Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN

Senyawa aromatik yang paling sederhana adalah benzena, yaitu suatu


senyawa hidrokarbon siklik dengan ikatan rangkap terkonjugasi yaitu ikatan rangkap
yang terdapat pada atom karbon yang saling berdampingan. Benzena dengan rumus
molekul C6H6 bila dibandingkan dengan senyawa hidrokarbon lain yang
beranggotakan 6 karbon misalnya heksana (C6H14) terlihat bahwa benzena memiliki
tingkat ketidakjenuhan yang tinggi. Tetapi apakah anggapan tentang sifat ketidak
jenuhan ini benar? Ternyata benzena walaupun memiliki ketidakjenuhan seperti
halnya senyawa alkena tetapi benzena tidak memiliki sifatsifat kimia seperti halnya
senyawa alkena. Tentang sifat benzena ini akan dibahas lebih lanjut di topik
berikutnya tetang senyawa aromatik sederhana. Penamaan sebagai senyawa aromatik
untuk benzena dan senyawa turunannya didasarkan pada aroma yang dimiliki
sebagian dari senyawa-senyawa tersebut. Tetapi perkembangan kimia berikutnya
menunjukkan bahwa klasifikasi senyawa kimia dilakukan berdasarkan struktur dan
kereaktifannya, dan bukan atas dasar sifat fisikanya. Pada bab ini akan membahas
tentang senyawa aromatik yaitu benzena dan turunannya. Materi pokok senyawa
aromatik akan dibagi dalam dua topik yaitu tentang senyawa aromatik sederhana dan
senyawa aromatik heterosiklik (Wardiah, 2016).

1.1 Benzena

Benzena adalah senyawa siklik dengan rumus molekul C6H6 yang memiliki
enam atom karbon dengan setiap atom karbonnya terhibidrisasi sp2. Setiap atom
karbon hanya memiliki satu hidrogen yang terikat. Benzena memiliki 3 ikatan
rangkap dalam cincinnya, bila dibandingkan dengan senyawa hidorkarbon lain
yang memiliki enam anggota karbon, misalnya heksana (C6H14) atau heksena

1
(C6H12), diduga benzena memiliki sifat ketidakjenuhan yang tinggi seperti
halnya alkena. Tetapi ternyata benzena tidak menunjukkan sifta- sifat seperti
yang dimiliki oleh alkena (Wardiah, 2016).

Sebagai contoh, benzena tidak dapat bereaksi seperti alkena, bila benzena
direaksikan dengan Br2warna coklat dari bromin tidak dapat hilang hal ini
menandakan tidak terjadi reaksi adisi pada benzena oleh Br2.Reaksi yang terjadi
pada benzena dengan halogen bukan merupakan reaksi adisi tetapi reaksi
substitusi. Sifat-sifat kimia yang diperlihatkan oleh benzena memberi petunjuk
bahwa senyawa tersebut memang tidak segolongan dengan alkena ataupun
sikloalkena (Wardiah, 2016).

Yang termasuk senyawa aromatis adalah Senyawa benzena dan Senyawa


kimia dengan sifat kimia seperti benzene Penamaan sebagai senyawa aromatik
pada awalnya untuk menggambarkan beberapa senyawa benzena dan turunan
benzena yang mempunyai aroma khas, benzena memiliki aroma yang manis,
benzaldehida memiliki aroma seperti buah ceri, peach dan almond, aroma
toluena juga sangat khas yang merupakan aroma dari suatu resin tolu balsam
yangberasal dari pohon myroxylon (Wardiah, 2016).

Gambar 1.1 Benzena dan turunannya

O
C CH 3
H

2
Senyawa benzena dan sejumlah turunannya digolongkan dalam senyawa
aromatik, Penggolongan ini dahulu semata-mata dilandasi oleh aroma yang dimiliki
sebagian dari senyawa-senyawa tersebut. Perkembangan kimia pada tahap berikutnya
menyadarkan para kimiawan bahwa klasifikasi senyawa kimia haruslah berdasarkan
struktur dan kereaktifannya, dan bukan atas dasar sifat fisikanya. Saat ini istilah
aromatik masih dipertahankan, tetapi mengacu pada fakta bahwa semua senyawa
aromatik derajat ketidakjenuhannya tinggi dan stabil bila berhadapan dengan pereaksi
yang menyerang ikatan pi (π) (Wardiah, 2016).
Benzena merupakan suatu anggota dari kelompok besar senyawa aromatik,
yakni senyawa yang cukup distabilkan oleh delokalisasi elektron-pi. Energi resonansi
suatu senyawa aromatik merupakan uluran diperolehnya kestabilan (Wardiah, 2016).
Cara paling mudah untuk menentukan apakah suatu senyawa itu aromatik
ialah dengan menentukan posisi absorpsi dalam mspektrum nomor oleh proton yang
terikat pada atom-atom cincin. Proton yang terikat ke arah luar cincin aromatik sangat
kuat terperisai dan menyerap jauh ke bawah-medan dibandingkan kebanyakan proton,
biasanya lebih dari 7 ppm (Wardiah, 2016).

Benzena merupakan senyawa nonpolar yang banyak digunakan sebagai


pelarut industri, tetapi penggunaannya harus sangat hati-hati karena benzena
bersifat karsinogenik. Pada bidang kefarmasian senyawa aromatik banyak
dijumpai dalam beberapa golongan obat seperti steroid (Wardiah, 2016).

3
Gambar 1.2 Benzena Polisiklik

Para kimiawan membagi semua senyawa organik ke dalam dua kelas yang
lebih luas, yaitu senyawa alifatik dan senyawa aromatik. Berasal dari kata alifatis
berarti bersifat lemak dan aromatik berarti harum. Senyawa alifatik adalah senyawa
rantai terbuka atau senyawa siklik yang sifat kimianya mirip dengan senyawa rantai
terbuka, sedangkan senyawa aromatik adalah benzena atau senyawa yang sifat
kimianya menyerupai benzena (Wardiah, 2016).
Suatu senyawa aromatik mengandung orbital terdelokalisasi delokal yang
berbentuk cincin. Banyaknya elektron p yang terlibat dalam orbital delokal harus
tunduk pada rumus Huckel:
Elektron p = 4 n + 2
Dengan n = 0, 1, 2, 3,……….

4
A. Persyaratan Senyawa Aromatik

Persyaratan Senyawa Aromatik:

1. Molekul harus siklik dan datar .


2. memiliki orbital p yang tegak lurus pada bidang cincin (memungkinkan
terjadinya delokalisasi elektron pi).
3. memiliki orbital p yang tegak lurus pada bidang cincin (memungkinkan
terjadinya delokalisasi elektron pi).
4. Molekul harus siklik dan datar .
5. memiliki orbital p yang tegak lurus pada bidang cincin (memungkinkan
terjadinya delokalisasi elektron pi).
6. memiliki orbital p yang tegak lurus pada bidang cincin (memungkinkan
terjadinya delokalisasi elektron pi).

B. Ikatan Dalam Aromatis


Dalam tahun 1825 Ahli Kimia Inggris Michael Faraday mengisolasi suatu
cairan berminyak dari saluran gas London. Senyawa ini ternyata mempunyai rumus
molekul C2H6 dan diberi nama Benzena. 40 Tahun kemudian ahli Kimia Jerman,
Friederich August Kekule menemukan struktur ini. Hampir 75 tahun kemudian baru
dibentuk struktur benzen yang modern.
Persoalan pertama dalam membuat struktur benzen yang dapat diterapkan
berdasarkan fakta bahwa struktur yang adekuat tak dapat digambarkan apabila
memakai garis ikatan yang biasa. Sekarang kiat emngetahui bahwa enam karbon atau
benzen adalah sp2 yang hibrid dan disusun dalam bentuk cincin dengan 6 anggota.
Tiap atom karbon mengandung sebauah elektron dalam orbit p. Kita harapkan bahwa
enam elektron p ini ada dalam tiga ikatan (Wardiah, 2016).

