FISIKA KUANTUM
Oleh SUTOPO
JURUSAN FISIKA FMIPA UM
PRAKATA
Buku ini utamanya disusun sebagai bahan ajar perkuliahan Pengantar Fisi-
ka Kuantum di program studi Fisika atau Pendidikan Fisika jenjang S-1,
dengan bobot 3 sks. Selain sebagai bahan ajar, buku ini juga dimaksudkan
untuk membantu para pemula yang ingin memahami struktur fisika kuan-
tum secara umum, mulai dari latar belakang sejarah, pokok-pokok metodo-
logi, sampai contoh-contoh aplikasinya.
Atas dasar pemikiran itu maka buku ini disusun untuk memberi ja-
waban yang memadai atas 3 pertanyaan pokok berikut. (1) Mengapa Fisika
Kuantum harus ada? (2) Bagaimana metodologi Fisika Kuantum? dan (3)
Bagaimana metodologi itu diterapkan untuk menganalisis suatu gejala fi-
sika tertentu?
Naskah buku ini mulai disiapkan sejak tahun 1998, dalam bentuk dik-
tat kuliah pada program studi Pendidikan Fisika UM (Universitas Negeri
Malang). Dalam kurun waktu yang cukup panjang itu isi naskah beserta
struktur penyajiannya terus diperbaiki berdasarkan hasil implementasinya
di setiap perkuliahan. Namun demikian penulis masih sangat memerlukan
kritik dan saran dari pembaca, khususnya para dosen Fisika Kuantum di
tanah air. Semoga buku ini bermanfaat.
Untuk dapat memahami dengan baik uraian dalam naskah ini, pem-
baca diharapkan telah memiliki keterampilan matematika yang memadai,
utamanya yang berkitan dengan bilangan kompleks, kalkulus diferensial
dan integral, transformasi Fourier, polinomial Hermite, Polinom Legendre,
dan persamaan diferensial. Selain perangkat matematika tersebut, pembaca
diharapkan juga telah familier dengan beberapa konsep dasar dalam fisika
modern, misalnya: efek fotolistrik, efek compton, pembentukan sinar-X,
dan Asas Ketakpastian Heisenberg. Pemahaman tentang teori gelombang
elektromagnetik (teori Maxwell) juga diperlukan, utamanya untuk mema-
hami uraian dalam Bab 1.
Keseluruhan naskah dalam buku ini dapat dikelompokkan atas 3
bagian pokok, yaitu latar belakang lahirnya fisika kuantum (Bab 1 sampai
Bab 3), pokok-pokok metodologi fisika kuantum (Bab 4 dan Bab 5), dan
contoh aplikasi metodologi untuk kasus-kasus sederhana (Bab 6, Bab 7, dan
Bab 8).
Bagian Latar Belakang menguraikan beberapa eksperimen penting
yang mengantarkan lahirnya fisika kuantum, yaitu Radiasi Benda-Hitam
(Bab 1) dan Efek Fotolistrik (Bab 2), serta Hipotesis de Broglie (Bab 3). Pada
Bab 1 diuraikan tentang: data eksperimen radiasi benda-hitam, penjelasan
klasik dan kegagalannya, serta postulat Planck dan implikasinya. Pada Bab
2 diuraikan: data eksperimen tentang efek fotolistrik, penjelasan klasik dan
kegagalannya, serta postulat Einstein dan implikasinya (yaitu adanya sifat
ganda yang dimiliki radiasi elektromagnetik). Pada Bab 3 diuraikan: hipo-
tesis de Broglie (makna dan implikasinya), sifat-sifat gelombang materi,
wujud gelombang materi, penafsiran Born tentang gelombang materi, dan
pendeduksian asas ketakpastian Heisenberg berdasar penafsiran Born.
Melalui uraian dalam ketiga bab itu diharapkan pembaca tidak saja
memahami mengapa orang perlu membangun teori baru yang kini dikenal
sebagai Fisika Kuantum, atau Mekanika Kuantum, tetapi juga dapat mema-
hami konsep dualisme gelombang-partikel beserta implikasi teoretiknya,
serta perlunya merombak konsep energi (dari bernilai konstinu ke diskret).
Penjabaran asas ketakpastian Heisenberg di akhir Bab 3 dimaksudkan agar
pembaca segera mendapatkan “bukti” teoretik bahwa hipotesis de Broglie
cocok dengan teori yang sudah dikenal pembaca sejak di SLTA, yaitu asas
Ketakpastian Heisenberg.
Bagian kedua menyajikan postulat-postulat yang dipakai sebagai dasar
metodologi fisika kuantum. Bagian ini terdiri atas 2 bab, yaitu Bab 4 dan
Bab 5. Pada Bab 4 diuraikan metodologi dalam hal: pendeskripsian keada-
an sistem, pendeskripsian besaran fisika (operator), dan pendeskipsian pe-
ngukuran (proses, hasil, dan dampaknya pada keadaan sistem). Pada akhir
bab itu dibahas pula penerapan postulat pengukuran untuk mendeduksi
asas ketakpastian Heisenberg. Penjabaran asas ketakpastian Heisenberg di-
ketengahkan kembali untuk memberikan “bukti” teoretis kepada pembaca
akan kekonsistenan postulat-postulat yang telah dikemukakan.
Pada Bab 5 dibahas metode untuk mendapatkan fungsi gelombang
atau untuk menjelaskan bagaimana keadaan sistem berubah terhadap wak-
tu. Perangkat utama untuk itu adalah persamaan Schrödinger. Bagaimana
persamaan tersebut dijabarkan dan seperti apa karakteristiknya diuraikan
secara rinci pada Bab 5 ini.
Pada Bab 5 juga dibahas penerapan persamaan Schrödinger untuk me-
nelaah bagaimana nilai harap suatu besaran fisika berubah terhadap wak-
tu. Contoh besaran yang dibahas dipilih sedemikian rupa hasilnya dapat
dibandingkan dengan rumusan serupa yang ada di Fisika Klasik. Dengan
cara ini diharapkan pembaca segera mendapatkan “bukti” teoretis bahwa
Prakata
vi Prakata
disajikan garis besar isi yang dibahas dalam bab tersebut. Hal ini dimak-
sudkan agar pembaca segera mengetahui apa isi bahasan dalam bab itu.
Setelah bagian “pendahuluan” tersebut, diuraikan secara rinci semua sub
bahasan yang terkandung dalam bab itu. Sebelum perlatihan, pada setiap
bab disajikan rangkuman yang dimaksudkan untuk memudahkan pem-
baca menangkap inti dari uraian yang ada di setiap sub bahasan. Di akhir
bab disajikan perlatihan yang dikemas dalam dua kelompok pertanyaan,
yaitu pertanyaan konsep dan pertanyaan analisis. Butir-butir pertanyaan
pada bagian “pertanyaan konsep” tidak semata-mata dimaksudkan untuk
mengukur tingkat pemahaman pembaca terhadap isi naskah, melainkan
juga untuk merangsang pembaca memikirkan hal-hal lain yang terkait de-
ngan pokok bahasan dalam naskah. Dengan demikian diharapkan pem-
baca dapat menjalin semua pengetahuan yang dimiliki menjadi struktur
kognitif baru yang lebih kompleks dan bermakna. Di pihak lain, butir-butir
pertanyaan dalam bagian “pertanyaan analitis” utamanya dimaksudkan
untuk memandu pembaca memahami uraian naskah secara lebih cermat
dan mendalam, termasuk detail matematis yang digunakan dalam naskah.
Lingkup bahasan yang tercakup dalam naskah ini memang masih
terlalu sempit dibandingkan dengan khasanah fisika kuantum yang begitu
luas. Namun demikian saya berharap agar buku ini merupakan pintu ma-
suk yang tepat untuk mempelajari fisika kuantum. Untuk itu kritik dan
saran sangat kami harapkan, utamanya dari para dosen dan mahasiswa,
demi perbaikan untuk edisi berikutnya.
Buku ini juga menyajikan glosarium yang dimaksudkan untuk mem-
bantu pembaca memahami makna suatu konsep atau istilah penting yang
dibicarakan dalam naskah. Kata-kata kunci dalam glossarium disusun se-
cara alfabetik untuk memudahkan pencarian secara cepat. Glossarium
disajikan setelah Bab 8.
Untuk membantu pembaca menemukan kata-kata kunci yang dipakai
dalam naskah juga disediakan indeks yang ditempatkan di bagian akhir
buku ini. Untuk menemukan penjelasan tentang suatu konsep dari buku
ini, disarankan untuk memadukan informasi dalam Indeks dan Daftar Isi
secara bersamaan.
Agar dapat memahami uraian dalam naskah ini secara baik, ikutilah
saran seperti disajikan dalam gambar berikut.
Baca Rangkuman
Baca Rangkuman
UCAPAN TERIMAKASIH
Prakata
viii Ucapan terimakasih
sungguh sangat bermanfaat, baik dari segi subtansi isi maupun tata tulis.
Terimakasih juga saya sampaikan kepada guru saya Drs. Abdul Aziz, M.S
(Fisika UNESA Surabaya) atas kesediaanya mereview draft buku ini dan
memberikan motivasi kepada saya untuk menyempurnakan naskah buku
ini. Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada saudara Ahmad
Wafir, mantan mahasiswa saya, yang telah memberikan kritik dan koreksi
secara berani, jujur, dan lugas atas naskah awal buku ini. Kritik dan
sarannya telah memaksa saya untuk menyederhanakan cara penyajian dan
menambah penjelasan yang lebih rinci agar naskah ini dapat dipahami oleh
mahasiswa. Kepada yth Drs. Supahar, M.Si, (Fisika UNY Jogyakarta), saya
haturkan beribu terimakasih atas kejeliannya dalam mencermati huruf
demi huruf serta kata demi kata meliputi keseluruhan halaman dalam draf
naskah ini. Atas kejelian beliau inilah saya sangat terbantu dalam me-
ngupayakan keajegan menggunakan istilah dan ketelitian dalam menggu-
nakan lambang-lambang. Kepada yth. Drs. Parlindungan Sinaga, M.Si (Ju-
rusan Fisika UPI Bandung) dan Dr. Muhammad Nurhuda (Fisika Unibraw
Malang) juga saya sampaikan beribu terimakasih atas kesediaannya melu-
angkan waktu untuk mereview buku ini.
Penyempurnaan akhir naskah ini didasarkan pada hasil ujicoba di UM,
UNY, dan UPI. Dalam hal ujicoba ini saya menyampaikan terimakasih
yang dalam kepada yth. Bapak Drs. Supardi, M.Si (Fisika UNY) dan Bapak Drs.
Yayu Rachmat T, M.Si (Fisika UPI) yang telah bersedia mengujico- bakan
naskah awal buku ini di kelas perkuliahan sekaligus memberikan masukan-
masukan yang sangat bermanfaat baik yang didasarkan atas hasil ujicoba
maupun atas temuan pribadi. Ucapan terimakasih juga saya sam- paikan
kepada Bapak Drs. Yudyanto, M.Si (Fisika UM) yang telah bersedia mengawal
revisi akhir naskah ini. Mudah-mudahan amalan beliau-beliau dicatat oleh
Allah yang Maha Bijak menjadi amalan sholeh.
Ucapan terimakasih juga saya haturkan kepada Dekan FMIPA UM
atas kesediaannya menyertakan draf awal buku ini sebagai salah satu draf
buku yang perlu direview oleh dosen-dosen dari UPI dan UNJ dalam rang-
ka kerjasama JICA-IMSTEP. Kepada Direktor Pembinaan Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat, Ditjen Dikti, juga penulis sampaikan teri-
makasih atas fasilitas yang diberikan sehingga penulis mendapatkan tam-
bahan motivasi untuk menyempurnakan draf buku ini.
Prakata iii
Ucapan Terimakasih vii
Daftar Isi ix
Penjelasan lambang matematika xiii
Daftar isi
xii Daftar isi
Rangkumam 205
Perlatihan 207
= “sama dengan”
Menyatakan kesamaan (makna atau nilai) antara pernyataan
di sebelah kiri lambang dengan pernyataan di sebelah kanan
lambang.
Contoh:
F = ma, menyatakan ungkapan “besar dan arah gaya F sama
dengan besar dan arah ma ”
Penjelasan lambang
BAB 1
RADIASI BENDA-HITAM
jutnya lepas ke luar rongga melewati lubang. Karena lubang telah berperi-
laku sebagai benda-hitam, maka radiasi yang melewatinya dapat diguna-
kan sebagai sampel (contoh) radiasi benda-hitam yang ideal. Lebih lanjut,
karena lubang tidak lain merupakan bagian dari rongga, maka radiasi
yang keluar dari lubang tadi juga mewakili radiasi rongga (cavity radiation)
secara keseluruhan.
Ada 3 hal penting yang akan kita bicarakan tentang data eksperimen
radiasi benda-hitam, yaitu: distribusi radiansi spektral (spectral radiancy dis-
tribution), Hukum Pergeseran Wien, dan Hukum Stefan-Boltzmann.
T5
T4
T3
T2
T1
Gambar 1.2 Distribusi spektral radiansi benda-hitam pada temperatur
T5 > T4 > T3 > T2 > T1 . Beda antara dua temperatur yang
berdekatan adalah tetap
takan energi termal per satuan volume rongga yang bertemperatur T dan
c
R () ρ () ,
T T
4
dengan c menyatakan laju cahaya dalam vakum.
Untuk menjelaskan secara teoretis ketiga data eksperimen sebagaima-
na disebutkan di depan, langkah yang paling strategis adalah menja-
barkan rumusan distribusi rapat energi spektral T ( ) . Hal ini disebabkan
karena dua data yang lain, yaitu hukum Wien dan hukum Stefan-
Boltzmann, dapat dijabarkan dari (T) . Oleh karena itu, kita fokuskan
8πV
N (ν)dν 3
ν 2 dν , (1. 3)
c
8 πk B T 2
ρ T ( ) dν ν dν . (1. 5)
c3
Jelaslah bahwa hasil ini tidak cocok dengan data eksperimen. Data eksperi-
men menunjukkan bahwa untuk frekuensi sangat tinggi T ( ) bernilai nol;
sementara itu menurut teori Rayleigh dan Jeans, T ( ) bernilai tak ber-
hingga besar. Perhatikan Gambar 1.3 berikut.
Gambar 1.3 Kecocokan teori Rayleigh-Jeans dengan data eks-
perimen hanya pada frekuensi rendah
dengan h tetapan Planck yang nilainya sebesar 6,6310 J.s. Subtitusi Per-
samaan (1.6) dan (1.3) ke dalam (1.4) menghasilkan
8ν 2 hν
ρ T ( ) dν 3
dν . (1.7)
c exp (h/k BT ) 1
P d e/ k T B d
0 0
, (1. 8)
/k T
P d e B d
0 0
1
dengan P() menyatakan fungsi distribusi Boltzmann e / kBT .
k BT
Integrasi Persamaan (1.8) dapat diselesaikan sebagai berikut. Kare-
d / k BT ε maka ε e / k BT k 2 d / kBT
na e e / k BT BT e . Dengan
dT k BT 2 dT
demikian, Persamaan (1.8) dapat ditulis sebagai
e B d
0
d
(k BT )
2 dT k B2 T 2
k BT k BT . (1. 10)
k BT k BT
ε n e εn /k BT nhν e
n h ν/kBT
nα e n α
ε n n k BT n , (1. 12)
εn /k BT n h ν/kBT nα
e e e
n n n
en 1 e e2 e 3 e4 .
n
1 2 3 4
dan 1 e e e e .
1 e
diperoleh hubungan
n 1
e (1. 14)
n 1 e
Subtitusi Persamaan (1.15) dan (1.14) ke dalam Persamaan (1.13) diperoleh
kB T
. (1. 16)
e -1
Karena = hv/kBT, maka
h
. (1. 17)
hν / kBT
e 1
Begitulah cara Planck merumuskan energi rata-rata tiap ragam gelombang
tegak dalam rongga yang bertemperatur T.
Apakah rumusan tadi telah memenuhi harapan Planck, yaitu: pada
frekuensi rendah bernilai kBT dan pada frekuensi tinggi bernilai nol? Perta-
nyaan itu dapat dijawab dengan mengamati nilai limit pada
dan pada 0. Kedua nilai limit tersebut dapat dihitung dengan kaidah
L’Hospital sebagai berikut.
h h
lim lim lim k T
B
ν 0 ν 0 hν / k BT ν 0 h/k hν / k BT
e 1 BT e
dan
lim lim
h lim
h k BT 0.
ν ν e hν / kBT 1 ν h /k BT e hν / kBT
Jelaslah bahwa rumusan nilai energi rata-rata tiap ragam gelombang tadi
telah memenuhi harapan Planck, yaitu: pada frekuensi rendah bernilai kBT
dan pada frekuensi tinggi bernilai nol.
Akhirnya, dengan memasukkan Persamaan (1.17) ke dalam Persama-
an (1.4) diperoleh rapat energi persatuan volume rongga pada temperatur
T yang dihasilkan oleh ragam gelombang yang berfrekuensi antara dan
dv sebagai berikut.
8π hν
T
ρ ν dν 3
ν 2 hν / k T dν . (1. 18)
c e B 1
6 h
5 h
4 h Gambar 1. 4 Diagram tingkat energi entitas
3 h fisis yang tunduk pada postu-
lat Planck. Kiri: deskripsi fisi-
2 h
ka klasik: terdistribusi secara
h kontinu. Kanan: menurut pos-
0 0 tulat Planck: terdistribusi se-
cara diskret.
Pada gambar tadi, setiap energi yang mungkin dimiliki entitas dilukis-
kan sebagai garis-garis mendatar. Jarak antara suatu garis tertentu terha-
dap garis energi nol sebanding dengan energi total entitas pada keadaan
itu. Menurut fisika klasik, entitas tadi dapat memiliki sebarang energi se-
hingga diagram tingkat energinya terdiri atas sederetan garis yang saling
berimpit (berupa spektrum kontinu). Sebaliknya, berdasarkan postulat
Planck, energi total entitas tersebut harus merupakan salah satu dari 0, h ,
2h, 3h, dst. Hal ini ditunjukkan oleh himpunan garis-garis diskret dalam
diagram tingkat energi. Energi entitas yang tunduk pada postulat Planck
dikatakan terkuantumkan. Keadaan di mana entitas memiliki energi
tertentu yang diijinkan disebut keadaan kuantum, dan bilangan bulat n
disebut bilangan kuantum.
Pertanyaan logis yang segera timbul adalah bagaimana kita menjelas-
kan gejala sehari-hari yang menunjukkan bahwa energi osilator harmonis
dapat bernilai sebarang? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita
terapkan postulat Planck pada entitas fisis yang sudah dirumuskan secara
baik oleh fisika klasik. Sebagai contoh, kita ambil gerak osilasi teredam
lemah pada bandul sederhana.
O L
yaitu merupakan perkalian fungsi letak E(r) dengan fungsi waktu e -it .
Untuk memaksa Persamaan (1.23) sebagai penyelesaian Persamaan (1.21),
2 2 2 2 2 2
E
Ex y Ez
i E j E k E , (1. 25)
2 x 2 y z 0
2c 2 2 2
x y c z c
E x 2
2
Ex 0 , (1. 26a)
x2 c2
2 2
Ey
Ey 0 , (1.26b)
y2 c2
2
E z 2
Ez 0 . (1.26c)
z2 c2
1 d2F 1 d G
2 1 d H2
k2, (1.28)
F dx 2 G dy 2 H dz 2
dengan k ( /c).
Setiap suku di ruas kiri Persamaan (1.28) merupakan fungsi satu vari-
abel, dan variabel tersebut berbeda untuk suku yang berbeda. Ini
membawa konsekuensi bahwa agar Persamaan (1.28) tersebut berlaku
untuk semua x, y, dan z, maka masing-masing suku harus merupakan
konstanta yang jika dijumlahkan harus menghasilkan –k. Selanjutnya
masing-masing konstanta itu secara berturutan kita lambangi: kx , ky, dan
kz. Dengan demikian, Persamaan (1.28) kita urai lagi menjadi sistem
persamaan:
2
d F
k x2 F (1.29a)
dx 2
2
d G
k 2y G (1.29.b)
2
dy
2
d H
k z2 H (1.29.c)
dz 2
dengan kx + ky + kz = k2. Penyelesaian umum ketiga persamaan itu meru-
pakan kombinasi linear dari fungsi sinus dan cosinus. Sebagai contoh, F(x)
merupakan kombinasi linear sin(kxx) dan cos(kxx).
Berdasarkan syarat batas sebagaimana diuraikan di depan, Ex harus
bernilai nol di y = 0 dan y = L, serta di z = 0 dan z = L. Jadi sistem Persama-
an (1.29) harus memenuhi syarat batas: G(0) = G(L) = 0, dan H(0) = H(L) =
0. Dengan syarat batas seperti itu maka penyelesaian Persamaan (1.29b)
adalah:
G(y) = sin (ky y), dengan ky = m/L ; m = 0, 1, 2, … (1.30)
atau
{A2 kx B2 ky C 2 kz }sin(kx x) sin(ky y) sin(kz z) +
A1kx cos(kx x) sin(ky y) sin(kz z) +
B1ky cos(ky y) sin(ky y) sin(kz z) + (1.37)
C1kz cos(kz z) sin(kx x) sin(ky y) = 0
Ruas kiri Persamaan (1.37) dijamin nol untuk semua x, y, dan z jika:
A2kx + B2 ky + C2 kz = 0 dan A1 = B1 = C1 = 0. Selanjutnya, tetapan yang tidak
nol, yaitu A2, B2, dan C2, agar tampak jelas arti fisisnya, masing-masing
dilambangi E0x, E0y, dan E0z. Subtitusi nilai semua tetapan itu ke dalam
Persamaan (1.33) sampai (1.35) diperoleh penyelesaian akhir untuk
masing-masing komponen medan listrik di dalam rongga sebagai berikut.
Ex(x,y,z) = Eox cos(kx x) sin(ky y) sin (kz z) ,
Ey(x,y,z) = Eoy sin (kx x) cos(ky y) sin(kz z) , (1.38)
Ez(x,y,z) = Eoz sin (kx x) sin(ky y) cos(kz z) ,
dengan
kx = /L , = 0, 1, 2 ……
ky = m/L , m = 0, 1, 2 …… (1.39)
kz = n /L , n = 0, 1, 2 ……
Selanjutnya, persyaratan A2kx + B2ky + C2kz = 0 dapat diungkapkan
sebagai berikut.
E0x kx + E0y ky + E0z kz = 0, (1.40 )
atau
E0(r).k = 0 (1.41)
Pada bagian ini diuraikan salah satu cara untuk menghitung cacah ra-
gam gelombang di dalam rongga yang memiliki frekuensi dalam interval
d di sekitar tertentu (frekuensinya bernilai dari sampai d ). Dari
Persamaan (1.39) dapat disimpulkan bahwa ragam gelombang tegak yang
diizinkan di dalam rongga harus memiliki vektor gelombang yang nilai
(modulus)-nya sebesar
2 2 2
k mn m n . (1.42)
L
Dengan kata lain, frekuensi setiap ragam gelombang dalam rongga harus
memenuhi hubungan
mn c 2 2
ν mn m n2 (1.44)
2 2L
Jadi, di dalam rongga terdapat tak berhingga variasi akibat dari tak ber-
hingganya variasi nilai ,m, dan n. Ini berarti cacah ragam gelombang
dalam rongga juga tak berhingga. Namun, jika perhatian kita dibatasi
pada cacah ragam gelombang yang berfrekuensi antara dan d,
tentu saja cacahnya berhingga.
hitung cacah ragam gelombang yang berfrekuensi kurang dari , (2) men-
derivatifkan hasil yang diperoleh terhadap , dan (3) melipatduakan hasil yang
diperoleh (karena untuk setiap nilai ada dua ragam yang saling bebas).
Untuk menghitung cacah ragam gelombang yang berfrekuensi kurang
dari , kita bangun suatu ruang abstrak yang dibentang oleh vektor sa-
tuan e1 , e 2 , e 3 . Selanjutnya, setiap frekuensi ragam ν m n kita pikirkan se-
cm
bagai suatu “vektor ” yang komponennya pada arah e1 , e 2 , e 3 secara
c cn
berurutan adalah ν1 2L
, ν2 2L
, ν3 2 L. Dengan demikian, ujung-
Untuk memahami prosedur ini, marilah kita terapkan dulu pada ka-
sus dua dimensi. Dalam gambaran 2 dimensi, ujung-ujung “vektor ”
membentuk kisi 2 dimensi seperti ditunjukkan pada Gambar 1.7
Jika kita abaikan arah polarisasinya, cacah ragam gelombang yang
berfrekuensi dari sampai d sama dengan cacah titik kisi dalam
dN ( ν) 2πνL2
N (ν) dν dν dν . (1.46)
dν c2
Persamaan (1.46) menyatakan cacah ragam gelombang yang berfre-
kuensi antara sampai d tanpa memperhatikan polarisasinya. Cacah
ragam selengkapnya, yaitu setelah memperhatikan polarisasinya, adalah
dua kali nilai itu.
