipantulkan oleh undakan
potensial. Argumentasinya adalah sebagai berikut. Jika peluang partikel di-
pantulkan adalah 1 (berarti partikel pasti dipantulkan) maka jawaban per-
tanyaan tadi adalah “tidak”. Dalam hal ini berarti kehadiran partikel di da-
erah terlarang tersebut hanya sementara, sebab akhirnya ia harus kembali
lagi ke x < 0. Sebaliknya, jika peluang partikel dipantulkan kurang dari 1
berarti partikel dapat berada di daerah terlarang untuk selamanya.
Besarnya peluang partikel dipantulkan dinyatakan oleh suatu besaran
yang dinamai koefisien refleksi (koefisien pantul), dilambangi R. Koefisien
refleksi didefinisikan sebagai perbandingan rapat arus peluang partikel ter-
pantul terhadap rapat arus peluang partikel datang. (Tentang rapat arus
peluang, lihat bagian 5.4, khususnya Persamaan 5.32 dan Contoh Soal 5.6).
Rapat arus peluang partikel datang kita hitung dengan menggunakan
fungsi gelombang A1 e ikx , hasilnya adalah ( k / m ) A1 2 . Rapat arus pelu-
ang partikel pantul kita hitung dengan menggunakan fungsi gelombang
2
A2 e i kx , hasilnya adalah ( k / m ) A2 . Dengan demikian besarnya koe-
fisien refleksi pada persoalan kita tadi adalah
2 2 2
( k / m) A 2 A k i
R 2
2 1 (6. 11)
( k / m) A1 A1 k i
V(x)
E
V0
I II
0 X
Gambar 6.4 Plot potensial undak V(x) dan energi total E untuk E>V0
2m
II ( x) B1 e i x B2 e i x , ( E V0 ) . (6.13)
2
Semua suku yang muncul dalam kedua persamaan tersebut merupa-
kan fungsi gelombang bidang. Andaikan gelombang yang bereksponen po-
sitif menyatakan keadaan partikel yang bergerak ke kakan maka gelom-
bang yang bereksponen negatif menyatakan keadaan partikel yang berge-
rak ke kiri. Selanjutnya kita asumsikan bahwa partikel bergerak ke kanan
dari suatu titik di x < 0.
Kehadiran gelombang pantul di daerah I, yaitu A2 e ikx , dapat dijelas-
kan sebagai berikut. Ketika partikel sampai di dekat x = 0, partikel menda-
pat gaya pembalik sebesar
dV V (x ) V ( x ) V 0 V
F lim lim 0 lim 0 .
dx 0 0 0
(x)
E
V0
0 X
Gambar 6.5 Plot komponen real Fungsi eigen (x) bagi partikel ber-
energi E > V0 yang bergerak di bawah pengaruh poten-
sial undak yang tingginya V0.
2 2
( / m) B1 B1 4k
T , (6. 18)
2
(k / m) A1 k A1 k 2
yang ternyata sama dengan yang telah kita duga. Pada perhitungan tadi ki-
ta telah menggunakan Persamaan (6.15) untuk nilai B1/A1.
Persamaan (6.17) menunjukkan bahwa ada peluang bagi partikel un-
tuk dipantulkan kembali ke daerah I. Adanya peluang partikel dipantulkan
ini tentu bertentangan dengan fisika klasik. Sebab, menurut fisika klasik
partikel pasti diteruskan karena gaya pembalik yang dirasakan partikel ter-
lalu kecil dibandingkan energi totalnya.
Pertentangan itu dapat dipertemukan pada kasus E >> V0. Untuk me-
nunjukkan hal ini kita ubah Persamaan (6.17) ke dalam bentuk yang secara
eksplisit memuat E. Dengan menggunakan definisi k dan sebagaimana
dinyatakan pada Persamaan (6.12) dan (6.13), maka Persamaan (6.17) men-
jadi
2
1 1 V0 / E
R . (6. 19)
1 1 V / E
0
Ungkapan itu menunjukkan bahwa semakin besar E semakin kecil nilai R.
Jika E >> V0 sehingga V0/E 0, maka R = 0. Dengan demikian dapat disim-
pulkan bahwa tinjauan kuantum sama dengan tinjauan klasik jika energi
partikel jauh lebih besar daripada tinggi potensial undak.
V(x)
0, x 0 (daerah I)
V0
V ( x) Vo , 0 x a (daerah II)
I II III 0, x a (daerah III)
I
0 a X
Gambar 6.6 Plot potensial V(x) yang berbentuk tanggul kotak, lebar tanggul
a dan tinggi tanggul V0
I ( x) A1 e i k1x A2 e i k1x ; x 0
II ( x ) B1 e i k 2 x B 2 e i k 2 x ; 0 x a (6. 20)
III
( x) C1 e i k1x C 2 e i k1x ; xa
dengan
2mE 2 m ( E V0 )
k1 dan k2 . (6. 21)
2
2
Jika diandaikan partikel bergerak ke kanan dari x < 0 maka, dengan ar-
gumen seperti yang kita gunakan pada kasus potensial undak, kita harus
mengisikan C2 = 0. Selanjutnya, dengan menerapkan syarat kontinuitas
(x) dan d (x ) /dx di x = 0 diperoleh
A1 + A2 = B1 + B2 (6. 22a)
k1(A1 A2) = k2 (B1 B2) (6.22b)
dan di x = a diperoleh
B1 e i k 2 a B2 e i k2 a C1 e i k 1 a , (6. 23a)
k 2 B1 e i k2 a B 2 e i k 2 a k1 C1 e i k 1 a . (6.23b)
k 2 k22 ik a
A1 C1 cos k 2 a i 1 sin k 2 a e 1 , (6. 24a)
2 k1 k 2
k k12 2 ik a
A 2 C1 i 2 sin k 2 a e 1 , (6.24b)
2 k1 k 2
k k i k k a
B 1 C1 2 1 e 1 2 , (6.24c)
2 k2
k k
B 2 C1 1 2 1 e
ik1a
e
i k 1 k2 a
. (6.24d)
2 k2
Persamaan (6.24) memberikan batasan untuk nilai A sampai C, semua
tetapan dinyatakan dalam C1. Dengan menggunakan Persamaan (6.24) ter-
sebut penyelesaian umum (Persamaan 6.20) berubah menjadi penyelesaian
khusus sebagai berikut.
A A
C 1 1 e i k1x 2 e i k1x ; x 0
C
1 C 1
B B
( x ) C1 1 e i k2 x 2 e i k2x ; 0 x a (6. 25)
C1 C1
C 1 e i k1x ; xa
dengan A1/C1, A2/C1, B1/C1, dan B2/C1 berturut-turut mengikuti Persa-
maan 6.24a, 6.24b, 6.24c, dan 6.24d. Gambar 6.7 menyajikan plot komponen
real fungsi eigen, Persamaan (6.25), tersebut.
(x)
(x)
E
V0
a X
Gambar 6.7 Plot komponen real fungsi eigen bagi partikel di bawah peng-
aruh potensial tanggul kotak, tinggi tanggul V0, lebar tanggul a,
energi total partikel E > V0
R
A2
2
k 1
2
k22 sin
2 2
k2a
, (6. 26)
A1
2
4 k1 2 k 2 2 k12 k 2 sin
2 2 2
k2a
dan koefisien transmisi sebesar
2
C1 4 k1 2 k 2 2
T . (6. 27)
A1
2 2
4 k1 k 2 2
2
k1 k 2 2 2
sin 2
k2a
Dengan mengisikan nilai k1 dan k2 sebagaimana didefinisikan pada
Persamaan (6.21) diperoleh
4 E ( E V0 )
T . (6. 28)
a
4 E ( E V0 ) V0 2 sin 2 2 m ( E V0 )
Persamaan (6.28) menunjukkan bahwa, untuk nilai E dan V0 tertentu,
koefisien transmisi bergantung secara periodik terhadap lebar tanggul a.
n
Nilai maksimum T adalah 1, dan ini terjadi jika a 2m (E V0 ) dengan
n sebarang bilangan bulat positif. Dikatakan bahwa pada kondisi ini terjadi
resonansi dalam arti bahwa partikel yang datang mengenai tanggul dengan
mudah (pasti) diteruskan. Nilai minimum koefisien transmisi sebesar
4 E ( E V0 )
,
4 E (E V0 ) V0 2
yang menunjukkan bahwa selalu ada peluang bagi partikel untuk dite-
ruskan.
Ketika tidak terjadi resonansi transmisi, gelombang yang merambat ke
kanan (yang diteruskan dari x = 0) dan gelombang yang merambat ke kiri
(yang dipantulkan di titik x = a) saling melemahkan. Akibatnya amplitudo
gelombang yang sampai di daerah III menjadi berkurang. Perhatikan
Gambar 6.7 di depan.
Gambar 6.8 berikut melukiskan bagaimana koefisien transmisi T beru-
bah terhadap lebar tanggul a tersebut.
T
1
4E(EV0)
.
4E(EV0) V02
a/k2
0 /2 3 /2 2 5/2
Gambar 6.8 Variasi koefisien transmisi T terhadap lebar tanggul a
I ( x) A1 e i k1 x A2 e i k1 x ; x 0
x x
(6. 29)
II ( x) B1 e B2 e ; 0 x a
III ( x) C1 e i k1x ; xa
dengan
2 mE 2 m (V0 E )
k1 2
dan . (6. 30)
2
Selanjutnya, dengan menerapkan syarat kontinuitas ( x ) dan d ( x ) /dx
di x = 0 diperoleh
A1 + A2 = B1 + B2 (6. 31a)
i k1(A1 A2) = (B1 B2) (6.31b)
dan di x = a diperoleh
B1 e a B2 e a C1 e i k 1 a , (6. 32a)
B1 e a B2 e a i k1 C1 e i k 1 a . (6.32b)
Dari keempat Persamaan (6.31a) sampai (6.32b) di atas diperoleh hubungan
k 2 2 ik 1a
A1 C 1 cosh a i 1 sinh a e
, (6. 33a)
2 k1
2 k 12 ik1 a
A 2 C 1 i sinh a e
, (6.33b)
2 k1
i k1 i k1 a a
B 1 C1 e e , (6.33c)
2
a i k1 i k1 a
B 2 C1 e 1 e . (6.33d)
2
Persamaan (6.33) memberikan batasan untuk nilai A sampai C. Pada
persamaan itu telah ditunjukkan bahwa semua tetapan telah dinyatakan
dalam C1. Dengan menggunakan Persamaan (6.24) tersebut, penyelesaian
umum (Persamaan 6.29) menjadi penyelesaian khusus sebagai berikut.
A1 i k1x A2 i k1x
C1 e e ; x 0
C1 C1
B1 x B 2 x
( x ) C1 e e ; 0 x a (6. 34)
C1 C1
C e i k1 x xa
1
(x)
V0
X
0 a
Gambar 6.9 Plot komponen real fungsi igen bagi partikel di bawah pe-
ngaruh potensial tanggul kotak, energi total partikel kurang
dari tinggi tanggul (E<V0)
R
A2
2
k1 2 2 sinh 2 a
2
, (6. 35)
A1
2 2 2
4 k1 k1 2
2 2 2
sinh k 2 a
dan koefisien transmisi sebesar
2
C1 4 k1 2 2
T . (6. 36)
A1
2 2
4 k1 2
k1 2
sinh
2 2 2
a
Persamaan ini menunjukkan adanya peluang bagi partikel untuk sampai di
daerah III melalui daerah II, suatu daerah yang secara klasik tidak mung-
kin dilewati partikel. Gejala suksesnya partikel menembus daerah yang
secara klasik terlarang ini disebut efek penerowongan (tunneling effect).
Seperti pada kasus E > V0, berdasarkan Persamaan (6.36) tersebut kita
juga mendapati bahwa besarnya koefisien transmisi juga bergantung pada
lebar tanggul, meskipun cara bergantungnya kini secara hiperbolis. Untuk
memudahkan menafsirkan arti fisik Persamaan (6.36) tersebut, kita perha-
tikan kasus di mana nilai sangat besar. Dalam kasus ini, nilai sinha akan
bernilai sangat besar sehingga sumbangan suku pertama pada penyebut
persamaan tersebut dapat diabaikan. Selain itu, pada limit ini nilai fungsi
sinh a 12 e a e a menjadi 21 e a dan k 12 2 2 . Dengan demikian
pada kasus ini koefisien transmisinya sebesar
2m
16 k12 2 a 16 E (V0 E ) 2 a 2 (V0 E )
T e e . (6. 37)
2
V0 2
Ruas terakhir pada persamaan tersebut diperoleh dengan mengisikan
nilai k dan sebagaimana didefinisikan pada Persamaan (6.30). Persama-
an (6.37) menunjukkan bahwa nilai koefisien transmisi berkurang secara
eksponensial terhadap bertambahnya lebar tanggul.
