ISBN 978-602-1160-xx-x
B -:
A A K
T’ F M.
A M R
B S-:
A. F, N M, A. K, N A’,
N L T’ (), A.Z. M, A. I M.,
A. K, A. I A.
Prakata
Tak lupa saya ucapkan terima kasih pula kepada Pak Agus Pur-
wanto, selaku orang pertama yang mengenalkan kepada saya dunia
fisika teori.
Prakata vii
Daftar Isi ix
Bab 1 Pendahuluan 1
1.1 Ciri Mendasar Fisika Klasik . . . . . . . . . . . . . . . 3
1.2 Gambaran Umum Fisika Kuantum . . . . . . . . . . . 5
Bibliografi 313
Lampiran 315
A Kelengkapan Matematika . . . . . . . . . . . . . . . . 315
A.1 Vektor dan Ruang Vektor . . . . . . . . . . . . 315
A.2 Ruang Fungsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 319
B Nilai Numerik Beberapa Besaran Fisis . . . . . . . . . 319
Indeks 320
Pendahuluan
dengan konsep primitif seperti itu bagi perilaku zarah yang selalu
memiliki posisi dan kecepatan definit adalah bahwa konsep itu me-
rupakan perampatan (generalisasi) yang dibangun melalui penga-
matan yang sangat kasar dan dalam skala besar. Burung terbang atau
tupai melompat nampaknya dapat dicirii oleh jejak atau trajektori-
nya. Meskipun demikian, posisi dan kecepatan definit pada satiap
saat hanyalah merupakan ciri bagi suatu model. Dengan kata lain,
posisi dan kecepatan selalu ditentukan secara observasional hanya
dalam makna yang kasar.
Alam makro yang pemeriannya cukup menggunakan teori klasik
mempunyai ciri:
pengukuran yang pasti dan teliti itu tidak akan mengganggu kea-
daan atau sifat sistem dalam proses pengukurannya.
Benda hitam adalah benda yang secara teori menyerap radiasi se-
mua panjang gelombang yang mengenainya. Pada suhu normal, tak
ada cahaya yang dipantulkan, sehingga muncul istilah hitam. Mes-
kipun demikian, layaknya gas ideal di dalam teori kinetika, benda
hitam adalah model teoretis; kenyataannya kita hanyalah menemui
benda hitam yang hampir sempurna.
Berdasarkan teori Prévost, penyerap radiasi terbaik (benda hi-
tam) adalah juga pemancar radiasi terbaik. Radiasi yang dipan-
carkan oleh benda hitam itulah yang disebut dengan radiasi benda
hitam, atau disebut juga sebagai radiasi penuh atau radiasi suhu.
Penamaan yang terakhir didasarkan pada kenyataan bahwa inten-
sitas panjang gelombang yang beragam bagi radiasi yang dipan-
carkan oleh benda hitam hanya bergantung pada suhunya. Radiasi
itu umumnya terdiri dari infra-merah, cahaya tampak dan ultra-
ungu yang semuanya menghasilkan pengaruh panas.
Sangat mungkin untuk membuat model sederhana sebuah benda
hitam yang terdiri dari radiator berongga yang mengandung mate-
rial penyerap dan lubang cukup kecil sehingga radiasi yang masuk
ke dalam rongga terpantul-pantul di dalamnya sampai akhirnya
ν2
u = 8π kT . (2.1)
c3
Dari Pers.(2.1), fluks energi w yang melalui lubang di sisi kotak,
dalam satuan energi tiap detik tiap satuan luasan lubang dan satuan
jangkau frekuensi, diberikan oleh
ν2
w = 2π kT. (2.2)
c2
8πhν3 1
u= 3 −hν/kT
(2.4)
c e −1
dan
2πhν3 1
w= 2 −hν/kT
. (2.5)
c e −1
Ungkapan untuk laju radiasi di atas (Pers.(2.5)) dikenal sebagai hu-
kum Planck, yang berhubungan dengan hukum Rayleigh-Jeans me-
lalui kaitan
hν/kT
wP = wR-J × −hν/kT . (2.6)
e −1
Perlu dicatat bahwa untuk temperatur tinggi dan atau frekuensi
rendah, kedua laju radiasi menjadi sama. Kedua hukum tersebut
diilustrasikan pada Gambar 2.1.
Data percobaan lain yang tidak tepat dari sudut pandang klasik ada-
lah gejala fotolistrik. Pada tahun 1887, Franck Hertz, terkait dengan
percobaan generasi gelombang elektromagnet, telah menemukan ke-
nyataan bahwa elektron dapat terlempar ke luar dari padatan akibat
radiasi yang jatuh pada padatan itu. Lenard dan lainnya mendapat-
kan bahwa energi maksimum bagi fotoelektron (elektron yang keluar
dari padatan itu) hanya tergantung pada frekuensi cahaya yang jatuh
pada permukaan, dan tidak tergantung pada intensitasnya. Radiasi
cahaya yang berfrekuensi lebih tinggi (berpanjang gelombang lebih
pendek) akan memberikan energi maksimum yang lebih besar bagi
fotoelektron dibandingkan dengan radiasi yang berfrekuensi lebih
rendah (berpanjang gelombang lebih panjang). Di sisi lain, berkas
cahaya yang lebih kuat (intenstasnya lebih besar) menghasilkan fo-
toelektron lebih banyak daripada berkas yang lemah (intensitasnya
lebih kecil) yang berfrekuensi sama, tetapi energi elektron rerata te-
tap sama saja. Hasil pengamatan tersebut tidak dapat ditafsirkan
secara sederhana dan dimengerti begitu saja dengan menggunakan
teori elektromagnet yang terkait dengan cahaya pada saat itu.
Pada tahun 1905, Albert Einstein berusaha menjelaskan gejala
fotolistrik dengan mengadopsi gagasan Planck. Dia menganggap
bahwa radiasi ada dalam bentuk kuanta bagi ukuran tertentu, yaitu
bahwa cahaya terdiri dari paket-paket energi berukuran hν. Dia juga
menganggap bahwa ketika cahaya jatuh pada permukaan, elektron
individual dalam padatan dapat menyerap kuanta energi itu. Ka-
rena itu, energi yang diterima oleh elektron hanya tergantung pada
frekuensi cahaya dan tak tergantung pada intensitasnya. Intensitas
hanya menentukan berapa banyak fotoelektron akan meninggalkan
permukaan tiap detik. Secara kuantitatif, anggapan Einstein tersebut
ternyata cocok dengan hasil percobaan gejala fotolistrik.
Perlu ditekankan di sini bahwa konsep pengkuantuman energi
yang dikemukakan oleh Einstein terkait tafsiran teoretis gejala foto-
listrik merupakan gugatan yang cukup serius terhadap kemapanan
seperti pada kasus tumbukan elastik klasik antara dua objek bak-
bola billiard, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.2
Dengan model ini, untuk sudut hamburan tertentu, kita dapat
menghitung kehilangan energi sinar-X yang dihamburkan dan per-
geseran frekuensi hamburannya.
2a sin θ
λ= . (2.10)
n
Pola interferensi yang teramati di dalam hamburan elektron oleh
Davisson dan Germer dapat dihubungkan dengan rumusan di atas.
Untuk mendapatkan gagasan dasar bagi jenis energi yang di-
perlukan untuk percobaan difraksi, perlu dicatat bahwa spasi kris-
tal berorde angstroms. Tetapan kisi di dalam percobaan Davisson-
Germer, yang menggunakan nikel, adalah a = 2, 15 Å. Jadi λ berorde
10−10 m, sehingga p = h/λ ≈ 6, 6 × 10−24 kg m/s. Karena itu untuk
elektron, energi kinetinya adalah
2
p2 6, 6 × 10−24
= ≈ 2, 4 × 10−17 J,
2me 2 × 9, 1 × 10−31
(a)
(b)
kaitan
E − E0 = hν . (2.11)
Dengan memperkenalkan gagasan tersebut menjadi sebuah model
sederhana bagi sistem satu eletron, atom hidrogen, Bohr telah dapat
menghitung keteraturan yang sangat panjang di dalam spektrum
garis cahaya yang diemisikan oleh atom hidrogen yang tereksitasi.
Bohr membuat asumsi tambahan bahwa pengkuantuman energi
pada awalnya adalah sebuah kedeskritan momentum sudut orbital
elektron. Untuk melihat hubungan itu, ditinjau orbit sirkular klasik
elektron bermuatan −e dan bermassa me di sekitar inti tetap bermu-
atan +e. Penerapan hukum gerak Newton untuk gaya Coulomb dan
percepatan radial menghasilkan kaitan
e2 me v2
= . (2.12)
r2 r
Sebagaimana anggapan Bohr di atas, momentum sudut orbital ter-
kuantumkan:
me vr = n~ , (n = 1, 2, 3, . . .) (2.13)
dengan ~ = h/2π dan n adalah bilangan bulat positif yang lebih besar
daripada nol. Dengan menggunakan Pers.(2.13) untuk mengelimi-
nasi v dan r dari ungkapan energi sistem memberikan energi yang
mungkin untuk atom hidrogen, yaitu
1 e2 1 1
En = me v2 − = − me c2 α2 2 , (2.14)
2 r 2 n
dengan
e2 1
α≡ ≈ (2.15)
~c 137
yang merupakan bilangan tak berdimensi dan disebut sebagai te-
tapan struktur-halus (fine-structure constant). Jadi energi ikat atom
hidrogen berkisar 1/40.000 energi diam elektron me c2 . Tanda negatif
pada kaitan energi terkait dengan keterikatan elektron oleh atom,
dan harus dilakukan usaha untuk dapat membebaskannya dari ika-
tan inti atom.
dengan
1h i
Ar = 2A cos (k1 − k2 )x − (ω1 − ω2 )t (2.18)
2
dan k0 = (k1 + k2 )/2, ω0 = (ω1 + ω2 )/2. Grafik (skematis) superposisi
dua gelombang di atas ditunjukkan oleh Gambar 2.6.
Gambar 2.6: Superposisi dua gelombang yang bilangan dan frekuensi ge-
lombangnya hampir sama
Contoh 2.1
Secara umum, untuk kasus yang tak gayut waktu, kaitan (2.20)
dapat dinyatakan dalam bentuk eksponensial kompleks
Z ∞
f (x) = g(k) eikx dk (2.21)
−∞
Gambar 2.7: Paket gelombang f (x) yang dibentuk dari paket gelombang
Gauss (dengan agihan amplitudo A(k) = e−(k−k0 ) /2(∆k) ) melalui integral
2 2
Fourier
Gambar 2.8: Kaitan antara g(k) dan f (x) melalui alihbentuk Fourier
Contoh 2.2
Contoh 2.3
Grafik kedua fungsi di atas (g(k) dan f (x)) diberikan oleh Gam-
bar 2.10.
Kuadrat mutlak dari f (x) merupakan rapat kebolehjadian
agihan gelombang di dalam ruang-x, dan diberikan oleh
2π −x2 /a2
| f (x)|2 = e , (C2.3-3)
a2
1 2 2
Gambar 2.10: a) Fungsi Gauss g(k) = e− 2 a k dengan −∞ < k < ∞ . b)
Alihbentuk Fourier dari g(k) di dalam ruang-x
∂2 f
!
dω
0 = vg − . (2.29)
dk k=k0 ∂x2 x=X(t)
Hasil akhir Pers.(2.29) diperoleh dari kenyataan bahwa ∂ f /∂x =
x=X(t)
0 (Pers.(2.26)), sedangkan ∂2 f /∂x2 , 0 (menunjukkan orientasi
x=X(t)
titik ekstrim; maksimum atau minimum). Karena itu
dω
vg = (2.30)
dk k=k0
yang merupakan kecepatan grup bagi paket gelombang.
∆x ∼ λ/ sin φ (2.33)
hν
∆p ∼ 2 sin φ. (2.34)
c
Dengan demikian, dari Pers.(2.33) dan (2.34) diperoleh
hν λ
∆p ∆x ∼ 2 sin φ ∼ 4π ~, (2.35)
c sin φ
Soal Latihan 2
1. Sesuai dengan kenyataan sehari-hari, energi yang dipancarkan oleh
benda akan bertambah besar jika suhunya bertambah. Tunjukkan
bahwa pernyataan itu sesuai dengan rumus empiris Stefan.
2. Lampu neon memancarkan gelombang 4500 Å dengan daya lampu
1500 watt. Hitung banyaknya foton yang dipancarkan tiap detik jika
hanya 8% daya yang bersesuaian dengan panjang gelombangnya.
1
Meskipun demikian, pada kajian lebih lanjut dan mendasar, persoalan ini masih
menyisakan ganjalan teoretis yang cukup serius menyangkut kesejatian ketakpas-
tian waktu
12. Terkait dengan tegangan permukaan gelombang pada air yang dang-
kal, hubungan antara frekuensi dan panjang gelombangnya dibe-
rikan oleh s
2πT
ν=
ρ λ3
Persamaan Schrödinger
Keadaan Tunak dan Masalah Swanilai
∂ψ(x, t)
Z ∞
E i(px−Et)/~
= N ϕ(p) −i e dp
∂t −∞ ~
Z ∞
i
= − N ϕ(p) p2 ei(px−Et)/~ dp. (3.3)
2m~ −∞
∂2 ψ(x, t) N ∞
Z
=− 2 ϕ(p) p2 ei(px−Et)/~ dp. (3.4)
∂x2 ~ −∞
Dari Pers.(3.3) dan (3.4) diperoleh hubungan
∂ψ(x, t) ~2 ∂2 ψ(x, t)
i~ =− . (3.5)
∂t 2m ∂x2
Pers.(3.5) adalah persamaan gerak kuantum untuk zarah bebas da-
lam satu dimensi dengan ψ(x, t) diberikan oleh Pers.(3.2).
1 2
E= px + p2y + p2z . (3.6)
2m
Dengan demikian, kita dapat menyatakan Pers.(3.5) dalam ruang
berdimensi-3 sebagai
∂ψ(~r, t) ~2 ∂2 ∂2 ∂2 ~2 2
!
i~ =− + + ψ(~
r , t) = − ∇ ψ(~r, t), (3.7)
∂t 2m ∂x2 ∂y2 ∂z2 2m
dengan
Z Z Z ∞
ψ ≡ ψ(~r, t) = N ϕ(~
p) ei(~p·~r−Et)/~ dpx dp y dpz , (3.8)
−∞
dengan N = (2π~)−3/2 .
Dengan membandingkan Pers.(3.6) dan (3.7) dapat dilihat ada-
nya kesepadanan antara energi E, momentum ~ p dan operator dife-
rensial
∂
E −→ i~ ; ~ p −→ −i~ ∇. (3.9)
∂t
Operator di atas bekerja pada fungsi gelombang ψ(~r, t). Bentuk ke-
sepadanan itu nantinya digunakan untuk membangun persamaan
gerak kuantum dari bentuk energi klasik.
~ = −∇V(~r, t).
F (3.10)
~
p·~
p
E= + V(~r, t). (3.11)
2m
∂ ~2 2
!
i~ ψ(~r, t) = − ∇ + V(~r, t) ψ(~r, t), (3.13)
∂t 2m
yang dikenal sebagai persamaan gelombang Schrödinger untuk za-
rah di dalam potensial V(~r, t). Jika diperkenalkan operator baru
Ĥ(~r, ~
p, t), maka Pers.(3.13) tersederhanakan menjadi
∂
i~ ψ(~r, t) = Ĥ ψ(~r, t) (3.14)
∂t
dengan
~2 2
Ĥ = − ∇ + V(~r, t) (3.15)
2m
adalah operator Hamilton yang bekerja pada ψ(~r, t). Perlu dicatat
bahwa ungkapan gelombang sebagaimana diberikan oleh Pers.(3.2)
juga dapat dibuktikan merupakan penyelesaian bagi Pers.(3.13).
Dari Pers.(3.13) jelas terlihat bahwa persoalan yang terkait de-
ngan persamaan Schrödinger secara efektif ditentukan oleh po-
tensial sistem (V), karena operator (−~2 /2m)∇2 (operator energi
kinetik) dan i~ ∂/∂t (operator energi total) sudah baku. Dengan
kata lain, jika kita mengatakan bahwa persamaan Schrödinger ada-
lah suatu mesin proses yang penyelesaiannya (utamanya penyele-
sain khususnya) merupakan luarannya (output-nya), maka potensial
sitem dapat dianggap sebagai masukannya (input-nya). Lebih jauh
lagi, bentuk potensial sistem juga menentukan pilihan sistem koor-
dinat bagi penyelesaian persamaan Schrödinger.
∂P i~
= ∇ · ψ∗ (∇ψ) − (∇ψ∗ )ψ
∂t 2m
atau
∂ i~
|ψ|2 − ∇ · ψ∗ (∇ψ) − (∇ψ∗ )ψ = 0.
(3.19)
∂t 2m
Pers.(3.19) dapat dinyatakan dalam persamaan kemalaran
∂P ~=0
+∇·S (3.20)
∂t
dengan P diberikan oleh Pers.(3.16) sedangkan fluks atau rapat arus
~ diberikan oleh
kebolehjadian S
∂ ∂
Z Z
2
|ψ| dV ≡ |ψ|2 dV = 0. (3.22)
∂t V V ∂t
∂
Z Z Z
P dV = − ~
∇ · S dV = ~ · n dσ = 0,
S (3.23)
∂t V V σ
yang berarti tidak ada arus kebolehjadian yang keluar maupun ma-
suk melalui permukaan ruang.
N1 x1 + N2 x2 + N3 x3 + · · ·
P
Ni xi
x= = P . (3.24)
N1 + N2 + N3 + · · · Ni
R
Jika ψ ternormalkan maka |ψ|2 dx = 1, sehingga
Z ∞
hxi = x |ψ|2 dx (3.27)
−∞
∂ψ∗ ∗ ∂x̂ ∗ ∂ψ
Z Z Z !
d
hpx i = m hxi = m x̂ψdx + ψ ψdx + ψ x̂ dx .
dt ∂t ∂t ∂t
(3.32)
Karena x̂ tak gayut secara tersurat (eksplisit) terhadap t, maka
∂x̂/∂t = 0. Di samping itu, dengan memperhatikan persamaan Schrö-
dinger (Pers.(3.5)) dan sekawan kompleksnya untuk zarah bebas
yang dapat dituliskan sebagai
∂ψ ~ ∂2 ψ ∂ψ∗ ~ ∂2 ψ∗
m =− dan m = ,
∂t 2i ∂x2 ∂t 2i ∂x2
Pers.(3.32) menjadi
∂2 ψ∗ ∂2 ψ
Z !
~
hpx i = x̂ ψ − ψ x̂
∗
dx. (3.33)
2i ∂x2 ∂x2
Sementara itu,
∂ψ∗ ∂ ∗ ∂ψ
ψ= (ψ ψ) − ψ∗
∂x ∂x ∂x
dan
∂ψ∗ ∂ψ ∂ ∗ ∂ψ ∂ψ ∂2 ψ
!
x̂ = ψ x̂ − ψ∗ − ψ∗ x̂ 2 ,
∂x ∂x ∂x ∂x ∂x ∂x
sehingga
∂2 ψ∗ ∂ ∂ψ∗ ∂ ∗ ∗ ∂ψ ∂ ∗ ∂ψ
! !
(x̂ψ) = x̂ψ − (ψ ψ) + ψ − ψ x̂
∂x2 ∂x ∂x ∂x ∂x ∂x ∂x
∗ ∂ψ ∂2 ψ
+ψ + ψ x̂ 2 .
∗
∂x ∂x
∂ ∂ψ∗ ∂ ∗ ∗ ∂ψ ∂ ∗ ∂ψ
Z ( ! !)
~
hpx i = x̂ψ − (ψ ψ) + 2ψ − ψ x̂ dx
2i ∂x ∂x ∂x ∂x ∂x ∂x
∂ ∂ψ∗ ∗ ∂ψ ∂ψ
(Z ! Z )
~
= x̂ψ − ψ x̂ − ψ ψ dx +
∗
2ψ∗ dx .
2i ∂x ∂x ∂x ∂x
(3.34)
∗ ~ ∂ ∂
Z ! Z !
hpx i = ψ ψ dx atau hpx i = ψ −i~
∗
ψ dx. (3.35)
i ∂x ∂x
∂
Z !
h f (px )i = ψ f −i~
∗
ψ dx. (3.37)
∂x
∂ψ ~2 ∂2 ψ
i~ =− + Vψ.