Sekarang kita gunakan prosedur tadi untuk tiga dimensi. Dalam gam-
baran 3 dimensi, sel satuan berbentuk kubus dengan rusuk c/2L sehingga
c3 c3
volume sel satuan dalam kisi ini sebesar 2 L 3 8V , dengan V menyata-
kan volume rongga.
dN 4π 2 V
N (v)dν dν dν . (1.48)
dν c3
Cacah total ragam gelombang yang telah dibedakan pula arah pola-
risasinya adalah dua kali dari yang dinyatakan pada Persamaan (1.48),
yaitu
8πν2 V
N (v )dv 2 N (v)dv dν . (1.49)
c3
Demikianlah salah satu cara untuk menghitung cacah ragam gelom-
bang tegak yang berfrekuensi antara dan d dalam suatu rongga
RANGKUMAN
Bernilai nol pada frekuensi mendekati nol atau pada frekuensi sa-
ngat tinggi (tak hingga).
Terdapat frekuensi utama yang nilainya bertambah secara linear
terhadap temperatur benda (Hukum pergeseran Wien):
8 k BT
ρ ( ) dν ν 2 dν , (Teori Rayleigh-Jeans).
c3
T
PERLATIHAN
Pertanyaan Konsep
14. Pada saat-saat awal diberi catudaya, elemen sterika listrik tidak ber-
pijar meskipun terasa sekali ia memancarkan panas ke sekitarnya. Me-
ngapa hanya panas yang pertama-tama dipancarkan? Mengapa setelah
beberapa saat elemen tersebut berpijar? Mengapa warna pijarannya
berubah dari merah ke kuning?
15. Pengontrolan temperatur tungku suhu tinggi biasanya menggunakan
sensor cahaya (warna). Bagaimana warna dapat digunakan sebagai
indikator temperatur?
Pertanyaan Analisis
1. Pada frekuensi rendah, rumusan energi rata-rata yang dihasilkan
Planck sama dengan yang dihasilkan Rayleigh-Jeans. Berikan kriteria
rendah tersebut. (Petunjuk: ekspansikan exp(h/kBT) dalam deret pang- kat
dari (h/kBT), kemudian dalam kondisi bagaimana Anda dapat mendekati
nilai energi rata-rata menurut teori Planck sebesar kBT?).
2. Ujilah kebenaran jawaban Anda tersebut secara numerik dengan me-
ngisi tabel berikut. Andaikan temperatur rongga 1000 K. Pada kolom
keempat, isikan apakah energi rata-rata tiap ragam (kolom 2) lebih
dari, hampir sama, kurang dari, atau sangat kecil dibandingkan nilai
kBT (kolom
Frekuensi 3).
ragam Energi rata-rata kB T Keterangan
10 Hz
6 ................ 1,3810 J
10 8 Hz ................ 1,3810 J
10 10 Hz ................ 1,3810 J
10 11 Hz ................ 1,3810 20 J
10 12 Hz ................ 1,3810 20 J
10 13 Hz ................ 1,3810 20 J
10 14 Hz ................ 1,3810 J
210 14 Hz ................ 1,3810 J
310 14 Hz ................ 1,3810 J
410 14 Hz ................ 1,3810 J
510 14 Hz ................ 1,3810 J
610 14 Hz ................ 1,3810 20 J
710 14 Hz ................ 1,3810 20 J
810 14 Hz ................ 1,3810 J
910 14 Hz ................ 1,3810 20 J
10 15 Hz ................ 1,3810 J
10 16 Hz ................ 1,3810 J
16.
A K
Aksi ................................... 10, 12 Kuantum
bilangan................................ 13
B keadaan ................................ 13
bencana ultraviolet ..................... 9
M
Bencana ultraviolet..................... 9
Benda-hitam Maxwell ............................. 5, 6, 8
contoh terbaik ........................ 2
definisi ................................... 2 P
grafik spektrum .............. 3, 4, 5 pengkuantuman energi... 1, 12, 14,
spektrum .............3, 4, 5, 25, 28 26
Boltzmann Planck
tetapan ............................... 7 pengkuantuman energi1, 12, 14,
statistika ............................. 8 26
fungsi distribusi .................. 8 postulat
fungsi distribusi ...................... 8 entitas fisis yang tunduk pada
statistika................................. 8 ..................................... 13
tetapan ................................... 7 kesepadanan klasik ........... 15
postulat ...........9, 13, 14, 26, 28
G
postulat, entitas fisis yang
Gelombang tegak ...6, 7, 8, 11, 12, tunduk pada...................... 13
15, 20, 21, 22, 23, 24, 25 postulat, kesepadanan klasik . 15
cacah ragam teori radiasi benda-hitam... 9, 12
penghitungan.................... 20 tetapan ..............1, 8, 12, 24, 25
cacah ragam,penghitungan.... 20 Polarisasi.................................. 20
energi rata-rata tiap ragam. 6, 8,
9, 11, 24, 27 R
teori Planck ........................ 7 radiansi spektral ............... 3, 6, 23
energi rata-rata tiap ragam, Radiansi spektral .............. 3, 6, 23
teori Planck ........................ 7 benda-hitam........................ 3, 5
energi tiap ragam definisi.................. 3, 4, 5, 6, 23
teori Planck ........................ 9 radiasi rongga....................... 3, 24
energi tiap ragam, teori Planck 9 Radiasi rongga ................. 3, 5, 24
ragam gelombang ................... 6 Radiasi termal
benda-hitam............................ 2
definisi ................................... 1
spektrum ................................ 2
Rapat energi spektral
definisi ........................... 5, 6, 9
hubungannya dgn radiansi
spektral .............................. 6
teori Rayleigh-Jeans ............... 7
Rayleigh-Jeans, teori
kegagalan ............................... 9
radiasi benda-hitam............. 7, 8
S
Stefan-Boltzmann............. 3, 5, 12
hukum.................................... 5
W
Wien
hukum pergeseran ...3, 4, 12, 27
tetapan ................................... 4
EFEK FOTOLISTRIK
Efek fotolistrik adalah gejala terlepasnya elektron pada logam akibat disinari
cahaya. Ditinjau dari perspektif sejarah, penemuan efek fotolistrik merupakan
salah satu tonggak sejarah kelahiran fisika kuantum. Dalam konteks ini, untuk
merumuskan teori yang cocok dengan eksperimen, sekali lagi orang diha-
dapkan pada suatu situasi di mana faham klasik yang selama puluhan tahun
telah diyakini sebagai faham yang benar terpaksa harus dirombak. Faham yang
dimaksud adalah konsepsi bahwa cahaya sebagai gelombang. Selama faham
ini tidak dirombak, gejala efek fotolistrik tidak dapat dijelaskan secara baik.
Faham baru yang mampu menjelaskan secara teoretis gejala efek fotolistrik
adalah: cahaya sebagai partikel. Namun demikian, munculnya paham baru ini
menimbulkan polemik baru. Penyebabnya adalah bahwa faham cahaya sebagai
gelombang telah dibuktikan kehandalannya dalam menjelaskan sejumlah besar
gejala yang berkaitan dengan cahaya, yaitu yang berkaitan dengan gejala
difraksi, interferensi, dan polarisasi. Sementara itu, gejala yang disebut tadi
tidak dapat dijelaskan berdasarkan faham cahaya sebagai partikel.
Untuk mengatasi itu, para ahli sepakat bahwa cahaya memiliki sifat ganda:
sebagai gelombang dan juga sebagai partikel. Kesepakatan ini pada gilirannya
mengantarkan de Broglie untuk mengajukan hipotesis yang belakangan
menjadi dasar metodologi fisika kuantum.
Dalam perspektif yang demikian itulah maka mempelajari efek fotolistrik
menjadi penting dalam rangka memahami fisika kuantum secara utuh. Oleh
sebab itu, pada bab ini kita akan mempelajari gejala itu secara rinci.
Sistematika pembahasan kita susun sebagai berikut. Bagian pertama, ten-
tang Efek Fotolistrik, membahas pengertian efek fotolistrik. Bagian kedua, ten-
tang Fakta Eksperimen, memaparkan beberapa gejala penting yang berkaitan
dengan efek fotolistrik. Bagian ketiga, tentang Penjelasan Teoretis,
membicarakan penjelasan teoretis berdasarkan kerangka berfikir fisika klasik
(cahaya sebagai gelombang) dan faham baru (cahaya sebagai partikel). Kita
akan melihat bahwa faham fisika klasik tidak dapat menjelaskannya secara
utuh. Di lain pihak, kita akan melihat bahwa teori Einstein, yang didasarkan
pada faham cahaya sebagai partikel, dapat menjelaskannya secara utuh. Bagian
keempat, Sifat Ganda bagi Cahaya, mendiskusikan bagaimana kedua watak
cahaya (sebagai partikel dan sebagai gelombang) itu dipadukan.
G
K A
Potensiometer
Dengan peralatan seperti itu dapat dipelajari beberapa hal, yaitu: (1) gejala
terjadinya efek fotolistrik, (2) pengaruh intensitas dan frekuensi cahaya
terhadap kuat arus fotoelektrik, (3) nilai energi kinetik terbesar yang dimiliki
elektron-foto, dan (4) kebergantungan potensial penghenti terhadap intensitas
cahaya.
Cahaya monokromatis ditembakkan ke pelat K yang potensialnya dibuat
lebih positif terhadap plat A. Ternyata, untuk cahaya dengan frekuensi ter-
tentu, galvanometer G mendeteksi adanya arus listrik. Ini menunjukkan bahwa
elektron-foto yang dipancarkan oleh pelat K mampu mencapai plat A
walaupun plat A memiliki potensial yang lebih negatif daripada pelat K. Ini
juga berarti bahwa ketika terlepas dari pelat K, elektron sudah memiliki energi
kinetik yang cukup besar untuk menembus potensial penghalang yang di-
pasang antara pelat K dan A.
Cacah elektron-foto yang dilepaskan plat K bergantung pada intensitas
cahaya. Tidak ada cara untuk menentukan berapa kecepatan masing-masing
elektron. Dengan demikian, haruslah dipikirkan bahwa masing-masing elek-
tron-foto memiliki energi kinetik yang berbeda-beda. Untuk menghentikan ge-
rakan elektron-foto tercepat (ditunjukkan dengan tidak adanya arus fotoelek-
trik yang melalui G), diperlukan potensial penghalang V tertentu. Beda poten-
sial yang mampu menghentikan gerak elektron-foto tercepat itu disebut poten-
sial penghenti (stopping potential), dilambangi Vs. Jika elektron-foto tercepat
sudah dapat dihentikan oleh potensial penghenti maka elektron-foto lainnya
otomatis juga dihentikan.
Energi kinetik elektron-foto tercepat dapat diketahui dari nilai Vs. Ber-
dasarkan prinsip kekekalan energi dapat disimpulkan bahwa energi kinetik
elektron-foto tercepat sama dengan eVs , dengan e menyatakan muatan elek-
tron, yaitu 1,6 10C. Jika energi kinetik elektron tercepat dilambangi Kmaks , maka
Kmaks = e Vs . (2. 1)
Vs
K Cs Cu
oK oCs
oCu
I3
I2
I1
teori klasik, mestinya energi kinetik ini bergantung pada intensitas cahaya.
Sebab, semakin tinggi intensitas cahaya semakin besar energi yang diserap
elektron sehingga energi kinetik elektron juga semakin besar.
Penjelasan Gambar 2.2c (Tidak ada Waktu Tunda Antara Penyinaran Sampai
Terjadinya Arus Fotoelektrik)
Tiadanya waktu tunda untuk melepaskan elektron dengan cahaya yang
intensitasnya sangat lemah jelas tidak dapat diterangkan dengan fisika klasik.
Menurut fisika klasik, jika intensitas cahaya sangat lemah maka diperlukan
waktu yang cukup lama bagi elektron untuk mengumpulkan energi sehingga
dapat melepaskan diri dari ikatannya. Sebagai contoh numerik tentang hal ini,
perhatikan Contoh Soal 2.1 berikut.
bang. Paket-paket energi ini akan tetap terlokalisir (tidak memudar) ketika
bergerak menjauhi sumbernya. Dengan demikian, paket-paket energi ini
berperilaku sebagai partikel: kehadirannya terlokalisir, artinya pada saat ter-
tentu akan menempati ruangan yang sangat terbatas dan tertentu pula.
(Perhatikan Gambar 2.3 berikut).
(a) (b)
Gambar 2.3 Gambaran dua dimensi distribusi energi yang dibawa oleh berkas
cahaya yang dipancarkan dari sumber cahaya titik. Gambar (a):
distribusi energi menurut teori gelombang: energi tersebar secara
kontinu. Gambar (b): distribusi energi menurut teori Einstein: energi
tersebar dalam bentuk paket-paket energi bak-partikel yang disebut
foton.
Selanjutnya, paket energi bakpartikel ini disebut foton. Karena foton selalu
bergerak dengan laju c, maka menurut teori relativitas, massa foton haruslah
nol. Energi tiap foton tergantung pada frekuensinya, yaitu
=h , (2. 3 )
energi dari foton ke elektron ini memiliki sifat sebagai berikut. Jika energi foton
cukup untuk melepas elektron dari ikatannya maka ada peluang bagi foton untuk
memberikan energinya. Tetapi, jika energi foton tidak cukup maka foton tidak mem-
berikan energinya. Jadi, hanya ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu foton
memberikan seluruh energinya, atau sama sekali tidak memberikan energinya
kepada elektron.
Jika energi foton melebihi energi untuk melepaskan elektron dari ikat-
annya maka sisa energi itu akan diubah menjadi energi gerak (energi kinetik)
elektron. Sebaliknya, jika energinya tidak cukup untuk melepaskan elektron,
maka foton tadi tidak akan memberikan energinya kepada elektron yang
bersangkutan.
Bagaimana postulat tersebut menjelaskan semua data eksperimen efek
fotolistrik? Marilah kita lihat satu per satu data pengamatan pada Gambar 2.2
di depan secara berurutan, dari Gambar 2.2a s/d Gambar 2.2d.
hv = Kmaks + hv 0 . (2.4)
Ruas kiri menyatakan energi yang akan diserahkan foton kepada elektron
ketika berbenturan. Jadi ruas kanan adalah energi yang diperoleh elektron
tepat setelah dibentur foton. Energi ini akan digunakan elektron untuk melepas
ikatannya, dan sisanya (jika ada) digunakan sebagai energi gerak. Elektron
yang terikat paling lemah akan terlepas dengan energi kinetik paling besar,
dilambangi Kmaks. Selanjutnya, suku terakhir ruas kanan (hv0) diartikan sebagai
energi yang diperlukan untuk melepaskan elektron yang terikat paling lemah. Jadi
sama dengan energi ikat elektron tersebut. Energi ikat elektron ini sering
disebut sebagai fungsi kerja dan dilambangi . Elektron dapat dilepaskan dari
logam jika energi foton yang membenturnya paling sedikit sama dengan ; jadi
hanya jika hv > h v0. Dengan demikian sangatlah jelas bahwa untuk
melepaskan elektron dari suatu logam tertentu diperlukan cahaya yang
memiliki frekuensi minimal sama dengan frekuensi ambang v0.
Penjelasan Gambar 2.2c (Tidak ada Waktu Tunda Antara Penyinaran Sampai
Terjadinya Arus Fotoelektrik)
Berdasarkan postulat Einstein di atas, maka pelepasan elektron dapat
terjadi tanpa waktu tunda yang berarti; sebab lepas tidaknya elektron itu tidak
ditentukan oleh seberapa banyak jumlah energi yang berhasil dikumpulkan
elektron, melainkan ditentukan oleh berapa besar energi foton yang menumbuk
elektron tadi. Jika energi foton lebih besar daripada energi ikat elektron, maka
elektron akan terlepas dari permukaan logam dan foton yang membentur tadi
lenyap. Sebaliknya, jika energi foton tadi sangat lemah, maka elektron tidak
terlepas dan foton tidak memberikan energinya kepada elektron. Karena
transfer energi dari foton ke elektron menyerupai benturan antara dua partikel,
maka tidak diperlukan adanya waktu tunda.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa efek fotolistrik dapat di-
jelaskan secara memuaskan jika cahaya dipandang sebagai aliran entitas bak-
partikel yang disebut foton. Bukan sebagai bentuk gelombang sebagaimana
dinyatakan dalam fisika klasik.
Partikel cahaya (foton) memiliki energi sebesar = h. Berdasarkan teori
relativitas, foton juga memiliki momentum yang besarnya p = /c = h/c = h/,
dengan = panjang gelombang cahaya.
akibat adanya gerak relatif antara pengamat dan sumber. Perhatikan Contoh
Soal 2.2 berikut ini.
A Ax A 0 , (2. 6)
Ay A y , A A z ,
1/ 2
dengan v / c dan 1 2 . Pada persamaan transformasi
ω γω 1 β . (2. 7)
c c c
Dengan menyatakan dan dalam v (seperti didefinisikan di bawah
Persamaan (2.6)) serta mengganti dengan 2 kita dapatkan ru- musan
efek Doppler seperti dinyatakan pada Persamaan (2.5).
Penjabaran efek Doppler berdasarkan cahaya sebagai partikel
RANGKUMAN
PERLATIHAN
Pertanyaan Konsep
Pertanyaan Analitis
1. Energi untuk melepaskan satu elektron dari atom Natrium sebesar 2,3 eV.
Apakah natrium memperlihatkan efek fotolistrik jika disinari dengan ca-
haya jingga (λ = 680 nm)?
2. Jika Anda ingin memilih bahan untuk sebuah fotosel yang dapat diope-
rasikan dengan menggunakan cahaya tampak (380 nm < λ < 700 nm),
manakah dari bahan-bahan berikut yang Anda Pilih?
energi ikat elektron 4,7 eV, berapa lama elektron mengumpulkan energi
agar dapat lepas dari permukaan logam itu?
9. Cahaya monokromatis ( = 460 Å) dengan intensitas 10 W/m2 dijatuhkan
pada plat K (pada Gambar 2.1). Jika luas yang tersinari 1 cm2: (a) berapa
cacah foton per detik yang membentur plat K tersebut? (b) jika 0,1% foton
dapat menghasilkan elektron-foto yang mampu mencapai plat A, berapa
cacah elektron-foto yang mencapai pelat A tiap detiknya?
10. Ketika disinari cahaya dengan panjang gelombang , suatu logam dapat
menghasilkan elektron-foto dengan energi kinetik maksimum Ek1. Berapa
energi kinetik maksimum elektron-foto tersebut jika disinari dengan cahaya
berpanjang gelombang 0,5? Berapa maksimum yang dapat menghasilkan
efek fotolistrik untuk logam itu? (Nyatakan jawaban Anda dalam dan Ek1)
GELOMBANG MATERI
DAN
ASAS KETAKPASTIAN HEISENBERG
Pada Bab 2 kita telah menyimpulkan bahwa cahaya memiliki watak ganda:
yaitu sebagai partikel dan sebagai gelombang. Adanya watak ganda yang dimi-
liki cahaya ini memungkinkan timbulnya dugaan berlakunya hal serupa pada
partikel material, yaitu partikel yang memiliki massa sebagaimana dimak-
sudkan dalam mekanika Newton. Pada Bab 3 ini kita akan membahas perihal
watak bak-gelombang bagi partikel material.
Hal-hal penting yang kita bahas meliputi: hipotesis de Broglie, eksistensi
gelombang materi, ujud gelombang materi, penafsiran Born tentang fungsi
gelombang, dan asas ketakpastian Heisenberg. Dengan pembahasan ini di-
harapkan pembaca mendapatkan persiapan yang cukup untuk mulai masuk ke
dunia fisika kuantum
Fisika klasik mencirikan partikel sebagai entitas fisik yang memiliki massa.
Pencirian ini sekarang tidak lagi benar. Sebab, sebagaimana telah kita bahas
dalam Bab 2, ada partikel yang tidak bermassa, yaitu foton.
Sebelum teori efek fotolistrik berhasil dirumuskan, orang berkeyakinan
bahwa sekali suatu entitas dikenali sebagai gelombang, selamanya ia tetap se-
bagai gelombang. Sebaliknya, sekali suatu entitas dikenali sebagai partikel,
selamanya ia tetap sebagai partikel. Keyakinan itu tidak lagi dapat diperta-
hankan sejak berhasilnya perumusan teoretis efek fotolistrik. Sebagaimana
telah kita pelajari, bahwa cahaya yang semula diyakini sebagai gelombang
ternyata pada saat tertentu juga dapat berperilaku sebagai partikel. Kenyataan
itu mengisyaratkan perlunya meninjau kembali penggolongan secara diko-
tomis “partikel lawan gelombang”. Sebab, tampaknya alam tidak secara tegas
membagi penghuninya ke dalam dua golongan besar itu.
Jika benar bahwa alam tidak terbagi atas partikel dan gelombang, yang
menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah partikel itu sebenarnya hanya-
lah salah satu watak yang sedang ditonjolkan oleh suatu entitas pada saat ter-
tentu saja; artinya, pada saat yang lain sebenarnya ia juga menunjukkan watak
gelombang (tetapi kita tidak mengenalinya)? Untuk foton, pertanyaan ini telah
kita temukan jawabnya; yaitu ya. Bagaimana dengan partikel lainnya?
Pada tahun 1924, Louis de Broglie, seorang filsof Perancis, mengajukan hi-
potetis bahwa watak ganda yang dimiliki cahaya (gelombang elektromagnet pada
umumnya) juga dimiliki oleh partikel material. Artinya, partikel material juga
dapat menunjukkan watak gelombang sebagaimana ditunjukkan oleh foton.
Menurut de Broglie, terhadap setiap partikel yang berenergi E dan bergerak
dengan momentum linear p terdapat gelombang yang diasosiasikan dengan-
nya. Gelombang yang diasosiasikan dengan partikel yang bergerak itu disebut
gelombang materi, atau gelombang de Broglie. Dalam konteks yang demikian
dapat dikatakan bahwa gelombang elektromagnet adalah gelombang de
Broglie yang diasosiasikan dengan foton.
Frekuensi dan panjang gelombang bagi gelombang de Broglie dapat di-
turunkan dengan argumen sebagai berikut. Kita telah mengetahui bahwa
momentum linear dan energi foton berkaitan dengan panjang gelombang dan
frekuensi gelombang elektromagnet menurut kaitan Planck-Einstein: p = h/
dan E = hv. Jika hubungan itu dipostulatkan berlaku untuk sebarang partikel
(tidak hanya foton), maka gelombang de Broglie memiliki panjang gelombang
sebesar = h/p dan frekuensi sebesar v = E/h, dengan p dan E berurutan me-
nyatakan momentum linear dan energi partikel yang diasosiasikan dengan
gelombang de Broglie itu. Dengan demikian, hipotesis de Broglie dapat diung-
E hν h , (3. 1)
2π
dan
h k
p h k, (3. 2)
λ 2π
h
dengan . Untuk kasus 3 dimensi, Persamaan (3.2) menjadi p k de-
2
ngan k vektor gelombang.
menjumpai bidang pantul maka akan dipantulkan pada arah tertentu persis
seperti trayektori bola tenis yang dipantulkan lantai.
Mengingat kecilnya nilai tetapan Planck (pada orde 10) maka panjang
gelombang de Broglie pada umumnya juga sangat pendek. Oleh karena itu
diperlukan apertur yang sangat kecil untuk menyelidiki munculnya watak
gelombang materi tersebut. Apertur terkecil yang dapat dibuat dewasa ini
memiliki ukuran sekitar 1 Å (yaitu jarak rata-rata antarbidang atom pada
kristal).
Marilah kita hitung berapa orde panjang gelombang de Broglie untuk be-
berapa partikel tertentu. Sebelumnya perlu kita ingat bahwa untuk meng-
hasilkan panjang gelombang yang cukup besar maka momentum linear par-
tikel yang bersangkutan haruslah kecil. Jadi, baik massa maupun kecepatannya
harus cukup kecil.
Analisis
34
6,6 10 J. s
6
= = 6,6 10 Å.
10- 15 10 3
kg. m/s
Panjang gelombang sependek ini tentu saja masih sangat kecil di-
bandingkan dengan ukuran apertur yang tersedia saat ini. Dengan
demikian tidaklah mungkin untuk mendeteksi gelombang yang
diasosiasikan dengan gerakan partikel debu tersebut.
Perlu dicacat bahwa, meskipun partikel hanya sebesar debu dan bergerak
dengan sangat lambat, ternyata gelombang de Broglie-nya masih terlalu kecil
untuk dapat dideteksi. Untuk partikel makroskopis lainnya, tentu saja panjang
gelombangnya akan lebih kecil lagi. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa aspek gelombang pada gerak partikel makroskopis sangat sulit di-
deteksi, bahkan cenderung tidak mungkin dideteksi. Dengan kata lain, partikel
makroskopis tidak akan menunjukkan watak gelombang.
Analisis:
h h
= =
p 3 m kB T
-34
6,6 10
1,4 Å.
3 1,67 10 - 27 1,38 10 - 23 300
Analisis
h h
= =
p 2 m Ek
34
6,6 10 J s
= 1,2Å .
31
2 9,1 10 kg 100 e V 1,6 10 19 J/e V
Pada tahun 1927, Davisson dan Germer (di USA) dan P.G. Thomson* (di
Swedia) berhasil menunjukkan watak gelombang pada elektron. Thomson
menunjukkan adanya efek difraksi ketika berkas elektron ditembakkan pada
suatu lapisan tipis. Sedangkan Davisson dan Germer menyelidiki efek difraksi
yang dihasilkan berkas elektron yang ditembakkan pada kristal. Mereka
mendapatkan hadiah Nobel (1937) atas temuannya itu.
Mengamati beberapa contoh perhitungan di atas, juga hasil percobaan
Davisson dan Germer, maka dapat disimpulkan bahwa partikel material benar-
benar dapat menunjukkan watak sebagai gelombang sebagaimana
dihipotesiskan oleh de Broglie.