Dalam banyak kasus, nilai memang besar. Ingat bahwa E dan V0 da-
lam orde eV ( 10 J), m dalam orde 10 kg, dan h dalam orde 10 J.s, se-
hingga nilai dalam orde 10/m. Bagi sistem yang energi dan massanya
lebih dari nilai-nilai tadi, nilai akan lebih besar lagi.
Secara kualitatif, kebergantungan peluang penerobosan terhadap lebar
tanggul tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut. Fungsi gelombang di
daerah II merupakan kombinasi fungsi-fungsi hiperbolis e x dan e x se-
bagaimana dinyatakan pada baris kedua ruas kanan Persamaan (6.34). Da-
lam persamaan itu, fungsi e x lebih dominan daripada fungsi e x . Se-
bab, berdasarkan Persamaan (6.33 c) dan (6.33d) kita peroleh hubungan
B2 i k 1 2 a
e (6. 38)
B1 i k1
yang menunjukkan bahwa amplitudo fungsi e x (yaitu B2) lebih besar da-
ripada amplitudo fungsi e x (yaitu B1 ). Karena fungsi e x lebih dominan
daripada fungsi e x maka perilaku fungsi gelombang di daerah II ditentu-
kan oleh perilaku fungsi e x . Kehadiran fungsi ini hanya efektif di daerah
x < 1/, sebab untuk x > 1/ amplitudonya dapat diabaikan.
Jika lebar tanggul a kurang dari 1/ maka amplitudo gelombang di te-
pi kanan tanggul masih cukup besar. Akibatnya fungsi gelombang di dae-
rah III juga memiliki amplitudo yang cukup besar. Hal ini berdampak pada
besarnya peluang bagi partikel untuk sampai di daerah III. Sebaliknya, jika
lebar tanggul cukup besar dibandingkan 1/ maka amplitudo gelombang
V0 V0
III III
E E
a a
(a) (b)
Gambar 6.10 Komponen real fungsi eigen partikel di bawah pengaruh potensial
tanggul. Lebar tanggul di gambar (a) kurang dari yang di gambar
(b). Perhatikan amplitudo gelombang di daerah III pada (a) dan (b)
V(x)
a/2 a/2
X
I II III
V ; 1 a x 1 a
V ( x) 0 2 2
V0 0; di x lainnya
Gambar 6.11 Potensial sumur kotak: bernilai nol di luar interval [a/2, a/2]
dan bernilai –V0 di dalam interval [a/2, a/2]
Telaah kita batasi pada keadaan terikat, artinya gerak partikel dibatasi
pada ruang tertentu. Berdasarkan plot potensial di Gambar 6.11, keadaan
terikat terjadi jika energi total partikel memenuhi ketaksamaan V0 < E < 0.
Dalam hal ini partikel hanya mungkin bergerak di sekitar interval x = a/2
sampai x = a/2. Jika energi partikel lebih dari nol maka partikel dapat
bergerak dari sampai dengan +, dan partikel dikatakan dalam keada-
an bebas.
Persamaan Schrödinger bebas waktu di masing-masing daerah adalah
sebagai berikut. Di daerah I dan III:
d 2 ( x) 2mE
2 ( x) 0 ; 2 . (6. 39)
dx 2 2
Di daerah II:
d 2 ( x) 2m
k 2 II ( x) 0 ; k 2
II
( E V0 ) . (6. 40)
2
dx 2
Penyelesaian umum kedua persamaan tersebut adalah
I ( x) A1 e x A2 e x ; x a / 2 , (6. 41a)
II ( x) B1 e i k x B2 e i k x ; a / 2 x a / 2 , (6.41b)
III ( x ) C1 e x C 2 e x ; x a / 2 . (6.41c)
Agar fungsi eigen yang didapat berhingga di mana-mana maka kita harus
menetapkan A2 = C1 = 0. Selanjutnya, dari syarat kontinuitas di x = a/2 di-
dapatkan hubungan
A1 e a / 2 B1 e i k a / 2 B 2 e ik a/ 2
, (6. 42a)
A1 e a / 2 i k B1 e i k a / 2 B2 e ik a/2
, (6.42b)
dan dari syarat kontinuitas di x = a/2 didapatkan hubungan
B1 e ika/2
B2 e ik a / 2
C 2 e a / 2 , (6. 43a)
i k B1 e ik a/2
B2 e ik a / 2
C 2 e a / 2 . (6.43b)
Dari Persamaan (6.42) didapatkan hubungan
ik i k a / 2 ik
1 B1 e 1 B2 e i k a / 2 0 , (6. 44)
dan dari Persamaan (6.43) didapatkan hubungan
ik ik a/ 2 ik
1 B1 e 1 B2 e i k a / 2 0 . (6. 45)
Akhirnya, dari Persamaan (6.44) dan (6.45) diperoleh hubungan
2
i k
e 2ika . (6. 46)
ik
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa agar penyelesaian persamaan
Schrödinger memenuhi syarat sebagai fungsi eigen (bernilai berhingga dan
kontinu di mana-mana) maka tetapan dan k harus memenuhi Persamaan
(6.46). Karena kedua tetapan itu bergantung pada E maka ungkapan tadi
juga menunjukkan bahwa energi total partikel tidak boleh sebarang. Seka-
rang marilah kita hitung berapa saja energi yang diijinkan tersebut.
Pesamaan (6.46) memiliki dua penyelesian (akar), yaitu
ik
e ika , (6. 47)
ik
dan
ik
e ika . (6.47b)
ik
Marilah kita uraikan lebih lanjut masing-masing pnyelesaian tersebut.
ik
Untuk e ika .
ik
Ungkapan itu dapat diubah menjadi
i k 1 i / k 1 i / k
e ika e ika ln ika
ik 1 i /k 1 i /k
atau
1 1 i / k ka
ln . (6. 48)
2 i 1 i /k 2
1 1 i z
Dengan menggunakan identitas bilangan kompleks ln tan 1 z ,
2i 1 i z
Persamaan (6.48) identik dengan
tan ( 21 ka ) . (6. 49)
k
1
Dengan menggunakan identitas trigonometri cos 2 A 2
, dari Per-
tan A 1
samaan (6.49) diperoleh
k
cos ( 12 ka ) (6. 50)
k0
2 mV0
dengan k 0 k 2 2 . Selanjutnya, karena dan k keduanya po-
2
sitif maka nilai tan(ka/2) juga positif. Dengan demikian Persamaan (6.47b)
identik dengan sistem persamaan
k
cos ( 12 ka ) , (6. 51a)
k0
dan
tan ( 12 ka ) 0 . (6.51b)
tan (ka/2)< 0
1
G(k) = k/k0
F(k) = |cos(ka/2)|
k
0 k1 /a 2/a k3 3/a 4/a k5 k0 5/a
ik
Untuk e ika
ik
Dengan prosedur seperti sebelumnya dapat ditunjukkan bahwa persamaan
ik
e ika identik dengan sistem persamaan
ik
k
sin ( 12 ka ) , (6. 52a)
k0
dan
tan ( 12 ka ) 0 . (6.52b)
tan (ka/2)< 0
1
G(k) = k/k0
k2 2 /a k4 k
0 /a 3 /a 4/a k0 5/a
a/2 a/2
-a/2
a/2
(c)
-a/2 a/2
(a) (b)
Gambar 6.13 (a) Diagram tingkat energi, (b) Komponen real fungsi eigen
untuk keadaan berenergi terendah pertama, (c) Komponen
real fungsi eigen untuk keadaan berenergi terendah kedua.
2 mE
dengan k . Penyelesaian di luar sumur harus memiliki amplitudo
2
nol sebab potensial di luar sumur tak berhingga besar. Dengan demikian
Persamaan (6.53) juga harus bernilai nol di x = 0 dan x = a.
Agar (0) = 0 maka A = B. Dengan demikian fungsi eigen (Persamaan
6.53) menjadi
( x ) N sin kx , (6. 54)
2 n x
n ( x) sin . (6. 56)
a a
Indeks n digunakan untuk membedakan suatu fungsi eigen dengan
fungsi eigen lainnya. Setiap fungsi eigen itu menyatakan keadaan partikel
saat energinya sebesar
n 2 2 2
En , (6. 57)
2ma 2
yang diperoleh dengan mengisikan Persamaan (6.55) ke dalam definisi
2 mE
k . Indeks n tadi juga untuk menandai keadaan kuantum partikel.
2
Jika n = 1, dikatakan dalam keadaan dasar (ground state), dan jika n = m >1
dikatakan dalam keadaan tereksitasi tingkat m.
RANGKUMAN
d 2 ( x ) 2m
2 ( x) 0 dengan 2 (V E) merupakan konstanta
dx 2 2
positif.
Penyelesaian umum kasus pertama adalah
PERLATIHAN
Pertanyaan Konsep
1. Jelaskan mengapa fungsi eigen berupa fungsi harmonis di daerah di
mana V(x) = V0 < E, dan berupa fungsi hiperbolis di daerah di mana
V(x) = V0 > E.
2. Jelaskan mengapa kita harus membuang fungsi yang berbentuk e x ,
dengan sebarang bilangan real positif, di daerah yang memuat x =
dan juga membuang fungsi yang berbentuk e x di daerah yang me-
muat x = + .
Pertanyaan Analisis
1. Jika E dan V0 dinyatakan dalam satuan elektron-volt (eV), tunjukkan
bahwa jarak penembusan elektron dan proton (massa proton kira-kira
1840 massa elektron) ke dalam daerah yang secara klasik terlarang ada-
lah:
1, 96
untuk elektron: x A dan
V0 E
1, 96
untuk proton: x A
1840 V0 E
2. Sebuah elektron dan sebuah proton, masing-masing berenergi 1 eV,
mencoba menembus potensial undak yang tingginya 2 eV. Perkirakan
jarak penembusan masing-masing partikel tersebut.
3. Sebuah proton dan sebuah deutron mencoba menembus potensial tang-
gul yang tingginya 10 MeV dan tebalnya 10 m. Jika masing-masing
partikel tersebut memiliki energi yang sama, misalnya 3 MeV, (a) jelas-
kan partikel mana yang lebih berpeluang sukses menembus tanggul
tersebut! (b) Hitung peluang kesuksesan masing-masing!
4. Elektron yang berenergi 2 eV bergerak ke kanan dari x < 0 melalui po-
tensial: V(x) = 1 eV di 0 < x < x0 dan nol di tempat lainnya. Tentukan (a)
momentum linear elektron di: (i) x < 0, (ii) 0 < x < x0, dan (iii) x > x0; (b)
nilai x0 agar elektron pasti diteruskan sampai di x > x0, (c) peluang mi-
nimum elektron diteruskan sampai x > x0.
5. Perhatikan penyelesaian secara grafik untuk mendapatkan energi parti-
kel terikat dalam sumur potensial kotak sebagaimana diuraikan dalam
naskah. Lebih khusus, amati Gambar 6.12. Berdasarkan gambar itu, (a):
tentukan besaran yang menentukan cacah tingkat energi partikel. (b)
untuk lebar sumur tertentu, bagaimana pengaruh kedalaman sumur
terhadap cacah tingkat energi? (c) untuk kedalaman sumur tertentu,
bagaimana pengaruh lebar sumur terhadap cacah tingkat energi? (d)
22
jika V0 , berapa cacah tingkat energi partikel?
2ma 2
6. Berdasarkan Gambar 6.12, (a) tentukan cacah tingkat energi untuk nilai-
nilai k0 berikut: (i) /a k0< 2/a, (ii) 2/a k0< 3/a, (iii) 3/a k0< 4/a.
(b) Berdasar jawaban Anda pada pertanyaan (a) tadi, jelaskan bagai-
mana kebergantungan cacah tingkat energi partikel terhadap k0. (c) Per-
hatikan bahwa jika k0 sangat besar maka garis G(k) = k/k0 hampir men-
datar sehingga absis titik-titik potong antara G(k) dan F(k) hampir sama
dengan n/a dengan n = 1, 2, 3, …, dst. Tunjukkan bahwa, dalam hal
OSILATOR HARMONIS
d2 x
m kx 0 . (7. 4)
dt 2
Penyelesaian persamaan tersebut adalah
2
d 2 ( x) 2mE m 2
2
2 ( x ) x ( x) 0 . (7. 9)
dx
Persamaan tersebut dapat disederhanakan dengan mendefinisikan va-
riabel-variabel tak berdimensi dan sebagai berikut.
x (7. 10)
m
(7. 13)
dan
2
E0 (7. 14)
maka Persamaan (7.12) menjadi
d 2 ( )
( 2 ) ( ) 0 . (7. 15)
2
d
Persamaan (7.15) merupakan persamaan Schrödinger bebas waktu osi-
lator harmonis yang akan kita pecahkan selanjutnya. Bandingkan persama-
an hasil modifikasi ini dengan persamaan semula, yaitu Persamaan (7.9).
Dalam Persamaan (7.9), variabel x dan E merupakan variabel berdimensi;
sedangkan dalam Persamaan (7.15), variabel dan parameter semuanya
tidak berdimensi.