∂t 2m ∂x2
Jika ψ merupakan fungsi malar bagi x untuk semua waktu t maka
∂ψ/∂t juga merupakan fungsi malar bagi x. Karena itu, berdasarkan
asas simetri, ruas kanan persamaan di atas harus malar. Ketakma-
laran salah satu suku ruas kanan akan dilenyapkan oleh perilaku
berlawanan dari suku lainnya. Misalnya, jika potensial V (dan tentu
saja Vψ) mempunyai ketakmalaran berhingga di titik x = a, maka
∂2 ψ/∂x2 juga mempunyai ketakmalaran berhingga di x = a. Hal ini
berarti ∂ψ/∂x harus malar di a tetapi kemiringannya, yakni ∂2 ψ/∂x2
di sebelah kiri a tidak sama dengan kemiringannya di sebelah kanan
a.
∂ψ(x, t) ~2 ∂2 ψ(x, t)
i~ =− + V(x) ψ(x, t) (3.40)
∂t 2m ∂x2
Persamaan di atas dapat diselesaikan dengan mengurai ψ(x, t) men-
jadi perkalian dua fungsi yang masing-masing hanya gayut pada
satu peubah bebas (model pemisahan peubah),
~2 d2 ϕ(x)
!
dτ(t)
i~ ϕ(x) = − + V(x) ϕ(x) τ(t)
dt 2m dx2
atau
~2 d2 ϕ(x)
!
i~ dτ(t) 1
= − + V(x) ϕ(x) . (3.42)
τ(t) dt ϕ(x) 2m dx2
Terlihat bahwa ruas kiri persamaan di atas hanya gayut pada t saja,
sedangkan ruas kanannya gayut pada x saja. Karena itu, kita dapat
menyamakan kedua ruas persamaan itu dengan suatu tetapan yang
sama, misalkan E. Dengan demikian dapat diperoleh dua persamaan
yang masing-masing hanya mengandung satu peubah bebas, yaitu
dτ(t)
i~ = E τ(t) (3.43)
dt
dan
~2 d2
!
− + V(x) ϕ(x) = E ϕ(x). (3.44)
2m dx2
yang jelas-jelas tak gayut waktu t. Secara sama nilai harap juga tak
gayut waktu. Dengan kata lain, persamaan gelombang yang dinyata-
kan oleh Pers.(3.45) menggambarkan “keadaan tunak” karena tidak
ada sifat zarah yang berubah terhadap waktu. Sedangkan Pers.(3.44)
disebut sebagai “persamaan Schrödinger tak gayut waktu”.
Perluasan persamaan Schrödinger tak gayut waktu dalam 3-
dimensi memberikan
~2 2
!
− ∇ + V(~r ) ϕE (~r ) = E ϕE (~r ) (3.47)
2m
sehingga penyelesaian fungsi gelombang pada Pers.(3.45) menjadi
Dalam fasal ini akan dibahas lebih lanjut mengenai swanilai melalui
contoh konkret berupa sistem zarah yang terkurung di dalam kotak
potensial berdimensi-1.
Ditinjau kotak potensial berdimensi-1 yang panjangnya 2a, se-
bagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.1. Potensial sistem sama
dengan nol di dalam kotak, dan tak terhingga di tempat lain.
dengan
2mE
k2 = . (3.55)
~2
Selanjutnya, kita akan menyelidiki kemungkinan penyelesaian
untuk E < 0. Pada keadaan ini, k2 pada Pers.(3.55) bernilai negatif
yang menyebabkan k bernilai imajiner (mengandung faktor i). Ka-
rena itu penyelesaian (3.54) tidak lagi berbentuk persamaan harmo-
nik, melainkan menjadi persamaan hiperbolik yang nilainya menuju
ke tak terhingga ketika x menuju −∞ atau ∞. Dengan demikian jelas
bahwa, berdasarkan syarat kesantunan fungsi gelombang, penyele-
saian untuk E < 0 bukanlah penyelesaian yang kita harapkan.
Untuk penyelesaian energi positif (E > 0), lebih mudah jika kita
menuliskan Pers.(3.54) dalam bentuk
2B sin ka = 0 . (3.60)
(−) nπ
ϕEn (x) = B0 sin x. (3.64)
a
Syarat penormalan bagi fungsi di atas, yaitu
Z a Z a
(−) 2 nπ
ϕn (x) dx = B0 2 sin2 x dx = 1
−a −a a
√
menghasilkan nilai B0 = 1/ a, sehingga Pers.(3.64) menjadi
(−) 1 nπ
ϕEn (x) = √ sin x. (3.65)
a a
2A cos ka = 0 (3.66)
1
ka = n − π dengan n = 1, 2, 3, . . . . (3.67)
2
(+) π2 ~2
E1 = energi keadaan dasar (3.71)
8ma2
π2 ~2 π2 ~2
!
(−) (+)
E1 = =4 = 4 E1 , (3.72)
2ma2 8ma2
1 1
(+)
ϕE (x) = √ cos πx keadaan dasar (3.74a)
1
a 2a
1 1
(−)
ϕE (x) = √ sin πx tereksitasi I (3.74b)
1
a a
1 3
(+)
ϕE (x) = √ cos πx tereksitasi II (3.74c)
2
a 2a
1 2
(−)
ϕE (x) = √ sin πx tereksitasi III . (3.74d)
2
a a
Contoh 3.1
(a) (b)
Contoh 3.2
ϕE (L) = B sin kL = 0
dipenuhi jika
nπ
kL = nπ atau k = , dengan n = 1, 2, 3, . . . . (C3.2-2)
L
Dari Pers.(C3.2-2) dan kenyataan bahwa k2 = 2mE/~2 diperoleh
tingkat energi sistem
n2 π2 ~2
En = dengan n = 1, 2, 3, . . . , (C3.2-3)
2mL2
dan swafungsi pada Pers.(C3.2-1) (ditambah syarat penor-
√
malan yang menghasilkan B = 2/L) menjadi
r
2 nπ
ϕEn (x) = sin x dengan n = 1, 2, 3, . . . . (C3.2-4)
L L
Dengan demikian, swanilai energi dan swafungsi untuk kea-
daan dasar diberikan oleh
r
π2 ~2 2 π
E1 = dan ϕE1 (x) = sin x , (C3.2-5)
2mL2 L L
sedangkan untuk keadaan eksitasi pertama dan seterusnya
diberikan oleh:
q
E2 = 4E1 L x,
dan ϕE2 (x) = L2 sin 2π
q
E3 = 9E1 dan ϕE3 (x) = L2 sin 3π
L x,
.. (C3.2-6)
.
q
En = n2 E1 dan ϕEn (x) = L2 sin nπL x.
Soal Latihan 3
1. Fungsi gelombang zarah bebas berdimensi-3 diberikan oleh
Z ∞
ψ(~r , t) = (2π~)−3/2 p ) ei(~p ·~r −Et)/~ d3 ~
ϕ(~ p .
−∞
α
1/4
e−αx /2 .
2
ψ(x) =
π
Tentukan:
Beberapa Model
Potensial Sederhana
1
konstanta pada kedua persamaan dalam Pers.(4.2) tidak sama, dan memenuhi
kaitan C0+ = C+ + C− , C0− = i(C+ − C− ) atau C+ = 12 (C0+ − iC0− ) dan C− = 12 (C0+ + iC0− ).
2
Nilai energi dan potensial negatif sebenarnya hanya menunjukkan bahwa
energi dan potensial tersebut adalah energi dan potensial ikat; serupa dengan gaya
negatif atau gaya tarik benda A oleh benda B, yang arahnya berlawanan dengan
arah gaya sumbernya (benda B).
Gambar 4.1: Potensial undak 1-dimensi. Zarah bergerak dari kiri ke kanan
iκ + q −iκx
!
ϕ1 (x) = A1 e +
iκx
e untuk x < 0 (4.14)
iκ − q
dan
2iκ
ϕ2 (x) = A1 e−qx untuk x > 0. (4.15)
iκ − q
Secara grafis, kedua hasil di atas diberikan oleh Gambar 4.2.
iκ + q
2
|B1 | =
2
A1 = |A1 |2 , (4.16)
iκ − q
3
Keadaan yang demikian benar-benar berbeda dengan sistem potensial klasik.
Karena zarah hanya datang dari kiri maka tidak ada fungsi gelom-
bang yang merambat ke kiri di daerah x > 0. Karena itu B2 ha-
rus sama dengan nol. Dengan demikian Pers.(4.20) tersederhanakan
menjadi
ϕ2 (x) = A2 eiqx . (4.21)
Dengan demikian
κ − q −iκx
!
ϕ1 (x) = A1 e iκx
+ e (untuk daerah-1) (4.24)
κ+q
dan
2κ
ϕ2 (x) = A1 eiqx (untuk daerah-2). (4.25)
κ+q
Kenyataan bahwa B1 , 0 menyatakan bahwa ada fungsi gelombang
yang dipantulkan meskipun E > V0 ; berbeda dengan tinjauan fi-
sika klasik yang menyatakan bahwa semua fungsi gelombang akan
diteruskan jika E > V0 .
Jika yang ditinjau adalah sistem banyak zarah dengan fungsi ge-
lombang serupa maka intensitas berkas zarah dicirikan oleh jumlah
zarah tiap satuan volume (diberikan oleh kuadrat mutlak ampli-
tudo). Dengan demikian, fluks berkas zarah atau rapat arus zarah
dan
(~q/m) |A2 |2
2
v2 |A2 |2 q
2κ 4κq
T = = = κ + q = (κ + q)2 . (4.29)
v1 |A1 |2 (~κ/m) |A1 |2 κ
dengan
2mE 2m
k12 = k32 = dan k22 = (E + V0 ) (4.34)
~2 ~2
Dengan memperhatikan bentuk penyelesaian umum dan kondisi
batas yang ada, terdapat dua jenis penyelesaian yang terkait dengan
energi negatif E < 0 dan energi positif E > 0; berbagai bentuk itu
bergantung pada keadaan terikat bagi sistem.
dan
ϕ3 (x) = A3 eκx + B3 e−κx . (4.37)
akan memberikan
Ke-dua, kemalaran di x = a,
d d
ϕ2 (x) = ϕ3 (x) dan ϕ2 (x) = ϕ3 (x) (4.43)
x=a x=a dx dx
x=a x=a
akan memberikan
κ = γ tan(γa) (4.46)
atau
(A1 − B3 ) cos2 (γa) + sin2 (γa) = 0
(A1 − B3 ) = 0
A1 = B3 . (4.48)
κ = −γ cot(γa) . (4.50)
tanda modulus muncul karena ruas kiri persamaan itu adalah be-
saran positif. Dengan cara yang sama, untuk penyelesaian jenis ke-
dua yang diberikan oleh Pers.(4.50) dan dengan Pers.(4.52) diperoleh
π π
(2r − 1) 6 γa 6 2r dengan r = 1, 2, 3, . . . (4.55)
2 2
dan r
∆
γa = | sin(γa)| . (4.56)
V0
Dari Pers.(4.54) dan (4.56) tersirat bahwa hanya nilai γ diskret ter-
tentu yang memenuhi. Nilai itu dapat diperoleh melalui pendekatan
grafik sebagaimana yang diberikan oleh Gambar 4.5.
Berbagai
√ nilai khusus qn ditentukan oleh perpotongan garis lu-
rus ∆/V0 γa dengan kurva | cos(γa)| dan | sin(γa)|. Jika perpotongan
terjadi pada γ = γn dengan n = 0, 1, 2, . . . maka energi yang diperbo-
lehkan adalah
~2 2 (γn a)2 ∆
!
En = γ − V0 = − 1 V0 , (4.57)
2m n V0
√
dan berhingga. Jika ∆/V0 γa telah mendekati atau √ mencapai nilai
1 (titik perpotongan yang terakhir antara garis ∆/V0 γa dengan
kurva | cos(γa)| atau | sin(γa)|) untuk sebuah nilai γa dalam selang
1 1
πN 6 γa < π(N + 1) ,
2 2
atau jika r
2 V0
N6 <N+1. (4.58)
π ∆
Dengan demikian, sedikitnya ada satu keadaan terikat untuk se-
dangkal apapun sumur potensial.
Gejala Penerobosan
Karena pada daerah-3 tidak ada zarah yang bergerak ke kiri, maka
B3 harus sama dengan nol, sehingga Pers.(4.70c) tersederhanakan
menjadi
ϕ3 (x) = A3 eiκx . (4.71)
yang menghasilkan
B1 −i κ2 + q2 e−2iκa sinh(2qa)
= . (4.73)
A1 −i κ2 − q2 sinh(2qa) + 2qκ cosh(2qa)
yang menghasilkan
B2 q − iκ 2qa
= e . (4.74)
A2 q + iκ
Selanjutnya, nisbah A3 /A1 dapat ditentukan dengan terlebih dahulu
mencari nisbah A3 /A2 dan A2 /A1 ; sehingga A3 /A1 = (A3 /A2 )(A2 /A1 ).
Dari sejumlah penurunan sederhana diperoleh
A3 2q (q−iκ)a
= e (4.75)
A2 q + iκ
dan
A2 −i κ2 + q2 e−2iκa sinh(2qa)
= e−iκa + . (4.76)
−i κ2 − q2 sinh(2γa) + 2qκ cosh(2qa)
A1
A3 2qκ e−2iκa
= (4.77)
A1 −i κ2 − q2 sinh(2qa) + 2qκ cosh(2qa)
|E − V0 | E ~2
(qa)2 = dan (κa)2 = dengan ∆ = . (4.80)
∆ ∆ 2ma2
Penyulihan persamaan di atas ke Pers.(4.78) menghasilkan
V02 −1
p
2
T = 1 +
sinh 2 |E − V0 |/∆ (4.81)
4 E |E − V0 |
16 |E − V0 | E −4 √|E−V0 |/∆
T = e . (4.82)
V02
tulan
B1 −i κ2 + (iq)2 e−2iκa sinh(2iqa)
=
−i κ2 − (iq)2 sinh(2iqa) + 2iqκ cosh(2iqa)
A1
κ2 − q2 e−2iκa sin(2qa)
= , (4.85)
κ2 + q2 sin(2qa) + 2qκ cos(2qa)
~2 d2
!
1
− + mωc x ϕ(x) = Eϕ(x) .
2 2
(4.89)
2m dx2 2
d2 ϕ(ξ)
+ λ − ξ2
ϕ(ξ) = 0 (4.92)
dξ2
dengan
2E 2mE
λ= = 2 2 . (4.93)
~ωc ~ α
d2 ϕ(ξ)
+ 1 − ξ2
ϕ(ξ) = 0 . (4.94)
dξ2
ϕ(ξ) = e− 2 ξ H(ξ)
1 2
(4.95)
dengan H(ξ) adalah fungsi sebarang dan akan ditentukan kemu-
dian. Selanjutnya, pendiferensialan dua kali Pers.(4.95) terhadap ξ
menghasilkan
d2 − 1 ξ2 dH(ξ) d2 H(ξ)
!
− 21 ξ2
e 2 H(ξ) = e −H(ξ) + ξ H(ξ) − 2ξ
2
+ .
dξ2 dξ dξ2
(4.96)
Penyulihan Pers.(4.96) dan (4.95) ke Pers.(4.92) menghasilkan bentuk
persamaan diferensial
d2 H(ξ) dH(ξ)
2
− 2ξ + (λ − 1)H(ξ) = 0 . (4.97)
dξ dξ
Pers.(4.97) merupakan persamaan diferensial orde-2 yang pe-
nyelesaianya dapat dicari dengan menggunakan metode deret Fro-
benius. Misalkan, jika penyelesaian dalam bentuk deret bagi persa-
maan itu berbentuk
∞
X
H(ξ) = ar ξs+r (4.98)
r=0
maka kita dapat menuliskan persamaan diferensial (4.97) dalam ben-
tuk
X∞ ∞
X ∞
X
(s + r)(s + r − 1)ar ξ s+r−2
−2 ar ξ + (λ − 1)
s+r
ar ξs+r = 0
r=0 r=0 r=0
s(s − 1)a0 ξ + (s + 1) sa1 ξ +
s−2 s−1
∞
X ∞
X ∞
X
(s + r)(s + r − 1)ar ξs+r−2
−2 ar ξ + (λ − 1)
s+r
ar ξs+r = 0
r=2 r=0 r=0
s(s − 1)a0 ξ + (s + 1) sa1 ξ +
s−2 s−1
∞
X
(s + r + 2)(s + r + 1)ar+2 − (2s + 2r − λ + 1)ar ξs+r = 0. (4.99)
r=2
dengan
2r − (λ − 1)
ar+2 = ar . (4.102)
(r + 2)(r + 1)
Dari persamaan atau rumus rekursi (4.102) tampak bahwa a0 dan
a1 tertentu dapat membangkitkan deret genap dan gasal secara ter-
pisah. Di samping itu, dari hubungan tersebut dapat dilihat bahwa
untuk r besar (misal r > N) diperoleh
2
ar .
ar+2 ≈ (4.103)
r
Hal itu berarti bahwa penyelesaian hampiran untuk r besar (untuk
penyederhanaan, hanya diambil penyelesaian deret N genap; sesuai
dengan kenyataan keterpisahan antara deret genap dan gasal) adalah
H(ξ) = polinom dalam ξ +
22
!
2 N+2
aN ξ + ξ
N
+ z N+4
+ · · · . (4.104)
N N(N + 2)
Bagian deret persamaan di atas dapat ditulis sebagai
22
!
2 N+2 1
N − 1 ! ξ2 eξ ,
2
aN ξ + ξ
N
+ z N+4
+ · · · = aN
N N(N + 2) 2
(4.105)
H(ξ) ∼ ξ2 eξ .
2
(4.106)
ϕ(ξ) ∼ e− 2 ξ ξ2 eξ = ξ2 e 2 ξ
1 2 2 1 2
(4.107)
dengan
1
n jika n genap
N=
2 (4.113)
1
2 (n − 1) jika n gasal.
Penyelesaian baku diperoleh dengan memilih koefisien an = 2n , ka-
rena itu
N
X n!
Hn (ξ) = (−1)r (2ξ)n−2r (4.114)
r!(n − 2r)!
r=0
(Contoh polinom Hermit untuk beberapa nilai n diberikan di dalam
Tabel 4.1)
n Hn (ξ) n Hn (ξ)
0 1 3 8ξ3 − 12ξ
1 2ξ 4 16ξ4 − 48ξ2 + 12
2 4ξ2 − 2 5 32ξ5 − 160ξ3 + 120ξ
Soal Latihan 4
1. Buktikan Pers.(4.67) dan (4.92)
2. Berkas zarah dengan energi 5 eV bergerak ke arah sumbu-x positif.
Di x = 0 zarah itu dihadang oleh undak potensial 3 eV. Kecepatan
zarah ketika di x < 0 adalah 3 × 106 m/s.
(a) Tentukan Massa zarah.
(b) Tentukan kecepatan zarah di x > 0.
(c) Dapatkan fungsi gelombang zarah di x < 0 dan di x > 0.
(d) Tentukan fluks yang diteruskan ke kanan dan yang dipan-
tulkan ke kiri.
3. Elektron bergerak di dalam sumur potensial dengan kedalaman 20
eV. Energi tingkat dasar elektron ternyata mencapai −15 eV.
(a) Tentukan Lebar sumur (dalam Å).
(b) Tentukan jumlah tingkat energi diskret yang mungkin.
(c) Tentukan besar peluang untuk mendapatkan elektron keadaan
dasar di luar sumur.
4. Diberikan tanggul potensial dengan V = 0 untuk x < 0 dan x > a dan
V(x) = V0 untuk 0 6 x 6 a. Tunjukkan bahwa koefisien pemantulan
bagi zarah yang datang dari kanan tanggul sama dengan yang datang
dari kiri tanggul.
5. Berkas zarah berenergi E = 3 eV datang dari x = −∞ menuju ke
arah x positif. Pada x = −a zarah menemui dihadang oleh tanggul
potensial yang tingginya 7 eV dan lebar L = 2a.
(a) Tentukan lebar penghalang L agar masih tersisa 20 % dari jum-
lah zarah yang berhasil menembus tanggul potensial.