Cabang fisika yang menelaah cara mendapatkan fungsi gelombang untuk
partikel material dikenal sebagai mekanika gelombang atau mekanika kuan-
tum. Erwin Schrödinger (1926) dan Werner Heisenberg (1925) secara terpisah
berhasil merumuskan cara mendapatkan fungsi gelombang tersebut. Kedua
ahli itu selanjutnya dikenal sebagai pelopor mekanika kuantum. Pada bab
berikutnya akan kita bicarakan secara khusus teori Schrödinger tersebut.
*
P.G. Thomson adalah putra J.J. Thomson, yaitu ahli fisika yang berhasil menemukan
elektron dan mengidentifikasinya sebagai partikel elementer. J.J. Thomson juga
mendapatkan hadiah Nobel (1905) atas temuannya itu.
Untuk sementara kita tidak perlu membicarakan apa arti fisis dari A0
maupun . Yang perlu segera kita amati adalah cepat rambatnya. Kecepatan
gelombang tersebut dapat diketahui sebagai berikut. Ambillah sebarang titik x
yang memiliki fase tertentu: kx t = , jadi x = /k + t /k . Titik x yang berfase
ini bergerak dengan kecepatan v = dx/dt = /k. Kecepatan seperti ini disebut
kecepatan fase. Kecepatan fase merupakan satu-satunya kecepatan yang
dimiliki gelombang monokromatis. Jadi, gelombang tersebut bergerak dengan
kecepatan
v f = ω/k . (3. 4)
Subtitusi Persamaan (3.1) dan (3.2) ke dalam Persamaan (3.4) menghasilan
v f = E/p. (3.5)
Jika kecepatan partikel cukup kecil sehingga kinematika klasik dapat
digunakan, maka E ½ m v ² (Ep dapat diberi nilai nol sebab partikel dalam
keadaan bebas), dan p mv. Dengan subtitusi nilai-nilai ini ke dalam Persa-
maan (3.5) diperoleh kesimpulan bahwa vf = ½v. Jadi kecepatan gelombang
separoh kecepatan partikel. Kenyataan ini akan menimbulkan kesulitan pe-
nafsiran tentang bagaimana gelombang tersebut diasosiasikan dengannya.
Jika kehadiran gelombang tersebut dikaitkan dengan suatu partikel, maka
haruslah memiliki kecepatan yang sama dengan kecepatan partikel. Dengan
pertimbangan ini maka dapatlah disimpulkan bahwa gelombang mo-
nokromatis seperti yang dinyatakan dalam Persamaan (3.3) tadi tidak layak
digunakan sebagai gelombang materi.
Jika kecepatan partikel mendekati kecepatan cahaya c, maka menurut teori
relativitas, E = γmc dan p = γmv, dengan γ (1v2 /c) . Subtitusi nilainilai ini ke
dalam Persamaan (3.5) menghasilkan vf = c /v. Karena laju partikel material
selalu kurang dari laju cahaya dalam vakum c, maka kecepatan gelombang
tadi akan selalu lebih dari c. Ini tentu saja bertentangan dengan asas relativitas.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mengasosiasikan ge- lombang
monokromatis bidang dengan gerakan partikel adalah tidak mungkin.
Gelombang yang serupa dengan yang dilukiskan pada Gambar 3.1 paling
bawah dapat dibentuk dengan memadukan sejumlah besar gelombang
monokromatis yang memiliki bilangan gelombang dan frekuensi yang ber-
beda-beda. Paduan beberapa gelombang monokromatis membentuk pola
gelombang baru yang disebut grup gelombang.
Sebagai contoh, marilah kita padukan dua gelombang monokromatis
1 (x,t) dan 2(x,t) yang masing-masing berbentuk:
(1x , t ) = A sin
0
[( k +0 1 dk
2
)x ( + 0
1
2 dω ) t ] ,
dan
2 ( x ,t ) = A 0
sin [(k 0 dk ) x (
1
2 0
1
2
dω ) t ] .
sin 4x + sin 6x
Gambar 3.3 . Pola grup gelombang yang dihasilkan oleh perpaduan beberapa
gelombang monokromatis. Dalam setiap pola, rentangan bilangan
gelombang yang digunakan sama, yaitu dari 2,7 s.d 3,3. Beda
bilangan gelombang berturutan yang dipadu adalah 0,6/( n 1),
dengan n cacah gelombang yang dipadu.
Sejauh ini kita baru membicarakan bentuk gelombang yang layak di-
gunakan untuk mendeskripsikan gerak suatu partikel material. Kita belum
membicarakan misalnya apa yang bergelombang pada gelombang materi
tersebut. Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali pada pen-
deskripsian gelombang dan partikel pada radiasi (cahaya).
Menurut deskripsi gelombang, radiasi dapat digambarkan sebagai entitas
kolektif medan listrik dan medan magnet yang merambat bersama dalam
ruang. Pada medium dielektrik isotropik, medan listriknya merambat dalam
bentuk gelombang bidang E (r , t ) = E exp i(k . r t), yang diperoleh dari
0
(x , t ) = | ( x , t ) | 2 * (x , t ) (x , t ) . (3. 15)
Peluang pada saat t partikel berada dalam interval x dan x + dx:
(x , t ) dx = | (x , t ) | 2 dx * (x , t ) (x , t ) dx . (3. 16)
Peluang pada saat t partikel berada antara x1 dan x2:
x2
x1 ( x , t ) dx = xx2 * ( x , t ) ( x , t ) d x . (3. 17)
1
dengan
( x , t ) dx .
2 sin 2 2x ; 0 x a
a a
(a) ( x) * ( x) ( x)
0 ; x 0 atau x a
a 0
( x a) ( x) dx ( x)0dx
a2 2 2x 0
sin dx 0 dx
0
a a
2 a1 4x 2 a
(1 cos ) dx 1.
a 02 a a 2
Pada kedua persamaan di atas, k adalah bilangan gelombang dan x adalah ko-
ordinat (posisi). Variabel k dan x merupakan pasangan variabel yang saling
berkonjugasi. Contoh lain pasangan besaran yang saling berkonjugasi adalah
waktu (t) dan frekuensi sudut (). Fungsi f(x) dan g(k) sering disebut pasangan
transformasi Fourier. Secara fisik keduanya mendeskripsikan gejala yang sama
tetapi dari sudut pandang yang berbeda: f(x) mendeskripsikan dalam ruang
koordinat (ruang x), sedangkan g(k) mendeskripsikan dalam ruang k.
Berdasarkan teori di atas, maka fungsi gelombang pada t tertentu, mi-
salnya t = 0, yaitu (x,0), juga dapat disajikan dalam ruang momentum. Jika
~
penyajian dalam ruang momentum dilambangi (p,0) maka kedua fungsi ter-
sebut harus memenuhi hubungan:
1 ~ i px /
~ 1 i px /
( p,0)
( x,0) e dx . (3. 22)
2
Kedua persamaan tadi diperoleh dengan analogi Persamaan (3.19) dan (3.20)
serta menggunakan rumusan de Broglie p k .
~
Karena kedua fungsi ( x,0) dan ( p ,0) tersebut merupakan pasangan
Fourier maka keduanya secara fisik sama, artinya keduanya diasosiasikan de-
ngan partikel yang sama. ( x,0) adalah wujud fungsi gelombang jika disaji- kan
~
dalam ruang koordinat, sedangkan (p,0) adalah wujud fungsi gelom-
bang jika disajikan dalam ruang momentum.
Selaras dengan penafsiran Born untuk ( x, t ) , maka penafsiran Born
~
untuk ( p ,0) dirumuskan sebagai berikut.
Rumusan (3.23) sampai (3.26) didasarkan atas asumsi bahwa fungsi gelombang
~ ~
( p , t ) ternormalkan. Jika ( p , t ) belum ternormalkan, maka persamaan
Salah satu asas yang dihasilkan fisika kuantum adalah Asas Ketakpastian
Heisenberg. Asas ini menyatakan bahwa pengukuran serempak terhadap
posisi dan momentum linear tidak mungkin dapat dilakukan dengan ketelitian
mutlak. Ketelitian terbaik yang mungkin dicapai adalah xp = ћ/2 dengan x dan
p berurutan menyatakan ketakpastian posisi dan ketakpastian momentum
linear. Asas ketakpastian ini biasanya dinyatakan dengan ungkapan xp ћ/2.
Pada bagian ini kita akan menelaah munculnya asas tersebut berdasarkan
prinsip penafsiran Born tentang fungsi gelombang sebagaimana telah kita
bicarakan sebelumnya. Melalui cara ini kita juga dapat menguji keswacocokan
(kesesuaian) antara penafsiran Born dan Asas Ketakpastian Heisenberg.
Berdasarkan penafsiran Born, dari fungsi gelombang ( x, t ) dapat didefi-
nisikan fungsi rapat peluang kehadiran (posisi) partikel( x, t ) dan dari fungsi
~
gelombang ( p , t ) dapat didefinisikan fungsi rapat peluang momentum
~
linear partikel ( p , t ) . Dengan demikian, dari kedua fungsi rapat peluang
tersebut dapat dihitung nilai harap (expectation value) posisi dan momentum
linear beserta ketakpastiannya. Prosedur penghitungannya dilakukan sebagai
berikut.
Dari fungsi rapat peluang posisi, ( x) , dapat dihitung nilai harap posisi,
2
dilambangi <x>, dan variansi posisi, dilambangi ,x sebagai berikut.
2
x x 2 ( x) dx . (3. 28)
x
Persamaan (3.28) dapat diubah menjadi
2
x x2 x 2
, (3. 29)
dengan
2 2
x
x ( x) dx . (3. 30)
dengan
p
~
p ( p) dp , (3. 33)
Analisis
( x) * ( x ).( x) C * C konstan.
2
2
x C * C dx
dan x ,
C * C dx
x x2 x 2 .
~( p) C e -i px / dx
ip
0
x / C
i( p0 p ) x /
e e dx C ( p p 0 ).
2 2
Analisis
(x ) C * C e
- 2 x2 .
dan
2 2 2
2
C *C x e dx (x 3 / 2) (1 / 2) 1
x :
C * C e
2 x2
dx 2 3 2 22
m ax 2 ((m 1)/2))
x e dx .
0
2 a (m 1)/2
pakan salah satu contoh, atau anggota, dari kelompok fungsi yang disebut
2
fungsi Gaussan. Bentuk umum fungsi Gaussan adalah f ( x ) C e a x dengan a
sebarang bilangan positif. Pada analisis di contoh soal tadi Anda dapat melihat
bahwa transformasi Fourier fungsi Gaussan juga merupakan fungsi Gaussan.
Jika prosedur pada Contoh 3.6 tadi diterapkan pada sebarang fungsi
Gaussan maka akan didapatkan nilai xp = / 2 , berapa pun nilai tetapan a.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jika fungsi gelombangnya berupa
fungsi Gaussan maka ketakpastian xp akan mencapai minimum, yaitu
sebesar / 2 .
Analisis
A 2 2 x 2 e x dx
dan
2 2
2 2 4 x
A x e dx (5 / 2) (3 / 2) 3
x2
: 5
, 3 2
2 2 2 2 x2 2 2 2
A x e dx
1 2
2
0
e ax cos bx dx eb /( 4 a )
,
2 a
1 2 2
~ ( p) B d e 2
x
cos ( px /)dx
dp 0
2 /( 2 2 )2 /( 22 2 2
d 1 dp ep C p e p )
B a
2
dan
2 4 p2 / 2 2
C p e dp ( 5 / 2) ( 3 / 2) 32 2
p2 :
C 2 p2 e
p2 / 2 2
dp 2 (1 /( )) 5 2 /( )3 2
RANGKUMAN
dan
(x) e
~ ( p) 1 - i px / dx .
2
PERLATIHAN
Pertanyaan Konsep
14. Untuk memasukkan bola bilyard ke dalam lubangnya, kecepatan dan arah
sodokan harus diatur seteliti mungkin. Kritisilah kesahihan asas
ketakpastian Heisenberg berdasarkan kenyataan bahwa jika sodokan kita
tepat maka bola bilyard selalu sukses dimasukkan!
15. Apakah variabel x dalam ungkapan fungsi gelombang ( x, t ) menyata-
kan posisi partikel pada t tertentu?
16. Cermatilah kebenaran pernyataan berikut: “Berdasarkan hipotesis de
Broglie, partikel yang bergerak akan menghasilkan gelombang di sekitar
lintasannya”
17. Benarkah pernyataan: “Nilai fungsi gelombang de Broglie di suatu titik
menyatakan besarnya gangguan yang dihasilkan oleh partikel di titik itu”?
18. Jika sebutir batu dijatuhkan ke kolam yang tenang, maka pada permukaan
kolam akan timbul gelombang air (riak). Apakah pasangan batu dan riak
tersebut sepadan dengan pasangan partikel dan gelombang materi
sebagaimana dihipotesiskan de Broglie?
19. Jelaskan bahwa temuan Davisson dan Germer merupakan salah satu bukti
kebenaran hipotesis de Broglie!
Pertanyaan Analitis
15.
Gelombang de Broglie 54, 55, 56,
A 58, 77, 78, 80
Apertur terkecil 56 eksistensi 55
Apertur, optik 55, 56, 57 untuk debu 56
Asas ketakpastian Heisenberg untuk elektron 57
berdasarkan penafsiran Born69– untuk neutron termal 57
71 Gelombang monokromatis 59
Germer 58, 77
B Grup gelombang
kecepatan grup 62
Born, Max 53, 65, 68, 69, 70, 78, pembentukan 60, 63
79 sebagai gelombang de Broglie
Born, penafsiran fungsi gelombang 63
dalam ruang momentum 68, 78
dalam ruang posisi 65 H
Born, Penafsiran fungsi
gelombang 64–69 Heisenberg, W
asas ketakpastian 53, 69, 70, 78,
D 80, 81
pelopor mekanika kuantum 58
Davisson 58, 77
de Broglie K
hipotesis 53, 54, 77, 80
de Broglie, hipotesis 54 Kecepatan fase 59
Dirac 72 Kecepatan grup 62
Ketakpastian
E momentum linear 70
posisi 70
Efek fotolistrik 54, 77 posisi-momentum, minimum 74
Elektron, massa 57
M
F
Maxwell 64
Foton, partikel tak bermassa 54
Fourier, transformasi 68 N
G Newton 53, 80
Nilai harap 70
Gaussan, fungsi 74, 76, 79
POKOK-POKOK METODOLOGI
FISIKA KUANTUM
Melalui pembahasan tiga bab sebelum ini, kita mulai menyadari perlunya
teori baru untuk menjelaskan perilaku entitas fisis yang tidak dapat dipas-
tikan apakah sebagai gelombang atau sebagai partikel. Sebab, teori-teori
yang telah ada (mekanika Newton maupun teori gelombang, baik yang di-
turunkan dari mekanika Newton maupun dari teori Maxwell) masing-ma-
sing hanya dapat digunakan untuk entitas fisis yang dapat dipastikan seba-
gai partikel atau sebagai gelombang. Kita juga telah memiliki suatu kriteria
yang jelas untuk menyatakan apakah suatu entitas fisis dapat digolongkan
ke dalam salah satu golongan (gelombang atau partikel) itu atau tidak. Kri-
teria tersebut adalah panjang gelombang de Broglie. Jika suatu entitas yang
mula-mula kita kenali sebagai partikel ternyata memiliki panjang gelom-
bang de Broglie cukup besar (sekurang-kurangnya dalam orde angstrom)
maka entitas tersebut tidak dapat dipastikan sebagai partikel.
Pada Bab 3 kita juga telah mendiskusikan bahwa hipotesis de Broglie
tidak dapat digunakan untuk mendapatkan fungsi gelombang yang diaso-
siasikan dengan partikel. Berdasarkan kenyataan ini maka timbullah suatu
pertanyaan penting tentang bagaimana cara mendapatkan fungsi gelom-
bang itu. Jika fungsi gelombang telah kita dapatkan, pertanyaan penting
berikutnya adalah bagaimana cara mendapatkan informasi tentang keada-
an partikel berdasarkan fungsi gelombang itu. Jawaban atas pertanyaan
pertama akan kita bahas di Bab 5, sedangkan pertanyaan kedua akan kita
diskusikan pada bab ini.
Pada bab ini akan kita pelajari pokok-pokok metodologi dalam fisika
kuantum, atau mekanika gelombang, yaitu suatu cabang fisika teori yang
menelaah perilaku entitas fisis yang tidak dapat dipastikan apakah sebagai
Sutopo Pengantar Fisika Kuantum 83
84 Pendeskripsian keadaan
Pada bagian akhir Bab 3 kita telah mengkaji makna fungsi gelombang.
Kesimpulan yang kita peroleh adalah: berdasarkan fungsi gelombang ter-
sebut kita dapat mengetahui keberadaan (posisi) partikel dan besarnya mo-
mentum linear yang dimilikinya, meskipun secara probabilistik. Mengingat
semua besaran dinamis yang kita kenal dalam fisika klasik (misalnya ener-
gi kinetik, energi potensial, gaya, momentum sudut, dan sebagainya) selalu
dapat dinyatakan sebagai fungsi momentum linear dan/atau posisi, maka
dapat diharapkan bahwa dari fungsi gelombang tersebut dapat diketahui
berbagai informasi tentang keadaan gerak partikel yang kita bicarakan.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka sangatlah masuk akal untuk
mempostulatkan: keadaan gerak sistem dideskripsikan dengan fungsi ge-
lombang. Pernyataan ini harus pula dimaknai secara berbalikan. Artinya,
sebagai pendeskripsi keadaan maka fungsi gelombang tersebut harus me-
muat semua informasi tentang sistem yang dibicarakan; misalnya: posisi,
momentum linear, energi, momentum sudut, dan besaran-besaran dinamis
lain yang kita perlukan.
Sebagaimana telah kita bahas di Bab 3, fungsi gelombang dapat kita
tampilkan dalam dua cara, yaitu dalam ruang posisi (dilambangi ( x, t ) )
~
atau dalam ruang momentum linear (dilambangi (p, t) ). Perlu segera di-
catat bahwa variabel x dalam fungsi gelombang tersebut bukan menyatakan
posisi partikel, melainkan menyatakan sederetan posisi yang mungkin ditem-
pati partikel. Demikian pula dengan variabel p, harus dipahami sebagai se-
deretan nilai momentum linear yang mungkin dimiliki partikel.
Berdasarkan postulat tersebut maka pekerjaan penting dalam fisika
kuantum adalah menemukan fungsi gelombang. Sebab dengan mengeta-
hui fungsi gelombang kita dapat mengetahui semua informasi yang kita
perlukan tentang sistem. Peranan fungsi gelombang ini, jika dianalogikan
dengan fisika klasik, analog dengan peranan trayektori partikel. Dengan
diketahuinya trayektori, yaitu posisi partikel pada sebarang waktu, kita da-
pat mengetahui nilai berbagai besaran fisika yang dimiliki partikel itu pada
setiap saat.
Cara kerja operator posisi bergantung pada ruang penyajian yang kita
gunakan. Dalam ruang posisi, di mana fungsi gelombang berbentuk (r, t ) ,
operasi operator posisi dipostulatkan sebagai berikut.
R̂ ( r , t ) r ( r, t ) , (4. 1)
X̂ ( r, t ) x ( r, t ) ,
Ŷ ( r, t ) y ( r, t ) , (4. 2)
Ẑ ( r , t ) z ( r, t ).
Jadi, cara kerja operator komponen vektor posisi dalam ruang posisi adalah
mengalikan fungsi gelombang dengan komponen vektor posisi pada arah
yang bersesuaian.
Bagaimana cara kerja operator posisi di ruang momentum linear? Da-
~
lam ruang momentum linear, fungsi gelombang berbentuk (p, t ) yang me-
rupakan transformasi Fourier dari ( r , t ). Dengan demikian, operasi opera- tor
~
posisi dalam ruang momentum dituliskan secara R̂ (p, t ). Untuk penye-
derhanaan, tanpa mengurangi generalisasinya, kita gunakan kasus satu di-
~
mensi sehingga operasi tersebut dapat dituliskan secara X̂ ( p , t ). Dengan
menggunakan transformasi Fourier, ungkapan yang terakhir ini dapat diu-
bah menjadi
px
X pt X xt x
ˆ ~( , ) ˆ 1
e i /
( , )d
2
1
ei px / X̂ ( x, t )dx (4. 3)
2
1
ei px / x ( x, t )dx .
2
X̂ i
px
Yˆ i (4. 5)
py
Ẑ i
pz
atau dalam bentuk vektor:
R̂ i p , (4. 6)
ˆ P~Ψ(p, t ) p Ψ(p,
~
t ), (4. 7)
~
(p, t) 2 3 /2 e
i p.r /
(r , t) d 3 r, (4. 9)
dan
(r ,t)3 /2 2 i p.r /
e 3 ~ (p, t) d p,
(4. 10)
dengan dr dx dy dz dan dp dpx dpy dpz , maka dengan prosedur yang sama
dengan yang kita gunakan untuk mendapatkan operator posisi da- lam
ruang momentum, kita peroleh hubungan
P̂ (r, t) i r (r, t ), (4. 11)
P zˆ i .
z
Dapatkan operator energi kinetik dalam: (a) ruang posisi, dan (b)
dalam ruang momentum linear.
Analisis
Definisi energi kinetik, yaitu ½ m v, jika dinyatakan dalam fungsi
2
p
momentum (p mv) berbentuk E . Dengan demikian, secara
k 2m
2
P̂
umum, operator energi kinetik berbentuk Ê .
k 2m
Ê k 2
2 .
2m 2m x 2 y z 2
p2
Dalam ruang momentum, mengingat P̂ p , maka Ê k .
2m
Analisis
Definisi momentum sudut L adalah L r p, dengan r menya-
takan vektor posisi dan p momentum linear. Dengan demikian, se-
cara umum, operator yang mewakili momentum sudut adalah
L̂ R̂ P̂ . Dalam ruang posisi, operator ini berbentuk
L̂ r i i r .
Komponen momentum sudut pada sumbu X, Y, dan Z masing-
masing:
L x yp z zp y , L y zp x xp z , Lz xp y yp x .
Nanti akan kita lihat bahwa kedua proses tersebut tidak sama.
Analisis
rator tersebut. Pada contoh (a) tadi, 1 merupakan fungsi eigen bagi mo-
mentum linear dengan nilai eigen sebesar p0.
Nilai harap
Nilai harap hasil pengukuran besaran A pada saat keadaan sistem di-
nyatakan sebagai fungsi gelombang didefinisikan sebagai berikut.
Dalam ruang posisi satu dimensi didefinisikan sebagai
* ˆ
Adx
A
, (4. 15)
*
dx
dua cara penghitungan tadi harus menghasilkan nilai yang sama. Pembuk-
tian tentang ini diharapkan dilakukan sendiri oleh pembaca. Lihat bagian
Perlatihan di akhir bab ini.
Jika fungsi gelombang sudah ternormalkan, yaitu integral ke seluruh
ruang dari kuadrat modulusnya bernilai satu, maka penyebut pada kedua
persamaan terakhir tadi bernilai satu. Dengan demikian, jika fungsi gelom-
bang telah ternormalkan, penghitungan nilai harap tadi menjadi
*
A ψ Â ψ dx , (4. 17)
atau
A ~ ~ * Â~ dp .
2
Â2 2 A A A
2
Â2 A .
i p x/
fungsi gelombang A e 0 dengan A dan p0 suatu tetapan. Berda-
sarkan hasil pengukuran ini, apa arti fisik dari p0 tersebut?
Analisis
Fungsi gelombang tersebut belum ternormalkan, sebab
ip x/ i p x/
- * dx A * A - (e
0 ) (e 0 ) dx A * A- dx 1 .
d
A * e i po x / i Ae i po x / dx
- A * A dx
dx p0 p.0
P
A * A dx
A * A dx
takan keadaan sistem yang memiliki momentum pasti sebesar p0. Kesim-
pulan ini cocok dengan pembahasan Contoh Soal 4.3 a. Berdasarkan ana-
lisis Contoh Soal 4.3 a dan 4.5 ini dapat disimpulkan bahwa keadaan eigen
bagi suatu besaran adalah suatu keadaan di mana nilai besaran tadi bersifat
pasti. Dengan demikian, pada keadaan eigen: (a) hasil ukur pada setiap
pengukuran berulang selalu tetap dan nilainya sama dengan nilai harap-
nya, dan (b) ketakpastian hasil ukur sebesar nol.
Pada bagian ini akan disajikan secara singkat perihal operator dan ope-
rasi-operasi dasar yang melibatkan fungsi gelombang dalam ruang fungsi
kompleks variabel real. Pembahasan singkat ini diharapkan dapat mem-
bantu pembaca memahami berbagai operasi matematika yang diperlukan
dalam fisika kuantum, khususnya yang melibatkan fungsi gelombang dan
operator.
g, f g * f dx
*
f * g dx f , g* . (4. 20b)
Perkalian skalar suatu fungsi dengan dirinya sendiri, (f, f), disebut
norm, atau kuadrat modulus fungsi itu, dan biasanya dilambangi |f|.
Norm suatu fungsi selalu berupa bilangan real positif. Jika |f| = 1, dikata-
kan bahwa f(x) telah ternormalkan.
Jika (f, g) = 0, dikatakan fungsi f(x) dan g(x) ortogonal (tegak lurus).
Secara khusus, jika kedua fungsi f(x) dan g(x) keduanya telah ternormalkan
dan (f, g) = 0, maka f(x) dan g(x) dikatakan ortonormal.