Dengan menggunakan nilai tetapan pada Persamaan (7.13) dan (7.14)
maka variabel dan parameter yang didefinisikan di Persamaan (7.10)
dan (7.11) tadi masing-masing menjadi
m
x (7. 16)
dan
2
E. (7. 17)
Jika F( ) kita pilih lebih cepat menuju nol dibandingkan H( ), maka
perilaku ( ) di lebih banyak ditentukan oleh F( ) . Jika pilihan
ini yang kita ambil maka di Persamaan (7.15) menjadi
d 2 F( )
( 2 ) F ( ) 0 . (7. 19)
d 2
Karena pada berlaku 2 2 maka Persamaan (7.19) dapat
disederhanakan lagi menjadi
d 2 F( )
2 F ( ) . (7. 20)
d 2
2
Penyelesaian persamaan itu berbentuk F( ) e c dengan c merupakan
suatu tetapan yang nilainya dapat ditentukan sebagai berikut. Subtitusi
2
F ( ) e c ke Persamaan (7.20) menghasilkan
Jadi H( ) harus memenuhi Persamaan (7.24) dengan syarat tambahan ha-
rus bernilai nol di .
Persamaan (7.24) dapat diselesaikan dengan metode deret sebagai be-
rikut. Andaikan H ( ) dinyatakan dalam bentuk deret pangkat
j
H( ) a j ξ (7. 25)
j 0
maka
d
H( ) a 1 2 a 2 ξ 3 a 3 ξ 2
..... j 1a j 1 ξ j
d j0
sehingga
d H( )
j 1
j
2 2 ( j 1) a j 1 ξ 2 j aj ξ (7. 26)
d j 0 j 0
dan
d2 2
H( ) 2 a 2 3 2 a 3 4 3 a 4 .....
d 2
(7. 27)
( j 2)( j 1) a j 2 j .
j 0
atau
( j 1)( j 2) a j 2 2 j 1 a j j 0 . (7. 28)
j0
Agar Persamaan (7.28) berlaku untuk semua j maka harus dipenuhi hu-
bungan
2 j 1 ε
a j 2 aj (7. 29)
( j 1)( j 2)
1
2
( ) H( ) e 2 , (7. 30)
2n + 1 = n. (7. 31)
Indeks n perlu kita bubuhkan pada sebab untuk memenuhi hubung-
an 2n+1 = maka nilai harus disesuaikan dengan nilai n.
6. Berdasarkan catatan nomor 2 dan 3 di depan, Persamaan (7.31) hanya
dapat menghentikan salah satu dari deret yang berpangkat ganjil saja
atau deret yang berpangkat genap saja; jadi tidak dapat menghentikan
keduanya sekaligus. Jika n merupakan bilangan genap, maka deret
yang dapat dihentikan dengan persamaan itu adalah deret yang ber-
pangkat genap. Sebaliknya jika n merupakan bilangan ganjil, deret
yang dapat dihentikan adalah deret yang berpangkat ganjil. Oleh se-
bab itu untuk menjamin agar ( ) bernilai nol di kita guna-
kan ketentuan tambahan: jika n genap maka a harus diberi nilai nol
sehingga semua koefisien berpangkat ganjil pada H ( ) bernilai nol;
sebaliknya jika n ganjil maka a harus diberi nilai nol sehingga semua
koefisien berpangkat genap pada H ( ) bernilai nol.
6 V(x)
5
4
Bab 7: Osilator Harmonis
3
2
1
Gambar 7.1 Plot energi potensial dan tingkat energi osilator harmonis.
190 Penyelesaian persamaan Schrödinger
d 2 n ( )
( n 2 ) n ( ) 0 . (7. 33)
2
d
kan catatan nomor 6 di depan, a1 harus kita beri nilai nol sehingga
semua koefisien suku berpangkat ganjil bernilai nol. Selanjutnya,
berdasarkan Persamaan (7.31), jika n = 0 maka = 1. Dengan me-
ngetahui nilai ini kita dapat menentukan nilai koefisien-koefisien
berpangkat genap yang tidak nol dengan menggunakan Persa-
maan (7.29).
Untuk j = 0, kita dapatkan
2 0 1 1
a2 a0 0 .
(0 1)(0 2)
Karena a2 = 0 maka koefisien suku berpangkat genap di atasnya ju-
ga bernilai nol. Dengan demikian, polinom H() yang cocok de-
ngan keadaan ini adalah H() = a0 = konstanta, dan fungsi eigen
yang kita cari (lihat Persamaan 7.30) adalah
1
2
0 ( ) a 0 e 2 .
Atau
2 2
2 2 2 ( 1 / 2 ) 2
a 0 e d 2 a0 e d 2 a 0 a0 1.
0 2
1/ 4
1
Jadi a0 .
Dengan demikian, kita dapatkan fungsi eigen yang telah ternormal-
kan:
1/ 4 1 2
1
0 ( ) e 2 .
Gambar berikut adalah plot fungsi eigen untuk tingkat nol (terendah)
tersebut.
0()
V()
nilai eigen
Atau
2 2 2 2 2 (3 / 2) 2
a1 2 e d 2 a1 2 e d 2 a1 a1 1 .
0
2 2
1 /4
4
Jadi a1 .
Dengan demikian kita dapatkan fungsi eigen yang telah ternor-
malkan:
1/ 4 1
4 2
1 ( ) e 2 .
Gambar berikut menyajikan plot fungsi eigen untuk tingkat energi
tersebut.
1()
V()
nilai eigen
Analisis
Energi tersebut bersesuaian dengan nilai n = 2. Karena n meru-
pakan bilangan genap, maka a1 harus kita beri nilai nol sehingga
semua koefisien suku berpangkat ganjil bernilai nol. Selanjutnya,
berdasarkan Persamaan (7.31), jika n = 2 maka = 5. Dengan
mengetahui nilai ini kita dapat menentukan nilai koefisien-
koefisien berpangkat genap yang tidak nol dengan menggunakan
Persamaan (7.29).
Untuk j = 0, kita dapatkan
2 0 1 5
a2 a0 2 a0 .
(0 1)(0 2)
Untuk j = 2, kita dapatkan
2 2 1 5
a4 a2 0 .
(2 1)(2 2)
Karena a4 = 0 maka koefisien suku pangkat genap di atasnya akan
bernilai nol. Dengan demikian, polinom H() yang cocok dengan
keadaan ini adalah
H 2 ( ) a 0 (1 2 2 ) N 2 2 1 ,
dan fungsi eigen yang kita cari adalah
1
2
2
2 ( ) N ( 2 1) e 2 .
2()
V()
nilai eigen
2 31 7
Untuk j = 3, kita dapatkan a 5 a1 0 .
( 3 1)( 3 2 )
H 3 ( ) a 1 ( 23 3 ) N 2 3 3 ,
V()
nilai eigen
3()
Analisis
Energi tersebut bersesuaian dengan nilai n = 4, dan = 9. Karena n
merupakan bilangan genap maka aj = 0 untuk j ganjil. Nilai aj un-
tuk j genap dicari dengan menggunakan Persamaan (7.29) sebagai
berikut.
2 01 9
Untuk j = 0, kita dapatkan a 2 a0 4 a0 .
(0 1)( 0 2 )
221 9
Untuk j = 2, kita dapatkan a 4 a 2 13 a 2 43 a 0 .
( 2 1)( 2 2 )
2 41 9
Untuk j = 4, kita dapatkan a6 a4 0
( 4 1)( 4 2 )
1
2
4 2
4 ( ) N ( 4 12 3) e 2 .
4()
H 0 ( ) 1 , H 1 ( ) 2 ,
H 2 ( ) 4 2 2 , H 3 ( ) 8 3 12 ,
0 ; nm
2
H n ( ) H m ( ) e d . (7. 38)
2 n n! ; n m
Setelah kita melihat adanya hubungan antara fungsi eigen osilator har-
monis dengan polinom Hermite, dan mengingat kembali beberapa sifat
penting polinom tersebut, marilah kita kembali menelaah fungsi eigen osi-
lator harmonis. Hal-hal yang akan kita bahas lebih lanjut adalah sifat keor-
togonalan fungsi eigen osilator dan bagaimana mendapatkan fungsi eigen
dalam variabel x, yaitu n(x), berdasarkan fungsi eigen yang dinyatakan
dalam variabel tak berdimensi , yaitu n().
1 1 0 ; nm
2 2
H n ( ) e 2 H m ( ) e 2 d (7. 39)
2 n n! ; n m
maka dapat kita maknai sebagai keortogonalan antara sebarang pasangan
fungsi eigen n() dan m(). Baris kedua Persamaan (7.39) tersebut juga
menunjukkan bahwa fungsi eigen n() yang polinom Hn()-nya kita dapat-
kan dari Persamaan (7.35) adalah belum ternormalkan.
Untuk mendapatkan fungsi eigen yang ternormalkan, fungsi eigen
yang belum ternormalkan tersebut kita tuliskan sebagai berikut.
1
2
n ( ) N H n ( ) e 2 , (7. 40)
1/4 1
1 2
0 1 e 2
1/4 1 1/4 1
1 2 4 2
1 3
4
2 e 2 e 2
1/4 1 1/4 1
1 2 1 2
2
2 5
64
( 4 2 ) e 2 =
( 2 2 1) e 2
4
1 /4 1 1/4 1
1 2 1 2
3 7
2304
8 3
12 e 2 2 3
3 e 2
9
atau
2
n ( x) dx 1 . (7. 44)
n ( x) n ( x ) . (7. 45)
Persamaan (7.45) itulah yang menghubungkan fungsi eigen ternormalkan
dalam variabel dengan fungsi eigen ternormalkan dalam variabel x. Seca-
ra eksplisit, fungsi eigen yang telah ternormalkan tersebut berbentuk
1/ 2 1
x 2
n ( x) H n (x) e 2 . (7. 46)
2 n n!
Antara dua fungsi eigen ternormalkan berlaku hubungan
0 , n m
n ( x ) m ( x) dx (7. 47)
1, n m
x 2 n n ( x) x 2 n ( x) dx
1/ 2
2 1 1 / 2(x ) 2 2
e H n (x) x 2 e 1 / 2(x ) H n (x) dx (7. 50)
2 n n!
1/ 2
2 1 1 (x ) 2
n 3
e x H n (x )2 dx .
2 n!
d
n ( x) i n ( x ) dx 0 .
p n (7. 54)
dx
(Lihat pertanyaan 7 pada bagian Pertanyaan Analisis di akhir bab ini.)
Nilai harap kuadrat momentum pada sebarang keadaan eigen, p2
n
adalah
d2
p2 n ( x ) 2 n ( x ) dx (7. 55)
dx 2
n
= 2 2 ( n 1 /2 ) m( n 1 / 2 )
( px ) n m n 1 / 2 n 1 / 2 n 1 / 2 (7. 57)
m
Bandingkan hasil tersebut dengan tabel nilai ( p x) untuk osilator harmo-
nis sebagaimana dinyatakan pada bagian akhir Bab 3.
RANGKUMAN
Jadi, spektrum nilai energi total bersifat diskret. Hal ini berbeda sekali
dengan kesimpulan klasik sebagaimana disebutkan sebelumnya.
4. Penyelesaian persamaan Schrödinger bebas waktu tersebut juga meng-
hasilkan kesimpulan bahwa keadaan eigen osilator harmonis yang
berenergi total En dinyatakan oleh fungsi eigen .
1 /2 1
x 2 m
n ( x) n
H n (x) e 2 , dengan
2 n!
n
j
H n ( ) a j
j 0
0 , n m
n
( x ) m ( x ) d x
1 , n m
5. Berdasarkan fungsi eigen tersebut, pengukuran posisi dan momentum
partikel akan menghasilkan nilai ukur sebagai berikut.
Pengukuran posisi
6. Nilai harap posisi: <x> = 0 untuk semua keadaan.
o Ketakpastian posisi: ( x ) n n 1 / 2 .
m
Pengukuran momentum linear
o Nilai harap: <p> = 0 untuk semua keadaan
7. Ketakpastian momentum linear: ( p ) n m( n 1 /2 ) . .
PERLATIHAN
Pertanyaan Konsep
1. Berikan contoh-contoh gejala fisika yang berperilaku sebagai osilator
harmonis!
2. Menurut fisika klasik, energi total terendah osilator harmonis sama
dengan energi potensial terendahnya. Sementara itu, menurut fisika
kuantum, nilai tersebut adalah 1 / 2 di atas nilai terendah energi po-
tensialnya. Apa komentar Anda tentang hal ini?
3. Menurut postulat Planck, energi yang dimiliki oleh osilator harmonis
haruslah memenuhi hubungan En n , dengan n = 0, 1, 2,… . Di lain
pihak, berdasarkan persamaan Schrödinger, hubungan tersebut adalah
En ( n 1 / 2) . Apa komentar Anda terhadap perbedaan ini?
4. Jika energi terendah osilator harmonis sama dengan energi potensial
terendahnya, prinsip apa yang terlanggar?
5. Menurut Anda, apakah kesimpulan yang didapatkan oleh fisika kuan-
tum tentang osilator harmonis ini memiliki kesepadanan dengan hasil
analisis yang diperoleh oleh fisika klasik? Jika ya, tunjukkan letak ke-
sepadanan itu.