(b) Tentukan lebar minimum L agar jumlah zarah yang berhasil
menembus penghalang lebih kecil daripada 0,1 promil (perse-
ribu).
6. Diberikan persamaan gelombang Schrödinger pengayun selaras se-
perti pada Pers.(4.115). Hitunglah energi kinetik rerata untuk kea-
daan terendah (keadaan dasar)
7. Untuk pengayun selaras (berdimensi-1), tentukan peluang pene-
rusan dari keadaan-n ke keadaan-m, jika diketahui
2 2
/2 2 2
/2
ϕn (x) = Nn e−α x Hn (αx) dan ϕm (x) = Nm e−α x Hm (αx) ,
Rumusan Umum
Mekanika Kuantum
~ · B.
alih-alih hasil-kali skalar dua vektor biasa A ~ Di dalam penulisan
(ϕ, ψ), ϕ disebut sebagai prefaktor dan ψ sebagai postfaktor.
Sesuai dengan Pers.(5.1) dapat diturunkan
Z !∗ Z
(ψ, ϕ) =
∗
ψ (r) ϕ(r) dτ =
∗
ϕ∗ (r) ψ(r) dτ
yang berarti
(ϕ, ψ) = (ψ, ϕ)∗ . (5.2)
(Perlu dicatat bahwa urutan fungsi dalam tanda integral harus diper-
hatikan; fungsi yang bertanda “*” (sekawan kompleks) harus tetap
berada di depan (sebelum) fungsi tanpa “*”. Persoalan itu akan di-
bahas lebih lanjut dalam wakilan matriks bagi fungsi gelombang di
bab selanjutnya). Sementara itu “norma” ψ didefinisikan sebagai
Tanda “sama dengan” dipenuhi jika dan hanya jika vektor ψ adalah
vektor nol (ψ = 0). Perkalian dengan skalar pada fungsi memberikan
Z Z
(ϕ, cψ) = ϕ∗ (r) cψ(r) dτ = c ϕ∗ (r) ψ(r) dτ = c(ϕ, ψ) (5.4)
dan
Z Z
(cϕ, ψ) = (cϕ(r)) ψ(r) dτ = c
∗ ∗
ϕ∗ (r) ψ(r) dτ = c∗ (ϕ, ψ) (5.5)
Contoh 5.1
Contoh 5.2
 ψ(x) = eψ(x) .
Â(ψ1 (x)+ψ2 (x)) = eψ1 (x)+ψ2 (x) = eψ1 (x) eψ2 (x) , eψ1 (x) +eψ2 (x) ,
dψ(x)
B̂ ψ(x) = +c
dx
dengan c adalah tetapan. Karena
= 0 komutatif
[Â, B̂]
, 0 tidak komutatif (5.8)
yang berarti
[x̂i , p̂ j ] = −i~ δ̂i j (5.11)
Lebih umum lagi, jika tikalas α dan β melambangkan zarah ke-α dan
ke-β bagi sistem banyak zarah, maka
yaitu bahwa untuk nilai integral yang sama tidak ada perbedaan
antara  yang bekerja pada ψ dan † yang bekerja pada ϕ.
Selanjutnya, dari definisi (5.17) jelas bahwa
 ψa = a ψa (5.24)
Sedangkan jika terdapat lebih dari satu swafungsi untuk satu swani-
lai tertentu, maka sistem itu dikatakan “merosot” (degenerate system),
misalnya
 ϕa = a ϕa ,  ψa = a ψa ; dengan ϕa , ψa . (5.26)
atau Z
∗
(a − a ) ψ∗a ψa dτ = 0 (5.28)
R
Karena ψ∗a ψa dτ , 0, maka (a − a∗ ) = 0, atau a = a∗ , yang berarti
bahwa swanilai bagi operator hermitan adalah real.
Selanjutnya, jika  ψa = a ψa dan  ψa0 = a0 ψa0 maka ( Her-
mitan),
Z Z Z
ψa  ψa0 dτ = ( ψa ) ψa0 dτ → (a − a) ψ∗a ψa0 dτ = 0. (5.29)
∗ ∗ 0
0
RPers.(5.29) di atas menunjukkan bahwa untuk a , a berakibat
ψa ψa0 dτ = 0, yang berarti bahwa “dua swafungsi bagi operator
∗
0 untuk a , a0
δ(a, a ) =
0
1 untuk a = a0 .
(5.31)
(Pada langkah terakhir telah digunakan Âϕan = an ϕan , dan ϕan orto-
normal).
Hasil pengukuran observabel A adalah salah satu dari swanilai-
nya, dan |cn |2 , dengan Z
cn = ϕ∗an ψdτ (5.39)
 ϕa = a ϕa , B̂ ϕa = b ϕa . (5.40)
b12 + λ b22
λ=
b11 + λ b21
yang merupakan persamaan kuadratik sehingga memunculkan dua
nilai λ bersesuaian dengan swanilai b± . lebih tepat untuk melam-
bangkan swafungsi serentak bagi  dan B̂ di dalam Pers.(5.46) de-
(1) (2)
ngan ϕab dan ϕab . Karena itu, bersesuaian dengan swanilai yang
berbeda bagi B̂, swafungsi mereka akan saling ortogonal. Singkat-
nya, untuk kemerosotan lipat dua, swafungsi merosot bagi Â, jika
mereka saling ortogonal, akan secara otomatis juga swafungsi bagi
B̂.
Selanjutnya, jika masih ada beberapa kemerosotan, yaitu bahwa
ada beberapa swafungsi bagi  dan B̂ secara serentak dengan swani-
lai a dan b yang sama, maka harus ada operator ke-tiga, katakanlah
Ĉ, yang komut dengan  dan B̂, dan fungsi-fungsinya dapat di-
kombinasi ulang menjadi sejumlah swafungsi merosot bagi  dan
B̂. Himpunan operator yang saling berkomutasi Â, B̂.Ĉ, . . . , M̂, yang
himpunan fungsinya adalah himpunan swafungsi umum disebut
sebagai “himpunan operator komut”. Kita mempunyai
dan
 ϕab...m = a ϕab...m
B̂ ϕab...m = b ϕab...m (5.48)
..
.
M̂ ϕab...m = m ϕab...m .
1D E2
(∆A)2 (∆B)2 > − [Â, B̂] , (5.55)
4
yang memberikan pernyataan umum bagi “asas ketakpastian” un-
tuk pasangan observabel A dan B.
Jika  dan B̂ adalah pasangan sekawan kanonik bagi operator,
yang diciri oleh ketak-komutan di antara keduanya, yaitu
maka
1
(∆A)(∆B) > ~. (5.57)
2
Pada kasus yang melibatkan dua observabel rukun A dan B,
yaitu ketika kedua operator yang mewakilinya (Â dan B̂) komut,
ruas kanan Pers.(5.55) sama dengan nol. Dengan kata lain, ada suatu
keadaan yang A dan B keduanya mempunyai nilai presisi, yaitu juka
swakeadaan bagi  dan B̂ adalah swakeadaan serentak.
dΨ = K Ĥ dt Ψ , (5.58)
sehingga
Ψ0 = (Î + K Ĥ dt) Ψ , (5.59)
dengan Î adalah operator identitas yang bersifat Î Ψ = Ψ untuk
sembarang Ψ.
Pemilihan wakilan keadaan kuantum dilakukan sedemikian
hingga normanya tidak berubah (Ψ, Ψ) = (Ψ0 , Ψ0 ), yang bersama-
sama dengan sifat Hermitan yang dimiliki oleh Ĥ menyebabkan K
pada Pers.(5.59) bernilai imajiner, yaitu
K = −i ~ (5.60)
dengan
Û = Î − i~ Ĥ dt . (5.63)
Operator alih-bentuk Û mempunyai sifat uniter, yaitu
∂Â
* + Z ∗ Z
d 1 1
hAit = + Ĥ Ψ Â Ψ dτ + Ψ∗ Â Ĥ Ψ dτ.
dt ∂t t i~ i~
∂Â
* + Z
d i
hAit = + Ψ∗ (ĤÂ − ÂĤ) Ψ dτ
dt ∂t t ~
∂Â
* +
iD E
= + [Ĥ, Â] . (5.65)
∂t t ~ t
Dari Pers.(5.65) di atas jelas bahwa jika  secara tersurat tak gayut
waktu, maka suku pertama ruas kanan sama dengan nol, sehingga
perubahan nilai harap bagi observabel A terhadap waktu diberikan
oleh
d iD E
hAit = [Ĥ, Â] . (5.66)
dt ~ t
d
hAit = 0, atau hAit = konstan. (5.67)
dt
Jadi dapat disimpulkan bahwa:
d
x̂ = i~ . (5.74)
dpx
Soal Latihan 5
1. Tunjukkan, apakah operator berikut linear atau tidak linear
12. Jika ϕ1 (x) dan ϕ2 (x) adalah swafungsi merosot bagi Hamiltonn Ĥ =
p2x
2m + V(x), maka tunjukkan bahwa
Z
ϕ∗ (x) x̂ p̂x + p̂x x̂ ϕ(x) dx = 0
Teori Wakilan
dan Metode Operator
adalah “anak panah”, anak panah tetaplah anak panah yang tidak
berubah bentuknya hanya karena pandangan atau penglihatan kita
terhadapnya (merupakan kias mengenai ketakgayutan vektor pada
sistem koordinat). Meskipun demikian, penampakan dari wujud-
nya itu tidaklah sama jika kita melihatnya dari sudut pandang atau
arah pandang yang berbeda. Penampakan yang tergantung pada
sudut/arah pandang itulah yang dapat diandaikan sebagai kompo-
nen vektor arah pandang tertentu (merupakan kias dari kegayutan
komponen vektor pada pemilihan sistem koordinat).
Di dalam konteks mekanika kuantum, objek matematika abstrak
yang dikaitkan dengan besaran fisis, yaitu keadaan kuantum, ada-
lah vektor keadaan (state vector). Bentuk yang berbeda bagi fungsi
gelombang untuk keadaan yang diberikan adalah himpunan seder-
hana komponen vektor keadaan untuk sistem koordinat atau basis
di dalam ruang vektor keadaan.
Dalam notasi konvebsional, operasi perkalian skalar antara dua
vektor keadaan memperlihatkan sifat yang tak simetri, yaitu linear
terhadap postfaktor (ϕ, cψ) = c(ϕ, ψ) dan antilinear terhadap pre-
faktor (cϕ, ψ) = c∗ (ϕ, ψ). Hal itu terkesan seolah-olah suatu vektor
mempunyai sifat yang berbeda tergantung pada kedudukannya, ya-
itu sebagai prefaktor atau posfaktor dalam perkalian skalar.
Untuk mengatasi kejanggalan tersebut di atas, dikembangkan
pengertian ruang kembar (dual) terpisah bagi ruang Hilbert yang
ditinjau. Dengan demikian, secara formal, ruang Hilbert diperbesar
menjadi dua kalinya. Anggota dari masing-masing ruang kembar
itu tidak perlu lagi bersifat mendua (linear dan antilinear) dalam
operasi perkalian skalar. Pengertian beserta notasinya (demonstrasi
tersurat) mengenai hal itu dikembangkan oleh Dirac.
Bentuk perkalian skalar (X, ~ alih-alih (ϕ, ψ) pada Pers.(5.1), X
~ Y) ~
~ adalah posfaktor (postfa-
disebut sebagai prefaktor (prefactor) dan Y
ctor). Karena itu kita mempunyai ruang prefaktor dan ruang posfak-
tor. Sebuah vektor di dalam ruang prefaktor dinotasikan dengan bra,
h |, sedangkan vektor di dalam ruang posfaktor dinotasikan dengan
ket, | i. Gabungan kedua notasi itu disebut dengan notasi bra-ket
Dirac. Misalnya, vektor keadaan abstrak bagi fungsi gelombang di-
lambangkan dengan ket-vektor |ψi.
Di dalam (X, ~ X
~ Y), ~ dituliskan sebagai bra-vektor hX|, sedangkan
~ dituliskan sebagai ket-vektor |Yi. Sedangkan hasilkali antara X
Y ~ dan
~ (hasilkali Y
Y ~ oleh X)
~ dituliskan sebagai hX|Yi,
~ Y~ ≡ hX|Yi = hY|Xi∗ .
X, (6.1)
|Xi hX|
c|Xi hX|c∗
|Zi = |Xi + |Yi hY| + hX| = hZ|
|Yi = Â|Xi hX|¯ = hY|
karena itu himpunan |u1 i, |u2 i, . . . dapat dipilih sebagai basis atau
sistem koordinat untuk ruang Hilbert. Himpunan bilangan x1 , x2 , . . .
pada Pers.(6.3) adalah komponen ket-vektor |Xi dengan mengacu
pada basis tersebut, dan akan memberikan wakilan bagi |Xi.
Disisi lain, ruas kiri Pers.(6.5) juga dapat dituliskan dalam bentuk
∗ h i∗
hZ| Â|Xi ≡ Z, ÂX = † Z, X = X, † Z ≡ hX| † |Zi . (6.6)
Karena itu
¯ =  . (6.11)
sehingga
(α j − α∗i ) hui |u j i = 0 . (6.15)
Dari persamaan di atas jelas bahwa jika i = j maka αi = α∗i , karena
norma hui |ui i , 0. Hal itu berari swanilai bagi operator Hermitan Â
adalah real. Di sisi lain, jika α j , α∗i maka hui |u j i = 0, yang berarti ui
dan u j ortogonal; jika keduanya ternormalisasi maka
hui |u j i = δi j . (6.16)
Kerja operator uniter pada vektor keadaan |Xi tidak mengubah nor-
manya, karena norma dari Û|Xi adalah hX|Û† Û|Xi = hX|Xi. Secara
umum, hasilkali skalar antara Û|Yi dan Û|Xi akan tersusutkan men-
jadi hY|Xi untuk sebarang |Yi dan |Xi.
Jika  adalah operator Hermitang dan α adalah bilangan real
maka † −1
†
eiα = e(iαÂ) = e−iα = eiα , (6.27)
yang jelas menunjukkan bahwa eiα adalah uniter. Karena itu, ope-
rator uniter Û dapat dinyatakan dalam bentuk
Û = eiα . (6.28)
maka
zi = axi + byi . (6.32)
Dengan memperhatikan Pers.(6.32) dan (6.30) terkesan bahwa
di dalam ruang vektor abstrak |Xi, |Yi, . . . kita dapat memberla-
kukan urutan koefisien gelarannya [x] ≡ [x1 , x2 , . . . , xN ], [y] ≡
[y1 , y2 , . . . , yN ], dan seterusnya. Urutan koefisien gelaran itu disebut
wakilan bagi vektor. Bersesuaian dengan setiap hubungan di an-
tara sejumlah vektor, terdapat sebuah hubungan di antara wakilan.
Karena itu, kaitan (6.31) dapat diterjemahkan sebagai
atau
[u1 ] ≡ [1, 0, 0, . . . , 0]
[u2 ] ≡ [0, 1, 0, . . . , 0]
.. .. (6.34)
. .
[uN ] ≡ [0, 0, 0, . . . , 1]
Dari Pers.(6.33) dan (6.30) terlihat bahwa wakilan [x] bagi ket-
vektor |Xi dapat ditulis dalam bentuk matriks kolom x,
x1
x2
|Xi −→ [x] −→ x = . . (6.35)
..
xN
dan X X
|ui ihui | −→ ui u†i = I (6.39)
i i
dengan I adalah matriks identitas.
Perkalian operator
Â|Xi = |Yi (6.40)
diwakili oleh persamaan matriks
Ax = y . (6.41)
|Yi = Â|Xi .
yang menghasilkan
X
yj = hu j |Â|uk ixk . (6.42)
k
yi = A i j xk . (6.43)
Ditinjau dua basis ortonormal di adalam ruang Hilber wakilan [|ui i]N
dan [|u0j i]N . karena keduanya adalah himpunan lengkap, maka vek-
tor bagi satu himpunan dapat digelar dalam bentuk vektor pada
himpunan yang lain;
N
X
|u0j i = |ui iSij dengan j = 1, 2, . . . , N . (6.46)
i=1
S† S = I = SS† (6.50)
†
u1
†
u
† 2
U U ≡ . u1 u2 ··· uN
..
†
uN
†
u1 u1 u†2 u2 u†1 uN
···
†
u u1 u† u2 ··· u†2 uN
2 2
= . .. .. .. = I ,
(6.52)
.. . . .
† † u†N uN
uN u1 uN u2 ···
U0 = U S . (6.54)
U x = U0 x0 (6.58)
y0 = A0 x0 (6.61)
A0 = S† A S . (6.63)
U0 A0 U† = UAU† (6.64)
dan
p ) = h~
u j (~ p |u j i ; p ) = hu j |~
u∗j (~ pi . (6.66)
Hasilkali skalar hui |u j i diberikan oleh
Z Z
hui |u j i ≡ ui (~r ), u j (~r ) = ui (~r )u j (~r ) d ~r = hui |~r ih~r |u j i d3~r .
∗ 3
(6.67)
Karena itu Z
|~r ih~r | d3~r = Î. (6.68)
d
x̂ = x , p̂x = −i~ wakilan koordinat (WK) (6.73)
dx
dan
d
x̂ = i~ , p̂x = px wakilan momentum (WM). (6.74)
dpx
Karena itu,
dan
d
(WK) p̂x ui (x) = −i~ ui (x) (6.76a)
dx
(WM) p̂x ui (px ) = px ui (px ) . (6.76b)
dhpx |xi∗ i
= px hpx |xi∗
dx ~
sehingga
hpx |xi∗ = hx|px i = C0∗ eipx x/~
yang jika diambil sekawan kompleksnya akan menghasilkan
Karena itu ui (~
p ) dan ui (~r ) adalah alihbentuk Fourier satu sama lain.
Selanjutnya, ungkapan (6.44) untuk unsur matriks bagi operator
 dapat dituliskan sebagai
"
Aij = hui |Â|u j i = hui |~r ih~r |Â|~r 0 ih~r 0 |u j i d3~r d3~r 0
"
= u∗i (~r )Â(~r , ~r 0 )u j (~r 0 ) d3~r d3~r 0 . (6.85)
Di sini Â(~r , ~r 0 ) ≡ h~r |Â|i adalah wakilan koordinat bagi operator Â,
yang mempunyai bentuk umum
Karena itu Z
A jk = u∗i (~r ) Â(~r ) u j (~r ) d3~r . (6.86)
Alih-alih pembahasan serupa pada fasal 4.2, di dalam fasal ini akan
ditunjukkan bahwa spektrum swanilai bagi pengayun selaras dapat
diperoleh dengan menggunakan metode operator.
Ditinjau pengayun selaras berdimensi-1 dengan Hamiltonan
(klasik) sistem berbentuk
p2x 1
Ĥ = + mω2 x2 . (6.87)
2m 2
Untuk lebih mudahnya (dalam pengerjaan) persamaan di atas dapat
ditulis dalam bentuk
r !2 !2
m px
Ĥ = ωx + √ = f (x) 2 + f (px ) 2
(6.88)
2 2m
dengan r
m px
f (x) = ωx dan f (px ) = √ . (6.89)
2 2m
Secara klasik, jika kita perhatikan, ruas kanan persamaan (6.88) dapat
ditulis dalam bentuk faktor
f (x) 2 + f (px ) 2 = f (x) − i f (px ) f (x) + i f (px ) .
(6.90)
Ĥ = f (x̂) 2 + f (p̂x ) 2 .
(6.91)
i f (x̂), f (p̂x ) ,
(6.92)
1 i
f (x̂), f (p̂x ) = ω x̂, p̂x = ~ω .
(6.94)
2 2
Dengan menyulihkan Pers.(6.94) ke Pers.(6.93) diperoleh kaitan
1
f (x̂) − i f (p̂x ) f (x̂) + i f (p̂x ) = Ĥ − ~ω , (6.95)
2
yang juga dapat ditulis dalam bentuk
1
Ĥ = f (x̂) − i f (p̂x ) f (x̂) + i f (p̂x ) + ~ω
2 !
f (x̂) + i f (p̂x )
" ! #
f (x̂) − i f (p̂x ) 1
= ~ω √ √ + . (6.96)
~ω ~ω 2
1 1
Ĥ |ni = ~ω N̂ + |ni = ~ω n + |ni , (6.103)
2 2
dan
N̂â = âN̂ − â = â N̂ − 1 . (6.108)
Di samping itu dapat dibuktikan pula bahwa
N̂↠= ↠N̂ + 1 . (6.109)
Contoh 6.1
Terbukti! “
1
En = ~ω n + , (6.117)
2
dengan n = 0, 1, 2, 3, . . ..