Berdasarkan definisi pada Persamaan (4.19) tadi dapat dibuktikan
beberapa hubungan penting berikut:
4.4.3 Operator
Operator pada dasarnya merupakan perangkat matematika yang digu-
nakan untuk memanipulasi bilangan dan atau fungsi. Jadi penjumlah (+),
pengurang (), dan penderivatif (d/dx) merupakan beberapa contoh ope-
rator.
Operasi operator terhadap suatu fungsi pada umumnya akan mengha-
silkan fungsi baru. Operator yang tidak mengubah suatu fungsi disebut
operator identitas, dilambangi Iˆ . Jadi, terhadap sebarang fungsi f, opera-
tor identitas bersifat
Iˆ f f . (4. 24)
Operator yang berfungsi membuat sebarang fungsi menjadi fungsi nol
disebut operator nol, dilambangi Ô . Jadi, terhadap sebarang fungsi f, ope-
rator nol bersifat
Ô f 0 . (4. 25)
Perkalian skalar antara fungsi dan  (dalam urutan yang de-
mikian) menghasilkan bilangan kompleks
*Â dx
 * dx (4. 27)
Analisis
* *
p̂ x i p̂ i
x
x x
d
*
 dx *
(i ) dx i *
, (i)
x
Perkalian operator
Perkalian antara dua sebarang operator akan menghasilkan operator
baru. Pada umumnya perkalian operator bersifat tidak komutatif.
4.4.6 Komutator
dan momentum. Pada bab itu kita juga menyadari bahwa proses penghi-
tungan secara analitik tidak selalu mudah dilakukan.
Pada bab ini, dengan prosedur lain, kita akan mendeduksi lagi asas ke-
takpastian Heisenberg tersebut. Prosedur yang akan kita lakukan adalah
berdasarkan prinsip pengukuran dalam fisika kuantum, yaitu berdasarkan
Persamaan (4.15) sampai Persamaan (4.18). Penerapan prinsip pengukuran
untuk mendeduksi asas ketakpastian Heisenberg ini juga akan memper-
kokoh keyakinan kita tentang kesahihan prinsip pengukuran tersebut. Beri-
kut akan kita gunakan prosedur itu untuk menghitung xp untuk bebe- rapa
keadaan.
A * e- ip
0x / ip x /0
-x * x dx
- dx
x Ae
0,
A*e
- ip0x / Ae ip0x / dx
-
- * dx
dan
2 - ip0x / 2 ip0 x /
- * x dx -A * e x Ae dx
x2 - ip0x / .
ip0 x /
* dx Ae dx
- -A*e
dengan a menyatakan lebar sumur dan n bilangan asli {1, 2, 3, …}. Penja-
baran fungsi gelombang tersebut diuraikan tersendiri di Bab 6.
Karena fungsi gelombang tersebut sudah ternormalkan maka kita
dapat menggunakan Persamaan (4.17) untuk menghitung nilai harap. Jadi
x ψ* x ψ dx
-
0 a
- ψ* x ψ dx 0
ψ* x ψ dx a
ψ* x ψ dx
0
a
0 2 /a sin (nx /a)x 2 /a sin (nx/a)dx 0
2
2a 2 a a
x sin 2 (nx/a) dx ,
0
a a 4 2
2 1 1
dan x2 * x 2 dx 2
sin 2 (nx /a) dx a 2
- a - x 3
,
2 n2 2
sehingga diperoleh
2 2 1 1
x x x a . (4. 34)
12 2 n2 2
a a 0
- dx
- dx 2 a2 a 0 a2
Dengan demikian kita peroleh nilai ketakpastian momentum sebesar
2 nπ
p p2 p . (4. 35)
a
1 1 n 2 12
x p n . (4. 36)
12 2n 2 2 12 2
Penghitungan nilai p
Berdasarkan Persamaan (4.15) diperoleh
d
* i x 2 2
d A * Axe x
dx
d x
i
p
2 x2
0.
A * Ae dx
* dx
dan
2
2 d x
* d 2 2 x
d 2
A * A( 2 2 )(1 2
x 2 )e dx
2 x
p 2 x2
* dx A * Ae dx
2 2 2 x2
(1 x ) e dx ( 3 /2 ) ( 1 / 2 )
2 22
2 2 2 2
1 : .
2 x2
2 3 /2 2 1 /2 2
e dx
2 2 2
Merujuk pada asas ketakpastian Heisenberg, nilai tersebut merupakan
nilai minimum bagi perkalian xp. Perhatikan bahwa fungsi gelombang
yang menghasilkan nilai terkecil xp ini termasuk kelompok fungsi
Gaussan.
Keseluruhan contoh perhitungan di atas hasilnya sama dengan yang
kita lakukan dengan menggunakan prinsip penafsiran Born sebagaimana
- * x dx - * dx . (4. 39)
2 2 2 2 2
d
x p
dx 2
2 2
samaan (4.38) tidak lain adalah f dan integral keduanya adalah g .
2 2 1 2
Selanjutnya, berdasarkan ketaksamaan Schwarz f g 2
( f , g) ( g , f )
maka Persamaan (4.38) dapat diganti dengan pernyataan
2 2
22 d d *
- ( * x) dx - x dx
x p
4 dx dx
2
2 2
d d *
- * x) x dx .
4 dx dx 4
RANGKUMAN
y
Ŷ i
py
Ẑ z i
pz
Pˆx px
Momentum i
x
linear
Pˆz i pz
z
* Â dx ~ * Â~ dp
 - - .
- * dx -~ *~ dp
dengan
* Â dx
2 ~ * Â
2 ~
dp
ˆ2
A
- - .
~ ~ * dp
- * dx
-
PERLATIHAN
Pertanyaan Konsep
1. Dalam fisika klasik, bagaimanakah kedaan sistem dideskripsikan?
2. Mengapa dalam fisika kuantum keadaan sistem disajikan dalam ben-
tuk fungsi gelombang? Tidak dapatkah dideskripsikan dengan menye-
butkan semua nilai besaran fisik yang dimiliki?
3. Berdasarkan peranannya sebagai penyaji keadaan sistem, berikanlah
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh fungsi gelombang! (Petunjuk:
ingatlah bahwa dari fungsi gelombang itu kita dapat mendefinisikan
fungsi rapat peluang, baik untuk posisi maupun untuk momentum li-
near partikel!)
4. Haruskah fungsi gelombang secara lengkap memuat semua informasi
tentang sistem? Apakah informasi itu tampak secara eksplisit dalam
ungkapan matematis fungsi gelombang?
5. Perlukah besaran massa dan waktu dirumuskan operatornya?
6. Dalam perkuliahan fisika dasar kita mengenal 7 besaran pokok, yaitu
massa, waktu, panjang, temperatur, intensitas cahaya, kuat arus listrik,
dan jumlah zat. Mengapa yang diangkat sebagai besaran pokok (fun-
damental) dalam dinamika kuantum adalah posisi dan momentum li-
near? Bukankah momentum linear merupakan besaran turunan?
7. Apakah pandangan dalam fisika kuantum yang menyatakan bahwa
pengukuran pada umumnya mengubah keadaan sistem merupakan pernya-
taan yang mengubah pandangan klasik?
8. Pernyataan: “Mengukur merupakan proses mengerjakan operator terhadap
fungsi gelombang”, dapat dikatakan sebagai mematematiskan proses pe-
ngukuran. Apakah mematematiskan proses pengukuran juga ada di
fisika klasik, walaupun mungkin dalam bentuk yang berbeda?
9. Menurut fisika kuantum, hasil pengukuran bersifat statistik atau pro-
babilistik. Menurut Anda, apakah cara pandang seperti itu dapat
menghasilkan teori yang dapat diuji kebenarannya di laboratorium?
10. Operator yang mewakili besaran fisika harus bersifat Hermitean ka-
rena nilai harap operator Hermitean selalu real. Apakah nilai besaran
fisika itu memang harus real?
Pertanyaan Analisis
i kx i kx i kx
1. Tiga fungsi gelombang berikut 1e , 2 ee , dan 3 ke
integrasi secara parsial dan ingat bahwa bernilai nol di x serta
- ).
* dx 1
ˆ P̂ 2
5. Buktikan bahwa: a) X̂ i , b) X̂ x, dan c) Ek Hermitean!
px 2m
6. (a). Tunjukkan bahwa: (i) X̂P̂x dan P̂x X̂ keduanya tidak Hermitean, te-
persamaan nilai eigen. Dalam hal ini, disebut fungsi eigen bagi Â
dengan nilai eigen sebesar a. Berdasarkan peristilahan pada persamaan
nilai eigen tersebut, tunjukkan bahwa jika  dan B̂ saling berkomuta-
si dan merupakan fungsi eigen bagi B̂ dengan nilai eigen b maka
 juga fungsi eigen bagi B̂ dengan nilai eigen b juga.
13. Jika operator  dan B̂ memenuhi hubungan ÂB̂ B̂ dengan me-
B N
F Operator
Fungsi eigen 113 besaran lain, kaedah
Fungsi gelombang pengkuantuman 89
norm 98 energi kinetik 89
perkalian skalar 98 Hermitean 85, 108, 112
Fungsi gelombang, analogi Hermitean
dengan trayektori klasik 84 definisi 100
nilai harap 101
G identitas 99
momentum linear
Gaussan, fungsi 106, 111 dalam ruang momentum 87
Gelombang de Broglie 83 dalam ruang posisi 88
H momentum sudut 90
nol 99
Heisenberg, W operator-operator kompatibel
asas ketakpastian 84, 102, 103, 102
105, 106, 108, 111 penjumlahan 101
posisi
K dalam ruang momentum 86
kaedah pengkuantuman 89, 109 dalam ruang posisi 86
Komutator Ortogonal 98, 99
antarkomponen momentum Ortonormal 98
sudut 113 osilator harmonis 105, 112
P R
Pendeskripsian keadaan 84 Ruang momentum 84, 86, 87, 88,
Pengukuran 89, 90, 95, 102, 108, 109, 110,
dampak 92 112, 113
deskripsi kuantum 91 Ruang posisi 84, 86, 88, 89, 90,
hasil, probabilistik 95 93, 94, 95, 102, 103, 108, 109,
pengukuran serempak 91 110, 112, 113
proses 91
Persamaan Schrödinger 85 S
Postulat Fisika Kuantum Schrödinger
Pendeskripsian besaran 85 persamaan 85
Pendeskripsian keadaan 84 Schwarz
ketaksamaan 99, 107
SI 100
PERSAMAAN SCHRÖDINGER
Dalam bab 4 kita sudah membahas tiga postulat penting dalam fisika ku-
antum, yaitu postulat tentang pendeskripsian keadaan sistem, postulat ten-
tang pendeskripsian besaran fisika, dan postulat tentang pengukuran be-
serta aspek-aspeknya. Ada satu lagi postulat penting dalam fisika kuantum
yang harus kita pahami, yaitu postulat tentang perubahan keadaan sistem
terhadap waktu.
Selain digunakan untuk mengetahui bagaimana keadaan sistem ber-
ubah terhadap waktu, postulat tersebut juga digunakan untuk mendapat-
kan fungsi gelombang. Sebagaimana disinggung di Bab 4, fungsi gelom-
bang tidak dapat dibangun hanya dengan menggunakan hipotesis de Brog-
lie semata. Untuk mendapatkan fungsi gelombang, Edwin Schrödinger, pa-
da tahun 1926, telah berhasil merumuskan caranya. Sebagai penghormatan
atas karya besarnya itu, formula yang dirumuskan Schrödinger tersebut di-
namai Persamaan Schrödinger.
Dalam bab ini kita akan membahas persamaan Schrödinger tersebut
dan menerapkannya pada kasus-kasus sederhana. Melalui contoh-contoh
penerapan pada kasus yang sederhana itu diharapkan Anda dapat memba-
ngun intuisi Anda tentang perilaku sistem mikroskopis sebagaimana Anda
dapat membangun intuisi Anda tentang perilaku sistem makroskopis
melalui penerapan mekanika Newton dalam berbagai kasus. Untuk me-
nunjukkan terpenuhinya asas kesepadanan teori Schrödinger dan mekani-
ka Newton, pada bab ini juga akan kita bahas bagaimana teori Schrödinger
dihubungkan dengan mekanika Newton tersebut.
Berikut kita bahas bagaimana bentuk persamaan itu dan bagaimana men-
dapatkannya.
Bentuk paling umum suatu persamaan yang penyelesaiannya berupa
suatu fungsi adalah persamaan diferensial. Karena fungsi yang akan diha-
silkan dari persamaan Schrödinger adalah fungsi gelombang (x,t), yang
merupakan fungsi dua variabel, yaitu x dan t, persamaan Schrödinger ha-
rus merupakan persamaan diferensial parsial. Ini merupakan petunjuk u-
mum yang kita miliki untuk mendapatkan persamaan Schrödinger.
Petunjuk yang lebih khusus dapat kita peroleh dari postulat-postulat
fisika kuantum sebagaimana telah kita bahas di Bab 4. Berdasarkan postu-
lat tentang pendeskripsian keadaan sistem, yaitu keadaan sistem dides-
kripsikan sebagai fungsi gelombang (x,t), kita dapatkan petunjuk bahwa
fungsi gelombang (x,t) yang dihasilkan oleh persamaan Schrödinger ha- rus
dapat digunakan untuk mengetahui nilai berbagai besaran fisika yang
dimiliki sistem.
Cara mengetahui nilai besaran fisika adalah dengan melakukan pengu-
kuran. Menurut postulat tentang pengukuran, mengukur adalah menger-
jakan operator (yang mewakili besaran fisika yang diukur) pada fungsi ge-
lombang yang mendeskripsikan keadaan sistem saat pengukuran. Marilah
kita gunakan petunjuk itu dengan menerapkan pada kasus khusus, yaitu
pengukuran energi total bagi sistem konservatif.
Pada sistem konservatif berlaku hukum kekekalan energi, yaitu jumlah
energi kinetik ditambah energi potensial bersifat kekal: artinya tidak ber-
gantung pada waktu maupun posisi. Sebagaimana kita ketahui, hukum
kekekalan energi tersebut telah dapat dijelaskan secara baik oleh fisika kla-
sik. Dengan demikian, sebagai teori yang lebih baru, persamaan Schrödi-
nger harus konsisten dengan hukum kekekalan energi tersebut.
Secara matematis hukum kekekalan energi dapat diungkapkan dengan
rumusan:
2
p
V( x) E . (5. 1)
2m
Suku pertama ruas kiri menyatakan energi kinetik, suku kedua menyata-
kan energi potensial, dan ruas kanan menyatakan suatu tetapan yang bia-
sanya kita sebut sebagai energi total.
Untuk mendapatkan rumusan kuantum bagi hukum kekekalan energi
tersebut, kita ubah Persamaan (5.1) menjadi persamaan operator. Berdasar-
kan postulat pendeskripsian besaran fisika, khususnya yang berkaitan de-
P̂ 2
V ( X̂ ) Ê . (5.1b)
2m
Dalam ruang posisi, cara kerja operator P̂ dan V ( X̂ ) sudah kita dapat-
kan di Bab 4, yaitu P̂ i / x danV ( X̂ ) V ( x) . Jika ungkapan ini kita isi- kan
pada Persamaan (5.1b) kemudian masing-masing ruas persamaan ter- sebut
kita kerjakan pada sebarang fungsi gelombang (x,t) kita dapatkan
persamaan
2 2
(x,t)
V( x) ( x, t ) E ( x, t)ˆ . (5. 2)
2m x2
Sejauh ini kita belum mengetahui cara kerja operator Ê terhadap fung-
si (x,t). Oleh sebab itu kita harus menemukan dahulu cara kerja operator Ê
tersebut. Untuk keperluan ini kita gunakan postulat pengukuran, khu-
susnya yang berhubungan dengan dampak pengukuran terhadap keadaan
sistem. Menurut postulat ini, fungsi gelombang tidak berubah akibat peng-
ukuran jika fungsi gelombang tersebut merupakan fungsi eigen bagi be-
saran yang diukur. Marilah kita gunakan postulat itu untuk menemukan
cara kerja operator Ê .
Perhatikan fungsi gelombang ( x, t) e i ( kx t ). Fungsi gelombang ini
memiliki frekuensi sudut sebesar . Berdasarkan kaitan Planck-Einstein
E (lihat Persamaan 2.5 di Bab 2), dapat disimpulkan bahwa fungsi ge-
( x, t )
i i e i ( kx t ) e i ( kx t ) ( x, t ) .
t t
( x,2t ) 2 ( x, t )
V ( x) ( x, t ) i . (5. 4)
2m 2 t
x
Persamaan (5.4) merupakan persamaan diferensial parsial yang jika
diselesaikan akan menghasilkan fungsi gelombang (x,t). Persamaan ini te- lah
memenuhi harapan kita sebagaimana diungkapkan di depan. Namun masih
ada keterbatasan yang dimiliki oleh persamaan itu, yaitu hanya ber- laku
untuk sistem yang energi potensialnya secara eksplisit tidak bergan- tung
pada waktu t. Keterbatasan ini dapat dihilangkan dengan mempostu- latkan
bahwa persamaan tersebut juga berlaku untuk sistem yang energi
potensialnya secara eksplisit bergantung pada waktu. Untuk itu, perubah-
an yang kita lakukan cukup mengubah V(x) menjadi V(x,t). Dengan demi-
kian kita dapatkan persamaan akhir:
( x,2 t ) 2 ( x, t )
V ( x, t) ( x, t ) i . (5. 5)
2m x2 t
Inilah persamaan yang kita cari, yaitu persamaan Schrödinger (dalam satu
dimensi). Dalam 3 dimensi, persamaan Schrödinger tersebut berbentuk
2 (r, t )
2
(r, t ) V (r, t ) (r, t ) i , (5. 6)
2m t
2
dengan merupakan operator Laplacean yang dalam sistem koordinat
2 2 2
Cartesan berbentuk . Sangat disarankan agar Anda menye-
2
x2 y2 z
pakan tetapan. Jadi kedua unsur itu akan selalu muncul pada semua sis-
tem. Unsur-unsur operator matematis (operator derivatif ke posisi, yaitu
2
/ x 2 dan operator derivatif ke waktu, yaitu / t ) juga tidak bergan- tung
pada sistem yang dibicarakan. Unsur m (massa partikel) secara nume- rik
memang berbeda antara partikel yang satu dengan partikel lainnya, tetapi
lambangnya tetap sama, yaitu m. Maka unsur m akan muncul dalam
persamaan Schrödinger dengan cara yang sama, apapun sistem/partikel
yang dibicarakan. Dengan demikian, satu satunya unsur yang membeda-
kan satu sistem dengan sistem lainnya adalah V(x,t), yaitu ungkapan mate-
matis energi potensial sistem. Ini berarti bahwa faktor energi potensiallah
yang membedakan bentuk eksplisit persamaan Schrödinger untuk sistem
fisis yang satu dengan persamaan Schrödinger untuk sistem fisis lainnya.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa dalam membangun persa-
maan Schrödinger suatu sistem, hal pokok yang perlu kita ketahui adalah
variasi energi potensial terhadap posisi dan waktu. Variasi itu selanjutnya
kita nyatakan dalam bentuk fungsi V(x,t) untuk kasus satu dimensi, atau
V(r,t) untuk kasus 3 dimensi.
2m x 2m x
(5. 7)
2 2 2 2
1
V x( t, ) β1 2
V ( x , t ) 2 .
2m x 2 x 2
2m
2m x 2 t t
(1 β2 )
i
t
3
i ,
t
2 nπx i E n t / ; x a/2
sin e
( x, t) a a
; x a/2
0
( x,2t ) 2 ( x, t )
V ( x, t ) i .
0
2m x2 t
n2 π 2 2
V0 ( x, t ).
2ma 2
( x, t ) 2 n x iEnt /
i i - i E / sin e
n
t a a
2 nx
E n sin e iEnt / E ( x, t ).n
a a
Dengan demikian kita dapat hubungan
n 2 π 2 2
V ( x, t ) E ( x, t ) .
2 0 n
2ma
Persamaan terakhir ini menunjukkan bahwa fungsi gelombang ta-
di dijamin sebagai penyelesaian persamaan Schrödinger bagi par-
tikel yang bebas bergerak dalam interval – a/2 ≤ x ≤ a/2 asalkan
tetapan En dalam fungsi gelombang itu memenuhi hubungan
2 2 2
n π
n E V0 .
2ma 2
ukuran di sini harus kita artikan sebagai nilai harap (rerata) pengukuran.
Hal ini disebabkan karena hasil pengukuran bersifat probabilistik sehingga
tidak mungkin bagi kita untuk menyelidiki perilaku hasil ukur secara indi-
vidual.
Dengan menggunakan persamaan Schrödinger, kita akan menemukan
jawaban atas pertanyaan tadi. Selanjutnya, untuk penyederhanaan penulis-
an, kita definisikan
2 2
Ĥ V ( x ,t ) . (5. 8 )
2m x 2
Ĥ i , (5. 9)
t
dengan merupakan penyingkatan dari (x,t).
Nilai harap pengukuran besaran A pada saat keadaan sistem dinyata-
kan oleh fungsi gelombang ternormalkan adalah, lihat Persamaan (4.17) di
Bab 4,
.
Â* Â dx (5. 10)
dt dt
dt t
vatif untuk perkalian dua fungsi atau lebih, integral di ruas kanan Persa-
maan (5.12) dapat diubah menjadi
*
* ˆ A dx * Â
 dx dx
t t t (5. 13)
*
 dx .
t
Berdasarkan persamaan Schrödinger, derivatif fungsi gelombang pada
suku pertama dan suku terakhir ruas kanan persamaan tersebut masing-
masing dapat diganti dengan ungkapan
*
* 1 1 *
Ĥ Ĥ . (5. 14a)
t i i
dan
1
Ĥ , (5.14b)
t i
Subtitusi Persamaan (5.14) ke dalam Persamaan (5.13) menghasilkan
ˆ
* ˆ
A dx
1 *
Ĥ Â dx *
dx
1 *
ÂĤ dx.
i
A
t i t
*
Karena Ĥ Hermitean maka berlaku Ĥ Â dx *
ĤÂ dx (lihat
t i t
Suku pertama ruas kanan Persamaan (5.15) menyatakan nilai harap bagi
komutator [ Â , Ĥ ] ÂĤ ĤÂ dan suku kedua menyatakan nilai harap
dari  / t . Dengan demikian, Persamaan (5.15) tadi dapat diubah lagi
menjadi
* 1 Â
 dx [ Â, Ĥ ] . (5. 16)
t i Ψ t Ψ
Bab 5: Persamaan Schrödinger
126 Perubahan nilai harap terhadap waktu
d 1 Â
A [ Â, Ĥ ] . (5. 17)
dt Ψ i Ψ t
Ψ
Dapatkan cara nilai harap: (a) posisi x, dan (b) momentum linear p
berubah terhadap waktu!
Analisis
Untuk mengetahui bagaimana nilai harap posisi dan momentum
linear berubah terhadap waktu kita gunakan rumusan umum se-
bagaimana dinyatakan pada Persamaan (5.17). Untuk pertanyaan
(a), kita ganti  dengan X̂ dan untuk pertanyaan (b) kita ganti Â
dengan P̂ . Sekarang kita selesaikan persoalan tadi satu per satu.
(a) Perubahan nilai harap posisi terhadap waktu
Berdasarkan Persamaan (5.17), perubahan nilai harap posisi terha-
dap waktu mengikuti hubungan
d 1 X̂
X̂ [ X̂ , Ĥ ] . (5. 18)
dt i t
i P̂
X̂ , Ĥ . (5.19b)
m
d 1 i P̂ ˆ
X̂ P . (5. 20)
dt i m m
d 1 P̂
P̂ [ P̂ , Ĥ ] . (5. 21)
dt i t
x x
V( x) V( x)
i V( x) V( x) i .
x x x x
V( x)
Ini berarti bahwa P̂ , V(X̂ ) i .
x
Dengan demikian, Persamaan (5.22a) menjadi
V ( x)
P̂, Ĥ i . (5.22b)
x
Marilah kita telaah sejenak Persamaan (5. 20) dan (5.23) di atas. Persa-
d X̂ . Jika setiap operator da-
maan (5.20) dapat diubah menjadi P̂ m dt
lam persamaan ini kita ganti dengan besaran fisik yang diwakilinya, kita
dapatkan hubungan p m dt d x . Dalam fisika klasik, momentum linear
dx
didefinisikan sebagai p m dt , yang ternyata sangat mirip dengan yang
kita dapatkan tadi.
Sekarang kita perhatikan Persamaan (5.23). Dalam fisika klasik terda-
pat hubungan F dp / dt (Hukum ke-2 Newton) dan untuk gaya konser va- tif
berlaku hubungan F dV / dx . Jadi dalam fisika klasik, khususnya un-
tuk sistem konservatif, berlaku hubungan
d 1 Ĥ
Ĥ [Ĥ , Ĥ ] . (5. 25)
dt i t
t t t
t 2m
dan
*
r t( , ) - i 2 * i
(r, t ) V (r, t ) * (r, t ) . (5. 29b)
t 2m
Subtitusi Persamaan (5.29) ke dalam Persamaan (5.28) menghasilkan
* *
.
J(r, t ) (5. 32)
i2m
* i (k.r ωt ) *
dan (r, t) i k A e i k (r, t)
sehingga (r, t) * (r, t ) i k(r, t) .