6. Selama partikel berperilaku sebagai osilator harmonis, mungkinkah
partikel itu dalam keadaan bebas sehingga dapat memiliki sebarang
energi?
7. Masing-massing ketakpastian posisi maupun momentum linear osila-
tor harmonis sebanding dengan n . Berarti semakin besar ketakpas-
tian posisi semakin besar pula ketakpastian momentum linearnya.
Apakah kesimpulan ini tidak bertentangan dengan asas ketakpasian
Heisenberg?
Pertanyaan Analisis:
1. Jika V(x) menyatakan variasi energi potensial suatu partikel terikat ter-
hadap posisinya, dan a adalah posisi setimbangnya, tunjukkan bahwa
di sekitar posisi setimbang itu partikel berperilaku sebagai osilator har-
monis. (Petunjuk: ekpansikan (uraikan) V(x) ke dalam bentuk deret
pangkat dalam x dan tunjukkan bahwa di sekitar x = a berlaku peng-
hampiran V(x) bx2, dengan b bilangan positif).
2. Dengan menggunakan metode deret, dapatkan fungsi eigen osilator
harmonis yang memiliki energi: a) 5,5 , b) 6,5 , c) 7,5 .
3. Carilah tetapan normalisasi N untuk: a) 3 () pada contoh soal 7.4 dan
b) 4 () pada contoh soal 7.5 .
4. Selidikilah bahwa semua polinom Hermite yang didaftar di bagian
7.4.1, setelah Persamaan (7.35), merupakan penyelesaian Persamaan
(7.34)! (Petunjuk: subtitusikan masing-masing fungsi ke ruas kiri Per-
samaan (7.34) kemudian selidikilah apakah semuanya menghasilkan
nol!)
5. Berdasarkan Persamaan (7.36) dan atau (7.37) tunjukkan bahwa
a. Hn(x) = 2x Hn 1(x) – 2 (n –1) Hn 2(x)
d
b. H n ( x) 2x Hn (x) – Hn + 1(x)
dx
d2
c.
dx 2
H n ( x ) 4 x 2 2 n H n ( x ) 2 x H n1 ( x )
2
6. Buktikan bahwa e (x ) x H n (x )2 d x = n! 2n (n+1/2). (Pe-
tunjuk: (1) lakukan perubahan variabel x y , (2) gunakan Persama-
an (7.36) untuk mengubah yHn(y) menjadi ½{Hn+1(y) + 2nHn1 (y)}, (3)
gunakan Persamaan (7.38) untuk menyelesaikan integralnya.)
7. Buktikan perhitungan pada Persamaan (7.54). (Petunjuk: hitung dulu
derivatif pertama dari n (x) (gunakan Persamaan (7.37) untuk men-
dapatkan derivatif dari Hn), kemudian selesaikan integralnya (gunakan
Persamaan (7.38) dan ingat bahwa x(Hn (x) ) merupakan fungsi gan-
jil).
8. Buktikan hasil penghitungan integral pada Persamaan (7.55). Petunjuk:
hitung dulu derivatif kedua dari n (x ) (bisa menggunakan pertanya-
an 5c di depan), kemudian selesaikan integralnya (gunakan Persamaan
(7.38) dan ingat bahwa x(Hn (x) ) merupakan fungsi ganjil).
9. Dalam fisik klasik, untuk osilator harmonis berlaku hubungan
d2 x
2 x 0. Apakah dalam fisika kuantum ada hubungan yang sa-
dt 2
ma, atau mirip, dengan itu? Jika ada, tunjukkan. (Petunjuk: lihat Bab 4)
10. Tetapan pegas yang diasosiasikan dengan getaran molekul diatomik
berkisar pada orde 10 N/m. Jika massa molekul diatomik tersebut pa-
da orde 10kg, perkirakan berapa energi terendah getaran molekul
tersebut.
O
F
Osilator harmonis
fonon ..................................... 181 energi klasik ............... 183, 205
energi kuantum .......... 189, 205
G fungsi eigen........ 200, 205, 206,
Gaussan 190–97
fungsi................................. 205 ketakpastian momentum .... 204,
206
H ketakpastian posisi ..... 203, 206
pengertian .......................... 181
Heisenberg
persamaan Schrodinger
Asas ketakpastian............... 205
penjabaran ................ 183–85
K solusi........................ 185–88
Persamaan Schrodinger ...... 205
konservatif ...................... 182, 183
konstanta pegas...................... 181 P
kristal .................................... 181
partikel identik ....................... 182
M polinom Hermite .................... 205
Polinom Hermite
medium kontinu ..................... 181 dan fungsi eigen O.H.......... 199
definisi ............................... 198
N sifat-sifat penting ............... 199
Newton .................................. 182
S
sistem konservatif .......... 182, 183
Sejauh ini kita baru membicarakan gerak partikel dalam satu dimensi. Me-
ngingat gerak di alam ini umumnya dalam ruang tiga dimensi, maka kita
perlu mempersiapkan diri untuk menerapkan pokok-pokok metode fisika
kuantum pada gerak tiga dimensi ini.
Besaran dinamis (observable) yang memegang peranan penting dalam
analisis gerak tiga dimensi adalah momentum sudut (anguler momentum).
Oleh sebab itu, pada bab ini kita akan membahas bagaimana fisika kuan-
tum mendeskripsikan momentum sudut.
Sebagai ilustrasi betapa pentingnya peranan momentum sudut dalam
pembahasan gerakan tiga dimensi, marilah kita ingat kembali beberapa
temuan besar yang berhasil dirumuskan berdasarkan telaah momentum
sudut. Contoh dalam khasanah makroskopis kita jumpai hukum Kepler
tentang gerakan tata surya, sedangkan dalam khasanah mikroskopis kita
jumpai teori Bohr tentang atom hidrogen.
Ada dua hal pokok yang akan kita bahas dalam bab ini terkait dengan
momentum sudut, yaitu tentang operator yang mewakili vektor momen-
tum sudut beserta hubungan komutasi yang melibatkan komponen-kom-
ponennya, dan tentang nilai eigen beserta fungsi eigen momentum sudut.
Sebelum membahas dua pokok besar tersebut, bahasan akan dimulai de-
ngan tinjauan singkat definisi klasik momentum sudut beserta sifat-sifat
pentingnya.
Untuk memberi contoh salah satu penerapan Persamaan Schrödinger
dalam ruang tiga dimensi, bab ini juga memaparkan tinjauan kuantum
untuk atom berelektron tunggal. Hasilnya kemudian diterapkan pada
atom hidrogen dan selanjutnya diperbandingkan dengan teori Bohr untuk
melihat kesepadanannya.
r
r
O Y
X
Jika gaya yang bekerja pada partikel merupakan gaya sentral, yaitu
besarnya hanya bergantung pada jarak terhadap pusat dan arahnya ber-
impit dengan vektor posisi, maka N bernilai nol. Dalam hal ini, menurut
Persamaan (8.3), momentum sudut partikel bersifat kekal. Hukum Kepler,
khususnya tentang kecepatan sapu vektor radius, merupakan konsekuensi
dari berlakunya kekekalan momentum sudut tersebut. (Lihat, misalnya,
buku Mechanics edisi 3, oleh Symon, terbitan Addison Wesley 1971, hala-
man 135).
Berdasarkan Persamaan (8.1) sampai (8.4) dapat disimpulkan bahwa
momentum sudut, berdasarkan tinjauan klasik, dapat bernilai sebarang.
Kita akan meninjau, secara kuantum, apakah spektrum momentum sudut
bersifat kontinu atau diskret. Kita juga akan meninjau apakah momentum
sudut partikel yang bergerak di bawah pengaruh potensial sentral juga
bersifat sebagai tetapan gerak seperti dinyatakan dalam fisika klasik.
P
r
y
O
Gambar 8.2 Definisi koordinat bola (r, , ) dan Y
koordinat Cartesan (x, y, z) untuk x
sebarang titik P X
sin
Lˆ y i cos , (8.10b)
tan
Lˆ z i , (8.10c)
Lˆ x
, Lˆ y Yˆ Pˆz Zˆ Pˆy , Zˆ Pˆx Xˆ Pˆz
(8. 12)
Yˆ Pˆz , Zˆ Pˆx Yˆ Pˆz , Xˆ Pˆz Zˆ Pˆy , Zˆ Pˆx Zˆ Pˆy , Xˆ Pˆz .
Komutator di suku kedua dan ketiga pada ruas kanan baris kedua Persa-
maan (8.12) menghasilkan operator 0̂ . (Lihat pertanyaan nomor 2 pada ba-
gian Pertanyaan Analisis). Dengan demikian Persamaan (8.12) dapat dise-
derhanakan menjadi
[ Lˆ z , Lˆ x ] = i L̂ y . (8. 15)
Analisis
= Lˆ x [ Lˆ x , Lˆ z ] [ Lˆ x , Lˆ z ]Lˆ x Lˆ y [ Lˆ y , Lˆ z ] [ Lˆ y , Lˆ z ]Lˆ y
= Lˆ (i Lˆ ) (i Lˆ ) Lˆ Lˆ (i Lˆ ) (i Lˆ ) Lˆ 0̂.
x y y x y x x y
ˆ 2 , Lˆ ] 0̂ , dan [Lˆ 2 , Lˆ ] 0̂ .
Dengan cara yang sama dapat ditunjukkan: [L y x
Jadi kita dapatkan hubungan komutasi antara L̂2 dengan komponen dari
L̂ sebagai berikut.
ˆ 2 , Lˆ ] 0̂ ,
[L ˆ 2 , Lˆ ] 0̂ ,
[L ˆ 2 , Lˆ ] 0̂ .
[L (8. 17)
x y z
nilai ukur yang pasti pada masing-masing komponen tersebut. Nilai ukur
hanya akan pasti jika nilai semua komponen itu adalah nol. Di lain pihak,
pengukuran serempak kuadrat momentum sudut dengan salah satu (se-
barang) komponen momentum sudut dapat menghasilkan nilai ukur yang
pasti pada masing-masing besaran.
Ditinjau dari sudut pandang persamaan nilai eigen, keadaan di atas
menghasilkan konsekuensi sebagai berikut.
1. Masing-masing komponen momentum sudut memiliki fungsi eigen
yang berbeda. Tidak ada satupun fungsi yang merupakan fungsi eigen
bersama bagi semua komponen momentum sudut.
2. Terdapat suatu fungsi yang merupakan fungsi eigen bersama bagi
kuadrat momentum sudut dan bagi salah satu komponen momentum
sudut. Fungsi eigen bersama antara L̂2 dan L̂z (misalnya) harus berbeda
dengan fungsi eigen bersama bagi L̂2 dan L̂ x maupun bagi L̂2 dan L̂ y .
Dalam sistem koordinat bola, operator L̂2 hanya bekerja pada dan
(lihat Persamaan (8.11)). Dengan demikian, fungsi eigen bagi L̂2 cukup di-
nyatakan oleh fungsi dan , selanjutnya kita beri lambang Y(,), dan
persamaan nilai eigen bagi L̂2 dapat dinyatakan sebagai
ˆ 2 Y ( , ) 2Y ( , ) ,
L (8. 18)
dengan merupakan besaran tak berdimensi yang nilainya merupakan
bilangan real positif atau nol. Ketentuan bahwa harus tidak berdimensi
disebabkan karena 2 sudah berdimensikan kuadrat momentum sudut.
Penetapan bahwa harus merupakan bilangan real positif atau nol dida-
sarkan pada kenyataan bahwa L̂ merupakan operator Hermitean (dengan
demikian nilai eigennya real) sehingga nilai eigen L̂2 harus positif atau nol.
Dengan menggunakan Persamaan (8.11), Persamaan (8.18) dapat diu-
bah menjadi
2 1 1 2
2 Y ( , ) Y ( , ). (8. 19)
tan sin 2 2
Inilah persamaan nilai eigen bagi L̂2 yang selanjutnya akan kita pecahkan
untuk mendapatkan spektrum nilai eigen beserta fungsi eigennya.
Persamaan diferensial parsial (8.19) tersebut dapat diubah menjadi
sistem persamaan diferensial biasa melalui teknik pemisahan variabel. An-
daikan Y(,) dinyatakan sebagai perkalian fungsi Φ( ) dan Θ( ) , yaitu
Y(,) = Φ( ) Θ( ) , (8. 20)
maka Persamaan (8.19), setelah dikalikan dengan sin/(), menjadi
1 d 2 Φ sin 2 d2Θ 1 dΘ
(8. 21)
Φ d 2
Θ d 2 tan d Θ .
Φ ( ) e i m . (8. 23)
Karena Y(,) harus bernilai tunggal maka () juga harus bernilai tung-
gal. Oleh sebab itu () harus memenuhi syarat batas: ( =0) = (
=2), sebab kedua nilai tersebut menyatakan titik yang sama.