Selanjutnya, akan disusun fungsi gelombang pengayun selaras
secara tersurat (eksplsit). Fungsi gelmbang keadaan dasar diten-
tukan oleh kondisi Pers.(6.114). Dalam wakilan koordinat posisi (wa-
kilan x)
r
mω p̂x
0 = hx|â |0i = hx| x̂ + i √ |0i
2~ 2mω~
r r
mω ~ d
= x+ hx|0i .
(6.118)
2~ 2mω dx
atau 1/4
mω 1
2 /2~
hx|ni = √ Hn (ζ) e−mωx
(6.120)
π~2n n!
dengan
√ Hn (ζ) adalah polinom Hermit berorde-n, dan ζ = αx =
mω/~ x, misalnya H0 (ζ) = 1, H1 (ζ) = 2ζ, H2 (ζ) = 4ζ2 − 2, dan
seterusnya. Fungsi gelombang (6.120) memenuhi kaittan keortonor-
malan Z
hn|mi = hn|xihx|mi = δnm .
. . .
√0 0 0 0
. . .
1 0 0 0
√
. . . .
a = 0
† 2 0 0
√ (6.125)
. . .
0 0 3 0
.. .. .. .. . .
. . . . .
∂
i~ Ψ(~r , t) = Ĥ Ψ(~r , t) (6.126)
∂t
yang merupakan persamaan operator di dalam ruang abstrak (dalam
ruang Hilbert). Fungsi Ψ(~r , t) adalah vektor yang gayut pada ruang
dan waktu. Penyelesaian bagi Pers.(6.126) adalah
dengan ψ(~r ) adalah vektor keadaan tak gayut waktu (sama dengan
Ψ(~r , 0)). Operator gayut waktu Û(t) diberikan oleh
n
ˆ
∞ −iĤt/~
ˆ X
Û(t) = e−iĤt/~ = , (6.128)
n!
n=0
dengan
Â(t) ≡ Û(t)† ÂÛ(t) , (6.131)
atau, karena Û(t) uniter,
dÂ(t) i i i h i
= ĤÂ(t) − Â(t)Ĥ = Ĥ, Â(t) . (6.133)
dt ~ ~ ~
Bentuk persamaan di atas (Pers.(6.133)) disebut sebagai persamaan
Heisenberg untuk operator Â(t); jika  itu sendiri gayut waktu maka
secara lengkap dapat dituliskan
dÂ(t) ∂Â(t) i h i
= + Ĥ, Â(t) .
dt ∂t ~
Bentuk di atas serupa dengan Pers.(), tetapi karena bentuknya tak ga-
yut pada vektor keadaan (yang nilai harap diperoleh), maka bentuk
itu harus mencerminkan bentuk operator.
Selanjutnya, kita akan meninjau sistem yang dipengaruhi oleh
medan luar sehingga Hamiltonannya pecah menjadi
dengan Ĥ(0) dan Ĥ(1) (t) berturut-turut adalah Hamiltonan tak gayut
waktu dan gayut waktu. Berdasarkan Pers.(6.128), operator gayut
waktu tanpa adanya Ĥ(1) (t) adalah
ˆ (0) t/~
Û0 (t) = e−iĤ . (6.135)
Hamiltonan Ĥ(0) .
Soal Latihan 6
1. Dengan memperhatikan sifat matriks uniter, buktikan bahwa dari
kaitan (6.54) dapat diperoleh Pers.(6.55) dan (6.56).
2. Buktikan bahwa hψ|ϕihψ|ϕi > |hψ|ϕi|2 (ketaksamaan Schwartz).
3. Jika operator  hermitan, tunjukkan bahwa hÂ2 i > 0.
4. Operator  diwakili oleh matriks
!
0 1
A= .
1 0
1 1
v1 = √ (u1 + u2 ) dan v2 = √ (u1 − u2 ).
2 2
p2
5. Jika Ĥ = 2m + V(x), tunjukkan bahwa
~2
[x̂, [x̂, Ĥ]] = − .
2m
Buktikan pula bahwa hukum penjumlahan
X ~2
(Ek − En )|xkn |2 =
2m
k
Persoalan 3-Dimensi
~2 ∂2 ∂2 ∂2
!
− + + ϕE (x, y, z) +
2m ∂x2 ∂y2 ∂z2
Vx (x) + V y (y) + Vz (z) ϕE (x, y, z) = ET ϕE (x, y, z) (7.2)
~2 d2
!
− + Vx (x) uEx (x) = Ex uEx (x) (7.4a)
2m dx2
~2 d2
!
− + V y (y) uEy (y) = E y uEy (y) (7.4b)
2m dy2
~2 d2
!
− + Vz (z) uEz (z) = Ez uEz (z) . (7.4c)
2m dz2
nyπ
r r
2 2 nz π
uEny (y) = sin y dan uEnz (z) = sin z. (7.10)
b b c c
Dari Pers.(7.3), (7.10), dan (7.9) diperoleh penyelesaian ϕE (x, y, z);
nyπ
r
8 nx π nz π
ϕEnx ny nz (x, y, z) = sin x sin y sin z, (7.11)
abc a b c
yang merupakan fungsi gelombang ternormalkan bagi sistem. Dari
kaitan (7.5) dan hubungan antara Ex = kx2 ~2 /2m dan kx = nx π/a
dengan nx = 1, 2, . . . (demikian juga untuk E y dan k y maupun Ez dan
kz ), diperoleh energi total sistem
~2 π2 2
Enx ny nz = l (7.13)
2m nx ny nz
dengan lnx ny nz adalah jarak dari titik asal sampai ke titik-(nx n y nz ) dan
diberikan oleh s
2
n2x n y n2z
lnx ny nz = + + 2 . (7.14)
a 2 b2 c
Pada kasus yang tidak ada dua dari tiga rusuk kotak a, b, dan
c yang saling berbanding dengan bilangan bulat (li , λl j dengan
li , l j = a, b, c dan λ = bilangan bulat), tingkat energi yang bersesuaian
dengan himpunan nilai beragam dari 3 bilangan kuantum (triplet)
semuanya berbeda; dan hanya satu fungsi gelombang yang terkait
dengan masing-masing triplet. Tingkat energi pada jenis/kasus ini
adalah tak merosot. Sedangkan jika ada sedikitnya dua rusuk dari
ketiga rusuk kotak yang saling berbanding dengan bilangan bulat
(li = λl j ) maka akan ada tingkat energi yang merosot, yaitu tingkat
energi dengan dua atau lebih fungsi gelombang bebas. Keadaan yang
tingkat energinya merosot disebut sebagai keadaan merosot.
Untuk memperjelas ungkapan di atas, perhatikan sistem zarah
yang terkurung di dalam kubus, dengan a = b = c = L. Fungsi
gelombang sistem diberikan oleh
nyπ
r
8 nx π nz π
ϕEnx ny nz (x, y, z) = 3
sin x sin y sin z (7.15)
L L L L
dengan energi sistem diberikan oleh
~2 π2 2
Enx ny nz = nx + n2
y + n 2
z . (7.16)
2mL2
Tabel 7.1: Beberapa tingkat energi, derajat kemerosotan (p), dan tripasang
(triplet) bilangan kuantum (nx n y nz ) untuk zarah di dalam kubus
~ π
2 2
Enx ny nz × 2mL 2 p triplet (nx n y nz )
3 1 111
6 3 211, 121, 112
9 3 221, 122, 212
11 3 311, 131, 113
12 1 222
14 6 321, 312, 213, 231, 132, 123
17 3 322, 323, 223
18 3 411, 141, 114
19 3 331, 313, 133
21 6 421, 412, 241, 214, 124, 142
22 3 332, 323, 233
24 3 422, 242, 224
26 6 431, 413, 341, 314, 143, 134
27 4 511, 151, 115, 333
Contoh 7.1
2mEF 2
n2x +n2y +n2z = R2 = L . (C7.1-1)
~2 π2
Sedangkan jumlah titik kisi yang dibentuk oleh triplet bilangan
bulat diberikan oleh volume seperdelapan bola dengan nx , n y ,
dan nz adalah positif. Karena itu jumlah titik kisinya adalah
1 4π 3 1 4π 2mEF 2 3/2
R = L . (C7.1-2)
8 3 8 3 ~2 π2
Karena setiap titik kisi hanya dapat menampung dua fer-
mion, maka jumlah fermion dengan energi yang lebih kecil
dari energi Fermi EF adalah dua kali Pers.(C7.1-2), yaitu
π 3 2mEF 3/2
N= L , (C7.1-3)
3 ~2 π2
yang berarti bahwa jumlah fermion sebanding dengan volume
kubus berusuk L. Dalam bentuk rapat fermion, Pers.(C7.1-3)
dapat dituliskan sebagai
N π 2mEF 3/2
n= = . (C7.1-4)
L3 3 ~2 π2
Karena itu energi Fermi dapat dituliskan sebagai
~2 π2
2/3
3n
EF = . (C7.1-5)
2m π
Untuk menghitung energi total, jumlah titik kisi dapat di-
rumuskan sebagai
Z
1
d3~n , (C7.1-6)
8 |~n|6R
~2 π2 2
E~n = ~n , (C7.1-7)
mL2
sehingga energi totalnya adalah
~2 π2 1
Z
Etot = ~n2 d3~n
mL2 8 |~n|6R
R
~2 π2 1 π3 ~2 5
Z
= 4π n4 dn = R . (C7.1-8)
mL2 8 0 10mL2
Karena R berhubunan dengan jumlah elektron melalui kaitan
1 4
N=2 πR3 (C7.1-9)
8 3
maka Pers.(C7.1-8) menjadi
π3 ~2
5/3
3N
Etot = . (C7.1-10)
10mL2 π
Dalam bentuk rapat elektron, persamaan di atas dapat ditulis-
kan sebagai
π3 ~2
5/3
3n
Etot = L3 . “ (C7.1-11)
10m π
dengan uEnx (x), uEny (y), dan uEnz (z) adalah swafungsi bagi pengayun
yang berbeda (berdimensi-1), dan diberikan oleh ungkapan yang
serupa dengan Pers.(4.115). Dengan demikian, secara lengkap fungsi
gelombang untuk sistem ini diberikan oleh
1 2 2 +α2 y2 +α2 z2 )
ϕEnx ny nz (x, y, z) = Cnx Cny Cnz e− 2 (αx x y z ·
Hnx (αx x)Hny (α y y)Hnz (αz z) (7.20)
dengan
αi
r r
mωi
Cni = √ n dan αi = ; (i = x, y, z) (7.21)
π 2 i ni ! ~
Tabel 7.2: Beberapa tingkat energi, derajat kemerosotan (p), dan tripasang
(triplet) bilangan kuantum (nx , n y , nz ) untuk pengayun selaras berdimensi-3
isotrop
n Enx ny nz (×~ωc ) p triplet (nx n y nz )
0 3/2 1 000
1 5/2 3 100, 010, 001
2 7/2 6 110, 101, 011, 200, 020, 002
3 9/2 10 111, 012, 021, 102, 201, 120, 210, 003, 030, 300
dengan
α
r
c0ni = √ ; i = x, y, z .
π 2ni ni !
Gambar 7.3: Sistem koordinat silinder dan kaitannya dengan sistem koor-
dinat Cartesius
d2 Z
+ λz − σ2 2
z z Z=0 (7.33)
dz2
dan
1 d2 Φ
!
1 d dR
ρ + − σ2 ρ2 + λ0 = 0 (7.34)
Rρ dρ dρ Φρ2 dφ2
dengan
λ0 + λz = λ. (7.35)
dengan
√ !1/2
σz
Cn = √ . (7.38)
π2n n!
Berdasarkan kondisi batas λξ = (2n + 1) dan hubungan λξ dengan
λz , diperoleh
1 d2 Φ
!
1 d dR
ρ + λ0 − σ2 ρ2 = .
Rρ dρ dρ Φρ2 dφ2
Persamaan di atas benar atau terpenuhi jika kedua ruas sama de-
ngan suatu tetapan yang sama, katakanlah sama dengan m2 ; atau
lebih mudahnya untuk pengerjaan selanjutnya, kedua ruas ruas per-
samaan itu sama dengan m2 /ρ2 . Dengan demikian kita akan menda-
patkan dua persamaan terpisah yang masing-masing hanya meng-
andug sebuah peubah, yaitu
1 d2 Φ m2 d2 Φ
− = 2 atau + m2 Φ = 0 (7.40)
Φρ2 dφ2 ρ dφ2
dan
m2
!
1 d dR
ρ + λ0 − σ2 ρ2 = 2
Rρ dρ dρ ρ
atau
d2 R 1 dR m2
!
+ + λ − σ ρ − 2 R = 0.
0 2 2
(7.41)
dρ2 ρ dρ ρ
d2 R
− σ2 ρ2 R = 0. (7.43)
dρ2
d2 F λ0 m2
! !
1 dF
+ − 2% + − 2 − 2 F = 0. (7.46)
d%2 % d% σ %
− λσ + 2 (|m| + n0 + 1)
0
1
λ = λ0 + λz = 2 (|m| + n0 + 1) σ + 2 nz + σz . (7.52)
2
1
Em,n0 ,nz = (|m| + n0 + 1) ~ωc + nz + ~ωz . (7.53)
2
mengandung pangkat gasal bagi ρ jika |m| gasal, dan hanya pangkat
genap jika |m| genap.
1 ∂ 2∂ 1 ∂ ∂ ∂2
! " ! #
1 1
2
∇ ≡ 2 r + 2 sin θ + . (7.59)
r ∂r ∂r r sin θ ∂θ ∂θ sin2 θ ∂φ2
dengan R(r) tak gayut pada peubah sudut (θ, φ), sedangkan Y(θ, φ)
tak gayut pada r. Penyulihan Pers.(7.61) ke Pers.(7.60) menghasilkan
" ! #
1 d 2 dR 2m
r + 2 E − V(r) r R =2
R dr dr ~
1 ∂ ∂Y 1 ∂2 Y
" ! #
1
− sin θ + . (7.62)
Y sin θ ∂θ ∂θ sin2 θ ∂φ2
Dari Pers.(7.62) di atas jelas bahwa ruas kiri hanya fungsi r, sedang-
kan ruas kanannya fungsi sudut θ dan φ. Persamaan itu dipenuhi
jika kedua ruas sama dengan suatu tetapan yang sama, katakanlah λ.
Karena itu dapat diperoleh dua persamaan, yaitu persamaan untuk
fungsi gelombang radial, R(r),
λ
!
1 d 2 dR 2m
r + E − V(r) − 2 R=0 (7.63)
r2 dr dr ~2 r
dan persamaan gelombang harmonik bola, Y(θ, φ),
1 ∂ ∂Y 1 ∂2 Y
!
sin θ + + λY = 0 (7.64)
sin θ ∂θ ∂θ sin2 θ ∂φ2
Persamaan Azimut
Persamaan Kutub
m2
! !
d 2 dP(ϑ)
(1 − ϑ ) + λ− P(ϑ) = 0
dϑ dϑ 1 − ϑ2
atau
d2 P(ϑ) m2
!
dP(ϑ)
(1 − ϑ )
2
− 2ϑ + λ− P(ϑ) = 0. (7.73)
dϑ2 dϑ 1 − ϑ2
d2 K(ϑ) 4a2 − m2
!
dK(ϑ)
(1 − ϑ )2
− 2(2a + 1)ϑ + λ − 4a − 2a +
2
K(ϑ) = 0.
dϑ2 dϑ 1 − ϑ2
(7.75)
Persamaan di atas menjadi lebih sederhana jika dipilih
4a2 = m2 , (7.76)
yaitu
d2 K(ϑ) dK(ϑ)
(1 − ϑ2 ) − 2(2a + 1)ϑ + λ − 4a2
− 2a K(ϑ) = 0. (7.77)
dϑ2 dϑ
atau
(r + 2a)(r + 2a + 1) − λ
cr+2 = cr . (7.82)
(r + 1)(r + 2)
r0 + 2a = r0 + |m| = `. (7.85)
d2 K(ϑ) dK(ϑ)
(1 − ϑ2 ) − 2 |m| + 1 ϑ + `(` + 1) − |m|(|m| + 1) K(ϑ) = 0.
dϑ2 dϑ
(7.88)
Jika m = 0 maka Pers.(7.88) tersusutkan menjadi persamaan diferen-
sial Legendre; yang penyelesaiannya mengandung polinom Legen-
dre P` (ϑ). Secara tersurat persamaan diferensial tersebut berbentuk
P(ϑ) = N`m Pm
` (cos θ) ≡ Θ` (θ) ,
m
(7.92)
d2 `(` + 1)~2
! " !#
2 d 2m
+ R(r) + 2 E − V(r) + R(r) = 0 . (7.97)
dr2 r dr ~ 2mr2
` m Y`m (θ, φ)
q
1
0 0 4π
q
1 0 3
4π cos θ
q
1 1 − 3
8π sin θ eiφ
q
1 −1 3
8πsin θ e−iφ
q
16π 3 cos θ − 1
5 2
2 0
q
2 1 − 8π 15
sin θ cos θ eiφ
q
8π sin θ cos θ e
15 −iφ
2 −1
q
32π sin θ e
15 2 2iφ
2 2
q
32π sin θ e
15 2 −2iφ
2 −2
Gambar 7.5: Tampang permukaan dan diagram kutub Y`m (θ, φ) untuk titik
di dalam bidang-xz. Setengah bagian kanan pada setiap diagram berse-
suaian dengan φ = 0 dan setengah bagian kiri bersesuaian dengan φ = π
tolak;
`(` + 1)~2
V(r) −→ V(r) + . (7.101)
2mr2
Selain itu, definisi R(r) dan syarat keberhinggaan fungsi gelombang
pada titik asal menghendaki
R(0) = 0 (7.102)
d2 R(r) `(` + 1)
− R(r) ≈ 0 . (7.103)
dr2 r2
jika kita mencoba penyelesaian deret untuk R(r) dengan
R(r) ∼ rs (7.104)
d2 R(r) 2mE
+ 2 R(r) ≈ 0 . (7.106)
dr2 ~
Persamaan asimtot di atas (Pers.(7.106)) mempunyai dua bentuk
penyelesaian yang terkait dengan kondisi energinya, yaitu:
2mE
R(r) ∼ e−αr dengan − α2 = . (7.107)
~2
Gambar 7.6: Potensial efektif Veff (r) yang bekerja di dalam persamaan radial
untuk R = rR(r) untuk sistem sumur potensial kotak
Zarah Bebas
d2 `(` + 1)
! !
2 d
+ R(ρ) + 1 − R(ρ) = 0 (7.111)
dρ2 ρ dρ ρ2
ρ2
j` (ρ) ≈ (7.115a)
1 · 3 · 5 · · · (2` + 1)
1 · 3 · 5 · · · (2` − 1)
y` (ρ) ≈ − . (7.115b)
ρ`
1 `π
j` (ρ) ≈ sin ρ − (7.116a)
ρ 2
1 `π
y` (ρ) ≈ − cos ρ − , (7.116b)
ρ 2
sehingga
(1) i
h` (ρ) ≈ − ei(ρ−`π/2) (7.117a)
ρ
(2) i −i(ρ−`π/2)
h` (ρ) ≈ e (7.117b)
ρ
Tabel 7.4: Fungsi j` (ρ), y` (ρ), dan h` (ρ) untuk beberapa nilai `
` 0 1 2 ···
sin ρ sin ρ cos ρ
j` (ρ) ρ ρ2
− ρ
3
ρ3
− sin ρ − ρ32 cos ρ
1
ρ ···
cos ρ cos ρ sin ρ
y` (ρ) − ρ − ρ2
− ρ − ρ33 − ρ1 cos ρ − ρ32 sin ρ ···
eiρ iρ iρ
(1)
h` (ρ) iρ − eρ 1 + ρi i eρ 1 + 3iρ − ρ32 ···
−iρ −iρ −iρ
(2)
h` (ρ) − eiρ − eρ 1− i
ρ −i e ρ 1 − 3iρ − ρ32 ···
Sumur Potensial
d2 `(` + 1)~2
! !