5
Tetapi rumus bangun ini tidak menerangkan mengapa benzene tak mengalami
reaksi seperti alkena.Lagi pula semua ikatan C-C dalam benzen panjangnya sama, tak
mengandung tiga ikatan rangkap yang pendek dan tiga ikatan tunggal yang panjang.
Semua ikatan C-C mempunyai panjang iaktan 1,40A, ikatan antara ikatan
tunggal C-C (1,54 A) dan antara ikatan rangkap C=C (1,34A).

C H
H
C C

C C
H H
C

Gambar 1.3 Struktur Rantai Benzena

Gambar 1.4 Proses Nitrasi

6
C. Aromatisasi Dan Aturan HUCKEL

Gambar 1. 5 Friedrich Kekule


Friedrich Kekule (1829–1896) berhasil mengungkapkan bagaimana
enam atom karbon pada molekul benzena berikatan dengan atom hidrogen.
Dia menemukan pemecahannya ketika sedang tidur. Dia bermimpi tentang
barisan atom-atom karbon dan hidrogen membentuk cincin, seperti seekor
ular yang menelan ekornya sendiri. Pada 1872, Kekule mengusulkan
perubahan struktur benzena. Menurut Kekule, benzena mengandung tiga
ikatan tunggal dan tiga ikatan rangkap yang posisinya berselang-seling.

7
Gambar 1.6 Struktur Benzene

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa setiap atom C pada


cincin benzena memiliki sifat yang sama. Hal ini ditentukan setelah para
ilmuwan mengetahui bahwa semua ikatan antaratom C memiliki panjang yang
sama, yakni 140 pm (pikometer). Oleh karena semua atom C memiliki fungsi
yang sama, ikatan rangkap senantiasa berubah-ubah. 

Gam
bar 1.7 Resonansi Benzena

Tanda ↔ menyatakan bahwa senyawa benzena mengalami resonansi.

8
Gambar 1.8 Sudut antar ikatan benzena

Struktur benzena dan turunannya seperti disebutkan diatas memperlihatkan


adanya 6 elektron π dalam sistem siklik terkonjugasi. Siklobutadiena dan
siklooktatetraena juga memiliki cincin siklik dengan ikatan rangkap dua terkonjugasi.

siklobutadiena siklooktatetraena

Gambar 1.9 Siklobutadiena dan Siklooktadiena

9
Ternyata keduanya tidak memiliki sifat aromatik walaupun terdapat ikatan
terdelokalisasi pada cincinnya. Menurut Huckel, senyawa aromatik adalah senyawa
yang memiliki sistem ikatan rangkap dua terkonjugasi dengan jumlah elektron π =
(4n + 2), dengan n adalah bilangan bulat 0, 1, 2, 3 … jadi senyawa siklik dengan
ikatan rangkap dua terkonjugasi memiliki jumlah elektron π = 2, 6, 10, 14 …. Adalah
aromatik. Sedangkan siklobutadiena dan siklooktatetraena dengan 4 dan 8 elektron π,
tidak memenuhi rumusan 4n + 2 sehingga bukan senyawa aromatik.

a. Ion-Ion Aromatik

Mencermati definisi Huckel di atas terlihat bahwa batasan tersebut tidak


mempersyaratkan bahwa banyaknya orbital p harus sama dengan jumlah elektron π.
Kenyataannya kedua hal ini dapat saja berbeda. Rumusan Huckel berlaku luas
terhadap berbagai jenis spesies kimia, bukan hanya terhadap hidrokarbon netral.
Contoh:

anion siklopentadienil kation sikloheptatrienil

Gambar 1.20 Anion dan Kation Senyawa Aromatik

Molekul netral siklopentadiena sendiri tidak bersifat aromatis karena


molekulnya tidak terkonjugasi penuh. Karbon gugus –CH2- dalam cincin adalah
hibrida sp3, jadi menghalangi konjugasi –siklis orbital p. Akan tetapi bila satu atom
H dari gugus –CH2- lepas maka karbon sp3 berubah menjadi sp2 sehingga spesies
sekarang mengandung 5 orbital p. Ada 3 cara pelepasan hidrogen dari gugus –CH2-,

10
yaitu atom H pergi dengan membawa satu elektron, atom H pergi tanpa electron, dan
atom H membentuk radikal.

Gambar 1.21 Kation,


Radikal dan Anion Senyawa Benzena

Teori resonasi meramalkan ketiga spesies di atas sangat stabil sebab masing-
masing mempunyai 5 struktur resonasi yang ekuivalen. Sedangkan teori Huckel
meramalkan bahwa hanya anion yang dengan 6 elektron p adalah aromatik.
Kenyataannya kation dan radikal siklopentadienil sulit dibuat, sedangkan
karbanionnya dengan mudah dibuat dan karbanion ini sangat stabil. Fakta lain yang
mendukung adalah bahwa siklopentadiena adalah hidrokarbon yang paling asam di
antara hidrokarbon yang lain, pKa dari kebanyakan hidrokarbon 45, sedangkan
siklopentadiena mempunyai pka = 16, harga yang sebanding denganpKa air.
Siklopentadiena bersifat asam oleh karena anion yang terbentuk oleh ionisasi
adalah cukup stabil. Tidak peduli bahwa anion siklopentadienil hanya mempunyai 5
orbital p.
Dengan alasan yang serupa dapat digunakan untuk meramalkan kestabilan
kation, radikal dan anion sikloheptatrienil. Menurut teori resonansi ketiga spesies ini
mempunyai kestabilan yang tinggi, akan tetapi menurut Huckel hanya kation
sikloheptatrienil yang mempunyai kestabilan aromatik.

11
b. Pandangan Teori Resonansi
Pada mulanya struktur benzena dinyatakan oleh Kekule seperti berikut:

Gambar 1.22 Struktur Kekule


Akan tetapi karena panjang ikatan dalam molekul benzena semuanya sama, yaitu
1,39 A, dan benzena adalah senyawa tunggal (tidak mempunyai isomer); maka ikatan
delokal dalam sistem benzena ditulis dengan struktur resonansi sebagai berikut:

a. Banyaknya ikatan p dan s adalah sama, karena itu dikatakan kedua


struktur ekivalen dalam energi dan merupakan struktur resonansi
yang penting. Masih ada struktur resonansi benzena yang lain,
namun struktur resonansi tersebut tidak penting karena kandungan
energinya tinggi. Misalnya yang dituliskan sebagai berikut:

Gambar 1.23 Resonansi pada Benzena

12
b. Semakin banyak struktur resonansi yang dibuat untuk suatu
senyawa, semakin besar pula energi resonansinya dan semakin
stabil senyawa tersebut.

Gambar 1.24 Resonansi Benzena

Benzena
Benzena dan Turunannya Senyawa benzena pertama kali disintesis oleh
Michael Faraday pada tahun 1825, dari gas yang dipakai sebagai bahan bakar lampu
penerang.Sepuluh tahun kemudian diketahui bahwa benzena memiliki rumus molekul
C6H6  sehingga disimpulkan bahwa benzena memiliki ikatan rangkap yang lebih
banyak daripada alkena.
Dari residu berminyak yang tertimbun dalam pipa induk gas di London. Saat
ini sumber utama benzena, benzena tersubtitusi dan senyawa aromatic adalah
petroleum : sebelumnya dari ter batubara hamper 90% senyawa aktif bahan obat
adalah senyawa aromatik : rumus struktur mempunyai inti benzena.

13
Energi Resonansi Pada Benzena
Untuk menghitung tentang apa yang dimaksud dengan energi resonansi, maka
simaklah data panas hidrogenasi beberapa senyawa sebagai berikut.

Gambar 1.25 Kalor pada Beberapa Benzena

Dari persamaan (1.25) terlihat bahwa untuk hidrogenasi satu ikatan rangkap
dua dilepaskan kalor sebesar 28,6 kkal/mol. Sedangkan persamaan (4.2)
menunjukkan bahwa hidrogenasi dua buah ikatan rangkap dua dilepaskan kalor
sebesar 55,4 kkal/mol. Harga ini kira-kira sama dengan 2 x 28,6 kkal/mol. Dengan
demikian dapat diharapkan bahwa :

 Hidrogenasi tiga buah ikatan rangkap dua seperti struktur resonansi


benzena akan melepaskan kalor sebesar 3 x 28,6 = 86 kkal/mol.

14
Sedangkan dari persamaan (6.3) terlihat bahwa panas hidrogenasi
molekul benzena yang sesungguhnya adalah 49,8 kkal/mol. Untuk
lebih jelasnya harga-harga tersebut disajikan dalam diagram berikut:

Gambar 1.26 Diagram Panas Hidrogenasi Benzena

 Dari diagram di atas terlihat bahwa molekul benzena yang


sesungguhnya memiliki energi lebih rendah dari pada struktur
resonansi yang dibuat. Hal ini berarti bahwa struktur benzena yang
sesungguhnya adalah lebih stabil disbanding struktur resonansinya
yang paling stabil. Pada diagram juga tampak bahwa antara struktur
benzena sesungguhnya dengan struktur resonansi terdapat selisih
energi sebesar 36 kkal/mol. Harga selisih energi ini dinamakan energi
kestabilan atau energi resonansi. Jadi energi resonansi adalah
perbedaan energi antara struktur sesungguhnya dengan struktur
resonansi yang paling stabil. Semakin besar energi resonansi, maka
senyawa bersangkutan semakin stabil.

15
Senyawa Turunan Benzena

Kemudahan benzena mengalami reaksi substitusi elektrofilik menyebabkan


benzena memiliki banyak senyawa turunan. Semua senyawa karbon yang
mengandung cincin benzena digolongkan sebagai turunan benzena. Berikut ini
beberapa turunan benzena yang umum:

Tabel 1.1 Struktur Turunan Benzena

Struktur Nama

Toluena

p-xilena

Stirena

Anilina

Fenol

16
Benzaldehid

Asam Benzoat

Benzil Alkohol

(Sumber : Wardiah, 2016)

 Selain senyawa-senyawa di atas, masih banyak lagi senyawa turunan benzena


yang terdapat di sekitar kita baik itu dengan satu substituen yang terikat pada cincin
benzena, ataupun dua substituen atau lebih.

Rumus Struktur

Friedrich August Kekule pada tahun 1873 menyatakan rumus struktur dari
benzena sebagai suatu struktur heksagonal dengan enam atom karbon yang
memiliki ikatan rangkap berselang-seling.

17
H H
H C H H C H
C C C C
C C C C
H C H H C H
H H

Gambar 1.27 Struktur kekule dengan semua atom dituliskan

Bila benzena direaksikan dengan halogen (Cl atau Br) dengan katalis FeCl 3
maka hanya akan dihasilkan satu senyawa dengan rumus molekul C 6H5X. hal ini
menunjukkan bahwa benzena memiliki atom C dan H yang ekivalen. Tetapi,
walaupun benzena mempunyai ikatan rangkap, benzena tidak mempunyai sifat
seperti halnya senyawa alkena. Pada senyawa alkena reaksi dengan halogen
akan menghasilkan reaksi adisi, sedangkan pada benzena reaksi dengan halogen
akan menghasilkan reaksi substitusi. Sifat ini tidak dapat dijelaskan dengan
struktur kekule.

Ikatan rangkap pada benzena tidak terlokalisasi pada karbon tetentu tetapi
dapat berpindah-pindah (delokalisasi), ini yang disebut dengan resonansi.
Struktur Kekule memberikan sumbangan yang sama terhadap hibrida resonansi,
yang berarti bahwa ikatanikatan C-C bukan ikatan tunggal dan juga bukan ikatan
rangkap, melainkan di antara keduanya.

18
Gambar 1.28 Struktur resonansi benzena

Cincin benzena juga dapat ditampilkan dalam bentuk segienam beraturan


dengan sebuah lingkaran di dalamnya, dimana pada setiap sudut segienam
tersebut terikat sebuah atom H.

1.2 Klasifikasi Senyawa Aromatis

Benzena diberi nama seperti alkana ranta lurus bila sebagai induk.
Substituen yang terikat apda benzena diberi nama sebagai awalan dan diikuti
benzena sebagai induknya. Benzena dapat memiliki satu substituen
(monosubstitusi), dua substituen (disubstitusi), atau lebih dari dua substituen
(polisubstitusi). Penamaan benzena mengikuti jumlah substituen yang terikat
padanya.

1. Benzena monosubstitusi
Penamaan untuk benzena monosubstitusi dilakukan seperti pada aturan
hidrokarbon lainnya. Nama substituen sebagai awalan diikuti oleh nama
benzenanya.

19
Br

CH2CH3 NO2

bromobenzena etilbenzena nitrobenzena

Gambar 1.28 Contoh Benzena Monosubtituen

Gugus benzena tersubstitusi oleh alkil ini disebut juga sebagai gugus arena.
Penamaan untuk senyawa arena tersubstitusi ini tergantung dari jenis substituen
yang terikat padanya. Bila alkil yang terikat lebih kecil (kurang dari 6 karbon)
daripada jumlah karbon penyusun cincin benzena disebut sebagai benzena
tersubstitusi alkil. Tetapi bila jumlah karbon alkil lebih besar (7 atau lebih
karbon) daripada jumlah karbon penyusun cincin benzena maka disebut sebagai
senyawa alkana tersubstitusi fenil (-C6H5). Fenil untuk menyatakan benzena
sebagai substituen. Bila benzena mengikat suatu alkana dengan gugus
fungsional disebut juga sebagai substituen sehingga penamaan untuk cincin
aromatiknya sebagai fenil. Sedangkan penamaan benzil digunakan untuk gugus
C6H5CH2-

gugus fenil gugus benzil

Gambar 1.29 Contoh Benzena Monosubtituen

20
Gambar 1.30 Contoh Benzena Monosubtituen

2. Benzena disubstitusi
Penamaan untuk benzena dengan dua substituen menggunakan awalan orto
(o), meta (m), dan para (p). orto (o) untuk menyatakan substituen pada posisi 1,2
dari cincin benzena. Meta (m) adalah posisi hubungan substituen pada 1,3. Para
(p) menyatakan posisi hubungan substituen pada 1,4.

Gambar 1.31 Posisi Subtituen

Jika salah satu substituen memberikan nama khusus maka penamaannya


menggunakan nama turunan senyawa tersebut. Apabila dua substituen yang
diikat oleh benzena tidak memberikan nama khusus maka penamaan diurutkan
berdasarkan abjad.

21
Gambar 1.32 Contoh Benzena Disubtituen

3. Benzena polisubsititusi
Benzena yang memiliki substituen lebih dari dua maka maka posisi
masing-masing substituen ditunjukkan dengan nomor. Posisi karbon 1
ditentukan dengan memperhatikan posisi substituen dua sehingga substituen
kedua memiliki posisi serendah mungkin terhadap substituen pertama. Jika salah
satu substituen memberikan nama khusus pada senyawa aromatik tersebut, maka
diberi nama sebagai turunan dari nama khusus tersebut. Jika semua substituen
tidak memberikan nama khusus, posisisnya dinyatakan dengan nomor dan
diurutkan sesuai urutan abjad, dan diakhiri dengan kata benzena.

Gambar 1.33 Contoh Benzena Trisubtituen

22
1.3 Sifat Kimia dan Fisis

Sifat Fisis Senyawa Aromatik

Benzena dan senyawa hidrokarbon aromatik bersifat nonpolar, tidak larut


dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik seperti dietil eter atau pelarut lain
yang nonpolar. Penggunaan benzena secara luas sebagai pelarut. Benzena
bersifat toksik dan karsinogenik.