12 d ( x) 2 1 dF (t )
V ( x) i (5. 36)
2m ( x) dx 2 F (t) dt
Ruas kiri persamaan ini merupakan fungsi x saja, sedangkan ruas kanan-
nya merupakan fungsi t saja. Jadi persamaan tersebut menyatakan kesa-
maan antara suatu fungsi yang hanya bergantung pada x dengan fungsi
lain yang hanya bergantung pada t. Kesamaan semacam itu hanya akan
terpenuhi untuk semua x dan t jika masing-masing ruas berupa suatu te-
tapan, yaitu suatu bilangan yang tidak bergantung pada x maupun t.
Arti fisik dari tetapan tersebut dapat dideduksi sebagai berikut. Suku
kedua di ruas kiri adalah energi potensial. Oleh karena itu, suku-suku lain-
nya, baik yang di ruas kiri maupun yang di ruas kanan, juga harus berdi-
mensikan energi. Lebih lanjut, karena ruas kiri persamaan tersebut menya-
takan jumlah energi kinetik ditambah energi potensial, maka tetapan yang
kita gunakan nanti memiliki arti fisik sebagai energi total, atau hamiltonan,
sistem. Selanjutnya tetapan itu kita lambangi E.
Dengan menggunakan tetapan E tersebut Persamaan (5.36) dapat di-
nyatakan sebagai sistem persamaan diferensial biasa sebagai berikut.
2
1 d 2( x)
V ( x) E , (5. 37)
2m (x) dx 2
dan
1 dF (t )
i E. (5. 38)
F (t ) dt
d 2( x) 2
V ( x) ( x) E ( x) . (5. 40)
2m dx 2
d2 2
V ( x) ( x) E ( x) (5. 41)
2m dx 2
Faktor dalam kurung di ruas kiri tidak lain menyatakan operator hamil-
tonan sistem, yaitu operator yang mewakili jumlahan energi kinetik (suku
pertama) dan energi potensial (suku kedua). Jika operator itu kita lambangi
Ĥ maka Persamaan (5.41) dapat ditulis menjadi
Ĥ ( x) E ( x) . (5. 42)
( x, t ) c n n ( x, t ) c n n ( x) e i En t / . (5. 45)
n n
dengan cn merupakan tetapan.
0 ; x 0 atau x a
2 2 2 2 2
2 π πx 2 π a π
i i sin 2 dx
a 2ma 2 a a 2ma 2 2 2ma 2
π2
π2
2 πx i
2
t 2
2 πx i
2
t
Dari nilai harap energi total dan nilai harap kuadrat energi total
tersebut didapatkan nilai ketakpastian energi total sebagai berikut.
2
ΔE Ê 2 Ê 0.
π22
Jadi nilai harap energi total pada keadaan itu adalah 2
de-
2ma
( x, t ) *
( x, t ) ( x, t ) { c n n
( x) e i En t /
c m m ( x) e
i Em t /
} kk
2
cn * cm n ( x) e m
2
c n n cm m i (E En )t /
(5.47)
c n c *m n ( x) e
i ( Em En )t /
yang ternyata mirip dengan frekuensi foton yang dipancarkan atau yang
diserap atom ketika ada transisi elektron dari keadaan bertingkat energi Em
ke keadaan bertingkat energi En.
Perhatikan lagi fungsi gelombang hasil kombinasi (Persamaan 5.46)
tersebut. Dalam fungsi gelombang itu terdapat dua macam nilai energi yai-
tu En dan Em. Berarti fungsi gelombang tersebut mendeskripsikan keadaan
partikel yang energinya tidak pasti, apakah En ataukah Em.
Analisis tadi menunjukkan bahwa kombinasi linear dua fungsi gelom-
bang stasioner tidak menghasilkan fungsi gelombang yang stasioner.
f(x) f(x)
X X
Gambar 5.1a Beberapa contoh fungsi yang tidak memenuhi syarat sebagai
fungsi eigen
f(x) f(x)
x2 X X
x1
Gambar 5.1b Beberapa contoh fungsi yang tidak memenuhi syarat sebagai
fungsi eigen
0 ;0 x a
V ( x)
; x a atau x 0
d 2( x) 2
0 E ψ ( x) ,
2m dx 2
atau
2
d ( x) 2 2mE
k 2 ( x) 0 ; dengan k . (i)
2 2
dx
Penyelesian umum persamaan tersebut adalah
(x) A sin (kx ) (ii)
Untuk lebih memahami analisis pada Contoh Soal 5.8 tadi, perhatikan
Gambar 5.2 berikut. Pada gambar tersebut ditunjukkan empat macam nilai
π2 2
E yang berkisar dari E = E0 sampai E = 4 E0 dengan E 0 . Terlihat bah-
2ma 2
(x)
E = E0
E = 1,2 E0
0 a
E = 4E0
E = 1,5 E0
Gambar 5.2 Grafik fungsi (x) yang dihasilkan oleh persamaan Schrödinger bagi
partikel terikat pada potensial sumur tak berhingga untuk 4
macam nilai parameter E. Terlihat bahwa hanya E yang merupa-
kan kelipatan bulat dari E0 yang menghasilkan fungsi yang konti-
nu di mana-mana.
RANGKUMAM
d 1 Â
A [ Â, Ĥ ]
dt i t
Hukum ke-2 dp x dV ( x) d px dV ( x)
Newton
dt dx dt dx
dp dp
V (r)
dt V (r)
dt
d (2x) 2
V ( x) ( x) E ( x) .
2m dx 2
11. Fungsi eigen (x) harus memenuhi syarat: (1) (x) dan derivatifnya
terhadap x harus kontinu di mana-mana (di semua x), (2) (x) dan
derivatifnya terhadap x harus berhingga di mana-mana (di semua x),
(3) (x) dan derivatifnya terhadap x harus bernilai tunggal di mana-
mana (di semua x), dan (4) (x) dan derivatifnya harus dapat dinor-
malkan (jadi harus tergolong fungsi SI).
12. Dengan adanya persyaratan yang harus dipenuhi fungsi eigen tersebut
maka nilai E (dalam hal ini menyatakan energi total sistem) tidak boleh
bernilai sebarang.
13. Fungsi gelombang ( x, t) ( x) e iEt / menghasilkan rapat peluang
posisi yang tidak bergantung pada waktu. Oleh karena itu, fungsi ge-
lombang itu dikatakan sebagai fungsi gelombang stasioner. Keadaan
sistem yang dideskripsikan disebut keadaan stasioner.
14. Pengukuran energi pada fungsi gelombang stasioner menghasilkan ke-
tidakpastian sebesar nol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
keadaan stasioner merupakan keadaan dengan energi pasti.
15. Hasil kombinasi linear beberapa fungsi gelombang stasioner dengan
energi berbeda bukan merupakan fungsi gelombang stasioner.
PERLATIHAN
Pertanyaan konsep
1. Bandingkan struktur persamaan Schrödinger dengan persamaan-per-
samaan gelombang yang Anda kenal dalam fisika klasik. Adakah per-
bedaan atau kesamaannya? Daftar dan deskripsikan perbedaan dan
kesamaan yang Anda temukan itu.
2. Dalam fisika klasik seringkali kita menggunakan fungsi kompleks un-
tuk menyelesaikan persamaan fisika yang berupa persamaan diferen-
sial, misalnya pada persoalan osilator, arus bolak-balik, atau gelom-
bang elektromagnet. Tetapi ketika memaknai fungsi tersebut kita tidak
menggunakannya secara utuh melainkan hanya mengambil bagian
real atau bagian imajinernya saja. Mengapa demikian? Menurut Anda,
apakah cara tersebut juga harus kita gunakan dalam memaknai fungsi
gelombang hasil penyelesaian persamaan Schrödinger?
3. Dapatkah persamaan Schrödinger digunakan untuk partikel immaterial
(partikel tak bermassa) seperti foton misalnya?
4. Dapatkah persamaan Schrödinger digunakan untuk sistem non kon-
servatif? (Petunjuk: Pecahkan dulu pertanyaan “dapatkah Anda men-
definisikan/merumuskan energi potensial bagi sistem non konserva-
tif?”).
5. Apakah persamaan Schrödinger mengakomodasi prinsip superposisi
gelombang seperti halnya persamaan gelombang lainnya?
6. Dalam mekanika Newton, keadaan gerak partikel dapat diketahui dari
trayektorinya (biasanya diwujudkan dalam bentuk fungsi yang me-
nyatakan bagaimana posisi partikel berubah terhadap waktu), dan
trayektori itu didapatkan dengan menyelesaikan hukum ke-2 Newton:
d2 x
F m 2 .
dt
Jadi, untuk mendapatkan trayektori kita harus mengetahui terlebih da-
hulu gaya yang bekerja pada partikel itu. Apakah untuk mengetahui
fungsi gelombang yang diasosiasikan dengan suatu partikel kita juga
harus mengetahui gaya yang bekerja pada partikel itu?
7. Informasi apakah yang nilainya tetap (tidak bergantung pada waktu)
yang terkandung dalam fungsi gelombang stasioner?
8. Kapan Anda diperbolehkan menggunakan persamaan Schrödinger be-
bas waktu?
Pertanyaan Analisis
1. Tuliskan persamaan Schrödinger dalam sistem koordinat (a) bola, (b)
silinder!
x 2 - iEt /
2. Diketahui fungsi gelombang ( x, t ) A x e e dengan A suatu
E L
Ehrenfest, teorema 129 Laplacean 118
Lenard-Jones 147
F
Fisika kuantum N
kesepadanan dengan fisika klasik Newton 115, 128, 129, 143, 144, 146,
129 147
kesepadanan dgn mekanika nilai eigen 135
Newton 147 Nilai harap
fungsi eigen 135 perubahan terhadap waktu 123,
Fungsi eigen 126
persyaratan 139
Fungsi eigen, persyaratan santun 139 O
Fungsi kompleks 120
Operator energi total 117
Operator Hermitean 148
G
Operator Laplacean 118
Gelombang stasioner
kombinasi linear 138 P
Pengkuantuman energi 135, 140
H
berdasarkan Pers. Schrödinger 140
Hamiltonan 126, 127, 129, 134, 144, persamaan nilai eigen
KEADAAN STASIONER
PARTIKEL DALAM POTENSIAL KOTAK
SATU DIMENSI
Pada Bab 5 telah kita bicarakan persamaan Schrödinger bebas waktu. Kita
telah mendapati bahwa persamaan tersebut sangat berguna untuk menda-
patkan penyelesaian persamaan Schrödinger, khususnya dalam kasus di
mana potensial sistem secara eksplisit tidak bergantung waktu. Dalam bab
itu juga telah kita definisikan apa yang dimaksud dengan keadaan stasio-
ner.
Pada bab ini kita akan berlatih menyelesaikan persamaan Shrödinger
bebas waktu dan menelaah arti fisik dari penyelesaian yang didapatkan
tersebut. Persamaan Schrödinger bebas waktu pada umumnya sulit disele-
saikan secara analitik. Namun untuk potensial yang nilainya konstan, pe-
nyelesaian analitik itu tidak sulit dilakukan. Oleh sebab itu, pada bab ini
kita akan membatasi diri pada potensial semacam itu. Dengan cara ini di-
harapkan Anda mulai akrab dengan teknik penyelesaian persamaan Schrö-
dinger. Setelah Anda akrab dengan persoalan tersebut, pada bab berikut-
nya Anda akan diajak berlatih menyelesaikan persaman Schrödinger yang
potensialnya bukan merupakan konstanta.
lebih lanjut sehingga kita hanya akan membicarakan kasus kedua saja,
yaitu partikel dalam keadaan bergerak lurus beraturan.
Tidak ada partikel yang dalam keadaan bebas di seluruh ruang. Yang
ada adalah ia bebas dalam ruang yang terbatas. Ini berarti bahwa potensial
konstan hanya ada dalam interval ruang tertentu. Potensial yang dalam
interval tertentu berupa suatu konstanta dan dalam interval lainnya berupa
konstanta lain disebut potensial kotak. Jika hanya ada satu kali perubahan
(misal di x < 0 bernilai V0 dan di x > 0 bernilai V1 ) disebut potensial undak.
Jika ada dua kali perubahan disebut potensial tanggul atau potensial sumur,
bergantung apakah plotnya berupa tanggul atau berupa sumur.
Potensial kotak seperti disebutkan tadi sebenarnya tidak ada di alam.
Namun potensial semacam itu merupakan penghampiran yang sangat baik
bagi potensial yang berubah secara mendadak dari suatu konstanta ke kon-
stanta yang lain. Gambar 6.1 berikut memperjelas pernyataan ini. Peng-
hampiran potensial nyata (Gambar 6.1a) menjadi potensial undak (Gambar
6.1b) tidak berdampak besar jika interval jarak di mana potensial berubah
secara mendadak itu sangat kecil.
V(x) V(x)
V1 V1
V0 V0
0 X 0 X
Gambar 6.1a Energi potensial sistem Gambar 6.1b Plot potensial undak
berubah secara mendadak di yang merupakan hampir-
sekitar x = 0 dari V0 ke V1 an potensial pada Gambar
6.1a
2m
dengan k 2 2 ( E V ) merupakan suatu konstanta positif.
atau
d 2( x) 2
( x) 0 (6.1b)
dx 2
2 2m
dengan 2
(V E) merupakan suatu konstanta positif.
Nilai V dalam k atau di atas harus diisikan sesuai dengan nilai potensial pada
daerah yang diperhatikan. Sebagai misal, menurut Gambar 6.1b, un- tuk x
> 0 maka V = V1, dan untuk x < 0 maka V = V0 .
Persamaan (6.1a) cocok untuk kasus di mana E>V, sedangkan Persa-
maan (6.1b) cocok untuk kasus di mana E<V. Kedua persamaan diferensial
tersebut sangat mudah diselesaikan. Penyelesaian umum Persamaan (6.1a)
adalah
( x) A e ik x B e - ik x (6. 2a)
atau
( x) C sin k x D cos k x (6. 2b)
(x) E e x F e x
(6.3a)
atau
( x) G sinh x H cosh x (6. 3b)
dan
2
d ( x) 2m
(E V ) ( x) 0 ; di x 0 . (6.4b)
2 2 1
dx
3. Tentukan parameter E. Karena E menyatakan energi total maka nilai E
minimal sama dengan nilai terendah energi potensial sistem. Sebab, ji-
ka E kurang dari nilai itu maka energi kinetik partikel akan negatif di
mana-mana. Negatifnya energi kinetik ini menyebabkan momentum
linear partikel berupa bilangan imajiner. Suatu hal yang melanggar de-
finisi suatu besaran. Hal penting lain yang harus diperhatikan dalam
menentukan parameter E adalah bahwa nilai yang kita isikan nanti ha-
rus mencakup semua nilai yang mungkin dimiliki partikel, yaitu E ≥
Vmin .
Jika perkiraan nilai E telah kita tetapkan, isikan nilai itu pada per-
samaan Schrödinger bebas waktu di setiap interval yang sudah kita
tetapkan sesuai langkah nomor 2. Maka ada dua kemungkinan yang
terjadi, yaitu E < V, atau E > V.
Pada daerah di mana E > V, persamaan Schrödinger bebas waktu-
nya memiliki bentuk yang sama dengan Persamaan (6.1a) dengan pe-
nyelesaian umum seperti dinyatakan pada Persamaan (6.2). Pada dae-
rah di mana E < V, persamaan Schrödinger bebas waktunya memiliki
bentuk yang sama dengan Persamaan (6.1b) dengan penyelesaian
umum seperti dinyatakan pada Persamaan (6.3).
4. Hilangkan komponen fungsi gelombang yang dapat bernilai tak ber-
hingga dengan cara memberi nol pada koefisien (tetapan) yang terkait.
5. Gunakan syarat kontinuitas (x) dan d(x)/dx di setiap titik di mana energi
potensial diskontinu. Maka kita akan mendapatkan (x) yang berlaku di
semua x.
Sekarang marilah kita gunakan prosedur tersebut untuk menelaah pe-
rilaku partikel yang plot energi potensialnnya berbentuk kotak. Kita mulai
dengan potensial yang paling sederhana, yaitu potensial undak, kemudian
secara bertahap kita lanjutkan untuk potensial yang lebih rumit.
Dalam hal ini partikel tidak mungkin memiliki energi total E < 0, sebab jika
E < 0 energi kinetiknya negatif di mana-mana. Jadi hanya ada dua macam
nilai E yang mungkin dimiliki partikel, yaitu E > V0 dan 0 < E < V0. Marilah
kita telaah satu per satu dua kemungkinan keadaan ini.
a. Energi Total Kurang dari V0
Gambar 6.2 menyajikan plot fungsi energi potensial dan energi total E
terhadap posisi x untuk 0 < E < V0. Persamaan Schrödinger bebas waktu di
daerah I memiliki bentuk seperti Persamaan (6.1a), sedangkan di daerah II
seperti Persamaan (6.1b).
V(x)
V0
E
I II
0 X
Gambar 6.2 Plot potensial undak V(x) dan energi total E terhadap x
A2 k i B2 2k
, dan . (6. 8)
A1 k i A1 k i
ikx k i ikx
A1 e e , x 0
k i
( x) (6. 9)
2k x
A e , x 0
k i
1
(x)
V0
0 X
Gambar 6.3 Plot komponen real fungsi eigen ( x) bagi partikel berenergi E
< V0 yang bergerak di bawah pengaruh potensial undak
yang tingginya V0.
ikx
yang merambat ke kanan ( e ) dan gelombang bidang yang merambat ke
i kx
kiri ( e ). Jika diandaikan partikel datang dari kiri (dari x<0) maka fungsi
ikx
e menyajikan keadaan gerak partikel saat menuju undakan potensial (di
kecil peluangnya. Untuk x > 1/, peluang tersebut menjadi sangat kecil
(kurang dari 1 / e dari nilai maksimumnya). Selanjutnya, nilai x=1/ dise-
x . (6. 10)
2m(V0 E)
Menurut persamaan itu, semakin besar energi partikel semakin besar jarak
penembusannya. Suatu prediksi yang sangat logis.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah partikel dapat berada di daerah
terlarang itu untuk selamanya? Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan
menghitung terlebih dahulu peluang partikel dipantulkan oleh undakan
potensial. Argumentasinya adalah sebagai berikut. Jika peluang partikel di-
pantulkan adalah 1 (berarti partikel pasti dipantulkan) maka jawaban per-
tanyaan tadi adalah “tidak”. Dalam hal ini berarti kehadiran partikel di da-
erah terlarang tersebut hanya sementara, sebab akhirnya ia harus kembali
lagi ke x < 0. Sebaliknya, jika peluang partikel dipantulkan kurang dari 1
berarti partikel dapat berada di daerah terlarang untuk selamanya.
Besarnya peluang partikel dipantulkan dinyatakan oleh suatu besaran
yang dinamai koefisien refleksi (koefisien pantul), dilambangi R. Koefisien
refleksi didefinisikan sebagai perbandingan rapat arus peluang partikel ter-
pantul terhadap rapat arus peluang partikel datang. (Tentang rapat arus
peluang, lihat bagian 5.4, khususnya Persamaan 5.32 dan Contoh Soal 5.6).
Rapat arus peluang partikel datang kita hitung dengan menggunakan
ikx 2
fungsi gelombang A1 e , hasilnya adalah ( k / m ) A1 . Rapat arus pelu-
V(x)
E
V0
I II
0 X
Gambar 6.4 Plot potensial undak V(x) dan energi total E untuk E>V0
2mE
( x) A e i k x A e ik x , k , (6.12)
I 1 2 2
diperoleh hubungan
A2 k B1 2k
, dan (6.15)
A1 k A1 k
(x)
E
V0
0 X
Gambar 6.5 Plot komponen real Fungsi eigen (x) bagi partikel ber-
energi E > V0 yang bergerak di bawah pengaruh poten-
sial undak yang tingginya V0.
yang ternyata sama dengan yang telah kita duga. Pada perhitungan tadi ki-
ta telah menggunakan Persamaan (6.15) untuk nilai B1/A1.
Persamaan (6.17) menunjukkan bahwa ada peluang bagi partikel un-
tuk dipantulkan kembali ke daerah I. Adanya peluang partikel dipantulkan
ini tentu bertentangan dengan fisika klasik. Sebab, menurut fisika klasik
partikel pasti diteruskan karena gaya pembalik yang dirasakan partikel ter-
lalu kecil dibandingkan energi totalnya.
Pertentangan itu dapat dipertemukan pada kasus E >> V0. Untuk me-
nunjukkan hal ini kita ubah Persamaan (6.17) ke dalam bentuk yang secara
eksplisit memuat E. Dengan menggunakan definisi k dan sebagaimana
dinyatakan pada Persamaan (6.12) dan (6.13), maka Persamaan (6.17) men-
jadi
2
1 1 V0 / E
R . (6. 19)
1 1 V0 / E
0 a X
Gambar 6.6 Plot potensial V(x) yang berbentuk tanggul kotak, lebar tanggul
a dan tinggi tanggul V0
( x) A1 e i k1x A2 e i k1x ; x 0
I
( x) B1 e
i k2 x
B2 e
i k2 x
; 0 x ax (6. 20)
II
( x) C1 e
i k1x
C2 e
i k1x
; a
III
dengan
2mE 2m (E V0 )
k1 dan k2 . (6. 21)
2 2
Jika diandaikan partikel bergerak ke kanan dari x < 0 maka, dengan ar-
gumen seperti yang kita gunakan pada kasus potensial undak, kita harus
mengisikan C2 = 0. Selanjutnya, dengan menerapkan syarat kontinuitas
( x) dan d ( x) /dx di x = 0 diperoleh
A1 + A2 = B1 + B2 (6. 22a)
k1(A1 A2) = k2 (B1 B2) (6.22b)
dan di x = a diperoleh
i k2 a i k2 a ik 1a
B1 e B2 e C1 e , (6. 23a)
k 2 B1 e i k2 a B 2 e i k 2 a k1 C1 e i k 1 a . (6.23b)
k1 2 k 22 i k1a
A C cos k a i sin k 2a e , (6. 24a)
1 1 2
2 k1 k 2
2
2
2
k2 k1
sin k a e
ik1a
A C i , (6.24b)
2 1 2k k
1 2
k 2 k1 i k 1 k2 a
B 1 C1 e , (6.24c)
2 k2
k k
ik a ik k a
B 2 C1 1 2 1
e 1
e 1 2
. (6.24d)
2 k2
Persamaan (6.24) memberikan batasan untuk nilai A sampai C, semua
tetapan dinyatakan dalam C 1. Dengan menggunakan Persamaan (6.24) ter-
sebut penyelesaian umum (Persamaan 6.20) berubah menjadi penyelesaian
khusus sebagai berikut.
A1 A2
C1 e i k 1x e i k1 x ; x 0
C1 C1
B1 B2
( x) C e i k2 x e i k2 x ; 0 x a (6. 25)
1
C 1 C 1
i k1 x
C1 e ; x a
(x)
E
V0
a X
Gambar 6.7 Plot komponen real fungsi eigen bagi partikel di bawah peng-
aruh potensial tanggul kotak, tinggi tanggul V0, lebar tanggul a,
energi total partikel E > V0
Pengantar Fisika Kuantum
Potensial Tanggul 163
A2 k1 k 2 sin 2 k 2 a
2 2 2 2 , (6. 26)
R
2 2 2
A1 4 k1 2 k 2 2 k12 k 2 sin 2 k 2 a
n sebarang bilangan bulat positif. Dikatakan bahwa pada kondisi ini terjadi
resonansi dalam arti bahwa partikel yang datang mengenai tanggul dengan
mudah (pasti) diteruskan. Nilai minimum koefisien transmisi sebesar
4 E(E V0 )
2
,
4 E(E V0 ) V 0
yang menunjukkan bahwa selalu ada peluang bagi partikel untuk dite-
ruskan.
Ketika tidak terjadi resonansi transmisi, gelombang yang merambat ke
kanan (yang diteruskan dari x = 0) dan gelombang yang merambat ke kiri
(yang dipantulkan di titik x = a) saling melemahkan. Akibatnya amplitudo
gelombang yang sampai di daerah III menjadi berkurang. Perhatikan
Gambar 6.7 di depan.
Gambar 6.8 berikut melukiskan bagaimana koefisien transmisi T beru-
bah terhadap lebar tanggul a tersebut.
T
1
4E(EV0)
.
4E(EV )0 V 2 0
a/k2
0 /2 3 /2 2 5/2
II
( x) B1 e
x
B2 ex ; 0 x ax (6. 29)
i k1x
( x) C e ; a
III 1
dengan
2mE 2m(V0 E)
k1 2
dan 2
. (6. 30)
A1 + A2 = B1 + B2 (6. 31a)
i k1(A1 A2) = (B1 B2) (6.31b)
a
B1 e a B2 e i k1 C1 e i k 1 a . (6.32b)
k1
sinh a e
ik1a
A C i , (6.33b)
2 1
2 k1
i k1
B1 C
1 e i k1 a e a
, (6.33c)
2
i k1
B 2 C1 e a
1 e i k1 a
. (6.33d)
2
A1 i k1x A2 e i k1x
C1 e ; x 0
C C
1 1
1 x B2 x B
( x) C1 e e ; 0 x a (6. 34)
C1 C1
i k1 x
C 1e x a
(x)
V0
X
0 a
Gambar 6.9 Plot komponen real fungsi igen bagi partikel di bawah pe-
ngaruh potensial tanggul kotak, energi total partikel kurang
dari tinggi tanggul (E<V0)
2 2
A1 4 k1 2 2 k 2 2 sinh 2 k 2 a
1
dan koefisien transmisi sebesar
2 22
T
C1 4 k1
. (6. 36)
2 2
A1 4 k1 2 2 k 2 12 sinh 2 a
tikan kasus di mana nilai sangat besar. Dalam kasus ini, nilai sinha akan
bernilai sangat besar sehingga sumbangan suku pertama pada penyebut
persamaan tersebut dapat diabaikan. Selain itu, pada limit ini nilai fungsi
a a a 2 2 2
sinh a 1 e e menjadi 1
e dan k . Dengan demikian
2 2 1
pada kasus ini koefisien transmisinya sebesar
2m
2 2a (V E )
16 k1 16 E (V0 E ) 2 0
T e2a e . (6. 37)
2 2
V0
Ruas terakhir pada persamaan tersebut diperoleh dengan mengisikan
nilai k dan sebagaimana didefinisikan pada Persamaan (6.30). Persama- an
(6.37) menunjukkan bahwa nilai koefisien transmisi berkurang secara
eksponensial terhadap bertambahnya lebar tanggul.
Dalam banyak kasus, nilai memang besar. Ingat bahwa E dan V0 da-
lam orde eV ( 10 J), m dalam orde 10 kg, dan h dalam orde 10 J.s, se- hingga
nilai dalam orde 10/m. Bagi sistem yang energi dan massanya lebih dari
nilai-nilai tadi, nilai akan lebih besar lagi.
Secara kualitatif, kebergantungan peluang penerobosan terhadap lebar
tanggul tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut. Fungsi gelombang di
x x
daerah II merupakan kombinasi fungsi-fungsi hiperbolis e dan e se-
bagaimana dinyatakan pada baris kedua ruas kanan Persamaan (6.34). Da-
lam persamaan itu, fungsi e x lebih dominan daripada fungsi e x . Se-
V0 V0
III III
E E
a a
(a) (b)
Gambar 6.10 Komponen real fungsi eigen partikel di bawah pengaruh potensial
tanggul. Lebar tanggul di gambar (a) kurang dari yang di gambar
(b). Perhatikan amplitudo gelombang di daerah III pada (a) dan (b)
V(x)
a/2 a/2
X
I II III
V0 ; 1a x 1a
V ( x) 2 2
V0 0; di x lainnya
Gambar 6.11 Potensial sumur kotak: bernilai nol di luar interval [a/2, a/2]
dan bernilai –V0 di dalam interval [a/2, a/2 ]
Telaah kita batasi pada keadaan terikat, artinya gerak partikel dibatasi
pada ruang tertentu. Berdasarkan plot potensial di Gambar 6.11, keadaan
terikat terjadi jika energi total partikel memenuhi ketaksamaan V0 < E < 0.
Dalam hal ini partikel hanya mungkin bergerak di sekitar interval x = a/2
sampai x = a/2. Jika energi partikel lebih dari nol maka partikel dapat
bergerak dari sampai dengan +, dan partikel dikatakan dalam keada- an
bebas.
Persamaan Schrödinger bebas waktu di masing-masing daerah adalah
sebagai berikut. Di daerah I dan III:
d 2 ( x) 2 2 2mE
( x) 0 ; .2 (6. 39)
dx 2
Di daerah II:
d2 ( x)
2m
k 2 k2
II
2
( x) 0 ; (E V 0 ) . (6. 40)
II 2
dx
x C e x ; x a / 2. (6.41c)
III
(x) C
1 e 2
Agar fungsi eigen yang didapat berhingga di mana-mana maka kita harus
menetapkan A2 = C1 = 0. Selanjutnya, dari syarat kontinuitas di x = a/2 di-
dapatkan hubungan
a/2 ik a/2 ik a / 2
A1 e B1 e B2 e , (6. 42a)
a/2
A1 e i k B1 e i k a / 2 B2 e ik a /2
, (6.42b)
ik a /2 ik a /2 a/2
i k B1 e B2 e C2 e . (6.43b)
Dari Persamaan (6.42) didapatkan hubungan
atau
1 1 i /k ka
ln . (6. 48)
2 i 1 i /k 2
1 1 iz
Dengan menggunakan identitas bilangan kompleks ln tan z1,
2i 1 iz
Persamaan (6.48) identik dengan
k
cos ( 1 ka )
2
(6. 50)
k0
2 2 2mV0
dengan k 0 k 2
. Selanjutnya, karena dan k keduanya po-
sitif maka nilai tan(ka/2) juga positif. Dengan demikian Persamaan (6.47b)
identik dengan sistem persamaan
k
cos ( 12 ka ) , (6. 51a)
k0
dan
tan ( 12 ka ) 0 . (6.51b)
F(k) = |cos(ka/2)|
k
0 k1 /a 2/a k3 3/a 4/a k5 k0 5/a
ik
Untuk e ika
ik
k
sin ( 12 ka ) , (6. 52a)
k0
dan
tan ( 12 ka ) 0 . (6.52b)
tan (ka/2)< 0
1
G(k) = k/k0
k2 2 /a k4 k
0 /a 3 /a 4/a k0 5/a
a/2 a/2
-a/2
a/2
(c)
-a/2 a/2
(a) (b)
Gambar 6.13 (a) Diagram tingkat energi, (b) Komponen real fungsi eigen
untuk keadaan berenergi terendah pertama, (c) Komponen
real fungsi eigen untuk keadaan berenergi terendah kedua.
makin landai garis itu. Dengan kata lain, semakin besar V0 semakin banyak
cacah tingkat energi.
Bagaimana pengaruh lebar sumur? Berdasarkan Gambar 12 (a) dan (b)
terlihat bahwa semakin besar a semakin cepat pengulangan fungsi F(k). Ini
berarti semakin banyak titik potong. Dengan kata lain semakin lebar sumur
semakin banyak tingkat energinya.
Gambar 6.14 berikut memperjelas uraian tersebut. Gambar (a) dan (b)
berbeda dalam hal lebar sumur tetapi sama dalam hal kedalaman sumur.
Terlihat bahwa cacah tingkat energi pada Gambar (b) lebih banyak dari-
pada pada Gambar (a). Gambar (c) dan (d) berbeda dalam hal kedalaman
sumur tetapi sama dalam hal lebar sumur. Terlihat bahwa cacah tingkat
energi pada Gambar (d) ebih banyak daripada pada Gambar (c).
nol sebab potensial di luar sumur tak berhingga besar. Dengan demikian
Persamaan (6.53) juga harus bernilai nol di x = 0 dan x = a.
Agar (0) = 0 maka A = B. Dengan demikian fungsi eigen (Persamaan
6.53) menjadi
( x) N sin kx , (6. 54)
2 nx
n ( x) sin . (6. 56)
a a
Indeks n digunakan untuk membedakan suatu fungsi eigen dengan
fungsi eigen lainnya. Setiap fungsi eigen itu menyatakan keadaan partikel
saat energinya sebesar
n2 2 2
En , (6. 57)
2ma2
yang diperoleh dengan mengisikan Persamaan (6.55) ke dalam definisi
2mE
k . Indeks n tadi juga untuk menandai keadaan kuantum partikel.
2
Jika n = 1, dikatakan dalam keadaan dasar (ground state), dan jika n = m >1
dikatakan dalam keadaan tereksitasi tingkat m.
RANGKUMAN
d 2( x) 2 2 2m
(x) 0 dengan 2
(V E) merupakan konstanta
dx 2
positif.
PERLATIHAN
Pertanyaan Konsep
1. Jelaskan mengapa fungsi eigen berupa fungsi harmonis di daerah di
mana V(x) = V0 < E, dan berupa fungsi hiperbolis di daerah di mana
V(x) = V0 > E.
2. Jelaskan mengapa kita harus membuang fungsi yang berbentuk e x ,
Pertanyaan Analisis
1. Jika E dan V0 dinyatakan dalam satuan elektron-volt (eV), tunjukkan
bahwa jarak penembusan elektron dan proton (massa proton kira-kira
1840 massa elektron) ke dalam daerah yang secara klasik terlarang ada-
lah:
1, 96
untuk elektron: x A dan
V0 E
1, 96
untuk proton: x A
1840 V0 E
2. Sebuah elektron dan sebuah proton, masing-masing berenergi 1 eV,
mencoba menembus potensial undak yang tingginya 2 eV. Perkirakan
jarak penembusan masing-masing partikel tersebut.
3. Sebuah proton dan sebuah deutron mencoba menembus potensial tang-
gul yang tingginya 10 MeV dan tebalnya 10 m. Jika masing-masing
partikel tersebut memiliki energi yang sama, misalnya 3 MeV, (a) jelas-
kan partikel mana yang lebih berpeluang sukses menembus tanggul
tersebut! (b) Hitung peluang kesuksesan masing-masing!
4. Elektron yang berenergi 2 eV bergerak ke kanan dari x < 0 melalui po-
tensial: V(x) = 1 eV di 0 < x < x0 dan nol di tempat lainnya. Tentukan (a)
momentum linear elektron di: (i) x < 0, (ii) 0 < x < x0, dan (iii) x > x0; (b)
nilai x0 agar elektron pasti diteruskan sampai di x > x0, (c) peluang mi-
nimum elektron diteruskan sampai x > x0.
5. Perhatikan penyelesaian secara grafik untuk mendapatkan energi parti-
kel terikat dalam sumur potensial kotak sebagaimana diuraikan dalam
naskah. Lebih khusus, amati Gambar 6.12. Berdasarkan gambar itu, (a):
tentukan besaran yang menentukan cacah tingkat energi partikel. (b)
untuk lebar sumur tertentu, bagaimana pengaruh kedalaman sumur
terhadap cacah tingkat energi? (c) untuk kedalaman sumur tertentu,
bagaimana pengaruh lebar sumur terhadap cacah tingkat energi? (d)
22
jika V0 2 , berapa cacah tingkat energi partikel?
2 ma
6. Berdasarkan Gambar 6.12, (a) tentukan cacah tingkat energi untuk nilai-
nilai k0 berikut: (i) /a k0< 2/a, (ii) 2/a k0< 3/a, (iii) 3/a k0< 4/a. (b) Berdasar
jawaban Anda pada pertanyaan (a) tadi, jelaskan bagai- mana
kebergantungan cacah tingkat energi partikel terhadap k0. (c) Per- hatikan
bahwa jika k0 sangat besar maka garis G(k) = k/k0 hampir men- datar
sehingga absis titik-titik potong antara G(k) dan F(k) hampir sama dengan
n/a dengan n = 1, 2, 3, …, dst. Tunjukkan bahwa, dalam hal
n 2
ini, energi partikel memenuhi hubungan E n V0 .
2ma 2
0 ; x a
(Petunjuk: nyatakan fungsi eigen di dalam sumur sebagai fungsi sinus
(paritas ganjil) dan fungsi cosinus (paritas genap) kemudian dapatkan
tingkat-tingkat energi untuk masing-masing paritas itu).
8. Perhatikan pasangan fungsi eigen dan nilai eigen partikel dalam poten-
sial sumur sebagaimana dinyatakan pada Persamaan (6.56) dan (6.57).
Tunjukkan bahwa fungsi-fungsi eigen tersebut saling ortonormal. (Pe-
tunjuk: selidiki bahwa antar-fungsi eigen tersebut memenuhi hubungan
n , m 0 jika n m dan bernilai 1 jika n=m)
9. Berdasarkan soal nomor 8 tersebut, jika sebarang fungsi ( x) dapat di-
nyatakan dalam fungsi eigen tersebut melalui hubungan
( x) i c i i ( x) ,
2 2
tunjukkan bahwa i, c i , dan i ci .
10. Jika energi terendah partikel terikat dalam potensial sumur yang sangat
dalam sebesar 4 eV, berapa energi partikel itu jika dalam keadaan ter-
eksitasi tingkat 5?
11. Elektron yang berenergi total 3,1 eV mencoba menerowong potensial
tanggul yang tingginya 6 eV dan tebalnya 10 m. (a) Untuk menghi-
tung koefisien transmisi pada kasus ini, dapatkah kita menggunakan
Persamaan (6.37)? (b) Jika dapat, berapa besarnya koefisien transmisi
itu?
OSILATOR HARMONIS
dx dx
Dengan demikian Persamaan (6.2) menjadi
d2 x
m kx 0 . (7. 4)
dt 2
Penyelesaian persamaan tersebut adalah
Ternyata energi total sistem tidak bergantung waktu. Dengan kata lain,
energi total osilator harmonis adalah konstan. Ini sesuai dengan kenyataan
bahwa osilator harmonis merupakan sistem konservatif.
Untuk osilator tertentu, artinya massa dan konstanta pegasnya terten-
tu, Persamaan (7.8) menunjukkan bahwa energi total osilator harmonis ha-
nya bergantung pada amplitudo osilasi A. Karena A dapat bernilai seba-
rang, artinya berapapun amplitudo yang diberikan sistem tetap berosilasi,
maka energi total osilator harmonis dapat memiliki nilai sebarang, dari nol
sampai takhingga, bergantung nilai amplitudonya. Inilah kesimpulan pen-
ting dari analisis secara klasik. Kita akan melihat bahwa kesimpulan ini
akan dikoreksi oleh fisika kuantum.
2 2
d ( x) 2mE m 2
2
(x)
2
x (x) 0. (7. 9)
dx
2
2
m m
()
d ( ) 2 2
() 0. (7. 12)
d2 2
E0 2 2
d ()
( 2 ) () 0. d 2 (7. 15)
m
x (7. 16)
dan
2
E. (7. 17)
Bentuk kedua fungsi itu haruslah sedemikian rupa sehingga dipenuhi per-
syaratan ( ) 0 . Dengan demikian, kedua fungsi itu juga harus nol di
meskipun kecepatannya menuju nol tidak harus sama.
2
d F( ) 2 2
( )F () 0. d (7. 19)
2 2
Karena pada berlaku maka Persamaan (7.19) dapat
disederhanakan lagi menjadi
2
d F( ) 2 2
F ( ). d (7. 20)
2
Penyelesaian persamaan itu berbentuk F( ) e c dengan c merupakan
suatu tetapan yang nilainya dapat ditentukan sebagai berikut. Subtitusi
2
F ( ) e c ke Persamaan (7.20) menghasilkan
2c (1 2c 2 ) 2
. (7. 21)
d 2 H( )
2 dH( ) ( 1 ) H ( ) 0 . d (7. 24)
d2
j0
maka
d 2
H( ) a 1 2 a 2 ξ 3 a 3 ξ ..... j 1a j 1 ξ j
d j0
sehingga
d H( )
2 2 ( j 1) a j1 ξ j1
2 j a ξj j
(7. 26)
d j0 j0
dan
2
d 2
2
H( ) 2a 2 3 2 a 3 4 3 a4 .....
d
(7. 27)
j
( j 2)( j 1) a j 2 .
j0
atau
( j 1)( j 2) a j
0. (7. 28)
2j 1 a
j 2 j
j0
Agar Persamaan (7.28) berlaku untuk semua j maka harus dipenuhi hu-
bungan
2 j 1ε
aj2 a j (7. 29)
( j 1)( j 2)
fungsi ganjil. Dalam hal ini ( ) disebut fungsi eigen varitas ganjil.
3. Koefisien suku berpangkat ganjil, yaitu aj dengan j bilangan ganjil, se-
muanya dapat dihubungkan dengan a. Jadi jika a = 0 maka semua ko-
efisien suku berpangkat ganjil bernilai nol dan H ( ) merupakan deret
2n + 1 = n. (7. 31)
Indeks n perlu kita bubuhkan pada sebab untuk memenuhi hubung-
an 2n+1 = maka nilai harus disesuaikan dengan nilai n.
6. Berdasarkan catatan nomor 2 dan 3 di depan, Persamaan (7.31) hanya
dapat menghentikan salah satu dari deret yang berpangkat ganjil saja
atau deret yang berpangkat genap saja; jadi tidak dapat menghentikan
keduanya sekaligus. Jika n merupakan bilangan genap, maka deret
yang dapat dihentikan dengan persamaan itu adalah deret yang ber-
pangkat genap. Sebaliknya jika n merupakan bilangan ganjil, deret
yang dapat dihentikan adalah deret yang berpangkat ganjil. Oleh se-
bab itu untuk menjamin agar ( ) bernilai nol di kita guna-
kan ketentuan tambahan: jika n genap maka a harus diberi nilai nol
sehingga semua koefisien berpangkat ganjil pada H ( ) bernilai nol;
sebaliknya jika n ganjil maka a harus diberi nilai nol sehingga semua
koefisien berpangkat genap pada H ( ) bernilai nol.
6 V(x)
5
4
Bab 7: Osilator Harmonis
3
2
1
x
190 Penyelesaian persamaan Schrödinger
d 2n ( )
(n 2 ) n () 0. (7. 33)
2
d
kan catatan nomor 6 di depan, a1 harus kita beri nilai nol sehingga
semua koefisien suku berpangkat ganjil bernilai nol. Selanjutnya,
berdasarkan Persamaan (7.31), jika n = 0 maka = 1. Dengan me-
ngetahui nilai ini kita dapat menentukan nilai koefisien-koefisien
berpangkat genap yang tidak nol dengan menggunakan Persa-
maan (7.29).
Untuk j = 0, kita dapatkan
2 0 11
a2 a 0 0.
(0 1)(0 2)
Atau
2 2 2 2 2 (1 /2) 2
a e d a e d a a .
0 2 0
0 2 1
0 0
1/ 4 2
1
Jadi a0 .
Dengan demikian, kita dapatkan fungsi eigen yang telah ternormal-
kan:
1/ 4 12
1
() 0 e 2 .
Gambar berikut adalah plot fungsi eigen untuk tingkat nol (terendah)
tersebut.
0()
V()
nilai eigen
Atau
2 2 2
2 2 2 2 (3 / 2) 2
a e d 2 a e d 2 a a 1.
1 1 1 1
0 2 2
4
1 /4
Jadi a1 .
Dengan demikian kita dapatkan fungsi eigen yang telah ternor-
malkan:
1/ 4 12
4
() e 2 .
1
1()
V()
nilai eigen
Analisis
Energi tersebut bersesuaian dengan nilai n = 2. Karena n meru-
pakan bilangan genap, maka a1 harus kita beri nilai nol sehingga
semua koefisien suku berpangkat ganjil bernilai nol. Selanjutnya,
berdasarkan Persamaan (7.31), jika n = 2 maka = 5. Dengan
mengetahui nilai ini kita dapat menentukan nilai koefisien-
koefisien berpangkat genap yang tidak nol dengan menggunakan
Persamaan (7.29).
Untuk j = 0, kita dapatkan
2 0 15
2a a 0 2 a0 .
(0 1)(0 2)
H 2 ( ) a 0 (1 2 2 ) N 2 2 1 ,
dan fungsi eigen yang kita cari adalah
12
(2) N ( 2 2 1) e 2 .
2()
V()
nilai eigen
2317
Untuk j = 3, kita dapatkan a 5 a1 0 .
( 3 1)( 3 2)
V()
nilai eigen
3()
Analisis
Energi tersebut bersesuaian dengan nilai n = 4, dan = 9. Karena n
merupakan bilangan genap maka aj = 0 untuk j ganjil. Nilai aj un-
tuk j genap dicari dengan menggunakan Persamaan (7.29) sebagai
berikut.
2 0 1 9 (0
Untuk j = 0, kita dapatkan a 2 a0 4 a0 .
1)(0 2)
2 419
Untuk j = 4, kita dapatkan a6 a4 0
( 4 1)( 4 2)
4
( ) N ( 4 4 12 2 3) e 2 .
4()
H2 ( ) 4 2 2 , H 3 ( ) 8 3 12 ,
H 4 ( ) 16 4 48 2 12 , H 5 ( ) 32 5 160 3 120 .
Setelah kita melihat adanya hubungan antara fungsi eigen osilator har-
monis dengan polinom Hermite, dan mengingat kembali beberapa sifat
penting polinom tersebut, marilah kita kembali menelaah fungsi eigen osi-
lator harmonis. Hal-hal yang akan kita bahas lebih lanjut adalah sifat keor-
togonalan fungsi eigen osilator dan bagaimana mendapatkan fungsi eigen
dalam variabel x, yaitu n(x), berdasarkan fungsi eigen yang dinyatakan
dalam variabel tak berdimensi , yaitu n().
12 12
0 ;nm
H m( ) e
Hn ( ) e d
2 2
(7. 39)
2 n n! ;n m
1/ 2
tetapan N harus kita beri nilai 2 n n! . Dengan demikian fungsi
eigen yang telah ternormalkan adalah
12
n 1/ 2 2
n ( ) 2 n! H n () e . (7. 42)
Tabel 7.1 berikut menyajikan beberapa fungsi eigen ternormalkan yang di-
dapat dari Persamaan (7.42) tersebut.
1/4 1 1/4 1
2 2
1 4
1 3 2 e 2
e 2
4
1/4 1 2 1/4 1 2
1 1
2 5 =
64 ( 4 2 2) e 2 4 (2 2 1) e 2
1 /4 1 2 1/4 1
2
3 7 1 1 23 3 e2
8 3 12 e 2
2304 9
2 2
n () d n ( x) dα x 1.
n ( x) n( x) . (7. 45)
x x2 x
2
. (7. 48)
n n n
x n ( x) x n ( x) dx 0. (7. 49)
n
Perhitungan tersebut mudah dilakukan mengingat kuadrat n ( x) merupa-
2
kan fungsi genap sehingga x n ( x) merupakan fungsi ganjil. Akibatnya,
karena integrasi meliputi daerah yang simetris terhadap x=0 maka hasilnya
nol.
Nilai harap kuadrat posisi pada sebarang keadaan eigen, x2
n
adalah
2
x2 n
n ( x) x n ( x) dx
2 1/ 2
1 1/ 2(x) 2 2 1/ 2(x ) 2
e H (x) x e H (x) dx (7. 50)
n n n
2 n!
1/ 2
2
1 1 (x) 2 2
e xH (x) dx.
n
2 n n! 3
d
p ( x) i ( x)dx 0 . (7. 54)
n
n
n
d
x
(Lihat pertanyaan 7 pada bagian Pertanyaan Analisis di akhir bab ini.)
Nilai harap kuadrat momentum pada sebarang keadaan eigen, p2
n
adalah
2
d
p 2 (x) 2
(x) dx (7. 55)
n n
n
dx 2
22
= (n 1 /2) m(n 1/2)
(Lihat pertanyaan 8 pada bagian Pertanyaan Analisis di akhir bab ini.)
Subtitusi Persamaan (7.55) dan (7.54) ke dalam Persamaan (7.53) meng-
hasilkan
RANGKUMAN
Jadi, spektrum nilai energi total bersifat diskret. Hal ini berbeda sekali
dengan kesimpulan klasik sebagaimana disebutkan sebelumnya.
4. Penyelesaian persamaan Schrödinger bebas waktu tersebut juga meng-
hasilkan kesimpulan bahwa keadaan eigen osilator harmonis yang
berenergi total En dinyatakan oleh fungsi eigen .
1/2 1 2
m
n ( x)
H n (x) e
x
2 , dengan
2 n n!
dan Hn adalah polinom Hermite orde n yang dapat diturunkan dengan
menggunakan rumus
n
2 d 2
H n ( ) ( 1)n e n
e ,
d
n
j
H n ( ) a j
j0
0, n m
n ( x) m ( x)dx
1, n m
pastian Heisenberg ( p x) / 2 .
PERLATIHAN
Pertanyaan Konsep
1. Berikan contoh-contoh gejala fisika yang berperilaku sebagai osilator
harmonis!
2. Menurut fisika klasik, energi total terendah osilator harmonis sama
dengan energi potensial terendahnya. Sementara itu, menurut fisika
kuantum, nilai tersebut adalah 1 / 2 di atas nilai terendah energi po-
Pertanyaan Analisis:
1. Jika V(x) menyatakan variasi energi potensial suatu partikel terikat ter-
hadap posisinya, dan a adalah posisi setimbangnya, tunjukkan bahwa
di sekitar posisi setimbang itu partikel berperilaku sebagai osilator har-
monis. (Petunjuk: ekpansikan (uraikan) V(x) ke dalam bentuk deret
pangkat dalam x dan tunjukkan bahwa di sekitar x = a berlaku peng-
hampiran V(x) bx2, dengan b bilangan positif).
2. Dengan menggunakan metode deret, dapatkan fungsi eigen osilator
harmonis yang memiliki energi: a) 5,5 , b) 6,5 , c) 7,5 .
n
(x )2 2
6. Buktikan bahwa e x H (x) dx = n! 2n (n+1/2). (Pe-
Sejauh ini kita baru membicarakan gerak partikel dalam satu dimensi. Me-
ngingat gerak di alam ini umumnya dalam ruang tiga dimensi, maka kita
perlu mempersiapkan diri untuk menerapkan pokok-pokok metode fisika
kuantum pada gerak tiga dimensi ini.
Besaran dinamis (observable) yang memegang peranan penting dalam
analisis gerak tiga dimensi adalah momentum sudut (anguler momentum).
Oleh sebab itu, pada bab ini kita akan membahas bagaimana fisika kuan-
tum mendeskripsikan momentum sudut.
Sebagai ilustrasi betapa pentingnya peranan momentum sudut dalam
pembahasan gerakan tiga dimensi, marilah kita ingat kembali beberapa
temuan besar yang berhasil dirumuskan berdasarkan telaah momentum
sudut. Contoh dalam khasanah makroskopis kita jumpai hukum Kepler
tentang gerakan tata surya, sedangkan dalam khasanah mikroskopis kita
jumpai teori Bohr tentang atom hidrogen.