Berdasarkan syarat ini maka nilai m haruslah merupakan bilangan bulat
(negatif atau positif) atau nol. Jadi
m = 0, 1, 2, 3, … (8. 24)
m2
d
d
1 2 dF
d 1 2
F F 0. (8. 26)
d
1
d
2 dF
F 0.
d
(8. 27)
Analisis
1 2 30 14
a3 a1 a1 , (untuk k = 1),
23 3
3 4 30 9 14 42
a5 a 3 a 1 a1 , (untuk k = 3),
45 10 3 10
ak = 0, (untuk k 5).
a1
F() = a1( – 14/3 + 42/10 ) = (15 – 70 + 63 )
15
d
P ( )
1
2 ! d
2 1 . (8. 32)
2 dP ( )
d
1
d
d
( 1) P ( ) 0 . (8. 34)
d m
1 2
2 !
m/2
d m
2 1 , (8. 35)
2 1 ( m)!
Ym ( , ) ( 1)m e i m Pm (cos ) , (8. 39a)
4 ( m)!
Ym ( 1)m Y m .
(8.39b)
Fungsi harmonis bola ini telah ternormalkan terhadap integrasi meliputi
seluruh sudut ruang dalam sistem koordinat bola, yaitu
Y Y
m m
sin d d m ,m , , (8. 40)
dengan ij adalah delta kronecker yang nilainya nol jika indeknya berbeda
dan 1 (satu) jika indeksnya sama.
Berdasarkan uraian tersebut maka akan lebih menguntungkan jika
m
Y ( , ) pada Persamaan (8.38) ganti dengan fungsi harmonis bola (Persa-
maan 9.39) tersebut.
Karena kita telah mendapatkan fungsi eigen bagi L̂2 , sementara itu
kita sudah menyimpulkan bahwa terdapat suatu fungsi yang merupakan
fungsi eigen bersama bagi L̂2 dan L̂ z , (lihat uraian awal Bagian 8.3 di
depan) maka ada baiknya kita menguji apakah fungsi eigen bagi L̂2 tadi
benar-benar merupakan fungsi eigen bagi L̂ z .
Menurut Persamaan (8.10c), operasi L̂ z pada Ym ( , ) menghasilkan
2 1 ( m)! d im
Lˆ zYm ( , ) i Ym ( , ) i ( 1)m Pm (cos ) e
4 ( m)! d (8. 41)
m
m Y , ) .
(
L ( 1) (8. 43a)
dengan ℓ = 0, 1, 2, … ;
dan arahnya juga harus sedemikian rupa sehingga komponen ke salah
satu sumbu yang dipilih, misalnya sumbu-Z, sebesar
Lz = m , (8.43b)
dengan m = ℓ, ℓ1, ..., -1, 0, 1, ... ℓ, ℓ.
Tabel 8.1 Contoh fungsi eigen dan nilai eigen bagi L̂2 dan L̂ z
Nilai Nilai dan fungsi eigen bagi L̂2 Nilai dan fungsi eigen bagi L̂ z
ℓ Nilai eigen Fungsi eigen Nilai eigen Fungsi eigen
0 0 Y00 ( , ) 0 Y00 ( , )
1 2 2 Y11 ( , ) Y11 ( , )
Y10 ( , ) 0 Y10 ( , )
Y11 ( , ) Y11 ( , )
2 6 2 Y22 ( , ) 2 Y22 ( , )
Y21 ( , ) Y21 ( , )
Y20 ( , ) 0 Y20 ( , )
Y21 ( , ) Y21 ( , )
Y22 ( , ) 2 Y22 ( , )
Z Z
2
L2
L1 2
1
1
0 0
1
1
2
2
(a) (b)
Gambar 8.3 Contoh orientasi vektor momentum sudut dengan bilangan kuan-
tum ℓ = 1 (gambar a) dan ℓ = 2 (gambar b). Untuk ℓ = 1, ada 3
kemungkinan arah L (gambar a), dan untuk ℓ = 2 terdapat 5
kemungkinan arah L (gambar b).
Lˆ xYm
2
( m)( m 1) Ym 1 ( , ) ( m)( m 1) Ym 1 ( , ) , (8. 44a)
dan operasi L̂y , lihat Persamaan (8.10b), pada fungsi eigen Ym ( , ) meng-
hasilkan
Lˆ yYm
i
2
( m)( m 1) Ym 1 ( , ) ( m)( m 1) Ym 1 ( , ) . (8.44b)
Kedua operasi itu menunjukkan bahwa Ym ( , ) bukan fungsi eigen bagi
L̂x maupun L̂y . Karena itu, alih-alih mencari jawab berapa saja nilai ma-
sing-masing komponen itu, kita akan menghitung nilai harapnya.
Nilai harap L̂ x adalah
Y11 1
0
Y1
Y
X 1
Y01
lim 0 .
L z
lim (8. 47)
L z max
Dengan demikian, untuk ℓ yang sangat besar, pengkuantuman nilai L̂ z ti-
dak lagi signifikan dan spektrum nilai L̂ z dapat dianggap kontinu. Demi-
kian pula halnya dengan spektrum nilai L.
Korespondensi klasik dapat pula dilihat dengan memperhatikan
sudut yang dibentuk oleh vektor L dengan vektor Lz. (Lihat Gambar 8.5).
Untuk nilai ℓ tertentu, sudut antara kedua vektor itu mencapai minimum
pada saat nilai L̂ z maksimum, yaitu . Jika sudut terkecil tersebut kita
beri lambang , maka
cos 1 . (8. 48)
( 1)
Untuk ℓ kita dapatkan cos = 1, atau = 0. Ini berarti bahwa vektor L
berimpit dengan vektor Lz.
Lz L
( 1)
0
Gambar 8.5 Definisi sudut , yaitu sudut terbesar yang dibentuk oleh L dan Lz
1 2 1 2 1 1 2
2 r 2
2
. (8. 55)
r 2 r r r 2 tan r sin 2
2
Dengan menerapkan operator itu pada Persamaan (8.53) kita dapat mem-
peroleh fungsi gelombang (r,,) beserta nilai E yang cocok. Namun
demikian, alih-alih menggunakan cara itu kita akan menggunakan cara
lain yang modalnya sudah kita dapatkan pada pembahasan sebelumnya.
1 Lˆ 2 2 2
r ( r , , ) V( r )( r , , ) E ( r , , ). (8. 56)
2 r 2 r 2 r r
Karena operator L̂2 hanya bekerja pada fungsi dan (lihat Persamaan
8.11), maka akan sangat menguntungkan jika fungsi gelombang (r,,)
kita asumsikan merupakan perkalian fungsi Y(,) dan fungsi R(r) sebagai
1 R Lˆ Y
2
2 d 2 d R
Y 2 r V( r )YR E YR , (8. 58)
2 r 2
r d r d r
Lˆ 2 Y 2 d 2 d R
r 2 r 2 V( r ) E 0. (8. 59)
Y R d r dr
2 1 ( m)!
Ym ( , ) ( 1)m e i m Pm (cos ) , (8. 61)
4 ( m)!
dengan Pm (cos ) merupakan polinom Legendre sekawan jenis pertama,
lihat Persamaan (8.35). Nilai ℓ dan m pada fungsi harmonis bola itu ma-
sing-masing adalah: merupakan sebarang bilangan bulat positif atau nol
dan m merupakan bilangan bulat dari ℓ sampai +ℓ. Nilai yang meme-
nuhi Persamaan (8.60) adalah ( 1).
r / a0 , (8.67b)
n2 En /EI , (8.67c)
Z 2 e 4
EI , (8.67d)
2 ( 4 0 )2
Persamaan (8.66) menjadi
d 2 ( 1) 2 2
d 2 2 n n ( ) 0. (8. 68)
Untuk , suku kedua dan ketiga persamaan itu dapat diabaikan ter-
hadap suku lainnya sehingga persamaan itu menjadi
d2 2
d 2 n n ( ) 0, (8. 69)
n
dan memiliki penyelesaian umum berbentuk e . Selanjutnya, karena
di fungsi eigen harus nol maka kita hanya memilih penyelesaian
yang berpangkat negatif. Berdasarkan argumen itu maka penyelesaian
Persamaan (8.68) dapat diasumsikan berbentuk
n ( ) y n ( ) e n . (8. 70)
Subtitusi persamaan itu ke dalam Persamaan (8.68) menghasilkan
d2 d 2 ( 1)
2 2 n y n ( ) 0, (8. 71)
d d 2
2 [ n ( i ) 1 ]
ci c i 1 . (8. 75)
i ( i 2 1)
Jadi, agar Persamaan (8.72) merupakan penyelesaian Persamaan (8.71) ma-
ka koefisien ci harus memenuhi Persamaan (8.75) dan s harus bernilai
s 1 . Namun demikian, bukan berarti upaya kita mencari fungsi radial
sudah tuntas. Sebab, sesungguhnya deret (Persamaan 8.72) itu merupakan
deret divergen, ingat bahwa nilai menjangkau . Untuk mendapatkan
fungsi radial yang berhingga, deret itu harus dipaksa berhenti sampai
suku tertentu.
Andaikan kita ingin menghentikannya sampai suku ke q (tentu saja q
harus lebih dari nol sebab c 0) maka kita harus memaksa cq = 0. Berda-
sarkan Persamaan (8.75), usaha ini pasti berhasil asalkan pembilang pada
persamaan itu dibuat nol untuk i = q. Maka kita peroleh hubungan
n (q ) 1 0 ,
atau
1
n . (8. 76)
( q )
Subtitusi nilai itu ke dalam Persamaan (8.67c) menghasilkan
EI
En . (8. 77)
( q )2
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa nilai En tidak bergantung
pada q dan ℓ secara terpisah, melainkan bergantung pada jumlahan q +ℓ.
Selanjutnya, karena q merupakan bilangan bulat: 1, 2, 3, … (ingat bahwa q
berasal dari indeks i dan harus lebih dari nol) dan merupakan bilangan
bulat positif atau nol: 0, 1, 2, …, maka (q +ℓ) harus merupakan bilangan
bulat: 1, 2, 3, … . Karena (q +ℓ) nilainya seperti itu, dan fungsinya untuk
menunjukkan hubungan En terhadap EI, maka akan lebih baik jika bilang-
an (q+ℓ) itu kita nyatakan dengan suatu bilangan n. Dengan demikian,
ungkapan (8.77) kita ubah menjadi:
EI
En , n = 1, 2, 3, … . (8. 78)
n2
Perlu dicatat bahwa nilai n tersebut berkaitan erat dengan ℓ. Oleh
karena itu, untuk menghindari hilangnya informasi penting ini, indeks n
pada En kita ganti dengan n,ℓ; sehingga En diubah menjadi En,ℓ.
Dengan notasi baru ini, kita tuliskan lagi Persamaan (8.66) menjadi
2 d2 ( 1) 2 Ze 2
2
n , ( r ) En , n , ( r ) , (8. 79)
2 d r 2 r 2 4 0 r
1 (q = 2)
0 (q = 3)
n n1 (q = 1)
n2 (q = 2)
1 (q = n1)
0 (q = n)
Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan kaitan antara nilai n dan ℓ
sebagai berikut.
Untuk n tertentu, maka ℓ = , …, (n). (8. 84)
Dapatkan fungsi radial Rn,ℓ (r) untuk: (a) n = 1, (b) n = 2, dan (c) n
sebarang tetapi ℓ = n –1.
Analisis
c 0 r /a0 r /a0
R 1, 0 ( r ) e A10 e , dengan A tetapan normalisasi
a0
bagi R(r).
1 r /2 a0
R 2 ,0 ( r ) e
a
c 0 c 1 ( r / a 0 ) c 2 ( r / a 0 )2 .
0
Dari Persamaan (8.81) diperoleh hubungan: c= c/2, dan c=
0. Dengan demikian diperoleh
1 r /2 a0 r r /2 a0
R2 ,0 ( r ) e c0 c 0 / 2 ( r / a0 ) A20
1 e
a0 2 a0
dengan A tetapatan normalisasi bagi R(r).
r
R2 ,1 ( r ) 2
c0 c1 (r / a 0 ) e r /2 a0 .
a0
Dari Persamaan (8.81) diperoleh hubungan: c=0. Dengan
demikian diperoleh
r r / 2 a0 r /2 a0
R2 ,1 ( r ) c0 e A21 r e
a 02
dengan A tetapatan normalisasi bagi R(r).
(c) Untuk n sebarang dan ℓ = n 1, Persamaan (8.83) menjadi
1 n1
r / a0 c0 c 1 ( r / a0 ) e r /n a0 .Tetapi, karena
Rn ,( n1 ) ( r )
a0
menurut Persamaan (8.81), c= maka
n 1 n 1
c0 r r /n a0 r r /n a0
R n , ( n 1 ) ( r ) e An ,( n1 ) e ,
a0 a0 a0
dengan
EI
En . (8.86b)
n2
Fungsi eigen tersebut juga merupakan fungsi eigen bagi L̂2 :
Lˆ 2 n , ,m ( 1) 2 n , ,m (8. 87)
Faktor pertama pada ruas terakhir dapat dimaknai sebagai besarnya pe-
luang elektron berada pada jarak antara r sampai r+dr, dalam suatu sudut
ruang tertentu yang diperhatikan; dan faktor kedua sebagai besarnya pe-
luang elektron berada dalam suatu unsur sudut ruang d, pada jarak r
tertentu. Dengan demikian kita dapatkan informasi rapat peluang posisi
secara radial sebagai
( r ) r 2 |Rn , ( r )|2 , (8. 90)
Berarti (, ) tidak bergantung pada sudut asimut . Dengan kata lain,
semua titik pada sudut polar tertentu memiliki peluang yang sama
untuk ditempati elektron, berapa pun sudut asimut titik itu.