2 d 2m
+ R(r) + 2 E + V0 − R(r) = 0 (7.120)
dr2 r dr ~ 2mr2
untuk r < a, dan
d2 `(` + 1)~2
! !
2 d 2m
+ R(r) + 2 E − R(r) = 0 (7.121)
dr2 r dr ~ 2mr2
untuk r > a.
Dua penyelesaian yang diperoleh hauslah memenuhi kondisi
kemalaran di perbatasan antara kedua daerah, yaitu fungsi R(r) dan
turunan pertamanya terhadap r harus malar pada r = a.
(1) (2)
Fungsi Hankel h` dan h` adalah sekawan kompleks satu dengan
lainnya, demikian juga antara B1 /A dan B2 /A. Karena itu, penyele-
saian Pers.(7.126) adalah real jika A real.
Dari uraian di atas jelas bahwa untuk E > 0, fungsi gelombang
radial ditentukan secara khas atau unik (diberikanR oleh Pers.(7.124),
(7.126), dan (7.127)).
R bagian radial dari integral |ϕE |2 dΩ mendefi-
nisikan norma |R` |2r2 dr dan integrannya mempunyai nilai tetap
untuk r menuju ke tak terhingga. Karena itu zarah yang berada pada
keadaan dengan E > 0 tidak terlokalisasi di dalam sumur potensial.
Untuk keadaan terikat, yaitu keadaan dengan E < 0, dapat dila-
kukan penggantian α2 dengan −α2 . Karena itu penyelesaian umum
π2 ~2
V0 > π2 ∆ atau V0 a2 > (7.132)
2m
jika terdapat keadaan terikat.
Gambar 7.7 menunjukkan Tingkat energi di dalam sumur poten-
sial berdimensi-3, sebagai fungsi V0 /∆. Jumlah tingkat energi untuk
kedalam tertentu adalah berhingga.
Gambar 7.7: Energi untuk dua keadaan terendah s, p, dan d di dalam sumur
potensial berdimensi-3, sebagai fungsi ukuran sumur
pˆ 2 1
~
Ĥ = + mω2c r2 (7.133)
2m 2
dengan r2 = x2 + y2 + z2 . Swafungsi yang sesuai dengan Hamiltonan
di atas adalah
ϕn`m (r, θ, φ) = Rn` (r)Y`m (θ, φ) (7.134)
dengan R adalah penyelesaian persamaan radial dengan potensial
sistem V = 21 mω2c r2 . Jika diambil ρ = αr dengan α2 = mω/~ maka
persamaan radial itu dapat ditulis dalam bentuk
R(ρ) = ρ` e−ρ
2 /2
K. (7.136)
d2 K 3 dK 1
ξ 2 + `+ −ξ + (λ − 3 − 2`) K = 0 (7.137)
dξ 2 dξ 4
1 1 1
p=`+ dan q= (n + ` + 1) = n0 + ` + . (7.140)
2 2 2
dengan v
t
1
2 (n + `) ! (n − 2`)! 2n+`+2 α2`+3
Cn` = . (7.142)
(n + ` + 1)! π1/3
Pada bahasan ini, kita akan berkonsentrasi pada kasus terikat, yaitu
kasus dengan E < 0 (energi negatif), dan untuk memudahkan, kita
gunakan E = −E dengan E adalah besaran positif. Dengan demikian
Pers.(7.144) dapat ditulis ulang sebagai
d2 R(r) ρ0 `(` + 1)
!
− 1− + R(r) = 0 , (7.147)
dρ2 ρ ρ2
dengan
2m e2
ρ0 = (7.148)
~2 4π0 κ
d2 R(ρ)
− R(ρ) = 0 , (7.149)
dρ2
dan
d2 R l(l + 1) d2 R
! !
dR
= ρl e−ρ −2l − 2 + ρ + R + 2(l + 1 − ρ) +ρ 2 .
dρ 2 ρ dρ dρ
(7.156)
Dari Pers.(7.147) dan (7.156) serta menyulihkan Pers.(7.156) dipero-
leh persamaan radial, alih-alih Pers.(7.147),
d2 R(ρ) dR(ρ)
ρ + + ρ) + ρ0 − 2(l + 1) R(ρ) = 0 .
2(l 1 − (7.157)
dρ2 dρ
dan
∞
d2 R(ρ) X
= i(i − 1)ai ρi−2 , (7.160)
dρ2 i=2
2(i + l + 1) − ρ0
ai+1 = ai , (7.161)
(i + 1)(i + 2l + 2)
dengan i = 0, 1, 2, 3, . . .. Dari persamaan di atas, jelas bahwa semua
koefisien ai dapat dituliskan dalam bentuk a0 ≡ A, yang nilainya
dapat ditentukan melalui syarat penormalan.
Selanjutnya, kita lihat kondisi Pers.(7.161) untuk i besar (hal ini
terkait dengan ρ yang juga besar, yaitu keadaan yang pangkat le-
bih tinggi mendominasi). Pada kondisi ini, rumus rekursi (7.161)
tersederhanakan menjadi
2i 2
ai+1 ≈ ai = ai
i(i + 1) i+1
sehingga
2i
A. ai ≈ (7.162)
i!
Untuk sementara kita anggap bahwa hasil di atas adalah eksak.
Kemudian
∞
X 2i i
R(ρ) = A ρ = Ae2ρ ,
i!
i=0
aimaks +1 = 0 (7.164)
2(imaks + l + 1) − ρ0 = 0 . (7.165)
n ≡ imaks + l + 1 (7.166)
ρ0 = 2n . (7.167)
dengan n = 1, 2, 3, . . . dan
!2
m e2
E1 = − 2 . (7.169)
2~ 4π0
E1 = −13, 6 eV (7.170)
yang sering disebut juga sebagai “energi ikat ” atom Hidrogen, yaitu
cacah/jumlah energi yang diperlukan oleh elektron untuk mengio-
nisasi atom.
Selanjutnya, dari hubungan antara ρ0 dan κ (Pers.(7.148) dengan
ρ0 = 2n) diperoleh
me2
!
1 1
κ= = (7.171)
4π0 ~2 n r0 n
dengan
4π0 ~2
r0 ≡ = 0, 529Å , (7.172)
me2
yang disebut sebagai “jejari atom Bohr”. Lebih jauh lagi, jika dilihat
dari hubungan (7.146) jelas bahwa
r
ρ= . (7.173)
r0 n
Dengan demikian fungsi gelombang spasial bagi atom Hidrogen di-
labeli oleh tiga bilangan kuantum, yaitu n, l, dan m (sering disebut
sebagai, berturut-turut, bilangan kuantum utama, orbital, dan mag-
netik), yaitu
ϕnlm (r, θ, φ) = Rnl (r) Ylm (θ, φ) , (7.174)
dengan (dari Pers.(7.99) dan (7.155))
1
Rnl (r) = ρl+1 e−ρ R(ρ) (7.175)
r
yang menghasilkan
2
a0 = √ . (7.179)
r0
Dengan demikian diperoleh fungsi radial untuk keadaan dasar
2
R10 = q e−r/r0 (7.180)
r30
13, 6
E2 = − eV = −3, 4 eV, (7.183)
4
yang merupakan energi pada keadaan eksitasi pertama. Pada kasus
ini, kita mempunyai empat keadaan yang berbeda berkaitan dengan
satu tingkat energi yang sama, yaitu keadaan yang dicirii oleh l = 0
(dengan m = 0) dan l = 1 (dengan m = −1, 0, 1). Keadaan demikian
dikatakan sebagai “keadaan merosot ” dengan derajat kemerosotan
sama dengan 4. Jika l = 0, rumus rekursi (7.176) memberikan
R(ρ) = L2l+1
n−l−1 (2ρ) , (7.187)
dengan
!2l+1
d
L2l+1
n−l−1 (2ρ) ≡ (−1)2l+1
Ln+l (2ρ) (7.188)
d(2ρ)
L0 =1
L1 = −2ρ + 1
L2 = 4ρ2 − 8ρ + 2
L3 = −8ρ3 + 36ρ2 − 36ρ + 6
L4 = 16ρ4 − 128ρ3 + 288ρ2 − 192ρ + 24
L5 = −32ρ5 + 400ρ4 − 1600ρ3 + 2400ρ2 − 1200ρ + 120
L6 = 64ρ6 − 1152ρ5 + 7200ρ4 − 19200ρ3 + 21600ρ2 − 8640ρ + 720
L00 = 1 L20 = 2
L01 = −2ρ + 1 L21 = −12ρ + 18
L02 = 4ρ2 − 8ρ + 2 L22 = 48ρ2 − 192ρ + 144
L10 = −1 L30 = 6
L11 = −4ρ + 4 L31 = −48ρ + 96
L12 = 12ρ2 − 36ρ + 18 L32 = 240ρ2 − 1200ρ + 1200
Beberapa fungsi gelombang radial Rnl (r) diberikan dalam Tabel 7.7
dan dirajah dalam Gambar 7.9.
Tabel 7.7: Beberapa fungsi gelombang radial untuk atom Hidrogen, Rnl (r)
Soal Latihan 7
1. Dari Pers.(7.145) dan (7.146) dapatkan Pers.(7.147).
2
Tafsiran ψ(x1 , x2 , . . . , xN ) adalah perampatan dari tafsiran |ψ(x)|2 ,
menghasilkan kerapatan peluang untuk mendapatkan zarah-1 di x1 ,
zarah-2 di x2 , . . . , zarah-N di xN . Pengembangan (evolusi) sistem ini
diberikan oleh persamaan diferensial
∂
i~ ψ(x1 , x2 , . . . , xN , t) = Ĥ ψ(x1 , x2 , . . . , xN , t) , (8.2)
∂t
dengan Hamiltonan sistem berbentuk
1 ∂2 1 ∂2
Ĥ = −~
2
+ ··· + + V(x1 , . . . , xN ) . (8.3)
2m1 ∂x2 2mN ∂x2N
1
Jika tidak ada medan luar, misalnya medan gravitasi bumi atau
medan listrik/magnet luar, maka energi potensial sistem dapat hanya
gayut pada jarak relatif antar zarah, sehingga
seterusnya, adalah
ϕE (x1 + a, . . . , xN + a) ≈ ϕE (x1 , . . . , xN ) +
∂
a ϕE (x1 , . . . , xN ) +
∂x1
∂
a ϕE (x1 , . . . , xN ) + · · · +
∂x2
∂
a ϕE (x1 , . . . , xN )
∂xN
≈ ϕE (x1 , . . . , xN ) +
N
X ∂
a ϕE (x1 , . . . , xN ) . (8.9)
∂xi
i=1
Ditinjau dua zarah bebas yang tidak saling berinteraksi dengan Ha-
miltonan sistem diberikan oleh
p̂21 p̂22
Ĥ12 = + . (8.16)
2m1 2m2
Karena itu, persamaan Schrödinger tak gayut waktu bagi sistem
dapat dituliskan sebagai
~2 ∂2 ~2 ∂2
2m ∂x2 − 2m ∂x2 ϕE (x1 , x2 ) = EϕE (x1 , x2 ) .
− (8.17)
1 1 2 2
~2 d2 ϕ1 (x1 ) ~2 d2 ϕ2 (x2 )
! !
1 1
− + − =E. (8.20)
ϕ1 (x1 ) 2m1 dx21 ϕ2 (x2 ) 2m2 dx22
E1 + E2 = E . (8.21)
~2 d2 ϕ1 (x1 )
− = E1 ϕ1 (x1 ), (8.22a)
2m1 dx2
1
~2 d2 ϕ2 (x2 )
− = E2 ϕ2 (x2 ). (8.22b)
2m2 dx22
Jika didefinisikan
2m1 E1 2m2 E2
k12 = dan k22 = (8.23)
~2 ~2
maka dari dua penyelesaian Pers.(8.22) diperoleh
Dari definisi (8.23) dan (8.21) energi sistem dua-zarah yang tidak
saling berinteraksi adalah
~2 k12 ~2 k22
E= + . (8.25)
2m1 2m2
k1 x1 + k2 x2 = kx + KX (8.28)
dengan
m2 k1 − m1 k2
k= dan K = k1 + k2 . (8.29)
m1 + m2
Karena itu, Pers.(8.24) dapat ditulis ulang dalam bentuk
~2 k2 1 1 ~2 K 2
E= + + . (8.31)
2 m1 m2 2(m1 + m2 )
Suku pertama ruas kanan adalah energi internal, sedangkan suku ke-
duanya adalah energi sistem dua-zarah dengan massa m1 + m2 , yang
~2 K2
1 = E − 2 = E − . (8.40)
2(m1 + m2 )
p̂21 p̂22
Ĥ = + + V(x1 , x2 ) (8.41)
2m 2m
dengan
V(x1 , x2 ) = V(x2 , x1 ) . (8.42)
Secara simbolis, bentuk simetri bagi sistem ini dapat dituliskan se-
bagai
Ĥ(1, 2) = Ĥ(2, 1) (8.43)
(jika Hamiltonan sistem gayut pada spin zarah maka identitas spin
dapat dimasukkan dalam label 1 dan 2).
Fungsi gelombang sistem N-zarah identik dapat dinotasikan
dengan ψ(1, 2, . . . , N). Jika kita memasukkan keadaan spin maka
fungsi itu dapat diperluas dan dituliskan secara tersurat sebagai
ψ(x1 , σ1 ; x2 , σ2 ; . . . ; xN , σN ) dengan σi melukiskan keadaan spin.
Persamaan swanilai energi untuk sistem 2-zarah adalah
maka
P̂212 ψ(1, 2) = ρ2 ψ(1, 2) , (8.51)
yang menunjukkan bahwa swanilai bagi operator P̂12 adalah ρ = ±1.
Karena itu swakeadaan, sesuai dengan swanilai bagi operator P̂12 ,
adalah kombinasi bentuk simetri (terkait dengan swanilai ρ = 1) dan
antisimetri (terkait dengan swanilai ρ = −1). Dengan demikian kita
dapat menuliskan
1
ψs (1, 2) = √ ψ(1, 2) + ψ(2, 1)
(8.52)
2
untuk swakeadaan simetri, dan
1
ψa (1, 2) = √ ψ(1, 2) − ψ(2, 1)
(8.53)
2
untuk swakeadaan antisimetri.
Kenyataan bahwa operator P̂12 adalah tetapan gerak mengan-
dung makna bahwa keadaan yang awalnya simetri akan selalu sime-
tri, demikian juga sebaliknya; yang awalnya antisimetri akan tetap
antisimetri.
Perluasan untuk sistem N-zarah identik (N > 2) dan tak terbe-
dakan adalah dengan mendefinisikan operator pertukaran P̂αβ un-
tuk setiap pasangan zarah (α, β). Untuk sistem ini, kaitan komutasi
(8.49) dapat dirampatkan menjadi
dengan ρ = ±12 .
adalah
ϕE (1, 2, . . . , N) = ϕE1 (x1 ) ϕE2 (x2 ) · · · ϕEN (xN ) (8.62)
dengan
E = E1 + E2 + · · · + EN . (8.63)
Pada Pers.(8.62), label spin σα berubah dengan berubahnya xα .
Untuk sistem 2 dan 3-zarah fermion, dengan memperhatikan
Pers.(8.60), fungsi gelombang antisimetrinya berturut-turut dapat
ditulis dalam bentuk
1 h i
ϕaE (1, 2) = √ ϕE1 (x1 )ϕE2 (x2 ) − ϕE1 (x2 )ϕE2 (x1 ) (8.64)
2
dan
1 h
ϕaE (1, 2, 3) = √ ϕE1 (x1 )ϕE2 (x2 )ϕE3 (x3 )
6
−ϕE1 (x2 )ϕE2 (x1 )ϕE3 (x3 ) + ϕE1 (x2 )ϕE2 (x3 )ϕE3 (x3 )
−ϕE1 (x3 )ϕE2 (x2 )ϕE3 (x1 ) + ϕE1 (x3 )ϕE2 (x1 )ϕE3 (x2 )
i
−ϕE1 (x1 )ϕE2 (x3 )ϕE3 (x2 ) . (8.65)
~2 π2 n2
En = . (8.71)
2ma2
E ~2 π2
= . (8.73)
N 2ma2
Soal Latihan 8
Momentum Sudut
∂
L̂z = −i~ (9.4)
∂φ
i
f 0 (~r ) − f (~r ) = −α Lˆz f (~r ). (9.5)
~
dengan
∂
L̂i = −i~ i = 1, 2, 3. (9.7)
∂φi
Pada persamaan di atas (dengan tujuan mempermudah penulisan)
kita gunakan tikalas i yaitu 1, 2 dan 3 alih-alih tikalas x, y dan z
(x1 , x2 , x3 merupakan bentuk penulisan umum dalam sistem koordi-
nat berdimensi-3 alih-alih x, y, z dalam sistem koordinat Carteius).
Selanjutnya, L̂i disebut sebagai komponen momentum sudut orbital
ˆ~L arah-xi , yang akan dibahas lebih lanjut pada subbab berikutnya.
Contoh 9.1
yang berarti
∂F̂
[L̂i , F̂] = i~ (C9.1-1)
∂φi
~L = ~r × ~
p (9.8)
dengan ~r adalah vektor letak atau posisi dan ~p adalah vektor mo-
mentul linear zarah. karena itu, dalam sistem berdimensi-3 dengan
sumbu koordinat x1 , x2 , dan x3 , komponen momentum sudut arah-xi
diberikan oleh
Li = εijk x j pk (9.9)
dengan εijk adalah simbol levi-civita dengan nilai:
1, jika i, j, k permutasi genap bagi bilangan 1, 2, 3
εijk =
−1, jika i, j, k permutasi ganjil bagi bilangan 1, 2, 3
0
jika ada tikalas berulang
(9.10)
Contoh 9.2
L1 = x2 p3 − x3 p2 , L2 = x3 p2 − x1 p3 , L3 = x1 p2 − x2 p1 . “
Ĥ ϕE (x1 , x2 , x3 ) = E ϕE (x1 , x2 , x3 )
diperoleh
∂ ∂ ∂ ∂
! !
Ĥ x1 − x2 ϕE (x1 , x2 , x3 ) = E x1 − x2 ϕE (x1 , x2 , x3 )
∂x2 ∂x1 ∂x2 ∂x1
∂ ∂
!
= x1 − x2 ĤϕE (x1 , x2 , x3 ).
∂x2 ∂x1
i
ĤL̂3 − L̂3 Ĥˆ ϕE (x1 , x2 , x3 ) = 0
~
yang berarti bahwa h i
Ĥ, L̂3 = 0.
Hal serupa juga diperoleh untuk rotasi dengan sumbu rotasi x1 ma-
upun x2 . Dengan demikian, secara kompak dapat dituliskan
h i
Ĥ, L̂i = 0, (9.15)
∂ ∂ 1 ∂ sin φ ∂
= sin θ cos φ + cos θ cos φ −
∂x ∂r r ∂θ r sin θ ∂φ
∂ ∂ 1 ∂ cos φ ∂
= sin θ sin φ + cos θ sin φ + (9.22)
∂y ∂r r ∂θ r sin θ ∂φ
∂ ∂ sin θ ∂
= cos θ − ,
∂z ∂r r ∂θ
dan dengan memperhatikan kaitan (9.11) diperoleh (di sini digu-
nakan x, y, z alih-alih x1 , x2 , x3 )
∂ ∂
!
L̂x = −i~ sin φ + cot θ cos φ
∂θ ∂φ
∂ ∂
!
L̂ y = −i~ − cos φ + cot θ sin φ (9.23)
∂θ ∂φ
∂
L̂z = −i~ .
∂φ
dan
1 ∂ ∂ ∂2
( ! )
1
L̂ = −~
2 2
sin θ + . (9.24)
sin θ ∂θ ∂θ sin2 θ ∂φ2
∂Φm (φ)
L̂z Φm (φ) = −i~ = m~ Φm (φ). (9.25)
∂φ
dengan h~r|l, mi = Ylm (θ, φ). Karena itu L̂z adalah operator bagi swa-
fungsi Ylm dengan swanilai m~.
