Anda di halaman 1dari 8

TUGAS HUKUM PERUSAHAAN DAN

KEPAILITAN
SEJARAH HUKUM PERUSAHAAN ERA PASKA
REFORMASI
DOSEN : DR.Dhaniswara K. Harjono,SH.MH.MBA

DISUSUN OLEH:
HEDDY KANDOU

NIM : 1902190032

PROGRAM STUDI
MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
2020
SEJARAH HUKUM PERUSAHAAN DI ERA PASKA
REFORMASI

Beberapa bentuk badan usaha di Indonesia antara lain Perseroan Terbatas


(PT), Commanditer Venootschap (CV), Firma, Koperasi, dan Persekutuan
Perdata. Dalam arti luas, badan usaha juga diartikan sebagai entitas yang
melakukan kegiatan bersifat amal dan tidak mencari profit, misalnya Yayasan dan
Perkumpulan. Saat ini, pengaturan mengenai badan usaha di Indonesia diatur
secara terpisah dalam peraturan tersendiri. Padahal, di berbagai negara maju,
pengaturan mengenai badan usaha telah dikodifikasikan dalam satu undang-
undang.

Secara historis, pengaturan mengenai badan usaha di Indonesia pada zaman


kolonial terintegrasi dengan pengaturan keperdataan lainnya dalam 2 (dua)
kodifikasi berupa Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Seiring perkembangan zaman,
ketentuan-ketentuan dalam KUHPer dan KUHD dianggap sudah tidak relevan dan
perlu dilakukan pembaruan. Pembaruan tersebut selanjutnya dituangkan dalam
produk hukum yang terpisah-terpisah (parsial). Misalnya Undang-undang No. 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang mengatur badan usaha
Perseroan Terbatas (PT) secara terpisah diluar KUHPerdata dan KUHD.
Disamping itu, ketentuan badan usaha lainnya seperti Persekutan Perdata, CV,
dan Firma masih mengacu pada KUHPerdata dan KUHD. Inilah alasan mengapa
perlu adanya pembaruan hukum atas hal-hal tersebut kedalam satu undang-
undang. Pembaruan hukum tersebut direncanakan tersusun dalam satu Rancangan
Undang-undang (RUU) Badan Usaha, yang ditargetkan oleh Pemerintah dapat
segera disahkan.

Kodifikasi Pengaturan

RUU Badan Usaha merupakan bentuk kodifikasi peraturan mengenai bentuk-


bentuk badan usaha di Indonesia. Menurut CST Kansil (2014), kodifikasi adalah
pembukuan jenis-jensi hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara
sistematis dan lengkap. RUU Badan Usaha nantinya akan mengatur badan-badan
usaha secara tersistem baik itu yang berbentuk badan hukum maupun non-badan
hukum. Satjipto Rahardjo (2012) menjelaskan bahwa tujuan umum kodifikasi
adalah agar perundang-undangan menjadi lebih sederhana, mudah dikuasai,
tersusun secara logis, serasi dan pasti. Dengan demikian, kodifikasi dalam RUU
Badan Usaha ini bukanlah penyatuan hukum formil saja, melainkan juga
mengupayakan adanya pengaturan yang mudah dipahami oleh masyarakat serta
lebih tersistem.

Hal lain yang menjadi catatan penting adanya kodifikasi hukum ini adalah,
kodifikasi dalam RUU Badan Usaha ini adalah Kodifikasi Parsial, artinya
kodifikasi yang terfokus pada suatu hal tertentu atau terpisah dari kodifikasi
rumpun hukum yang lebih luas. Maksudnya, RUU Badan Usaha merupakan
Kodifikasi Parsial dari KUHPerdata dan KUHD selaku kitab
Kodifikasi General dalam hal keperdataan. Selain daripada itu, RUU Badan
Usaha ini nantinya juga merupakan bentuk pembaruan/reformasi hukum dalam
bidang keperdataan, khususnya hukum korporasi.

Kodifikasi ini menjadi penting mengingat hal ini selaras dengan instruksi Presiden
terkait reformasi regulasi yang merupakan program prioritas dalam Rencana Kerja
Pemerintah tahun 2017. Reformasi regulasi ini lahir dikarenakan percepatan
pembangunan yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo selama ini
terkendala oleh banyaknya regulasi yang mempersulit. Dengan adanya kodifikasi
dalam RUU Badan Usaha, secara otomatis maka peraturan-peraturan yang telah
berlaku (existing) digantikan dengan pengaturan yang lebih sederhana dalam satu
peraturan atau satu kitab undang-undang.