Untuk mendapatkan gambaran visualisasi dalam tiga dimensi, kita
lukis(, )dalam sistem koordinat polar melalui tahapan sebagai berikut.
(1) Buat suatu sumbu yang dibentuk oleh dan tertentu, misal =
dan =.
(2) Hitung (, ) untuk 1dan 1tersebut, misalnya sebesar u.
(3) Buat titik pada sumbu (1,) pada jarak u dari pusat. Titik tersebut
adalah titik( 1, 1). Lihat Gambar 8.6.
Sumbu (1,1 )
(4) Ulangi langkah tadi sehingga semua nilai (, ), yaitu untuk dari 0
sampai dan dari 0 sampai 2, sudah digambar.
Analisis
Berdasarkan Persamaan (8.35) diperoleh P0 (cos ) P (cos ) , dan
berdasarkan data di Persamaan (8.33) kita dapatkan P(cos) =
konstanta. Oleh sebab itu (, ) = konstanta. Akibatnya, kurva
( ) yang dibuat pada bidang y-z berupa setengah lingkaran
yang berpusat di O. Perhatikan Gambar 8.8a. Jika kurva tersebut
diputar pada sumbu Oz sejauh 2 diperoleh kulit bola yang ber-
pusat di O seperti Gambar 8.8b.
z z
1 1
O
O 1 1
y y
1 x
(a) (b)
Gambar 8.8 Plot (, ) untuk ℓ =0 dan m = 0. (a) Plot ( ) pada = /2
(b) Plot lengkap (, ) yang diperoleh dengan memutar kur-
va Gambar (a) terhadap sumbu OZ sejauh 2. Catatan: ()
belum ternormalkan.
0,5
y
0,0
O y
0,5 1,0
x
-0,5
Analisis
1
P(cos)= ½ (3 cos 1) sehingga ( , ) ( 3 cos 2 1)2
4
Seperti pada contoh sebelumnya, kita buat dulu plot (,) untuk
= /2. Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 8.10a. Kemudian kita
putar kurva itu terhadap sumbu OZ untuk menghasilkan plot
(,) meliputi semua nilai . Hasilnya ditunjukkan pada Gam-
bar 8.10b.
0,5
0
0 0,4 0,8
-0,5
(a) (b)
-1
Gambar 8.11 Distribusi peluang posisi elektron terhadap sudut pada keadaan
kuantum dengan bilangan kuantum ℓ dan m seperti ditunjukkan
pada gambar.
Kebergantungan terhadap jarak
Pada Contoh Soal 8.3 kita sudah mendapatkan beberapa fungsi radial
sebagai berikut.
r /a0
R1,0 ( r ) A10 e , (8. 93)
r r /2 a0
R 2 ,0 ( r ) A20 1 e , (8. 94)
2 a0
r / 2 a0
R2 ,1 ( r ) A21 r e , (8. 95)
n 1
r r /n a0
Rn ,( n1 ) ( r ) An ,( n1) e . (8. 96)
a0
Berdasarkan beberapa fungsi radial itu, marilah kita pelajari bagaimana
kebergantungan peluang posisi elektron terhadap jaraknya ke inti.
Berdasarakan Persamaan (8.90), rapat peluang posisi elektron secara
radial bergantung pada kuadrat jarak dan fungsi radial:
( r ) r 2 |Rn , ( r )|2 .
Gambar 8.12 berikut menyajikan rapat peluang posisi yang sebagian besar
fungsi radialnya sudah kita dapatkan
(r)
n=1
ℓ=0
n=2
ℓ=0
n=3
ℓ=0
(r)
n=2
ℓ=1
n=2
ℓ=0
r/a
(r)
n=3
ℓ=0
n=3
ℓ=2
n=3
ℓ=1
Tabel 8.3 Beberapa fungsi eigen beserta rapat peluang posisi yang dihasilkan.
Fungsi eigen n, ℓ, m (r, , ) Rapat peluang posisi n , ,m ( r , , )
r /a0 2
1,0 ,0 e r 2 r /a0
1 ,0 ,0 e
a0
2 2
r r / 2 a0 r r r /a0
2 ,0 ,0 1 e 2 , 0 , 0 1 e
2 a 0 a0 2 a0
r r /2 a0 4
2 , 1 , 1 e sin e i 2 ,1 , 1
r
r /a0
e sin 2
a0
a0
r r / 2 a0 4
2 , 1, 0 e cos r r /a0
a0 2 , 1 , 0 e cos 2
a0
r r /2 a0 4
2 ,1,1 e sin e i r r /a0
a0 2 ,1 ,1 e sin 2
a0
2 2 r /3 a0
r r /3 a0 3 , 2 , 0 r 6 e ( 3 cos 2 1)2
3 , 2 ,0 e ( 3 cos 2 1)
a0
Catatan: Semua fungsi eigen dan rapat peluang tersebut belum ternormalkan.
z
a 4a
y
O
4a
n=1 n=2
ℓ =0 ℓ =1
m=0 m=0
Gambar 8.13. Perkiraan posisi yang sangat mungkin ditempati elektron pada
keadaan kuantum dengan bilangan kuantum sebagaimana ditun-
jukkan di gambar.
( r , )
n=2
ℓ=0
r
Gambar 8.14a. Plot distribusi peluang posisi elektron terhadap r dan untuk n =
2 dan ℓ = 0. Jarak r dalam satuan a, dan dalam satuan rad.
(r,)
n=2
ℓ=1
m = 1
r
Gambar 8.14b. Plot distribusi peluang posisi elektron terhadap r dan untuk n = 2,
ℓ = 1, dan m = 1. Jarak r dalam satuan a, dan dalam satuan
rad.
( r , )
n=1
ℓ=0
r
( r , )
n=2
ℓ=1
r
(r,)
n=3
ℓ=2
r
Gambar 8.15. Plot distribusi peluang posisi elektron terhadap r dan untuk nilai
(n,ℓ,m) = (1,0,0), (2,1,0), dan (3,2,0). Jarak r dalam satuan a, dan
dalam satuan radian. Perhatikan bahwa jarak elektron ke inti me-
menuhi hubungan rn = n a .
Hal ini menunjukkan bahwa momen dipol magnet yang dihasilkan oleh
gerakan berputar elektron sebanding dengan momentum sudut elektron,
dengan faktor kesebandingan sebesar e/(2me) yang dikenal sebagai rasio
giromagnetik.
Jika momen dipol magnet itu ditempatkan dalam suatu medan mag-
net luar B maka momen dipol tersebut akan terarahkan sejajar dengan B.
Energi untuk mengarahkan momen dipole dari arah semula menuju arah
medan magnet disebut energi potensial momen dipol magnet. Besarnya
energi potensial tersebut adalah
Ep = .B = e/(2me) L.B (8. 101)
Jika medan magnet dipilih sejajar sumbu-Z maka Persamaan (8.101)
menjadi
Ep = B .z = eB/(2me) Lz. (8. 102)
Penetapan arah medan magnet pada sumbu tertentu ini tidak akan
mengurangi generalisasi hasil yang diperoleh, sebab pemilihan sumbu-
sumbu X, Y, dan Z pada prinsipnya adalah bebas. Lihat bagian awal bab
ini. Dalam praktek, sumbu Z dipilih searah medan magnet yang
digunakan.
Rumusan klasik (Persamaan 8.102) tersebut dapat kita ubah menjadi
rumusan kuantum dengan cara mengubah besaran-besaran dinamis yang
muncul menjadi operator, yaitu Ep Êp dan Lz L̂z :
eB ˆ
Eˆ p Lz . (8. 103)
2m e
Marilah kita padukan hasil di atas dengan pokok bahasan kita sebe-
lumnya, yaitu atom berelektron tunggal. Jika atom tersebut kini ditempat-
kan dalam medan magnet homogen Bz maka kita harus menambahkan
energi potensial momen dipol magnet (Persamaan 8.102) ke dalam rumus-
anV(r). Dengan demikian operator Hamiltonan sistem berubah menjadi
Ĥ + Êp dan persamaan nilai eigen (Persamaan 8.86a) berubah menjadi
ˆ Eˆ ) ˆ eB ˆ eB
(H p H 2m Lz n , ,m En 2m m n , ,m . (8. 104)
n , ,m
e e
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa kehadiran medan magnet
tidak mengubah keadaan sistem (fungsi eigen) melainkan “hanya” meng-
geser energi sistem sebesar m(eћB/2me). Besaran eћ/(2me) memiliki satuan
yang sama dengan satuan momen dipole magnet (lihat Persamaan
(8.100)). Besaran itu disebut magneton Bohr, karena muncul dalam teori
atom Bohr khususnya terkait dengan momen dipol magnet elektron ketika
mengitari inti atom hidrogen pada orbit pertama. Jika magneton Bohr
dilambangi B maka
e
B 0 ,93 10 23 J/T. (8. 105)
2m e
Besarnya pergeseran energi tersebut ternyata bergantung pada bilang-
an kuantum m. Jika m = 0, tidak terjadi pergeseran. Jika m = 1, level energi
En akan bergeser ke En+BB dan jika m = 1, level energi En akan bergeser
ke EnBB, dst. Oleh karena itu, bilangan kuantum m dinamai bilangan
kuantum magnetik, sebab bilangan itu mentukan besarnya pergeseran
level energi atom jika atom itu ditempatkan dalam medan magnet.
Untuk menghindari kerancuan sub kulit pada kulit yang satu dengan
sub kulit yang sama pada kulit yang lain, misalnya sub kulit s pada kulit K
dengan sub kulit s pada kulit L, spektroskopi menandai sub kulit dengan
mencantumkan angka yang menunjukkan kulit yang bersesuaian. Jadi,
sub kulit s pada kulit K dinyatakan dengan 1s, kulit s pada kulit L
dinyatakan dengan 2s, dan seterusnya.
Mengingat tingkat energi atom hanya ditentukan oleh bilangan kuan-
tum utama, jadi oleh nama kulit elektron, maka semua sub kulit dalam
kulit yang sama akan memiliki energi yang sama. Gambar 8.17 berikut
mengilustrasikan tingkat-tingkat energi sub kulit pada beberapa kulit per-
tama.
E/EI
0
(n = 4) 1/16 4s 4p 4d 4f
3s 3p 3d
(n = 3) 1/9
2s 2p
(n = 2) 1/4
1s
(n = 1) 1
n (ℓ = 0) (ℓ = 1) (ℓ = 2) (ℓ = 3)
Gambar 8.17. Diagram tingkat-tingkat energi sub kulit pada kulit K, L, M, dan N
Marilah kita terapkan apa yang sudah kita peroleh dari pembahasan
atom berelektron tunggal tadi pada atom yang paling sederhana, yaitu
hidrogen.
e2 v 2n
k m e (8. 109)
rn2 rn
(ruas kanan persamaan itu adalah hasil kali massa elektron dengan per-
cepatan sentripetal).
4. Karena interaksi elektron-proton merupakan sistem konservatif maka
jumlah energi kinetik ditambah energi potensial harus konstan, yaitu
sebesar E elektron. Jadi berlaku pula hubungan
1 ke
En me v 2n . (8. 110)
2 rn
Bersarkan hubungan-hubungan tersebut dapat kita peroleh rumusan
untuk En dan rn yang dinyatakan dalam besaran-besaran yang berupa
tetapan. Jika Persamaan (108) kita selesiakan untuk vn kemudian hasilnya
disubtitusikan ke Persamaan (109) kita peroleh hubungan
2
2 2 4 0
rn n 2 n (8. 111)
ke 2 me e 2 me
Subtitusi vn dan rn ke dalam Persamaan (8.110) menghasilkan
1 k 2 me 4 1 me 4
En (8. 112)
n 2 2 2 n 2 2( 4 0 ) 2
Jika definisi a dan EI yang kita nyatakan pada Persamaan (8.67a) dan
(8.67 b) di depan kita pakai, tentu saja setelah mengganti Z dengan 1,
maka Persamaan (8.111) dan (8.112) secara berurutan menjadi
rn = n a, (8. 113)
1 EI 1 1 1 1
,
R (8. 116)
hc n2f ni2 n2f ni2
dengan R = EI/hc = 1,097 10 Å.