Selanjutnya, ditinjau Pers.(7.64) yang mempunyai penyelesaian
Ylm dengan λ = l(l + 1). Dengan memperhatikan Pers.(9.24) dan
menuliskan Ylm alih-alih Y serta λ = l(l + 1), persamaan tersebut
dapat dituliskan dalam bentuk
Karena itu L̂2 adalah operator yang bekerja pada swafungsi Ylm
menghasilkan swanilai l(l + 1)~2 . Pada Pers.(9.26) nilai m adalah bi-
langan bulat yang ditentukan oleh Pers.(7.88)
m = l, l − 1, . . . , 0, −l + 1, −l
ˆ ˆ
Karena ~J × ~J = [ Ĵ2 , Ĵ3 ]e1 + [ Ĵ3 , Ĵ1 ]e2 + [ Ĵ1 , Ĵ2 ]e3 dengan ei adalah vektor
satuan arah-xi , maka kaitan komutasi juga dapat ditulis sebagai
ˆ ˆ
[~J(n) , ~J(m) ] = 0 (9.30)
dengan
N
X
Ĵi(n) = Ĵi(n) .
n=1
n o
Ditinjau |j, mi alih-alih |Y jm i yang merupakan basis umum
ˆ
dengan j dan m mewakili, berturut-turut, swanilai bagi ~J2 dan Ĵ3 .
Vektor |j, mi adalah ortonormal, yaitu
ˆ
Karena ~J2 merupakan penjumlahan dari kuadrat operator Hermitan
ˆ
maka ~J2 terdefinisi positif, sehingga
ˆ
hj, m|~J2 |j, mi
λj ≡ > 0, (9.34)
~2
juga karena
3
ˆ ˆ
h j, m|~J2 |j, mi ≡ h~Ji =
X
h Ĵi2 i > h Ĵ32 i
i=1
1 1
Ĵ1 = Ĵ+ + Ĵ− dan Ĵ2 = Ĵ+ − Ĵ− . (9.37)
2 2i
ˆ
kaitan komutasi untuk himpunan Ĵ± , Ĵ3 dan ~J2 dapat ditentukan me-
lalui Pers.(9.28), sehingga diperoleh deretan persamaan berikut:
~Jˆ2 , Ĵ± = ~Jˆ2 , Ĵ3 = 0 . (9.38)
h i h i
Ĵ3 , Ĵ± = ±~ Ĵ± , Ĵ± , Ĵ∓ = ±2~ Ĵ3 ,
~Jˆ2 = 1
( Ĵ+ Ĵ− + Ĵ− Ĵ+ ) + Ĵ32 , (9.39a)
2
ˆ
Ĵ− Ĵ+ = ~J2 − Ĵ3 ( Ĵ3 + ~) , (9.39b)
ˆ
Ĵ+ Ĵ− = ~J2 − Ĵ3 ( Ĵ3 − ~) . (9.39c)
ˆ
Karena Ĵ± berkomutasi dengan ~J2 (lihat Pers.(9.38) yang ke-tiga),
ˆ
maka Ĵ± | j, mi adalah swavektor bagi ~J2 bersesuaian dengan swanilai
ˆ
yang sama seperti pada ~J2 | j, mi,
Dari Pers.(9.38) yang pertama dan (9.33) yang ke-dua, kita mempu-
nyai
Ĵ3 Ĵ± | j, mi = Ĵ± Ĵ3 ± ~ Ĵ± | j, mi = (m ± 1)~ Ĵ± |j, mi . (9.41)
karena itu Ĵ± |j, mi adalah swavektor bagi Ĵ3 dengan swanilai (m±1)~.
dengan p adalah bilangan bulat positif atau nol. hal itu menunjukkan
bahwa kita dapat mencapai ket-vektor | j, m0 i dengan operasi beru-
lang Ĵ+ pada | j, mi jika m0 − m = bilangan bulat positif, dan operasi
dan
p
Ĵ− | j, mi, Ĵ−2 | j, mi, . . . , Ĵ− | j, mi, . . .
akan berakhir seperti , sebaliknya, kita akan mempunyai ket-vektor
| j, m0 i yang menyimpang/menyalahi ketaksamaan (9.35), karena λ j
tidak berubah dengan pengoperasian Ĵ± pada | j, mi. Larikan bera-
khir/berhenti hanya jika ada nilai m, katakanlah m> , yang Ĵ+ | j, m> i =
~0, dan nilai lain bagi m< yang Ĵ− |j, m< i = ~0. Karena |j, m> i dan
| j, m< i diperoleh dari | j, mi dengan pengoperasian berulang Ĵ+ dan
Ĵ− , berturut-turut, maka kita mempunyai
atau
hj, m> | Ĵ− Ĵ+ |j, m> i = 0 (9.45)
karena Ĵ+† = Ĵ− . Dari Pers.(9.39) yang ke-dua, (9.32), (9.33), dan (9.45)
diperoleh
λ j = m> (m> + 1) . (9.46)
ˆ
Selanjutnya, λ j (swanilai bagi ~J2 ) hanya gayut pada j (sesuai
denga definisi |j, mi), sehingga, berdasarkan Pers.(9.46) dan (9.47),
m> dan m< hanya merupakan fungsi j. Jika dipilih
m> = j (9.49)
1 3
j = 0, , 1, , . . . , ∞ (nol, positif bulat dan tengahan). (9.51)
2 2
Dari Pers.(9.37), swanilai λ j diberikan oleh
λ j = j(j + 1) (9.52)
ˆ
(Bandingkan dengan Pers.(7.86) atau swanilai bagi operator ~L2 ). Se-
dangkan dengan melihat Pers.(9.47), m dapat mempunyai nilai an-
tara j dan −j sedemikian hingga bahwa
sehingga
m = −j, −j + 1, . . . , 0, . . . , j − 1, j . (9.53)
Karena itu
p
c+ (j, m) = eiδ j( j + 1) − m(m + 1) , (9.55a)
p
c− (j, m) = e iγ
j(j + 1) − m(m − 1) . (9.55b)
Faktor eiδ dan eiγ muncul karena nilai |c± (j, m)|2 adalah bulat real,
padahal c± ( j, m) itu sendiri adalah tetapan (skalar) yang dapat kom-
pleks (karena operator Ĵ± bukanlah operator yang hermitan). Nilai δ
dan γ adalah real dan tak gayut pada j dan m.
Dari Pers.(9.42) dan (9.55) diperoleh
p
Ĵ+ | j, mi = eiδ ( j − m)( j + m + 1)~| j, m + 1i , (9.56a)
p
Ĵ− | j, mi = eiγ ( j + m)(j − m + 1)~|j, m − 1i . (9.56b)
Karena itu
ei(δ+γ) = 1 atau γ = −δ . (9.57)
jadi, pemilihan δ menentukan fase pada semua vektor relatif untuk
| j, mi. Meskipun demikian, fase dari |j, mi itu sendiri sembarang.
Untuk lebih sederhananya dipilih δ = 0, sehingga
p
Ĵ+ | j, mi = (j − m)( j + m + 1)~| j, m + 1i , (9.58a)
p
Ĵ− | j, mi = (j + m)( j − m + 1)~| j, m − 1i . (9.58b)
~ ~
Ŝ1 |αi = |βi , Ŝ1 |βi = |αi (9.65a)
2 2
~ ~
Ŝ2 |αi = i |βi , Ŝ2 |βi = −i |αi . (9.65b)
2 2
~ ~
hŜ3 iχ = hχ|Ŝ3 |χi = |hα|χi|2 − |hβ|χi|2 = |c1 |2 − |c2 |2 . (9.71)
2 2
Karena itu
|c1 |2 = |hα|χi|2 dan |c2 |2 = |hβ|χi|2
adalah, berturut-turut, peluang/kebolehjadian bahwa sebuah zarah
dalam keadaan |χi mempunyai spin-atas dan spin-bawah.
ˆ
Jm2 0 m ≡ h j, m0 |~J2 |j, mi = j(j + 1)~2 δm0 m , dan (9.72a)
(J3 )m0 m ≡ h j, m | Ĵ3 |j, mi = m~δm0 m ,
0
(9.72b)
Wakilan matriks bagi Ĵ1 dan Ĵ2 dapat diperoleh dari Pers.(9.37),
(9.73a), dan (9.73b), yaitu
1 i
J1 = (J+ + J− ) dan J2 = (J+ − J− ) . (9.74)
2 2
ˆ
Seperti yang diharapkan bahwa ~J2 dan Ĵ3 adalah diagonal dalam
wakilannya.
Selanjutnya, kita akan meninjau secara tersurat, sebagai contoh,
ˆ
wakilan berbagai operator momentum sudut orbital ~L2 , L̂3 , L̂± alih-
ˆ
alih ~J2 , Ĵ3 , Ĵ± dengan nilai j adalah bilangan bulat (`). Jika diambil
nilai ` = 1, sehingga m = 1, 0, −1 (perlu ditekankan di sini bahwa
baris dan kolom dilabeli dengan m = 1, 0, −1 dari kiri ke kanan dan
dari atas ke bawah), maka akan diperoleh
1 0 0 1 0 0
L2 = 2~2 0 0 0 , L3 = ~ 0 0 0 ,
(9.75a)
0 0 1 0 0 1
√ 0 1 0 √ 0 0 0
L+ = 2 ~ 0 0 1 , L− = 2 ~ 1 0 0 , (9.75b)
0 0 0 0 1 0
sedangkan dari Pers.(9.71) (mengganti j dengan `) dan (9.75b) dipe-
roleh
√ √
0 1 0 0 −1 0
2 i 2
L1 = ~ 1 0 1 , L2 = ~ 1 0 −1 .
(9.76)
2 2
0 1 0 0 1 0
Contoh 9.3
dengan α dan β adalah swavektor (9.82) bagi Ŝ3 . hal itu meru-
pakan perampatan dari ungkapan (9.84), dengan amplitudo kebo-
lehjadian spin-atas dan spin-bawah c1 dan c2 merupakan fungsi ~r.
Dengan kata lain, zarah berspin- 21 dilukiskan oleh fungsi gelombang
berkomponen-2. Tafsiran peluang atau kebolehjadian |ψi (~r)|2 d3~r ada-
lah kebolehjadian bahwa zarah ada di dalam unsur volume d3~r pada
~r, dengan spin-atas jika i = 1 dan dengan spin-bawah jika i = 2, dan
3
X
P(~r) d ~r =
3
|ψi (~r)|2 d3~r (9.88)
i=1
Contoh 9.4
2 Z
X ψ1 (~r)
!
hΦ|Ψi = hϕ1 ϕ2 |ψ1 ψ2 i = d ~r ϕ1 (~r) ϕ2 (~r)
3∗ ∗
. “
ψ2 (~r)
i=1
dengan (n) = (1), (2) adalah label subsistem. Di sini dianggap bahwa
dua subsistem itu saling bebas, yaitu bahwa jenis operator yang sama
bagi kedua subsistem saling berkomutasi, lebih jauh lagi
h i
Ĵi(1) , Ĵ j(2) = 0 dengan i, j = 1, 2, 3 . (9.91)
Kaedah di atas juga sesuai untuk momentum sudut orbital dan spin
pada zarah yang sama, karena operator momentum sudut orbital L̂
beroperasi hanya pada fungsi gelombang ruang, sedangkan opra-
tor spin Ŝ beroperasi pada keadaan spin |αi dan |βi. Resultan bagi
operator momentum sudut total Ĵ didefinisikan oleh
Ĵ = Ĵ(1) + Ĵ(2) . (9.92)
saling berkomutasi, misalnya Ĵ3(1) dan Ĵ3(2) tidak komut dengan Ĵ2 .
Meskipun demikian dapat dibangun dua himpunan yang masing-
masing terdiri dari empat operator, yang bersama-sama dengan ope-
rator hamiltonan, membentuk himpunan lengkap operator yang sa-
ling berkomutasi n(yang menghasilkan o dua
n jenis himpunan o observa-
2 , Ĵ 2 , Ĵ
bel rukun), yaitu Ĵ(1) , Ĵ dan Ĵ 2 , Ĵ 2 , Ĵ 2 , Ĵ .
(2) 3(1) 3(2) (1) (2) 3
Vektor
n basis yang dibangun o oleh himpunan operator yang per-
tama Ĵ(1) , Ĵ(2) , Ĵ3(1) , Ĵ3(2) dilambangkan dengan
2 2
| j(1) , j(2) ; j, mi .
Karena itu pengoperasian operator momentum sudut terhadap
vektor-vektor basis tersebut memberikan
E E
2
Ĵ(i) j(1) , j(2) ; m(1) , m(2) = j(i) ( j(i) + 1)~2 j(1) , j(2) ; m(1) , m(2) (9.93a)
E E
Ĵ3(i) j(1) , j(2) ; m(1) , m(2) = m(i) ~ j(1) , j(2) ; m(1) , m(2) (9.93b)
E E
2
Ĵ(i) j(1) , j(2) ; j, m = j(i) ( j(i) + 1)~2 j(1) , j(2) ; j, m (9.93c)
E E
Ĵ2 j(1) , j(2) ; j, m = j( j + 1)~2 j(1) , j(2) ; j, m (9.93d)
E E
Ĵ3 j(1) , j(2) ; j, m = m~ j(1) , j(2) ; j, m . (9.93e)
Wakilan yang didefinisikan oleh vektor basis | j(1) , j(2) ; m(1) , m(2) i
disebut sebagai wakilan tak tergandeng (uncoupled representation),
Contoh 9.5
Karena Ŝ3(i) |α(i) i = 12 ~|α(i) i, Ŝ3(i) |β(i) i = − 12 ~|β(i) i, dan Ŝ(i) berope-
rasi hanya pada fungsi spin zarah ke-i, maka fungsi
1
|1, 0i = √ |α(1) , β(2) i + |β(1) , α(2) i (C9.5-5)
2
dengan √1 adalah faktor penormalan. Untuk keadaan |0, 0i
2
yang juga merupakan kombinasi linear dari |α(1) , β(2) i dan
|β(1) , α(2) i haruslah ortogonal dengan |1, 0i, karena itu juga
mempunyai swanilai yang berbeda bagi Ŝ2 . Karena |1, 0i ada-
lah simetri terhadap pertukaran 1 dan 2, maka kombinasi anti-
simetri dari |α(1) , β(2) i dan |β(1) , α(2) i adalah ortogonal terhadap
|1, 0i, sehingga
1
|0, 0i = √ |α(1) , β(2) i − |β(1) , α(2) i . (C9.5-6)
2
Kesimpulannya, kombinasi dari dua spin S(1) = 12 dan S(2) =
1
2 memberikan s = 1 atau s = 0. Untuk keadaan s = 1, diketahui
sebagai keadaan trikembar (triplet), mempunyai fungsi spin
simetri (dengan wakilan χs,ms (1, 2) = |s, ms i yaitu
1
χ0,0 (1, 2) = √ α(1) β(2) − β(1) α(2) , (C9.5-8)
2
yang merupakan fungsi spin antisimetri. “
Contoh 9.6
|1, 1; 2, 2i = Y11 (Ω1 )Y11 (Ω2 ) = |1, 1i1 |1, 1i2 . (C9.6-2)
1
|1, 1; 0, 0i = √ |1, 1i1 |1, −1i2 −|1, 0i1 |1, 0i2 +|1, −1i1 |1, 1i2 . “
3
Soal Latihan 9
Metode Hampiran
Tak-gayut Waktu
d2 ψ(x) 2m
2
= − 2 (E − V(x))ψ(x)
dx ~
yang dapat ditulis ulang dalam bentuk
d2 ψ(x) p2
= − ψ(x) (10.1)
dx2 ~2
dengan p
p(x) ≡ 2m(E − V(x)) (10.2)
adalah rumusan klasik untuk momentum bagi zarah dengan energi
total E dan energi potensial V(x). Untuk sementara dianggap bahwa
E > V(x), sehingga p(x) real; ini disebut dengan daerah “klasik ”;
secara klasik zarah terbatas hanya pada jangkau itu (Gambar 10.1).
Umumnya, ψ(x) adalah fungsi kompleks, yang dapat dinyatakan
dalam amplitudo A(x) dan fase φ(x) yang keduanya real,
d2 ψ d2 A d2 φ dφ 2 iφ
!
dA dφ
= + 2i + iA 2 − A e (10.4)
dx2 dx2 dx dx dx dx
Gambar 10.1: Secara klasik, zarah yang dibatasi pada derah dengan E >
V(x)
yang setara dengan dua persamaan real, satu untuk bagian real,
yaitu:
d2 A dφ 2 p2
!
− A = − A, (10.6)
dx2 dx ~2
dan satunya lagi untuk bagian imajiner, yaitu:
d2 φ
!
dA dφ d 2 dφ
2 + A 2 = 0, atau A = 0. (10.7)
dx dx dx dx dx
menjadi
!2
dφ p2 dφ p
= , atau =± ,
dx ~2 dx ~
yang berpenyelesaian
Z
1
φ(x) = ± p(x) dx . (10.9)
~
Dari hasil (10.8) dan (10.9), diperoleh (kedua persamaan itu disu-
lihkan ke Pers.(10.3))
C± R
ψ(x) p e±i( p(x)dx)/~
. (10.10)
p(x)
Contoh 10.1
Gambar 10.2: Sumur kotak potensial tak hingga dengan dasar yang berge-
lombang
1
ψ(x) p C+ eiφ(x) + C− e−iφ(x) ,
p(x)
atau, dalam kasus ini lebih mudah jika kita pilih penyelesaian
berbentuk sinus-cosinus,
1
ψ(x) p C1 sin φ(x) + C2 cos φ(x) , (C10.1-2)
p(x)
dengan
Z x
1
φ(x) = p(x0 ) dx0 . (C10.1-3)
~ 0
Z a
p(x) dx = nπ~ , (C10.1-5)
0
n2 π2 ~2
En = ,
2ma2
yang merupakan tingkat energi bagi sumur kotak tak terhingga
atau zarah yang terkurung di dalam kotak potensial tak ter-
hingga berdimensi-1 sepanjang a.
10.1.2 Penerobosan
C± R
ψ(x) p e±( |p(x)|dx)/~
. (10.12)
|p(x)|
A2 Rx
|p(x0 )|dx0 )/~ B2 Rx
|p(x0 )|dx0 )/~
ψ2 (x) p e( 0 + p e−( 0 . (10.16)
|p(x)| |p(x)|
Tetapi jika tanggulnya sangat tinggi dan atau sangat luas (kebole-
hjadian penerobosan cukup kecil), maka koefisien bagi suku yang
bertambah secara eksponensial (A2 ) haruslah kecil (kenyataannya,
koefisien itu nol jika tanggulnya meluas tak terhingga), dan fungsi
gelombangnya tampak seperti Gambar 10.4. Amplitudo relatif bagi
berkas datang dan berkas yang diteruskan ditentukan oleh total pe-
ngurangan atau penurunan eksponensial di atas daerah non klasik:
|A3 | Ra
0 0
∼ e−( 0 |p(x )|dx )/~ , (10.17)
|A1 |
sehingga Z a
1
T e −2γ
, dengan γ≡ |p(x)|dx . (10.18)
~ 0
Contoh 10.2
1 2Ze2
= E. (C10.2-1)
4πε0 r2
Gambar 10.5: Model Gamow untuk energi potensial zarah alpha di dalam
inti radioaktif
sehingga
p p
arccos r1 /r2 (π/2)− r1 /r2 .
Karena itu
√
2mE π √ Z
p
γ r2 − 2 r1 r2 = K1 √ −K2 Zr1 , (C10.2-3)
~ 2 E
dengan
! √
e2 π 2m
K1 ≡ = 1, 980 MeV1/2 , (C10.2-4)
4πε0 ~
dan
! √
e2 4 m
K2 ≡ = 1, 485 fermi−1/2 . (C10.2-5)
4πε0 ~
√
Gambar 10.6: Grafik logaritma waktu hidup vs. 1/ E untuk beberapa pe-
mancar alfa
Gambar 10.7: Daerah di sekitar titik balik (kita sebut sebagai daerah sam-
bungan) dari Gambar 10.1
~2 d ψp
2
− 2
+ E + V 0 (0)x ψp = Eψp ,
2m dx
atau
d 2 ψp
− α3 xψp = 0 , (10.21)
dx2
dengan
1/3
2m 0
α≡ V (0) . (10.22)
~2
Jika dilakukan perubahan peubah dengan mendefinisikan
z ≡ αx (10.23)
d2 ψp
− zψp = 0 , (10.24)
dx2
yang merupakan “persamaan diferensial Airy” dengan penyelesa-
ian berbentuk “fungsi Airy”, yaitu
1 ∞ s3
Z !
Ai(z) = cos + sz ds (10.25)
π 0 3
dan
∞"
s3
Z !#
1 −(s3 /3)+sz
Bi(z) = e + sin + sz ds , (10.26)
π 0 3
yang mempunyai bentuk asimtot
• untuk z >> 0
1 3/2 1 3/2
Ai(z) ∼ √ 1/4 e−(2/3)z , Bi(z) ∼ √ e(2/3)z (10.27)
2 πz πz 1/4
• untuk z << 0
1 2 π
Ai(z) ∼ √ sin (−z) +
3/2
π(−z)1/4 3 4
1 2 π
Bi(z) ∼ √ cos (−z)3/2 + (10.28)
π(−z)1/4 3 4
a 2 3/2 b 2 3/2
ψp (x) √ e− 3 (αx) + √ e 3 (αx) . (10.33)
2 π(αx) 1/4 π(αx)1/4
1 2 3/2 2 3/2
ψ(x) √ A2 ei 3 (−αx) + B2 e−i 3 (−αx) . (10.36)
~α3/4 (−x)1/4
a 2 π
ψp (x) √ sin (−αx)3/2 + (10.37)
π(−αx)1/4 3 4
a 1 iπ/4 i 2 (−αx)3/2 2 3/2
= √ e e3 − e−iπ/4 e−i 3 (−αx) .
π(−αx)1/4 2i
a A2 −a −iπ/4 A2
√ eiπ/4 = √ dan √ e = √ ,
2i π ~α 2i π ~α
atau (dengan memperhatikan Pers.(10.34) untuk a)
Sementara itu,
XX XX X
hĤi = c∗m cn hψm |Ĥ|ψn i = c∗m cn En hψm |ψn i = En |cn |2 .
m n m n n
(10.42)
Selanjutnya, energi keadaan dasar, katakanlah E0 , merupakan swa-
nilai paling kecil bagi Ĥ , sehingga E0 6 En , dengan n = 0, 1, 2, . . ..
Dengan demikian, dari Pers.(10.42) dapat disimpulkan bahwa
X
hĤi > E0 |cn |2 = E0
n
atau
hψ|Ĥ|ψi ≡ hĤi > E0 , (10.43)
yang merupakan teorema yang digunakan sebagai dasar dalam me-
tode variasi.
Contoh 10.3
∞
π
Z r
−2bx2
1 = |A|2
e dx = |A| 2
,
−∞ 2b
yang menghasilkan
!1/4
2b
A= . (C10.3-2)
π
~2 b mω2
hĤi = + . (C10.3-4)
2m 8b
d ~2 mω2
hĤi = − =0
db 2m 2~2
yang menghasilkan
mω
b= . (C10.3-5)
2~
Dengan menyulihkan Pers.(C10.3-5) ke Pers.(C10.3-4) dipero-
leh
1
hĤimin = E0 = ~ω . (C10.3-6)
2
~2 2 e2
!
2 2 1
Ĥ = − ∇ + ∇2 −
2
+ + . (10.44)
2m 1 4π0 r1 r2 |~r1 − ~r2 |
Jika, misalkan, kita mengabaikan suku tolak ini, maka Ĥ dapat di-
pecah menjadi dua Hamilton Hidrogen yang saling bebas. Jika de-
mikian, maka penyelesaian pastinya dapat merupakan produk bagi
fungsi gelombang Hidreogen, yaitu
Karena itu
hĤi = 8E1 + hV̂ee i (10.49)
dengan
2 Z Z
e−4(r1 +r2 )/r0 3 3
!
e2 8
hV̂ee i = d ~r2 d ~r1 . (10.50)
4π0 πr0
3 r1 − ~r2 |
~r1 ~r2 |~
e−4r2 /r0 3
Z
I2 ≡ d ~r2 (10.52)
|~r1 − ~r2 |
Z 2π Z π Z ∞
e−4r2 /r0
= q r22 sin θ2 dr2 dθ2 dφ2 .
0 0 0 r21 + r22 − 2r1 r2 cos θ2
=
r1 r2
0
1
q q
= r2 r1 + r2 + 2r1 r2 − r21 + r22 − 2r1 r2
2 2
r1
r1 jika r2 < r1
2
1
= r2 ((r1 + r2 ) − |r1 − r2 |) = ,(10.54)
r1 r2 jika r2 > r1
2
yang meskipun tidak sama dengan nilai hasil percobaan (−79 eV),
namun pendekatannya sudah lebih baik.
Cara lain yang lebih baik adalah dengan mencari fungsi coba
yang lebih realistis daripada ψ0 (yang memperlakukan dua elek-
tron tidak berinteraksi sama sekali). Alih-alih menganggap ke dua
elektron tidak saling berinteraksi, kita anggap bahwa setiap elektron
mewakili awan muatan negatif yang melingkupi sebagian inti atom,
sedemikian hingga elektron yang satunya hanya dipengaruhi oleh
muatan inti efektif (Z) yang bermuatan kurang dari +2. Anggapan
itu menuntun kita untuk menggunakan fungsi coba yang berbentuk
~2 2 e2 Z Z
Ĥ = − ∇1 + ∇22 − +
2m 4π0 r1 r2
2
!
e Z−2 Z−2 1
+ + + . (10.59)
4π0 r1 r2 |~r1 − ~r2 |
e2 D 1 E
!
hĤi = 2Z E1 + 2(Z − 2)
2
+ hV̂ee i . (10.60)
4π0 r
Pada persamaan di atas h1/ri adalah nilai harap bagi 1/r di dalam
keadaan hidrogenik ψ100 tetapi dengan muatan inti Z, yaitu
1 Z
= . (10.61)
r r0
Nilai harap bagi V̂ee sama seperti pada bahasan sebelumnya yang
menghasilkan Pers.(10.56), kecuali alih-alih Z = 2 dalam persoalan
ini Z adalah sembarang, karena itu kita kalikan r0 dengan 2/Z, yang
menghasilkan
5Z e2
!
5Z
hV̂ee i = =− E1 . (10.62)
8r0 4π0 4
Dengan demikian (dari Pers.(10.60), (10.61), dan (10.62)) diperoleh
5 27
hĤi = 2Z3 − 4Z(Z − 2) − Z E1 = −2Z2 + Z E1 . (10.63)
4 4
yang menghasilkan
27
Z= = 1, 69 . (10.64)
16
hasil di atas cukup masuk akal dan menunjukkan bahwa salah satu
elektron yang melingkupi inti, mereduksi muatan efektifnya dari 2
menjadi 1,69. Dengan nilai Z ini diperoleh (dengan menyulihkan
Pers.(10.64) ke (10.63))
1 3 6
hĤi = E1 = −77, 5 eV . (10.65)
2 2
Dengan cara di atas, keadaan dasar atom Helium telah dihitung
dengan cukup presisi, dengan menggunakan fungsi gelombang coba
yang semakin rumit dengan sejumlah parameter yang cocok.
dan
Z 2π Z π Z ∞ √
1 r2 +R2 −2rR cos θ 2
I= 3 e−r/r0 e− r sin θdrdθdφ . (10.72)
πr0 0 0 0
e2 1
E1 = − ,
4πε0 2r0
diperoleh
D+X
hĤi = 1 + 2 E1 (10.80)
1+I
dengan D, X, dan I diberikan oleh Pers.(10.79a), (10.79b), dan (10.75).
Berdasarkan asas variasi, energi keadaan dasar lebih kecil da-
ripada hĤi. Tentu saja karena energi itu hanyalah energi elektron,
sementara itu juga ada energi yang terkait dengan tolakan proton-
proton, yaitu
e2 1 2r0
Vpp = = −2 E1 . (10.81)
4πε0 R R
karena itu energi total total sistem, dalam satuan −E1 dan dinyatakan
sebagai fungsi R/r0 , lebih kecil daripada
1 − 2
(R/r ) 2 e−R/r0 + 1 + (R/r ) e−2R/r0
2r0
3 0 0
E(R/r0 ) = −1 + .
R
1 + 1 + (R/r0 ) + 31 (R/r0 )2 e−R/r0
(10.82)
Fungsi E(R/r0 ) dirajah sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 10.14
yang secara jelas menunjukkan terjadinya ikatan. Untuk kurva pada
~2 2
Ĥ = − ∇ + V̂(~r), (10.84)
2m
pers.(10.90) menghasilkan:
(0) E (1) E (2) E
Ĥ(0) + λĤ(1) ψn + λψn + λ2 ψn + · · · =
Ĥˆ (0) ψn +
(0) E
(1) E (0) E
λ Ĥ(0) ψn + Ĥ(1) ψn +
(2) E (1) E
λ2 Ĥ(0) ψn + Ĥ(1) ψn +
(3) E (2) E
λ3 Ĥ(0) ψn + Ĥ(1) ψn +
··· +
(m) E (m−1) E
λm Ĥ(0) ψn + Ĥ(1) ψn + (10.91)
··· .
silkan:
(0) (0)
E
0 = Ĥ(0) − En ψn
E E
(0) (1) (1) (0)
+λ Ĥ(0) − En ψn + Ĥ(1) − En ψn
E E E
(0) (2) (1) (1) (2) (0)
+λ Ĥ − En ψn + Ĥ − En ψn − En ψn
2 (0) (1)
E E
(0) (3) (1) (2)
+λ Ĥ(0) − En ψn + Ĥ(1) − En ψn −
3
(2) (1)
E (3) (0)
E
En ψn − En ψn
+···
E E
(0) (m) (1) (m−1)
+λm Ĥ(0) − En ψn + Ĥ(1) − En ψn −
m
X E
(k) (m−k)
E n ψ n
k=2
+··· . (10.93)
Karena parameter λ sebarang dan tidak sama dengan nol, maka
pers.(10.93) dipenuhi jika koefisien bagi λl dengan l = 0, 1, 2, 3, . . .
sama dengan nol. Akibatnya, akan diperoleh sederetan persamaan
yang masing-masingnya secara berurutan merupakan koefisien bagi
λ0 , λ1 , λ2 , dan seterusnya, yaitu:
(0) (0)
E E E
(0) (0) (0) (0)
Ĥ − En ψn = 0 atau Ĥ ψn = En ψn ; (10.94a)
(0)
(0) (1)
E E E
(1) (0) (1) (0)
Ĥ − En ψn + Ĥ ψn = En ψn ; (10.94b)
(0)
(0) (2)
E
(1)
E
(1) (1)
E
(2) (0)
E
Ĥ(0) − En ψn + Ĥ(1) ψn = En ψn + En ψn , (10.94c)
atau secara umum
E E Xm E
(0) (m) (1) (m−1) (k) (m−k)
Ĥ − En ψn + Ĥ ψn
(0)
= En ψn . (10.95)
k=1
Pers.(10.94a) tidak lain adalah persamaan swanilai untuk sistem
tanpa gangguan; sementara pers.(10.94b) sampai (10.95) adalah per-
samaan dengan gangguan.
Selanjutnya, uraian lengkap suku koreksi dapat dijabarkan da-
lam dua macam kasus, yaitu kasus tak merosot dan kasus merosot.
Suatu sistem tanpa gangguan dikatakan tak merosot jika untuk se-
tiap swanilai hanya bersesuaian dengan
(0) E satu swafungsi.
E Secara
(0)ma-
E
(0) (0)
tematis, hal itu berarti jika Ĥ(0) ψm = Em ψm dan Ĥ(0) ψn =
(0) (0)
E (0) E (0) E
Em ψn maka ψm = ψn .
(m)
Selanjutnya, En dapat diperoleh melalui perkalian skalar Pers.-
(10.95) berikut:
D (0)
(0) (m)
E D (0) (m−1) E
ψn Ĥ(0) − En ψn + ψn Ĥ(1) ψn
m D
X E
(0) (k) (m−k)
= ψn En ψn
k=1
m
X D (0) (m−k) E
(k)
= En ψn ψn
k=1
m
X
(k) (m)
= En δ0,m−k = En . (10.96)
k=1
sehingga suku pertama ruas kiri pers.(10.96) sama dengan nol. De-
ngan demikian D (0) (m−1) E
(m)
En = ψn Ĥ(1) ψn , (10.97)
yang merupakan persamaan untuk suku koreksi ke-m bagi swanilai
(0)
En .
Suku koreksi bagi swavektor dapat
D (0) ditentukan melalui perkalian
pers.(10.95) dari kiri dengan bra ψm , dengan m , n;
D E D (0) (s−1) E Xs D E
(0) (0) (s) (0) (k) (s−k)
ψm Ĥ(0) − En ψn + ψm Ĥ(1) ψn = ψm En ψn
k=1
Contoh 10.4
dengan
(1)
D (0) (0) E
En = ψn Ĥ(1) ψn (C10.4-2)
dan
(1) E X 1 (0) E D (0) E
ψn = ψm ψm Ĥ(1) ψ(0)
n . (C10.4-3)
(0) (0)
m,n En − Em
D (0) (0) E (1)
Jika didefinisikan ψm Ĥ(1) ψn ≡ Hmn , maka kaitan (C10.4-2)
dan (C10.4-3) dapat dituliskan sebagai
(1)
(1) (1)
(1) E X Hmn (0) E
En = Hnn dan ψn =
(0) (0)
ψm , (C10.4-4)
m,n En − Em
yang menunjukkan bahwa koreksi orde-1 energi sistem meru-
pakan unsur diagonal dari Hamilton gangguannya. Dengan
menyulihkan pers.(C10.4-4) ke (C10.4-1) diperoleh
(0) (1)
EIn = En +λHnn (C10.4-5)
dan
(1)
E (0) E X Hmn (0) E
ψIn = ψn +λ ψm . (C10.4-6)
(0) (0)
m,n En − Em
Untuk gangguan berorde-2, energi gangguan diperoleh
dari Pers.(10.97), yaitu
(2)
D (0) (1) E
En = ψn Ĥ(1) ψn . (C10.4-7)
persamaan itu (dan karena itu juga suku koreksi yang lebih tinggi
lainnya) tak terdefinisi karena penyebutnya sama dengan nol un-
(0) (0)
tuk kasus merosot (En = Em ). Untuk mengatasi persoalan tersebut
(paling-tidak limitnya terdefinisi), pembilang bagi persamaan yang
merupakan suku koreksi tingkat pertama itu harus sama dengan
nol, yaitu D (0) (0) E
ψm Ĥ(1) ψn = 0 .
Hal
(0) Eitu berarti untuk sub-ruang merosot harus dipilih swakeadaan
ψm yang memenuhi kondisi/persyaratan di atas. Proses pencarian
swakeadaan ini disebut sebagai “proses pendiagonalan Hamilton
gangguan di dalam sub-ruang
(0) E merosot”. Proses ini dilakukan
(0) E me-
lalui penggantian ψm pada sub-ruang merosot dengan ϕn yang
merupakan kombinasi linear dari swakeadaan yang bersangkutan
sedemikian hingga dipenuhi
D (0) (0) E (0) (0)
ϕm Ĥ(1) ϕn = 0 untuk Em = En . (10.102)
(0) (0)
dengan |ϕn i juga ternormalkan sebagaimana |ψn i.
(0)
Kembali ke Pers.(10.94b), jika pada persamaan tersebut ψn di-
(0)
ganti dengan ϕn , kemudian Pers.(10.105) yang pertama disulihkan
ke dalamnya, maka diperoleh
(0) (1)
E (1) (0) E
Ĥ(0) − En ψn = En − Ĥ(1) ϕn
g
(1)
X (0) E
= En − Ĥ (1)
Sin ψi . (10.108)
i=1
(0)
untuk n 6 g. Perkalian skalar bagi persamaan di atas dengan |ψm i
(0) (0) (0)
(perkalian dengan hψm | dari kiri), dan karena Em = En untuk m, n 6
g, maka
g
D (0)
(0) (1)
E D (0)
(1)
X (0) E
ψm Ĥ(0) − E n ψ n = ψm En − Ĥ (1)
Sin ψi
i=1
g
X (1) (1)
0 = δmi En − Hmi Sin , (10.109)
i=1
bentuk tersurat
(0) E potensial gangguan dalam wakilan swafungsi yang
baru ϕn setelah melalui proses pendiagonalan adalah:
dengan
E(1) 0 · · · 0
1
0 E(1) · · · 0
(1) 2
= .
Eg .. .. ..
(10.117)
.. . . .
..
(1)
.
0 0 E g
hϕ(0) |Ĥ(1) |ψ(0) i hϕ(0) |Ĥ(1) |ψ(0) i · · · (0)
hϕ1 |Ĥ(1) |ψN
(0)
i
1 g+1 1 g+2
(0) (1) (0) (0) (1) (0) (0) (0)
hϕ2 |Ĥ |ψ g+1 i hϕ2 |Ĥ |ψ g+2 i · · · hϕ2 |Ĥ(1) |ψN i
0 (1)
H g,N−g = .. .. .. ..
.
. . .
(0) (1) (0) (0) (0) (0) (0)
hϕ g |Ĥ |ψ g+1 i hϕ g |Ĥ(1) |ψ g+2 i · · · hϕ |Ĥ(1) |ψ i
g N
(10.118)
hψ(0) |Ĥ(1) |ϕ(0) i hψ(0) |Ĥ(1) |ϕ(0) i · · · (0) (0)
hψ g+1 |Ĥ(1) |ϕ g i
g+1 1 g+1 2
hψ(0) |Ĥ(1) |ϕ(0) i hψ(0) |Ĥ(1) |ϕ(0) i · · · (0) (1) (0)
hψ g+2 |Ĥ |ϕ g i
0 (1)
= g+2 . 1 g+2 2
HN−g,g .. .. ..
.
. . . .
(0) (1) (0)
(0) (0) (0) (1) (0)
hψN |Ĥ |ϕ1 i hψN |Ĥ(1) |ϕ2 i · · · hψ |Ĥ |ϕ i
N g
(10.119)
hψ(0) |Ĥ(1) |ψ(0) i hψ(0) |Ĥ(1) |ψ(0) i · · · (0)
hψ g+1 |Ĥ(1) |ψN
(0)
i
g+1 g+1 g+1 g+2
(0) (1) (0) (0) (0) (0) (0)
hψ g+2 |Ĥ |ψ g+1 i hψ g+2 |Ĥ(1) |ψ g+2 i · · · (1)
hψ g+2 |Ĥ |ψN i
(1)
HN−g = .. .. .. ..
.
. . .
(0) (1) (0) (0) (0) (0) (0)
hψN |Ĥ |ψ g+1 i hψN |Ĥ(1) |ψ g+2 i · · · hψ |Ĥ(1) |ψ i.