Ada dua hal pokok yang akan kita bahas dalam bab ini terkait dengan
momentum sudut, yaitu tentang operator yang mewakili vektor momen-
tum sudut beserta hubungan komutasi yang melibatkan komponen-kom-
ponennya, dan tentang nilai eigen beserta fungsi eigen momentum sudut.
Sebelum membahas dua pokok besar tersebut, bahasan akan dimulai de-
ngan tinjauan singkat definisi klasik momentum sudut beserta sifat-sifat
pentingnya.
Untuk memberi contoh salah satu penerapan Persamaan Schrödinger
dalam ruang tiga dimensi, bab ini juga memaparkan tinjauan kuantum
untuk atom berelektron tunggal. Hasilnya kemudian diterapkan pada
atom hidrogen dan selanjutnya diperbandingkan dengan teori Bohr untuk
melihat kesepadanannya.
O Y
X
Jika gaya yang bekerja pada partikel merupakan gaya sentral, yaitu
besarnya hanya bergantung pada jarak terhadap pusat dan arahnya ber-
impit dengan vektor posisi, maka N bernilai nol. Dalam hal ini, menurut
Persamaan (8.3), momentum sudut partikel bersifat kekal. Hukum Kepler,
khususnya tentang kecepatan sapu vektor radius, merupakan konsekuensi
dari berlakunya kekekalan momentum sudut tersebut. (Lihat, misalnya,
buku Mechanics edisi 3, oleh Symon, terbitan Addison Wesley 1971, hala-
man 135).
Berdasarkan Persamaan (8.1) sampai (8.4) dapat disimpulkan bahwa
momentum sudut, berdasarkan tinjauan klasik, dapat bernilai sebarang.
Kita akan meninjau, secara kuantum, apakah spektrum momentum sudut
bersifat kontinu atau diskret. Kita juga akan meninjau apakah momentum
sudut partikel yang bergerak di bawah pengaruh potensial sentral juga
bersifat sebagai tetapan gerak seperti dinyatakan dalam fisika klasik.
,
L̂ y ẐP̂x X̂P̂z (8. 5b)
L̂ z i y . (8. 8c)
x
x y
P
r
y
O
Gambar 8.2 Definisi koordinat bola (r, , ) dan Y
koordinat Cartesan (x, y, z) untuk x
sebarang titik P X
L̂ z i , (8.10c)
z z z y
(8. 12)
ŶP̂z , ẐP̂x ŶP̂ , X̂P̂ ẐP̂ , ẐP̂x ẐP̂ , X̂P̂ .
y z
Komutator di suku kedua dan ketiga pada ruas kanan baris kedua Persa-
maan (8.12) menghasilkan operator 0̂ . (Lihat pertanyaan nomor 2 pada ba-
gian Pertanyaan Analisis). Dengan demikian Persamaan (8.12) dapat dise-
derhanakan menjadi
Ŷ i P̂x X̂ i P̂y
i L̂ z .
Pada penjabaran tersebut, suku pertama dan kedua pada baris kedua seca-
ra berurutan didapatkan dari suku pertama dan kedua pada baris perta-
ma. Perhatikan Contoh Soal 8.1.
Dengan prosedur yang serupa kita dapatkan hubungan komutasi an-
tarpasangan komponen momentum sudut lainnya, yaitu
[ L̂ y , L̂ z ] = i L̂ x , (8. 14) [
Berdasarkan identitas komutator: [ ÂB̂ ,Ĉ ] Â[ B̂ ,Ĉ ] [ Â ,Ĉ ]B̂ dan
x
[Ŷ P̂z , ẐP̂x ] Ŷ [P̂z , ẐP̂x ] [Ŷ , ẐP̂x ] P̂z x
z
ŶẐ P̂z , P̂x Ŷ P̂ z , Ẑ P̂ x Ẑ Ŷ , P̂ P̂ z Ŷ , P̂ ẐP̂
0̂ Ŷ i P̂x 0̂ 0̂
iŶP̂x .
Jadi kita dapatkan hubungan komutasi antara L̂2 dengan komponen dari
L̂ sebagai berikut.
2 2
[L̂ , L̂ x ] 0̂ , [L̂2 , L̂ y ] 0̂ , [L̂ , L̂ z ] 0̂ . (8. 17)
nilai ukur yang pasti pada masing-masing komponen tersebut. Nilai ukur
hanya akan pasti jika nilai semua komponen itu adalah nol. Di lain pihak,
pengukuran serempak kuadrat momentum sudut dengan salah satu (se-
barang) komponen momentum sudut dapat menghasilkan nilai ukur yang
pasti pada masing-masing besaran.
Ditinjau dari sudut pandang persamaan nilai eigen, keadaan di atas
menghasilkan konsekuensi sebagai berikut.
1. Masing-masing komponen momentum sudut memiliki fungsi eigen
yang berbeda. Tidak ada satupun fungsi yang merupakan fungsi eigen
bersama bagi semua komponen momentum sudut.
2. Terdapat suatu fungsi yang merupakan fungsi eigen bersama bagi
kuadrat momentum sudut dan bagi salah satu komponen momentum
sudut. Fungsi eigen bersama antara L̂2 dan L̂ z (misalnya) harus berbeda
2 2
dengan fungsi eigen bersama bagi L̂ dan L̂ x maupun bagi L̂ dan L̂ y .
tor ini hanya bekerja pada satu variabel, yaitu . (Lihat Persamaan 8.10c)
2 2
L̂ Y ( , ) Y ( , ) , (8. 18)
dengan merupakan besaran tak berdimensi yang nilainya merupakan
bilangan real positif atau nol. Ketentuan bahwa harus tidak berdimensi
disebabkan karena 2 sudah berdimensikan kuadrat momentum sudut.
Penetapan bahwa harus merupakan bilangan real positif atau nol dida-
sarkan pada kenyataan bahwa L̂ merupakan operator Hermitean (dengan
demikian nilai eigennya real) sehingga nilai eigen L̂2 harus positif atau nol.
Dengan menggunakan Persamaan (8.11), Persamaan (8.18) dapat diu-
bah menjadi
2 2
1 1
Y( , ) Y( , ). (8. 19)
2
tan sin 2 2
2
Inilah persamaan nilai eigen bagi L̂ yang selanjutnya akan kita pecahkan
untuk mendapatkan spektrum nilai eigen beserta fungsi eigennya.
Persamaan diferensial parsial (8.19) tersebut dapat diubah menjadi
sistem persamaan diferensial biasa melalui teknik pemisahan variabel. An-
daikan Y(,) dinyatakan sebagai perkalian fungsi Φ() dan Θ( ) , yaitu
Y(,) = Φ( ) Θ( ) , (8. 20)
maka Persamaan (8.19), setelah dikalikan dengan sin/(), menjadi
2
1 d Φ sin 2
d Θ2 1 dΘ
Θ. (8. 21)
Φ d2 Θ d2 tan d
Φ( ) e i m . (8. 23)
Karena Y(,) harus bernilai tunggal maka () juga harus bernilai tung- gal.
Oleh sebab itu () harus memenuhi syarat batas: ( =0) = (
=2), sebab kedua nilai tersebut menyatakan titik yang sama.
Berdasarkan syarat ini maka nilai m haruslah merupakan bilangan bulat
(negatif atau positif) atau nol. Jadi
m = 0, 1, 2, 3, … (8. 24)
d F 2 d m 2
1 F F 0. (8. 26)
d d 1 2
d d
1 2 F 0. (8. 27)
F
d d
Analisis
2 3 20 14 70
a4 a2 (10) a 0 a , (untuk k = 2),
3 4 12 6 0
ak = 0, (untuk k 4).
ak = 0, (untuk k 5).
Dengan demikian kita peroleh
a1
F() = a1( – 14/3 + 42/10 ) = (15 – 70 + 63 )
15
P0() = 1 P3 () = ½ (5 – 3)
1
P1() = P4 () = (35 – 30 + 3) (8. 33)
8
P2() = ½ (3 –1) P5 () = 1
(63 – 70 + 15)
8
Perhatikan bahwa polinom yang kita dapatkan pada Contoh Soal 8.2 tadi
semuanya sesuai dengan polinom yang didapatkan dari Persamaan (8.32).
(Bandingkan P4 dan P5 pada Persamaan (8.33) dengan yang kita dapatkan
di Contoh Soal 8.2).
Mengingat fungsi F() pada Persamaan (8.27) ternyata merupakan
polinom Legendre orde ℓ, dengan ℓ memenuhi hubungan ℓ (ℓ+1) = , maka
Persamaan (8.27) dapat diganti dengan
d d ( )
1 2 ( 1) P ( ) 0 . (8. 34)
P
d d
rumusan:
m m
m /2 d P( ) 1 m /2 d
P m( ) 1 2 12 2
1, (8. 35)
m m
d 2! d
d 2 ) m
d ( P m
2
1 P m ( ) ( 1) P m ( ) 0. (8. 36)
2
d d 1
m
dengan P (cos ) merupakan polinom Legendre sekawan jenis pertama,
Persamaan (8.35), untuk cos.
Jika Persamaan (8.23) dan (8.37) disubtitusikan ke dalam Persamaan
(8.20) menghasilkan penyelesaian akhir Persamaan (8.19) sebagai
2 1 ( m)!
Y m(, ) ( 1)m e i m P m (cos
), (8. 39a)
4 ( m)!
Y m (1)m Y m . (8.39b)
dengan ij adalah delta kronecker yang nilainya nol jika indeknya berbeda
dan 1 (satu) jika indeksnya sama.
Berdasarkan uraian tersebut maka akan lebih menguntungkan jika
m
Y ( , ) pada Persamaan (8.38) ganti dengan fungsi harmonis bola (Persa-
maan 9.39) tersebut.
8.3.2 Persamaan Nilai Eigen Bagi L̂ z
Karena kita telah mendapatkan fungsi eigen bagi L̂2 , sementara itu
kita sudah menyimpulkan bahwa terdapat suatu fungsi yang merupakan
fungsi eigen bersama bagi L̂2 dan L̂ z , (lihat uraian awal Bagian 8.3 di
2
depan) maka ada baiknya kita menguji apakah fungsi eigen bagi L̂ tadi
benar-benar merupakan fungsi eigen bagi L̂ z .
m Y m (, ) .
Kita nyatakan sekali lagi persamaan nilai eigen bagi L̂2 dan L̂ z , yaitu:
L̂ Y m ( , ) m Y ( , ) .
m
z (8.42b)
Sejauh yang sudah kita uraikan sampai saat ini, nilai ℓ sudah kita
dapatkan secara tegas, yaitu salah satu dari deretan nilai diskret: 0, 1, 2,
dst. Tetapi, batasan untuk nilai m belum kita tentukan secara tegas.
bulat positif atau nol. Sekarang marilah kita amati Persamaan (8.22b) yang
merupakan dasar mendapatkan Pm ( ) . Pada persamaan itu, jika kita me-
kan Persamaan (8.42) dan batasan nilai untuk m dan ℓ, nilai-nilai eigen
bagi L̂2 dan L̂z secara berurutan adalah ℓ (ℓ+1) 2 dan m , dengan ℓ
L ( 1) (8. 43a)
dengan ℓ = 0, 1, 2, … ;
dan arahnya juga harus sedemikian rupa sehingga komponen ke salah
satu sumbu yang dipilih, misalnya sumbu-Z, sebesar
Lz = m , (8.43b)
2
8.3.4 Kemerosotan Nilai Eigen L̂ dan L̂ z
Berdasarkan Persamaan (8.43b), untuk setiap nilai ℓ tertentu terdapat
(2ℓ+1) macam nilai m. Karena nilai eigen bagi L̂2 hanya ditentukan oleh ℓ
maka terdapat sebanyak (2ℓ+1) macam fungsi eigen bagi L̂2 untuk nilai
eigen yang sama. Dengan demikian, setiap nilai eigen bagi L̂2 merosot
(terdegenerasi) lipat (2ℓ+1).
tertentu. Tabel 8.1 berikut menyajikan fungsi eigen bagi L̂2 dan L̂ z untuk
beberapa nilai ℓ .
Tabel 8.1 Contoh fungsi eigen dan nilai eigen bagi L̂2 dan L̂ z
Nilai Nilai dan fungsi eigen bagi L̂2 Nilai dan fungsi eigen bagi L̂z
ℓ Nilai eigen Fungsi eigen Nilai eigen Fungsi eigen
0 0 0
Y (, )
0 0 Y 0 (, )
0
1 22 Y11 ( , ) Y1 1 ( , )
Y10 ( , ) 0 Y
1
0
(,)
Y11 ( , ) Y1 1 ( , )
2 2
2 62 Y 2 (, ) 2 Y 2 (, )
Y 21 ( , ) Y 0 Y21 ( , ) Y 0
( ,2) Y 1 ( , ) 0 ( ,2) Y 1 ( , )
Y222 ( , ) Y222 ( , )
2
Z Z
2
L2
L1 2
1
1
0 0
1
1
2
(a) (b)
Gambar 8.3 Contoh orientasi vektor momentum sudut dengan bilangan kuan-
tum ℓ = 1 (gambar a) dan ℓ = 2 (gambar b). Untuk ℓ = 1, ada 3
kemungkinan arah L (gambar a), dan untuk ℓ = 2 terdapat 5
kemungkinan arah L (gambar b).
L̂ Y m ( m)( m 1) Y m 1 ( , ) ( m)( m 1) Y m 1 ( , ), (8. 44a)
x
2
hasilkan
i
L̂ Y m ( m)( m 1) Y m 1 ( , ) ( m)( m 1) Y m 1 ( , ). (8.44b)
y
2
m
Kedua operasi itu menunjukkan bahwa Y ( , ) bukan fungsi eigen bagi
L̂x maupun L̂y . Karena itu, alih-alih mencari jawab berapa saja nilai ma-
dinyatakan pada Persamaan (8.40). Nilai harap L̂y dapat dihitung dengan
Y11 1
Y10
Y
X 1
Y 01
Z
Lz L
( 1)
0
Gambar 8.5 Definisi sudut , yaitu sudut terbesar yang dibentuk oleh L dan Lz
2
operator L̂ (yang diwakili oleh L̂ x , L̂ y dan L̂ z ) dan L̂ dalam koordinat bola.
Menurut Persamaan (8.10) dan (8.11), operator-operator tersebut tidak
memuat derivatif terhadap r. Ini berarti bahwa L̂ dan L̂2 keduanya berko-
mutasi dengan sebarang fungsi r.
Di pihak lain, Hamiltonan sistem adalah jumlah energi potensial di-
tambah energi kinetik. Dalam gerak tiga dimensi, energi kinetik partikel
dapat dinyatakan dalam bentuk
2
L2 1
r .p
E . (8. 50)
k r
2m r 2
Ek L r (8. 51)
r .
2m r 2 r2 r
2
2 1 2
1 1 12
r2 . (8. 55)
2 2
2
r r r r tan
2
r sin 2 2
Dengan menerapkan operator itu pada Persamaan (8.53) kita dapat mem-
peroleh fungsi gelombang (r,,) beserta nilai E yang cocok. Namun
demikian, alih-alih menggunakan cara itu kita akan menggunakan cara
lain yang modalnya sudah kita dapatkan pada pembahasan sebelumnya.
1 ˆ2 2
2
r (8. 56)
L
r (r , , ) V(r )( r , , ) E ( r , , ).
2 r 2 r2 r
Karena operator L̂2 hanya bekerja pada fungsi dan (lihat Persamaan
8.11), maka akan sangat menguntungkan jika fungsi gelombang (r,,)
kita asumsikan merupakan perkalian fungsi Y(,) dan fungsi R(r) sebagai
2
2 Y rr
2 V( r)YR E YR , (8. 58)
2 r dr dr
Suku pertama persamaan itu merupakan fungsi dan saja, sedangkan suku
kedua merupakan fungsi r saja. Oleh karena itu, masing-masing suku
tersebut haruslah suatu konstanta. Jika konstanta tersebut kita
2 2
L̂ Y Y, (8. 60 a)
dan
2
d d R 2r
r2 E V(r )R R. (8. 60b)
2
d r d r
2 1 ( m)!
Y m(, ) ( 1)m e i m P m (cos
), (8. 61)
4 ( m)!
m
dengan P (cos ) merupakan polinom Legendre sekawan jenis pertama,
lihat Persamaan (8.35). Nilai ℓ dan m pada fungsi harmonis bola itu ma-
sing-masing adalah: merupakan sebarang bilangan bulat positif atau nol
dan m merupakan bilangan bulat dari ℓ sampai +ℓ. Nilai yang meme-
nuhi Persamaan (8.60) adalah ( 1).
Ze 2
2 2
d ( 1) 2
n (r ) En n (r ). (8. 66)
2 2
2 dr 2r 4 0r
2
n E /En , I (8.67c)
2 4
Z e
EI , (8.67d)
2 ( 4 0 )2
Persamaan (8.66) menjadi
d
2
( 1) 2 2
( ) 0. (8. 68)
2 n n
d 2
Untuk , suku kedua dan ketiga persamaan itu dapat diabaikan ter-
hadap suku lainnya sehingga persamaan itu menjadi
d 2
2
( ) 0, (8. 69)
n n
d2
n
dan memiliki penyelesaian umum berbentuk e . Selanjutnya, karena
di fungsi eigen harus nol maka kita hanya memilih penyelesaian yang
berpangkat negatif. Berdasarkan argumen itu maka penyelesaian Persamaan
(8.68) dapat diasumsikan berbentuk
n ( ) yn ( ) e n . (8. 70)
d2 d 2 ( 1)
2
2n 2
y n ( ) 0, (8. 71)
d d
yang dapat diselesaikan dengan teknik deret pangkat. Misal, penyelesai-
annya kita nyatakan dengan ungkapan
s
n y () ci i , (8. 72)
i0
Karena ci terendah adalah c0, maka suku kedua hanya muncul untuk i > 0.
Agar ruas kiri Persamaan (8.73) bernilai nol untuk sebarang maka
semua koefisien dalam deret itu harus bernilai nol. Untuk membuat nol
koefisien suku berpangkat terendah (yaitu untuk i = 0) harus dipenuhi hu-
bungan
s ( s 1) ( 1)c 0 0. (8. 74)
kita pakai. Dengan menggunakan nilai s terpilih ini semua koefisien deret
pada Persamaan (8.73) dapat dibuat nol melalui hubungan rekursi
2[ n ( i ) 1]
c i ci1 ,
(i 1)(i ) ( 1)
atau setelah disederhanakan menjadi
n (q ) 1 0,
atau
1
n . (8. 76)
(q )
( 1) 2 Ze 2
2 2
d
2
2
n , (r ) En , n , ( r) , (8. 79)
2 dr 2r 40r
2 [ ((i ) /n) 1 ]
c c . (8. 81)
i i1
i(i 2 1)
a
a
0 i0
0
Bentuk eksplisit R n,ℓ (r) bergantung pada nilai n dan ℓ. Di depan telah
disinggung bahwa n berkaitan erat dengan ℓ. Sekarang kita cari kaitan itu.
Dari hubungan ℓ = n q serta berbagai kemungkinan nilai untuk masing-
masing bilangan itu, maka untuk nilai n tertentu akan terdapat sejumlah
nilai ℓ yang tertentu pula. Nilai terkecil ℓ adalah nol yang dicapai saat q = n
sedangkan nilai terbesarnya adalah n yang dicapai ketika q = . Perha- tikan
sejumlah contoh dalam Tabel 8. 2 berikut.
1 (q = 2)
0 (q = 3)
n n1 (q = 1)
n2 (q = 2)
1 (q = n1)
0 (q = n)
Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan kaitan antara nilai n dan ℓ
sebagai berikut.
Untuk n tertentu, maka ℓ = , …, (n). (8. 84)
Dapatkan fungsi radial Rn,ℓ (r) untuk: (a) n = 1, (b) n = 2, dan (c) n
sebarang tetapi ℓ = n –1.
Analisis
bagi R(r).
1 r /2 a0
R 2 ,0 (r ) e c 0 c 1 ( r /a 0 ) c 2 (r /a 0 )2 .
a0
2 ,1 0 21
a 02
dengan A tetapatan normalisasi bagi R(r).
(c) Untuk n sebarang dan ℓ = n 1, Persamaan (8.83) menjadi
n1 r /n a0
Rn ,( n1) ( r) 1 c c 1 ( r /a0 ) e .Tetapi, karena
r /a a 00 0
m
dengan Y ( , ) merupakan fungsi harmonis bola (Persamaan 8.61) dan
Ĥ n , ,m En n, ,m , (8. 86a)
Faktor pertama pada ruas terakhir dapat dimaknai sebagai besarnya pe-
luang elektron berada pada jarak antara r sampai r+dr, dalam suatu sudut
ruang tertentu yang diperhatikan; dan faktor kedua sebagai besarnya pe-
luang elektron berada dalam suatu unsur sudut ruang d, pada jarak r
tertentu. Dengan demikian kita dapatkan informasi rapat peluang posisi
secara radial sebagai
2 2
(r ) r |Rn , (r )| , (8. 90)
Berarti (, ) tidak bergantung pada sudut asimut . Dengan kata lain, semua
titik pada sudut polar tertentu memiliki peluang yang sama untuk
ditempati elektron, berapa pun sudut asimut titik itu.
Untuk mendapatkan gambaran visualisasi dalam tiga dimensi, kita
lukis(, )dalam sistem koordinat polar melalui tahapan sebagai berikut.
(1) Buat suatu sumbu yang dibentuk oleh dan tertentu, misal =
dan =.
(2) Hitung (, ) untuk 1dan 1tersebut, misalnya sebesar u.
(3) Buat titik pada sumbu (1,) pada jarak u dari pusat. Titik tersebut
adalah titik( 1, 1). Lihat Gambar 8.6.
Sumbu (1, 1 )
Gambar 8.6. Cara menggambarkan (1, 1)
nilai(1, 1) pada sis- tem 1
u
koordinat polar O y
(4) Ulangi langkah tadi sehingga semua nilai (, ), yaitu untuk dari 0
sampai dan dari 0 sampai 2, sudah digambar.
y = ( ) sin dan O y y
z = ( ) cos
z z
1 1
O
O 1 1
y y
1 x
(a) (b)
Gambar 8.8 Plot (, ) untuk ℓ =0 dan m = 0. (a) Plot ( ) pada = /2 (b) Plot
lengkap (, ) yang diperoleh dengan memutar kur- va Gambar
(a) terhadap sumbu OZ sejauh 2. Catatan: () belum ternormalkan.
1,0
0,5
y
0,0
0,5 1,0 y
x
-0,5
Analisis
Seperti pada contoh sebelumnya, kita buat dulu plot (,) untuk
= /2. Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 8.10a. Kemudian kita
putar kurva itu terhadap sumbu OZ untuk menghasilkan plot
(,) meliputi semua nilai . Hasilnya ditunjukkan pada Gam- bar
8.10b.
1
0,5
0
0 0,4 0,8
-0,5
-1
(a) (b)
z z
z
Gambar 8.11 Distribusi peluang posisi elektron terhadap sudut pada keadaan
kuantum dengan bilangan kuantum ℓ dan m seperti ditunjukkan
pada gambar.
Kebergantungan terhadap jarak
Pada Contoh Soal 8.3 kita sudah mendapatkan beberapa fungsi radial
sebagai berikut.
r r /2 a0
R ( r) A 1 e , (8. 94)
2 ,0 20
2a
0
r /2 a
R2 ,1 (r ) A21 r e 0
, (8. 95)
n1
r /n a
R ( r) A r e 0
. (8. 96)
n ,( n1) n ,( n1)
a0
Gambar 8.12 berikut menyajikan rapat peluang posisi yang sebagian besar
fungsi radialnya sudah kita dapatkan
(r)
n=1
ℓ=0
n=2
ℓ=0
n=3
ℓ=0
(r)
n=2
ℓ=1
n=2
ℓ=0
r/a
(r)
n=3
ℓ=0
n=3
ℓ=2
n=3
ℓ=1
2 r r /n a
0
r 2r /n a
( r) r e e 0
. (8. 97)
n , ( n1)
a 0
a0
Tabel 8.3 Beberapa fungsi eigen beserta rapat peluang posisi yang dihasilkan.
Fungsi eigen n, ℓ, m (r, , ) Rapat peluang posisi n , ,m ( r , , )
r /a0 2
1,0 ,0 e r 2 r /a 0
e
1,0 ,0
a0
r r /2 a0 2 2
1 e r r r /a0
2 ,0 ,0
1 e
2 a0 2 , 0, 0
a0 2 a0
r e r /2 a0 4
r r /a0
2 , 1, 1 sin e i 2
a0 2 ,1, 1 e sin
a0
4
r r /2 a0 r
e cos r /a 0 2
cos
2 , 1, 0
e
a0 2 ,1,0
a0
r r /2 a0
4
r r /a0
2 ,1,1 e sin ei 2
a0 2 ,1,1 e sin
a0
2 2 r /3 a0
6 2 2
r r /3 a 2
3 , 2 ,0 e 0
( 3 cos 1)
3, 2 ,0
r e ( 3 cos 1)
a0
Catatan: Semua fungsi eigen dan rapat peluang tersebut belum ternormalkan.
z
a 4 a
4 a
n = 1 n = 2
ℓ =0 ℓ =1
m=0 m=0
Gambar 8.13. Perkiraan posisi yang sangat mungkin ditempati elektron pada
keadaan kuantum dengan bilangan kuantum sebagaimana ditun-
jukkan di gambar.
Pengantar Fisika Kuantum
Atom berelektron tunggal 249
(r , )
n=2
ℓ=0
r
Gambar 8.14a. Plot distribusi peluang posisi elektron terhadap r dan untuk n =
2 dan ℓ = 0. Jarak r dalam satuan a, dan dalam satuan rad.