Persamaan (8.116) sama dengan persamaan Rydberg, yaitu persama-
an empiris yang dirumuskan berdasarkan data spektrum atom hidrogen
dan telah ditemukan sebelum Bohr merumuskan teori atom hidrogen. Te-
tapan R disebut tetapan Rydberg. Jika Persamaan (8.116) digunakan untuk
menghitung berbagai panjang gelombang yang dihasilkan atom ketika
bertransisi dari ni > 1 ke nf = 1 diperoleh sederetan panjang gelombang
spektrum atom hidrogen yang dikenal sebagai deret Lyman. Jika ni > 2
dan nf = 2 diperoleh deret Balmer, dan untuk ni > 3 dan nf = 3 diperoleh
deret Paschen. Ini menunjukkan bahwa teori Bohr cocok dengan eksperi-
men.
Masih ada satu besaran yang belum kita bahas maknanya, yaitu EI.
Berdasarkan Persamaan (8.114), tingkat energi atom hidrogen pada keada-
an dasar (n = 1) adalah E1 = EI.. Jika pada keadaan dasar ini atom hidro-
gen diberi energi dari luar sebesar EI maka energinya kini menjadi nol. Ini
berarti elektron dalam keadaan bebas. Ingat bahwa energi potensial V(r)
RANGKUMAN
Ly = zpx – xpz ,
Lz = xpy – ypx .
2. Dalam sistem koordinat bola, operator yang mewakili komponen-
komponen momentum sudut itu adalah:
cos
Lˆ x i sin ,
tan
sin
Lˆ y i cos ,
tan
Lˆ z i
dan operator yang mewakili kuadrat momentum sudut adalah
2 2
ˆ2 2 1
L
1
.
2 tan sin 2 2
3. Hubungan komutasi antarkomponen momentum sudut adalah
[ Lˆ i , Lˆ j ] = i L̂k ,
Lˆ z Ym ( , ) m Ym ( , ) ,
dengan ℓ merupakan bilangan bulat positif dan m merupakan bilang-
an bulat antara ℓ sampai ℓ. Bilangan ℓ disebut bilangan kuantum or-
bital sedangkan bilangan m disebut bilangan kuantum magnetik.
6. Fungsi eigen bersama bagi L̂2 dan L̂ z , yaitu Ym ( , ) , merupakan
fungsi harmonis bola:
2 1 ( m)!
Ym ( , ) (1) m e i m Pm (cos ) ,
4 ( m)!
d m Pm ( ) 1 d m
Pm ( ) 1 2 m /2
d m
1 2
2 !
m /2
d
m
2 1
dengan mengganti = cos .
7. Momentum sudut mengalami pengkuantuman ganda, yaitu terhadap
nilai dan terhadap orientasinya. Pengkuantuman orientasi momentum
sudut ini biasa disebut pengkuantuman ruang (space quantization).
8. Magnitudo (modulus) vektor momentum sudut harus memenuhi hu-
bungan ( 1) dengan ℓ bilangan bulat positif. Proyeksi L pada
sumbu Z (yaitu Lz) juga harus bernilai m dengan m bilangan bulat
antaraℓ sampai ℓ. Inilah makna pengkuantuman nilai. Pada sebarang
keadaan kuantum, nilai mutlak Lz selalu kurang dari magnitudo L.
9. Bersarkan pernyataan nomor 8, arah vektor momentum sudut tidak
pernah berimpit dengan sumbu Z. Pembatasan nilai Lz ini sekaligus
membatasi orientasi vektor momentum sudut. Inilah makna pengku-
antuman ruang tersebut.
10. Tinjauan kuantum terhadap momentum sudut bagi partikel yang ber-
gerak di bawah pengaruh potensial sentral menghasilkan kesimpulan
bahwa momentum sudut partikel yang begerak di bawah pengaruh
potensial bersimetri bola bersifat kekal sebagaimana dinyatakan da-
lam fisika klasik.
a0
i 0 a
0
dengan koefisien ci memenuhi hubungan rekursi
2 [ ( ( i ) / n) 1 ]
ci c i 1 ,
i ( i 2 1)
dan
4 0 2
a0 .
Z e2
16. Nilai eigen yang bersesuaian dengan tiap fungsi eigen tersebut adalah
E
En 2I , n = 1, 2, 3, …,
n
dengan
Z 2 e 4
EI
2 ( 4 0 )2
menyatakan energi atom pada keadaan dasar, yang tidak lain adalah
energi ionisasi atom.
17. Berdasarkan fungsi eigen diperoleh peluang posisi elektron dalam
suatu unsur volume dV = r d sebesar
( r , , ) dV |R n , |2 r 2 dr .|Ym |2 d ,
rapat peluang posisi secara radial sebesar
( r ) r 2 |Rn , ( r )|2 ,
tingkat energi menjadi beberapa sub tingkat energi jika atom hidrogen
ditempatkan dalam medan magnet luar.
21. Indeks-indeks diskret n, ℓ, dan m yang muncul pada fungsi eigen bagi
energi atom berelektron tunggal masing-masing disebut sebagai bi-
langan kuantum utama, bilangan kuantum orbital, dan bilangan
kuantum magnetik. Bilangan n disebut sebagai bilangan kuantum
utama karena peran utamanya adalah menentukan besarnya energi
yang dimiliki atom, selaras dengan peran utama persamaan
schödinger bebas waktu yaitu untuk mendapatkan energi sistem.
Bilangan ℓ disebut sebagai bilangan kuantum orbital karena bilangan
itu menentukan besarnya momentum sudut orbital elektron. Bilangan
m disebut sebagai bilangan kuantum magnetik karena bilangan itu
menentukan besarnya pemisahan suatu tingkat energi jika atom
ditempatkan dalam medan magnet.
22. Dalam bidang spektroskopi, bilangan kuantum utama bersama-sama
dengan bilangan kuantum orbital digunakan untuk menandai suatu
sub kulit elektron. Suatu sub kulit dilambangkan dengan angka arab
(mulai dari 1) diikuti dengan huruf latin kecil mulai dari s. Contoh 3p.
Angka 3 menandakan bilangan kuantum utama n bernilai 3 sedang-
kan huruf s menandakan bilangan kuantum orbital ℓ bernilai nol.
PERLATIHAN
Pertanyaan Konsep
1. Selidiki kebenaran masing-masing pernyataan berikut: (1) “Semua
fungsi eigen bagi L̂2 juga merupakan fungsi eigen bagi L̂ z ”. (2) “Se-
mua fungsi eigen bagi L̂ z juga merupakan fungsi eigen bagi L̂2 ”
2. Dalam membuat salib sumbu X, Y, dan Z pada umumnya kita memi-
lih sumbu Z sebagai sumbu vertikal. Mengingat kita telah menyim-
pulkan bahwa Lz bernilai mћ, apakah ini berarti bahwa komponen
mumentum sudut ke arah vertikal mesti bernilai mћ?
3. Pada gerak melingkar beraturan dalam suatu bidang datar, momen-
tum sudut partikel selalu tegaklurus terhadap bidang edarnya. Ber-
dasarkan fisika klasik, jika bidang edar itu dipilih pada bidang X-Y, ke
arah sumbu apakah momentum sudutnya? Pertentangkan jawaban
Anda berdasarkan konsep pengkuantuman ruang pada momentum
sudut!
4. Pengukuran komponen momentum sudut pada arah sumbu Z pasti
menghasilkan nilai ukur sebesar mћ. Apakah pengukuran komponen
Pertanyaan Analisis
1. Tunjukkan kebenaran Persamaan (8.3). (Petunjuk: gunakan definisi L
dan N seperti dinyatakan pada Persamaan (8.1) dan (8.4)).
2. Buktikan bahwa:
a) Xˆ , Pˆy 0̂ ,
b) Xˆ , Pˆz 0̂ ,
c) Yˆ , Pˆ 0̂ ,
x d) Yˆ , Pˆ 0̂ ,
z
e) Zˆ , Pˆ 0̂ ,
y f) Zˆ , Pˆ 0̂ ,
x
g) Yˆ Pˆ , Xˆ Pˆ 0̂ ,
z z h) Zˆ Pˆ , Zˆ Pˆ 0̂ .
y x
A C
asas korespondensi 227 Coulomb
atom berelektron tunggal 264 hukum 230, 255
pengertian 229
Atom berelektron tunggal E
fungsi eigen 238, 261
komponen radial 236 Elektron
komponen sudut 232 massa 254
persamaan Schrodinger 230 muatan 255
potensial 230 elektron valensi 264
rapat peluang posisi 239, 247 energi ionisasi 258, 262
visualisasi rapat peluang posisi energi kinetik
248, 249 dan momentum sudut 229
visualisasi rapat peluang radial operator dlm koordinat bola 229
244
visualisasi rapat peluang sudut F
239 foton
atom hidrogen 264 dlm teori atom Bohr 257
spektrum 267 fungsi eigen
Atom hidrogen 254 momentum sudut 216
spektrum 257 fungsi eigen bersama 222
Fungsi eigen bersama 216
B fungsi harmonis bola 221, 222, 232,
Balmer 260
deret 257, 267
Balmer, deret 253 G
bilangan kuantum gaya sentral 211
magnetik 260, 263 Gaya sentripetal 256
orbital 260, 263
Bilangan kuantum
H
magnetik 253
orbital 250 Heisenberg
utama 250 asas ketakpastian umum 266
Bohr persamaan gerak 228
jari-jari 258, 262, 264 Hidrogen 229
model atom hidrogen 255 hukum kekekalan energi 257
teori atom hidrogen 209
teori Bohr sebagai bukti I
persamaan Schrodinger 258
inti 230
K operator
dlm koordinat bola 213
kaidah pengkuantuman 266 dlm koordinat Cartesan 212
keadaan stasioner operator Lx 225
teori Bohr 257 operator Ly 226
Kepler orientasi 225
hukum 209, 211 pengkuantuman ruang 226
kronecker
delta 222
N
kulit elektron 253. See Bilangan
kuantum utama Nilai harap
Lx 226
L Ly 226
Legendre
P
persamaan diferensial 218
polinom 220, 260 Paschen
polinom sekawan 232 deret 257
logam alkali 264 Paschen, deret 253
Lyman proton 230
deret 257 Proton
Lymann, deret 253 massa 254
muatan 255
M
R
magneton Bohr 252
massa tereduksi 230, 261 rasio giromagnetik 252
momen dipol magnet 251 Rydberg
energi potensial 252 tetapan 257
momen gaya 210
momentum sudut 209 S
hubungan komutasi 259, 213–15
kekekalan 229, 260 sistem konservatif 256
operator 211–13 sistem koordinat
operator dalam koordinat bola 259 polar 239, 266
pengkuantuman ruang 260 Sistem koordinat
persamaan nilai eigen 215–22 bola 212, 213
teori Bohr 255 Cartesan 213
Momentum sudut sistem koordinat bola 265
definisi 210 sistem koordinat Cartesan 265
kekekalan 228 sistem periodik 264
kemerosotan nilai eigen 224 spektrograf 253
kesepadanan klasik 228 spektrometer 253
korespondensi klasik 260 spektroskop 253
nilai eigen 222 spektroskopi 263
Spektroskopi 253
T
torka 210
Z
Zemann, efek 258, 262
Aksi
Besaran yang didefinisikan sebagai perkalian usaha (kerja) dengan wak-
tu. Bandingkan dengan konsep-konsep yang terkait berikut: (1) usaha
(kerja), yang didefinisikan sebagai perkalian skalar antara gaya dan per-
pindahan, (2) daya, yang didefinisikan sebagai usaha tiap satuan waktu,
atau laju melakukan usaha. Jadi, aksi dapat diartikan sebagai lamanya
usaha telah dilaksanakan. Contoh besaran aksi adalah h (tetapan Planck)
Asas deterministik
Jika keadaan awal suatu entitas diketahui secara lengkap, maka keadaan
berikutnya dapat ditentukan secara pasti, demikian pula dengan
keadaan sebelumnya
Asas ketakpastian
Asas dalam Fisika Kuantum yang menyatakan bahwa tidak mungkin
untuk memperoleh informasi yang pasti tentang nilai sepasang besaran
yang tidak kompatibel. Semakin tinggi tingkat kepastian besaran per-
tama, semakin rendah tingkat kepastian besaran kedua. Contoh dua
besaran yang tidak kompatibel adalah posisi dan momentum linear.
Asas ini merupakan lawan dari asas deterministik.
Asas Korespondensi (kesepadanan)
Suatu asas dalam fisika teori yang menyatakan bahwa setiap teori baru
harus menghasilkan kesimpulan yang sama dengan teori lama yang se-
padan ketika teori baru itu diterapkan pada suatu situasi di mana teori
lama telah menunjukkan kesahihannya. Contoh: pada kecepatan yang
jauh lebih kecil daripada kecepatan cahaya, kaedah penjumlahan kece-
patan menurut teori Relativitas Einstein harus sama dengan kaedah
penjumlahan kecepatan menurut kinematika Newton; sebab pada kece-
patan rendah kinematika Newton telah diyakini kesahihannya.
Atom
Bagian terkecil suatu zat yang terdiri atas inti dan sejumlah elektron
yang mengelilingi inti pada orbit tertentu. Inti atom terdiri atas proton
dan neutron.