Titik didih dan titik leleh senyawa aromatik besifat khas, tidak mempunyai
pola tertentu. Misalnya benzena mempunyai titik leleh 5,50C dan titik didih
800C, sedangkan toluena mempunyai titik leleh -950C dan titik didih 1110C.
untuk xilena mempunyai titik leleh yang berbeda, p-xilena mempunya titik leleh
paling tinggi (130C) dibandingkan m-xilena (480C) dano-xilena (-250C). ciri
khas dari senyawa aromatik adalah isomer para akan mempunyai titik leleh lebih
tinggi dibandingkan dengan meta dan orto. Karena p-isomer lebih simetris dan
membentuk kisi kristal yang lebih teratur dan lebih kuat. Secara ringkas
disimpulkan sebagai berikut.

 Zat cair tidak berwarna


 Memiliki bau yang khas
 Mudah menguap
 Benzena digunakan sebagai pelarut.
 Tidak larut dalam pelarut polar seperti air air, tetapi larut dalam pelarut yang
kurang polar atau nonpolar, seperti eter dan tetraklorometana
 Larut dalam berbagai pelarut organik.
 Benzena dapat membentuk campuran azeotrop dengan air.
 Densitas : 0,88

23
Sifat Kimia Senyawa Aromatik

 Bersifat bersifat toksik-karsinogenik (hati-hati menggunakan benzena sebagai


pelarut, hanya gunakan apabila tidak ada alternatif lain misalnya toluena)
 Merupakan senyawa nonpolar
 Tidak begitu reaktif, tapi mudah terbakar dengan menghasilkan banyak jelaga
 Lebih mudah mengalami reaksi substitusi dari pada adisi.
 Benzena merupakan cairan yang mudah terbakar
Benzena lebih mudah mengalami reaksi substitusi daripada adisi.
 Halogenasi: benzena dapat bereaksi dengan halogen dengan katalis besi (III)
klorida membentuk halida benzena dan hydrogen klorida.
 Sulfonasi: benzena bereaksi dengan asam sulfat membentuk asam
benzenasulfonat, dan air.
 Nitrasi: benzena bereaksi dengan asam nitrat menghasilkan nitrobenzena dan
air.
 Alkilasi: benzena bereaksi dengan alkil halide menmbentuk alkil benzena dan
hydrogen klorida.

Tabel 1.2 Titik Didih Beberapa Turunan Benzena


No. Nama Titik Leleh Titik Didih
1 Benzene 5,5 80

2 TOLUENA - 95 111

3 o-XILENA - 25 144

4 m-XILENA - 48 139
5 p-XILENA 13 138
(Sumber:

24
BAB II

Tata Nama

System cincin senyawa aromatic mempunyai nama individual. Berbeda dengan


penomoran benzene atau suatu cincin sikloalkana, yang di mulai pada posisi suatu
substituent (penyusun), penomoran suatu cincin polisiklik ditetapkan berdasarkan
perjanjian dan tidak berubah bagaimanapun posisi subtituennya.

Gambar 2.1 Benzena Polisiklik

Sumber: Fessenden,

8 1 8 9 1

7 2 7 2

6 3 6 3
5 4 5 10 4

Naftalena Antrasena
6

5 7

4
8
3

2 9
1 10

Fenantrena

25
Senyawa aromatik diberi nama dengan nama non-sistematik. Nama
nonsistematik tidak dianjurkan tetapi diizinkan oleh IUPAC.

Pada suatu substituent dalam suatu neftaena tersubstitusi mono seringkali


dinyatakan dengan huruf Yunani. Posisi yang berdekatan dengan karbon-karbon
pertemuan cincin disebut α, sedangkan posisi berikutnya adalah posisi β. Dengan
system ini, 1-nitronaftalena disebut α-nitronaftalena. Sedangkan 2-nitronaftalena
disebut β-nitronaftalena. Naftalena sendiri mempunyai 4 posisi α yang ekuivalen dan
4 posisi β yang ekuivalen. (Dalam system antrasena dan fenantrena, hanya digunakan
system bilangan).

α α
7 7 β
β
7 7
β β
7 α α 7
NO2 7 7

NO2

Gambar 2.2 Subtituen padaBenzena Polisiklik


2 – Nitronaftalena 1 – Nitroftalena
(β – Nitroftalena) Sumber: (α – Nitroftalena)
Karena banyak didapati tersebar di alam, makan umumnya senyawa
heterosiklik aromatic lebih menarik perhatian para ahli kimia dari pada senyawa
polisiklik yang hanya mengandung atom – atom karbon dalam cincin – cincinnya.
Seperti senyawa aromatic polisiklik, senyawa heterosikel aromatic biasanya
mempunyai nama individu. Beberapa senyawa benzena memiliki nama tersendiri

26
yang tidak tersistem. Beberapa nama yang lazim seperti tercantum dalam tabel
berikut ini :

Tabel 2.1 Struktur dan nama-nama beberapa benzena tersubstitusi yang umum

Sumber:

Benzena diberi nama seperti alkana rantai lurus bila sebagai induk. Substituen
yang terikat apda benzena diberi nama sebagai awalan dan diikuti benzena sebagai
induknya. Benzena dapat memiliki satu substituen (monosubstitusi), dua substituen
(disubstitusi), atau lebih dari dua substituen (polisubstitusi). Penamaan benzena
mengikuti jumlah substituen yang terikat padanya.

27
2.1 Secara Trivial
Karena kimiawi senyawa aromatic berkembang secara tidak beraturan, jauh
sebelum metode bersistem dikembangkan, nama biasa sudah umum digunakan dan
sering dipakai.

2.1.2 Benzena monosubstitusi

Penamaan pertama untuk benzene monosubtitusi dengan menggunakan


benzene sebagai nama pokok dan substituent disebut sebagai awalan. Sebagai contoh(
, ):

Gambar 2.3 Benzena Monosubtituen

Gugus benzena tersubstitusi oleh alkil ini disebut juga sebagai gugus arena.
Penamaan untuk senyawa arena tersubstitusi ini tergantung dari jenis substituen yang
terikat padanya. Bila alkil yang terikat lebih kecil (kurang dari 6 karbon) daripada
jumlah karbon penyusun cincin benzena disebut sebagai benzena tersubstitusi alkil.
Tetapi bila jumlah karbon alkil lebih besar (7 atau lebih karbon) daripada jumlah
karbon penyusun cincin benzena maka disebut sebagai senyawa alkana tersubstitusi
fenil (-C6H5). Fenil untuk menyatakan benzena sebagai substituen. Bila benzena
mengikat suatu alkana dengan gugus fungsional disebut juga sebagai substituen
sehingga penamaan untuk cincin aromatiknya sebagai fenil. Sedangkan penamaan
benzil digunakan untuk gugus C6H5CH2-.

28
Gambar 2.4 Gugus Fenil dan Gugus Benzil

Gambar 2.5 Benzena Monosubtituen

2. Benzena disubstitusi

Penamaan untuk benzena dengan dua substituen menggunakan awalan orto (o),
meta (m), dan para (p). orto (o) untuk menyatakan substituen pada posisi 1,2 dari
cincin benzena. Meta (m) adalah posisi hubungan substituen pada 1,3. Para (p)
menyatakan posisi hubungan substituen pada 1,4. Jika salah satu substituen
memberikan nama khusus maka penamaannya menggunakan nama turunan senyawa
tersebut. Apabila dua substituen yang diikat oleh benzena tidak memberikan nama
khusus maka penamaan diurutkan berdasarkan abjad.

29
Gambar 2.6 Benzena Disubtituen

3. Benzena polisubsititusi
Benzena yang memiliki substituen lebih dari dua maka maka posisi masing-
masing substituen ditunjukkan dengan nomor. Posisi karbon 1 ditentukan dengan
memperhatikan posisi substituen dua sehingga substituen kedua memiliki posisi
serendah mungkin terhadap substituen pertama. Jika salah satu substituen
memberikan nama khusus pada senyawa aromatik tersebut, maka diberi nama sebagai
turunan dari nama khusus tersebut. Jika semua substituen tidak memberikan nama
khusus, posisisnya dinyatakan dengan nomor dan diurutkan sesuai urutan abjad, dan
diakhiri dengan kata benzena.

30
Gambar 2.7 Benzena Polisubtituen

31
BAB III

REAKSI – REAKSI KIMIA SENYAWA AROMATIK

Benzena merupakan senyawa organik yang dapat mengalami beberapa reaksi


khusus. Reaksi benzena biasanya terjadi melalui penggantian atom hidrogen yang
terikat pada karbon dengan gugus fungsi yang lain, atau dengan istilah reaksi
substitusi. Di bawah ini akan dijelaskan reaksi yang dapat terjadi pada senyawa
benzena, dengan kata lain akan menjelaskan reaksi pembuatan senyawa turunan
benzena.

4.1 Reaksi Substitusi Elektrofilik Aromatik


Benzena, seperti halnya sistem aromatik lain, mengandung sumber elektron
yang kaya, yang lazim dikenal dengan kabut elektron π. Seperti pada alkena dan
alkuna, elektron pada kabut π tidak terikat kuat sehingga dapat diberikan kepada
spesies yang kekurangan elektron dan disebut dengan elektrofil.Reaksi dasar
senyawa aromatik adalah reaksi substitusi elektrofilik. Kebanyakan reaksi benzena
adalah substitusi bukan adisi. Hal ini menunjukkan stabilitas sistem cincin aromatik
yang akan dirusak oleh reaksi adisi. Dalam reaksi ini, elektrofil (E+) bereaksi dengan
sebuah cincin aromatis dan akan menggantikan salah satu rantai benzena yang
berikatan dengan hidrogen: (Sastrohamidjojo, 2011)

Gambar 4.1 Reaksi Substitusi Elektrofilik Senyawa Aromatik

32
Banyak substituen yang bisa berikatan dengan cincin aromatik pada reaksi
substitusi elektrofilik aromatik. Dengan mmilih reagen yang cocok, reaksi ini bisa
untuk melakukan halogenasi pada cincin benzena (mensubsttitusi sebuah halogen :
-F,-Cl,-Br, atau –I), nitrasi (mensubstitusikan gugus nitro: -NO 2), sulfonasi
(mensubstitusikan gugus asam sulfonat), alkilasi (mensubstitusikan gugus alkil: -R),
atau melakukan asilasi (mensubstitusikan gugus asil: -COR). Berawal dari bahan
yang sederhana, kita bisa membuat ribuan senyawa aromatik yang tersubstitusi
(Mcmurry,2000).

Gambar 4.2 Beberapa reaksi subsitusi senyawa aromatic

Reaksi substitusi satu atom H pada benzena oleh satu atom/molekul disebut
dengan reaksi monosubstitusi. Di bawah ini akan diberikan beberapa penjelasan
mengenai macam macam reaksi monosubstitusi, seperti reaksi nitrasi, sulfonasi,
halogenasi, alkilasi,dan asilasi (Fessenden, 1986).

4.1.1 Reaksi Halogenasi Senyawa Aromatik

33
Reaksi brominasi mengikuti mekanisme subsitusi elektrofilik aromatik.
Brom sendiri pada dasarnya merupakan elektrofilik yang tidak cukup , kuat
untuk bereaksi dengan benzena, namun dengan adanya katalisator asam
Lewis seperti FeBr3, reaksi dapat berlangsung. Ion besi pada FeBr 3
kekurangan elektron. Brom memberikan pasangan elektron ke FeBr3
membentuk elektrofil yang lebih kuat dengan melemahkan ikatan Br-Br dan
terbentuknya muatan parsial positif pada salah satu atom brom. Pengikatan
atom brom yang bermuatan positif oleh benzena mmbentuk ikatan α. Di
bawah ini akan diberikan contoh reaksi pembentukan bromobenzena
(McMurry,2000)

Gambar 4.3 Proses pembentukan bromobenzena melalui brominasi

Pada iodasi terhadap benzena membutuhkan zat pengoksidasi yang


bersifat asam, seperti garam tembaga (CuCl2). Iodasi kemungkinan
melibatkan ion iodonium (I+) yang berperan sebagai elektrofil. Ion
iodonium dihasilkan dari oksidasi iod oleh garam tembaga
(Sastroamidjojo,2010)

34
Gambar 4.4 Pembentukan iodobenzena menggunakan reaksi iodasi

Sedangkan pada klorinasi, cincin aromatik bereaksi dengan Cl 2 dengan


katalis FeCl3 untuk menghasilkan klorobenzena.Reaksi ini biasanya
digunakan dalam pembuatan obat, seperti obat penenang diazepam
(Valium) (McMurry,2000).

Gambar 4.5 Pembentukan klorobenzena melalui reaksi klorinasi

4.1.2 Reaksi Nitrasi Senyawa Aromatik


Cincin benzena bisa melakukan nitrasi dengan mereaksikan campuran
asam nitrat pekat dan asam sulfat. Elektrofil dalam reaksi ini adalah ion
nitronium,NO2+, yang berasal dari HNO3 melalui protonasi dan kehilangan

35
molekul air. Ion nitronium bereaksi dengan benzena untuk menghasilkan
karbokation yang prosesnya hampir sama dengan Br+. Kehilangan H+ pada
reaksi ini menyebabkan terbentuknya produk substitusi yang netral,yaitu nitro
benzena (McMurry,2000).

Gambar 4.6 Mekanisme reaksi nitrasi elektrofilik pada cincin benzena

4.1.3 Reaksi Sulfonasi Aromatik

36
Cincin aromatik dapat di sulfonasi melalui reaksi dengan asam sulfat
berasap, yang merupakan campuran antara H2SO4 dan SO3. Elektrofil yang
reaktif adalah HSO3+ atau SO3 netral, bergantung pada kondisi reaksinya.
Substitusi terjadi dengan sama mekanisme dua langkah yang sama dan
sebelumnya telah terlihat pada reaksi nitrasi dan brominasi. Perlu diketahui
bahwa walaupun reaksi sulfonasi dapat bolak-balik, reaksinya dapat maju
ataupun mundur, tergantung pada kondisi reaksinya ( McMurry, 2000).

Gambar 4.7 Mekanisme reaksi sulfonasi

Asam sulfonat aromatik merupakan zat antara yang sangat berguna


dalam pembuatan pewarna ataupun dalam obat-obatan. Contohnya obat sulfa,
seperti sulfanilamida yang merupakan antibiotik. Obat ini telah dibuat secara
komersial melalui proses yang melibatkan reaksi sulfonasi aromatik sebagai
langkah utama.
Pada dasarnya dengan asam sulfat berasap sudah terdapat SO 3 sebagai
senyawa pengsulfonasi. Pada sulfonasi, awalnya kita menggunakan dua
molekul netral yaitu benzena dan SO3 dan setelah terjadi pengikatan, cincin

37
aromatik bermuatan positif dan gugus –SO3- bermuatan negatif. Dalam hal ini
SO3 berperan sebagai asam Lewis (penerima pasangan elektron) dan benzena
sebagai basa Lewis (pemberi pasangan elektron). Pada langkah akhir
sulfonasi terjadi pelepasan proton yang diikat oleh penerima proton (basa
Bronsted-Lowry) yaitu HSO4- . Produk yang diperoleh sebagai ion benzena
sulfonat karena asam benzena sulfonat merupakan elektrolit kuat sehingga
terdisosiasi. Di bawah ini akan diberikan contoh reaksi sulfonasi
(Sastrohamidjojo,2011).

Gambar 4.8 Contoh reaksi sulfonasi

4.1.4 Reaksi Alkilasi Friedel-Crafts


Salah satu dari reaksi substitusi elektrofilik aromatik yang sangat
berguna dalam kehidupan adalah reaksi alkilasi, yang merupakan pemasukan
gugus alkil ke dalam cincin aromatik. Charles Friedel dan James Crafts,ahli
kimia dari Amerika menyatakan bahwa benzena dapat dialkilasi dengan
dicampurkan dengan alkil klorida dengan katalis aluminium klorida.Sebagai
contohnya, benzena bereaksi dengan 2- kloro propana dan AlCl3 untuk
menghasilkan isopropil benzena atau disebut dengan kumena
(Wardiyah,2016).

38
Gambar 4.9 Reaksi alkilasi yang menghasilkan kumena

Reaksi alkilasi Friedel-Crafts adalah substitusi elektrofilik aromatik


dimana elektrofilik merupakan karbokation, R+. Aluminium klorida
mempercepat reaksi dengan cara membantu alkil halida untuk terionisasi. Hal
ini merupakan cara yang sama dilakukan oleh katalis FeBr3 pada reaksi
brominasi.
Akan tetapi, reaksi alkilasi Friedel-Crafts memiliki beberapa
kekurangan. Kekurangan yang pertama yaitu pada reaksi, hanya alkil halida
yang bisa digunakan pada reaksi ini. Alkil fluorida, bromida, klorida, dan
iodida bereaksi dengan baik, tetapi aril halida dan vinil halida tidak dapat
bereaksi. Hal ini dikarenakan kedua gugus tersebut memiliki energi yang
terlalu tinggi untuk melakukan reaksi Friedel-Crafts ( McMurry,2000)

Gambar 4.10 Aril halida dan vinil klorida tidak reaktif dibandingkan alkil halida

Kekurangan kedua yang dimiliki oleh reaksi alkilasi Friedel-Crafts


yaitu reaksi ini tidak reaktif apabila cincin benzena berikatan pada gugus

39
amino atau gugus penarik elektron yang kuat. Contohnya dapat dilihat pada
gambar dibawah ini (McMurry,2000).

Gambar 4.11 Pembatasan substrat aromatik di dalam reaksi Friedel-Crafts

Selain itu, reaksi alkilasi Friedel-Crafts biasanya sulit untuk berhenti


bereaksi setelah substitusi pertama. Contohnya pada reaksi benzena dengan
1 mol ekuivalen 2 kloro-2-metilpropana yang menghasilkan p-di-tert-butil
benzena sebagai produk utama, bersamaan dengan tert-butil benzena dalam
jumlah yang kecil dan benzena yang tidak reaktif. Hasil produk monoalkilasi
tinggi diperoleh hanya bila ada banyak benzena yang
berlebih( McMurry,2000)

Gambar 4.12 Reaksi benzena dengan 2 kloro-2-metilpropana

Keterbatasan yang selanjutnya adalah penyusunan kerangka gugus


alkil masih berlangsung selama reaksi, terlebih jika alkil halida primer yang
digunakan. Jumlah penyusunan kerangka bergantung pada katalis , suhu
reaksi, ataupun kelarutan reaksi. Susunan kerangka yang sedikit umumnya

40
ditemukan pada suhu reaksi yang rendah, tetapi pada suhu ini biasanya
didapatkan campuran produk. Contohnya, reaksi benzena dengan 1-
klorobutana memberikan perbandingan 2:1 pada sec-butil dan butil ketika
reaksinya berada pada suhu 0o C dengan menggunakan AlCl sebagai katalis

Gambar 4.13 Reaksi benzena dengan 1-klorobutana pada suhu yang rendah
menghasilkan sec-butilbenzena 65 % dan butilbenzena 35 %

Penyusunan karbokation pada reaksi diatas sama dengan reaksi adisi


elektrofilik yang terjadi pada alkana. Contohnya, butil karbokation primer
dihasilkan dari reaksi 1-klorobutana dengan AlCl 3 yang tersusun kembali ke dalam
butil karbokation sekunder dan penggantian atom hidrogen dan pasangan
elektronnya (ion hidrida, H:-) dari C2 ke C1.

Gambar 4.14 Penyusunan kembali butil karbokation primer ke dalam bentuk butil
karbokation sekunder

41
Demikian pula, penyusunan karbokation dapat terjadi karena
penggantian gugus alkil. Contohnya, reaksi Friedel-Crafts antara benzena
dengan 1-kloro-2,2-dimetilpropana menghasilkan (1,1-dimetilpropil)
benzena sebagai produk tunggal. Karbokation primer yang awalnya telah
terbentuk kemudian tersusun kembali ke dalam bentuk tersiernya dengan
penggantian gugus metil dan pasangan elektronnya dari C2 ke C1
(McMurry,2000).

Gambar 4.15 Penyusunan karbokation primer ke dalam


bentuk tersier selama reaksi Friedel-Crafts
berlangsung

4.1.5 Reaksi Asilasi Friedel-Crafts


Sebuah gugus asil, -COR (dibaca a-sil) terdapat pada cincin ketika
senyawa aromatik bereaksi dengan klorida asam, RCOCl, dengan
katalisnya adalah AlCl3 . Contohnya, reaksi antara benzena dengan asetil
klorida menghasilkan ketone dan asetofenon

42
Gambar 4.15 Contoh reaksi asilasi Friedel-Crafts

Mekanisme reaksi asilasi Friedel-Crafts hampir sama dengan reaksi


alkilasi Friedel-Crafts. Elektrofil reaktifnya adalah kation asil yang telah
beresonansi secara stabil. Sebuah kation asil distabilisasi dengan interaksi
pada orbital yang kosong dalam karbon dengan ion pasangan elektron.
Setelah terbentuk, kation asil tidak tersusun kembali. Kation pada asil
diserang oleh cincin aromatik untuk memberi substitusi produk yang tidak
tersusun. Dibawah ini akan dijelaskan mekanisme reaksi asilasi Friedel-
Crafts (McMurry,2000).
a. Tahap I
Pada tahap ini, reaksi terdiri dari disosiasi atom klor menjadi
kation asil. Mekanismenya adalah sebagai berikut:

Gambar 4.16 Disosiasi atom klor menjadi kation asil

b. Tahap II

43
Pada tahap ini, gugus arena melakukan serangan nukleofilik
terhadap gugus asil. Mekanismenya sebagai berikut:

Gambar 4.17 Serangan nukleofilik arena terhadap gugus asil


c. Tahap III
Pad tahap ini, atom klor bereaksi menjadi HCl dengan katalis
AlCl3 terbentuk kembali seperti semula. Mekanismenya adalah
sebagai berikut:

Gambar 4.18 Atom klor bereaksi menjadi HCl dan katalis AlCl 3

4.2 Substitusi Kedua


Suatu benzena tersubstitusi dapat dengan mudah mengalami substitusi gugus
kedua. Beberapa benzena tersubstitusi bereaksi lebih mudah daripada benzenanya
sendiri, sementara benzena substitusi lain lebih sukar bereaksi. Misalnya anilina
bereaksi substitusi elektrofilik sejuta kali lebih cepat daripada benzena. Sebaliknya,
nitrobenzena bereaksi dengan laju kira-kira sepersejuta laju benzena
(Fessenden,1986).
Untuk menyintesis senyawa yang lebih kompleks, maka kita perlu
memperhatikan pengaruh substituen lain yang akan melakukan substitusi lebih
lanjut. Terdapat dua faktor penting yang perlu diperhatikan:

44
1. Orientasi gugus yang akan masuk
2. Reaktivitas dari substituen yang telah terikat pada senyawa benzena terhadap
gugus yang akan masuk.
Sebagai contoh, bila toluena direaksikan dengan campuran asam nitrat dan asam
sulfat seperti reaksi dengan benzena, namun disini terdapat perbedaan yang perlu
dicermati:
1. Ternyata toluena beraksi sekitar 25 kali lebih cepat bila dibandingkan dengan
benzena pada kondisi yang sama. Kita mengatakan bahwa toluena
mengaktifkan terhadap substitusi elektrofilik aromatik dan dikatakan bahwa
gugus metil merupakan gugus pengaktif.
2. Nitrasi terhadap toluena menghasilkan produk campuran, terutama dihasilkan
dari substitusi pada kedudukan orto dan para. Kita kemudian mengatakan
bahwa gugus metil pada toluena merupakan gugus pengarah orto-para.

Gambar 4.19 Proses Nitrasi Toluena

Klorobenzena dinitrasi pada posisi orto dan para, tetapi tidak pada posisi
meta. Namun, nitrobenzena menjalani nitrasi kedua pada posisi meta; tejadi sangat
sedikit substitusi pada posisi orto atau para. Contoh hal ini menunjukkan bahwa
sifat gugus yang masuk tidak mempunyai peranan dalam menentukan posisinya

45
sendiri sebagai cincin. Posisi substitusi kedua ditentukan oleh gugus yang telah
berada pada cincin ( Fessenden,1986)
Untuk membedakan kedua jenis substituen ini, Cl disebut pengarah-orto,
para, sedangkan NO2 disebut dengan pengarah-meta. Substituen apa saja pda
cincin benzena akan bersifat sebagai pengarah-orto atau pengarah-meta, meskipun
dengan jumlah yang bervariasi. Selain itu, perbandingan produk yang dihasilkan
dari reaksi benzena menunjukkan bahwa orientasi substitusi pada hakekatnya tidak
acak. Setiap kedudukan C-H kereaktidannya sama, jumlah/kuantitas yang sama
untuk substitusi orto dan meta dan setengah kuantitas untuk substitusi para: 40 %
orto, 40 % para, dan 20 % meta. Hal ini didasarkan pada prediksi secara statistik,
yaitu terdapat dua kedudukan orto, dua kedudukan meta dan hanya satu kedudukan
para (Sastrohamidjojo,2011).

Gambar 4.20 Pengarah Orto, Meta, dan Para

Langkah laju yang menentukan untuk substitusi elektrofilik aromatik adalah


langkah yang pertama, yaitu pembentukan kompleks sigma. Pada langkah ini dimana
elektrofil mengikat cincin benzena merupakan langkah yang menentukan substitusi.
Kita dapat menerangkan baik laju reaksi maupun arah ke kedudukan orto dan para
substitusi dengan mempertahankan sturtur zat antara kompleks sigma. Kita dapat
memastikan kedudukan orta dan para subtitusi dengan memperhatikan struktur zat
antara kompleks sigma. Kita dapat memastikan kedudukan orto dan para dengan
menggunakan stabilitas kompleks sigma dari energi relatif keadaan transisi yang
dimiliki (Sastrohamidjojo, 2011).

46
Ada beberapa efek substituen pertama terhadap substituen kedua. Perbedaan
efeknya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.1 Efek Substituen pertama terhadap substitusi kedua

(sumber: Fessenden,1986)
Tabel 4.1 meringkaskan substituen benzena yang mudah dijumpai, yang
dikelompokkan sebagai gugus aktivasi atau gugus deaktivasi dan sebagai pengarah –
o,p, kecuali halogen, merupakan juga gugus aktivasi. Perhatikan juga bahwa semua
mengarah –o,p, kecuali gugus aril dan alkil, mempunyai pasangan elektron
menyendiri ( unshared) pada atomnya yang terikat pada cincin. Tak satupun dari
pengarah-m memiliki pasangan elektron menyendiri pada atomnya yang terikat pada
cincin (Fessenden,1986).

a. Mekanisme substitusi kedua dengan pengarah –o dan p


Anilina merupakan suatu senyawa yang memiliki gugus NH 2 (pengarah-o,p)
pada cincin. Struktur resonansi untuk anilina menunjukkan bahwa gugus NH2 itu
bersifat melepas elektron secara resonansi meskipun N adalah atom
elektronegatif (Fessenden,1986).

47
Gambar 4.21 Mekanisme substitusi kedua dengan pengarah –o dan p

Akibat stabilisasi-resonansi anilina adalah bahwa cincin menjadi negatif


sebagian dan sangat menarik bagi elektrofil yang masuk. Semua posisi (o-,m-,p-)
pada cincin anilina teraktifkan terhadap substitusi elektrofilik;namun posisi o-
dan p- lebih teraktifkan daripada posisi m-. Struktur resonansi yang dipaparkan
ke atas menunjukkan bahwa posisi-posisi o- dan p- mengemban muatan negatif
parsial sedangkan posisi m-tidak.
Gugus amino dalam anilina mengaktifkan cincin benzena terhadap substitusi
sedemikian jauh sehingga:
1. Tak diperlukan katalis asam Lewis
2. Sangat sukar untuk memperoleh monobromoanilina. Anilina beraksi
dengan cepat membentuk 2,4,6- tribromoanilina (kedua posisi –o dan-p
terbrominasikan). Mekanisme brominasi anilina serupa dengan
mekanisme brominasi benzena itu sendiri. Mekanisme reaksi brominasi
anilina adalah sebagai berikut.

48
Gambar 4.22 Mekanisme brominasi anilina.

Beda antara mekanisme brominasi anilina dan benzena yang terletak pada
penstabilan ion benzononium antara. Ion benzononium tersubstitusi distabilkan oleh
resonansi, sama dengan ion benzononium tak tersubstitusi, tetapi dalam hal ini gugus
amino itu dapat menambah penstabilan. Suatu penstabilan zat antara yang meningkat
berarti bahwa energi keadaan-transisi dalam akan lebih rendah dan reaksi akan
berlangsung lebih cepat.

Gambar 4.23 Reaksi Piridin

Gugus amino bersama-sama dengan –OH, -OR, -NHCOR, dan fenil ,


meengaktifkan cincin benzena terhadap substitusi elektrofilik dengan cara
menyumbangkan sepasang elektron kepada cincin lewat resonansi. Substitusi

49
terjadi pada posisi –o dan –p karena gugus itu membantu mengemban muatan
positif dalam zat-zat antara (-o dan –p) ini. Meskipun gugus amino merupakan
pengarah –o dan –p dan suatu aktivator cincin, karakter ini akan berubah
dalam suatu campuran reaksi yang berisi asam Lewis seperti H 2SO4 , HNO3,
atau AlCl3 sehingga membentuk gugus ion amonium yang bersifat
mengarahkan –m dan mendeaktivasikan ( Fessenden,1986).

a) Mekanisme pengarah –p dan –o pada halogen


Halogen berbeda sifat dari pengarah –p dan-o ini. Mereka mengarahkan
gugus gugus masuk ke posisi –o atau-p dengan keterangan yang sama seperti
untuk gugus amino atau hidroksil. Halogen dapat menyumbangkan elektron-
elektronnya dan membantu mengemban muatan positif dalam zat antara.

Gambar 4.24 Mekanisme pengarah –p dan –o pada halogen


Halogen dapat mendeaktivasi cincin benzena. Hal ini dikarenakan
halogen dapat menarik muatan elektron dari cincin dengan efek induktif.
Gugus elektronegatif diharapkan mengurangi rapatan elektron cincin dan

50
menyebabkan cincin itu kurang menarik bagi sebuah elektrofil yang akan
masuk (Fessenden,1986).

a) Mekanisme substitusi kedua pada fenol


Dalam fenol atau anilina, pengaruh deaktivasi cincin oleh penarikan
elektron diimbangi oleh pelepasan elektron oleh resonansi. Pada gugus ini,
struktur rsonansi dari zat-antara yang menyajikan kestabilan tambahan,
timbul dari tumpang-tindihnyaorbital-orbital 2p karbon dan orbital-orbital
2p N atau O. Orbital-orbital p ini kira-kira sama besar dan tumpang-
tindihnya maksimal (Fessenden,1986).
Ketika fenol mengalami nitrasi, hanya serangan orto dan para yang
terjadi. Tiga kemungkinan karbokation distabilkan melalui resonansi ,
tetapi zat antara dari orto dan para yang paling banyak terstabilkan.
Sedangkan pada serangan meta, zat antaranya sama sekali tidak
memberikan kestabilan. Di bawah ini akan diberika contoh mekanisme
substitusi kedua pada fenol (McMurry,2000).