(r,)
n=2
ℓ=1
m=1
r
Gambar 8.14b. Plot distribusi peluang posisi elektron terhadap r dan untuk n = 2, ℓ
= 1, dan m = 1. Jarak r dalam satuan a, dan dalam satuan rad.
(r , )
n=1
ℓ=0
r
(r , )
n=2
ℓ=1
r
(r,)
n=3
ℓ=2
r
Gambar 8.15. Plot distribusi peluang posisi elektron terhadap r dan untuk nilai
(n,ℓ,m) = (1,0,0), (2,1,0), dan (3,2,0). Jarak r dalam satuan a, dan
dalam satuan radian. Perhatikan bahwa jarak elektron ke inti me-
menuhi hubungan rn = na.
Hal ini menunjukkan bahwa momen dipol magnet yang dihasilkan oleh
gerakan berputar elektron sebanding dengan momentum sudut elektron,
dengan faktor kesebandingan sebesar e/(2me) yang dikenal sebagai rasio
giromagnetik.
Jika momen dipol magnet itu ditempatkan dalam suatu medan mag-
net luar B maka momen dipol tersebut akan terarahkan sejajar dengan B.
Energi untuk mengarahkan momen dipole dari arah semula menuju arah
medan magnet disebut energi potensial momen dipol magnet. Besarnya energi
potensial tersebut adalah
Ep = .B = e/(2me) L.B (8. 101)
Jika medan magnet dipilih sejajar sumbu-Z maka Persamaan (8.101)
menjadi
Ep = B .z = eB/(2me) Lz. (8. 102)
Penetapan arah medan magnet pada sumbu tertentu ini tidak akan
mengurangi generalisasi hasil yang diperoleh, sebab pemilihan sumbu-
sumbu X, Y, dan Z pada prinsipnya adalah bebas. Lihat bagian awal bab
ini. Dalam praktek, sumbu Z dipilih searah medan magnet yang
digunakan.
Rumusan klasik (Persamaan 8.102) tersebut dapat kita ubah menjadi
rumusan kuantum dengan cara mengubah besaran-besaran dinamis yang
muncul menjadi operator, yaitu Ep Êp dan Lz L̂z :
eB
Êp L̂ . (8. 103)
2m e z
Marilah kita padukan hasil di atas dengan pokok bahasan kita sebe-
lumnya, yaitu atom berelektron tunggal. Jika atom tersebut kini ditempat-
kan dalam medan magnet homogen Bz maka kita harus menambahkan
energi potensial momen dipol magnet (Persamaan 8.102) ke dalam rumus-
anV(r). Dengan demikian operator Hamiltonan sistem berubah menjadi
Ĥ + Êp dan persamaan nilai eigen (Persamaan 8.86a) berubah menjadi
eB ˆ eB
( Ĥ Êp ) n,,m Hˆ Lz n, ,m En m n, ,m . (8. 104)
2m 2m
e e
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa kehadiran medan magnet
tidak mengubah keadaan sistem (fungsi eigen) melainkan “hanya” meng-
geser energi sistem sebesar m(eћB/2me). Besaran eћ/(2me) memiliki satuan
yang sama dengan satuan momen dipole magnet (lihat Persamaan
(8.100)). Besaran itu disebut magneton Bohr, karena muncul dalam teori
atom Bohr khususnya terkait dengan momen dipol magnet elektron ketika
mengitari inti atom hidrogen pada orbit pertama. Jika magneton Bohr
dilambangi B maka
e
B 0,93 10 23 J/T. (8. 105)
2m e
Untuk menghindari kerancuan sub kulit pada kulit yang satu dengan
sub kulit yang sama pada kulit yang lain, misalnya sub kulit s pada kulit K
dengan sub kulit s pada kulit L, spektroskopi menandai sub kulit dengan
mencantumkan angka yang menunjukkan kulit yang bersesuaian. Jadi,
sub kulit s pada kulit K dinyatakan dengan 1s, kulit s pada kulit L
dinyatakan dengan 2s, dan seterusnya.
Mengingat tingkat energi atom hanya ditentukan oleh bilangan kuan-
tum utama, jadi oleh nama kulit elektron, maka semua sub kulit dalam
kulit yang sama akan memiliki energi yang sama. Gambar 8.17 berikut
mengilustrasikan tingkat-tingkat energi sub kulit pada beberapa kulit per-
tama.
E/EI
0
(n = 4) 1/16 4s 4p 4d 4f
3s 3p 3d
(n = 3) 1/9
2s 2p
(n = 2) 1/4
1 1s
(n = 1)
n (ℓ = 0) (ℓ = 1) (ℓ = 2) (ℓ = 3)
Gambar 8.17. Diagram tingkat-tingkat energi sub kulit pada kulit K, L, M, dan N
Marilah kita terapkan apa yang sudah kita peroleh dari pembahasan
atom berelektron tunggal tadi pada atom yang paling sederhana, yaitu
hidrogen.
e2 v 2n
k 2
m e
(8. 109)
rn rn
(ruas kanan persamaan itu adalah hasil kali massa elektron dengan per-
cepatan sentripetal).
4. Karena interaksi elektron-proton merupakan sistem konservatif maka
jumlah energi kinetik ditambah energi potensial harus konstan, yaitu
sebesar E elektron. Jadi berlaku pula hubungan
1 ke
En m ve 2 n . (8. 110)
2 rn
Bersarkan hubungan-hubungan tersebut dapat kita peroleh rumusan
untuk En dan rn yang dinyatakan dalam besaran-besaran yang berupa
tetapan. Jika Persamaan (108) kita selesiakan untuk vn kemudian hasilnya
disubtitusikan ke Persamaan (109) kita peroleh hubungan
2 2
4
rn n22 n 2 0 2 (8. 111)
ke m e e me
Jika definisi a dan EI yang kita nyatakan pada Persamaan (8.67a) dan
(8.67 b) di depan kita pakai, tentu saja setelah mengganti Z dengan 1,
maka Persamaan (8.111) dan (8.112) secara berurutan menjadi
rn = n a, (8. 113)
1 EI 1 1 1 1
R , (8. 116)
2 2
2 2
hc n f ni nf ni
RANGKUMAN
Ly = zpx – xpz ,
Lz = xpy – ypx .
2. Dalam sistem koordinat bola, operator yang mewakili komponen-
komponen momentum sudut itu adalah:
L̂ x i sin cos
,
tan
L̂ y i cos sin
,
tan
L̂ z i
2 2 12 1 2
L̂ .
2 tan
sin 2 2
[ L̂i , L̂ j ] = i L̂k ,
L̂2Y m ( , ) ( 1) 2 Y m ( , ),
m
L̂ z Y ( , ) m Y m ( , ) ,
2 1 (m)! m im
P m(cos ) ,
Y m (, ) (1) e
4 ( m)!
40 2
a 0 .
Z e2
16. Nilai eigen yang bersesuaian dengan tiap fungsi eigen tersebut adalah
EI
En , n = 1, 2, 3, …,
n2
dengan
2 4
Z e
EI
2 ( 40 )2
menyatakan energi atom pada keadaan dasar, yang tidak lain adalah
energi ionisasi atom.
17. Berdasarkan fungsi eigen diperoleh peluang posisi elektron dalam
suatu unsur volume dV = r d sebesar
(r , , ) dV |R |2 r 2 dr .|Y m |2 d ,
n ,
IE2,58 10 18 J 13,6 eV .
Bilangan a0 dan EI tersebut masing-masing disebut jari-jari Bohr orbit
pertama dan energi ionisasi atom hidrogen.
20. Teori atom hidrogen yang dirumuskan berdasarkan persamaan Schrö-
dinger lebih lengkap daripada teori atom Bohr, sebab selain mampu
memberikan rapat peluang posisi, teori yang disebut pertama juga
mampu menjelaskan efek Zemann, yaitu gejala terpecahnya suatu
tingkat energi menjadi beberapa sub tingkat energi jika atom hidrogen
ditempatkan dalam medan magnet luar.
21. Indeks-indeks diskret n, ℓ, dan m yang muncul pada fungsi eigen bagi
energi atom berelektron tunggal masing-masing disebut sebagai bi-
langan kuantum utama, bilangan kuantum orbital, dan bilangan
kuantum magnetik. Bilangan n disebut sebagai bilangan kuantum
utama karena peran utamanya adalah menentukan besarnya energi
yang dimiliki atom, selaras dengan peran utama persamaan
schödinger bebas waktu yaitu untuk mendapatkan energi sistem.
Bilangan ℓ disebut sebagai bilangan kuantum orbital karena bilangan
itu menentukan besarnya momentum sudut orbital elektron. Bilangan
m disebut sebagai bilangan kuantum magnetik karena bilangan itu
menentukan besarnya pemisahan suatu tingkat energi jika atom
ditempatkan dalam medan magnet.
22. Dalam bidang spektroskopi, bilangan kuantum utama bersama-sama
dengan bilangan kuantum orbital digunakan untuk menandai suatu
sub kulit elektron. Suatu sub kulit dilambangkan dengan angka arab
(mulai dari 1) diikuti dengan huruf latin kecil mulai dari s. Contoh 3p.
Angka 3 menandakan bilangan kuantum utama n bernilai 3 sedang-
kan huruf s menandakan bilangan kuantum orbital ℓ bernilai nol.
PERLATIHAN
Pertanyaan Konsep
1. Selidiki kebenaran masing-masing pernyataan berikut: (1) “Semua
fungsi eigen bagi L̂2 juga merupakan fungsi eigen bagi L̂ z ”. (2) “Se-
mua fungsi eigen bagi L̂ z juga merupakan fungsi eigen bagi L̂2 ”
Pertanyaan Analisis
1. Tunjukkan kebenaran Persamaan (8.3). (Petunjuk: gunakan definisi L
dan N seperti dinyatakan pada Persamaan (8.1) dan (8.4)).
2. Buktikan bahwa:
y
g) ŶP̂z , X̂P̂z 0̂ , h) ẐP̂ , ẐP̂x 0̂ .
x
r r sin r
m
6. a) Dapatkan beberapa polinom P ( ) dengan menggunakan Persama- an
(8.35) untuk: i) ℓ = 1 dan m = semua nilai yang mungkin, ii) ℓ = 2 dan
m = semua nilai yang mungkin, iii) ℓ = 3 dan m = semua nilai yang
mungkin. b) Uji hasil Anda dengan menderivatifkan P ( ) sebanyak
|m| kali sesuai dengan nilai m yang Anda gunakan).
0 /8 /6 /4 /3 /2 2 /3 3/4 5 /6 7/8
A C
asas korespondensi 227 Coulomb
atom berelektron tunggal 264 hukum 230, 255
pengertian 229
Atom berelektron tunggal E
fungsi eigen 238, 261
komponen radial 236 Elektron
komponen sudut 232 massa 254
persamaan Schrodinger 230 muatan 255
potensial 230 elektron valensi 264
rapat peluang posisi 239, 247 energi ionisasi 258, 262
visualisasi rapat peluang posisi
248, 249 energi
dan kinetik
momentum sudut 229
visualisasi rapat peluang radial operator dlm koordinat bola 229
244
visualisasi rapat peluang sudut F
239 foton
atom hidrogen 264 dlm teori atom Bohr 257
spektrum 267 fungsi eigen
Atom hidrogen 254 momentum sudut 216
spektrum 257 fungsi eigen bersama 222
Fungsi eigen bersama 216
B fungsi harmonis bola 221, 222, 232,
260
Balmer
deret 257, 267
Balmer, deret 253 G
bilangan kuantum gaya sentral 211
magnetik 260, 263 Gaya sentripetal 256
orbital 260, 263
Bilangan kuantum
H
magnetik 253
orbital 250 Heisenberg
utama 250 asas ketakpastian umum 266
Bohr persamaan gerak 228
jari-jari 258, 262, 264 Hidrogen 229
model atom hidrogen 255 hukum kekekalan energi 257
teori atom hidrogen 209
teori Bohr sebagai bukti I
persamaan Schrodinger 258
inti 230
T
torka 210
Z
Zemann, efek 258, 262
Aksi
Besaran yang didefinisikan sebagai perkalian usaha (kerja) dengan wak-
tu. Bandingkan dengan konsep-konsep yang terkait berikut: (1) usaha
(kerja), yang didefinisikan sebagai perkalian skalar antara gaya dan per-
pindahan, (2) daya, yang didefinisikan sebagai usaha tiap satuan waktu,
atau laju melakukan usaha. Jadi, aksi dapat diartikan sebagai lamanya
usaha telah dilaksanakan. Contoh besaran aksi adalah h (tetapan Planck)
Asas deterministik
Jika keadaan awal suatu entitas diketahui secara lengkap, maka keadaan
berikutnya dapat ditentukan secara pasti, demikian pula dengan
keadaan sebelumnya
Asas ketakpastian
Asas dalam Fisika Kuantum yang menyatakan bahwa tidak mungkin
untuk memperoleh informasi yang pasti tentang nilai sepasang besaran
yang tidak kompatibel. Semakin tinggi tingkat kepastian besaran per-
tama, semakin rendah tingkat kepastian besaran kedua. Contoh dua besaran
yang tidak kompatibel adalah posisi dan momentum linear. Asas ini
merupakan lawan dari asas deterministik.
Asas Korespondensi (kesepadanan)
Suatu asas dalam fisika teori yang menyatakan bahwa setiap teori baru
harus menghasilkan kesimpulan yang sama dengan teori lama yang se-
padan ketika teori baru itu diterapkan pada suatu situasi di mana teori
lama telah menunjukkan kesahihannya. Contoh: pada kecepatan yang
jauh lebih kecil daripada kecepatan cahaya, kaedah penjumlahan kece-
patan menurut teori Relativitas Einstein harus sama dengan kaedah
penjumlahan kecepatan menurut kinematika Newton; sebab pada kece-
patan rendah kinematika Newton telah diyakini kesahihannya.
Atom
Bagian terkecil suatu zat yang terdiri atas inti dan sejumlah elektron
yang mengelilingi inti pada orbit tertentu. Inti atom terdiri atas proton
dan neutron.
Atom berelektron tunggal
Atom yang hanya memiliki sebuah elektron. Contoh: atom hidrogen
netral, ion Li 2+, dsb.
Bencana ultraviolet (ultraviolet catastrophe)
Suatu ungkapan dalam fisika untuk menggambarkan kegagalan fisika
klasik dalam menjelaskan gejala radiasi benda-hitam. Teori klasik me-
nunjukkan kegagalan pada frekuensi ultraviolet dan yang lebih tinggi
dari itu. Jika teori klasik ini benar, maka alam semesta akan hancur aki-
bat hebatnya radiasi ultraviolet yang dihasilkan semua benda panas di
alam semesta ini. Untung saja teori itu salah.
Benda-Hitam (Blackbody)
Benda yang menyerap semua gelombang elektromagnet yang menge-
nainya. Oleh karena itu, jika tidak memancarkan radiasi maka ia akan
terlihat hitam. Benda-hitam dapat “dilihat” jika berada di lingkungan
yang tidak hitam. Benda-hitam ideal adalah lubang kecil di dinding
benda berongga.
Bilangan kompleks
Bilangan yang bentuk umumnya merupakan kombinasi bilangan real
dan bilangan imajiner. Bentuk umum bilangan kompleks z dilambang-
kan dengan z = x + i y, dengan x komponen real, y komponen
imajiner, dan i 1 .
Bilangan kuantum
Sebuah, atau sekumpulan, bilangan diskret yang digunakan untuk me-
nandai keadaan kuantum. Bilangan kuantum umumnya muncul pada
proses penyelesaian persamaan nilai eigen. Lihat juga: bilangan kuantum
utama, bilangan kuantum orbital, dan bilangan kuantum magnetik.
Bilangan kuantum utama
Bilangan kuantum untuk menandai keadaan eigen bagi Hamiltonan
sistem, atau untuk menandai tingkat energi sistem. Bilangan ini muncul
pada proses penyelesaian persamaan Schrodinger bebas waktu, yang
pada prinsipnya merupakan persamaan nilai eigen bagi Hamiltonan
Glossarium
272 Glossarium
Frekuensi ambang
Frekuensi minimal gelombang elektromagnet yang digunakan untuk
menyinari logam agar terjadi efek fotolistrik
Fungsi kompleks variabel real
Fungsi yang nilainya merupakan bilangan kompleks, tetapi variabelnya
berupa bilangan real.
Gelombang de Broglie (gelombang materi)
Gelombang yang diasosiasikan dengan partikel yang bergerak. Pada
umumnya gelombang de Broglie tidak memiliki arti fisik secara lang-
sung. Gelombang ini diwujudkan dalam bentuk fungsi gelombang yang
dalam fisika kuantum dipostulatkan sebagai perangkat untuk mendes-
kripsikan keadaan gerak partikel. Fungsi gelombang ini diperoleh me-
lalui Persamaan Schrödinger. Lihat juga: Persamaan Schrödinger.
Gelombang grup (grup gelombang)
Gelombang yang dibentuk oleh superposisi beberapa gelombang mono-
kromatis. Gelombang grup memiliki suatu kecepatan yang disebut kece-
patan grup. Masing-masing komponen (gelombang monokromatis yang
membentuknya) memiliki kecepatan sendiri-sendiri yang disebut
kecepatan fase. Kecepatan fase tidak harus sama dengan kecepatan
grup. Lihat juga: kecepatan fase.
Gelombang monokromatis
Gelombang yang panjang gelombangnya bernilai tunggal dan tetap
(tidak berubah oleh tempat dan waktu). Contoh, cahaya kuning adalah
gelombang yang memiliki panjang gelombang 500 nm. Ungkapan mate-
matis gelombang monokromatis dapat dinyatakan sebagai fungsi sinus,
misalnya ( x, t ) sin (kx t ) , dengan k 2 / . Lihat juga: kecepatan fase.
Jari-jari Bohr
Jari-jari orbit elektron menurut teori atom Bohr. Menurut Bohr, elektron
mengitari inti dalam orbit berbentuk lingkaran dengan jari-jari rn = na0
dengan a0 jari-jari orbit pertama, dan n =1, 2, 3, dst.
Kaedah pengkuantuman (Quantisation law)
Prosedur mendapatkan operator bagi suatu besaran yang definisi klasik-
nya telah diketahui.
Keadaan dasar (ground state)
Keadaan partikel saat memiliki energi terendah.
Glossarium
274 Glossarium
Glossarium
276 Glossarium
Glossarium
278 Glossarium
A B
Aksi 10, 12, 269
Apertur, optik 5557 Balmer, deret 253, 257, 267
Arus fotoelektrik 32-34, 36, 37, 40, Bencana ultraviolet 9, 270
44, 47, 49 Benda-hitam
Asas deterministik 122, 269 contoh terbaik 2
Asas ketakpastian Heisenberg, 84, definisi 2, 270
105108, 205, 269 grafik spektrum 35
berdasar penafsiran Born 69–71 spektrum 25, 28
berdasar postulat pengukuran 102,103 Bilangan kompleks 270
ketakpastian minimum 74 Bilangan kuantum 135, 270
rumusan umum 107 magnetik 253, 260, 263, 271
Asas korespondensi 227, 269 orbital 250, 260, 263, 271
Asas relativitas 59 utama 250,270
tonggak fisika kuantum 31 Frekuensi ambang 34, 40, 42, 43, 47, 272
Efek penerowongan 166, 271 Fungsi eigen 113, 135
Ehrenfest, teorema 129 Fungsi gelombang
Einstein 32, 40, 42, 43, 48, 49 analogi dgn trayektori klasik 84
kaitan Planck-Einstein 47 keortogonalan: lih. ortogonal
pengkuantuman cahaya 41 norm 98
Elektron valensi 264 perkalian skalar 98
Elektron,
massa 57, 272
254
Fungsi kerja, lih.
Fungsi kompleks Energi ikat 43, 50
120, 272
muatan 255
Elektron-foto 3238, 4751, 272
G
energi kinetik 43, 49 Gaussan, fungsi 74, 76, 79, 106, 111, 205
Elektron-volt 272 Gaya sentripetal 211, 256
Entitas 272 Gelombang de Broglie 54, 77, 78, 80,
Emisi lanjutan, secondary emission 32 83, 273
Emisi medan, lucutan elektrik 32 eksistensi 55
Emisi termionik 32 untuk debu 56
Energi ikat 32, 42, 43, 51 untuk elektron 57
Energi ionisasi 258, 262 untuk neutron termal 57
Gelombang monokromatis 59, 273
Gelombang sekejab (evanescent wave) 155
K L
Kaidah pengkuantuman 89, 109, 266, 273 Laplacean, operator 118
Keadaan kuantum Legendre
Keadaan dasar (ground state) 135, 175, 273 persamaan diferensial 218
keadaan tereksitasi 135, 175, 274 polinom 220, 260
pengertian 273 polinom sekawan 232
Lenard-Jones 147
Indeks
282 Indeks
Logam alkali 264 Nilai eigen, persamaan 113, 117, 135, 275
Lorentz 45 Nilai harap 70, 95
Lucutan elektrik 32 perubahan terhadap waktu 123, 126
Lymann, deret 253, 257 momentum linear 127
posisi 126
M komp. momentum sudut Lx 226
Magneton Bohr 252, 275 komp. momentum sudut Ly 226
Massa tereduksi 230, 261
Maxwell 5, 6, 8, 48, 49,64, 83
O
Medium kontinu 181 Operator
Metodologi Fisika Kuantum 84 identitas 99
Lih. Postulat Fisika Kuantum nol 99
Momen dipol magnet 251 penjumlahan operator 101
energi potensial 252 perkalian operator, lih. komutator
Momen gaya 210 Operator energi total 117
Momentum sudut, 209 Operator Hermitean 85, 108, 112, 148
definisi 210 definisi 100
fungsi eigen bersama 216, 222 nilai harap 101
hubungan komutasi 213–115, 259 Operator momentum linear
kekekalan 228, 229, 260 dalam ruang momentum 87
kemerosotan 224 dalam ruang posisi 88
korespondensi klasik 228, 260 Operator posisi
nilai eigen 222 dalam ruang momentum 86
operator 211–113 dalam ruang posisi 86
dlm koordinat bola 213, 259 Optika fisik, geometri 55
dlm koordinat Cartesan 212 Ortogonal, ortonormal 98, 99, 180
Lx 225 Osilator harmonis
Ly 226
energi klasik 183, 205
orientasi 225
energi kuantum 189, 205
pengkuantuman ruang 226, 260, 275 fungsi eigen 200, 205, 206, 190–97
persamaan nilai eigen 215–222 ketakpastian momentum 204, 206
teori Bohr 255 ketakpastian posisi 203, 206
N pengertian 181
persamaan Schrödinger 205
Newton 53, 80, 83, 115, 144, 146 penjabaran 183–185
Nilai eigen 135 solusi 185–188
momentum sudut 222
osilator harmonis 205
Indeks
284 Indeks
S energi-momentum-4 46
gelombang-4 46
Schrödinger
pelopor mekanika kuantum 58 W
lih. Persamaan Schrödinger
Waktu tunda, efek fotolistrik 34, 37, 47
Schwarz, ketaksamaan 99, 107
contoh hitungan 39
SI (square integrable) 65, 68, 100
Wien
Sinar-X 44
hukum pergeseran 3, 4, 12, 27
Sistem konservatif 182, 183, 256
tetapan 4
Sistem koordinat
polar 239, 266 Y
bola 212, 213, 265
Young 55
Cartesan 213, 265
Sistem periodik 264 Z
Spektrograf 253
Zemann, efek 258, 262, 272
Spektrometer 253
Spektroskop 253
Spektroskopi 253, 263
Stefan-Boltzmann 3, 12
hukum 5
Sudut ruang 222
Suhu nol mutlak 277
T
Thomson, J.J 58
Thomson, P.G. 58
Tingkat energi
potensial sumur 174
osilator harmonis 189, 205
Torka, 210. Lih. Momen gaya
U
Ultraviolet, bencana 9, 270
V
Varians 70
Vektor gelombang 55, 58
Vektor-4 45, 46, 277
PUSTAKA CETAK
Tannoudji, C.C., Diu, N., dan Laloe, F. 1979. Quantum Mechanics. New
York: John Wiley & Sons
Wangsness, R.K. 1979. Electromagnetic Fields. New York: John Wiley & Sons
Weidner, R.T., dan Sells, R.L. 1980. Elementary Modern Physics. Boston:
Allyn & Bacon Inc.
Yariv, A., 1989. Quantum Electronics. New York: John Wiley & Sons.
Tetapan-Tetapan
Yang Digunakan Dalam Buku Ini
Tetapan Lambang Nilai
Permitivitas 0 8,854 10 C.N.m
Tetapan Planck h 6,626 10J.s
ħ 1,055 10 J.s
Tetapan Boltzmann KB 1,381 10 J.K
Tetapan Stefan-Boltzmann 5,670 10 W.m .K
Muatan listrik elementer e 1,602 10 C
Tetapan Rydberg R 1,097 10 m
Jari-jari pertama Bohr a0 5,292 10 m
B
Magneton Bohr 9,274 10 J.T
Tetapan Coulomb 1 8,984 10 N.C.m2
k
40
Massa (diam) elektron me 9,110 10 kg
Tetapan Wien 2,898 10 m.K
Massa (diam) proton mp 1,673 10kg
Laju cahaya dalam vakuum c 2,998 10 m.s
Keterangan
C Coulomb
N Newton
K Kalvin
J Joule
T Tesla
W Watt
kg kilogram
m meter s
sekon