Atom berelektron tunggal
Atom yang hanya memiliki sebuah elektron. Contoh: atom hidrogen
netral, ion Li 2+, dsb.
Bencana ultraviolet (ultraviolet catastrophe)
Suatu ungkapan dalam fisika untuk menggambarkan kegagalan fisika
klasik dalam menjelaskan gejala radiasi benda-hitam. Teori klasik me-
nunjukkan kegagalan pada frekuensi ultraviolet dan yang lebih tinggi
dari itu. Jika teori klasik ini benar, maka alam semesta akan hancur aki-
bat hebatnya radiasi ultraviolet yang dihasilkan semua benda panas di
alam semesta ini. Untung saja teori itu salah.
Benda-Hitam (Blackbody)
Benda yang menyerap semua gelombang elektromagnet yang menge-
nainya. Oleh karena itu, jika tidak memancarkan radiasi maka ia akan
terlihat hitam. Benda-hitam dapat “dilihat” jika berada di lingkungan
yang tidak hitam. Benda-hitam ideal adalah lubang kecil di dinding
benda berongga.
Bilangan kompleks
Bilangan yang bentuk umumnya merupakan kombinasi bilangan real
dan bilangan imajiner. Bentuk umum bilangan kompleks z dilambang-
kan dengan z = x + i y, dengan x komponen real, y komponen
imajiner, dan i 1 .
Bilangan kuantum
Sebuah, atau sekumpulan, bilangan diskret yang digunakan untuk me-
nandai keadaan kuantum. Bilangan kuantum umumnya muncul pada
proses penyelesaian persamaan nilai eigen. Lihat juga: bilangan kuantum
utama, bilangan kuantum orbital, dan bilangan kuantum magnetik.
Bilangan kuantum utama
Bilangan kuantum untuk menandai keadaan eigen bagi Hamiltonan
sistem, atau untuk menandai tingkat energi sistem. Bilangan ini muncul
pada proses penyelesaian persamaan Schrodinger bebas waktu, yang
pada prinsipnya merupakan persamaan nilai eigen bagi Hamiltonan
Glossarium
272 Glossarium
Frekuensi ambang
Frekuensi minimal gelombang elektromagnet yang digunakan untuk
menyinari logam agar terjadi efek fotolistrik
Fungsi kompleks variabel real
Fungsi yang nilainya merupakan bilangan kompleks, tetapi variabelnya
berupa bilangan real.
Gelombang de Broglie (gelombang materi)
Gelombang yang diasosiasikan dengan partikel yang bergerak. Pada
umumnya gelombang de Broglie tidak memiliki arti fisik secara lang-
sung. Gelombang ini diwujudkan dalam bentuk fungsi gelombang yang
dalam fisika kuantum dipostulatkan sebagai perangkat untuk mendes-
kripsikan keadaan gerak partikel. Fungsi gelombang ini diperoleh me-
lalui Persamaan Schrödinger. Lihat juga: Persamaan Schrödinger.
Gelombang grup (grup gelombang)
Gelombang yang dibentuk oleh superposisi beberapa gelombang mono-
kromatis. Gelombang grup memiliki suatu kecepatan yang disebut kece-
patan grup. Masing-masing komponen (gelombang monokromatis yang
membentuknya) memiliki kecepatan sendiri-sendiri yang disebut
kecepatan fase. Kecepatan fase tidak harus sama dengan kecepatan
grup. Lihat juga: kecepatan fase.
Gelombang monokromatis
Gelombang yang panjang gelombangnya bernilai tunggal dan tetap
(tidak berubah oleh tempat dan waktu). Contoh, cahaya kuning adalah
gelombang yang memiliki panjang gelombang 500 nm. Ungkapan mate-
matis gelombang monokromatis dapat dinyatakan sebagai fungsi sinus,
misalnya ( x , t ) sin ( kx t ) , dengan k 2 / . Lihat juga: kecepatan fase.
Jari-jari Bohr
Jari-jari orbit elektron menurut teori atom Bohr. Menurut Bohr, elektron
mengitari inti dalam orbit berbentuk lingkaran dengan jari-jari rn = n a0
dengan a0 jari-jari orbit pertama, dan n =1, 2, 3, dst.
Kaedah pengkuantuman (Quantisation law)
Prosedur mendapatkan operator bagi suatu besaran yang definisi klasik-
nya telah diketahui.
Keadaan dasar (ground state)
Keadaan partikel saat memiliki energi terendah.
Glossarium
274 Glossarium
Glossarium
276 Glossarium
Glossarium
278 Glossarium
A B
Aksi 10, 12, 269
Apertur, optik 5557 Balmer, deret 253, 257, 267
Arus fotoelektrik 32-34, 36, 37, 40, Bencana ultraviolet 9, 270
44, 47, 49 Benda-hitam
Asas deterministik 122, 269 contoh terbaik 2
Asas ketakpastian Heisenberg, 84, definisi 2, 270
105108, 205, 269 grafik spektrum 35
berdasar penafsiran Born 69–71 spektrum 25, 28
berdasar postulat pengukuran 102,103 Bilangan kompleks 270
ketakpastian minimum 74 Bilangan kuantum 135, 270
rumusan umum 107 magnetik 253, 260, 263, 271
Asas korespondensi 227, 269 orbital 250, 260, 263, 271
Asas relativitas 59 utama 250,270
Atom berelektron tunggal 209, 270 Bohr
energi potensial 230 jari-jari 258, 262, 264, 273
fungsi eigen 238, 261 teori atom hidrogen 209, 255
komponen radial 236 bukti persamaan Schrödinger 258
komponen sudut 232 magneton, 275. Lih. Magneton Bohr
persamaan Schrödinger 230 Boltzmann
pengertian 229 tetapan 7
rapat peluang posisi 239, 247 statistika 8
visualisasi 248, 249 fungsi distribusi 8
komponen radial 244 Born, Max 53, 70, 79, 102, 106
komponen sudut 239 penafsiran fungsi gelombang 64–69
Atom hidrogen 229, 254, 264 dalam ruang momentum 68, 78
spektrum 257, 267 dalam ruang posisi 65
C
Compton, efek 44, 271
Coulomb, hukum 230, 255
Energi kinetik 89
D dan momentum sudut 229
Davisson 58, 77 operator dlm koordinat bola 229
de Broglie 31, 47
F
hipotesis 53, 54, 77, 80, 83
gelombang 273 Fisika kuantum, kesepadanan dgn
Deterministik, Lih. Asas deterministik fisika klasik 129
Dirac, fungsi delta 72 mekanika Newton 147, 182
Doppler, efek 45, 46, 47 Fonon 181
Foton
E definisi 41, 54, 272
Efek fotolistrik 54, 77 dlm teori atom Bohr 257
definisi 31, 271 intensitas cahaya 43
fakta eksperimen 34 interaksi dengan partikel 41
set percobaan 33 momentum 44, 48
teori Einstein 40–44 pada efek fotolistrik 42
teori klasik 38–40 Fourier, transformasi 68
tonggak fisika kuantum 31 Frekuensi ambang 34, 40, 42, 43, 47, 272
Efek penerowongan 166, 271 Fungsi eigen 113, 135
Ehrenfest, teorema 129 Fungsi gelombang
Einstein 32, 40, 42, 43, 48, 49 analogi dgn trayektori klasik 84
kaitan Planck-Einstein 47 keortogonalan: lih. ortogonal
pengkuantuman cahaya 41 norm 98
Elektron valensi 264 perkalian skalar 98
Elektron, 272 Fungsi kerja, lih. Energi ikat 43, 50
massa 57, 254 Fungsi kompleks 120, 272
muatan 255
Elektron-foto 3238, 4751, 272
G
energi kinetik 43, 49 Gaussan, fungsi 74, 76, 79, 106, 111, 205
Elektron-volt 272 Gaya sentripetal 211, 256
Entitas 272 Gelombang de Broglie 54, 77, 78, 80,
Emisi lanjutan, secondary emission 32 83, 273
Emisi medan, lucutan elektrik 32 eksistensi 55
Emisi termionik 32 untuk debu 56
Energi ikat 32, 42, 43, 51 untuk elektron 57
Energi ionisasi 258, 262 untuk neutron termal 57
Gelombang monokromatis 59, 273
Gelombang sekejab (evanescent wave) 155
Indeks
282 Indeks
Logam alkali 264 Nilai eigen, persamaan 113, 117, 135, 275
Lorentz 45 Nilai harap 70, 95
Lucutan elektrik 32 perubahan terhadap waktu 123, 126
Lymann, deret 253, 257 momentum linear 127
posisi 126
M komp. momentum sudut Lx 226
Magneton Bohr 252, 275 komp. momentum sudut Ly 226
Massa tereduksi 230, 261
Maxwell 5, 6, 8, 48, 49,64, 83
O
Medium kontinu 181 Operator
Metodologi Fisika Kuantum 84 identitas 99
Lih. Postulat Fisika Kuantum nol 99
Momen dipol magnet 251 penjumlahan operator 101
energi potensial 252 perkalian operator, lih. komutator
Momen gaya 210 Operator energi total 117
Momentum sudut, 209 Operator Hermitean 85, 108, 112, 148
definisi 210 definisi 100
fungsi eigen bersama 216, 222 nilai harap 101
hubungan komutasi 213–115, 259 Operator momentum linear
kekekalan 228, 229, 260 dalam ruang momentum 87
kemerosotan 224 dalam ruang posisi 88
korespondensi klasik 228, 260 Operator posisi
nilai eigen 222 dalam ruang momentum 86
operator 211–113 dalam ruang posisi 86
dlm koordinat bola 213, 259 Optika fisik, geometri 55
dlm koordinat Cartesan 212 Ortogonal, ortonormal 98, 99, 180
Lx 225 Osilator harmonis
Ly 226 energi klasik 183, 205
orientasi 225 energi kuantum 189, 205
pengkuantuman ruang 226, 260, 275 fungsi eigen 200, 205, 206, 190–97
persamaan nilai eigen 215–222 ketakpastian momentum 204, 206
teori Bohr 255 ketakpastian posisi 203, 206
N pengertian 181
persamaan Schrödinger 205
Newton 53, 80, 83, 115, 144, 146 penjabaran 183–185
Nilai eigen 135 solusi 185–188
momentum sudut 222
osilator harmonis 205
Indeks
284 Indeks
S energi-momentum-4 46
gelombang-4 46
Schrödinger
pelopor mekanika kuantum 58 W
lih. Persamaan Schrödinger
Waktu tunda, efek fotolistrik 34, 37, 47
Schwarz, ketaksamaan 99, 107
contoh hitungan 39
SI (square integrable) 65, 68, 100
Wien
Sinar-X 44
hukum pergeseran 3, 4, 12, 27
Sistem konservatif 182, 183, 256
tetapan 4
Sistem koordinat
polar 239, 266 Y
bola 212, 213, 265
Young 55
Cartesan 213, 265
Sistem periodik 264 Z
Spektrograf 253
Zemann, efek 258, 262, 272
Spektrometer 253
Spektroskop 253
Spektroskopi 253, 263
Stefan-Boltzmann 3, 12
hukum 5
Sudut ruang 222
Suhu nol mutlak 277
T
Thomson, J.J 58
Thomson, P.G. 58
Tingkat energi
potensial sumur 174
osilator harmonis 189, 205
Torka, 210. Lih. Momen gaya
U
Ultraviolet, bencana 9, 270
V
Varians 70
Vektor gelombang 55, 58
Vektor-4 45, 46, 277
PUSTAKA CETAK
Tannoudji, C.C., Diu, N., dan Laloe, F. 1979. Quantum Mechanics. New
York: John Wiley & Sons
Wangsness, R.K. 1979. Electromagnetic Fields. New York: John Wiley & Sons
Weidner, R.T., dan Sells, R.L. 1980. Elementary Modern Physics. Boston:
Allyn & Bacon Inc.
Yariv, A., 1989. Quantum Electronics. New York: John Wiley & Sons.
Tetapan-Tetapan
Yang Digunakan Dalam Buku Ini
Tetapan Lambang Nilai
Permitivitas 0 8,854 10 C.N.m
Tetapan Planck h 6,626 10J.s
ħ 1,055 10 J.s
Tetapan Boltzmann KB 1,381 10 J.K
Tetapan Stefan-Boltzmann 5,670 10 W.m .K
Muatan listrik elementer e 1,602 10 C
Tetapan Rydberg R 1,097 10 m
Jari-jari pertama Bohr a0 5,292 10 m
Magneton Bohr B 9,274 10 J.T
Tetapan Coulomb 1 8,984 10 N.C.m2
k
4 0
Massa (diam) elektron me 9,110 10 kg
Tetapan Wien 2,898 10 m.K
Massa (diam) proton mp 1,673 10kg
Laju cahaya dalam vakuum c 2,998 10 m.s
Keterangan
C Coulomb
N Newton
K Kalvin
J Joule
T Tesla
W Watt
kg kilogram
m meter
s sekon