Pembaruan Hukum Korporasi Pasca Reformasi

Apabila pengaturan mengenai PT telah beberapa kali mengalami perubahan,


diantaranya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas dan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas,
maka tidak demikian halnya dengan pengaturan mengenai Persekutuan Perdata,
Firma, dan Persekutuan Komanditer (CV). Ketiga jenis badan usaha tersebut
masih diatur terpisah-pisah dalam KUHPerdata dan KUHD. Meskipun secara
konsep ketiga bentuk usaha tersebut lahir dari perjanjian perdata sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, secara khusus diatur bahwa Persekutuan
Perdata dan Firma didirikan secara knsual dalam Pasal 1624 KUHPer. Lain
halnya dengan CV yang pendiriannya membutuhkan pengesahan secara formal
yang diatur dalam Pasal 22 – 28 KUHD. Pengaturan yang sifatnya konvensional
tersebutlah yang mendorong perlunya pembaruan pengaturan mengenai ketiga
bentuk badan usaha tersebut.

Dalam tataran praktis, pendirian Persekutuan Perdata, Firma, dan CV juga masih
dilakukan dengan didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Hal ini tidak
sesuai dengan fungsi Pengadilan sebagai pemegang kekuasaan yudikatif,
mengingat pendirian badan usaha merupakan bagian dari pelaksanaan kekuasaan
eksekutif di bawah kendali Presiden. Sebagai perbandingan, pendirian PT,
Yayasan, dan Badan Hukum Perkumpulan, dilakukan di Direktorat Jenderal
Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia selaku
pelaksana fungsi eksekutif Presiden di bidang pelayanan jasa hukum. Dengan
demikian, perlu adanya pendirian dan pengadministrasian badan usaha
Persekutuan Perdata, Firma, dan CV yang terintegrasi dengan pendirian dan
pengadministrasian badan usaha PT, Yayasan, dan Badan Hukum Perkumpulan
yang sudah ada saat ini. Pengintegrasian ini akan menjadi lebih ideal apabila
dirumuskan dalam satu sistem hukum dan teknologi yang seragam, namun tetap
mempertahankan keunikan dan karakter khusus dari masing-masing jenis badan
usaha dimaksud.

Kemudahan Perizinan Memulai Usaha dengan Single Business Number

Dapat dikatakan bahwa untuk memulai usaha di Indonesia memang tergolong


kompleks. Data dari World Bank Group menemukan bahwa untuk memulai suatu
usaha di Jakarta, terdapat 11,2 tahapan/prosedur yang harus dilalui, dengan rata-
rata waktu 24,9 hari kerja, serta rata-rata biaya sebesar Rp 2.780.000. Padahal
secara logika, tahapan-tahapan perizinan tersebut seyogyanya dapat diintegrasikan
dengan perizinan lainnya. Misalnya, pengesahan Badan Hukum PT dapat
diintegrasikan dengan pemberian izin Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP),
Tanda Daftar Perusahaan (TDP), dan Surat Keterangan Domisili Usaha (SKDU).
Sebabnya adalah, perizinan tersebut secara substansi mengatur hal yang relatif
serupa. Sehingga adanya keempat jenis izin tersebut menunjukkan adanya pola
birokrasi yang redundant (berulang-ulang) dan tidak efisien.

Apabila keempat jenis izin diatas digabungkan kedalam 1 (satu) izin, maka
pemrosesan pendirian PT yang tadinya membutuhkan 7 (tujuh) tahapan dapat
dipangkas menjadi 2 (dua) tahapan, dan jangka waktu 24,9 hari kerja dapat
dipersingkat menjadi hanya cukup 2 (dua) atau 3 (tiga) hari saja. Secara praktek,
hal ini bukanlah hal yang mustahil dan Singapura terbukti mampu
mengimplementasikan hal tersebut.

Akan tetapi, memang tidak semua perizinan dapat digabungkan substansinya


karena memiliki materi dan urgensi tersendiri. Misalnya pendaftaran nomor wajib
pajak, jaminan sosial, dan kewajiban korporasi lainnya. Namun demikian, untuk
tetap mempermudah proses perizinan memulai usaha, RUU Badan Usaha ini
nantinya juga akan melahirkan sistem identitas badan usaha. Sistem identitas
badan usaha ini dikenal dengan nama Single Business Number atau nomor unik
badan usaha yang didaftarkan secara online. Single Business Number inilah
nantinya yang akan menjadi kunci untuk pengintegrasian banyaknya perizinan.
Singkatnya, satu tahapan input perizinan dapat melahirkan beberapa
jenis output perizinan yang berbeda-beda. Single Business Number ini dapat
diterbitkan secara paralel tanpa harus mendaftar ulang atau
mengisi form pendaftaran yang menyita waktu.

Kendala untuk memangkas perizinan-perizinan dan mewujudkan Single Business


Number di Indonesia saat ini adalah, tiap instansi memiliki kewenangan
memberikan identitas usaha tersendiri. Diantaranya Nomor Pokok Wajib Pajak,
keanggotaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Nomor Surat Keputusan
pengesahan PT beserta QR Code-nya, dan sebagainya. Pemberian identitas
tersebut lahir dengan payung hukum masing-masing. Sehingga memang nantinya
RUU Badan Usaha nanti haruslah melahirkan Single Business Number dengan
mengubah atau mencabut aturan-aturan yang memberikan ruang kewenangan
sektoral tersebut.