51
Gambar 4.25 Mekanisme substitusi kedua pada fenol

b) Mekanisme reaksi substitusi kedua pada gugus alkil


Suatu gugus alkil tidak memiliki pasangan elektron menyendiri untuk
disumbangkan bagi penstabilan secara resonansi. Namun, gugus alkil
bersifat melepas elektron dengan cara efek induktif. Karena gugus alkil
melepaskan elektron ke cincin benzena, cincin ini memperoleh rapatan
elektron tambahan dan membuat elektrofil yang masuk menjadi tertarik
(Fessenden,1986).
Nitrasi dari toluena dapat menghasilkan orto, meta , para pada gugus
alkil, yang mana reaksi ini memberikan tiga karbokation antara. Ketiga zat
antara tersebut telah stabil dan beresonansi, tetapi orto dan para lah yang
paling stabil daripada zat antara. Zat antara yang dihasilkan pada orto dan
para menggunakan energi yang rendah daripada meta dan artinya
pembentukannya berlangsung dengan cepat (McMurry,2000).

52
Gambar 4.26 Mekanisme substitusi kedua pada gugus alkil

b. Mekanisme substitusi kedua dengan pengarah meta


Dalam benzena yang tersubstitusi dengan pengarah meta (seperti NO2 atau
CO2H) , atom substituen yang terikat pada cincin benzena tidak mempunyai
pasangan elektron menyendiri dan mengemban muatan positif atau positif
parsial. Akan tampak dengan mudah bahwa pengarah –m bersifat
mendeaktivasi. Masing-masingnya bersifat penarik elektron dan tidak dapat
menyumbangkan elektron secara resonansi. Kemudian, masing-masing
pengarah –m akan mengurangi rapatan elektron cincin dan membuatnya
kurang menarik bagi elektrofil yang masuk (Fessenden,1986).
Suatu pengarah meta tidak mengaktifkan posisi –m terhadap substitusi
elektrofilik. Pengarah –m mendeaktivasi semua posisi dalam cincin, hanya
saja deaktivasi posisi –m lebih kecil daripada posisi-posisi lain. Struktur
resonansi zat-zat antara yang dihasilkan oleh serangan pada berbagai posisi

53
menunjukkan bahwa zat-zat antara –o dan-p didestabilkan oleh dekatnya dua
muatan positif. Zat antara –m tidak mempunyai struktur resonansi yang
terdestabilkan semacam itu. Berikut ini merupakan contoh mekanisme
pembentukan zat antara pada reaksi klorinasi benzaldehida (McMurry,2000)

Gambar 4.27 Mekanisme pengarah meta pada pembentukan zat


antara reaksi klorinasi benzaldehida

4.3 Substitusi Ketiga Senyawa Aromatik


Substitusi elektrofilik pada disubstitusi benzena dikendalikan oleh
resonansi dan efek induktif. Perbedaannya adalah pada reaksi ini dapat
melakukan efek adisi dari dua kelompk yang berbeda. Ada tiga aturan aturan
umum mengenai substitusi ini, yaitu sebagai berikut.
1. Jika dua substituen itu mengarahkan suatu gugus masuk ke satu posisi, maka
posisi ini akan merupakan posisi utama dari substitusi ketiga.Contohnya:

54
Gambar 4.28 Pembuatan 2,4-Dinitrotoluene
2. Jika dua gugus berbeda dalam efek-efek pengarahan mereka, maka aktivator
yang lebih kuat akan lebih diturut pengarahannya. Contohnya:

Gambar 4.29 Brominasi p-Metilfenol menghasilkan 2-Bromo-4-metilfenol

3. Jika dua gugus pada cincin berposisi meta satu sama lain, biasanya cincin itu
tidak menjalani substitusi pada posisi yang mereka apit , meskipun mungkin
cincin itu teraktifkan (pada posisi itu). Tidak reaktifnya posisi ini
dikarenakan adanya rintangan sterik.

55
Gambar 4.29 Substitusi ketiga tidak dapat terjadi jika substituen terletak diantara dua
gugus yang berbeda, tetapi dapat berlangsung bila posisinya tidak
berada
diantara diua gugus tersebut

4.4 Reaksi Substitusi Nukleofilik Aromatik


Reaksi substitusi aromatik biasanya disebabkan oleh mekanisme elektrofilik aril
halida dimana elektron mengalami pertukaran dengan substituen. Bagaimanapun,
mekanisme tersebut juga dapat dilakukan pada reaksi substitusi nukleofilik
aromatik. Substitusi ini terjadi bila cincin aromatik mempunyai sebuah elektron
yang dapat bertukaran dengan substituen dan berada di posisi orto atau para pada
halogen. Semakin banyak substitue yang berikatan, semakin cepat pula reaksi
berlangsung. Seperti yang diberikan pada gambar di bawah ini, hanya pada posisi
orto dan para anion dapat stabil melalui resonansi, sedangkan pada posisi meta
tidak terjadi stabilisasi resonansi. Demikian pula, p- kloronitrobenzena dan o-
kloronitrobenzena bereaksi dengan ion hidroksida pada suhu 13oC untuk

56
menghasilkan produknya, sedangkan m-kloronitrobenzena adalah inert bagi OH-
(McMurry,2000).

Gambar 4.30 Reaksi substitusi nukleofilik aromatik dapat stabil pada posisi orto dan para,
tetapi tidak stabil pada posisi meta

Perbedaan antara substitusi elektrofilik aromatik dengan substitusi nukleofilik


aromatik adalah pada perlakuan elektronnya. Substitusi elektrofilik aromatik terjadi
melalui pemberian elektron kepada substituen, sedangkan substitusi nukleofilik
aromatik terjadi melalui penarikan elektron terhadap substituen,yang mana dapat
menstabilkan karbanion. Gugus penarik elektron yang dapat mendeaktivasi cincin
untuk substitusi nukleofilik, sedangkan gugus penarik elektron yang dapat
mengaktivasi cincin untuk substitusi nukleofilik (McMurry,2000).

4.5 Benzyne

57
Jika tidak ada substituen penarik elektron pada cincin, substitusi aromatik
nukleofilik akan sangat sulit dan reaksi ini berjalan dengan mengikuti deret
mekanisktik kedua. Dalam hal ini, mekanisme itu diduga berlangsung lewat zat-
antara benzuna (benzyne). Berikut adalah reaksi pembuatan fenol dari
klorobenzena dan NaOH dengan benzuna sebagai zat-antara (Fessenden,2000).

Gambar 4.31 Reaksi pembuatan fenol dari klorobenzena dengan benzuna

Bukti lain dari terbentuknya benzuna berasal dari eksperimen. Walaupun


benzuna sangat reaktif, kereaktifannya dapat dihambat melalui reaksi Diels-
Alder jika diena seperti furan ditambahkan.

Gambar 4.32 Proses pembentukan benzuna yang ditambahkan furan melalui reaksi
Diels-Alder

4.6 Oksidasi Senyawa Aromatik

58
4.6.1 Oksidasi Rantai Samping Alkilbenzena
Benzena merupakan senyawa yang tidak jenuh. Walaupun tidak jenh, benzena
adalah inert terhadap oksidator kuat seperti KMnO4 dan Na2CrO7, yang
merupakan reagen

59
BAB IV
REAKSI PEMBUATAN AROMATIS

Perbandingan dengan Alkena


Alkena bereaksi secara spontan dengan bromin untuk memberikan produk samping.

Klorinasi Benzene
Klorinasi berlanjut secara analog ke brominasi kecuali katalis asam Lewis yang digunakan
adalah AlCl3.

Iodinasi Benzene
Prosedur iodinasi membutuhkan zat pengoksidasi asam, seperti asam nitrat.

Nitrasi Benzene
Benzena akan bereaksi dengan asam nitrat konsentrat panas untuk menghasilkan
nitrobenzene.

60
Sulfonasi Benzene
Benzene akan bereaksi dengan sulfur trioksida, dan dengan adanya asam, asam aril sulfonat
diproduksi.

Desulfonasi
Reaksi sulfonasi adalah reversibel, dan kelompok asam sulfonat dapat dihapus (yaitu
diganti oleh hidrogen) dari cincin aromatik dengan pemanasan dalam asam sulfat
encer.

61
62

Anda mungkin juga menyukai