N N
(10.120)
Energi dan fungsi gelombang gangguan tingkat/orde pertama
dalam sub-ruang merosot adalah
(1)
D (0) (0) E
En = ϕn Ĥ(1) ϕn (10.121a)
D (0) (0) E
(1) E X X ϕm Ĥ(1) ϕn
ψ n (0) E
= (0) (0)
ψm (10.121b)
m>g m,n En − Em
Gambar 10.15: Tingkat tunggal E(0) pecah menjadi g-tingkat yang berbeda
Contoh 10.5
Pengayun Tak-selaras
Perhatikan kembali sistem pengayun selaras di dalam sub-
bahasan 4.2. Bila potensial sistem mengalami gangguan kecil
λx̂3 , yaitu
1 2
V(x) = kx̂ +λx̂3 (C10.5-1)
2
maka pengayun ini disebut sebagai pengayun Tak-selaras (ku-
bik). Dengan demikian Hamiltonan sistem menjadi
~2 d2 1 2
Ĥ(x) = + kx̂ +λx̂3 (C10.5-2)
2m dx2 2
dengan
~2 d2 1 2
Ĥ(0) (x) = + kx̂ (C10.5-3)
2m dx2 2
dan
(1)
D (0) (0) E
En = ψn x̂3 ψn . (C10.5-5)
(0) (0)
|ψm ihψm | = 1, Pers.-
P
Mengingat bentuk operator proyeksi m
(C10.5-5) dapat diurai menjadi
XD ED (0) (0) ED (0) (0) E
(1) (0) (0)
En = ψn x̂ψl ψl x̂ψm ψm x̂ψn . (C10.5-6)
l,m
(1)
En = 0 . (C10.5-8)
hanya jika
15 ~2 11
(2)
En = − n 2
+ n + . (C10.5-11)
4 m3 ω4c 30
Dengan demikian, energi pengayun tak-selaras sampai koreksi
tingkat-2 adalah
1 15 ~2 11 2
EIIn = n + ~ω− n2
+ n + λ. (C10.5-12)
2 4 m3 ω4c 30
Spektrum pergeseran energinya ditunjukkan oleh Gambar
10.16
Contoh 10.6
1 + λ 0 λ
0
2 λ λ
0
Ĥ = (C10.6-1)
λ λ 2
0
λ 0
0 2
1 0 0 0 a a a a
0 2 0 0 b b 2b b
= 1 atau = (C10.6-5)
0 0 2 0 c c 2c c
0 0 0 2 d d 2d d
a = 1, dan b = c = d = 0. (C10.6-6)
(0)
Untuk n = 2 (tekait dengan swanilai E2 ), dengan langkah
yang sama seperti di atas, diperoleh
(0)
Karena hanya ada satu swafungsi bagi swanilai E1 = 1,
(0)
yaitu |ψ1 i, maka keadaan itu merupakan keadaan yang tak
merosot. Dengan demikian koreksi orde pertama bagi energi
dapat dihitung menggunakan rumusan (10.97), yaitu
(0)
D (0) (0)
E1 = ψ1 Ĥ(1) ψ1 i (C10.6-11)
(1)
√ (1) (1)
√
E2 = − 2 ; E3 = 0 ; E4 = 2. (C10.6-14)
(1) (1)
Hni Sin = En Sin dengan n = 2, 3, 4,
(1)
√
Selanjutnya, untuk swanilai E2 = − 2, Pers.(C10.6-16)
menghasilkan
√
S22 = − 2S32 ; S32 = S42 . (C10.6-17)
√
Jika diambil S32 = S42 = k, maka S22 = − 2k, dengan k akan
ditentukan kemudian berkaitan dengan penormalan swafung-
sinya. Dari Pers.(C10.6-15) yang pertama dan (C10.6-17) dipe-
roleh
0√
(0) E − 2
ϕ2 = k
1 . (C10.6-18)
1
(0)
Dari persyaratan penormalan swafungsi |ϕ2 i diperoleh nilai
k, yaitu
D (0) (0) E 1
ϕ2 ϕ2 = k2 (2+1+1) = 1 −→ k= . (C10.6-19)
2
Dengan demikian diperoleh swafungsi baru yang terkait de-
(1)
ngan swanilai E2 , yaitu
0√
(0) E 1 − 2
ϕ2 = . (C10.6-20)
2 1
1
(0) (1)
√
dan swafungsi |ϕ4 i bagi swanilai E4 = 2
√0
(0) E 1 2
ϕ4 = . (C10.6-22)
2 1
1
EII1 = 1 + λ − λ2
√
EII2 = 2 − 2λ − 14 λ2
(C10.6-24)
EII3 = 2 + 12 λ2
√
EII4 = 2 + 2λ + 14 λ2 .
Soal Latihan 10
1. Perhatikan Contoh 10.5.
(a) Buktikan Pers.(C10.6-7).
(b) Dengan menyulihkan Pers.(C10.6-7) ke Pers.(C10.6-6), buk-
tikan Pers.(C10.6-8)
D (0) (0) E
(c) Buktikan bahwa ψm x̂3 ψn , 0 hanya jika m bernilai seba-
gaimana yang diberikan oleh Pers.(C10.6-10).
(d) Dari Pers.(C10.6-9) dengan nilai m diberikan oleh Pers.(C10.6-
10), buktikan Pers.(C10.6-11).
2. Perhatikan Contoh 10.6.
(a) Dengan menggunakan persamaan sekular, dapatkan Pers.-
(C10.6-14).
(b) Buktikan Pers.(C10.6-17).
(c) Buktikan Pers.(C10.6-18), (C10.6-21), dan (C10.6-22).
(d) Lakukan perhitungan rinci swanilai koreksi orde-2 sehingga di-
peroleh hasil sebagaimana yang ditunjukkan pada Pers.(C10.6-
23).
(e) Dengan memperhatikan Pers.(C10.6-9), dapatkan swafungsi
untuk koreksi orde-2 terkait dengan swanilai pada Pers.(C10.6-
23).
Metode Hampiran
Gayut Waktu
V̂(t) akan mewakili medan luar, yaitu yang dikenakan dari luar sis-
tem yang Hamiltonannya adalah Ĥ0 ; misalnya, dapat berupa medan
elektromagnetik luar, atau dapat juga interaksi zarah oleh sistem
seperti pada persoalan hamburan.
Alih-alih sebagaimana yang dibahas dalam Subbab 10.3, dalam
menyelesaikan persoalan teori gangguan gayut waktu akan digu-
nakan operator evolusi (uniter) Û(t, t0 ). Persoalan penentuan vektor
keadaan bagi sistem pada saat t kemudian tereduksi menjadi perso-
alan evaluasi û(t, t0 ) untuk semua nilai t.
Selanjutnya,
dengan
i
Û0 (t − t0 ) = e− ~ Ĥ0 (t−t0 ) (11.3)
dan ĤI (t − t0 ) didefinisikan oleh persamaan
∂ÛI (t − t0 )
i~ = V̂I (t)ĤI (t − t0 ) , (11.4)
∂t
dengan
V̂I (t) = Û0−1 (t − t0 )V̂(t)Û0 (t − t0 ) . (11.5)
Bentuk iterasi ke-dua diperoleh ketika ÛI (t2 −t0 ) di dalam persamaan
di atas diganti dengan ungkapan yan diperoleh dengan mengganti
t dengan t2 di dalam Pers.(11.6). Perulangan prosedur ini mengha-
silkan
∞
X
(n)
ÛI (t, t0 ) = ÛI (t, t0 ), (11.8)
n=0
dengan
Z tZ t1 Z tn−1
(n)
ÛI (t, t0 ) = (i~) −1
··· V̂I (t1 )V̂I (t2 ) · · · V̂I (tn ) dtn · · · dt2 dt1
t0 t0 t0
(11.9)
yang t1 > t2 > · · · > tn−1 > tn , dan
(0)
ÛI (t, t0 ) = Î . (11.10)
dengan
(n)
Û(n) (t, t0 ) = Û0 (t, t0 )ÛI (t, t0 )
Z t Z tn−1
= (i~) −1
··· Û0 (t, t0 )V̂I (t1 ) · · · V̂I (tn ) dtn · · · dt1
t0 t0
Z t Z tn−1
= (i~)−1 ··· Û0 (t, t1 )V̂(t1 ) ·
t0 t0
Û0 (t1 , t2 )V̂(t2 ) · · · Û0 (tn−1 , tn )V̂(tn )Û0 (tn , t0 ) dtn · · · dt1 .
(11.12)
dengan
Ψ(n) (t) = Û(n) (t, t0 )Ψ(t0 ) . (11.14)
Di sini, Ψ(0) (t) = Û0 (t, t0 )Ψ(t0 ) adalah fungsi gelombang orde-0, dan
Ψ(n) (t) dengan n > 1 adalah fungsi gelombang koreksi orde-n. Dari
Pers.(11.12) dan (11.14), terlihat bahwa Ψ(n) (t) mengalami n peru-
bahan keadaan, dalam evolusinya dari t0 ke t (diilustrasikan dalam
Gambar 11.1). Misalkan dianggap Ψ0 adalah swavektor bagi Ĥ0 ,
dalam kasus Ψ(2) , antara t0 dan t1 sistem berada dalam keadaan
Ψ0 . Pada saat t1 sistem mengalami transisi (berubah), akibat adanya
V̂(t1 ) menjadi swakeadaan yang baru bagi Ĥ0 . Sistem tetap dalam
keadaan yang baru itu sampai t2 . Saat t2 terjadi transisi lagi menjadi
swakeadaan yang lain bagi Ĥ0 akibat pengaruh V̂(t2 ). Karena itu,
evolusi (perubahan sistem) antara t0 dan t1 , t1 dan t2 , serta t2 dan
t dapat digambarkan oleh operator evolusi yang cocok untuk Ĥ0 ,
sementara perubahan keadaan pada t1 dan t2 ditentukan oleh gang-
guan V̂. ketika |V̂(t)| cukp kecil untuk diperlakukan sebagai gang-
guan, amplitudo keadaan akan menurun secara cepat dengan setiap
perubahan keadaan. Dalam kasus sebuah ensembel (anggota bagi
Gambar 11.1: Grafik Feynman bagi kontribusi orde-0, orde-1, dan orde-
2 untuk Ψ(t). Juga ditunjukkan operator evolusi yang bersesuaian untuk
setiap segmen grafik.
dengan
ψk (~r, t) = uk (~r) e−iEk (t−t0 )/~ . (11.17)
Ditinjau juga sistem dalam keadaan ψi pada saat t0 . Kemudian di da-
lam hampiran orde-1, kebolehjadian untuk sistem diperoleh dalam
keadaan ψ f pada saat t diberikan oleh
2
Wi→ f = hψ f (t)|Ψ(t)i (11.18)
dan
Z t
1 ( (
hψ f |Û (t, t0 )|ψi i =
(1)
hψ f |Û0 t, t0 )V̂(t1 )Û0 t1 , t0 )|ψi i dt1
i~ t0
Z t
1
= V f i (t1 ) eiω f i (t1 −t0 ) dt1 , (11.21)
i~ t0
dengan
V f i (t1 ) = hu f |V̂(t1 )|ui i (11.22)
dan
1
ωfi =
(E f − Ei ) (11.23)
~
adalah frekuensi Bohr yang bersesuaian dengan alihan ψi −→ ψ f .
Penyulihan Pers.(11.19), (11.20), dan (11.21) ke Pers.(11.18) mengha-
silkan
Z 2
1 t 0 iω f i t0 0
wi→ f = 2 V f i (t ) e dt dengan i , f (11.24)
~ t0
(a)
(b)
Gambar 11.2: Variasi wi→ f (Pers.(11.25) terhadap (a) t, dan (b) ω f i . Maksi-
mum sekunder di dalam Gambar (b) sama dengan 4V 2f i /(~2 ω2f i )
daan awal, prosedur di atas paling cocok ketika tingkat energi (di
mana alihan terjadi) adalah bagian dari malaran. Kita masih dapat
berpikir pada tingkat yang deskrit namun mereka sangat dekat satu
sama lain. Kemudian dimungkinkan untuk mendefinisikan kebole-
hjadian alihan tiap satuan waktu.
Ditinjau ρ(E f ) adalah rapat keadaan (jumlah tingkat energi tiap
satuan jangkau (interval) energi) di sekitar tingkat (dan termasuk)
|u f i. Kemudian, ρ(E f )dE f adalah jumlah keadaan yang mempunyai
energi antara E f dan E f + dE f . Hasil-kali wi→ f ρ(E f ) dE f ≡ dW adalah
peluang atau kebolehjadian untuk alihan ke grup tingkat-tingkat ini;
dan kebolehjadian alihan total untuk peralihan ke keadaan malaran
diberikan oleh (dengan menggunakan Pers.((11.25))
Z Z
W= dW = wi→ f ρ(E f ) dE f
ωfi
∞ sin2 2 t
Z
= 4 |V f i | ρ(E f )
2
2
dω f i . (11.28)
−∞ ~ω f i
dW 2π
≡ (Wc )i→ f = |V f i |2 ρ(E f ) δ(Ei − E f ) . (11.31)
dt ~
Tikalas c pada persamaan di atas diperlukan untuk menyatakan
bahwa keadaan |ui i dan |u f i adalah bagian dari malaran, tidak seperti
keadaan yang dinyatakan dalam Pers.(11.25).
pˆ2
~ ~2 2
Ĥ0 = =− ∇ .
2m 2m
~ ~
p = ~~k,
Swavektor bagi Ĥ0 adalah gelombang bidang ei(k)·(r) , dengan ~
sedangkan swanilainya diberikan oleh E(k) = ~ k /2m. Karena k
2 2
sehingga,
Z Z
1 ~
Vfi = u∗f (~r)V(~r)ui (~r) d3~r = V(~r)eiK·~r d3~r , (11.33)
L3
~ = ~(~ki − ~k f ) adalah transfer momentum.
dengan ~K
Rapat keadaan ρ(E f ) dapat diperoleh sebagai berikut: Ditinjau
persamaan Schrödinger gayut waktu bersesuaian dengan Ĥ0 , yaitu
∂Ψ(~r, t) ~2 2
i~ = Ĥ0 Ψ(~r, t) = − ∇ Ψ(~r, t) ,
∂t 2m
dengan
Ψ(~r, t) = u(~r) e−iEt/~ .
Penormalan fungsi Ψ tak gayut waktu, yaitu:
∂ ∗ ∂Ψ ∂Ψ∗
Z Z !
0= Ψ Ψ d ~r =
∗ 3
Ψ + Ψ d3~r
∂t ∂t ∂t
Z
i~
= Ψ∗ (∇2 Ψ) − (∇2 Ψ∗ )Ψ d3~r
2m
Z I
= − (∇ · ~j) d ~r = −
3
jn d2~r (11.34)
A
dengan
~j = ~ (Ψ∗ (∇Ψ) − (∇Ψ∗ )Ψ) , (11.35)
2im
dan jn adalah komponen ~j sepanjang normal keluar pada permu-
kaan tertutup A yang melingkupi volume di mana integral diambil
(d2~r melambangkan unsur bagi permukaan itu). Hasil akhir pada
Pers.(11.34) diperoleh melalui teorema divergensi.
Selanjutnya, Pers.(11.34) akan sesuai jika Ψ lenyap di mana-mana
pada permukaan ikat atau Ψ adalah fungsi yang periodik pada
permukaan itu. Di dalam kasus ini, u(~r) yang didefinisikan oleh
Pers.(11.32a) dan (11.32b) tidak lenyak di mana-mana. jadi kondisi
(11.34) harus dipenuhi oleh kondisi batas periodik. Di dalam kasus
volume kubus, kondisi batas ini adalah bahwa u(~r) dan komponen
normal bagi turunan pertamanya harus sama pada muka kubus
yang berlawanan. Dengan memilih tepi kubus sepanjang sumbu ko-
ordinat (dengan sumbu koordinat (x1 , x2 , x3 ) alih-alih (x, y, z), kita
mempunyai
eik j x j = eik j (x j +L) , j = 1, 2, 3
atau
k j L = 2πni , dengan ni = 0, ±1, ±2, . . . (11.36)
dan q
kL = 2πn = 2π n21 + n22 + n23 . (11.37)
(a) 2π|vi f |2
(wc )i→ f = ρ(E f ) δ(E f − Ei − ~ω) . (11.47)
~
Rumusan di atas berlaku ketika keadaan awal adalah bagian dari
spektrum diskret dan keadaan akhir adalah bagian dari malaran.
Contoh dari kasus ini adalah pengionan sebuah atom yang sebuah
elektron menempati keadaan dasar menyerap quanta radiasi dari
medan elektromagnetik gangguan dan melompat ke energi malaran
positif dari spektrum.
Ketika alihan terjadi di atntara tingkat energi diskret, laju alihan
tidak tetap terhadap waktu, melainkan berosilasi (Gambar 11.2(a),
jika medan gangguan benar-benar monokromatis. Prakteknya, kon-
disi yang demikian itu jarang terjadi. Yang lebih sering terjadi adalah
medan terdiri dari berbagai jangkau frekuensi. Dalam kasus itu, di-
mungkinkan untuk mendefinisikan kebolehjadian alihan tiap satuan
waktu yang tak gayut waktu, sebagaimana digambarkan pada ba-
hasan berikut.
~
~ = − 1 ∂A − ∇φ ;
E B ~.
~ =∇×A (11.50)
c ∂t
Ketika sumber medan (muatan dan arus) jauh dari atom, kita dapat
memilih
~ = 0 (kondisi Lorentz).
φ = 0; ∇ · A (11.51)
Dalam kasus yang demikian, potensial vektor memenuhi persamaan
gelombang
2~
~− 1 ∂ A =0
∇2 A (11.52)
c2 ∂t2
yang mempunyai penyelesaian model gelombang bidang
~0 ei(~k·~r−ωt) + A
~ r, t) = A
A(~ ~∗ e−i(~k·~r−ωt) , (11.53)
0
dengan A ~0 adalah vektor tetap yang tegak lurus dengan vektor pen-
jalaran (propagasi) ~k; hasil ~k · A
~0 = 0 dikehendaki agar dipenuhi
kondisi Lorentz (Pers.(11.51)), dan
ω = c |~k| . (11.54)
dan
~ ~ ω
B ~ = k×E,
~ =∇×A karena = k,
k c
sehingga
~ = c ~ ~ ~ c ~k ~ 2
S E × (k × E) = E
4πk 4π k
~k ω2
~2 e2i(~k·~r−ωt) − A
~∗2 e−2i(~k·~r−ωt)
= ~ 0 |2 − A
2|A (11.58)
k 4πc 0 0
Soal Latihan 11
1.
2.
Gasiorowich, S., 1974, Quantum Physics, John Willey & Sons, Canada
A Kelengkapan Matematika
Penjumlahan Vektor
yang bersifat:
1. Komutatif
~+B
A ~=B ~
~ +A (A.2)
2. Asosiatif
~ + (B
A ~ = (A
~ + C) ~ + B) ~
~ +C (A.3)
~ + (−A)
A ~ = ~0 . (A.5)
~ + B)
a(A ~ = aA~ + bB
~ (A.7a)
~ = aA
(a + b)A ~ + bA
~ (A.7b)
~ = (ab) A
a (b A) ~ (A.8)
~ = ~0
0B (A.9a)
~ = A
1A ~ (A.9b)
Kombinasi Linear
~ B,
Kombinasi linear bagi vektor A, ~ . . . adalah ungkapan yang ber-
~ C,
bentuk
aA~ + bB
~ + cC~ + ··· . (A.10)
Vektor X~ dikatakan “bebas linear” atau tak-gayut linear bagi him-
punan A,~ B, ~ . . . jika vektor itu (X)
~ C, ~ tidak dapat ditulis sebagai kom-
binasi linear dari mereka. Misalnya, di dalam sistem koordinat Car-
tesius berdimensi-3, vektor satuan k̂ adalah bebas linear bagi î dan j,ˆ
tetapi suatu vektor dalam bidang-xy adalah gayut linear pada î dan
j.ˆ Himpunan vektor adalah bebas linear jika masing-masing vektor
dalam himpunan itu adalah bebas linear bagi semua hal. Kumpulan
vektor dikatakan “membentang” atau membangkitkan suatu ruang
jika setiap vektor dapat ditulis sebagai kombinasi linear dari anggota
himpunan ini. Himpunan vektor bebas linear yang membentang su-
atu ruang disebut sebagai “basis”. Jumlah vektor di dalam suatu
basis disebut “dimensi” bagi ruang itu. Untuk sementara dianggap
bahwa dimensi (n) berhingga.
Ditinjau vektor basis
e1 , e2 , . . . , en . (A.11)
~ = A1 e1 + A2 e2 + · · · + An en
A (A.12)
1. hA|Bi = hB|Ai∗
2. hA|Ai > 0, dan hA|Ai = 0 jika dan hanya jika |Ai = |0i
3. hA| b|Bi + c|Ci = bhA|Bi + chA|Ci.
yang umumnya juga disebut sebagai panjang bagi vektor itu. Vek-
tor “satuan”, yang bernorma 1, dikatakan ternormalkan. Dua vek-
tor yang hasil-kali-dalamnya sama dengan nol dikatakan saling or-
togonal (perampatan bagi istilah saling “tegak-lurus”). Himpunan
vektor yang ortogonal dan ternormalkan disebut sebagai himpunan
ortonormal , yaitu memenuhi kaitan
hXi |X j i = δi j . (A.15)
321
INDEKS
ruang
Hilbert, 98
vektor linear kompleks, 97
ruang bra, 121
ruang Hilbert, 121