Harus diakui bahwa untuk mewujudkan RUU Badan Usaha bukanlah perkara
mudah. Penyusunan RUU ini akan membutuhkan proses panjang dan biaya yang
tinggi. Namun, kendala ini bukanlah masalah apabila kita melihat jauh kedepan
bahwa RUU ini adalah investasi jangka panjang Pemerintah di bidang
perekonomian, yang akan memberikan banyak manfaat di masa yang akan datang.

pabila pengaturan mengenai PT telah beberapa kali mengalami perubahan,


diantaranya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas dan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas,
maka tidak demikian halnya dengan pengaturan mengenai Persekutuan Perdata,
Firma, dan Persekutuan Komanditer (CV). Ketiga jenis badan usaha tersebut
masih diatur terpisah-pisah dalam KUHPerdata dan KUHD. Meskipun secara
konsep ketiga bentuk usaha tersebut lahir dari perjanjian perdata sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, secara khusus diatur bahwa Persekutuan
Perdata dan Firma didirikan secara knsual dalam Pasal 1624 KUHPer. Lain
halnya dengan CV yang pendiriannya membutuhkan pengesahan secara formal
yang diatur dalam Pasal 22 – 28 KUHD. Pengaturan yang sifatnya konvensional
tersebutlah yang mendorong perlunya pembaruan pengaturan mengenai ketiga
bentuk badan usaha tersebut.

Dalam tataran praktis, pendirian Persekutuan Perdata, Firma, dan CV juga masih
dilakukan dengan didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Hal ini tidak
sesuai dengan fungsi Pengadilan sebagai pemegang kekuasaan yudikatif,
mengingat pendirian badan usaha merupakan bagian dari pelaksanaan kekuasaan
eksekutif di bawah kendali Presiden. Sebagai perbandingan, pendirian PT,
Yayasan, dan Badan Hukum Perkumpulan, dilakukan di Direktorat Jenderal
Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia selaku
pelaksana fungsi eksekutif Presiden di bidang pelayanan jasa hukum. Dengan
demikian, perlu adanya pendirian dan pengadministrasian badan usaha
Persekutuan Perdata, Firma, dan CV yang terintegrasi dengan pendirian dan
pengadministrasian badan usaha PT, Yayasan, dan Badan Hukum Perkumpulan
yang sudah ada saat ini. Pengintegrasian ini akan menjadi lebih ideal apabila
dirumuskan dalam satu sistem hukum dan teknologi yang seragam, namun tetap
mempertahankan keunikan dan karakter khusus dari masing-masing jenis badan
usaha dimaksud.

Akan tetapi, memang tidak semua perizinan dapat digabungkan substansinya


karena memiliki materi dan urgensi tersendiri. Misalnya pendaftaran nomor wajib
pajak, jaminan sosial, dan kewajiban korporasi lainnya. Namun demikian, untuk
tetap mempermudah proses perizinan memulai usaha, RUU Badan Usaha ini
nantinya juga akan melahirkan sistem identitas badan usaha. Sistem identitas
badan usaha ini dikenal dengan nama Single Business Number atau nomor unik
badan usaha yang didaftarkan secara online. Single Business Number inilah
nantinya yang akan menjadi kunci untuk pengintegrasian banyaknya perizinan.
Singkatnya, satu tahapan input perizinan dapat melahirkan beberapa
jenis output perizinan yang berbeda-beda. Single Business Number ini dapat
diterbitkan secara paralel tanpa harus mendaftar ulang atau
mengisi form pendaftaran yang menyita waktu.

Kendala untuk memangkas perizinan-perizinan dan mewujudkan Single Business


Number di Indonesia saat ini adalah, tiap instansi memiliki kewenangan
memberikan identitas usaha tersendiri. Diantaranya Nomor Pokok Wajib Pajak,
keanggotaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Nomor Surat Keputusan
pengesahan PT beserta QR Code-nya, dan sebagainya. Pemberian identitas
tersebut lahir dengan payung hukum masing-masing. Sehingga memang nantinya
RUU Badan Usaha nanti haruslah melahirkan Single Business Number dengan
mengubah atau mencabut aturan-aturan yang memberikan ruang kewenangan
sektoral tersebut.

Harus diakui bahwa untuk mewujudkan RUU Badan Usaha bukanlah perkara
mudah. Penyusunan RUU ini akan membutuhkan proses panjang dan biaya yang
tinggi. Namun, kendala ini bukanlah masalah apabila kita melihat jauh kedepan
bahwa RUU ini adalah investasi jangka panjang Pemerintah di bidang
perekonomian, yang akan memberikan banyak manfaat di masa yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai